Strategi bertahan jemaat ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor

(1)

STRATEGI BERTAHAN JEMAAT AHMADIYAH DI

PONDOK UDIK, KECAMATAN KEMANG,

KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Disusun oleh:

Ahmad Fahmi Yahya Abdillah

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

STRATEGI BERTAHAN JEMAAT AHMADIYAH DI

PONDOK UDIK, KECAMATAN KEMANG,

KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Dibawah Bimbingan:

Ahmad Abrori, M.Si

NIP.19760225 200501 1 005

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berusaha mendeskripsikan strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dalam menghadapi tekanan.Sebagaimana diketahui Ahmadiyah telah mendpat banyak tekanan dari berbagai pihak karena doktrin-doktrin teologi ajaran Ahmadiyah yang dianggap menyimpang dari Islam mainstream di Indonesia. Bahkan MUI juga menjatuhkan vonis bahwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat, dan berada di luar Islam.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan mendalam terhadap fenomena yang diteliti. Kemudian teknik pengumpulan data yang digunakan berupastudi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan key informan yang terkait dengan penelitian ini.

Hasil penelitian ini menyatakan, Jemaat Ahmadiyah melakukan tindakan resistensi dengan tujuan untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi koersif dari pihak dominan. Tindakan resistensi ini peneliti kategorikan menjadi dua, yaitu; resistensi tertutup, dan resistensi semi-terbuka. Contoh resistensi tertutup yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Bogor adalah penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan, dan membicarakan keburukan pihak lain di area domestik. Sedangkan contoh dari resistensi semi-terbuka yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah adalah membangun jaringan dan kerjasama dengan pihak lain, dan member penjelasan dalam bentuk tulisan dan lisan.


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu „alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur dipersembahkan kepada Allah. yang telah memberikan Karunia dan Rahmat-Nya serta limpahan kekuatan dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, meskipun banyak hambatan dan tantangan.

Penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dari banyak pihak, baik secara kelembagaan maupun perorangan, oleh karenanya penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bpk. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bpk. Prof. Dr. Zulkifly, MA., Selaku Ketua Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Iim Halimatussaidiyah, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bpk. Prof. Yusron Razak, MA., dan Ibu Dra. Ida Rosyidah MA., selaku penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bpk. Abrori, M.Si., selaku pembimbing skripsi penulis yang senantiasa membimbing, memotivasi dan menginspirasi penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini. Jazakumullah ahsana al jaza.


(7)

5. Segenap dosen civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Khususnya Program Studi Sosiologi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas segala ilmu dan pengetahuan selama penulis menempuh studi di kampus tercinta ini, baik di dalam maupun di luar perkuliahan.

6. Ayahanda dan Ibunda penulis tercinta yang selalu memotivasi serta mendukung baik secara moril maupun materil selama ini sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan rahmat, keselamatan dan kesehatan.

7. Kakak-kakak dan adik penulis tersayang yang telah mencurahkan perhatian serta dukungannya di tengah kesibukkannya selama ini. Semoga Tuhan selalu memberkati kalian.

8. Segenap pengurus dan mubaligh Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik, atas kesediaannya menerima penulis dengan ramah, memberikan informasi, bantuan, dan menemani penulis selama penelitian. Jazakumullah Khairan Katsiran.

9. Gus Zuhairi Mizrawi, selaku mediator yang telah menghubungkan penulis dengan informan. Syukron Katsiran

10.Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2009, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Pengalaman selama bersama kalian akan selalu ada.

11.Sahabat-sahabatku di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) khususnya komfisip Ciputat atas segala partisipasi dan dukunganya.


(8)

12.Kawan-kawan Persatuan Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang bersedia untuk berbagi dan bertukar pikiran.

13.Komunitas Sepeda UIN yang selalu setia untuk berbagi keceriaan selama ini.

14.Untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, dan dukungan kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan anda semua.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangannya. Oleh karenanya, penulis mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan tersebut. Penulis juga sangat menantikan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga karya ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang bersangkutan serta menjadi semangat untuk penelitian selanjutnya.

Wassalamu „alaikum Wr. Wb

Ciputat, 8 Juli 2014


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A.Pernyataan Masalah ... 1

B.Pertanyaan Penelitian ... 4

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D.Tinjauan Pustaka... 6

E. Kerangka Teoretis ... 11

1. Tipe-tipe Organisasi Keagamaan ... 11

2. Strategi Bertahan ... 15

3. Teori Resistensi ……… 19

F. Metodologi Penelitian... 22

G.Sistematika Penulisan ... 28

BAB II GAMBARAN UMUM A. Profil Kabupaten Bogor ... 30

B. Profil Jemaat Ahmadiyah ... 36

C. Ahmadiyah Sebagai Organisasi Keagamaan ... 41


(10)

BAB III HASIL TEMUAN DAN ANALISIS

A. Strategi Bertahan Jemaat Ahmadiyah ... 50

1. Strategi Bertahan Internal ... 50

2. Strategi Bertahan Eksternal ... 59

B. Analisis………. 67

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... vii


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini mengkaji tentang strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor dalam mempertahankan eksistensinya. Ahmadiyah merupakan suatu gerakan keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1891 di India. Sementara eksistensi Ahmadiyah sendiri di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1925. Ahmadiyah mempunyai dasar pemikiran dan penafsiran berdasarkan ajaran Islam, namun ada beberapa hal yang membuat mereka berbeda dari umat Islam pada umumnya. Beberapa hal yang membedakannya adalah penafsiran mengenai kenabian, konsep tentang wahyu, dan kedatangan Nabi Isa yang kedua (Lubis, 1994: 13).

Bagi Jemaat Ahmadiyah, nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir, karena bagi mereka pintu kenabian akan terus terbuka sepanjang masa. Namun demikian, mereka tetap mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai khatam al-nabiyyin, yakni sebagai nabi yang paling sempurna dan nabi terakhir pembawa syariat (Novianti, 2006: 3).

Intrepretasi di atas telah menuai kontroversi mengingat term “nabi” bagi sebagian masyarakat muslim terutama kelompok konservatif-radikal merupakan term yang sangat sensitif, sehingga pada tahun 1980 MUI mengeluarkan fatwa yang melarang ajaran Ahmadiyah dan menganggap


(12)

Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan.

Sejauh ini MUI telah mengeluarkan dua fatwa tentang Ahmadiyah. Pertama, pada Juni 1980. Kedua, pada Juli 2005. Dalam dua fatwa itu, MUI menegaskan bahwa “Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan”. Pada fatwa pertama, MUI tidak secara jelas menyebutkan konsekuensi pemberian status sesat itu. Dalam fatwa berikutnya, konsekuensi itu jelas disebutkan, yakni mengajak kaum muslim untuk menyikapi persoalan tersebut secara tegas. Atas dasar fatwa tersebut, dan berpayung pada UU No. 1/PNPS/1965 tentang pasal penodaan dan penistaan agama, MUI kemudian mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin membubarkan Ahmadiyah.

Beragam respon lahir dalam menyikapi fatwa tersebut. Tidak sedikit yang menyikapinya dengan wajar, tetapi banyak pula yang bereaksi keras bahkan sampai melakukan tindakan anarkis. Tercatat pada tahun 1993, terjadi perusakan di Sukawening, Garut. Tahun 2001 terjadi tragedi Sambi Elen, Lombok yang menewaskan 1 orang anggota Ahmadiyah.Tahun 2002, terjadi kerusuhan di beberapa pusat Ahmadiyahdi Pancor, Majenang, Kuningan. Tahun 2003 juga terjadi kerusuhan di Tolenjeng, Garut. Kemudian pada tahun 2004 tercatat terjadi kerusuhan di Manislor, Arjasari, dan Parigi.Puncaknya pada tahun 2005, tercatat 12 kasus kekerasan menimpa Jemaat Ahmadiyah di beberapa tempat. Fatwa MUI seakan menjadi peneguh atas diperkenankannya kebencian kepada Ahmadiyah (Munawar, 2013: 272).

Pondok Udik Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor sendiri dipilih sebagai lokasi penelitian karena disanalah pusat Jemaat Ahmadiyah berdiri. Sementara itu, terbitnya Surat Keputusan Bersama tentang Pelarangan kegiatan Jema’at Ahmadiyah di wilayah Bogor yang dikeluarkan oleh Bupati


(13)

Bogor, Ketua DPRD Bogor, Dandim 0621, Kepala Kejaksaaan Negeri Cibinong, Kapolres Bogor, Ketua PN Bogor, DANLANUD ARS, Departemen Agama dan MUI Bogor, serta disusul Peraturan Gubernur tentang Pelarangan yang serupa sehingga membuat Jemaat Ahmadiyah hanya diperbolehkan menjalankan keyakinannya masing-masing, namun dilarang untuk berdakwah. Keluarnya rentetan fatwa tersebut mendapat respon yang beragam dari masyarakat, bahkan sebagian mengarah ke tindakan anarkis. Jemaat Ahmadiyah di lokasi tersebut tercatat telah mendapat dua kali serangan oleh kelompok Anti-Ahmadiyah, yakni pada 9 dan 15 Juli 2005. Akibat dari serangan tersebut beberapa bangunan di kompleks kantor pusat Jemaat Ahmadiyah mengalami rusak parah dan ratusan jemaat terkepung oleh massa yang anti Ahmadiyah. Meski akhirnya berhasil dievakuasi dan dibawa ke Pemda Kabupaten Bogor, namun banyak dari mereka yang mengalami trauma. Terlepas dari setuju atau tidak mengenai Ahmadiyah, secara empiris dan objektif kehadiran Jemaat Ahmadiyah tetap survive sampai saat ini, bahkan terlihat semakin kokoh dan solid meski mendapat tantangan dari berbagai pihak seperti beberapa ulama dan organisasi-organisasi keagamaan lain (Zulkarnain, 2005: 315).

Atas dasar itulah yang membuat penulis penasaran untuk mengetahui lebih mendalam dan menjelaskan secara proporsional mengenai bagaimana strategi atau cara Jema’at Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor dalam merespon berbagai tekanan tersebut serta mempertahankan eksistensinya. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk tindakan resistensi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengkaji kasus Ahmadiyah Bogor dengan pendekatan


(14)

sosiologis. Peneliti berharap dengan pendekatan sosiologis ini mampu menunjukkan sisi lain jemaat Ahmadiyah sebagai subjek yang aktif dalam mempertahankan dirinya.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor untuk mempertahankan eksistensinya?

2. Bagaimana bentuk-bentuk tindakan resistensi yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi koersif dari pihak dominan?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah

1.Untuk mendeskripsikan bagaimana strategi bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor. Dalam penelitian ini, strategi bertahan yang dimaksud berkaitan dengan strategi atau cara bertahan Jemaat Ahmadiyahdi Pondok Udik, Kemang, Bogor dalam menghadapi tekanan. 2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindakan resistensi yang dilakukan

Jemaat Ahmadiyah untuk mengurangi dampak buruk dari perlakuan persuasi koersif dari pihak dominan.

Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan kontribusi yang positif bagi semua pihak. Adapun manfaat penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


(15)

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya ilmu pengetahuan sosial, terutama bidang Sosiologi Agama.

2. Manfaat Praktis

a.Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan koleksi sehingga memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas tentang studi kajian Sosiologi yang ada dalam kehidupan masyarakat.

b.Bagi Mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa dan mampu memberikan informasi, pengetahuan, serta pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas yang ada di dalam masyarakat, sehingga dapat menumbuhkan pemikiran-pemikiran yang kritis yang berujung pada solusi-solusi atas permasalahan yang timbul.

c.Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi bekal pengetahuan dan pengalaman secara nyata bagi peneliti sehingga nantinya dapat memberikan pemahaman dan kontribusinya terhadap permasalahan di masyarakat.


(16)

d.Bagi Masyarakat Umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat pada umumnya agar lebih peka terhadap masalah-masalah yang timbul, sehingga mampu menelaah lebih dalam atas situasi yang terjadi dan tidak terprovokasi maupun bertindak provokatif atas apa yang belum jelas.

e.Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran nyata mengenai kelompok minoritas serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat suatu kebijakan yang bersentuhan langsung dengan hal sensitif seperti keyakianan beragama.

f. Bagi Tokoh Agama

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi refrensi bagi tokoh agama dalam rangka memahami Jemaat Ahmadiyah sehingga dapat menghasilkan sikap terbuka terhadap perbedaan serta kedewasaan dalam beragama hingga pada gilirannya tercipta kehidupan yang harmonis.

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat banyak studi yang mengkaji tentang Ahmadiyah, baik yang berdasar pada penelitian langsung maupun hasil refleksi telah banyak diterbitkan dalam bentuk buku, tesis, maupun jurnal. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Khairul Abror (2012). Penelitian yang berjudul “Imajinasi dan Strategi Penganut Identitas Sosial Ahmadiyah” ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana Imajinasi dan Strategi Penganut Identitas


(17)

Sosial Ahmadiyah di Kampung Cisalada, Kabupaten Bogor. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penggalian data menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif.

Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa Imajinasi outgroup terhadap identitas sosial Ahmadiyah tidak sama dengan imajinasi ahmadi terhadap identitas sosialnya. Pada kondisi aman untuk mempertahankan eksistensi identitas sosialnya ahmadi menerapkan strategi kreatifitas sosial, sedangkan jika kondisi tidak aman maka ahmadi menerapkan strategi kompetisi sosial. Strategi tersebut dapat dilakukan oleh setiap ahmadi di mana pun mereka berada, bahkan sebagai pengingat yang mantap strategi tersebut tertuang dalam kalender Ahmadiyah.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Arif Nur Fauzi, (2010). Penelitian yang berjudul “Strategi Rekrutmen Anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Kota Yogyakarta Tahun 2005-2009” ini tujuannya untuk mendeskripsikan strategi rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif, tujuannya untuk mendeskripsikan strategi rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Penelitian tersebut menggunakan teori Tajnid Jamahiri Tentang langkah-langkah strategi dan rekrutmen anggota. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan memakai metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Untuk mendapatkan data primer peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan pengurus Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) mengenai


(18)

strategi dan langkah-langkah rekrutmen anggota Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Sedangkan data sekunder diambil dari beberapa refrensi buku, modul, dan brosur yang dikeluarkan oleh pengurus Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun tulisan dari luar pengurus. Pengambilan data menggunakan metode obserfasi dijadikan sebagai penguat dari hasil data wawancara dan kumpulan data dokumentasi dengan langsung menjadi partisipan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).

Hasil penelitian selama kurang lebih satu Tahun di lembaga Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Kota Yogyakarta adalah GAI dalam melakukan rekrutmen anggota menggunakan strategi kultural; hubungan personal, seperti keluarga, saudara, dan tetangga terdekat. Dan strategi natural; ikatan kerja, dan kedinasan. Dengan tahapan dan langkah-langkah menggunakan media dakwah untuk mendapatkan pengikut atau kader baru.

Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Dewi Nurrul Maliki yang berjudul “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia”. Penelitian ini mengkaji kontestasi antara kelompok Islam Sub-altern dan kelompok Islam mainstream. Penelitian ini fokus pada dua hal, yakni; pertama, mengidentifikasi bentuk perlawanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Yogyakarta. Kedua, bagaimana Kota Yogyakarta sebagai Kota yang mempunyai toleransi yang tinggi mengkoordinir kedua kelompok Islam tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Cabang Yogyakarta memobilisasi jaringan intelektual eksternal mereka sebagai modus perlawanan terhadap kelompok Islam mainstream. Mereka menggunakan


(19)

kelompok intelektual untuk mewakili mereka, menciptakan ruang (sphere) yang cenderung bebas dari hegemoni kelompok dominan ditengah-tengah dunia akademis, serta membentuk jaringan bersama-sama dengan kelompok-kelompok lain yang independen. Berbagai jaringan dan kerjasama serta upaya meng-counter klaim-klaim kelompok mayoritas-dominan meliputi: 1) Membangun jaringan dengan berbagai kelompok/lembaga seperti Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai), Institut DIAN/Interfidei, Impulse (Institute for Multicultural dan Pluralism Studies), dan FPUB; 2) membangun jaringan dan kerjasama dengan kampus seperti UIN Sunan Kalijaga dan UGM; 3) Memanfaatkan media mulai dari media elektronik, cetak, penerbitan buku-buku (termasuk bekerjasama dengan pihak penerbit), dan lain-lain.

Adapun buku “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”, buku yang merupakan thesis karya Iskandar Zulkarnain, yang diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta ini mencoba memotret peran Ahmadiyah Indonesia dalam mengisi dan mengembangkan gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Di dalamnya juga dibahas mengenai peta penyebaran Ahmadiyah di Nusantara.

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kajian ini menggunakan pendekatan sejarah yang bertumpu pada empat kegiatan pokok, meliputi; (1) Heruistik, kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau, (2) Kritik (sejarah), menyelidiki apakah jejak-jejak tersebut asli, baik bentuk maupun isinya, (3) Interpretasi, menetapkan saling hubung antarfakta yang diperoleh, (4) Penyajian, menyampaikan sintesis yang diperoleh dalam satu bentuk kisah sejarah.


(20)

Penelitian relevan terakhir adalah jurnal ilmu sosial dan ilmu politik yang dibuat oleh Ishomuddin (2012) yang berjudul “Problem Kohesivitas Kehidupan Sosial Ahmadiyah dengan Muslim Meanstream di Jawa Timur”. Kajian ini ingin mengungkapkan tingkat kohesivitas sosial antara pengikut Ahmadiyah dengan komunitas Muslim arus utama di pedesaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan wawancara mendalam sebagai instrumen untuk mendapatkan data. Penelitian ini dilakukan di pedesaan di Kediri.

Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian tentang kohesivitas kehidupan sosial Ahmadiyah dengan muslim arus utama (mainstream) yang berpaham (Ahlus-Sunnah wal Jamaah). Selain di Indonesia, Ahmadiyah memiliki basis keanggotaan yang tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa. Bagi masyarakat muslim mainstream seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis, Ahmadiyah dipandang sebagai kelompok keagamaan yang cacat secara aqidah melarang keberadaan dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Untuk merespon hal itu, sejak 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah Qadian sebagai aliran yang sesat dan berada di luar Islam. Kesesatan Ahmadiyah kian dipertegas oleh MUI pada tahun 2005, bahkan tidak hanya Ahmadiyah Qadian, tetapi juga Ahmadiyah Lahore.

Dari penelusuran pustaka yang dilakukan, penelitian-penelitian yang terkait dengan Ahmadiyah lebih banyak mengkaji pada persoalan eksternal Ahmadiyah secara umum. Penulis belum mendapati pembahasan secara khusus dan terperinci yang mengkaji tentang Jemaat Ahmadiyah berupa penelitian lapangan yang mencakup strategi bertahan internal dan strategi


(21)

bertahan eksternal serta resistensi yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dalam mempertahankan eksistensinya. Maka, dianggap perlu adanya sebuah karya ilmiah yang membahas tentang hal tersebut.

E. Kerangka Teoretis

1. Tipe-Tipe Organisasi Keagamaan

Agama tidak bisa dilepaskan dari sebuah kelompok kepercayaan atau disebut pula umat beragama. Namun, ada beragam cara bagaimana kelompok keagamaan tersebut tersusun atau terorganisir. Secara umum organisasi keagamaan bisa dibagi menjadi tiga tipe yaitu; gereja, sekte, dan denominasi.

Tipe yang pertama adalah Gereja, walaupun sangat berakar pada tradisi Kristen tetapi memiliki pengertian sebagai satu kelompok religius yang menerima lingkungan sosial di mana ia berada. Yang perlu ditekankan di sini adalah, gereja tidak menarik diri dari dunia dan juga tidak memeranginya. Gereja yang ideal bisa hidup selaras dengan lingkungannya, bahkan nyaris tidak dapat dibedakan dari keadaan di sekitarnya (Johnson, 1963: 542). Hal ini dapat terjadi manakala sebuah Gereja lokal melebur dengan satu identitas etnis seperti yang terjadi di Tanah Batak yang Protestan dan Flores yang Katolik.

Tipe yang kedua yaitu Sekte. Sekte adalah kelompok kecil yang memiliki kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan yang besar ke dalam pembentukan komunitasnya sendiri. Sekte lebih merupakan kata sifat (kecenderungan sekterian) daripada kata benda (lembaga agama tertentu). Semakin sebuah gerakan religius berciri eksklusif dan percaya diri, semakin sektarian pula coraknya (Johnson, 1963: 543).


(22)

Sekte muncul sebagai akibat dari konflik antara prinsip dan nilai agama Kristen dengan lembaga-lembaga masyarakat yang telah mapan. Terjadinya persinggungan berupa konflik antara nilai agama yang mapan dengan lingkungan sekitar memunculkan sekte yang bersifat “menolak dunia” atau mungkin juga “berkompromi dengan dunia”. Munculnya sekte juga diduga merupakan dampak kontak agama dengan dunia sekitar. Sekte terkadang dapat menyesuaikan diri menjadi “sekte yang mapan”. Terlepas dari perubahan yang ada di dalam diri dan situasinya, mereka itu tetap ada, meskipun generasi pendiri mereka telah berlalu, menarik diri atau bertentangan dengan masyarakat umum (O’dea, 1992: 118).

Secara etimologi, sekte dapat dihubungkan dengan dengan istilah latin sequi yang berarti mengikuti (Eliade, 1972: 154). Dalam Sosiologi Agama, sekte berarti suatu kelompok religius yang relatif kecil dibandingkan dengan kelompok religius lainnya dalam suatu masyarakat. Sedangkan secara Psikologis, sekte berarti sekelompok individu yang mengikuti praktek-praktek tertentu atau mempertahankan dan biasanya mengungkapkan ide-ide tertentu yang membedakan mereka dengan masyarakat luas (Waryono, 1998: 147).

Dalam Religion in Secular Society, Bryan R Wilson menuturkan bahwa sekte terepresentasikan dalam strata partikular, yang mana para anggota kelompoknya merasa tidak diakomodasi secara keagamaan dan barangkali secara sosial. Ada empat ciri umum dari kemunculan sekte dalam setiap tradisi agama. Pertama, dari segi ajaran, biasanya berbeda dari doktrin agama yang telah disepakati. Kedua, mereka biasanya memiliki pemimpin-pemimpin karismatik yang menuntut ketaatan mutlak. Ketiga, memiliki kecenderungan untuk merasa lebih benar dari kelompok lain. Keempat, ”terpanggil” untuk


(23)

menyelamatkan dunia. Keyakinan mereka, bahwa dengan kelompoknya itu, kehidupan manusia akan selamat. (Wilson, 1996: 181-182).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut ada sesuatu yang menjadi ciri khas dari sekte, yaitu; berkelompok dan mempunyai paham atau praktek yang berbeda dengan masyarakat secara umum. Definisi tersebut memberi beberapa pengertian bahwa; sekte lahir dan muncul dari dalam „organisasi keagamaan’. Spilka (dalam Waryono ,1998: 142) menyebutkan bahwa sekte tumbuh dan berkembang sebagai bagian inheren dari agama, yang ingin memisahkan diri dari hegemoni kelompok mapan, dan sekte memisahkan diri karena memiliki paham atau pengalaman yang berbeda dari yang selama ini dipraktekkan oleh mayoritas. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sekte adalah komunitas dalam komunitas atau komunitas kecil yang berada dalam komunitas yang besar.

Bryan Wilson, seorang sosiolog asal Inggris, yang membagi sekte ke dalam tujuh tipe. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sekte-sekte terhadap dunia sekitar yang kesemuanya hampir secara nyata terwakili dan berkembang di Indonesia. Ketujuh tipe sekte ini adalah sebagai berikut. Pertama, Conversionist, yakni sekte yang mengarahkan perhatiannya kepada perbaikan moral individu dengan kegiatan utamanya men-tobat-kan orang luar. Di Indonesia gerakan yang mirip tipe ini adalah gerakan dakwah seperti jemaah Tabligh. Kedua, Messianistik, suatu sekte yang percaya akan datangnya Imam Mahdi, Messiah, al-Masih, Ratu Adil ataupun Satria Piningit yang akan menyelamatkan dunia dari kehancuran. Ketiga, Introversionis, kelompok yang mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Keempat, Manipulationist atau gnostic ("ber-ma'rifat"), yakni suatu sekte yang


(24)

cenderung tidak peduli terhadap keselamatan dunia sekitar, akan tetapi mereka mengklaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus yang biasanya dirahasiakan dari orang luar, seperti aliran kebatinan dengan amalan-amalan khusus dan sistem bai'at. Kelima, Thaumaturgical, yakni gerakan sekte yang mengembangkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan alam gaib. Keenam, tipe reformis, yakni gerakan yang melihat usaha reformasi sosial sebagai kewajiban esensial agama, dan ketujuh tipe Utopian, yakni suatu gerakan komunitas ideal sebagai teladan untuk masyarakat luas (dalam Nunu B, 2010: 504).

Tipe ketiga, Denominasi. Kelompok ini relatif stabil, ukuran dan kompleksitasnya seringkali besar (Nottingham, Elizabeth, 1994: 165). Denominasi berasal dari sebuah sekte yang berubah menjadi badan yang terlembagakan dan tidak lagi berbicara lantang tentang protes keagamaan sebagaimana ciri khas sekte. Sebuah sekte yang survive, dalam perjalanan sejarahnya biasanya berubah menjadi denominasi. Dalam sejarah Kristen misalnya, ditemukan sekte seperti Calvinisme dan Metodis yang pada awalnya merupakan sekte, namun belakangan telah berubah menjadi denominasi. Dalam hal status sosial, denominasi sedikit banyak mendapatkan pengakuan dari gereja atau kelompok keagamaan mapan dan selalu menjaga sikap kooperatif dengan pihak gereja (Giddens, 1997: 8).

Niebuhr (1929) melihat bahwa sekte-sekte muncul sebagai gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja (dan negara), kemudian lambat laun menjadi lebih lunak, mapan, terorganisir, rapi dan semakin formalistik. Setelah dua-tiga generasi, aspek kesukarelaan sudah mulai menghilang, semakin banyak anggota yang telah lahir dalam lingkungan sekte


(25)

sendiri. Semua anggota sudah tidak sama lagi, bibit hirarki internal sudah ditanam. Dengan demikian bekas sekte tersebut sudah mulai menjadi semacam Gereja sendiri dan lahirlah gerakan sekte baru, sebagai reaksi yang berusaha menghidupkan semangat asli, kemudian berkembang menjadi denominasi dan demikianlah seterusnya.

Selama ini, di negeri kita, pemahaman agama yang berada dengan tradisi agama mainstream selalu dilabeli sesat dan karena itu sah untuk dimusuhi. Parahnya lagi, dalam menyikapi gejala tersebut, negara justru tampil sebagai kekuatan fasis yang memaksakan tafsir formal tertentu atas pemahaman keagamaan. Alih-alih memberi tempat bagi keragaman keyakinan, negara justru menjadi kekuatan penghancur aneka-ragam keyakinan. Tipologi organisasi keagamaan yang kedua relevan untuk membaca organisasi keagamaan Ahmadiyah di Indonesia. Karena beberapa ajarannya yang berbeda dengan mainstream, maka mereka dilabeli sesat dan dimusuhi banyak pihak.

2. Strategi bertahan

Sekte perlu memainkan strategi agar mampu bertahan dan lolos dari cengkeraman politik negara yang berupa label dan stigma negatif, serta membuatnya tetap eksis di tengah kelompok mainstream. Strategi tersebut mencakup; strategi adaptasi dalam mempertahankan eksistensi (strategi bertahan internal) dan mengembangkan gerakannya (strategi bertahan eksternal).


(26)

a. Strategi Bertahan Internal

Strategi internal yang perlu diterapkan oleh sekte untuk mempertahankan eksistensinya adalah:

1. Loyalitas kepada pemimpin

Pada fase pertama suatu gerakan keagamaan biasanya dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya.Menurut Weber, otoritas karismatik hanya akan ada dalam tahap awal gerakan keagamaan. Permasalahan muncul ketika sang pendiri (sosok karismatik) meninggal. Oleh karena itu, gerakan keagamaan harus diarahkan pada bentuk yang lebih stabil(Nottingham, Elizabeth, 1994: 158).

2. Pernikahan dengan sesama anggota

Kelompok tertentu berupaya untuk mempertahankan kemurnian garis keturunan dan eksklusivitas kelompok mereka.Misalnya, melalui pernikahan hanya di kalangan anggotadan menghindari pernikahan campuran.

3. Internalisasi nilai-nilai keagamaan

Apabila organisasi (keagamaan) ingin berhasil dalam mempengaruhi masyarakat sesuai dengan arah tujuannya maka organisasi tersebut harus menanamkan nilai-nilai keagamaan serta menertibkan kebiasaan-kebiasaan para anggotanya sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai (Nottingham, Elizabeth, 1994: 145).

4. Konsolidasi internal

Konsolidasi internal merupakan upaya mewujudkan persatuan di dalam organisasi. Dengan terus meningkatkan konsolidasi internal, maka komunikasi baik antar anggota maupun komunikasi antara anggota dengan pemimpin terus


(27)

terjalin dan organisasi akan terus berjalan (Hamim M, 2012: 102). 5. Finansial

Kebutuhan finansial merupakan faktor yang mempengaruhi dalam melakukan sebuah kegiatan baik kegiatan rutin, maupun kegiatan besar/umum. Untuk memenuhi kebutuhan finansial, pada umumnya organisasi mendirikan badan usaha ekonomi seperti usaha koperasi, maupun bentuk badan usaha lainnya (Fransiskus Randa, 2011: 72).

b. Strategi Bertahan Eksternal

Di samping pendekatan internal, Strategi eksternal yang perlu diterapkan oleh sekte untuk mempertahankan eksistensinya adalah:

1. Merekrut orang-orang yang berpengaruh

Apabila sekte ingin mempengaruhi masyarakat secara luas, mereka harus mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka (Nottingham, Elizabeth, 1994: 145).

2. Adaptasi

Yang dimaksud dengan adaptasi di sini adalah proses penyesuaian organisasi terhadap lingkungan dan keadaan sekitar (Metnarno, 2011: 66). Adaptasi tersebut misalnya berupa perubahan karakter gerakan, dari gerakan yang eksklusif menuju gerakan yang inklusif. Beberapa doktrin yang mengganggu proses dialektika kebudayaan ditafsir ulang. Pada proses ini terjadi perubahan fundamental (Hamim M, 2012: 5).


(28)

3. Badan hukum/legalitas

Aspek legalitas memegang peranan penting untuk kemajauan organisasi itu sendiri. Legalitas merupakan usaha yang terkait dengan kebijakan pemerintah dan aspek hukum.Ajaran maupun aktivitas keorganisasian tidak boleh bertentangan dengan kebijakan dan hukum yang berlaku. Tanpa dukungan legalitas, strategi yang direncanakan dikhawatirkan akan mendapat hambatan pada tahap implementasi rencana dan keberlanjutan usahanya terancam berhenti. Selain itu, legalitas sangat diperlukan apabila akan berhubungan dengan pihak lain (Hamim M, 2012: 159).

4. Membangun hubungan yang baik dengan pemerintah

Sekte perlu untuk membangun kedekatan dengan penguasa. Penguasa mampu memberikan keuntungan bagi sekte berupa materi dan perlindungan politik dari ancaman eksternal dari kelompok mainstream yang menolak kehadirannya (Hamim M, 2012: 6).

5. Perkawinan di luar anggota (hibridasi)

Hibridisasi, artinya perkawinan campuran/silang atau perkawinan antara anggota dengan non-anggota. Sejarah telah membuktikan bahwa perkawinan merupakan satu sarana yang cukup efektif. Perkawinan akan lebih menguntungkan apabila terjadi antara anggota sekte dengan orang yang memiliki status sosial yang tinggi (Rusadi, 2011: 14).


(29)

3. Teori Resistensi

Setiap hari manusia selalu berkutat dengan kegiatan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologisnya. Dengan kata lain, manusia selalu berusaha mengatasi hal-hal yang mengancam kelangsungan eksistensinya (existential anxiety). Berbagai bentuk cara digunakan individu maupun kelompok untuk melindungi diri agar tidak terkena pengaruh buruk dari suatu hal yang dianggap mengancam keberlangsungan eksistensinya, salah satunya adalah dengan melakukan resistensi.

Resistensi dalam studi James Scott yaitu fokus pada bentuk-bentuk perlawanan yang sebenarnya ada dan terjadi disekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Ia menggambarkan dengan jelas bagaimana bentuk perlawanan kaum minoritas. Menurut Scott, tujuan resistensi dimaksudkan untuk memperkecil atau menolak sama sekali klaim-klaim yang diajukan kelas-kelas dominan atau mengajukan klaim-klaim mereka sendiri dalam menghadapi kelas dominan (dalam Suriadi, 2008:54).

Bentuk resistensi menurut Scott dan James (dalam Suriadi, 2008:52) dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Bentuk-bentuk tipikal resistensi tersebut dapat dilihat sebagai berikut; Pertama, resistensi tertutup (simbolis/ideologi) seperti gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat/ buruh, serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa. Bentuk resistensi ini tidak berpotensi mengubah sistem dominasi, tetapi hanya untuk menolak sistem yang berlaku, yang bersifat eksploitatif dan tidak adil. Kedua, resistensi semi terbuka seperti protes sosial dan demonstrasi mengajukan klaim kepada pihak yang berwenang. Bentuk resistensi ini diwujudkan untuk


(30)

menghindari kerugian yang lebih besar yang dapat menimpa dirinya. Ketiga, resistensi terbuka merupakan bentuk resistensi yang terorganisir, sistematis, dan berprinsip. Resistensi terbuka ini mempunyai dampak-dampak yang revolusioner (yang mendukung perubahan mendadak, cepat, dan drastis). Tujuannya adalah berusaha meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Manifestasi (wujud) dari bentuk resistensi ini adalah digunakannya cara-cara kekerasan (violent) seperti pemberontakan.

Scott dalam teorinya menyatakan bahwa kelompok lemah cenderung menggunakan cara yang samar dalam melakukan penentangan. Cara tersebut disebut Scott sebagai routine resistance (resistensi rutin). Karena samar dan halusnya teknik penentangan jenis ini, maka terkadang pihak ketiga baik itu target maupun pengamat seperti peneliti seringkali salah melihatnya sebagai suatu teknik bertahan hidup semata (dalam Ngatini, 2013:28). Sebagai tambahan bahwa antara perlawanan dan berusaha bertahan hidup adalah dua hal yang sulit dibedakan dan sulit dipisahkan karena dalam kenyataannya manusia melawan untuk bertahan hidup. Atau dengan kata lain, cara manusia bertahan hidup adalah dengan cara melakukan perlawanan. Perlawanan itu sendiri ada yang dilakukan dengan cara jelas seperti konfrontasi fisik, atau cara lain yang langsung diketahui sebagai perlawanan, dan ada juga yang dilakukan secara tersembunyi samar dan halus seperti yang digambarkan oleh Scott.

Konflik ahmadiyah baik di indonesia maupun di Bogor ini merupakan jenis konflik vertikal dan juga konflik horizontal karena yang dilawan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Bogor dalam hal ini adalah negara yaitu Departemen Agama dan juga agen agen negara seperti MUI maupun ormas


(31)

yang mengadopsi pemikiran negara yang menentang Ahmadiyah. Dengan alasan ini, peneliti berpendapat bahwa teori resistensi Scott ini dapat digunakan untuk menganalisa kasus Ahmadiyah di Bogor.

Alasan lain bahwa teori resistensi Scott akan mampu menjelaskan apa yang terjadi dengan Jemaat Ahmadiyah Bogor adalah karena adanya persamaan antara subjek penelitian Scott dengan Jemaat Ahmadiyah Bogor. Kesamaan pertama adalah bahwa masyarakat Sedaka dan Jemaat Ahmadiyah Bogor merupakan kelompok yang lemah dalam beberapa aspek seperti politik. Persamaan kedua adalah masyarakat ini sama-sama mengalami apa yang disebut Scott sebagai “routine repression” (represi yg hampir tidak tampak sebagai represi karena begitu samarnya). Lebih dari itu Jemaat Ahmadiyah juga mengalami apa yang tidak dialami oleh masyarakat Sedaka, yaitu jenis koersi yang disebut Scott dengan nama “exclusive coersion” yang meliputi kekerasan fisik yang mengambil harta dan nyawa mereka. Scott menyatakan bahwa seseorang yang sudah diciderai hak dan kebebasannya akan cenderung untuk melakukan penentangan sesuai dengan kondisi yang dimilikinya.

Sejauh ini, sudah banyak penelitian yang berfokus pada analisa mengenai tindakan agresi manusia terkait dengan usaha adaptasinya terhadap kondisi yang mereka hadapi, seperti yang terekspresikan dalam bentuk demonstrasi anarkis, atau adu fisik. Sebaliknya, baru sedikit penelitian mengenai pola adaptasi bertahan dan melawan dengan cara damai, terutama yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki keterbatasan seperti Jemaat Ahmadiyah.


(32)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Di dalam penelitian ini metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dimana metode penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2006:9) adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Dalam penelitian ini, untuk mengolah dan menyajikan data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis kualitatif, di mana prosedur penelitian bersifat menjelaskan, mengelola, menggambarkan dan menafsirkan hasil penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti yang bertujuan menerangkan dan mengumpulkan fakta-fakta yang diteliti.

Menurut Moleong (2002:6), penelitian kualitatif adalah “penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya; prilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah”.


(33)

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Januari 2014 sampai dengan bulan Maret 2014. Lokasi penelitian ini di Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jl. Raya Parung-Bogor 27, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tempat tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena di sanalah pusat Jemaat Ahmadiyah berdiri .Selain itu, keluarnya rentetan fatwa tentang pelarangan Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat respon yang beragam dari masyarakat. Bahkan, Jemaat Ahmadiyah di lokasi tersebut tercatat telah mendapat dua kali serangan oleh kelompok Anti-Ahmadiyah, yakni pada 9 dan 15 Juli 2005.

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berada di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.

4. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada data primer dan sekunder.

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari studi lapangan atau penelitian empiris melalui wawancara dengan informan. Untuk memperoleh data guna kepentingan penelitian maka diperlukan informan kunci (key informant) yang memahami dan mempunyai kaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti (Miles dan Huberman, 1992 )

b. Data sekunder, yaitu data yang diperlukan untuk melengkapi data dan informasi yang diperoleh dari data primer. Data ini diperoleh dari


(34)

dokumentasi-dokumentasi, laporan-laporan maupun arsip-arsip, buku-buku, majalah, koran, internet dan sumber lainnya yang sesuai dengan kebutuhan.

Penggunaan data primer dan data sekunder secara bersama-sama dimaksudkan agar saling melengkapi yang disesuaikan dengan keperluan penelitian. Selain itu, hal ini dilakukan untuk perbandingan data yang diperoleh. Data Primer dan Sekunder yang telah dikumpulkan tidak langsung dianalisis, melainkan terlebih dahulu diperiksa atau dicek kembali, dengan tujuan agar data yang diperoleh tidak mengalami kekurangan dan kesalahan.

5.Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data triangulasi untuk menjamin validitas dan reliabilitas informasi yang diperoleh. Alasan menggunakan metode triangulasi adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat, lengkap dan dapat dipercaya dengan cara sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di


(35)

mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur, artinya wawancara yang bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2006:138).

Jumlah informan yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah sebanyak 10 informan, yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yakni; 7 orang dari pihak internal dan 3 orang pihak eksternal.

Informan dari pihak internal ini terdiri dari; Pengurus Majlis Lajnah Imaillah, Pengurus Majlis Khuddamul Ahmadiyah, Pengurus Majlis Ansharullah Ahmadiyah, Pengurus Jamiah Ahmadiyah, Pengurus MTA, serta Mubaligh Ahmadiyah. Sedangkan dari pihak eksternal terdiri dari warga dan stakeholder seperti Ketua RT serta Kepala Desa setempat.

Pemilihan informan dari pihak internal yang terdiri dari mubaligh dan pengurus badan-badan dalam Ahmadiyah sendiri bertujuan untuk menggali informasi mengenai strategi bertahan yang mereka terapkan, khususnya dalam badan yang mereka naungi. Sementara pengambilan informan dari pihak eksternal dimaksudkan untuk mengetahui strategi bertahan eksternal yang diterapkan oleh Jemaat Ahmadiyah serta untuk mengetahui sejauh


(36)

mana keberhasilan pelaksanaan strategi tersebut. 2. Observasi

Observasi adalah salah satu teknik mendapatkan data atau informasi dengan cara mengamati secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah tehnik pengumpulan data dengan menggunakan cara atau berdasarkan catatan-catatan yang terdokumentasi (otentik), berupa data statistik, kumpulan peraturan dan perundang-undangan, kepustakaan, gambar, selebaran, atau brosur yang terdapat atau dijumpai di lokasi penelitian yang berkaitan serta mendukung pelaksanaan penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Untuk mengolah dan medeskripsikan agar data agar lebih bermakna dan mudah dipahami maka digunakan prosedur analisis data yang dikembangkan (dalam Moleong, 1989:190), adapun prosedur analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reduksi data

Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemikiran, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstarakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah pengkodean, menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak


(37)

perlu dan mengorganisasi data.

Reduksi data dari hasil wawancara dan dokumentasi misalnya, ada informan yang memberikan keterangan yang kita paham bertentangan dengan keadaan sebenarnya di lapangan, maka data semacam itu dapat direduksi.

2. Penyajian data

Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, dengan melihat penyajian-penyajian peneliti dan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Kecendrungan kognitifnya akan menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam bentuk yang disederhanakan dan diseleksi atau konfigurasi yang mudah dipahami, polanya berupa matrik, jaringan, tabel maupun bagan. Pada proses ini adalah dengan menyiapkan data hasil wawancara dan dokumentasi secara rapih berdasarkan rentang waktu agar mudah untuk dipahami siapa saja yang melihat ataupun membaca data tersebut.

3. Verifikasi

Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik kesimpulan atau verifikasi. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya. Pada tahap ini data yang telah disajikan diteliti lebih dalam kebenarannya untuk kemudian disimpulkan.


(38)

Pada tahap ini, peneliti berusaha membandingkan data dari informan yang berbeda. Selain itu, peneliti juga membandingkan data primer dan data sekunder untuk mengetahui validitas serta untuk mencegah adanya data yang menyimpang sebelum diolah dan dianalisis.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini memuat empat bab yang di mulai dengan BAB I yang berisi penegasan judul untuk memberikan batasan-batasan istilah dalam melakukan penelitian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami judul ini. Selanjutnya dibahas tentang pernyataan masalah dan alasan penulis mengangkat judul ini sebagai sebuah penelitian, diteruskan dengan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan kajian pustaka. Setelah itu disajikan pula kerangka teoritik yang akan dijadikan sebagai pertimbangan dalam menganalisa hasil penelitian yang didapatkan. Bab pendahuluan ini kemudian diakhiri dengan penyajian metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi ini.

Selanjutnya pada BAB II skripsi ini berisi gambaran umum lokasi penelitian, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni; profil lokasi penelitian dan profil subjek penelitian. Dalam profil lokasi penelitian, mencakup kondisi geografis, kondisi sosial demografis, dan kondisi keagamaan. Sedangkan dalam profil Ahmadiyah, mencakup awal masuk dan berkembangnya Ahmadiyah di Indonesia, sejarah berdirinya Pusat Ahmadiyah di Pondok Udik Kemang Kabupaten Bogor, Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan, serta diakhiri dengan pembahasan mengenai sistem organisasi Ahmadiyah.


(39)

Kemudian pada BAB III skripsi menyajikan hasil penelitian berdasarkan temuan yang diperoleh dari lapangan, terutama yang berkaitan dengan strategi bertahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang terdiri dari strategi bertahan internal dan strategi bertahan eksternal. Pada bab ini juga menyajikan analisa yang berdasarkan hasil temuan yang penulis dapatkan dari lapangan menggunakan teori resistensi.

Dan pada bab terakhir skripsi ini, yakni BAB IV, yang merupakan penutup berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan yang berkenaan dengan identifikasi masalah serta beberapa refleksi dari penelitian ini yang ditujukan untuk Jemaat Ahmadiyah, pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dan bagi penelitian selanjutnya.


(40)

BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Profil Kabupaten Bogor

Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia .Ibukotanya adalah Cibinong. Pusat Pemerintahan Bogor semula masih berada di wilayah Kota Bogor yaitu tepatnya di Panaragan, kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1982, Ibu Kota Kabupaten Bogor dipindahkan dan ditetapkan di Cibinong. Sejak tahun 1990 pusat kegiatan pemerintahan menempati Kantor Pemerintahan di Cibinong.

Dari sisi sejarah, Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang menjadi pusat kerajaan tertua di Indonesia. Catatan Dinasti Sung di Cina dan prasasti yang ditemukan di Tempuran sungai Ciaruteun dengan sungai Cisadane, memperlihatkan bahwa setidaknya pada paruh awal abad ke 5 M di wilayah ini telah ada sebuah bentuk pemerintahan.

Nama Bogor menurut berbagai pendapat bahwa kata Bogor berasal dari kata “Buitenzorg”, nama resmi dari Penjajah Belanda. Pendapat lain berasal dari kata “Bahai”, yang berarti Sapi yang kebetulan ada patung sapi di Kebun Raya Bogor. Sedangkan pendapat ketiga menyebutkan Bogor berasal dari kata “Bokor”, yang berarti tunggul pohon enau (kawung). Dalam versi lain menyebutkan nama Bogor telah tampil dalam sebuah dokumen tanggal 7 April 1952, tertulis “Hoofd Van de Negorij Bogor” yang berarti kurang lebih Kepala Kampung Bogor, yang menurut informasi kemudian bahwa Kampung Bogor itu terletak di dalam lokasi Kebun Raya Bogor yang mulai dibangun


(41)

pada tahun 1817. Asal mula adanya masyarakat Kabupaten Bogor cikal bakalnya adalah dari penggabungan sembilan kelompok permukiman oleh Gubernur Jendral Baron Van Inhof pada tahun 1745, sehingga menjadi kesatuan masyarakat yang berkembang menjadi besar di waktu kemudian. Kesatuan masyarakat itulah yang menjadi inti masyarakat Kabupaten Bogor (http://www.bogorkab.go.id/selayang-pandang/diunduh pada 2 mei 2014).

Banyak aspek yang melatarbelakangi dipilihnya Kabupaten Bogor sebagai lokasi Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), akan tetapi, peneliti hanya akan membahas tiga diantaranya, yakni; kondisi geografis, kondisi sosial demografis, dan kondisi keagamaan.

1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas 298.838,304 Ha. Secara geografis terletak antara 6,18° LU – 6,47° LS dan 106°1 – 107°103 Bujur Timur dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, yaitu sekitar 29,28 % berada pada ketinggian 15 – 100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42,62% berada pada ketinggian 100 – 500 meter dpl, 19,53% berada pada ketinggian 500 – 1.000 meter dpl, 8,43% berada pada ketinggian 1.000 – 2.000 meter dpl dan 0,22% berada pada ketinggian 2.000 – 2.500 meter dpl. Secara klimatologi, wilayah Kabupaten Bogor termasuk dalam iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan ilkim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.500 – 5.000 mm/tahun. Suhu rata-rata 20º – 30ºC, dengan rata-rata tahunan 25ºC, kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah dengan rata-rata 1,2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata-rata sebesar 146,2 mm/bulan (https://sites.google.com/site/profilbogorkab/gambaran-umum Diunduh pada 2 mei 2014).


(42)

Kabupaten Bogor memiliki batas-batas strategis antara lain: - Utara: Kota Depok

- Barat: Kabupaten Lebak

- Barat Daya: Kabupaten Tangerang - Timur: Kabupaten Karawang - Timur Daya: Kabupaten Bekasi - Selatan: Kabupaten Sukabumi - Tenggara: Kabupaten Cianjur - Tengah: Kota Bogor

Untuk jarak tempuh Kabupaten Bogor dengan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintah Pusat adalah sebagai berikut:

1. Ibukota propinsi Jawa Barat 120 km 2. Ibukota Negara Republik Indonesia 60 km

Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa Kabupaten Bogor memiliki jarak yang cukup dekat dengan kantor pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang terletak di Jalan Balikpapan 1 No. 10, Cideng, Jakarta Pusat. Sebelum didirikannya Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Bogor, lokasi tersebut menjadi pusat kegiatan-kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang berskala Nasional. Meski telah mengalami beberapa kali perluasan, namun tetap tidak mampu menampung banyaknya jemaat. Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi dipilihnya Kabupaten Bogor sebagai lokasi Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

2. Kondisi Sosial Demografis

Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2012 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 5,077,210 jiwa yang terdiri dari


(43)

penduduk laki-laki 2,604,873 jiwa dan penduduk perempuan 2,472,337 jiwa. Jumlah penduduk tersebut telah mengalami kenaikan apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2011 yang berjumlah 4,992,205 jiwa. Kondisi ini menyebabkan tingginya rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2012 sebesar 3.15%.

Data sex rasio penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 106, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 106 orang laki-laki. Sex rasio yang di atas 100 tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan di daerah tersebut. Pada tahun 2012, rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor yaitu sebanyak 1.873 jiwa per-km2.

Pada tahun 2012, Kabupaten Bogor memiliki 40 Kecamatan, 434 desa/kelurahan yang meliputi 17 kelurahan dan 417 desa. Jumlah Rukun Warga (RW) sebanyak 3.882 dan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 15.561. Hampir sebagian besar desa pada Kabupaten Bogor sudah terklasifikasi sebagai desa Swakarya yakni 351 desa, lainnya 77 desa merupakan desa Swasembada, dan sudah tidak ada lagi yang tergolong desa Swadaya. Berdasarkan klasifikasi daerah, yang di lihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 102 desa dan desa pedesaan sebanyak 332 desa. (Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008: 11)

Dengan demikian, besarnya jumlah penduduk dan luasnya wilayah Kabupaten Bogor secara tidak langsung menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya organisasi-organisasi keagamaan. Di Kabupaten Bogor terdapat


(44)

berbagai organisasi keagamaan seperti; NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, Ahmadiyah, dan lainnya. Ajaran Ahmadiyah cenderung paralel dengan kepercayaan Sunda tradisional yang meyakini adanya Ratu Adil atau yang dikenal masyarakat Sunda tradisional dengan istilah Ratu Sunda.Hal tersebut terlihat dalam naskah-naskah kuno yang menceritakan masalah Imam Mahdi (Nina, 2010: 205). Sementara itu, di Kabupaten Bogor Ahmadiyah telah tersebar di beberapa Kecamatan seperti; Ciampea, Cibungbulang, Cigombong, Leuwiliang, dan Kemang.

3. Kondisi Keagamaan

Umat beragama di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sangat beragam. Mayoritas penduduk Kabupaten Bogor beragama Islam. Pada tahun 2007 di Kabupaten Bogor ada 3.144.724 penduduk yang beragama Islam, Katolik 24.446, Kristen (Protestan) 21.665, Hindu 11.932, dan Budha 21.209 orang. Sementara untuk tempat ibadah, Pada tahun yang sama terdapat sebanyak 2.762 masjid, 517 mushola, 29 gereja, 4 pura, dan 11 vihara (Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008: 11).

Kabupaten Bogor merupakan basis daerah Religius, hal itu terindikasi dari semaraknya kegiatan-kegiatan keberagamaan seperti; pengajian, majelis ta’lim, peringatan hari-hari besar keagamaan, serta kuatnya dominasi lembaga-lembaga pendidikan agama, seperti madrasah, organisasi dakwah maupun pesantren. Jumlah pesantren yang ada di Kabupaten Bogor sebanyak 642 buah, beserta 856 kyai dan 100.988 santri. Adapun sedikitnya 282 organisasi dakwah yang berada di Kabupaten ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:


(45)

Tabel 5: Banyaknya Madrasah, Murid, dan Guru

No. Jenis Madrasah Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru

1 Diniyah 780 60.336 3.337

2 TPA 2.793 56.553 8.106

3 Ibtidaiyah 529 103.151 4.849

4 Tsanawiyah 220 57.932 4.447

5 Aliyah 80 9.939 1.505

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS

Di Kabupaten inilah pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) beridiri, tepatnya berada di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang. Tempat ini menjadi pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang berskala Nasional seperti; pendidikan mubaligh, Jalsah Salanah (kongres), serta sebagai kantor Pengurus Besar Ahmadiyah. Pada tahun 1940-1986, sebelum pusat Ahmadiyah tersebut berdiri, Jalsah Salanah (kongres) digelar secara estafet dari Cabang satu ke Cabang yang lain. Baru pada tahun-tahun berikutnya, setelah berdirinya Pusat Ahmadiyah di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang ini Jalsah Salanah (kongres) hampir setiap tahun digelar di sana (Munawar, 2013: 245). Sementara kegiatan-kegiatan lainnya yang berskala besar sebelumnya digelar di Jakarta, tepatnya di Jalan Balikpapan 1 No. 10, Cideng, Jakarta Pusat. Namun, lokasi tersebut tidak mampu menampung banyaknya jemaat, meski telah mengalami beberapa kali perluasan. Dipilihnya Kabupaten Bogor sebagai pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) nampaknya berkaitan dengan banyaknya Cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang


(46)

berada di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya, diantaranya; Garut, Sukabumi, Tasikmalaya, Bandung, Cirebon, dan Jakarta.

B. Profil Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Jemaat Ahmadiyah telah berada di Indonesia sejak 1925, beriringan dengan organisasi keagamaan lainnya, seperti; Muhammadiyah (1916), dan Nahdatul Ulama (1926). Dengan demikian, hingga tahun 2014 ini, keberadaan Jemaat Ahmadiyah telah mencapai usia 89 tahun, suatu rentang usia yang panjang. Bagi sebuah organisasi masyarakat, usia tersebut dianggap sebagai ruang diterima oleh masyarakat terhadap organisasi tersebut, sehingga organisasi tersebut telah menyatu dengan masyarakat itu sendiri. Namun kenyataan tersebut tidak berlaku bagi Jemaat Ahmadiyah, justru memasuki ke 80 tahun keberadaan mereka digugat oleh masyarakat Indonesia.

1. Masuk dan Berkembangnya Ahmadiyah di Indonesia

Ahmadiyah masuk ke Indonesia bersamaan dengan datangnya mubaligh Ahmadiyah yang pertama kali diutus oleh Imam Jemaat Ahmadiyah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah al-Masih II, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad. Mubaligh tersebut ialah Maulana Rahmat Ali, yang bertolak dari Qadian pada Agustus 1925 dan tiba di Tapaktuan, Sumatera Utara pada tanggal 2 Oktober 1925. Tujuan diutusnya Maulana Rahmat Ali adalah untuk menyebarkan kabar gembira bahwa Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu telah datang di kawasan Hindia Timur (julukan Indonesia pada waktu itu) (Sholikhin, 2013: 77).

Kedatangan mubaligh Ahmadiyah tersebut ke Indonesia tidak terlepas dari peranan 19 pemuda Islam asal Indonesia di India, yang kemudian berbaiat masuk Ahmadiyah. Merekalah yang mengajukan permohonan kepada


(47)

Khilafah al-Masih II, agar dapat mengirimkan mubalighnya ke Indonesia, yang dijawab bahwa Khalifah dari Dzulqarnain (sebutan Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad), akan memenuhi permintaan tersebut. Atas permintaan tersebut, Khalifah II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menugaskan Maulana Rahmat Ali untuk datang ke Indonesia (Sholikhin, 2013: 78).

Sesampainya di Tapaktuan, Rahmat Ali tinggal di rumah Muhammad Samin, orang yang pernah belajar di Qadian. Masyarakat Tapaktuan sebelumnya telah mengenal kepercayaan akan datangnya Imam Mahdi. Para pelajar Indonesia di Qadian sering berkirim surat agar jika utusan dari Imam Mahdi datang supaya diterima sebaik-baiknya. Dalam waktu yang tidak lama, beberapa penduduk Tapaktuan sudah ada yang mengaku secara terang-terangan mengikuti Ahmadiyah (Zulkarnain, 2005:177).

Meski sudah masuk sejak tahun 1925 dan telah tersebar ke beberapa kota, baik di Sumatra maupun Jawa, akan tetapi sebagai sebuah organisasi, Pengurus Besar baru terbentuk setelah sepuluh tahun kemudian. Pada tanggal 25 Desember 1935, diadakan pertemuan tokoh-tokoh di Clubgebouw Kleykampweg (sekarang menjadi jalan Balikpapan) No. 41 Jakarta dan telah memutuskan untuk membentuk Pengurus Besar Ahmadiyah. Organisasi diberi nama Anjuman Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia (AQDI). Dalam rangka penyempurnaan, Pengurus Besar berusaha menyesuaikan organisasi AQDI dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di Qadian. Untuk mewujudkan rencana tersebut, dalam konferensi yang diadakan pada tanggal 12 dan 13 Juni 1937 di masjid Hidayat, Jalan Balikpapan I/10 Jakarta, memutuskan untuk menyesuaikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia (AQDI) dengan organisasi Pusat Ahmadiyah di


(48)

Qadian. Nama Ahmadiyah telah diganti dari Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia (AQDI) menjadi Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia (AADI) (Zulkarnain, 2005:194).

Pada bulan Desember 1949, diadakan Mukatamar di Jakarta. Selain menyetujui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang baru, juga mengganti nama organisasi dari Anjuman Ahmadiyah Qadian Indonesia (AADI) menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi ini telah mendapat pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai badan hukum dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tanggal 31 Maret 1953 (Zulkarnain, 2005:196).

2. Sejarah berdirinya Pusat Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor

Perkembangan Jemaat Ahmadiyah di wilayah kota Jakarta telah membuat masjid Hidayat di Jalan Blikpapan 1/10 Jakarta Pusat, yang juga merupakan Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia harus mengalami beberapa kali perluasan, terutama hal itu dilakukan di masa Maulana H. Mahmud Ahmad Cheema HA. Sy sebagai amir & Raisuttabligh, dan Ir. Syarif Ahmad Lubis sebagai Ketua Pengurus Besar atau Ketua Nasional. Demikian pula perkembangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di luar wilayah Jakarta pun sangat meningkat, sehingga untuk keperluan kegiatan-kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang berskala Nasional seperti Jalsah Salanah, diperlukan tempat yang cukup luas (Qoyum, 2010: 1).


(49)

Sejak lama Hadrat Khalifatul Masih IIra menginginkan dan menganjurkan supaya Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki sebuah Pusat yang cukup luas. Guna memenuhi keinginan Huzur tersebut pada tahun 1975 Maulana Imamuddin HA selaku Raisuttabligh telah membentuk sebuah Panitia, dan Ir. Pipip Sumantri ditunjuk sebagai Project Officer, untuk mengurus pembelian tanah seluas 10 hektar dan membangun Pusat Pendidikan di atasnya (Qoyum, 2010: 1).

Sejalan dengan rencana tersebut telah diusahakan pembelian tanah di daerah Pinang, Kabupaten Tangerang. Namun disebabkan oleh ketidakjujuran seorang oknum, usaha tersebut menjadi gagal, dan dibentuklah sebuah Panitia yang diketuai oleh Kol.TNI AD Surya Sudjana.Kasus “pembelian tanah” di daerah Pinang, Tangerang itu sendiri prosesya diteruskan ke Pengadilan sampai selesai (Qoyum, 2010: 1).

Pada tahun 1976 di dalam Majlis Musyawarah yang ke 27 di Jakarta, telah diambil keputusan bahwa lokasi Pusdik supaya dipindahkan dari Pinang, Tangerang ke Sindang Barang, Bogor. Kemudian dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Kol.TNI AD Hasan Muhammad. Sebuah Panitia lagi dibentuk yang diketuai oleh A, Qoyum Wahid guna mengurus pembelian tanah di Sindangbarang, Bogor (Qoyum, 2010: 2).

Tanah yang terletak di daerah Pinang, Tangerang dijual. Sesuai dengan keputusan Majlis Musyawarah dibeli sebidang tanah seluas 4 hektar di Sindangbarang, Bogor, karena sebelumnya di sana telah tersedia 2,5 hektar. Namun kembali panitia pembangunan menghadapi kendala. Yakni ketika tanah telah selesai dibeli, pemerintah setempat tidak memberi izin kepada Jemaat Ahmadiyah untuk mendirikan Pusdik Mubarak di lokasi tanah tersebut


(50)

atas dasar bahwa masyarakat di sekeliling tanah itu tidak menyetujui adanya rencana pembangunan Pusat Jemaat Ahmadiyah di sana (Qoyum, 2010: 2).

Pada tanggal 12 Februari 1979, pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan appeal (permohonan) kepada Gubernur Jawa Barat, Mayjen TNI AD Solichin GP, dan pada tanggal 27 Juli 1980 kepada Menteri Dalam Negeri, Jenderal TNI Amir Mahmud, namun tidak ada jawaban. Untuk pembangunan Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu telah direncanakan sejumlah angaran. Untuk pendirian Pusdik Mubarak di Sendangbarang, Bogor direncanakan anggarakan sebesar Rp. 500,000,000.- dan pembangunannya direncanakan akan selesai dalam tempo 10 tahun. Untuk itu akan disediakan anggaran Rp. 50,000,000.- per tahun. Sumbangan dari para anggota setiap tahun Rp. 26,000,000.- dan sisanya akan diterima dari penerimaan hak Pusat (Qoyum, 2010: 2).

Ketika pembangunan Pusdik Mubarak di Sindangbarang, Bogor tidak mendapat izin, maka kepada beberapa Cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia yakni Jakarta, Bandung dan Garut. Akan tetapi jawaban mereka mengatakan bahwa mereka tidak berhasil mendapatkan izin dari Pemerintah. Usaha Cabang Manislor juga tidak berhasil. Mula-mula Cabang Jakarta mengusahakan izin untuk pembangunan Pusdik ini di daerah Bekasi, namun juga tidak berhasil. Pada akhirnya Cabang Jakarta dengan perantaraan seorang Ahmadi, Letkol TNI AD Abdul Mukti, berhasil memperoleh izin dari Pemerintah Kabupaten Bogor dan mendapat lokasi di Desa Jampang, Parung. Ketika itu yang menjadi Bupati Bogor ialah Letkol TNI AD Ayip Rughby (Qoyum, 2010: 3).


(51)

Sebelum panitia Pembangunan Pusdik Mubarak membeli tanah di Desa Udik, Parung, Kemang, telah disebarkan pengumuman ke Cabang-cabang supaya melakukan shalat istikharah, namun jawaban hanya diterima dari seorang anggota Lajnah Imaillah yaitu Ny. Sri Wenda Thayyib (Ibu Entoy). Di dalam istikharahnya diisyaratkan bahwa tempat itu sangat baik. Semula direncanakan untuk membeli tanah di Desa Jampang Kcamatan Parung, sekarang Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, seluas 7 hektar. Namun karena penjualan tanah di Pinang dan Sindangbarang mengalami banyak hambatan maka pihak Jemaat hanya dapat membeli 3 hektar saja, padahal yang 4 hektar keadaan permukaan tanahnya rata, namun tidak dapat dibeli karena tidak ada biaya (Qoyum, 2010: 4)

3. Ahmadiyah Sebagai Organisasi Keagamaan

Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi keagamaan, bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri.

Banyak orang menganggap bahwa Ahmadiyah merupakan sebuah sekte karena hidup dalam eksklusivisme, yakni cenderung memisahkan diri dari masyarakat luas. Beberapa hal yang menyebabkan orang berpandangan demikian diantaranya karena; Ahmadiyah beribadah di masjidnya sendiri, intensitas hubungan sesama anggota Ahmadiyah, dan warga Ahmadiyah menikah dengan sesama anggota (Munawar, 2013: 257)


(52)

Eksklusivitas Ahmadiyah tidak hanya mengesankan bahwa Ahmadiyah bersikap menutup diri dari komunitas luar, tetapi secara bersamaan juga menganggap salah kelompok yang lain. Implikasinya, benturan antara pengikut Ahmadiyah dengan kelompok Islam lain memang banyak ditemukan di berbagai daerah.

Sengaja atau tidak, eksklusivitas dan sikap menutup diri tersebut sebenarnya tidak muncul tanpa alasan dan landasan. Oleh karena itu, pertanyaan besarnya adalah, apakah sikap eksklusif tersebut muncul sebagai kekuatan sosiologis semata untuk mempertahankan kemurnian identitas, atau memang ada dasar atau landasan teologis dan doktrinalnya yang mampu menkonstruksi budaya-budaya eksklusif di tubuh Ahmadiyah?

Dalam aspek doktrinal memang ada beberapa ajaran keagamaan Ahmadiyah yang mampu mendorong penganutnya untuk menjadi sangat eksklusif. Doktrin seperti; imamah, amir, dan bai’at, menjadi benteng dan pembentukan karakter eksklusif Ahmadiyah. Kekuatan doktrin ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafikan kelompok-kelompok lain di luar kelompok mereka. Selain itu, adanya doktrin komunalisme yang mewujudkan komunalitas kelompok yang sangat eksklusif.

Akan tetapi, secara sosiologis-kultural sikap eksklusif tersebut bukanlah karakter yang permanen. Sikap eksklusivisme tersebut nampaknya dilatarbelakangi oleh argumen sosial yang dibangun oleh sejarah yang panjang. Sejarah Ahmadiyah selalu dipenuhi oleh penderitaan, pemboikotan, dan penindasan terhadap pengikutnya baik di negara asalnya (Pakistan) maupun negara-negara lainnya. Keadaan tersebut telah berlangsung sejak Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai al-Masih. Sejak saat itulah pengikut


(53)

Ahmadiyah selalu mendapat tekanan hingga saat ini .Oleh karena itu, Mirza Ghulam Ahmad menganjurkan untuk menikah dengan sesama anggota Ahmadiyah, mendirikan masjid untuk beribadah berjamaah, dan melakukan hubungan secara intens dengan sesama anggota Ahmadiyah. Suatu ketika ijtihad tersebut mungkin akan dicabut apabila kondisi telah berubah (Munawar, 2013: 258). Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika pada perkembangan selanjutnya terdapat perubahan sangat mendasar yang dilakukan oleh Ahmadiyah.

Dalam setiap tahunnya, banyak orang yang masuk ke dalam Ahmadiyah. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel: Jumlah penambahan pengikut Ahmadiyah dari tahun 1992-2011

No Tahun Anggota Baru

1 19921993 5.898

2 19931994 7.487

3 19941995 8.000

4 19951996 6.000

5 19961997 17.020

6 19971998 41.120

7 19981999 25.287


(54)

9 20002001 10.574

10 20012002 4.962

11 20022003 1.321

12 20032004 1.163

13 20042010 5.000

Data: Munawar, 2013: 246

Data di atas menunjukkan selama 19 tahun (19922011) telah masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah 154.586 orang. Hingga tahun 2011, Jemaat Ahmadiyah Indonesia memiliki 298 jemaat lokal (berada pada tingkat kecamatan) di berbagai daerah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa Ahmadiyah cukup ekspansif dalam melakukan pertablighan karena tiap tahun banyak orang yang masuk ke dalam Ahmadiyah, yakni 12.465,5 orang pertahun atau 8,33% pertahun orang masuk ke dalam Ahmadiyah (Munawar, 2013: 247).

Jika merujuk pada tipologi sekte yang disebutkan oleh Bryan Wilson, Ahmadiyah termasuk tipe sekte Messianistik. Di dalam Ahmadiyah, doktrin al-Mahdi dan al-Masih merupakan ajaran pokok. Menurut Ahmadiyah, doktrin tentang al-mahdi tidak dapat dipisahkan dari kedatangan Isa al-Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh, yang kedatangannya dijanjikan Tuhan. Ia ditugaskan Tuhan untuk menunjukkan serta meyakinkan masyarakat luas tentang kebenaran Islam. Selain itu, ia juga ditugaskan untuk menegakkan kembali syariat Nabi Muhammad Saw, sesudah


(55)

umatnya mengalami kemerosostan dalam kehidupan beragama (Zulkarnaen: 2005: 83).

Mengenai turunnya al-Masih, kaum muslimin pada umumnya berpendapat bahwa al-Masih yang akan datang pada akhir zaman itu ialah Ibnu Maryam a.s. sementara dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yang dijanjikan kedatangannya bukanlah pribadi Nabi Isa a.s. melainkan salah seorang umat Nabi Muhammad yang mempunyai persamaan dengan Isa al-Masih a.s. Tidak disangkal bahwa Ahmadiyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya mengenai al-Masih. Dengan demikian, al-Masih dan al-Mahdi dalam pandangan Ahmadiyah itu satu pribadi, dan berbeda dengan apa yang diapahami orang pada umumnya (Zulkarnaen: 2005: 85).

4. Sistem Organisasi Ahmadiyah

Ahmadiyah merupakan gerakan dakwah Islam, visi dan misinya adalah dalam rangka tabligh al-Islam. Perbedaannya dengan organisasi Islam yang lain yakni, Ahmadiyah dikoordinir secara sistematis dan terpusat secara Internasional. Sementara itu, keorganisasian Jemaat Ahmadiyah Ahmadiyah di Pondok Udik, Kemang, Bogor yang menjadi markas pengurus besar ini terlihat sangat rapi. Amir merupakan jabatan tertinggi. Amir sebagai kepala eksekutif (administrasi), yang membawahi staf secara nasional. Dalam Ahmadiyah Internasional, Amir ini adalah Gubernur. Dalam hal ini Gubernur yang dimaksud adalah perwakilan pada setiap negara (Sholikhin, 2013: 87).

Agar dakwah dan proses tabligh berjalan dengan efektif, dibentuklah berbagai majlis untuk menangani segmen tertentu, yaitu:


(56)

1. Majlis Ansharullah untuk pria usia di atas 40 tahun.

2. Majlis Khuddam al-Ahmadiyah untuk pemuda yang berumur antara 15 sampai 40 tahun.

3. Lajnah Imaillah untuk kaum perempuan usia 15 tahun ke atas 4. Majlis Athfal al-Ahmadiyah untuk anak laki-laki.

5. Majlis Banat al-Athfal untuk anak-anak perempuan.

Untuk masing-masing majlis dipimpin oleh seorang qaid/qaidah yang berada di bawah garis pertanggungjawaban Amir. Mereka memiliki garis otonom dalam roda organisasi, namun tetap bertanggungjawab terhadap struktur di atasnya. Gerakan-gerakan sosial, terutama Wikari Amal (semacam kerja bakti bersama) menjadi andalan kegiatan dakwahnya (Sholikhin, 2013: 90).

Selain lembaga-lembaga tersebut, di bawah Amir juga terdapat semacam departemen yang dapat dibagi ke dalam tiga kelompok; Tabligh, Tarbiyat, dan keuangan.

Untuk kelompok Tabligh sendiri menangani tujuh bidang, yaitu:

1. Bidang Tabligh, yang bertugas untuk menangani dakwah Ahmadiyah agar menjadi mubayyin ke dalam Ahmadiyah;

2. Bidang Umur Kharijah, yang bertugas untuk menangani hubungan dan urusan-urusan eksternal, atau semacam humas;

3. Isya’at, yang bertugas untuk menangani expo, perpustakaan, maupun publikasi;


(57)

4. Audio-Video, yang bertugas untuk menangani dokumentasi dari keseluruhan kegiatan Ahmadiyah baik dari daerah maupun nasional ke dalam berbagai bentuk;

5. Dhiafat, yang bertugas untuk menangani acara-acara yang dapat diikuti Ahmadiyah, urusan tamu, rapat dan kunjungan-kunjungan;

6. Zira’at, yang bertugas untuk menangani masalah pertanian dan peternakan;

7. Sanat wa Tijarah, perekonomian dan perdagangan.

Sedangkan kelompok Tarbiyat menangani tujuh bidang juga, yaitu:

1. Bidang Tarbiyat, yang bertugas untuk menangani persoalan kependidikan dan regenerasi Ahmadiyah;

2. Bidang Ta’lim, yang bertugas untuk menangani persoalan sekolah resmi, madrasah, beasiswa, dan jami’ah.

3. Bidang Umur Ammah, yang bertugas untuk menangani kegiatan-kegiatan sosial, seperti bencana alam, sumbangan sosial, donor darah dan mata, wikari amal, dan kegiatan sosial lainnya;

4. Bidang Rishta Nata, yang bertugas untuk menangani urusan pernikahan, dan penyuluhan keluarga Ahmadi;

5. Bidang Wakfi Nou, yang bertugas untuk menangani bidang perwakafan anak untuk lembaga. Anak diwakafkan untuk kepentingan adakwah di jalan Allah;

6. Bidang al-Wasiyat, yang bertugas untuk menangani masalah wasiat harta benda untuk jemaat.

7. Bidang Tahrik Jadid dan Perjanjian Lain, yang bertugas untuk menangani masalah perjanjian seperti pendanaan maupun kontrak.


(1)

xlvi

Hasil Wawancara dengan Kepala Desa setempat 1.Identitas Informan

a Nama : Sutisna b Jenis Kelamin : laki-laki

c Umur : 53 tahun

2.Daftar Pertanyaan

a Bagaimana tanggapan anda mengenai keberadaan Ahmadiyah di desa anda? Mereka (Jemaat Ahmadiyah) sudah cukup lama di sini (Pondok Udik). Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak ada masalah, semua baik-baik saja. Tidak ada yang merasa dirugikan oleh keberadaannya. Saya dulu pernah berkunjung ke sana, saya diterima dan disambut dengan baik, walaupun kata orang-orang sulit untuk masuk ke sana.

b Apakah pernah terjadi penolakan terhadap keberadaan Ahmadiyah tersebut? Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak pernah ada warga yang menolak keberadaan Ahmadiyah. Memang dulu pada tahun 2000an di sini pernah terjadi kasus penolakan terhadap Ahmadiyah, tapi saya kurang mengetahui kronologisnya, apakah mereka (yang menolak) dari warga sini atau bukan saya kurang tahu.

c Bagaimana hubungan sosial antara warga dengan anggota Ahmadiyah? Hubungan dengan masyarakat cukup baik, tidak pernah terjadi masalah antara warga dengan anggota Ahmadiyah. Semua hidup berdampingan dan rukun-rukun saja, walaupun mereka sedikit tertutup.

d Apakah warga memprotes adanya kegiatan-kegiatan keahmadiyahan yang dilakukan disekitar lingkungan?

Selama saya menjabat menjadi Kepala desa di sini tidak ada protes atau sebagainya terhadap kegiatan-kegiatan Ahmadiyah, apalagi sampai mengusir mereka.


(2)

xlvii

e Pernahkah diadakan kegiatan yang melibatkan warga dengan anggota Ahmadiyah?

Mereka (Ahmadiyah) ikut berpartisipasi dalam acara-acara bersama seperti agustusa-an, kita juga sering mengajukan bantuan dana kepada mereka (Ahmadiyah).


(3)

xlviii

Hasil Wawancara dengan Ketua RT Setempat 1.Identitas Diri

a. Nama : Yosep b. Jenis Kelamin : laki-laki c. Umur : 47 2.Daftar Pertanyaan

1.Bagaimana tanggapan anda mengenai keberadaan Ahmadiyah di lingkungan sekitar tempat tinggal anda?

Saya pribadi tidak masalah, toh warga sini juga nggak begitu mempermasalahkan, itu kan masalah kepercayaan, jadi harus saling menghormati saja walaupun apa yang mereka yakini sedikit berbeda dengan keyakinan saya.

2.Apakah pernah terjadi penolakan terhadap keberadaan Ahmadiyah tersebut? Ya paling satu-dua orang saja yang nggak bisa menerima, nggakada penolakan besar-besaran, sedangkan yang lain nggak mempermasalahkannya. Waktu ada demo dulu saja nggak ada warga sini yang terlibat, semua berasal dari daerah lain.

3.Bagaimana hubungan sosial antara warga dengan anggota Ahmadiyah? Hubungan warga sini dengan Ahmadiyah baik, nggak ada masalah dengan Ahmadiyah. Bahkan beberapa warga bekerja di sana. Ada juga yang menikah sama anggota Ahmadiyah, memang pada awalnya mereka tertetutup banget sama warga tapi lama-lama mereka sedikit terbuka dengan kita (warga).

4.Apakah warga memprotes adanya kegiatan-kegiatan keahmadiyahan yang dilakukan disekitar lingkungan?

Enggak, warga nggak memprotes, apalagi semenjak dikeluarkannya SKB, mereka melakukan kegiatannya di dalam (komplek) saja. Mereka patuh sama aturan. Yang penting ya saling menghormati aja sih.


(4)

xlix

5.Bila ada protes, bagaimana peran anda dalam mengatasi hal tersebut? 6.Pernahkah diadakan kegiatan yang melibatkan warga dengan anggota

Ahmadiyah?

Kalau kegiatan yang formal sih tidak pernah, tapi kalau kegiatan yang non-formal seperti kerja bakti, bermain sepak bola, bermain volly, dan sebagainya cukup sering. Ya, saya sih berharap mereka bisa lebih dekat dengan warga, lebih sering berkomunikasi dengan kita, biar nggak ada rasa curiga atau apa satu sama lain.


(5)

l Hasil wawancara dengan warga setempat 1.Identitas Diri

d. Nama : Reni Fatmawati e. Jenis Kelamin : Perempuan f. Umur : 37

g. Pekerjaan :PNS h. Agama : Islam 2.Daftar Pertanyaan

a Apa yang anda ketahui tentang Ahmadiyah?

Ahmadiyah itu aliran dalam Islam yang berasal dari Pakistan. Setahu saya Ahmadiyah berbeda dengan Islam pada umumnya, terutama dalam hal kenabian.

b Bagaimana tanggapan anda tentang keberadaan Jemaat Ahmadiyah disekitar lingkungan tempat tinggal anda?

Karena belum lama tinggal di sini (di Pondok Udik) jadi saya tidak begitu tahu soal Ahmadiyah di sini, yang pasti mereka sudah ada sebelum saya pindah di sini (Pondok Udik).

c Pernahkah anda melakukan interaksi sosial dengan anggota Jemaat Ahmadiyah?

Kalau saya sendiri sih belum pernah ya, soalnya saya juga jarang di rumah karena tiap hari kerja dari pagi sampai sore, paling di rumah hari sabtu dan minggu saja. Jangankan sama Ahmadiyah, sama tetangga sekitar saja jarang. d Bagaimana interaksi sosial mereka dengan masyarakat sekitar? Apakah

mereka bersikap eksklusif?

Wah, kalau interaksi (Ahmadiyah) sama masyarakat sekitar saya sendiri kurang tahu ya. Kayaknya sih jarang, soalnya dilihat dari penjagaannya saja ketat, pagarnya tinggi dan dijaga satpam 24 jam, jadi masyarakat juga sulit kalau mau masuk kecuali orang Ahmadiyahnya yang keluar.


(6)

li

a Pernahkah diadakan kegiatan sosial bersama yang mengikutsertakan anggota Jemaat Ahmadiyah?

Karena saya baru 3 tahunan tinggal di sini (Pondok Udik) jadi belum kenal semua warga sini (Pondok Udik), jadi tidak bisa membedakan mana yang anggota Ahmadiyah mana yang bukan anggota (Ahmadiyah).