Peran Konseling Farmasis Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Ditinjau dari Analisis Biaya Terapi di RSUD dr. Djoelham Binjai

(1)

TESIS

PERAN KONSELING FARMASIS PADA PASIEN

DIABETES MELITUS TIPE 2 DITINJAU DARI ANALISIS

BIAYA TERAPI DI RSUD dr. DJOELHAM BINJAI

OLEH:

ADEK CHAN

NIM 087014010

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN KONSELING FARMASIS PADA PASIEN

DIABETES MELITUS TIPE 2 DITINJAU DARI ANALISIS

BIAYA TERAPI DI RSUD dr. DJOELHAM BINJAI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam Ilmu Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ADEK CHAN

NIM 087014010

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERSETUJUAN TESIS

Nama Mahasiswa : Adek Chan

No. Induk mahasiswa : 087014010

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Peran Konseling Farmasis Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Ditinjau dari Analisis Biaya Terapi di RSUD

dr. Djoelham Binjai

Tempat dan Tanggal Ujian Lisan Tesis : Medan, Agustus 2011 Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. dr. Darwin Dalimunthe, Ph.D NIP 195301011983031004 NIP 194508171974121002

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Karsono, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195409091982011001 NIP 195311281983031002


(4)

PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Adek Chan

No. Induk mahasiswa : 087014010

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Peran Konseling Farmasis Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Ditinjau dari Analisis Biaya Terapi di RSUD

dr. Djoelham Binjai

Telah di uji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada hari kamis tanggal empat bulan agustus tahun dua ribu sebelas

Mengesahkan: Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji : Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Anggota Tim Penguji : Prof. dr. Darwin Dalimunthe, Ph.D

Prof. Dr. Karsono, Apt. Dr. Edy Suwarsono, SU., Apt


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhingga sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Peran Konseling Farmasis Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Ditinjau dari Analisis Biaya Terapi di RSUD dr. Djoelham Binjai sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW.

Selama menyelesaikan penelitian dan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terimakasih yang tiada terhingga kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc., (CTM)., Sp.A (K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., dan juga selaku Penguji yang telah menyediakan fasilitas dan kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi.

3. Ketua Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., yang telah memberi dorongan dan semangat dalam penyelesaian pendidikan Program Magister Farmasi.


(6)

4. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberi saran, bimbingan dan dorongan dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani pendidikan, penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. dr. Darwin Dalimunthe, Ph.D selaku Pembimbing II yang secara aktif berperan serta mengarahkan penulis dalam melaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt selaku penguji.

7. Pihak RSUD dr. Djoelham Binjai yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan bagi penulis dalam melaksanakan penelitian.

8. Pihak manajemen laboratorium Thamrin Medan beserta staf yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini. Kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi imu pengetahuan.

Medan, Agustus 2011 Penulis


(7)

PERAN KONSELING FARMASIS PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DITINJAU DARI ANALISISBIAYA TERAPI

DI RSUD dr. DJOELHAM BINJAI

Abstrak

Biaya pelayanan kesehatan semakin meningkat diakibatkanberbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan, peningkatan penggunaan teknologi canggih, meningkatnya permintaan masyarakat dan perubahan ekonomi secara global. Salah satu penyakit yang membutuhkan biaya yang besar untuk penatalaksanaannya adalah diabetes dan biaya semakin meningkat manakala timbul komplikasi. Oleh karena itu fokus utama pengendalian biaya perawatan diabetes adalah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah jangan sampai timbul komplikasi, salah satu caranya adalah dengan melibatkan farmasis dalam asuhan kefarmasian berupa konseling dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi sehingga mampu melakukan self care. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap biaya terapi yang diberikan dan manfaat terhadap pencegahan kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan melibatkan 24 orang penderita DM tipe 2, dibagi dua kelompok yaitu konseling dan tanpa konseling dengan melakukan pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD), HbA1c dan analisis biaya terapi antidiabetik.

Pada penelitian ini penderita perempuan lebih banyak (91,67%) dibanding laki-laki (8,33%). DM terbanyak dialami pada umur antara 51-60 tahun yaitu 6 orang (50,00%) pada DM dengan konseling dan 5 orang (41,67%) pada kelompok umur antara 61-70 tahun pada DM tanpa konseling. Berdasarkan lama menderita DM yang paling banyak dialami pasien selama 1-6 tahun sebanyak 6 orang (50,00%) pada DM dengan konseling dan DM tanpa konseling 5 orang (41,67%). Nilai HbA1c pada Penderita DM dengan konseling terjadi penurunan terbesar yaitu 41,35% dengan nilai HbA1c awal 10,4 dan nilai HbA1c akhir 6,1 sedangkan persentase kenaikan yaitu 12,5% dengan nilai HbA1c awal 6,4 dan nilai HbA1c akhir 7,2. Nilai HbA1c pada penderita DM tanpa konseling kenaikan tertinggi yaitu 31,70% dengan nilai HbA1c awal 8,2 dan nilai HbA1c akhir 10,8 dan penurunan terbesar yaitu 29,36% dengan nilai HbA1c 12,6 dan nilai HbA1c akhir 8,9. Biaya terapi penderita DM setelah diberikan konseling terjadi penurunan yaitu Rp.49.650 menjadi Rp.17.400. biaya terapi pada penderita DM tanpa konseling tidak terjadi penurunan biaya (biaya terapi tetap).

Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai kebermaknaan = 0,003, ini berarti dengan adanya konseling biaya terapi pada penderita DM menurun dengan signifikan (p < 0,05). Maka kesimpulan penelitian ini adalah penderita DM yang diberi konseling terjadi penurunan biaya sedangkan pada pasien tanpa konseling tidak terdapat perubahan biaya, hal ini berarti dengan pemberian konseling mempengaruhi analisis biaya terapi pada pasien DM tipe 2 dan dengan adanya konseling dapat menurunkan tingkat HbA1c pada pasien DM tipe 2 sehingga mencegah terjadinya komplikasi.


(8)

ROLE IN PATIENT COUNSELING PHARMACISTS

TYPE 2 DIABETES MELLITUS VIEWED FROM THE ANALYSIS COST OF THERAPY

IN GENERAL HOSPITALS dr. DJOELHAM BINJAI

Abstract

Increasing health care costs resulting from various factors such as changing pattems of disease and treatment pattems, increased use advanced technology, increasing public demand and global economic change. One of the diseases that require a high cost for management is a diabetic and cost increases when complications arise. Therefore the main focus of diabetes care cost control is best to prevent complications do not arise, one way is to involve pharmacists in pharmaceutical care in the form of counseling and improving patient adherence to therapy so as to perform self-care. The purpose of this study was to determine the effect of counseling and benefits therapy costs to prevent the possibility of complications in patients with type 2 diabetes. This research was conducted for 3 months involving 24 people with type 2 diabetes mellitus patients, divided into two groups, counseling and without counseling by inspecting Blood Sugar Levels (KGD), HbA1c and analysis of the cost of antidiabetic therapy.

In this study, more female patients (91.67%) than men (8.33%). DM is most experienced at the age between 51-60 years of 6 people (50.00%) in DM with counseling and 5 women (41.67%) in the age group between 61-70 years in DM without counseling. Based on the long suffering of the most experienced DM patients for 1-6 years as many as 6 people (50.00%) in DM with DM without counseling and counseling 5 people (41.67%). Value of HbA1c in diabetic patients with the largest decline counseling is 41.35% with initial HbA1c value of 10.4 and final HbA1c value of 6.1 while the percentage increase of 12.5% with initial HbA1c value of 6.4 and final HbA1c value of 7.2. HbA1c values in patients with DM without counseling the highest increase of 31.70% with initial HbA1c value of 8.2 and final HbA1c value of 10.8 and the biggest drop of 29.36% with HbA1c value of 12.6 and final HbA1c value of 8.9. The cost of therapy in diabetic patient after being given counseling a decline that is Rp.49.650 be Rp.17.400. cost of therapy in patients with DM without counseling is not a decline in costs (costs of therapy equipment).

Based on statistical test values obtained significance = 0.003, this means that with the cost of counseling therapy in patients with DM decreased significantly (p <0.05). So the conclusion of this study were patients who were given counseling DM decrease the cost of counseling while in patients without no fee changes, this means the provision of counseling affects the cost analysis of therapy in patients with type 2 diabetes mellitus and with counseling can reduce HbA1c levels in patients with DM type 2 thus preventing the occurrence of complications.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ………. i

HALAMAN JUDUL ………... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ………. v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ………. viii

DAFTAR ISI ………... ix

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis... 6

1.6 Tujuan Penelitian ... 6

1.7 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Diabetes Melitus... 7

2.1.1 Etiologi ... 7


(10)

2.1.3 Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus ... 9

2.1.4 Penatalaksanaan ... 12

2.1.5 Penilaian Pengontrolan Glukosa ... 15

2.2 Farmakoekonomi ... 18

2.3 Asuhan Kefarmasian ……….. 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Desain Penelitian ... 26

3.2 Bahan Penelitian ... 26

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

3.4 Populasi dan Teknik Sampel ... 26

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.6 Alat dan Bahan ……….…………..……… 30

3.6.1 Alat ... 30

3.6.2 Bahan ... 30

3.6.3 Subjek Penelitian... 31

3.7 Analisis Data ... 31

3.8 Persetujuan Komite Etik Penelitian ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Jenis Kelamin... 33

4.2 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Umur ... 33

4.3 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Lama Menderita Penyakit ... 34

4.4 Gambaran Nilai HbA1c pada Penderita DM dengan Konseling ………. 35


(11)

4.5 Gambaran Nilai HbA1c pada Penderita DM

Tanpa Konseling ... 39

4.6 Gambaran Perbandingan Nilai HbA1c Pasien D dengan Konseling dan Tanpa Konseling ………... 41

4.7 Gambaran Biaya Terapi Penderita DM dengan Konseling ... 41

4.8 Gambaran Biaya Terapi Penderita DM Tanpa Konseling... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN... 50

                       


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Kriteria penegakan diagnosis ... 9

Tabel 2.1 Target penatalaksanaan DM ... 15

Tabel 2.2 Kadar glikat hemoglobin pada penderita DM ... 16

Tabel 3.1 Standard deviasi normal (Zcrit) berdasarkan signifikansi yang dipilih dan Cls ... 28

Tabel 3.2 Standard deviasi normal (Zpwr) berdasarkan kekuatan statistik yang dipilih ... 28

Tabel 4.1 Distribusi jenis kelamin penderita DM ... 33

Tabel 4.2 Distribusi penderita DM berdasarkan umur ... 34

Tabel 4.2 Distribusi penderita DM berdasarkan lama menderita ... 34

Tabel 4.4 Gambaran nilai HbA1c pada penderita DM dengan konseling ... 35

Tabel 4.5 Analisis nilai HbA1c pada penderita DM dengan konseling menggunakan uji wilcoxon signed rank test ... 36

Tabel 4.6 Persentase nilai HbA1c pada penderita DM tanpa konseling ... 40

Tabel 4.7 Analisis nilai HbA1c pada penderita DM tanpa konseling menggunakan uji wilcoxon signed rank test... 40

Tabel 4.8 Perbandingan nilai statistik antara dua kelompok diuji dengan mann-whitney test ... 41

Tabel 4.9 Biaya terapi penderita DM dengan konseling ... 42

Tabel 4.10 Analisis biaya terapi penderita DM dengan konseling menggunakan uji wilcoxon signed rank test ... 43


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 

Gambar 1.1 Diagram yang menggambarkan kerangka pikir penelitian ... 5

Gambar 2.1 Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 ... 14

Gambar 4.1 Grafik rata-rata biaya penderita DM dengan konseling ... 42


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Kuesioner penelitian ... 50 Lampiran 2 Program Konseling Farmasis ... 56

Lampiran 3 Persetujuan komite etik penelitian kesehatan dari fakultas kedokteran USU... 58 Lampiran 4 Persetujuan KOPPPETEKES penelitian kesehatan dari RSUD

dr. Djoelham Binjai ... 59 Lampiran 5 Tabel identitas penderita DM tipe 2... 60 Lampiran 6 Tabel tekanan darah penderita DM tipe 2... 61 Lampiran 7 Tabel nilai HbA1c dan KGD penderita DM tipe 2 dengan

konseling... 62 Lampiran 8 Tabel nilai HbA1c dan KGD penderita DM tipe 2 tanpa

konseling... 63 Lampiran 9 Tabel riwayat keluarga, olahraga penderita DM tipe 2... 64 Lampiran 10 Tabel antidiabetik yang digunakan penderita DM tipe 2 yang

diberi konseling ... 65 Lampiran 11 Tabel biaya antidiabetik yang digunakan penderita DM tipe 2

tanpa konseling ... 66 Lampiran 12 Hasil analisis data HbA1c pre konseling dan post konseling

(intervensi) menggunakan SPSS... 67 Lampiran 13 Hasil analisis data HbA1c awal dan akhir pertemuan (kontrol) menggunakan SPSS ... 68 Lampiran 14 Hasil analisis data HbA1c perbandingan antara intervensi dan

kontrol menggunakan SPSS ... 70 Lampiran 15 Hasil analisis data biya terapi pre konseling dan post

konseling (intervensi) menggunakan SPSS ... 72 Lampiran 16 Leafleat penyakit DM ... 74 Lampiran 17 Foto pengambilan darah untuk pemeriksaan HbA1c... 79


(15)

PERAN KONSELING FARMASIS PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DITINJAU DARI ANALISISBIAYA TERAPI

DI RSUD dr. DJOELHAM BINJAI

Abstrak

Biaya pelayanan kesehatan semakin meningkat diakibatkanberbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan, peningkatan penggunaan teknologi canggih, meningkatnya permintaan masyarakat dan perubahan ekonomi secara global. Salah satu penyakit yang membutuhkan biaya yang besar untuk penatalaksanaannya adalah diabetes dan biaya semakin meningkat manakala timbul komplikasi. Oleh karena itu fokus utama pengendalian biaya perawatan diabetes adalah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah jangan sampai timbul komplikasi, salah satu caranya adalah dengan melibatkan farmasis dalam asuhan kefarmasian berupa konseling dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi sehingga mampu melakukan self care. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap biaya terapi yang diberikan dan manfaat terhadap pencegahan kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien DM tipe 2. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan melibatkan 24 orang penderita DM tipe 2, dibagi dua kelompok yaitu konseling dan tanpa konseling dengan melakukan pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD), HbA1c dan analisis biaya terapi antidiabetik.

Pada penelitian ini penderita perempuan lebih banyak (91,67%) dibanding laki-laki (8,33%). DM terbanyak dialami pada umur antara 51-60 tahun yaitu 6 orang (50,00%) pada DM dengan konseling dan 5 orang (41,67%) pada kelompok umur antara 61-70 tahun pada DM tanpa konseling. Berdasarkan lama menderita DM yang paling banyak dialami pasien selama 1-6 tahun sebanyak 6 orang (50,00%) pada DM dengan konseling dan DM tanpa konseling 5 orang (41,67%). Nilai HbA1c pada Penderita DM dengan konseling terjadi penurunan terbesar yaitu 41,35% dengan nilai HbA1c awal 10,4 dan nilai HbA1c akhir 6,1 sedangkan persentase kenaikan yaitu 12,5% dengan nilai HbA1c awal 6,4 dan nilai HbA1c akhir 7,2. Nilai HbA1c pada penderita DM tanpa konseling kenaikan tertinggi yaitu 31,70% dengan nilai HbA1c awal 8,2 dan nilai HbA1c akhir 10,8 dan penurunan terbesar yaitu 29,36% dengan nilai HbA1c 12,6 dan nilai HbA1c akhir 8,9. Biaya terapi penderita DM setelah diberikan konseling terjadi penurunan yaitu Rp.49.650 menjadi Rp.17.400. biaya terapi pada penderita DM tanpa konseling tidak terjadi penurunan biaya (biaya terapi tetap).

Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai kebermaknaan = 0,003, ini berarti dengan adanya konseling biaya terapi pada penderita DM menurun dengan signifikan (p < 0,05). Maka kesimpulan penelitian ini adalah penderita DM yang diberi konseling terjadi penurunan biaya sedangkan pada pasien tanpa konseling tidak terdapat perubahan biaya, hal ini berarti dengan pemberian konseling mempengaruhi analisis biaya terapi pada pasien DM tipe 2 dan dengan adanya konseling dapat menurunkan tingkat HbA1c pada pasien DM tipe 2 sehingga mencegah terjadinya komplikasi.


(16)

ROLE IN PATIENT COUNSELING PHARMACISTS

TYPE 2 DIABETES MELLITUS VIEWED FROM THE ANALYSIS COST OF THERAPY

IN GENERAL HOSPITALS dr. DJOELHAM BINJAI

Abstract

Increasing health care costs resulting from various factors such as changing pattems of disease and treatment pattems, increased use advanced technology, increasing public demand and global economic change. One of the diseases that require a high cost for management is a diabetic and cost increases when complications arise. Therefore the main focus of diabetes care cost control is best to prevent complications do not arise, one way is to involve pharmacists in pharmaceutical care in the form of counseling and improving patient adherence to therapy so as to perform self-care. The purpose of this study was to determine the effect of counseling and benefits therapy costs to prevent the possibility of complications in patients with type 2 diabetes. This research was conducted for 3 months involving 24 people with type 2 diabetes mellitus patients, divided into two groups, counseling and without counseling by inspecting Blood Sugar Levels (KGD), HbA1c and analysis of the cost of antidiabetic therapy.

In this study, more female patients (91.67%) than men (8.33%). DM is most experienced at the age between 51-60 years of 6 people (50.00%) in DM with counseling and 5 women (41.67%) in the age group between 61-70 years in DM without counseling. Based on the long suffering of the most experienced DM patients for 1-6 years as many as 6 people (50.00%) in DM with DM without counseling and counseling 5 people (41.67%). Value of HbA1c in diabetic patients with the largest decline counseling is 41.35% with initial HbA1c value of 10.4 and final HbA1c value of 6.1 while the percentage increase of 12.5% with initial HbA1c value of 6.4 and final HbA1c value of 7.2. HbA1c values in patients with DM without counseling the highest increase of 31.70% with initial HbA1c value of 8.2 and final HbA1c value of 10.8 and the biggest drop of 29.36% with HbA1c value of 12.6 and final HbA1c value of 8.9. The cost of therapy in diabetic patient after being given counseling a decline that is Rp.49.650 be Rp.17.400. cost of therapy in patients with DM without counseling is not a decline in costs (costs of therapy equipment).

Based on statistical test values obtained significance = 0.003, this means that with the cost of counseling therapy in patients with DM decreased significantly (p <0.05). So the conclusion of this study were patients who were given counseling DM decrease the cost of counseling while in patients without no fee changes, this means the provision of counseling affects the cost analysis of therapy in patients with type 2 diabetes mellitus and with counseling can reduce HbA1c levels in patients with DM type 2 thus preventing the occurrence of complications.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada akhir-akhir ini, biaya pelayanan kesehatan semakin meningkat diakibatkan berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan, peningkatan penggunaan teknologi canggih, meningkatnya permintaan masyarakat dan perubahan ekonomi secara global. Dilain pihak biaya yang tersedia untuk kesehatan belum dapat ditingkatkan, karena kemampuan pemerintah sangat terbatas. Sementara itu sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah diharapkan untuk dapat lebih mendekatkan kepada pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan efisiensi dan penggunaan dana secara lebih rasional. Ekonomi kesehatan sebagai suatu alat untuk menemukan cara peningkatan efisiensi dan memobilisasi sumber dana dapat dipergunakan untuk membantu mengembangkan upaya khusus tanpa mengabaikan aspek sosial dari sektor kesehatan itu sendiri (Kier, et al., 2007)).

Farmakoekonomi dalam kaitan ini memiliki peranan penting sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi memperkirakan harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang (Bootman, 2005).


(18)

DM merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan biaya yang besar untuk penatalaksanaannya. Data 2007 di Amerika Serikat sekitar 17,5 juta orang mengidap DM. Setiap tahun, biaya perawatan per kapita penderita diabetes tidak kurang dari US$ 13.243. Perkiraan terbaru oleh American Diabetes Association

tahun 2007 total biaya tahunan DM sebesar US$ 174 milyar, terdiri dari US$ 116 milyar untuk pembelanjaan medik dan US$ 58 milyar untuk biaya atas hilangnya produktivitas. Pembelanjaan medik sebesar US$ 116 milyar meliputi biaya medik langsung sebesar US$ 27 milyar, biaya untuk mengatasi komplikasi sebesar US$ 58 milyar, dan US$ 31 milyar untuk biaya umum lainnya (ADA, 2008). Hasil penelitian di RS Dr Sardjito Yogyakarta, biaya total untuk mengelola penyakit DM tipe 2 berkisar antara Rp. 208.500 sampai Rp. 754.500 per bulan (Andayani, 2005).

DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia; disebabkan karena abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein; dan dapat menyebabkan komplikasi kronik seperti mikrovaskuler, makrovaskuler dan neuropatik. Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang (Price, 2002). Pada orang normal sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses enzimatik dan bersifat reversibel. Pada pasien DM glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya. Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal antara 70-140 mg% selama 2-3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA1c akan


(19)

menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan HbA1c sebagai pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang (Perkeni, 2002). Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4 hingga 8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang digunakan, namun berkisar antara 3,5% hingga 5,5%. Menurut Dipiro et.al.,(2005) target pengobatan tercapai jika 3-6 bulan pemeriksaan HbA1c berada ≤ 6,5% - 7,0%.

Pada penatalaksanaan terapi penyakit DM tipe 2 terdapat suatu alur agar terapi yang diberikan optimal yaitu diawali dengan intervensi berupa edukasi, nutrisi dan olahraga yang kemungkinan akan mempengaruhi hasil terapi.

Menurut WHO pasien DM di Indonesia akan mengalami kenaikan dari 4,8 juta jiwa pada tahun 2000 dan menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Tingginya angka kesakitan tersebut menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Tanpa upaya pencegahan dan program pengendalian yang efektif prevalensi tersebut akan terus meningkat (Perkeni, 2009).

Penelitian dan perkembangan obat yang dilakukan pada beberapa akhir dekade memberikan informasi yang dapat diterapkan secara langsung untuk memperbaiki outcome pasien DM (Dipiro, et al., 2005). Suatu terapi pengobatan yang baik dan benar akan sangat menguntungkan bagi pasien, baik dari segi kesehatan atau kesembuhan penyakit yang diderita, biaya yang harus dikeluarkan, dan kepatuhan pasien mengkonsumsi obat terutama bagi pasien yang harus mengkonsumsi obat dalam waktu lama, bahkan seumur hidup, seperti penyakit


(20)

DM, oleh karena itu efisiensi dan efektivitas penggunaan obat dan biaya merupakan faktor yang penting diperhatikan.

Salah satu faktor utama kegagalan sebuah terapi adalah ketidakpatuhan terhadap terapi yang telah direncanakan, maka salah satu upaya penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi adalah konseling dan pemberian informasi yang lengkap dan akurat tentang terapi tersebut. Tujuan edukasi kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan agar pasien berpartisipasi dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat edukasi mengenai DM, risiko untuk komplikasi major meningkat 4 kali lipat. Konseling dalam penatalaksanaan DM sangat penting sebab DM merupakan penyakit yang sangat erat kaitannya dengan gaya hidup. Konseling diberikan kepada penderita untuk mendapatkan hasil penatalaksanaan DM yang optimal. Keberhasilan penatalaksanaan DM sangat bergantung pada kerja sama penderita dan keluarganya dengan petugas kesehatan. Kepatuhan penderita terhadap program penatalaksanaan sangat bergantung pada tingkat pemahamannya tentang penyakit tersebut. Penderita DM yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang DM umumnya dapat mengendalikan perilakunya sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peran farmasis dengan aplikasi pelayanan kesehatan dan farmakoekonomi akan membantu meningkatkan pencapaian outcome terapi yang maksimal dengan biaya yang seminimal mungkin, dengan melibatkan farmasis secara aktif dalam pelayanan kesehatan terkait dengan penggunaan obat, akan sangat bermanfaat dalam sistem pelayanan kesehatan, antara lain menurunkan biaya pelayanan kesehatan secara keseluruhan


(21)

dengan berfokus pada penggunaan obat yang optimal, menghindari atau meminimalisir masalah yang terkait dengan penggunaan obat (Drug Related problems/DRP’s), dan pencapaian outcome yang diinginkan pasien yaitu meningkatnya kualitas hidup. Selain itu dengan adanya intervensi farmasis akan memberikan pengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap penghematan biaya pengobatan. Semakin banyak jumlah farmasis dalam praktik klinis, semakin besar pula keuntungan dari investasi.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, maka kerangka pikir penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram yang menggambarkan kerangka pikir penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan dalam latar belakang dan kerangka pikir penelitian, maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :

a. apakah dengan pemberian konseling terapi pasien DM tipe 2 biaya perawatan efisien (menurun)?

b. apakah dengan pemberian konseling dapat mencegah komplikasi pada DM tipe 2?

‐ KGD terkontrol 

‐ HbA1c turun 

‐ Biaya efisien 

‐ Komplikasi 

   dicegah  Konseling  dan 

analisis  biaya  t i

‐ KGD (mg/dl) 

‐ HbA1c (%) 

‐ Biaya (Rp) 

   DM  


(22)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :

a. pemberian konseling akan mempengaruhi biaya terapi pada pasien DM tipe 2.

b. pemberian konseling akan mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien DM tipe 2.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. pengaruh konseling terhadap biaya terapi yang diberikan pada pasien DM tipe 2.

b. manfaat pemberian konseling terhadap pencegahan kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien DM tipe 2.

1.6 Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat dalam hal peningkatan mutu pelayanan pada pasien DM terutama dalam konteks efisiensi biaya terapi. Pemberian konseling pada pasien DM, jika dilakukan oleh semua pihak yang berkompeten akan member sumbangan yang besar dalam mengurangi angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup, dengan biaya yang efisien dan realistis.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTTAKA

2.1 Diabetes Melitus

DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin. Hal ini terkait dengan kelainan pada karbohidrat, metabolism lemak dan protein (Palaian, et al., 2005). Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan system vaskular (Cavallerano, 2009).

2.1.1 Etiologi

DM dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa akibat metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal dan berbagai komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Semua keadaan diabetes merupakan akibat suplai insulin atau respon jaringan terhadap insulin yang tidak adekuat (Inzucchi, 2005), ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi DM bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita DM. Manifestasi klinis DM terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada DM yang lebih berat, sel-sel beta


(24)

telah rusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin (Anonim, 1999).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (2008), terbagi 4 bagian yaitu:

a. Diabetes tipe 1

DM tipe 1 (tergantung insulin), DM ini disebabkan kerusakan sekresi produksi insulin sel-sel beta pankreas, sehingga penurun insulin sangat cepat sampai akhirnya tidak ada lagi yang disekresi. Oleh karena itu dalam penatalaksanaannya substitusi insulin tidak dapat dielakkan (disebut diabetes yang tergantung insulin).

b. Diabetes tipe 2

DM tipe 2 (tak tergantung insulin), adalah DM yang lebih umum, penderitanya lebih banyak dibandingkan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-9 % dari keseluruhan populasi penderita diabetes. DM tipe 2 sering terjadi pada usia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini di kalangan remaja dan anak-anak populasi penderita DM tipe 2 meningkat. Berbeda dengan DM tipe 1, pada DM tipe 2 terutama penderita DM tipe 2 pada tahap awal umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespons insulin


(25)

secara normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin. Obesitas atau kegemukan sering dikaitkan dengan penderita DM tipe 2.

c. Diabetes gestational

DM ini adalah intoleransi glukosa yang mulai timbul atau mulai diketahui selama pasien hamil. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon disertai pengaruh metaboliknya terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan merupakan keadaan diabetogenik.

d. Diabetes spesifik

DM ini disebabkan defekasi genetik fungsi sel-sel beta, defekasi genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, DM karena obat, DM karena infeksi, DM imunologi dan sindrom genetik.

2.1.3 Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa poliuria, polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas, ditemukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan satu kali saja glukosa darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk diagnosis klinis DM (Perkeni, 2002). Berikut adalah kriteria penegakan diagnosis DM (Tabel 1.1).


(26)

Glukosa plasma puasa Glukosa plasma 2 jam setelah makan Normal <100 mg/dl <140 mg/dl

Pra-diabetes 100-125 mg/dl -

Diabetes >126 mg/dl 200 mg/dl

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

i. Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta bisa koma. Apabila tidak segera ditolong akan terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian pada penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia.

ii. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba. Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan


(27)

pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis. Ketoasidosis diabetik diartikan tubuh sangat kekurangan insulin dan sifatnya mendadak. Akibatnya metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri dan mengalami koma. Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi berat, hipertensi, dan syok. Komplikasi ini diartikan suatu keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak, sehingga penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam, sedangkan kemolakto asidosis diartikan sebagai suatu keadaan tubuh dengan asam laktat tidak berubah menjadi karbohidrat. Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat (hiperlaktatemia) dan akhirnya menimbulkan koma.

b. Komplikasi kronis

i. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. Pencegahan komplikasi makrovaskuler sangat penting


(28)

dilakukan, maka penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, dan mengurangi stress.

ii. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi (Anonim, 2006).

2.1.4 Penatalaksanaan

Menurut PERKENI terdapat dua macam penatalaksanaan DM, yaitu : a. Terapi tanpa obat

i. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel beta terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian


(29)

dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di luar negeri bahwa diet tinggi karbohidrat bentuk kompleks (bukan disakarida atau monoakarida) dan dalam dosis terbagi dapat meningkatkan atau memperbaiki pembakaran glukosa di jaringan perifer dan memperbaiki kepekaan sel beta di pankreas.

ii. Olahraga, berolah raga secara teratur akan menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat Continuous, Rhymical, Interval, Progressive, Endurance Training dan disesuaikan dengan kemampuan serta kondisi penderita. Beberapa olahraga yang disarankan antara lain jalan, lari, bersepeda dan berenang, dengan latihan ringan teratur setiap hari, dapat memperbaiki metabolisme glukosa, asam lemak, ketone bodies, dan merangsang sintesis glikogen.

b. Terapi obat, apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat dapat dilakukan dengan antidiabetik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya (Anonim, 2006). Pada penatalaksanaan terapi DM tipe 2 terdapat alur agar terapi optimal (Gambar 2.1).


(30)

Gambar 2.1. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro et.,al, 2005)

Sejak ditemukannya insulin pada tahun 1921 oleh Banting dan Best, angka kematian DM dapat ditekan secara bermakna. Meski pun waktu paruh insulin

Awal intervensi Edukasi/ nutrisi/ olahraga

Monoterapi/ kombinasi awal sulfonylurea dan atau metformin

Kombinsi sulfonilurea

  Target :

HbA1c≤ 6,5-7,0% (Penurunan 0,5-1,0%) GDS < 110-130 mg/dl GDPP < 140 – 180

Terapi dilanjutkan atau dicek A1c tiap 3-6 bulan

Pilihan monoterapi lain : Pioglitazon/ rosiglitazon Nateglinide Repaglinide Akarbose/ insulin Insulin analog

Kombinasi lain : Metformin/ sulfonylurea dengan pioglitazon/ rosiglitazon atau akarbose/ miglitol metformin dengan nateglinide atau repaginide:insulin/ insulin analog (monoterapi/ kombinasi)

Intermediate-acting Insulin atau 1x perhari glargine : Sebelum pemberian intermediate regular insulin atau lispro/ aspart mix: tambah 3 kombinasi antidiabetik oral: atau ganti untuk memisah dosis insulin/ insulin analog terapi: berkunjung ke endokrinologis

Terapi dilanjutkan dan di cek: A1c tiap 3-6 bulan

Dicek A1c tiap 3-6

Target tercapai Target tercapai

Target tidak tercapai setelah 3 bulan


(31)

sekitar 7-10 menit, tetapi pemberiannya secara subkutan, intramuskuler, dan intravena mempunyai tujuan klinik yang berlainan.

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Target penatalaksanaan DM

Parameter Kadar ideal yang diharapkan

Kadar glukosa darah puasa 80-120 mg /dl Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dl Kadar glukosa darah saat tidur 100-140 mg/dl

Kadar insulin 110-150 mg/dl

Kadar HbA1c < 7%

Kadar kolesterol HDL >55 mg/dl (wanita) > 45 mg/dl (pria) Kadar trigliserida <200 mg/dl

2.1.5 Penilaian Pengontrolan Glukosa

Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe diabetes adalah pengukuran HbA1c. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang (Price, 2002). Pada orang normal, sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami glikosilasi. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses enzimatik dan bersifat reversible. Pada pasien DM glikosilasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya.


(32)

Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal antara 70-140 mg% selama 2-3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA1c akan menujukkan nilai normal. Pemeriksaan HbA1c adalah pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang (Perkeni, 2009). Pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4-8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang digunakan, namun berkisar antara 3,5%-5,5% (Tabel 2.2). Pemeriksaan HbA1c sebagai pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996).

Tabel 2.2 Kadar glikat hemoglobin pada penderita DM

Normal/Kontrol glukosa HbA1c (%)

Nilai normal 3,5-5,5%

Kontrol glukosa baik 3,5-6,0

Kontrol glukosa sedang 7,0-8,0

Kontrol glukosa buruk >8,0

2.1.6 Obat – Obat Diabetes Melitus

a. Antidiabetik oral

Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala, optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal


(33)

dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga. Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan membantunya. Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.

Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada (Anonim, 2005). Dalam hal ini obat hipoglikemik oral adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan insulin sensitizing.

b. Insulin

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut (Katjung, 2002). Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak.

Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif,


(34)

menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.

2. 2 Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah gambaran dan analisis dari biaya terapi obat untuk sistem perawatan kesehatan dan masyarakat. Farmakoekonomi meneliti, mengidentifikasi, dan membandingkan konsekuensi dari suatu produk farmasi dan jasa (Bootman, et al.,2005).

Tujuan dari farmakoekonomi di antaranya membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu juga membandingkan pengobatan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda.

Ada pun prinsip farmakoekonomi adalah sebagai berikut yaitu menetapkan masalah, mengidentifikasi alternative intervensi, menentukan hubungan antara

income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat; mengidentifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah menginterpretasikan dan pengambilan kesimpulan. Data farmakoekonomi sangat penting untuk membuat beberapa keputusan klinik, seperti pengelolaan formularium yang efektif, pengobatan pasien secara individual, kebijakan pengobatan dan alokasi dana (Muhlis, 2007).

Metode evaluasi farmakoekonomi terdiri dari lima macam yaitu Cost- Analysis (CA), Cost-Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis

(CEA), Cost-Utility Analysis (CUA), Cost-Benefits Analysis (CBA) (Dipiro et al., 2005).


(35)

CA, yaitu tipe analisis sederhana, yang mengevaluasi intervensi biaya.

Cost-Analysis dilakukan untuk melihat semua biaya dalam pelaksanaan atau pengobatan, dan tidak membandingkan pelaksanaan, pengobatan atau evaluasi efikasi. Adanya tiga syarat penting yang mesti dipenuhi, sebelum melakukan analisis biaya, yaitu struktur organisasi rumah sakit yang baik, sistem akuntansi yang tepat, informasi statistik yang cukup baik. Penerapan analisis biaya di rumah sakit selalunya mengacu pada penggolongan biaya yang terdiri dari 8 macam, yaitu :

i. Biaya langsung (direct cost) merupakan biaya yang melibatkan proses petukaran uang untuk penggunaan sumber dan kaitannya dengan pertukaran uang, misalnya pasien diberi obat, maka pasien tersebut harus membayarnya dengan sejumlah uang tertentu. Contoh biaya langsung adalah biaya obat, biaya operasional (pembayaran jasa dokter dan perawat, sewa ruangan, penggunaan alat), dan lainnya.

ii. Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang tidak melibatkan proses pertukaran uang untuk penggunaan sumber berdasarkan komitmen. Contohnya adalah biaya akibat hilangnya produktivitas (tidak masuk kerja), waktu (biaya perjalanan, menunggu), dan lainnya. iii. Biaya non material (intangible cost) merupakan biaya yang dikeluarkan

untuk hal-hal yang tak teraba, sehingga sukar diukur. Biaya ini bersifat psikologis, sukar dijadikan nilai mata uang. Contohnya adalah biaya untuk rasa nyeri atau penderitaan, cacat, kehilangan kebebasan, dan efek samping.


(36)

iv. Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan keluar (output). Untuk biaya ini tidak berubah meski pun ada peningkatan atau penurunan output, kecuali untuk gaji berkala. Contohnya adalah gaji Pegawai Negeri Sipil, sewa ruangan, dan ongkos peralatan.

v. Biaya tidak tetap (variable cost) merupakan biaya yang dipengaruhi oleh perubahan volume keluaran. Jadi, biaya ini akan berubah apabila terjadi peningkatan atau penurunan output. Contoh adalah komisi penjualan dan harga obat.

vi. Biaya rerata (average cost) merupakan biaya konsumsi sumber per unit

output. Jadi, hasil pembagian dari biaya total dengan volume atau kuantitas output. Biaya rerata adalah total biaya dibagi jumlah kuantitas

output.

vii. Marginal cost merupakan perubahan total biaya hasil dari pertambahan atau berkurangnya unit output.

viii. Opportunity cost merupakan besarnya biaya sumber pada saat nilai tertinggi dari penggunaan alternatif.

b. Cost-Minimization Analysis (CMA)

CMA adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya relatif terkait dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Pendapat kritis analisis cost-minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama. Contoh terapi dengan menggunakan antibiotika generik dengan merk dagang, outcome klinik (efek


(37)

samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah onset dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya yang lebih murah.

c. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

CEA adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran nonmoneter, yang berpengaruh terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis cost-effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted unit cost

dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai

discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau pengambil keputusan. Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness didasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah. Analisis cost effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Muhlis, 2007).

Pada studi farmakoekonomi untuk menginterpretasikan dan melaporkan hasil diwujudkan ke dalam bentuk rasio efektivitas, yaitu average cost-effectiveness ratio (ACER) dan incremental costeffectiveness ratio (ICER). Apabila suatu intervensi memiliki ACER paling rendah per unit efektivitas, maka intervensi tersebut paling cost-effective, sedangkan ICER merupakan tambahan biaya untuk menghasilkan satu unit peningkatan outcome relatif terhadap alternatif intervensinya.


(38)

d. Cost-Utility Analysis (CUA)

CUA adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utilitas beban lama hidup, menghitung biaya per utilitas, mengukur rasio untuk membandingkan di antara beberapa program. Analisis costutility mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti analisis cost-effectiveness, analisis cost-utility membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan tersebut. Pada analisis cost-utility, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi ke dalam nilai QALYs. Sebagai contoh, jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Martin, 2002).

e. Cost-Benefits Analysis (CBA)

CBA adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya karena mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah. Analisis ini mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat


(39)

digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda dan merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif.

2.3 Asuhan Kefarmasian

Asuhan Kefarmasian adalah suatu praktik yang bertumpu kepada pasien, bertanggung jawab dan komitmen terhadap kebutuhan pasien akan obat. Menurut Cipolle et.al.,(1997) ada tiga kegiatan dan tanggungjawab dalam proses perawatan pasien yaitu :

a. Penilaian (Assessement), tujuan penilaian ada tiga yaitu untuk :

i. Memahami bahwa pasien dapat mengambil keputusan yang baik terhadap terapi obat yang rasional.

ii. Menentukan ketepatan, keefektifan, keamanan terapi obat pasien dan menentukan kompatibilitas pasien dengan obat yang dipilihkan.

iii. mengidentifikasi masalah terapi obat, informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan klinis pasien mencakup data yaitu (informasi demografis, dan pengalaman penggunaan obat-obatan), data penyakit (kondisi medis saat ini, riwayat kesehatan, status gizi, dan tinjauan sistem), dan data obat (obat saat ini, penggunaan pengobatan masa lalu).

b. Rencana Perawatan (Care Plan), tujuan rencana perawatan adalah untuk mengatur semua pekerjaan yang telah disepakati oleh praktisi dan pasien untuk mencapai tujuan terapi. Hal ini membutuhkan intervensi untuk menyelesaikan masalah terapi obat, untuk memenuhi tujuan, dan untuk


(40)

mencegah masalah terapi obat baru, sehingga mengoptimalkan pengalaman pengobatan pasien. Rencana perawatan mengandung intervensi yang dirancang untuk menyelesaikan masalah terapi obat, mencapai tujuan lain terapi, mencegah masalah terapi obat baru.

c. Evaluasi Tindak Lanjut (Follow up Evaluation), tujuan dari evaluasi tindak lanjut adalah untuk menentukan hasil optimal terapi obat untuk pasien, hasil ini dimaksudkan untuk tujuan terapi, menentukan efektifitas dan keamanan farmakoterapi, mengevaluasi kepatuhan pasien, dan menetapkan status pasien. Langkah evaluasi adalah pengalaman klinis dan pengetahuan terkini. Bahkan, kebanyakan terjadi selama evaluasi tindak lanjut. Evaluasi tindak lanjut adalah langkah dalam proses ketika dokter melihat obat dan dosis yang paling efektif atau kegagalan. Pada evaluasi tindak lanjut juga dinilai respon pasien terhadap terapi obat dalam hal efektivitas, keselamatan, kepatuhan dan juga menentukan jika ada masalah baru. Konsep pelayanan kefarmasian muncul karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan kefarmasian yang diberikan, baik di klinik maupun di apotik (komunitas). Penekanan pelayanan kefarmasian terletak pada dua hal utama, yaitu:

a. menentukan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai kondisi penyakit.

b. membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara berkesinambunngan.

Berkembangnya paradigma baru tentang pelayanan kefarmasian ini tidak jarang mengundang salah pengertian profesi kesehatan lain. Oleh sebab itu perlu


(41)

ditekankan bahwa pelayanan kefarmasian yang dilakukan seorang farmasi bukan untuk menggantikan profesi dokter atau profesi lain, namun lebih pada pemenuhan kebutuhan dalam sistem pelayanan kesehatan yang muncul, antara lain:

a. adanya kecenderungan polifarmasi dalam terapi, terutama pada pasien lanjut usia atau pun penderita penyakit kronis.

b. semakin beragamnya produk obat yang beredar di pasaran beserta informasinya.

c. peningkatan kompleksitas terapi obat

d. peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan masalah terapi obat. e. mahalnya biaya terapi apalagi bila disertai kegagalan terapi.

Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan:

a. penyusunan informasi dasar atau database pasien b. evaluasi atau pengkajian (assessment)

c. penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK) d. implementasi RPK

e. monitoring implementasi dan tindak lanjut (folloe up) (Depkes, 2005).

     

       


(42)

BAB III

METODE PENELITAN

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi non eksperimental dan Randomized Control Trial yaitu peneliti dan partisipan mengetahui tritmen yang diberikan (Kier, et al., 2007).

3.1 Desain Penelitian

Pengambilan sampel secara nonrandom purposive sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri didasari cirri atau sifat-sifat populasi yang sudah ada diketahui sebelumnya (Notoadmojo, 2005).

3.2 Bahan Penelitian

Bahan dan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari catatan medik, perincian biaya obat, dan hasil wawancara dengan pasien DM tipe 2.

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan lebih kurang selama 3 bulan, dan tempat penelitian di RSUD dr. Djoelham Binjai.

3.4 Populasi dan Teknik Sampel

Subjek penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penerimaan.


(43)

a. Kriteria penerimaan

i. pasien Askes dan Jamkesmas yang rawat jalan.

ii. subjek pria dan wanita dewasa usia > 40 tahun, penderita DM tipe 2. iii. menerima pemberian informasi serta persetujuan partisipasi bersifat

sukarela dan tertulis (informed concent) untuk menjalani pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.

b. Kriteria penolakan i. DM tipe 1 ii. DM gestasional

iii. DM tipe 2 dengan insulin iv. Anemia diabetik

c. Perhitungan besar sampel

Perhitungan besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan rumus :

N =4σ2(Zcrit + Zpwr)2

D2

N = total jumlah sampel

σ = simpangan deviasi masing kelompok (diasumsi sama untuk dua kelompok)

Zcrit = nilai berdasarkan ketetapan (Tabel 3.1) untuk criteria signifikansi yang diharapkan.

Zpwr = nilai berdasarkan ketetapan (Tabel 3.2) untuk kekuatan statistik yang diharapkan.


(44)

Tabel 3.1 Standar deviasi normal (Zcrit) berdasarkan signifikansi yang dipilihdan Cls

Kriteria signifikan Nilai Zcrit

0,01 (99) 2,576

0,02 (98) 2,326

0,05 (95) 1,960

0,10 (90) 1,645

(Eng, 2003)

Tabel 3.2 Standar deviasi normal (Zpwr) berdasarkan kekuatan statistik yang dipilih

Kriteria signifikan Nilai Zcrit

0,80 0,842

0,85 1,036

0,90 1,282

0,95 1,645

(Eng, 2003)

Menurut Dipiro et.al., (2005) target pengobatan tercapai dengan adanya intervensi jika pemeriksaan HbA1c <6,5% atau penurunan 0,5%-1%, dengan asumsi tanpa intervensi tidak terjadi pengurangan nilai HbA1c (0%).

Perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini mengikuti rumus diatas dengan : a. Minimum expected difference : 1

b. Estimated standard deviation :0,5 c. Desired power : 0,95

d. Zcrit : 0,05 = 1,960 e. Zpwr : 0,95 = 1,645


(45)

Maka besar sampel yang dibutuhkan adalah: N= 4(0,5)2(1,960+1,645)2

12 N= 12

3.5 Teknik Pengumpulan Data

a. Pemilihan Pasien

i. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diperoleh dengan menelusuri data rekam medik

ii. Pasien dibagi dua kelompok yaitu kelompok konseling dan non konseling

iii. Pasien diberi keterangan mengenai latar belakang, tujuan dan manfaat penelitian

iv. Pasien yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian akan mendapat pengarahan dan menandatangani informed consent.

b. Pengambilan data awal penelitian

Pada pertemuan berikutnya, dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pengisian kuesioner sebagai data awal penelitian. Pada kedua kelompok dilakukan pemeriksaan laboratorium, meliputi:

i. Glucosilated hemoglobin (HbA1c) ii. Kadar glukosa darah (KGD) sewaktu c. Konseling Farmasis (Lampiran. 2)

i. Penyakit DM

ii. Perubahan gaya hidup

iii. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)


(46)

d. Pengambilan data akhir penelitian

Setelah dilaksanakan penelitian selama 3 bulan, maka pasien akan dilakukan pemeriksaan laboratorium (HbA1c) kembali. Data ini akan dibandingkan dengan data awal penelitian.

3.6 Alat dan Bahan 3.6.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah :

a. HPLC penukar ion merek D-10 untuk mengukur HbA1c b. Easy touch pemeriksaan kadar gula darah sewaktu

3.6.2 Bahan

Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan HbA1c adalah : a. Sampel: EDTA sebanyak 300-500 µL berasal dari 3 ml darah.

b. Reagen: 220-0101, D-10 Hemoglobin A1c reorder pack untuk 400 tes. i. Elution buffer 1. Dua botol mengandung 2000 ml dapar

Bis-Tris/Fosfat, pH 6,0. Juga berisi <0,05% Natrium azida sebagai pengawet.

ii. Elution buffer 2. Satu botol mengandung 1000 ml dapar Bis-Tris/Fosfat, pH 6,7. Juga berisi <0,05% Natrium azida sebagai pengawet.

iii. Wash/Diluent solution. Satu botol mengandung 00 ml aquadest sebagai pengawet.


(47)

iv. Analytical cartridge. Satu cartridge penukar kation 4,0 mm ID x 30 mm. Dua elemen filter (masing-masing 500 tes) termasuk dalam cartridge.

v. Floopy diskette dengan parameter program D-10 Hemoglobin A1c.

vi. Calibrator/Dilluent set. Volume pelarutan adalah 7 ml per vial. Calibrator/Dilluent set berbentuk liofilisat untuk meningkatkan stabilitas.

vii. Whole blood primer. Empat vial berisi hemolisat sel darah merah manusia berbentuk liofilisat dengan gentamisin, tobramisin dan EDTA sebagai pengawet. Volume pelarutan adalah 1,0 ml per vial.

viii. Sampel vial 100 poliprotein vial dengan tutup berpenusuk 1,5 ml.

3.6.3 Subjek Penelitian

Manusia penderita DM tipe 2.

3.7 Analisis Data

Analisis data penelitian dilakukan dengan dua tahap yaitu untuk :

a. menguji nilai sebelum dan sesudah konseling dilakukan dengan metode non parametric wilcoxon sign rank test.

b. menguji nilai sesudah konseling pada sampel kontrol dan treatment dilakukan dengan metode mann whitney utest.


(48)

3.8 Persetujuan Komite Etik Penelitian

Sebelum penelitian dilakukan terlebih dahulu diminta persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (Lampiran. 3).

                             


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan penelitian terhadap panderita DM tipe 2 di RSUD dr.Djoelham Binjai maka didapatkan hasil sebagai berikut.

4.1 Gambaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penderita DM pada penelitian ini paling banyak adalah perempuan sebanyak 22 orang (91,67%) dan penderita laki-laki sebanyak 2 orang (8,33%) (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Distribusi jenis kelamin penderita DM

Jenis kelamin Frekwensi Persentase

Laki-laki 2 8,33

Perempuan 22 91,67

Total 24 100

4.2 Gambaran Penderita DM Berdasarkan Umur

Pada penelitian ini pasien dikelompokkan berdasarkan umur, penderita DM terbanyak dialami pada umur antara 51-60 tahun yaitu 6 orang (50,00%) pada DM dengan konseling, kemudian disusul 5 orang (41,67%) pada kelompok umur antara 61-70 tahun pada DM tanpa konseling (Tabel 4.2).

Pengelompokkan pasien berdasarkan umur untuk mengetahui pada rentang berapa kasus DM tipe 2 banyak terjadi. Penderita DM mengalami peningkatan jumlah kasusnya paling banyak terjadi pada umur di atas 40 tahun. Data yang


(50)

didapat sesuai denagn pernyataan dari American Diabetes Association (ADA), bahwa usia diatas 45 tahun merupakan salah satu faktor resiko terjadinya DM tipe 2.

Tabel 4.2 Distribusi penderita DM berdasarkan umur

 

Jenis kelamin 

    Frekwensi      Persentase     

Laki‐laki 

  2    8,33    Perempuan    22    91,67    Total    24    100 

4.3 Gambaran Penderita DM Berdasarkan Lama Menderita

Berdasarkan lama menderita DM nampak bahwa yang paling banyak dialami pasien selama 1-6 tahun, sebanyak 6 orang (50,00%) pada umur 49-70 tahun pada DM dengan konseling. Kemudian sama halnya pada DM tanpa konseling yang telah mengalami DM selama 1-6 yaitu 5 orang ( 41,67%) pada umur 40-54 tahun (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Distribusi penderita DM berdasarkan lama menderita

Kelompok Konseling  Kelompok Tanpa Konseling  Lama  menderita     (tahun)  Jumlah  responden  Persentase  (%)  Jumlah  responden 

Persentase (%) 

 

1‐6 

    6    50,00    5    41,67   

7‐12 

    5    41,67    4    33,33           


(51)

13‐18 

 

2  16,67 

 

 

19‐24 

 

 

 

8,33     

 

25‐30 

        1    8,33    Jumlah      12    100    12    100 

4.4 Gambaran Nilai HbA1c pada Penderita DM dengan Konseling

Sebanyak 12 subjek yang diamati dalam penelitian ini pada kelompok yang diberi konseling terdapat persentase penurunan masing-masing pasien. Penurunan terbesar pada pasien no.8 (41,35%) dengan nilai HbA1c awal 10,4 dan nilai HbA1c akhir 6,1. Disusul pada pasien no.9 (34,28%) nilai HbA1c awal 10,5 dan nilai HbA1c akhir 6.9 sedangkan persentase kenaikan terdapat pada pasien no. 2 (12,5%) dengan nilai HbA1c awal 6,4 dan nilai HbA1c akhir 7,2 (Tabel 4.4). Tabel 4.4 Persentase nilai HbA1c pada penderita DM dengan konseling

Nilai HbA1c ( % ) No Nama

penderita Awal Akhir

Persentase Penurunan/Kenaikan

1

Tn. M 6,8 6,2

8,82*

2

Ny. T 6,4 7,2

12,5**


(52)

3 5,97*

4

Ny. S 9,4 10,1

7,45**

5

Ny. Ms 9,1 7,3

19,78*

6

Ny. I 10,0 7,1

29,00*

7

Ny. Z 8,1 7,8

3,70*

8

Ny. M 10,4 6,1

41,35*

9

Ny. Sr 10,5 6,9

34,28*

10

Ny. Ml 10,1 8,2

18,81*

11

Ny. P 12,9 9,2

28,68*

12

Ny. St 8,4 7,8

7,14* Keterangan

*) = Persentase penurunan nilai HbA1c **) = Persentase kenaikan nilai HbA1c


(53)

Tabel 4.5 Analisis nilai HbA1c pada penderita DM dengan konseling menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test.

Nilai HbA1c akhir – nilai HbA1c awal

Z

-1,726

Asymp. Sig. (2-tailed)

0,084

Berdasarkan nilai HbA1c pada penderita DM dengan konseling, dilakukan analisis data menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test diperoleh dengan nilai kebermaknaan = 0,084 ini berarti konseling tidak memberikan penurunan nilai HbA1c yang signifikan (p > 0,05) (Tabel 4.5).

Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain tingkat kehadiran penderita DM pada saat konseling > 50%, ketidakpatuhan pasien dalam menjalankan terapi diabetik, waktu konseling yang singkat dan sampel yang sedikit sehingga tidak dapat ditarik secara statistik, tetapi konseling yang diberikan memberikan perubahan nilai HbA1c yang bermakna pada masing-masing pasien (Tabel. 4.4). Konseling yang dilakukan diharapkan memberi pengetahuan penderita terhadap penyakit DM sehingga dapat melakukan self care (perawatan diri) karena terdapat hubungan yang cukup berarti antara tingakat self care dan HbA1c pada DM tipe 2 (Yulianti dkk.,2010). Dalam hal ini self care memainkan peranan penting dalam manajemen DM, terutama untuk mencegah terjadinya komplikasi diabetik. Jika terjadi komplikasi, menjadikan penyakit DM semakin parah dan


(54)

biaya untuk berobat pun semakin mahal. Usaha individu dapat ditunjukkan pada beberapa perilaku yang mencerminkan aktivitas self care, diantaranya pengontrolan gula darah, insulin dan perencanaan makan, olahraga, dan penanganan hipoglikemik (Yulianti dkk., 2010).

Namun demikian, pasien dalam menerapkan self care terdapat beberapa kendala antara lain sangat sulit menerapkan pola makan sehat setiap hari disebabkan mereka hanya makan apa yang disediakan dan karena adanya pengaruh dari lingkungan, kemudian pada pasien lanjut usia akan merasa kesulitan melakukan aktivitas olahraga akibat keterbatasan pergerakan fisik mereka. Farmasis dalam hal ini cukup berperan untuk memberikan pelayanan berupa edukasi terhadap penderita DM terlihat pada hasil persentase penurunan HbA1c masing-masing pasien meski pun sebagian nilai HbA1c belum normal ( > 6,5%). Tetapi ini mengisyaratkan bahwa intervensi yang dilakukan memberi arti yang penting dalam menatalaksanaan pasien diabetes.

Beberapa penelitian menegaskan terkait dengan peran farmasis dalam penatalaksanaan DM, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Fremantle Diabetes Study (2005) meneliti efek konseling yang diberikan selama 12 bulan terhadap risiko vaskular pada DM tipe 2, hasil studi menunjukkan setelah diberikan konseling, tekanan darah dan glikemia menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Kiel dan McCord (2005) mengevaluasi perubahan klinis untuk pasien yang terdaftar dalam program manajemen diabetes, hasil studi menunjukkan bahwa program manajemen diabetes efektif meningkatkan hasil klinis. Peningkatan nyata diamati pada HbA1c dan nilai LDL serta kepatuhan terhadap pencegahan. Penelitian yang dilakukan oleh (Arun et.al.,2008) di


(55)

pedesaan India dengan program asuhan kefarmasian efektif meningkatkan

clinical outcame dan Health Related Quality of Life (HRQoL) penderita diabetes. Manfaat intervensi gaya hidup dalam upaya pencegahan terjadinya DM tipe 2, yaitu diit saja menurunkan resiko terjadinya diabetes tipe 2 sebesar 31% sedangkan aktifitas jasmani saja menurunkan 46%. Kombinasi diit dan aktifitas jasmani menurunkan resiko sebesar 42% ( Perkeni, 2009).

Adanya konseling diharapkan dapat mencegah terjadinya komplikasi pada penderita DM dengan kepatuhan penderita terhadap obat, modifikasi gaya hidup dan pemantauan kadar glukosa darah. The United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan setiap penurunan 1% HbA1c (misal dari 9 ke 8%), akan menurunkan risiko komplikasi sebesar 35% (Yulianti dkk., 2010), dengan adanya layanan edukasi memberi pengaruh yang baik pada tingkat pengetahuan pasien diabetes terutama dalam hal kepatuhan. Pada penelitian ini, parameter yang digunakan untuk penilaian kepatuhan pasien adalah nilai HbA1c. HbA1c merupakan salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik. Pengendalian metabolisme glukosa yang buruk ditandai dengan kadar gula dalam darah terus meningkat/hiperglikemia (Suyono, 2007), dan dalam jangka waktu tertentu dikaitkan dengan kepatuhan pasien terhadap program penatalaksanaan atau pengecekan kadar gula darah adalah tujuan peningkatan HbA1c.

Peranan pemeriksaan kadar HbA1c penting untuk mengontrol kepatuhan pengobatan dan memprediksi kemungkinan terjadinya komplikasi berbagai organ pada penderita DM. Kadar glukosa darah dan HbA1c menjadi petunjuk penting dalam pengelolaan DM. Oleh karena itu, pemeriksaan glukosa darah tidak dapat


(56)

digantikan oleh pemeriksaan HbA1c, tetapi kedua pemeriksaan ini saling menunjang untuk mencapai kualitas pengendalian DM.

HbA1c sangat stabil di dalam darah, sehingga pengukuran kadar HbA1c dapat mencerminkan kadar gula di dalam darah, pengukuran HbA1c mencerminkan kadar gula darah hingga kurang lebih tiga bulan sebelum pemeriksaan (Darmono, 1996).

Beberapa obat hipoglikemik oral (OHO) dapat menurunkan kadar HbA1c sebesar 0,5-2% bergantung cara kerja obat, yang sebagian besar akan meningkatkan sekresi dan sensitivitas terhadap insulin. Terapi dengan farmakologis saja tidak akan berhasil dalam pengontrolan DM karena yang terpenting adalah merubah pola hidup seseorang. Namun perlu diperhatikan pula berbagai efek samping yang ditimbulkan, seperti hipoglikemia dan penderita perlu tahu bagaimana mengatasi keadaan hipoglikemia tersebut, tingkat HbA1c yang buruk, mencerminkan ketidakpatuhan pasien dalam menjalani terapi diabetik (Suyonodkk.,2007).

4.5 Gambaran nilai HbA1c pada Penderita DM Tanpa Konselling

Berdasarkan persentase nilai HbA1c pada penderita DM tanpa koseling juga terjadi persentase penurunan dan kenaikan. Kenaikan tertinggi terdapat pada pasien no. 4 (31,70%) dengan nilai HbA1c awal 8,2 dan nilai HbA1c akhir 10,8. Kemudian penurunan terbesar pada pasien no. 6 (29,36%) dengan nilai HbA1c 12,6 dan nilai HbA1c akhir 8,9. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai kebermaknaan = 0,126, ini berarti tanpa konseling tidak memberikan penurunan nilai HbA1c yang signifikan (p > 005), (Tabel 4.6 dan Tabel 4.7). Kenaikan nilai


(57)

HbA1c yang terjadi kemungkinan disebabkan ketidakpatuhan pasien dalam terapi, dan faktor latar belakang pendidikan pasien sehingga tidak mengetahui dan tidak mampu melakuakn self care tentang penyakit DM, sedangkan penurunan nilai HbA1c yang terjadi kemungkinan pasien patuh dalam terapi, dan mampu melakukan self care.

Tabel 4.6 Persentase nilai HbA1c pada penderita DM tanpa konseling Nilai HbA1c

No Nama

Penderita Awal Akhir

Persentase Penurunan/Kenaikan

1 Ny. Z 8,7 7,6

12,64*

2 Tn. Ar 13,1 11,4

12,98*

3 Ny. E 9,8 7,9

19,38*

4 Ny. Az 8,2 10,8

31,70**

5 Ny. As 9,1 8,9

2,19*

6 Ny. R 12,6 8,9

29,36*

7 Ny. H 9,3 7,7

17,20*

8 Ny. Rh 7,9 8,4


(58)

9 Ny. Am 6,7 6,1

8,95*

10 Ny. Ru 11,5 11,4

0,87*

11 Ny. Sr 6,2 5,9

4,84*

12 Ny. Rs 6,7 7,0

4,48** Keterangan

*) = Persentase penurunan nilai HbA1c **) = Persentase kenaikan nilai HbA1c

Tabel 4.7 Analisis nilai HbA1c pada penderita DM tanpa konseling menggunakan uji Wilcoxon Signed Rank Test

Nilai HbA1c awal – nilai HbA1c akhir

Z

-1,530

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,126

4.6 Gambaran Perbandingan Nilai HbA1c Pasien DM dengan Konseling dan Tanpa Konseling

Berdasarkan nilai HbA1c dari dua kelompok, dilakukan perbandingan antara dua kelompok dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney Test,


(59)

tetapi mean pada kelompok konseling lebih besar (14,13) dibanding tanpa konseling (10,88) (Tabel 4.8) ini berarti dengan pemberian konseling terjadi penurunan HbA1c lebih besar di banding dengan tanpa konseling hal ini kemungkinan setelah pemberian konseling, pasien patuh dalam terapi dan meningkatnya pengetahuan tentang DM sehingga mampu melakuakan self care

tentang penyakit DM.

Tabel 4.8 Perbandingan nilai statistik antara dua kelompok diuji dengan Mann-Whitney Test

Mean

Tanpa konseling 10,88

Konseling 14,13

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,260

4.7 Gambaran Biaya Terapi Penderita DM dengan Konseling

Berdasarkan data yang didapat tampak bahwa biaya terapi penderita DM setelah diberikan konseling terjadi penurunan. Pada pasien no.9 sebelum konseling biaya terapi Rp.49.650 dan setelah diberi konseling biaya turun menjadi Rp.17.400, disusul pasien no.2 sebelum konseling biaya terapi Rp.42.900 setelah diberi konseling biaya turun menjadi Rp.14.300. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai kebermaknaan = 0,03, ini berarti dengan adanya konseling biaya


(60)

terapi pada penderita DM menurun dengan signifikan (p < 0,05) (Tabel 4.9 dan Tabel 4.10).

Kemudian biaya terapi penderita DM tiap pertemuan konseling mengalami penurunan rata-rata biaya (Gambar 4.1).

Tabel 4.9 Biaya terapi penderita DM dengan konseling

Pertemuan konseling/dua minggu

No

Nama

Penderita 1 2 3 4 5 6 7

Total (Rp)

Rata-rata Biaya* 1 Tn. M 40.200 26.800 26.800 26.800 13.400 13.400 13.400 160.800 22.971 2 Ny. T 42.900 28.600 28.600 14.300 14.300 14.300 14.300 157.300 22.471 3 Tn. Y 10.140 10.140 10.140 5.070 5.070 5.070 5.070 50.700 7.243 4 Ny. S 6.115 6.115 6.115 6.115 6.115 6.115 6.115 42.805 6.115 5 Ny. Ms 15.210 15.210 15.210 10.140 10140 10.140 10.140 86.190 12.313 6 Ny. I 16.200 10.800 10.800 5.390 5.390 5.390 5.390 59.360 8.480 7 Ny. Z 36.550 36.550 36.550 36.550 16.400 16.400 16.400 195.400 27.914 8 Ny. M 15.210 10.140 10.140 5.070 5.070 5.070 5.070 55.770 7.967 9 Ny. Sr 49.650 49.650 35.600 17.400 17.400 17.400 17.400 204.500 29.214 10 Ny. Ml 10.600 10.600 10.600 10.600 14.350 5.300 5.300 67.350 9.621 11 Ny. P 16.200 12.450 10.800 10.800 10.800 10.800 10.800 82.650 11.807 12 Ny. St 15.210 15.210 15.210 15.210 10.140 10.140 10.140 91.260 13.037

Rata-rata** 22.849 19.355 18.047 13.620 10.715 9.960 9.960 Keterangan : Pertemuan 1 = sebelum konseling

Pertemuan 7 = sesudah konseling Harga obat dihitung/ tablet

*) = rata-rata biaya tiap pasien


(61)

Gambar 4.1 Grafik rata-rata biaya penderita DM tiap pertemuan konseling

Tabel 4.10 Analisis biaya terapi penderita DM dengan konseling menggunakan

uji wilcoxonsigned ranks test

Biaya post konseling- biaya pre konseling

Z -2,940 Asymp. Sig.

(2-tailed)

0,003

Hal ini disebabkan konseling yang diberikan memberi pengaruh terhadap biaya terapi penyakit DM dalam hal ini antidiabetik. Konseling yang diberikan selain obat hipoglikemik oral (OHO), juga disampaikan tentang penyakit DM dan edukasi terhadap perubahan gaya hidup sehingga pengontrolan kadar gula darah tercapai dengan demikian akan mempengaruhi dosis obat yang diberi dan biaya obat menurun. Sedangkan pada pasien tanpa konseling (kontrol) biaya terapi tetap artinya dosis obat yang diresepkan tidak ada perubahan.

0 5 10 15 20 25

1 2 3 4 5 6 7

ra ta -r at a b ia y a

(R p /r ib u an )


(62)

Berdasarkan data American Diabetes Association tahun 2008 menyebutkan biaya langsung yang dibelanjakan untuk perawatan diabetes mencapai 10 persen dari total belanja kesehatan nasional atau sekitar USD 4.000-7.000 per pasien per tahun. Berdasarkan penelitian Oliver Schnell (2008), persentase terbesar adalah biaya tindakan dan perawatan komplikasi, yakni mencapai 49%. Biaya lainnya adalah kunjungan dokter (25%) dan obat-obatan untuk terapi tambahan nondiabetes (9%). Di sisi lain, biaya untuk obat antidiabetes sendiri hanya berkisar 4% dan swamonitor gula darah (menggunakan alat) hanya 2%. Ini menunjukkan bahwa dampak terbesar diabetes dari segi ekonomi adalah manakala timbul komplikasi. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Ramsay

et.al.,(1999) menyebutkan biaya yang dikeluarkan diabetesi yang mengalami gagal ginjal 3-4 kali lebih besar dibanding diabetesi tanpa komplikasi.

Studi UKPDS yang dilakukan oleh Clarke et.al., (2003) juga merinci biaya komplikasi diabetes pada kejadian tahun pertama. Antara lain amputasi (Rp131juta), serangan jantung (Rp 63juta), stroke (Rp36,6juta), dan kebutaan (Rp13,5 juta per satu mata). Biaya ini akan terus membengkak karena terapi harus dilakukan seumur hidup. Oleh karena itu fokus utama pengendalian biaya perawatan diabetes adalah berupaya semaksimal mungkin untuk menunda terjadinya komplikasi, bahkan dicegah agar jangan sampai timbul komplikasi, salah satu caranya adalah dengan melibatkan farmasis dalam asuhan kefarmasian berupa konseling.

Pada penelitian ini perhitungan biaya dibatasi hanya mencakup biaya langsung (direct cost) yaitu biaya yang melibatkan proses petukaran uang untuk penggunaan sumber daya contohnya biaya obat (Kier, et.al., 2007), sedangkan


(63)

biaya lain seperti biaya laboratorium tidak dihitung sebab penderita DM adalah peserta Jamkesmas dan ASKES kemudian penelitian ini tidak berhubungan dengan metode evaluasi farmakoekonomi.

Penggunaan antidiabetik pada penderita DM tipe 2 merupakan suatu hal yang cukup penting ketika pengaturan pola hidup tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mencapai kadar glukosa darah pada rentang normal untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi akibat DM. Antidiabetik yang digunakan adalah golongan biguanid, sulfonylurea, dan α-glukosidase inhibitor.

4.8 Gambaran Biaya Terapi Penderita DM Tanpa Konseling

Berdasarkan data yang diperoleh biaya terapi pada penderita DM tanpa konseling tidak terjadi penurunan biaya (biaya terapi tetap), nampak pada pertemuan 1 sampai 3 yaitu antidiabetik yang diresepkan tidak ada perubahan (Tabel 4.11 dan Gambar 4.2), hal ini kemungkinan pasien menjalankan terapi sesuai dengan pengetahuan yang mereka ketahui tanpa diberi edukasi sehingga mempengaruhi biaya terapi (antidiabetik).


(64)

Tabel 4.11 Biaya terapi pada penderita DM tanpa konseling

Pertemuan tanpa konseling Rata-rata biaya* No

Nama Penderita

1 2 3 Total (Rp)

1 Ny. Z 49.200 49.200 49.200 147.600 49.200 2 Tn. Ar 12.150 12.150 12.150 36.450 12.150 3 Ny. E 10.600 10.600 10.600 31.800 10.600 4 Ny. Az 6.844 6.844 6.844 20.532 6.844 5 Ny. As 24.200 24.200 24.200 72.600 24.200 6 Ny. R 6.115 6.115 6.115 18.345 6.115 7 Ny. H 6.450 6.450 6.450 19.350 6.450 8 Ny. Rh 42.900 42.900 42.900 128.700 42.900 9 Ny. Am 12.150 12.150 12.150 36.450 12.150 10 Ny. Ru 42.600 42.600 42.600 127.800 42.600

11

Ny. Sr 28600 28600 28600 85800 28.600

12 Ny. Rs 32.800 32.800 32.800 98.400 32.800 Rata-rata** 32.800 32.800 32.800


(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

a. Pada pasien yang diberi konseling terjadi penurunan biaya terapi (obat) sedangkan pada pasien tanpa konseling tidak terdapat perubahan biaya, hal ini berarti dengan pemberian konseling mempengaruhi analisis biaya terapi pada pasien DM tipe 2

b. Konseling dapat menurunkan tingkat HbA1c pada pasien DM tipe 2 sehingga mencegah terjadinya komplikasi.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan dalam penelitian ini, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

a. Disarankan kepada rumah sakit untuk membuat kebijakan yaitu diberlakukannya pemeriksaan HbA1c.

b. Diharapkan untuk membuka poli diabetes sehingga penanganan penyakit DM tipe 2 lebih terfokus sehingga dapat meningkatkan pengetahuan pasien terhadap penyakit DM tipe 2.


(1)

Lampiran 15

. Hasil analisis data biaya terapi pre konseling dan post konseling

(intervensi) menggunakan SPSS

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks

Negative Ranks 11a 6.00 66.00

Positive Ranks 0b .00 .00

Ties 1c

biaya_post - biaya_pre

Total 12

a. biaya_post < biaya_pre b. biaya_post > biaya_pre c. biaya_post = biaya_pre

Test Statisticsb

biaya_post - biaya_pre

Z -2.940a

Asymp. Sig. (2-tailed) .003 a. Based on positive ranks.

b. Wilcoxon Signed Ranks Test

 

T

TEST

 

PAIRS=biaya_pre

 

WITH

 

biaya_post

 

(PAIRED)

 

  

/CRITERIA=CI(.9500)

 

  

/MISSING=ANALYSIS.

 

 

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean biaya_pre 22746.38 12 15095.666 4357.743 Pair 1


(2)

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 biaya_pre & biaya_post 12 .586 .045


(3)

(Tabel 15. sambungan)

Paired Samples Test

Paired Differences

Mean Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 biaya_pre - biaya_post 13837.083 12861.454 3712.782

Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper t df

Pair 1 biaya_pre - biaya_post 5665.305 22008.862 3.727 11

Paired Samples Test

Sig. (2-tailed) Pair 1 biaya_pre - biaya_post .003

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(4)

Lampiran 16

.

Leafleat

penyakit DM

 

 


(5)

 

 


(6)

Lampiran 17.

Foto pengambilan darah untuk pemeriksaan HbA

1c