Definisi dan kriteria diagnostik Diabetes mellitus tipe 2 Neuropati otonomik pada diabetes mellitus

2.2 Definisi dan kriteria diagnostik Diabetes mellitus tipe 2

Menurut American Diabetes Association ADA tahun 2010, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia yang terjadi secara kronik akan merusak target organ seperti mata, ginjal, otak, jantung beserta pembuluh darahnya PERKENI, 2011, Boudina S, dkk. . Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh whole blood, vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO PERKENI, 2011. Tabel 2.1. Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut American Diabetes Association 2011 PERKENI 2011.

2.3 Neuropati otonomik pada diabetes mellitus

Neuropati otonomik diabetik NOD merupakan salah satu komplikasi dari diabetes yang kurang jelas dan dimengerti secara baik namun telah diketahui bahwa efek negatifnya sangat besar terhadap morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan DM. NOD dapat melibatkan seluruh sistem saraf otonom, termasuk sistem saraf vasomotor, viseromotor dan serat sensorik yang menginervasi setiap organ. NOD dapat bermanifestasi secara klinis pada sistem organ seperti kardiovaskular, gastrointestinal, genitourinari, sudomotor dan okular, maupun secara subklinis Aaron I. Vinik, dkk., 2007, Boudina S, dkk., 2007. Gejala klinis NOD secara umum tidak terjadi beberapa lama setelah onset diabetes. Gejala yang mengarah pada disfungsi otonomik sangat sering, namun gejala tersebut biasanya oleh karena penyebab lain selain neuropati otonomik yang sebenarnya. Disfungsi otonomik yang subklinis dapat terjadi pada setahun pertama setelah diagnosis DM tipe 2 dan dalam 2 tahun pertama setelah terdiagnosis DM tipe 1. Oleh karena komplikasi yang dihasilkan dari NOD terutama kematian oleh karena kardiovaskular sangat tinggi, maka Neuropati Otonomik Kardiovaskular NOK secara klinis dianggap penting dan paling banyak dipelajari daripada NOD secara umum Aaron I. Vinik, dkk., 2007. 2.4 Neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes sebagai penyebab respon otonomik denyut jantung yang abnormal tingginya denyut jantung saat istirahat dan memburuknya pemulihan denyut jantung. Komplikasi yang paling penting dan paling serius dari diabetes adalah neuropati otonomik kardiovaskular NOK. NOK terjadi akibat kerusakan serat saraf otonomik yang menginervasi jantung dan pembuluh darah sehingga menyebabkan abnormalitas pada kontrol denyut jantung dan dinamik vaskuler. Berkurangnya variasi denyut jantung heart rate variability adalah merupakan indikator awal NOK McGuire KD, dkk., 2012 . Pada beberapa review epidemiologi, bahwa pada seseorang penderita diabetes yang mengalami NOK akan memiliki risiko mortalitas dalam 5 tahun 5 kali lebih tinggi daripada tanpa keterlibatan otonomik kardiovaskular. Sedikit informasi yang didapatkan mengenai NOK pada populasi diabetes. NOK dapat saja baru diketahui saat diagnosis diabetes ditegakkan dan prevalensinya meningkat sesuai umur, durasi menderita diabetes dan kontrol gula darah yang buruk Aaron I. Vinik, dkk., 2007. Manifestasi klinis NOK dapat berupa Aaron I. Vinik, dkk., 2007 : a. Takikardia saat istirahat Variabilitas denyut jantung merupakan tanda awal untuk suatu NOK, takikardia saat istirahat dan denyut jantung yang tetap merupakan temuan akhir pada pasien diabetes dengan gangguan fungsi vagal. Denyut jantung istirahat diantara 90-100 kali permenit dan terkadang dapat mencapai 130 kali permenit dapat saja terjadi. Denyut jantung istirahat tertinggi dapat terjadi pada pasien dengan kerusakan parasimpatik yang biasanya terjadi lebih awal daripada kerusakan saraf simpatik. Pada pasien diabetik dengan kombinasi kerusakan vagal dan simpatik, denyut jantung dapat kembali ke normal namun masih lebih tinggi dari awalnya. Denyut jantung yang tingkat variabilitasnya kurang, tidak berespon terhadap latihan tingkat sedang, stress atau dalam keadaan tidur mengindikasikan denervasi jantung yang hampir komplit. b. Toleransi latihan Disfungsi otonomik berpengaruh terhadap toleransi latihan diantaranya dengan berkurangnya respon denyut jantung dan tekanan darah dan kegagalan dalam meningkatkan cardiac output terhadap derajat latihan. Pasien diabetik yang berpotensi besar untuk memiliki NOK sebaiknya sebelum menjalani program latihan fisik, harus dilakukan uji latih treadmill terlebih dahulu. c. Instabilitas kardiovaskular intra dan perioperatif Morbiditas dan mortalitas perioperatif kardiovaskular mencapai 2-3 kali lipat pada pasien dengan diabetes. Dibandingkan dengan subyek nondiabetik, pasien dengan diabetik yang menjalani anastesi umum akan cenderung mengalami penurunan denyut jantung dan tekanan darah selama induksi anastesi dan sedikit mengalami peningkatan setelah intubasi dan ekstubasi. Topangan vasopresor umumnya diperlukan pada pasien dengan NOK. d. Hipotensi ortostatik Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai sebagai penurunan tekanan darah 30 mmHg pada sistolik atau 10 mmHg pada diastolik sebagai respon terhadap perubahan postural dari terlentang sampai berdiri. Kumpulan gejalanya yakni kelemahan,pingsan, pening, gangguan penglihatan, dan bahkan pingsan seketika setelah perubahan dari telentang ke berdiri. Gejala ortostatik mungkin dapat disalahpahamkan sebagai gejala hipoglikemia. Secara normal, perubahan dari tidur ke berdiri akan mengaktifkan baroreseptor hingga menstimulasi refleks simpatik sehingga menyebabkan meningkatnya resistensi vaskuler dan akselerasi jantung. Pada pasien dengan diabetes, hipotensi ortostatik disebabkan oleh kerusakan serat eferen vasomotor simpatik. Pada seseorang dengan diabetes terjadi penurunan respon norepinephrin relatif terhadap penurunan tekanan darah. Jika penyebab hipotensi ortostatik adalah NOK, tujuan terapi tidak hanya terdiri dari terapi untuk meningkatkan tekanan darah disaat berdiri, tetapi juga bagaimana mencegah terjadinya hipertensi pada saat telentang. Pasien juga di KIE untuk menghindari situasi pencetus misalnya mandi dengan shower air hangat, dimana akan menyebabkan sinkope mendadak sehingga akan terjadi cedera akibat terjatuh. e. Sindrom ortostatik takikardi dan bradikardi Sindrom yang berhubungan dengan ortostatik seperti perasaan akan pingsan atau pening, parestesia sirkumoral dan sakit kepala dapat terjadi pada perubahan posisi dari telentang sampai bediri sehingga menyebabkan sindrom postural takikardi Postural Tachycardia SyndromePOTS. Tanda utamanya yaitu tidak ada penurunan tekanan darah disaat berdiri, hanya takikardi dan bradikardi saat perubahan postur. f. Iskemia miokardial yang tak bergejala sindrom denervasi jantung. Berkurangnya sensasi nyeri iskemik dapat menghambat pemberian terapi yang maksimal. Pada pasien dengan diabetes, meningkatnya ambang perasaan angina disaat latihan diketahui dari selisih waktu antara onset depresi segmen ST EKG sampai terjadinya angina berhubungan dengan NOK. Iskemia silent pada pasien diabetik yang disebabkan oleh karena NOK, dapat terjadi disfungsi otonomik sehingga mempengaruhi penyakit jantung koroner itu sendiri atau dapat juga keduanya. Mekanisme kurangnya perasaan nyeri iskemia miokard pada pasien ini sangat kompleks dan tidak dimengerti secara jelas. Mekanisme yang mungkin dapat dijelaskan secara rasional adalah oleh karena berubahnya ambang nyeri dan disfungsi serat saraf afferent otonomik jantung. Beberapa faktor prognostik mayor yang dapat dinilai dari uji latih treadmill dan menunjukkan adanya neuropati otonomik kardiovaskular akibat diabetes mellitus diantaranya yakni Todd D. Miller, dkk., 2008, Goraya TY, dkk., 2000, Roger VL, dkk., 1998 : a. Denyut jantung saat istirahat resting heart rate Pentingnya denyut jantung saat istirahat sebagai faktor prognostik dan target terapi yang potensial belum diterima secara luas. Namun pada beberapa studi besar menunjukkan bahwa resting HR yang tinggi sebagai prediktor meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan diabetes. Dan denyut jantung istirahat yang tinggi juga dikatakan berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes Jamal S. Rana, 2009 . Denyut jantung istirahat yang meningkat merupakan suatu penanda aktifitas simpatik yang meningkat dan suatu keadaan simpatik yang tinggi akan menyebabkan suatu kondisi resistensi insulin oleh karena stimulasi adrenergic sehingga terjadi disfungsi otonomik. b. Kapasitas fungsional Disimpulkan dari beberapa penelitian bahwa marker prognostik yang paling penting pada uji latih adalah kapasitas fungsional atau jumlah usaha kerja yang telah dilakukan sebelum kelelahan. Dan pada beberapa literatur juga menunjukkan bahwa kapasitas fungsional merupakan prediktor independen kuat untuk all-cause mortality dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Kemudian akhir-akhir ini kapasitas fungsional telah dipelajari berdasarkan konteks klinis. Contohnya yakni, studi yang melibatkan 3000 pasien menjalani uji latih dengan single-photon emission CT perfusion imaging miokardial, menunjukkan bahwa kapasitas fungsional sebagai prediktor kuat all-cause death sebagaimana hal yang sama juga ditunjukkan oleh perfussion defect tersebut. Hasil yang sama juga didapat dari studi kohort yang menyimpulkan kapasitas fungsional sebagai prediktor yang lebih kuat dibandingkan derajat keparahan penyakit koroner dan depresi ST. Dan apabila kapasitas fungsional dan ada atau tidaknya penyakit koroner melalui angiografi dipakai sebagai pertimbangan faktor prediktor, didapatkan hanya kapasitas fungsional yang dapat memprediksikan kematian pada pasien dengan penyakit jantung. Hal ini digambarkan pada gambar 2 berikut Myers, dkk. 2010. Gambar 2.1. Kapasitas fungsional, angiografi koroner dan risiko kematian. Kapasitas fungsional sebagai prediktor kematian yang lebih baik dibandingkan dengan ada atau tidaknya lesi obstruksi koroner dari angiografi Myers, dkk. 2010. Walaupun kapasitas fungsional merupakan faktor prognostik yang kuat, penggunaannya masih belum ada standardisasi yang jelas. Kapasitas fungsional berhubungan erat dengan umur dan jenis kelamin. Kapasitas fungsional cenderung berkurang seiring umur dan lebih tinggi pada pria sehat dibandingkan wanita yang sehat. Beberapa studi menunjukkan kapasitas fungsional dikatakan abnormal apabila pada wanita 5 METs dan pada pria 7 METs. Sedangkan studi yang lain berdasarkan kuartil terendah berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin Todd D. Miller, dkk., 2008. c. Respon kronotropik selama latihan Secara normal denyut jantung akan meningkat selama latihan. Sebagaimana fisiologis tubuh, respon denyut jantung yang meningkat selama latihan disebabkan oleh berkurangnya inhibisi parasimpatik kemudian dilanjutkan dengan meningkatnya stimulasi simpatis. Penurunan tonus parasimpatik disertai dengan peningkatan tonus simpatik akan menyebabkan stimulasi sinus node dan peningkatan denyut jantung. Inkompetensi kronotropik adalah ketidakmampuan meningkatnya denyut jantung secara normal seiring meningkatnya usaha latihan. Colucci et al menyebutkan terganggunya respon kronotropik kemungkinan oleh karena berkurangnya senstitifitas sinus terhadap rangsangan simpatis. Tantangan utama dalam menggunakan respon kronotropik adalah menentukan bagaimana mengkarakteristikan secara baik. Pendekatan yang paling sederhana adalah dengan mencatat denyut jantung puncak dan perubahan denyut jantung selama latihan. Denyut jantung puncak berhubungan dengan umur, semakin menurun dengan meningkatnya umur. Rumus maximal- predicted heart rate berdasarkan umur yakni : 220-umur dalam tahun sehingga seseorang dengan umur 40 tahun memiliki maximal-predicted HR 180 kali permenit. Ketidakmampuan mencapai minimal 85 dari denyut jantung puncak sesuai umur dapat dikatakan sebagai inkompetensi kronotropik dan memprediksikan tingkat kematian Todd D. Miller, dkk., 2008. d. Pemulihan denyut jantung heart rate recovery Selama beberapa menit pertama setelah latihan denyut jantung akan semakin menurun, ini merupakan fenomena yang sangat berhubungan dengan fungsi otonomik. Penurunan denyut jantung selama 30 detik sampai 1 menit setelah latihan secara primer berhubungan dengan reaktivasi parasimpatis. Oleh karena banyak literatur yang menghubungkan antara fungsi dan disfungsi sistem saraf parasimpatis dengan mortalitas, maka banyak penelitian yang menghubungkan pemulihan denyut jantung yang lambat setelah uji latih memprediksikan meningkatnya risiko kematian. Melemahnya pemulihan denyut jantung dapat sebagai prediktor mortalitas tidak bergantung pada perancu misalnya fungsi sistolik ventrikel kiri, kapasitas fungsional, dan derajat keparahan penyakit koroner berdasarkan hasil angiografi. Penggunaan pemulihan denyut jantung sangat tergantung dari protokol yang dipergunakan. Protokol yang pertama yakni dengan pendinginan berdiri disertai jalan lambat selama 2 menit setelah uji latih. Protokol tersebut menggunakan cut point pemulihan denyut jantung 12 kali permenit. Namun pada pasien yang menjalani protokol berbeda yakni yang menjalani stress echocardiography atau yang duduk setelah uji latih nilai pemulihan denyut jantung akan lebih tinggi yakni dengan cut point 18 kali permenit. Dan masih belum banyak dimengerti mengapa pasien dengan pemulihan denyut jantung yang abnormal memiliki risiko kematian yang lebih besar, beberapa menyimpulkan hal ini berkaitan dengan kecenderungan terjadinya aritmia yang fatal dan kejadian mati mendadak. Adanya ektopik ventikel yang sering selama periode istirahat setelah uji latih itu memprediksi kematian lebih baik daripada adanya ektopik ventrikel selama latihan Todd D. Miller, dkk., 2008. Pemulihan denyut jantung dan respon kronotropik menunjukkan adanya hubungan terhadap derajat keparahan penyakit koroner yang ditinjau dari angiografi, namun hubungannya lemah. Masih kurang jelas apakah pengukuran denyut jantung memprediksikan respon terhadap revaskularisasi. Satu studi observasional terakhir menemukan bahwa pemulihan denyut jantung dapat dipergunakan mengidentifikasi pasien dengan iskemia yang memiliki keuntungan dari strategi revaskularisasi. Yakni pasien iskemia yang pemulihan denyut jantungnya terganggu memiliki risiko sangat tinggi mortalitas jangka panjang dan tidak mendapatkan keuntungan dari segi derajat mortalitas Todd D. Miller, dkk., 2008. d. Ektopik ventrikuler selama pemulihan Seringnya ektopik ventrikel selama fase pemulihan tes treadmill meningkatkan angka kematian pada pasien pasca infark miokard. Yang didefinisikan sebagai ektopik ventrikel yang sering yakni 7 denyut prematur ventrikel permenit, kuplet, bigemini ataupun trigemini atau beberapa bentuk takikardia ventrikel mono atau polimorfik dan fibrilasi ventrikel Todd D. Miller, dkk., 2008. 2.5 Neuropati otonomik kardiovaskuler, risiko mortalitas dan hubungannya dengan kejadian kardiovaskuler mayor. Mekanisme bagaimana NOK meningkatkan kematian masih belum jelas. Beberapa studi menunjukkan 2-3 kali risiko NOK pada pasien dengan diabetes dengan interval QT yang memanjang, sehingga menimbulkan spekulasi bahwa NOK juga dapat menginduksi aritmia ventrikel maligna dan kematian mendadak dari henti jantung yang disebabkan oleh torsade de pointes sebagaimana yang terjadi pada pasien sindrom QT memanjang. Sangat sulit menentukan NOK sebagai penyebab mortalitas oleh karena koeksistensi dengan penyakit kardiovaskuler Junko Watanabe, dkk., 2001. Hubungan antara NOK dengan kejadian kardiovaskular mayor telah diuji dengan 2 buah studi prospektif. Secara spesifik, hubungan antara NOK dan insiden kejadian kardiovaskular fatal dan nonfatal infark miokard, gagal jantung, resusitasi oleh karena VTVF atau revaskularisasi koroner kemudian selanjutnya dinilai, didapatkan risiko relatif 2,2 dan 3,4 Muhammad Ridwan J, dkk., 2008. Sedangkan hubungan NOK dengan kematian salah satunya yakni terjadinya iskemia yang cukup parah pada jantung namun pasien tetap asimptomatik, hal ini selanjutnya akan menginduksi aritmia yang fatal. QT yang memanjang mungkin juga cenderung menyebabkan seseorang rentan terhadap aritmia jantung yang mengancam jiwa dan kematian. Hasil dari penelitian European Diabetes Insulin-Dependent Diabetes Melitus IDDM Complications, menunjukkan pasien laki-laki dengan variasi denyut jantungHRV Heart Rate Variability yang terganggu memiliki QTc yang lebih panjang daripada yang tanpa komplikasi. Signifikansi NOK sebagai penyebab kematian mendadak yang independen, dari beberapa penelitian menyimpulkan bahwa walaupun NOK mungkin berkontribusi terhadap kejadian mati mendadak tetapi tidak secara signifikan sebagai faktor independen kematian mendadak oleh karena ditemukan di semua kasus mati mendadak pada penelitian tersebut baik yang dengan diabetes maupun tanpa diabetes keduanya memiliki penyakit jantung koroner yang parah atau disfungsi ventrikel kiri McGuire KD, dkk., 2012. Gambar 2.2. Risiko relatif 95 CI hubungan antara NOK CAN dan mortalitas, berdasarkan 15 penelitian McGuire KD, dkk., 2012.

2.6 Faktor risiko tradisional dan hubungannya dengan respon otonomik jantung