Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran http:re- searchengines.com2004art05-75.html. Usaha ini dapat terwujud sampai saat ini dikarenakan adanya lembaga formal sebagai penyelenggara pendidikan, yang disebut sekolah. Setiap individu yang menempuh pendidikan tentunya melewati jenjang pendidikan secara bertahap. Salah satu jenjang pendidikan yang akan dilalui adalah Sekolah Menengah Pertama SMP. SMP adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar atau sederajat http:www.kemdiknas.go.idsatuan-pendidikansekolah-menengah- pertama.aspx. Terdapat 253 SMP di kota Bandung, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, salah satunya adalah SMP “X” http:bandungkota.dapodik.orgrekap.php?data=ref=sekolahtipe=2status=3 limit=100hal=2. SMP “X” merupakan sekolah swasta yang berdiri sejak tahun 1954. Kini diusianya yang sudah lebih dari 50 tahun, SMP “X” tumbuh menjadi sekolah 2 Universitas Kristen Maranatha dengan fasilitas lengkap dan segudang prestasi baik dalam kegiatan akademik maupun non-akademik. Sampai saat ini, SMP “X” masih terakreditasi “A”. Begitu banyak fasilitas yang disediakan SMP “X” untuk menunjang siswa dalam belajar, seperti: ruang kelas, laboratorium komputer, laboratorium IPA, laboratorium elektronika, laboratorium bahasa, perpustakaan, lapangan basket, lapangan sepak bola, lapangan bulutangkis. Selain itu, SMP “X” berusaha untuk menyalurkan dan mengembangkan kecerdasan dan bakat siswa melalui berbagai jenis ekstrakulikuler yang wajib diikuti sesuai dengan minat siswa http:www.ypibandung.comprofileyay.html. Jenjang pendidikan di SMP terdiri dari tiga tingkatan kelas. Kelas IX merupakan tingkatan terakhir yang harus dilalui siswa sebelum masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kelas IX di SMP “X” terdiri dari lima kelas yaitu A, B, C, D, dan E. Pada tahun ajaran 2010-2011, sekolah membuat program baru yaitu membagi siswa berdasarkan tingkat kecepatan belajar yang dilihat dari ranking. Siswa yang memiliki kecepatan belajar yang tergolong baik, masuk dalam ranking sepuluh besar, disatukan di kelas B dan C. Sedangkan kelas A, D, dan E terdiri dari siswa yang kecepatan belajarnya rata-rata kurang, bila dibandingkan kelas sebelumnya. Hal ini dilakukan karena adanya keluhan yang muncul dari pihak sekolah terhadap siswa. Pihak sekolah menilai siswa kelas IX tahun ajaran 2010-2011 menunjukan penurunan kompetensi dibandingkan siswa tahun sebelumnya. 3 Universitas Kristen Maranatha Dengan adanya pembagian kelas tersebut maka perlakuan yang diberikan berbeda pula. Perbedaan ini akan terlihat dari tuntutan belajar yang diberikan pada setiap siswa, meskipun kurikulum yang diberikan sama. Siswa di kelas B, C lebih banyak diberikan tantangan dengan soal-soal, pelajaran yang lebih sulit dan tugas yang lebih banyak dibandingkan kelas lain. Siswa dikelas B dan C, lebih banyak ditantang agar mereka semakin termotivasi dalam belajar. Sedangkan kelas A, D, dan E, diberikan tugas yang lebih sedikit jumlahnya dengan tingkat kesulitan yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Perlakuan guru dalam mengajar diharapkan lebih banyak membimbing dan mengarahkan siswanya. Melalui program ini, sekolah berharap bisa menutupi kelemahan siswa sehingga pada hasil ujian nasional nanti diharapkan kelas B dan C menghasilkan nilai ujian nasional yang lebih tinggi secara rata-rata sekolah. Pembagian kelas dengan sistem ini tidak mudah dilakukan karena membutuhkan penyesuaian pada siswa, khususnya kelas B dan C. Siswa di kelas ini awalnya merasa tidak nyaman, tertekan karena persaingan yang begitu ketat tercipta di kelas tersebut. Siswa juga protes, mengapa siswa di kelas B dan C tidak dimasukan ke kelas A, D, atau E. Jika siswa bisa masuk salah satu kelas tersebut, tentunya siswa tersebut bisa mendapat ranking satu. Namun, pihak guru khususnya wali kelas berusaha untuk memberikan pengertian terhadap mereka bahwa kelas B dan C merupakan kelas unggul, siswa yang masuk didalamnya merupakam siswa terbaik, serta pembagian kelas yang dilakukan juga bertujuan baik bagi siswa. Melalui pengertian ini, siswa mulai beradaptasi mengikuti aktivitas belajar yang berlangsung di kelas B dan C. 4 Universitas Kristen Maranatha Siswa di kelas IX SMP “X” menjalani aktivitas belajar mulai dari mengikuti kegiatan belajar reguler yang dilakukan sampai bulan Januari atau maksimal bulan Februari bila ada materi yang belum selesai, mengikuti praktikum, mengikuti ulangan harian, UTS, UAS, ujian perbaikan dan remedial. Disamping itu, siswa wajib mengikuti kegiatan ekstrakulikuler sampai bulan Desember, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan program sekolah seperti study tour, retret yang dilakukan per-kelas, talents competition WARSTC. Siswa kelas IX juga wajib mengikuti persiapan ujian nasional yang mulai dilakukan pada bulan Januari sampai menjelang ujian nasional. Belum lagi ditambah dengan kegiatan lain yang dijalani siswa diluar sekolah antara lain: les pelajaran seperti mafiki matematika, fisika, kimia yang dilakukan sebanyak 2-3 kali dalam seminggu, les musik, les bahasa seperti mandarin, inggris, bermain dan lainnya. Dengan kegiatan tersebut menggambarkan bahwa kelas IX memiliki aktivitas yang padat. Ujian Nasional selanjutnya disebut UN merupakan tantangan terbesar yang harus dilalui siswa sebelum melanjutkan jenjang pendidikannya ke SMA. Menurut peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007 Pasal 2, menjelaskan bahwa tujuan UN adalah menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang diujikan dan mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari satuan 5 Universitas Kristen Maranatha pendidikan, dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan http:www.kpai.go.idpublikasi-mainmenu-33artikel35-sistem-kelulusan-un- melanggar-hak-anak-.html. Pelaksanaan UN yang telah berlangsung, terus-menerus mengalami peningkatan pada standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional SKLUN. Mulai dari tahun 2003 sampai dengan 2010 peningkatan tidak hanya pada angka SKLUN saja tetapi juga jumlah materi pelajarannya. Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan menaikan angka SKLUN tersebut tentunya tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan mudah, justru menimbulkan banyak permasalahan. Seperti, selalu saja ada sejumlah siswa yang dinyatakan tidak lulus UN untuk setiap tahunnya. Tingkat kelulusan siswa SMP pada UN tahun 2010 Bandung menurun hingga 0,85 . Tahun sebelumnya, tingkat kelulusan siswa SMP mencapai 99 , namun pada tahun ini hanya mencapai 98,15 . Dengan jumlah peserta UN sebanyak 34.882 siswa SMP yang tersebar Bandung, terdapat 631 siswa yang dinyatakan tidak lulus http:www.republika.co.idberitapendidikanberita100506114692-siswa- kurang-pede-kelulusan-un-smp-di-bandung-turun-085-persen. Sejauh ini, siswa kelas IX SMP “X” setiap tahunnya menunjukan persentase kelulusan yang tinggi. Biasanya dari seluruh siswa yang dinyatakan tidak lulus hanya satu atau dua orang saja. Rata-rata hasil nilai pada setiap mata pelajaran UN 2010, umumnya berada di angka minimal 7. Namun, menurut guru 6 Universitas Kristen Maranatha BK SMP “X”, menanggapi mata pelajaran yang diujikan dalam UN, siswa di sekolahnya menunjukan kompetensi yang kurang untuk beberapa mata pelajaran. Khususnya, pada pelajaran Matematika, sekitar 50 siswanya masih dibawah kompetensi minimum. Kemudian dilanjutkan pula dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Inggris, yang nanti akan berpengaruh pada nilai rata-rata UN sekolah. Untuk mengatasi ketidaklulusan UN, tentunya pihak sekolah berupaya semaksimal mungkin mempersiapkan siswanya untuk menghadapi UN 2011 agar siswanya lulus. Salah satu bentuk persiapan menghadapi UN yang dilakukan adalah program BBIE Bimbingan Belajar Intensif dan Efektif. Program ini merupakan pemantapan UN yang wajib diikuti oleh siswa kelas IX yang mulai dilakukan pada bulan Januari. Kegiatan belajar yang dijalani siswa kelas IX terasa semakin padat, disamping mereka harus mengikuti kegiatan belajar seperti biasanya untuk beberapa mata pelajaran yang belum selesai di semester ganjil, pada semester genap ditambah dengan pemantapan BBIE yang satu harinya dilakukan selama 3-4 jam, lalu mereka akan mengikuti kurang lebih 4-5 kali try- out yang diselenggarakan sekolah maupun pemerintah. Semua kegiatan belajar tersebut harus dijalani siswa sebaik mungkin agar dapat memenuhi standar kelulusan UN. Sebagai seorang siswa, belajar merupakan kewajiban yang harus dijalani siswa baik di sekolah maupun di rumah, guna mencapai prestasi yang diharapkan. Selain belajar, seringkali ditemui siswa yang tertarik untuk melakukan aktivitas 7 Universitas Kristen Maranatha lain diluar belajar seperti bermain. Perkembangan zaman saat ini memberikan pengaruh pada pencapaian prestasi anak. Seperti banyak bermunculannya game online, internet yang menyediakan berbagai fasilitas facebook,twitter,chatting, permaian dikomputer, siaran televisi yang menyediakan tontonan yang menarik, handphone, dan pusat-pusat perbelanjaan yang terus menerus berkembang membuat mereka selalu ingin bermain sehingga proses belajar menjadi terabaikan Handy. S, 2006. Pada dasarnya, besarnya keinginan siswa untuk bermain, padatnya aktivitas belajar, dan berapapun nilai yang dipersyaratkan dalam UN seharusnya bukan menjadi hal yang menghambat siswa untuk menempuh pendidikan di SMP secara optimal. Siswa kelas IX SMP “X” diharapkan dapat mengatur dirinya dalam proses belajar. Di dalam proses belajar, seseorang akan memperoleh prestasi belajar yang baik bila ia menyadari tanggung jawab dan mengetahui cara belajar yang efesien. Hal ini membutuhkan pengaturan diri yang baik pada siswa untuk bisa memenuhi tuntutan lingkungan. Hal ini bisa dimulai dengan menentukan target yang ingin dicapainya saat ini, misalnya lulus UN dengan nilai tertentu. Kemudian menentukan strategi apa yang perlu disusun untuk bisa mencapai target tersebut, misalnya dengan rajin mengulang pelajaran setiap hari. Kemudian mereka melaksanakan setiap strategi tersebut dan mengevaluasi hasil pencapaiannya, dan mulai menentukan langkah kedepan yang lebih baik lagi. Dengan demikian, siswa semakin mengoptimalkan kemampuan mereka dalam mencapai keberhasilan pendidikannya, yang oleh 8 Universitas Kristen Maranatha Zimmerman dalam Boekarts, 2000 disebut sebagai self-regulation. Self- regulation diartikan sebagai pikiran thoughts, perasaan feelings, dan tindakan action yang direncanakan dan diadaptasikan secara terus-menerus untuk mencapai tujuan pribadi personal goals Boekarts, 2000. Self-regulation dideskripsikan pula sebagai sebuah siklus feedback dari tingkah laku performance sebelumnya digunakan untuk membuat penyesuaian usahanya saat ini. Siklus ini terdiri dari tiga fase yaitu fase forethought perencanaan, performance or volitional control pelaksanaan dan self-reflection refleksi diri. Menurut Boekaerts 2000, dalam Handy. S, 2006, ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan seorang siswa untuk mencapai prestasi yang optimal seperti kecerdasan, lingkungan rumah dan sekolah. Self-regulation, memang bukan satu-satunya penujang keberhasilan siswa dalam belajar. Tetapi kemampuan self-regulation penting dimiliki siswa karena self-regulation turut mempengaruhi keberhasilan siswa. Dalam menempuh pendidikan, meskipun siswa memiliki kemampuan inteligensi yang baik, lingkungan rumah dan sekolah yang mendukung, tapi tanpa ditunjang oleh kemampuan self-regulation yang baik, siswa tidak akan mampu mencapai prestasi yang optimal. Berdasarkan survey yang dilakukan peneliti dengan menggunakan kuesioner dan wawancara, kepada seluruh 40 orang siswa k elas IX B SMP “X” Bandung, diperoleh gambaran self-regulation pada setiap siswa berkaitan erat dengan ketiga fase dalam self-regulation. Pada fase perencanaan forethought, diketahui bahwa 40 siswa 100, sudah mampu untuk menentukan target yang 9 Universitas Kristen Maranatha ingin mereka capai saat ini di kelas IX goal setting, seperti: lulus UN dengan nilai bagus diatas 7 untuk semua mata pelajaran, ingin menjadi juara kelas, ranking 10 besar, nilai UN tertinggi se-Bandung agar membanggakan orang tua, dan nilai-nilainya tidak ada yang merah. Dengan adanya target, perilaku siswa dalam belajar lebih terarah untuk mencapai target tersebut. Setelah bisa menetapkan target bagi diri siswa sendiri, kemudian siswa mulai menyusun strategi belajar yang tepat strategic planning. Dalam hal menentukan strategi belajar, berdasarkan survey, 40 siswa 100 memiliki strategi belajar yang siswa susun sendiri agar bisa lulus UN, seperti menyusun jadwal belajar, belajar 1-2 jam sehari, mengurangi waktu bermain dan menambah waktu belajar, lebih sering membaca buku pelajaran setiap hari, mencicil materi kelas VII, VIII, IX untuk UN, berdoa, rajin membuat tugas, mengikuti bimbelles, dan mengerjakan soal-soal UN. Selain itu, dari 40 siswa 100, diketahui bahwa 39 siswa 97.5 memiliki keyakinan bahwa melalui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, mereka bisa mencapai target yang diinginkan self-motivation beliefs. Sedangkan 1 siswa 2.5 tidak yakin bahwa dirinya bisa mencapai targetnya karena kekurangan yang dimilikinya. Dari hasil survey ini, terlihat jelas bahwa siswa memiliki kemampuan untuk melakukan fase pertama ini. Fase kedua, yaitu performancevolitional control, pada fase ini setiap siswa melaksanakan setiap perencanaan yang telah disusun sebelumnya. Dari 40 siswa, hanya terdapat 19 siswa 47.5 yang menyatakan bahwa sudah mampu 10 Universitas Kristen Maranatha mengarahkan diri untuk melaksanakan strategi yang telah disusun self- instruction. Siswa tersebut mengarahkan dirinya untuk mencicil pelajaran setiap hari satu halaman, rajin datang ke les setiap hari Senin sampai Jumat, dan rajin belajar. Sedangkan sisanya, 21 orang siswa 52.5 menyatakan dirinya masih sulit mengarahkan diri untuk menjalankan seluruh strategi belajarnya, masih ada yang sering membolos les, belajar kalau ada tugas atau ulangan saja, serta belajar dengan sistem kebut semalam jika ada ujian. Menurut siswa, strategi belajar yang mereka susun pada dasarnya berguna sekali bila dijalankan dengan rutin dan konsisten. Dengan membayangkan menjalankan strategi belajar yang telah mereka susun imagery, dapat membantu siswa dalam menggambarkan keseluruhan proses yang akan mereka lalui agar targetnya dapat tercapai. Dari 40 orang siswa 100 membayangkan bila keseluruhan proses dari strategi belajar tersebut bisa dijalankan dengan baik maka memungkinkan mereka untuk bisa mencapai targetnya. Hal ini juga mendorong mereka untuk semangat menjalankan setiap strateginya. Sebanyak 40 siswa 100 mengatakan bahwa dalam kenyataannya, proses pelaksanaan strategi belajar tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Sehingga, awalnya dibayangkan akan efektif dan mudah berbanding terbalik dengan yang mereka alami. Hal ini disebabkan adanya berbagai gangguan yang mereka temui di lingkungan ketika menjalankan setiap strategi belajar. Konsentrasi mereka mudah terganggu saat belajar baik di kelas maupun di rumah. Dari 40 siswa 100, 11 Universitas Kristen Maranatha terdapat 8 siswa 20 yang bisa mempertahankan konsentrasinya ketika belajar, seperti mendengarkan penjelasan guru meskipun pelajarannya membosankan, mematikan handphone dan komputer, menyembunyikan remote TV selama belajar di rumah. Sedangkan, 10 siswa 25 kadang-kadang masih mampu mempertahankan konsentrasinya ketika belajar. Sedangkan, 22 siswa 55 lainnya mengatakan sulit berkonsentrasi saat belajar. Hal ini dikarenakan pelajarannya membosankan, pelajarannya tidak dimengerti, mengantuk, malas, dan sehingga lebih memilih untuk mengobrol dengan teman, sms-an. Sedangkan di rumah, perhatian mereka teralih untuk main internet, bermain game, dan menonton. Oleh karena itu, dibutuhkan attention focusing, Kuhl mengemukakan agar proses attention focusing yang dilakukan dapat efektif, maka mereka perlu mengabaikan gangguan-gangguan yang ada di sekitar lingkungannya dalam proses pelaksanaan strategi belajar yang sedang dilakukan Kuhl, 1985, dalam Boekaerts, 2000. Selanjutnya, diperlukan task strategies dalam setiap strategi belajar yang siswa buat. Terdapat 15 25 siswa yang membuat ringkasan materi pelajaran ketika guru menerangkan pelajaran dikelas ataupun ketika akan menghadapi ujian. 4 10 siswa yang belajar mencicil setiap harinya yang digunakan untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Sedangkan, 21 52.5 siswa kesulitan untuk melakukan setiap strategi belajar yang telah disusun. Melalui task strategies, seluruh siswa 100 mengakui bahwa mereka menyadari setiap perilaku yang mereka tampilkan dalam menjalankan kegiatan 12 Universitas Kristen Maranatha belajarnya self-observation. Dari 40 siswa 100, 2 5 siswa yang menyadari adanya peningkatan nilai-nilai yang diperolehnya saat ini dibandingkan kelas sebelumnya self-recording, sedangkan 38 95 siswa lainnya menyadari bahwa nilai mereka jelek atau tidak meningkat karena masih belajar dengan cara belum benar seperti belajar kalau ada ujian. Melalui pengamatan yang dilakukan self-recording, terdapat 15 siswa 37.5 siswa yang mencoba langkah baru dalam belajar, seperti mencari bahan-bahan tugas dan soal-soal UN melalui media internet, membuat kelompok belajar untuk diskusi, belajar dengan musik, dan belajar diwaktu sepi. Sedangkan sisanya 25 siswa 62.5 tetap bertahan dengan cara belajar sebelumnya self-experimentation. Setelah siswa menjalani fase performancevolitional control dengan melaksanakan perencanaan di fase pertama. Maka, pada fase ketiga ini yaitu fase self-reflection, siswa membandingkan antara hasil dari pencapaian tujuan yang diinginkan dengan strategi belajar yang telah dilakukan self-evaluation. Dari 40 siswa 100, terdapat 2 siswa 5 yang menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan berkaitan dengan kemampuan mereka yang dapat menunjang dalam belajar. Sedangkan 38 siswa lainnya 95, mengatakan usaha yang mereka lakukan belum maksimal, seperti: nilai-nilai mereka masih kurang dari yang diharapkan. Dikarenakan usaha mereka belum maksimal dalam belajar khususnya melakukan strategi belajar dengan rutin dan meniadakan hambatan dalam belajar causal attribution. 13 Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan evaluasi yang mereka lakukan, maka siswa akan mempersepsi hasil yang mereka capai self-satisfaction. Siswa akan merasa puas bila target yang telah ditetapkan sebelumnya bisa tercapai, begitupula sebaliknya. Terdapat 3 siswa 7.5 yang mengatakan sudah cukup puas karena saat ini target mereka untuk mendapatkan nilai-nilai yang bagus sudah tercapai. Sementara, 37 siswa 92.5 belum puas karena nilai-nilainya masih banyak yang kurang, nilainya masih dibawah teman-teman , masih banyak teman yang harus disaingi, strategi belajar yang telah dibuat belum dilakukan dengan maksimal, dan belum melalui UN sehingga belum tahu hasil pencapaianya yang didapat. Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan terhadap seluruh siswa kelas IX B SMP “X” menunjukan bahwa siswa memiliki kemampuan yang baik untuk melakukan fase forethought dan fase self-evaluation dalam self-regulation. Namun pada fase kedua tampaknya siswa Kelas IX B SMP “X” Bandung, memiliki kesulitan mengarahkan dirinya agar fokus dan konsisten mewujudkan setiap perencanaan yang telah disusun demi tercapainya target yang diinginkan. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran self-regulation fase performancevolitional dalam bidang akademik pada siswa Kelas IX B dan C SMP “X” Bandung. 14 Universitas Kristen Maranatha

1.2 Identifikasi Masalah