Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 dan Obat Antidiabetes Oral Terhadap Hasil Terapi di Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

(1)

PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN

TENTANG PENYAKIT DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN

OBAT ANTIDIABETES ORAL TERHADAP HASIL TERAPI

DI POLIKLINIK ENDOKRIN RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH

SKRIPSI

OLEH:

NOVAL SAHPUTRA NIM 121524072

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN

TENTANG PENYAKIT DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN

OBAT ANTIDIABETES ORAL TERHADAP HASIL TERAPI

DI POLIKLINIK ENDOKRIN RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara OLEH:

NOVAL SAHPUTRA NIM 121524072

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PENGARUH TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN

TENTANG PENYAKIT DIABETES MELITUS TIPE 2 DAN

OBAT ANTIDIABETES ORAL TERHADAP HASIL TERAPI

DI POLIKLINIK ENDOKRIN RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN

BANDA ACEH

OLEH:

NOVAL SAHPUTRA NIM 121524072

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 7 Agustus 2015 Panitia Penguji,

Dr. Wiryanto, M.S., Apt. NIP 195110251980021001

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006

Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 195111021977102001

Medan, Agustus 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pembantu Dekan I

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002

Dosen Pembimbing II, Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006 Dosen Pembimbing I,


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta Shalawat dan Salam kepada Nabi Allah: Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul:

“Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit Diabetes Melitus Tipe β

dan Obat Antidiabetes Oral Terhadap Hasil Terapi di Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., dan Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan kesabaran yang begitu besar dalam membimbing penulis selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. Bapak Dr. Wiryanto, M.S., Apt., Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., sebagai Wakil Dekan I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas dan membantu kelancaran pendidikan penulis selama perkuliahan hingga selesai, dan Bapak Drs. Nahitma Ginting., M.Si., Apt., selaku penasihat akademik yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan

Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ibunda Rukiah dan Ayahanda Muhammad serta kakak, adik dan seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, dorongan moril dan materil kepada penulis selama ini serta sahabat-sahabatku Ekstensi angkatan 2012 terima kasih untuk perhatian, semangat, dan doa nya selama ini dan seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan, motivasi dan inspirasi bagi penulis selama masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

Noval Sahputra NIM 121524072


(6)

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 dan Obat Antidiabetes Oral Terhadap Hasil Terapi di

Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Abstrak

Pendahuluan: Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia dan lebih dari 90% adalah penderita DM tipe 2. Saat ini DM merupakan ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke-21. Dalam hal penanggulangan DM, penderita DM harus memiliki pengetahuan yang baik tentang DM dan obat antidiabetes oral yang akhirnya dapat mencegah penderita dari mortalitas dan morbiditas penyakit DM.

Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral terhadap hasil terapi.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan penelitian survei cross sectional. Populasi penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 rawat jalan Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh bulan November 2014 - Desember 2014. Sampel penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik convenience sampling sebanyak 100 orang. Pengambilan data menggunakan kuesioner.

Hasil: Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosiodemografi

responden terbanyak yaitu: kelompok umur 40-60 tahun sebanyak 69% (69 orang), jenis kelamin perempuan sebanyak 53% (53 orang), pendidikan

SMA/sederajat sebanyak 62% (62 orang), pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 31% (31 orang), penghasilan < Rp. 1.500.000 sebanyak 34% (34 orang), lama menderita DM selama 1-10 tahun sebanyak 58% (58 orang). Tingkat pengetahuan penderita DM tipe 2 sebagian besar berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 56% (56 orang) dan untuk hasil uji hubungan sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan menunjukkan nilai yang signifikan antara pendidikan dan pekerjaan terhadap tingkat pengetahuan (p < 0,05), sedangkan untuk hasil uji hubungan tingkat pengetahuan terhadap HbA1C menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik antara pengetahuan dan HbA1C, dimana nilai korelai (r) yang diperoleh adalah minus (- 0,100).

Kesimpulan: Tingkat pengetahuan pasien dalam penelitian ini berada di tahap sedang dan belum sampai pada tingkat yang memuaskan. Hasil uji hubungan sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan menunjukkan bahwa, pendidikan dan pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan. Sedangkan dari hasil uji hubungan tingkat pengetahuan terhadap hasil terapi yang dilihat dari nilai HbA1C, menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi nilai HbA1C, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan maka HbA1C rendah, begitu juga sebaliknya.


(7)

Effect of Patient Knowledge About Diabetes Mellitus Type 2 and Oral antidiabetic To Drug Therapy Results in Endocrine Polyclinic

Public Regional Hospital of dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Abstract

Introduction: Diabetes mellitus (DM) is a public health problem that is quite large in Indonesia and more than 90% are patients with diabetes mellitus type 2. Currently DM is a major threat to human health in the 21st century. In terms of prevention of DM, DM patients must have a good knowledge about diabetes and oral antidiabetic drugs that ultimately could prevent patients from DM disease mortality and morbidity.

Objective: To determine the effect of the patient's level of knowledge about type 2 diabetes and oral antidiabetic drug on therapy outcomes.

Methods: This study was descriptive analytic survey with cross sectional study design. Population of this study was outpatients of Type 2 Diabetes Mellitus in policlinic endocrine of Public Regional Hospital dr. Zainoel Abidin Banda Aceh during November 2014 - December 2014. The research sample was selected using a convenience sampling technique as many as 100 people. Data collecting used questionnaires.

Results: The results showed that most respondents sociodemographic characteristics, was: 40-60 years old as 69% (69 patients) for age group, 53% (53 patients) woman for genre, 62% (62 patients) High School/equivalent for education, 31% (31 patients) housewife for jobs, 34% (34 patients) < Rp. 1.500.000,- for income and 1-10 years at 58% (58 patients) for morbidity duration. The level of knowledge of patients with type 2 diabetes mostly in middle category as many as 56% (56 patients) and the correlation test result of the sociodemographic to knowledge level showed significant value between education and employment on the level of knowledge (p <0.05), whereas for the correlation result level of knowledge to HbA1C showed an inverse correlation between knowledge and HbA1C, where the value of correlation (r) obtained was minus (- 0,100).

Conclusions: The level of knowledge of the patients in this study were in the middle stage and not yet at a satisfactory level. The correlation test results of sociodemographic to the level of knowledge indicated that education and employment can affect knowledge. While the correlation test results between knowledge to the therapeutic results seen from the HbA1C value, indicated that the level of knowledge may affect the value of HbA1C, where the higher of the knowledge level so HbA1C is lower, and vice versa.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 4

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pengetahuan ... 7

2.1.1 Pengertian Pengetahuan ... 7

2.1.2 Tingkat Pengetahuan ... 7


(9)

2.2 Diabetes Melitus ... 11

2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus ... 11

2.2.2 Epidemiologi ... 11

2.2.3 Klasifikasi ... 12

2.2.4 Faktor Risiko ... 14

2.2.5 Diagnosa ... 15

2.2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus ... 17

2.2.7 Terapi Farmakologis Diabetes Melitus ... 20

2.2.8 Komplikasi ... 23

2.3 Peranan HbA1C Dalam Menilai Keberhasilan Terapi Pada Pengelolaan Diabetes Melitus ... 25

2.4 Hubungan Pengetahuan Tentang Penyakit dan Obat Terhadap Kepatuhan Serta Pencapaian Target Terapi ... 26

2.5 Gambaran Tingkat Pengetahuan Pasien DM di Indonesia .... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Rancangan Penelitian ... 29

3.2 Jenis Data ... 29

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.4 Subjek Penelitian ... 29

3.4.1 Populasi ... 29

3.4.2 Sampel ... 30

3.4.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 30

3.4.3.1 Kriteria Inklusi ... 30

3.4.3.2 Kriteria Eksklusi ... 30


(10)

3.6 Alat/Instrumen Penelitian ... 31

3.7 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 31

3.7.1 Uji Validitas ... 31

3.7.2 Uji Reliabilitas ... 32

3.8 Prosedur Penelitian ... 33

3.9 Definisi Operasional ... 34

3.10 Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Karakteristik Sosiodemografi Responden ... 36

4.1.1 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Umur ... 36

4.1.2 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37

4.1.3 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 37

4.1.4 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 38

4.1.5 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Penghasilan ... 38

4.1.6 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Lama Menderita Diabetes ... 39

4.1.7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan HbA1C ... 40

4.1.8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis dan Lamanya Penggunaan Obat .... 40

4.2 Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit DM Tipe 2 dan Terapi Obat Antidiabetes Oral ... 42


(11)

4.3 Distribusi Frekuensi Jawaban Pengetahuan Pasien Tentang

Penyakit DM Tipe 2 dan Terapi Obat Atidiabetes Oral ... 43

4.4 Distribusi Frekuensi Sosiodemografi Responden Berdasarkan HbA1C ... 45

4.5 Distribusi Frekuensi Sosiodemografi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan ... 46

4.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan HbA1C ... 48

4.7 Hubungan Frekuensi Sosiodemografi Responden Terhadap Tingkat Pengetahuan ... 48

4.8 Hubungan Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Hasil Terapi ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 Kesimpulan ... 53

5.2 Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi DM Menurut American Diabetes Association .... 14

Tabel 2.2 Faktor Risiko Untuk Diabetes Tipe 2 ... 15

Tabel 2.3 Kriteria Penegakan Diagnosis ... 16

Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis DM ... 16

Tabel 2.5 Aktivitas Fisik Harian ... 19

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 32

Tabel 3.2 Definisi Operasional ... 34

Tabel 4.1 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Umur 36 Tabel 4.2 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37

Tabel 4.3 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 37

Tabel 4.4 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 38

Tabel 4.5 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Penghasilan ... 38

Tabel 4.6 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Lama Menderita Diabetes ... 39

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan HbA1C ... 40

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis dan Lamanya Penggunaan Obat ... 40


(13)

Tabel 4.9 Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit DM Tipe 2 dan Terapi Obat Antidiabetes Oral ... 42 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Jawaban Pengetahuan Pasien Tentang

Penyakit DM Tipe 2 dan Terapi Obat Antidiabetes Oral ... 43 Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Sosiodemografi Responden

Berdasarkan HbA1C ... 45 Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Sosiodemografi Responden

Berdasarkan Tingkat Pengetahuan ... 46 Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden

Berdasarkan HbA1C ... 48 Tabel 4.14 Hasil Uji Hubungan Frekuensi Sosiodemografi Terhadap

Tingkat Pengetahuan ... 48 Tabel 4.15 Hasil Uji Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap HbA1C 50


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4 Gambar 3.1 Prosedur Penelitian... 33 Gambar 4.1 Gambaran Hubungan Tingkat Pengetahuan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 59

Lampiran 2 Lembar Penjelasan Kepada Calon subjek Penelitian ... 66

Lampiran 3 Lembar Persetujuan Penjelasan (Informed Consent) ... 67

Lampiran 4 Surat Komisi Etik ... 68

Lampiran 5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 69

Lampiran 6 Sosiodemografi Responden ... 78

Lampiran 7 Hasil Uji Hubungan Sosiodemografi Terhadap Tingkat Pengetahuan ... 80 Lampiran 8 Hasil Uji Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap HbA1C 82


(16)

Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 dan Obat Antidiabetes Oral Terhadap Hasil Terapi di

Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Abstrak

Pendahuluan: Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia dan lebih dari 90% adalah penderita DM tipe 2. Saat ini DM merupakan ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad ke-21. Dalam hal penanggulangan DM, penderita DM harus memiliki pengetahuan yang baik tentang DM dan obat antidiabetes oral yang akhirnya dapat mencegah penderita dari mortalitas dan morbiditas penyakit DM.

Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral terhadap hasil terapi.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan penelitian survei cross sectional. Populasi penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 rawat jalan Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh bulan November 2014 - Desember 2014. Sampel penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik convenience sampling sebanyak 100 orang. Pengambilan data menggunakan kuesioner.

Hasil: Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosiodemografi

responden terbanyak yaitu: kelompok umur 40-60 tahun sebanyak 69% (69 orang), jenis kelamin perempuan sebanyak 53% (53 orang), pendidikan

SMA/sederajat sebanyak 62% (62 orang), pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 31% (31 orang), penghasilan < Rp. 1.500.000 sebanyak 34% (34 orang), lama menderita DM selama 1-10 tahun sebanyak 58% (58 orang). Tingkat pengetahuan penderita DM tipe 2 sebagian besar berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 56% (56 orang) dan untuk hasil uji hubungan sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan menunjukkan nilai yang signifikan antara pendidikan dan pekerjaan terhadap tingkat pengetahuan (p < 0,05), sedangkan untuk hasil uji hubungan tingkat pengetahuan terhadap HbA1C menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik antara pengetahuan dan HbA1C, dimana nilai korelai (r) yang diperoleh adalah minus (- 0,100).

Kesimpulan: Tingkat pengetahuan pasien dalam penelitian ini berada di tahap sedang dan belum sampai pada tingkat yang memuaskan. Hasil uji hubungan sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan menunjukkan bahwa, pendidikan dan pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan. Sedangkan dari hasil uji hubungan tingkat pengetahuan terhadap hasil terapi yang dilihat dari nilai HbA1C, menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi nilai HbA1C, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan maka HbA1C rendah, begitu juga sebaliknya.


(17)

Effect of Patient Knowledge About Diabetes Mellitus Type 2 and Oral antidiabetic To Drug Therapy Results in Endocrine Polyclinic

Public Regional Hospital of dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Abstract

Introduction: Diabetes mellitus (DM) is a public health problem that is quite large in Indonesia and more than 90% are patients with diabetes mellitus type 2. Currently DM is a major threat to human health in the 21st century. In terms of prevention of DM, DM patients must have a good knowledge about diabetes and oral antidiabetic drugs that ultimately could prevent patients from DM disease mortality and morbidity.

Objective: To determine the effect of the patient's level of knowledge about type 2 diabetes and oral antidiabetic drug on therapy outcomes.

Methods: This study was descriptive analytic survey with cross sectional study design. Population of this study was outpatients of Type 2 Diabetes Mellitus in policlinic endocrine of Public Regional Hospital dr. Zainoel Abidin Banda Aceh during November 2014 - December 2014. The research sample was selected using a convenience sampling technique as many as 100 people. Data collecting used questionnaires.

Results: The results showed that most respondents sociodemographic characteristics, was: 40-60 years old as 69% (69 patients) for age group, 53% (53 patients) woman for genre, 62% (62 patients) High School/equivalent for education, 31% (31 patients) housewife for jobs, 34% (34 patients) < Rp. 1.500.000,- for income and 1-10 years at 58% (58 patients) for morbidity duration. The level of knowledge of patients with type 2 diabetes mostly in middle category as many as 56% (56 patients) and the correlation test result of the sociodemographic to knowledge level showed significant value between education and employment on the level of knowledge (p <0.05), whereas for the correlation result level of knowledge to HbA1C showed an inverse correlation between knowledge and HbA1C, where the value of correlation (r) obtained was minus (- 0,100).

Conclusions: The level of knowledge of the patients in this study were in the middle stage and not yet at a satisfactory level. The correlation test results of sociodemographic to the level of knowledge indicated that education and employment can affect knowledge. While the correlation test results between knowledge to the therapeutic results seen from the HbA1C value, indicated that the level of knowledge may affect the value of HbA1C, where the higher of the knowledge level so HbA1C is lower, and vice versa.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tidak menular menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia, ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit secara epidemiologi dari penyakit menular cenderung menurun ke penyakit tidak menular dan kasus terbanyak penyakit diabetes melitus (DepKes RI, 2008).

Sejak tahun 2000 jumlah penderita diabetes melitus (DM) di Indonesia meningkat cukup signifikan dan diperkirakan pada tahun 2030 mendatang akan mencapai 21,3 juta orang, mayoritas kelompok usia yang terkena DM sekitar 45 sampai 64 tahun dan paling banyak terjadi pada masyarakat perkotaan yang gaya hidupnya tidak sehat. Akibatnya tingkat kejadian berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, DM, dan stroke semakin meningkat (BPOM, 2010).

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan berkurangnya produksi insulin atau tidak efektifnya insulin yang diproduksi. Hal ini mengakibatkan meningkatnya konsentrasi glukosa dalam darah yang dapat merusak berbagai sistem tubuh terutama jaringan pembuluh darah dan saraf (Yosephin, dkk., 2002).

Penyakit DM disebabkan oleh beberapa faktor antara lain cara hidup yang tidak sehat seperti pola makan yang tidak sehat, kegemukan dan kurang olah raga. Selain itu 58% disebabkan oleh pemakaian dosis obat anti hiperglikemia yang


(19)

salah. Ketidakpahaman pasien terhadap terapi yang sedang dijalani juga akan meningkatkan ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat (Adil, dkk., 2005).

Tingginya jumlah penderita DM dikarenakan tingkat pengetahuan yang rendah dan kesadaran untuk melakukan deteksi dini penyakit DM yang kurang, minimnya aktivitas fisik, pengaturan pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam, dan sedikit mengandung serat (Sudoyo, 2006).

Tingkat pengetahuan yang rendah tentang penyakit DM akan dapat mempengaruhi pola makan yang salah sehingga menyebabkan kegemukan. Diperkirakan sebesar 80-85% penderita DM tipe 2 mengalami kegemukan, hal ini terjadi karena tingginya asupan karbohidrat dan rendahnya asupan serat (Nurrahmani, 2012). Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang DM, mengakibatkan masyarakat baru sadar terkena penyakit DM setelah mengalami sakit parah (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Adil, dkk., (2005) dalam hal penanggulangan DM, penderita DM harus memiliki pengetahuan yang baik tentang DM untuk mencegah penderita DM dari mortalitas dan morbiditas penyakit DM. Oleh karena itu peran edukasi merupakan hal yang penting untuk diberikan kepada penderita DM. Tapi faktanya, banyak negara yang masih sedikit memberikan edukasi pada penderita DM.


(20)

Kegagalan dalam mengontrol gula darah dalam jangka panjang juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatan serta ketidakpatuhan pasien. Dalam suatu survei di Inggris terhadap 261 pasien, terbukti bahwa pengetahuan pasien mengenai antidiabetes oral dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan masih belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pasien yang memiliki pengetahuan mengenai pengobatan yang diperoleh sebesar 35% dan pasien yang tidak mengikuti diet yang dianjurkan sebesar 75%. (Keban, dkk., 2013). Sampai saat ini memang belum ditemukan cara atau pengobatan yang dapat menyembuhkan diabetes secara menyeluruh. Namun harus diingat bahwa diabetes dapat dikendalikan, dengan cara diet, olah raga dan dengan menggunakan obat antidiabetik (Perkeni, 2011).

Prevalensi diabetes melitus (DM) yang meningkat, secara tidak langsung akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat DM dan komplikasinya. Pengetahuan tentang penyakit dan perilaku penderita DM berperan dalam mengurangi terjadinya komplikasi. Pengetahuan yang baik terhadap penyakit dan obat secara umum berhubungan dengan outcome terapi. Pengetahuan tentang obat diperlukan oleh pasien untuk dapat menggunakan obat dengan benar. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Nita, dkk., 2012). Bertolak dari uraian dan melihat fakta yang ditemukan di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit diabetes melitus tipe 2 dan obat antidiabetes oral terhadap hasil terapi di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.


(21)

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. bagaimanakah tingkat pengetahuan pasien di Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tentang penyakit DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral.

b. apakah terdapat pengaruh sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama menderita DM.

c. apakah terdapat pengaruh tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral terhadap hasil terapi.

Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit DM tipe 2 dan

obat antidiabetes oral

Hasil terapi:

HbA1C

Sosiodemografi : -Umur

-Jenis kelamin -Pendidikan -Pekerjaan -Penghasilan


(22)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. tingkat pengetahuan pasien di Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tentang penyakit DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral masih rendah.

b. terdapat pengaruh antara sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama menderita DM.

c. terdapat pengaruh antara tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral terhadap hasil terapi.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien di Poliklinik Endokrin RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tentang penyakit DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral.

b. untuk mengetahui pengaruh sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan lama menderita DM.

c. untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan pasien tentang DM tipe 2 dan obat antidiabetes oral terhadap hasil terapi.


(23)

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan pasien tentang diabetes dan obat antidiabetes oral di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

b. sebagai masukan dalam meningkatkan pengetahuan akan kesadaran pasien tentang diabetes dan obat antidiabetes oral di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2005).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo, (2007) dalam domain kognitif, pengetahuan mempunyai 6 tingkat, yakni:

1. Tahu (know)

Tahu merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesfik dari seluruh bahan yang dipelajari atau


(25)

pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.

2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan dan meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemapuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.


(26)

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas (Notoatmojo, 2007).

2.1.3 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan

Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal. Pengetahuan internal berasal dari dalam diri manusia sedangkan faktor eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar berupa tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan. Pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas, penghasilan, dan sosial budaya (Notoadmodjo, 2003).

Menurut Mubarak, (2007) ada tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.


(27)

b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

c. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis dan mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa.

d. Minat

Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu, minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih dalam.

e. Pengalaman

Adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap objek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas dalam emosi sehingga menimbulkan sikap positif.

f. Kebudayaan

Kebudayaan lingkungan sekitar, apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin


(28)

masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan.

g. Informasi

Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

2.2 Diabetes Melitus

2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Ini disebabkan karena penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin, atau keduanya. Hal ini akan menyebabkan terjadinya komplikasi mikrovaskuler, makrovaskuler, dan neuropati (Sukandar, 2008).

Insulin dalam tubuh dibutuhkan untuk memfasilitasi masuknya glukosa dalam sel agar dapat digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan menimbulkan peningkatan gula darah, sementara sel menjadi kekurangan glukosa yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Tarwoto, 2012).

2.2.2 Epidemiologi

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada


(29)

tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 8,2 juta penyandang diabetes pada daerah urban dan 5,5 juta penyandang diabetes pada daerah rural dan diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun, maka diperkirakan prevalensi DM pada daerah urban terdapat 12 juta penyandang diabetes dan 8,1 juta di daerah rural dan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RisKesda) 2013, Prevalensi DM di Indonesia yang terdiagnosis dokter atau gejala adalah 2,1%, dan yang paling tinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur (3,3%) dan untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebesar 2,6%. 2.2.3 Klasifikasi

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2010 dibagi dalam 4 jenis yaitu (Ndraha, 2014):

1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Diabetes Melitus Tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.


(30)

2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 2.1.

4. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan


(31)

Tabel 2.1 Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2010.

No. Tipe Diabetes Melitus

I.

Diabetes melitus tipe 1

(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defesiensi insulin absolute) A. Melalui proses imunologik

B. Idiopati

II.

Diabetes melitus tipe 2

(bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

III.

Diabetes melitus tipe lain

A. Defek genetik fungsi sel beta B. Defek genetik kerja insulin C. Penyakit eksokrin pankreas D. Endrokinopati

E. Karena obat/zat kimia F. Infeksi

G. Imunologi

H. Sindroma genetik lain

IV.

Diabetes Kehamilan

Atau Diabetes Gestasional, (diabetes melitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM tipe 2

Sumber : Ndraha, S. 2014 2.2.4 Faktor Risiko

Setiap orang yang memiliki satu atau lebih faktor risiko diabetes selayaknya waspada akan kemungkinan dirinya mengidap diabetes. Para petugas kesehatan, dokter, apoteker dan petugas kesehatan lainnya sepatutnya memberi perhatian kepada orang-orang seperti ini, dan menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan untuk mengetahui kadar glukosa darahnya agar tidak terlambat memberikan bantuan penanganan. Karena makin cepat kondisi diabetes melitus diketahui dan ditangani, makin mudah untuk mengendalikan kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa faktor


(32)

risiko untuk diabetes melitus, terutama untuk DM Tipe 2, dapat dilihat pada tabel 2.2 (DepKes RI, 2005).

Tabel 2.2 Faktor Risiko Untuk Diabetes Tipe 2. Riwayat Diabetes dalam keluarga

Diabetes Gestasional

Melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome)

IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired glucose tolerance)

Obesitas >120% berat badan ideal Umur 20-59 tahun : 8,7%

> 65 tahun : 18% Etnik/Ras

Hipertensi >140/90mmHg Faktor-faktor

Lain

Kurang olah raga Pola makan rendah serat

Menurut Suyono, (2009) Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia akan terus meningkat dikarenakan beberapa faktor antara lain :

1. Faktor keturunan (genetik)

2. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2) a. Pola gaya hidup dan pola makan yang salah b. Makan berlebihan

c. Kurang olah raga 3. Faktor demografi

a. Jumlah penduduk meningkat b. Urbanisasi

4. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi 2.2.5 Diagnosa

Diagnosis klinis DM umumnya ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat


(33)

dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Apabila ada keluhan

khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu ≥ β00 mg/dl sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa

≥ 1β6 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM (DepKes RI, 2005).

Tabel 2.3 Kriteria Penegakan Diagnosis.

Glukosa Plasma Puasa Glukosa Plasma 2 jam setelah makan

Normal < 100 mg/dL < 140 mg/dL

Pra-diabetes IFG atau IGT

100 – 125 mg/dL

– 140 – 199 mg/dL –

Diabetes ≥ 1β6 mg/dL ≥ β00 mg/dL

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM adalah (Perkeni, 2006): 1. Didahului dengan adanya keluhan keluhan khas yang dirasakan dan dilanjutkan

dengan pemeriksaan glukosa darah.

2. Pemeriksaan glukosa darah menunjukkan hasil: pemeriksaan glukosa darah

sewaktu ≥ β00 mg/dl (sudah cukup menegakkan diagnosis), pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 1β6 mg/dl (patokan diagnosis DM).

Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis DM. 1.

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ β00 mg/dl (11.1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat

pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau

2.

Gejala klasik DM +

Kadar glukosa plasma puasa ≥ 1β6 mg/dl (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Atau

3.

Kadar glukosa plasma β jam pada TTGO ≥ β00 mg/dl (11.1 mmol/L)

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa yang dilarutkan dalam air.


(34)

Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal

tinggi (≥ β00 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (≥ 1β6 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar

glukosa darah paska pembebanan ≥ β00 mg/dL (DepKes RI, 2005).

2.2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada rencana diet, latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik, agen-agen hipoglikemik oral, terapi insulin, pengawasan glukosa dirumah, dan pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pasien-pasien dengan gejala diabetes melitus tipe 2 dini, dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan (Price, 2005).

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.


(35)

Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (DepKes RI, 2005).

Dalam penatalaksanaan DM menurut Perkeni, (2011) ada 4 pilar utama penatalaksanaan diabetes melitus yaitu:

1. Edukasi.

Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

2. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada


(36)

mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal kabohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu: Kabohidrat 60-70%, Protein 10-15%, Lemak 20-25 %.

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur. (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan. Tabel 2.5 Aktivitas Fisik Harian.

Kurangi Aktivitas Hindari aktivitas sedenter

Misalnya, menonton televisi, menggunakan internet, main game komputer

Persering Aktivitas

Mengikuti olahraga rekreasi dan beraktivitas fisik tinggi pada waktu liburan

Misalnya, jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda, sepak bola

Aktivitas Harian

Kebiasaan bergaya hidup sehat

Misalnya, berjalan kaki ke pasar ( tidak menggunakan mobil), menggunakan tangga (tidak menggunakan lift), menemui rekan kerja (tidak hanya melalui telepon internal), jalan dari tempat parkir


(37)

4. Terapi Farmakologis

Terapi dan pengelolaan farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis diabetes melitus dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan terapi Insulin.

2.2.7 Terapi Farmakologis Diabetes Melitus 1. Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan yaitu: a. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.


(38)

b. Penambah sensitivitas terhadap insulin 1. Tiazolidindion

Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR- ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

c. Penghambat glukoneogenesis 1. Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. d. Penghambat Alfa Glukosidase (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.


(39)

Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

e. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.

2. Terapi Insulin

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel ß pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh


(40)

kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Depkes RI 2005).

Insulin berperan penting dalam pengendalian metabolisme dalam tubuh. Pada DM Tipe I, sel-sel ß langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi obat antidiabetes oral. Penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin, apabila diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Penderita DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin (Depkes RI 2005).

2.2.8 Komplikasi

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah (Waspadji, 2006):

a. Retinopati

Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan meningkatnya


(41)

ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma (kebutaan). b. Nefropati

Hal-hal yang dapat terjadi antara lain: peningkatan tekanan glomerular dan disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal.

c. Neuropati

Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari.

d. Penyakit jantung koroner

Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner.


(42)

e. Penyakit pembuluh darah perifer

Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah ke kaki.

2.3 Peranan HbA1C Dalam Menilai Keberhasilan Terapi Pada Pengelolaan Diabetes Melitus

Hemoglobin A1C (HbA1C) telah digunakan secara luas sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi glukosa darah 1-2 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum pengambilan sampel darah. Telah diketahui bahwa kadar rata-rata glukosa darah 1-2 bulan sebelumnya merupakan kontributor utama konsentrasi HbA1C. Kontribusi bulanan rata-rata glukosa darah terhadap HbA1C adalah: 50% dari 30 hari terakhir, 25% dari 30 dan 60 hari sebelumnya dan 25% selama 60-120 hari sebelumnya (Rahayu, 2014).

Hemoglobin A1C merupakan alat pemantauan yang penting dalam penatalaksanaan pasien DM. Pada tahun 2010 American Diabetes Association (ADA) memasukkan kadar HbA1C dalam kriteria diagnosis diabetes. Pemeriksaan HbA1C memiliki kelebihan dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa puasa dan tes toleransi glukosa 2 jam. Manfaat HbA1C, selama ini lebih banyak dikenal untuk menilai kualitas pengendalian glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi serta keberhasilan terapi, namun beberapa studi terbaru mendukung pemanfaatan HbA1C yang lebih luas, bukan hanya untuk pemantauan, tetapi juga bermanfaat dalam diagnosis ataupun skrining diabetes melitus tipe 2 (Rahayu, 2014).


(43)

Pengukuran HbA1C penting untuk kontrol jangka panjang status glikemi pada pasien diabetes. Hubungan antara A1C dan glukosa plasma adalah kompleks. Kadar HbA1C lebih tinggi didapatkan pada individu yang memiliki kadar glukosa darah tinggi sejak lama, seperti pada diabetes melitus. Banyak penelitian menunjukkan bahwa A1C adalah indeks rata-rata kadar glukosa selama beberapa minggu sampai bulan sebelumnya. Dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa puasa dan tes toleransi glukosa 2 jam, HbA1C memiliki kelebihan yaitu dapat digunakan untuk petunjuk terapi dan penyesuaian terapi serta dapat digunakan untuk penilaian kontrol glikemik (Rahayu, 2014).

2.4 Hubungan Pengetahuan Tentang Penyakit dan Obat Terhadap Kepatuhan Serta Pencapaian Target Terapi

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang. Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan. Teori adopsi perilaku tersebut terdiri dari 5 tahap yaitu awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), trial (mulai mencoba) dan adoption. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi melalui proses seperti ini didasari pengetahuan maka perilaku tersebut akan bertahan lama (long lasting). Berdasarkan teori diatas, pengetahuan pasien baik tentang penyakit DM dan obat antidiabetes akan mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan yang baik mendukung pasien dalam melakukan kontrol gula darah dengan patuh. Kepatuhan pasien yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang perilaku tersebut tidak dapat menjamin bahwa pasien akan mematuhi seterusnya. Kepatuhan pasien tentu akan mempengaruhi pada


(44)

kondisi kesehatannya, jika pasien tidak patuh maka akan berdampak buruk bagi kesehatan, contohnya dapat menimbulkan komplikasi yang serius. Namun hal tersebut dapat dicegah bila pasien mematuhi diet, olah raga dan terapi.

Pengetahuan penderita akan penyakit DM juga menjadi penting, mengingat tidak sedikit penderita DM yang kurang memiliki pememahaman tentang penyakit DM. Akibat dari ketidakpahaman akan penyakit DM, banyak penderita DM yang tidak patuh serta mengalami komplikasi dan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah. Keberhasilan suatu pengobatan sangat dipengaruhi oleh kepatuhan penderita DM untuk menjaga kesehatannya. Dengan kepatuhan yang baik, pengobatan yang sedang dijalankan dapat terlaksana secara optimal dan kualitas kesehatan bisa tetap dirasakan. Sebab apabila penderita DM tidak mempunyai kesadaran diri untuk bersikap patuh maka hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan yang berakibat pada menurunya kesehatan dan dapat berdampak pada komplikasi penyakit DM dan bisa berujung pada kematian (Saifunurmazah, 2013).

2.5 Gambaran Tingkat Pengetahuan Pasien DM di Indonesia

Tingginya jumlah penderita DM dikarenakan tingkat pengetahuan yang rendah dan kesadaran untuk melakukan deteksi dini penyakit DM yang kurang (Sudoyo, 2006). Pengetahuan yang baik terhadap penyakit dan obat sangat penting bagi penderita DM, karena secara umum berhubungan dengan outcome terapi dan berperan dalam mengurangi terjadinya komplikasi serta untuk mencegah penderita DM dari mortalitas dan morbiditas penyakit DM (Nita, dkk., 2012).


(45)

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit DM di Indonesia masih belum sampai pada tingkat yang memuaskan, sebagian besar masih berada pada kategori cukup atau sedang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malini, (2010) dan Hoong, (2010) di RSUP.H. Adam Malik Medan, dimana tingkat pengetahuan penderita DM yang ditelitinya masih berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 52,5% (52 orang) dan 48% (36 orang). Penelitian lain juga dilakukan oleh Dewi, (2014) di RS dan Klinik Gotong Royong Surabaya, dimana 73% penderita DM yang ditelitinya memiliki tingkat pengetahuan cukup tentang penyakit DM. Selain itu hasil penelitian Phitri, (2013) di RSUD AM. Parikesit Kalimantan Timur juga menunjukkan hasil yang sama dimana, pengetahuan responden tentang DM sebagian besar kurang yaitu sebanyak 24 responden (44,4%).


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik menggunakan kuesioner untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan pasien tentang diabetes melitus tipe 2 dan obat antidiabetes oral terhadap hasil terapi di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional (studi potong lintang) yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan variabel dependen hanya satu kali pada suatu saat (Nursalam, 2009).

3.2 Jenis Data

Data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu penilaian yang diperoleh langsung melalui pengisian angket (kuesioner) oleh responden.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 - Desember 2014 di bagian Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang dilakukan dengan cara membagikan kuesioner kepada pasien di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

3.4 Subjek Penelitian 3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien DM tipe 2 rawat jalan di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada bulan November 2014 - Desember 2014.


(47)

3.4.2 Sampel.

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 rawat jalan yang memenuhi kriteria inklusi yang dihitung berdasarkan rumus sampel minimal (Lameshow, 1997).

n =Z −a/ . p − pd

Keterangan : n = jumlah sampel minimal Z1-a/2 = derajat kemaknaan p = proporsi konsumen d = tingkat presisi/deviasi

dengan persen kepercayaan yang diinginkan 95%; Z1-a/2 = 1,960; p = 0,5; dan d = 0,1 maka diperoleh besar sampel minimal :

n = ,9 x , − ,

, = 9 , orang = orang.

3.4.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.3.1 Kriteria Inklusi

Adapun yang menjadi kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. penderita DM tipe 2 rawat jalan di Poliklinik Endokrin Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

b. pasien DM yang memiliki data hasil pemeriksaan HbA1C. c. sedang mengkonsumsi obat antidiabetes oral.

3.4.3.2 Kriteria Eksklusi

Adapun yang menjadi kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: a. pasien DM yang tidak memiliki data hasil pemeriksaan HbA1C.


(48)

3.5 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan convenience sampling yaitu merupakan teknik penentuan sampel secara kebetulan, atau pasien DM tipe 2 yang bertemu dengan peneliti yang dianggap cocok dengan karakteristik sampel yang ditentukan dan bersedia akan dijadikan sampel.

3.6 Alat/Instrumen Penelitian

Menurut Saryono (2008) instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (cermat, lengkap, dan sistematis) sehingga mudah diolah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi yang berisikan data responden dan lembar kuesioner yang harus diisi oleh responden. 3.7 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner.

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Sedangkan uji reliabilitas bertujuan untuk melihat bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah cukup baik (Rinza, 2009). Cara menguji validitas dan reliabilitas kuesioner adalah sebagai berikut:

3.7.1 Uji Validitas

Uji validitas dilakukan menggunakan korelasi Pearson, yaitu dengan mengkorelasikan nilai setiap pertanyaan dengan nilai total pertanyaan. Jika seluruh butir pertanyaan mempunyai nilai p < 0,05 (nilai yang terdapat pada baris


(49)

Sig.(2-tailed)), maka kuesioner tersebut dapat dinyatakan valid (Trihendradi, 2011).

3.7.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas instrumen dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach’s Alpha. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari 0,600, maka kuesioner dapat dinyatakan reliabel (Trihendradi, 2011). Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Pertanyaan Sig Korelasi Pearson Cronbach's

Alpha

1 0,000 0,632

0,924

2 0,000 0,729

3 0,000 0,645

4 0,000 0,685

5 0,019 0,425

6 0,000 0,621

7 0,000 0,751

8 0,000 0,632

9 0,000 0,609

10 0,000 0,685

11 0,005 0,501

12 0,001 0,592

13 0,001 0,595

14 0,000 0,739

15 0,000 0,835

16 0,000 0,645

17 0,000 0,645

18 0,005 0,501

19 0,000 0,609

20 0,000 0,621

21 0,014 0,444

22 0,014 0,444


(50)

Berdasarkan hasil uji validitas kuesioner penelitian yang telah diujikan pada 30 orang responden di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, ditunjukkan bahwa dari 23 butir pertanyaan tentang pengetahuan pasien mengenai penyakit DM tipe 2 dan terapi obat antidiabetes oral yang diuji cobakan semuanya valid dan reliabel, karena memiliki nilai p < 0,05 dan Cronba chs Alpha lebih besar dari 0,600 Sehingga pertanyaan tentang pengetahuan pasien mengenai penyakit DM tipe 2 dan terapi obat antidiabetes oral dapat digunakan untuk mengumpulkan data.

3.8 Prosedur Penelitian

Gambar 3.1 Prosedur Penelitian Meminta izin dekan

Fakultas Farmasi untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Menyiapkan lembar kuesioner yang

akan diisi oleh responden

Meminta izin Rumah Sakit Umum Daerah

dr. Zainoel Abidin untuk melakukan penelitian di rumah

sakit tersebut

Melakukan uji validitas dan

reliabilitas kuesioner Membagikan

kuesioner penelitian kepada responden dan mengambil data

hasil pemeriksaan laboratorium Mengumpulkan data

penelitian

Mengolah data kuesioner


(51)

3.9 Definisi Operasional Tabel 3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi

Operasional Alat Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur

1. Umur Umur responden

yang dihitung sejak tangal lahir sampai dengan ulang tahun terakhir.

Kuesioner 1. < 40 tahun

2. 40-60 tahun

3. > 60 tahun Ordinal

2. Jenis

kelamin

Sifat jasmani alamiah yang membedakan laki-laki dan perempuan

Kuesioner 1. laki-laki

2. perempuan Nominal

3. Pendidi

kan

Jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan responden sehingga mendapatkan ijazah

Kuesioner 1. SMU/Sederajat

2. Diploma I/II/III 3. S1

4. S2

5. Tidak Sekolah

Ordinal

4. Peker

jaan

Mata pencaharian yang dilakukan secara rutin sebagai upaya untuk mendapatkan hasil berupa finansial untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sehari-hari

Kuesioner 1. PNS

2. Wiraswasta 3. Ibu Rumah

Tangga

4. Petani/Pedagang 5. TNI/Polri 6. Pensiunan

Ordinal

5. Pengha

silan

Jenjang

penghasilan yang diperoleh oleh tiap individu sebagai balas jasa atau imbalan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu tersebut

Kuesioner 1. < Rp 1.500.000

2. Rp. 1.500.000 -2.500.000 3. Rp.

2.600.000-3.500.000

4. >Rp. 3.500.000 Ordinal

6. Lama

mende rita DM

Lama terdiagnosa DM tipe 2 yang dialami pasien

Kuesioner 1. < 1 tahun

2. 1-10 tahun 3. > 10 tahun


(52)

No Variabel Definisi

Operasional Alat Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur

7. Penge

tahuan tentang penyakit diabetes dan terapi obat antidiabet es oral Kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan kuesioner mengenai penyakit diabetes dan terapi obat antidiabetes oral dengan mengajukan 23 pertanyaan dengan alternatif jawaban

Benar = 1 Salah = 0

Kuesioner, Skor tertinggi = 23

Skor terendah = 0 Untuk menjelaskan secara deskriptif maka dikategorikan Baik : >75% Sedang : 50-75% Kurang : < 50% Penilaian terhadap sistem scoring untuk tingkat pengetahuan adalah:

Baik : jika jumlah yang diperoleh > 17 dari nilai scor total Sedang : 12-17 Kurang : < 12

Ordinal

8. HbA1C HbA1C

menggambarkan konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode 1-3 bulan.

Hasil pemeriksaan laboratorium

Normal : < 7% DM : ≥ 7% (Perkeni, 2011)

Rasio

3.10 Analisis Data

Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan program komputer SPSS (statistical product and service solution) versi 17.0. Data akan dianalisa secara deskriptif, Hasil ditampilkan dalam tabel bentuk distribusi. Hubungan antar variabel kemudian akan dianalisa dengan menggunakan statistik inferensial.


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Sosiodemografi Responden

Penelitian ini dilakukan pada 100 orang responden yang merupakan pasien rawat jalan di Poliklinik Endokrin, khususnya penderita diabetes melitus tipe 2. Karakteristik yang diamati terhadap responden mencakup umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lama menderita DM.

4.1.1 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Umur Tabel 4.1 Karakteristik sosiodemografi responden berdasarkan umur

Kelompok Umur Frekuensi (n) Persentase (%)

< 40 tahun 3 3

40-60 tahun 69 69

> 60 tahun 28 28

Total 100 100

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa, kelompok umur terbanyak berada pada kelompok respoden berumur 40-60 tahun sebanyak 69% responden (69 orang) dan yang paling sedikit adalah kelompok umur < 40 tahun sebanyak 3% (3 orang). Hal ini senada dengan penelitian Hoong. K (2010) dan Malini. S (2010) yaitu mayoritas kelompok usia yang terkena DM berkisar antara 40-60 dan 41-50 tahun. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Nita, dkk., (2012) yaitu mayoritas kelompok usia yang terkena DM juga berkisar antara umur 50 sampai 59 tahun.

Menurut Rahmadiliyani dan Muhlisin (2008), umur mempengaruhi risiko kejadian DM serta sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, semakin meningkat umur maka prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa


(54)

semakin tinggi, pada tahap menuju usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel -pankreas dan sekresi insulin yang berkurang, dan juga berkaitan dengan resistensi insulin akibat berkurangnya aktivitas fisik, sehingga rentan terhadap berat badan berlebih bahkan obesitas.

4.1.2 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.2 Karakteristik sosiodemografi responden berdasarkan jenis kelamin.

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 47 47

Perempuan 53 53

Total 100 100

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa karakteristik jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan yaitu sebanyak 53% (53 orang) sedangkan responden laki-laki sebanyak 47% (47 orang). Hal ini disebabkan karena pada saat berlangsungnya penelitian, pasien rawat jalan di Poliklinik Endokrin yang paling banyak adalah perempuan. Selain itu dengan menggunakan metode wawancara, perempuan dengan pekerjaan ibu rumah tangga juga lebih mudah untuk diminta keluangan waktunya dan bersedia untuk di wawancara. 4.1.3 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Tingkat

Pendidikan

Tabel 4.3 Karakteristik sosiodemografi responden berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)

SMU/Sederajat 62 62

Diploma I / II / III 6 6

S1 28 28

S2 4 4


(55)

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa, karakteristik sosiodemografi responden berdasarkan tingkat pendidikan pada penelitian ini yang paling banyak adalah tingkat pendidikan SMA/Sederajat yaitu sebanyak 62 orang (62%) dan diikuti dengan jenjang pendidikan S1 sebanyak 28 orang (28%), Diploma I/II/III 6 orang (6%) dan yang paling sedikit adalah dengan tingkat pendidikan S2 yaitu 4 orang (4%).

4.1.4 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tabel 4.4 Karakteristik sosiodemografi responden berdasarkan jenis pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)

PNS 22 22

Wiraswasta 17 17

Ibu Rumah Tangga 31 31

Petani/Pedagang 3 3

Pensiunan 26 26

TNI/Polri 1 1

Total 100 100

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, distribusi jenis pekerjaan pada penelitian ini menunjukkan hasil bahwa, distribusi frekuensi terbanyak berada pada jenis pekerjaan Ibu Rumah Tangga yaitu 31% (31 orang) dan distribusi frekuensi yang paling sedikit adalah TNI/Polri yaitu sebanyak 1% (1 orang).

4.1.5 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Jenis Penghasilan

Tabel 4.5 Karakteristik sosiodemografi responden berdasarkan jenis penghasilan Penghasilan Frekuensi (n) Persentase (%)

< Rp 1.500.000 34 34

Rp 1.500.000 - 2.500.000 23 23

Rp 2.600.000-3.500.000 17 17

> Rp 3.500.000 26 26


(56)

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa sebanyak 34% responden (34 orang) berpenghasilan < Rp 1.500.000 per bulan dan yang paling sedikit yaitu sebanyak 17% (17 orang) dengan penghasilan mencapai Rp 2.600.000-3.500.000 per bulan.

4.1.6 Karakteristik Sosiodemografi Responden Berdasarkan Lama Menderita Diabetes

Tabel 4.6 Karakteristik sosiodemografi responden berdasarkan lama menderita diabetes.

Lama Menderita Diabetes Frekuensi (n) Persentase (%)

< 1 tahun 10 10

1-10 tahun 58 58

> 10 tahun 32 32

Total 100 100

Berdasarkan Tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa, responden yang lama menderita DM < 1 tahun memiliki frekuensi yang paling sedikit yaitu sebanyak 10% (10 orang), sedangkan responden yang lama menderita DM 1-10 tahun merupakan kelompok lama menderita DM yang paling banyak yaitu 58% (58 orang). Hal ini senada dengan penelitian Malini, (2010) yang menyatakan bahwa kebanyakan kelompok pasien yang paling banyak frekuensi nya adalah yang sudah lama menderita DM 1-10 tahun yaitu sebanyak 54,5% (54 orang), hal ini mungkin disebabkan karena rendahnya kesadaran dan ketidaktahuan pasien dalam melakukan deteksi dini penyakit diabetes melitus, pasien baru menyadari terkena DM ketika berobat ke Rumah Sakit.


(57)

4.1.7 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan HbA1C Tabel 4.7 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan HbA1C

HbA1C Frekuensi (n) Persentase (%)

< 7% 21 21

≥ 7% 79 79

Total 100 100

The American Diabetes Association (ADA), merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Untuk parameter kadar HbA1C ideal yang diharapkan adalah < 7%. Jika nilai ini di konversikan dalam rata-rata kadar glukosa darah yaitu < 154 mg/dl (DepKes RI, 2005). HbA1C menggambarkan konsentrasi glukosa darah rata-rata pasien selama periode 1-3 bulan yang lalu. Berdasarkan Tabel 4.7, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat kita lihat bahwa hasil pemeriksaan HbA1C pasien rata-rata di atas normal dimana terdapat sebanyak 79% responden (79 orang) dengan hasil pemeriksaan HbA1C ≥ 7%, dan hanya 21% responden (21 orang) dengan nilai HbA1C < 7%. Hal ini menunjukkan bahwa dari sebagian besar responden yang di teliti masih belum mendapatkan hasil ideal yang diharap kan untuk keberhasilan terapi nya.

4.1.8 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Dan Lamanya Penggunaan Obat

Tabel 4.8 Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan jenis dan lamanya penggunaan obat.

Variabel

Frekuensi (n) Persentase (%) Jenis Obat Yang Digunakan

Metformin HCl 83 83

Glibenklamid 7 7


(1)

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's

Alpha Based on

Standardized

Items

N of Items

.924

.924

23


(2)

Lampiran 6. Sosiodemografi Responden

Frequencies

Statistics

umur

Jenis

kelamin pendidikan pekerjaan penghasilan

Lama menderita

N Valid 100 100 100 100 100 100

Missing 0 0 0 0 0 0

Variance .250 .252 1.002 2.231 1.442 .375

Skewness .402 -.122 .792 .201 .219 -.161

Std. Error of Skewness .241 .241 .241 .241 .241 .241

Kurtosis -.268 -2.026 -1.026 -1.206 -1.498 -.493

Std. Error of Kurtosis .478 .478 .478 .478 .478 .478

Frequency Table

umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid < 40 3 3.0 3.0 3.0

40-60 69 69.0 69.0 72.0

>60 28 28.0 28.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki-laki 47 47.0 47.0 47.0

perempuan 53 53.0 53.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid SMU/Sederajat 62 62.0 62.0 62.0

Diploma 1/2/3 6 6.0 6.0 68.0

S1 28 28.0 28.0 96.0

S2 4 4.0 4.0 100.0


(3)

Lampiran 6. (Lanjutan)

pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid PNS 22 22.0 22.0 22.0

Wiraswasta 17 17.0 17.0 39.0

IRT 31 31.0 31.0 70.0

Petani/pedagang 3 3.0 3.0 73.0

pensiunan 26 26.0 26.0 99.0

TNI/Polri 1 1.0 1.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

penghasilan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid < Rp. 1.500.000 34 34.0 34.0 34.0

Rp. 1.500.000-2.500.000 23 23.0 23.0 57.0

Rp. 2.600.000-3.500.000 17 17.0 17.0 74.0

> Rp. 3.500.000 26 26.0 26.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

lamamenderita

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid < 10 tahun 10 10.0 10.0 10.0

1-10 tahun 58 58.0 58.0 68.0

> 10 tahun 32 32.0 32.0 100.0


(4)

Lampiran 7. Hasil Uji Hubungan Sosiodemografi Terhadap Tingkat Pengetahuan

Mann-Whitney Test

Jenis Kelamin vs Pengetahuan

pengetahuan

Mann-Whitney U

1081.000

Wilcoxon W

2512.000

Z

-1.141

Asymp. Sig. (2-tailed)

.254

a. Grouping Variable: jeniskelamin

Kruskal-Wallis Test

Umur vs Pengetahuan

pengetahuan

Chi-Square

.678

df

2

Asymp. Sig.

.712

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: umur

Jenis Kelamin vs Pengetahuan

pengetahuan

Chi-Square

1.301

df

1

Asymp. Sig.

.254

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: jeniskelamin

Pendidikan vs Pengetahuan

pengetahuan

Chi-Square

19.305

df

3

Asymp. Sig.

.000


(5)

Pendidikan vs Pengetahuan

pengetahuan

Chi-Square

19.305

df

3

Asymp. Sig.

.000

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: pendidikan

Pekerjaan vs Pengetahuan

pengetahuan

Chi-Square

20.400

df

5

Asymp. Sig.

.001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: pekerjaan

Penghasilan vs Pengetahuan

pengetahuan

Chi-Square

11.064

df

3

Asymp. Sig.

.101

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: penghasilan

Lama menderita vs Pengetahuan

pengetahuan

Chi-Square

3.196

df

2

Asymp. Sig.

.202

a. Kruskal Wallis Test


(6)

Lampiran 8. Hasil Uji Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap HbA1C

Nonparametric Correlations

Correlations

pengetahuan

HbA1C

Spearman's rho pengetahuan Correlation Coefficient

1.000

-.100

Sig. (2-tailed)

.

.322

N

100

100

HbA1C

Correlation Coefficient

-.100

1.000

Sig. (2-tailed)

.322

.