Optimalisasi reaksi esterifikasi asam asetat dengan 1 heksena, sebagai salah satu tahapan pada proses pembuatan etanol

(1)

OPTIMALISASI REAKSI ESTERIFIKASI ASAM ASETAT

DENGAN 1-HEKSENA, SEBAGAI SALAH SATU TAHAPAN

PADA PROSES PEMBUATAN ETANOL

DINI NOVALIA PRATIWI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

OPTIMALISASI REAKSI ESTERIFIKASI ASAM ASETAT

DENGAN 1-HEKSENA, SEBAGAI SALAH SATU TAHAPAN

PADA PROSES PEMBUATAN ETANOL

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

DINI NOVALIA PRATIWI 106096003235

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(4)

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Juni 2011

Dini Novalia Pratiwi 106096003235


(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu ’alaikum wr. wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga laporan tugas akhir ini dapat terselesaikan. Tugas akhir ini merupakan tahapan akhir dan tugas utama dari serangkaian kuliah yang harus diselesaikan dalam menempuh pendidikan strata satu pada Program Studi Kimia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam tugas akhir ini, penulis menyajikan Optimalisasi Reaksi Esterifikasi Asam Asetat dengan 1-Heksena, Sebagai Salah Satu Tahapan pada Proses Pembuatan Etanol, yang didukung dengan berbagai sumber referensi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun diharapkan dari pembaca.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Achmad Hanafi Setiawan dan Ibu Siti Nurbayti, M.Si, selaku pembimbing I dan II yang telah memberikan pengarahan maupun masukan dalam penyusunan tugas akhir ini.


(7)

4. Ibu Nurhasni, M.Si, selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan arahan dalam menyelesaikan kuliah ini dengan baik.

5. Ayahanda Abdul Rahman, ibunda Sri Aisyah, serta kakanda Sigit Agung Prawira tercinta atas dorongan dan do’anya yang senantiasa mengiringi gerak langkah penulis.

6. Bapak Yan Irawan, Ibu Savitri, Mas Ghozali, dan Ibu Ijah yang telah banyak memberikan bantuan selama proses penelitian berlangsung di Pusat Penelitian Kimia – LIPI.

7. Mustaofidatul Jamaliah, sebagai sahabat dan rekan kerja yang banyak membantu selama kuliah dan penelitian di Pusat Penelitian Kimia – LIPI. 8. M. Hero Shiddiqi yang telah banyak memberikan masukan dan semangatnya

hingga tahap penyusunan tugas akhir ini.

9. Teman-teman seperjuangan yang juga telah memberikan semangat dan sarannya sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta semoga Allah swt selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Jakarta, Juni 2011

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.2. Tujuan Penelitian ... 4

1.2. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Bahan Bakar Etanol ... 5

2.2. Reaksi Esterifikasi ... 6

2.2.1. Esterifikasi asam karboksilat ... 6

2.2.3. Variabel-variabel yang mempengaruhi reaksi esterifikasi ... 7

2.3. Bahan Baku Produksi Ester ... 8

2.3.1. Asam asetat ... 8

2.3.2. 1-heksena ... 10


(9)

2.4. Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR) ... 20

2.5. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GC-MS) ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

3.2. Alat dan Bahan ... 25

3.3. Prosedur Kerja ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Pengujian Bilangan Asam dan Bilangan Ester ... 29

4.1.1. Pengaruh katalis ... 29

4.1.2. Pengaruh rasio reaktan ... 33

4.2. Analisa Kualitatif dengan FTIR ... 36

3.3. Analisa Kualitatif dengan GC-MS ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1. Kesimpulan ... 49

3.2. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Judul ... Halaman

Gambar 1. Struktur asam asetat ... 8

Gambar 2. Reaksi karbonilasi metanol ... 9

Gambar 3. Reaksi oksidasi asetaldehida ... 9

Gambar 4. Struktur 1-heksena ... 11

Gambar 5. Diagram penurunan energi aktifasi oleh katalis ... 12

Gambar 6. Struktur kerangka ZSM-5 ... 19

Gambar 7. Skema alat spektrofotometer inframerah ... 21

Gambar 8. Susunan peralatan untuk proses esterifikasi ... 26

Gambar 9. Pengaruh katalis terhadap bilangan asam ... 30

Gambar 10. Pengaruh katalis terhadap bilangan ester ... 31

Gambar 11. Pengaruh konsentrasi katalis ZSM-5 terhadap bilangan asam ... 32

Gambar 12. Pengaruh konsentrasi katalis ZSM-5 terhadap bilangan ester ... 32

Gambar 13. Pengaruh rasio reaktan terhadap bilangan asam ... 34

Gambar 14. Pengaruh rasio reaktan terhadap bilangan ester ... 35

Gambar 15. Spektrum FTIR asam asetat pada frekuensi 4000 - 500 cm-1 ... 36

Gambar 16. Spektrum FTIR heksena pada frekuensi 4000 - 500 cm-1 ... 37

Gambar 17. Spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis H2SO4 5% pada frekuensi 4000 - 500 cm-1 ... 39

Gambar 18. Spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis ZSM-5 15% pada frekuensi 4000 - 500 cm-1 ... 41

Gambar 19. Kromatogram GC-MS sampel uji (1:1) dengan katalis H2SO4 5% ... 43

Gambar 20. Kromatogram GC-MS sampel uji (1:1) dengan katalis ZSM-5 5% ... 44


(11)

Gambar 21. Kromatogram GC-MS sampel uji (1:1) dengan katalis

ZSM-5 15% ... 45

Gambar 22. Reaksi esterifikasi asam asetat dengan 1-heksena ... 46

Gambar 23. Struktur senyawa heksil asetat ... 47


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Judul ... Halaman

Tabel 1. Sifat-sifat asam asetat ... 10

Tabel 2. Sifat-sifat 1-heksena ... 11

Tabel 3. Jenis-jenis bahan katalis ... 15

Tabel 4. Beberapa mineral zeolit yang terdapat pada batuan sedimen ... 16

Tabel 5. Sifat-sifat asam sulfat ... 18

Tabel 6. Komposisi struktur ZSM-5 ... 20

Tabel 7. Interpretasi spektrum FTIR asam asetat ... 37

Tabel 8. Interpretasi spektrum FTIR 1-heksena ... 38

Tabel 9. Interpretasi spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis H2SO4 5% ... 40

Tabel 10. Interpretasi spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis ZSM-5 15% ... 41

Tabel 11. Interpretasi spektrum massa sampel uji (1:1) dengan katalis H2SO4 5% ... 43

Tabel 12. Interpretasi spektrum massa sampel uji (1:1) dengan katalis ZSM-5 5% ... 44

Tabel 13. Interpretasi spektrum massa sampel uji (1:1) dengan katalis ZSM-5 15% ... 46


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Judul ... Halaman

Lampiran 1. Diagram produksi bioetanol ... 53

Lampiran 2. Peralatan yang digunakan untuk proses esterifikasi ... 54

Lampiran 3. Sampel hasil proses esterifikasi ... 55

Lampiran 4. Kondisi Operasi GC-MS ... 56

Lampiran 5. Data pengujian bilangan asam fraksi bawah dengan rasio reaktan (asam asetat:1-heksena) 1:1 ... 57

Lampiran 6. Data pengujian bilangan asam fraksi bawah dengan katalis H2SO4 5% ... 58

Lampiran 7. Data pengujian bilangan asam fraksi bawah dengan katalis ZSM-5 15% ... 59

Lampiran 8. Data pengujian bilangan ester fraksi atas dengan rasio reaktan (asam asetat:1-heksena) 1:1 ... 60

Lampiran 9. Data pengujian bilangan ester fraksi atas dengan katalis H2SO4 5% ... 61

Lampiran 10. Data pengujian bilangan ester fraksi atas dengan katalis ZSM-5 15% ... 62

Lampiran 11. Hasil analisa FTIR terhadap senyawa 1-heksena pada frekuensi 4000-500 cm-1 ... 63

Lampiran 12. Hasil analisa FTIR terhadap senyawa asam asetat pada frekuensi 4000-500 cm-1 ... 64

Lampiran 13. Hasil analisa FTIR terhadap senyawa heksil asetat pada frekuensi 4000-500 cm-1 ... 65

Lampiran 14. Hasil analisa FTIR terhadap sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1) dengan katalis H2SO4 5% pada frekuensi 4000-500 cm-1 66

Lampiran 15. Hasil analisa FTIR terhadap sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:2) dengan katalis H2SO4 5% pada frekuensi 4000-500 cm-1 67


(14)

Lampiran 16. Hasil analisa FTIR terhadap sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1) dengan katalis ZSM-5 15% pada frekuensi 4000-500 cm-1 68 Lampiran 17. Hasil analisa FTIR terhadap sampel uji asam asetat : 1-heksena

(1:2) dengan katalis ZSM-5 15% pada frekuensi 4000-500 cm-1 69 Lampiran 18. Hasil analisa GC sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis H2SO4 5% ... 70 Lampiran 19. Hasil analisa MS sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis H2SO4 5% ... 71 Lampiran 20. Hasil analisa GC sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis ZSM-5 5% ... 72 Lampiran 21. Hasil analisa MS sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis ZSM-5 5% ... 73 Lampiran 22. Hasil analisa GC sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis ZSM-5 15% ... 74 Lampiran 23. Hasil analisa MS sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis ZSM-5 15% (Puncak 1) ... 75 Lampiran 24. Hasil analisa MS sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis ZSM-5 15% (Puncak 2) ... 76 Lampiran 25. Hasil analisa MS sampel uji asam asetat : 1-heksena (1:1)

dengan katalis ZSM-5 15% (Puncak 3) ... 77 Lampiran 26. Pola fragmentasi heksil asetat ... 78 Lampiran 27. Pola pemisahan spin untuk proton-proton dalam heksil asetat


(15)

Dini Novalia Pratiwi, Optimalisasi Reaksi Esterifikasi Asam Asetat dengan 1-Heksena, sebagai Salah Satu Tahapan pada Proses Pembuatan Etanol, dibawah bimbingan Dr. Achmad Hanafi Setiawan dan Siti Nurbayti, M.Si.

ABSTRAK

Pada penelitian ini dilakukan optimalisasi reaksi esterifikasi asam asetat dengan 1-heksena, sebagai salah satu tahapan pada proses pembuatan etanol. Proses ini berlangsung pada kondisi 60oC selama 8 jam. Variasi parameter yang digunakan adalah katalis H2SO4 5% dan 10%, ZSM-5 5%, 10%, dan 15%, serta

rasio mol reaktan (asam asetat:1-heksena) 1:1, 1:2, 2:1, 3:1, dan 5:1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi optimum diantara variasi tersebut sehingga dihasilkan produk ester yang diinginkan, katalis yang dapat digunakan, dan mengidentifikasi senyawa ester yang terbentuk pada hasil proses esterifikasi tersebut. Hasil esterifikasi terbaik diperoleh pada variasi rasio mol reaktan (asam asetat:1-heksena) 1:2 baik dengan katalis H2SO4 5% maupun

ZSM-5 15%. Hasil analisa FTIR menunjukkan bahwa senyawa ester telah terbentuk yang ditunjukkan dengan adanya gugus C=O (υ = 1726,22 cm-1 - 1732,08 cm-1) dan C–O (υ = 1263,37 cm-1 - 1265,30 cm-1). Hasil analisa GCMS juga menunjukkan hal yang sama, dengan perkiraan senyawa ester yang terbentuk adalah heksil asetat dengan similaritas sebesar 79% hingga 88%.


(16)

Dini Novalia Pratiwi, Optimalization of Esterification Reaction of Acetic Acid with 1-Hexene, as One of Step in Making of Ethanol Process, supervised by Dr. Achmad Hanafi Setiawan and Siti Nurbayti, M.Si.

ABSTRACT

In this research, has done optimalization of esterification reaction of acetic acid with 1-hexene, as one of step in making of ethanol process. This process takes place at 60oC for 8 hours. Variation in this research used catalysts like H2SO4 5% and 10%, ZSM-5 5%, 10%, and 15%, and ratio of mole (acetic acid:

1-hexene) 1:1, 1:2, 2:1, 3:1, and 5:1. The objective of research were to know the optimum condition from that variation until produced by desired ester product, the catalyst that can be used, and identification of the ester compound that formed on esterification process. The best result was got on ratio of mole (acetic acid: 1-hexene) 1:2 with H2SO4 5% nor ZSM-5 15% catalysts. FTIR result showed that

ester has produced with signed of C=O group (υ = 1726,22 cm-1 - 1732,08 cm-1)

and C–O group (υ = 1263,37 cm-1 - 1265,30 cm-1). GCMS result also showed that

ester has produced with estimate of the ester was hexyl acetate with similarity was 79% until 88%.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan kebutuhan energi dunia yang semakin meningkat dan keterbatasan energi fosil menyebabkan perhatian saat ini ditujukan untuk mencari sumber-sumber energi terbarukan seperti bioetanol yang berasal dari bahan baku nabati (Effendi, 2010). Pengembangan bioenergi seperti bioetanol dari biomassa sebagai sumber bahan baku yang dapat diperbarui merupakan satu alternatif yang memiliki nilai positif dari aspek sosial dan lingkungan (Samsuri, 2007).

Saat ini, produksi etanol yang dikerjakan dalam skala besar hanya menggunakan dua metode. Metode pertama adalah reaksi etilen dengan air pada tekanan 7 MPa dan suhu 250 – 300˚C dengan katalis asam fosfat (H3PO4) yang disangga pada senyawa inert, seperti silika. Proses ini sangat efisien dan menghasilkan etanol berkualitas tinggi. Namun, metode ini mempunyai kendala, yaitu etilen yang dibuat dari petroleum dan gas alam cair mulai langka keberadaannya dan semakin mahal (Kiff et al., 1983).

Metode lainnya adalah melibatkan fermentasi karbohidrat untuk membuat etanol. Metode tersebut saat ini digunakan dalam skala besar dan banyak pabrik/industri yang dibangun untuk membuat etanol dengan cara ini. Metode ini menggunakan bahan produk pertanian (Kiff et al., 1983). Bahan baku produksi yang digunakan, antara lain nira aren, sorgum manis, biji sorgum, ubi kayu dan lainnya (Ega dan Bambang, 2006). Namun, metode ini tidak dapat dilakukan dalam jangka panjang karena bahan utamanya merupakan bahan persediaan


(18)

makanan untuk hewan dan manusia. Dengan prospek yang seperti itu, pada dekade selanjutnya, fermentasi tidak dapat diperhitungkan sebagai proses pilihan untuk pembuatan industri alkohol dalam jumlah besar yang berkelanjutan (Kiff et al., 1983).

Oleh karena itu, dipersiapkan sumber bahan baku alternatif untuk proses produksi etanol yang murah dan bahannya tersedia dengan cepat tanpa mengganggu keseimbangan ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan untuk sumber energi. Satu diantara energi alternatif yang relatif murah ditinjau dari aspek produksinya dan relatif ramah lingkungan adalah pengembangan bioetanol dari limbah-limbah pertanian (biomassa) yang mengandung banyak lignoselulosa (Gozan et al., 2007). Bertolak dari keadaan tersebut, bisnis bioetanol di Indonesia mempunyai prospek yang cerah karena memiliki potensi limbah biomassa yang sangat melimpah seperti bagasse maupun molasses (Samsuri, 2007).

Berdasarkan jurnal United State Patent (Kiff et al., 1983), etanol dapat dibuat dari asam asetat yang direaksikan dengan olefin yang memiliki minimal empat atom karbon. Asam asetat direaksikan dengan olefin melalui proses esterifikasi kemudian dihidrogenasi, dan pada tahap akhir, produk etanol dipisahkan secara distilasi dari produk samping. Namun, dalam penelitian ini hanya mencakup pada reaksi esterifikasi antara asam asetat dengan olefin. Olefin yang digunakan pada penelitian ini adalah 1-heksena.


(19)

1.2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah asam asetat dapat bereaksi dengan 1-heksena sehingga dihasilkan suatu produk ester?

b. Bagaimana kondisi optimum proses reaksi tersebut dari rasio reaktan sehingga dihasilkan suatu produk ester?

c. Bagaimana pengaruh konsentrasi katalis ZSM-5 dibandingkan dengan katalis H2SO4 pada reaksi esterifikasi antara asam asetat dengan 1-heksena?

1.3. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah dan literatur-literatur yang diperoleh, hipotesis penelitian ini, yaitu:

a. Asam asetat dan 1-heksena akan bereaksi dengan baik dan membentuk produk ester.

b. Dalam skala kecil, proses esterifikasi antara asam asetat dengan 1-heksena dapat berlangsung pada suhu 60˚C, rasio reaktan 1:2, dan waktu reaksi 8 jam.

c. Katalis ZSM-5 memiliki keaktifan yang tinggi dibandingkan katalis H2SO4, dengan semakin besarnya konsentrasi, maka konversi produk yang dihasilkan juga semakin besar.


(20)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

a. Mengetahui kondisi optimum reaksi esterifikasi antara asam asetat dengan 1-heksena dari segi rasio mol reaktan (asam asetat : 1-heksena) dan penggunaan jenis serta konsentasi katalis yang tepat sehingga dihasilkan produk ester yang diinginkan.

b. Mengetahui katalis yang lebih aktif antara H2SO4 dan ZSM-5 dalam proses esterifikasi antara asam asetat dengan 1-heksena.

c. Mengidentifikasi senyawa ester yang terbentuk pada hasil proses esterifikasi antara asam asetat dengan 1-heksena.

1.5. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi tambahan tentang proses reaksi esterifikasi antara asam asetat dengan 1-heksena sebagai langkah awal dalam pembuatan etanol dan memproduksi etanol dengan bahan baku tersebut dalam skala besar.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahan Bakar Etanol

Etil alkohol atau etanol adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil atau gugus OH, dengan rumus kimia C2H5OH. Bioetanol, tidak seperti minyak bumi, yaitu suatu bentuk energi terbaharui yang dapat diproduksi dari hasil produk pertanian. Sumber karbohidrat yang potensial untuk bahan baku produksi bioetanol, antara lain nira aren, sorgum manis, biji sorgum, ubi kayu dan lainnya (Ega dan Bambang, 2006).

Etanol dapat dibuat dengan menggunakan beberapa metode, seperti reaksi etilen dengan air ataupun fermentasi karbohidrat. Selain itu, etanol dapat juga dibuat dari asam asetat, yang merupakan proses hilir dari pengolahan biomassa menjadi bahan bakar alternatif. Metode produksi etanol telah diketahui terdiri dari beberapa tahapan, yaitu (Kiff et al., 1983):

1) Reaksi antara asam asetat dengan olefin (hidrokarbon tidak jenuh) yang memiliki sekitar 4 – 10 atom karbon, dengan katalis asam sehingga dihasilkan suatu ester (esterifikasi)

2) Hidrogenasi ester dari tahap 1 untuk menghasilkan campuran etanol dan alkohol besar yang terdiri dari sejumlah atom karbon yang sama banyaknya dengan olefin

3) Pemisahan campuran pada tahap 2 dengan destilasi fraksionasi menjadi etanol dan alkohol besar


(22)

5) Dehidrasi alkohol besar menjadi olefin murni

6) Penggunaan kembali olefin dari tahap 5 dengan asam asetat murni dan kembali ke tahap 1 untuk proses esterifikasi.

2.2. Reaksi Esterifikasi

2.2.1. Esterifikasi asam karboksilat

Reaksi esterifikasi asam karboksilat adalah reaksi pembentukan ester dengan berbahan dasar asam karboksilat. Ester asam karboksilat ini merupakan suatu senyawa yang mengandung gugus –COOR dengan R yang berbentuk alkil maupun aril (Fessenden & Fessenden, 2006).

Katalis yang digunakan dalam esterifikasi dapat berupa katalis asam atau katalis basa dan berlangsung secara reversibel (Supardjan, 2004). Untuk memperoleh rendemen tinggi dari ester tersebut, kesetimbangan harus digeser ke arah sisi ester dengan menambahkan salah satu pereaksi secara berlebih. Kuat asam dari asam karboksilat hanya memainkan peranan kecil dalam laju pembentukan ester (Fessenden & Fessenden, 2006).

Kereaktifan asam karboksilat terhadap esterifikasi:

R3CCO2H R2CHCO2H RCH2CO2H CH3CO2H HCO2H bertambahnya kereaktifan

Adapun metode konvensional yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa ester adalah dengan uji asam hidrosiamat. Senyawa ester sebanyak 1 tetes ditambahkan dengan 1 mL hidroksilamin hidroklorida 0,5 N dalam etanol 95%. Kemudian ditambahkan 0,2 mL NaOH 6 N dan dipanaskan campuran sampai mendidih. Selanjutnya campuran didinginkan dan


(23)

ditambahkan 2 mL etanol 95 %. Hasil positif ditunjukkan oleh perubahan warna larutan dan terbentuknya endapan merah bata saat ditambahkan dengan FeCl3 5%.

2.2.2. Variabel-variabel yang mempengaruhi reaksi esterifikasi

Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh beberapa variabel. Variabel-variabel yang dimaksud antara lain (Hakim dan Irawan, 2010):

1) Waktu reaksi

Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan konversi yang besar. Jika kesetimbangan reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan menguntungkan karena tidak memperbesar hasil.

2) Perbandingan zat pereaksi

Dikarenakan sifatnya yang reversibel, maka salah satu reaktan harus dibuat berlebih agar optimal dalam pembentukan produk ester yang ingin dihasilkan. Pada penelitian ini, salah satu reaktan yang harus dibuat berlebih adalah 1-heksena.

3) Pengadukan

Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara molekul zat pereaksi dengan zat yang bereaksi semakin baik sehingga mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna. Hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius :

k = A . e (-Ea/RT)

Keterangan:

k = konstanta laju reaksi

A = faktor frekuensi atau faktor pre-eksponensial Ea = energi aktivasi (kJ/mol)

R = tetapan gas universal (0,0821 atm/mol.K atau 8,314 J/mol.K) T = temperatur atau suhu (K)


(24)

Semakin besar tumbukan, maka semakin besar pula harga konstanta kecepatan reaksi, sehingga reaksi dapat berjalan lebih optimal.

4) Suhu

Dikarenakan sifat dari reaksi yang eksotermis, maka suhu dapat mempengaruhi harga konstanta kecepatan reaksi. Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak konversi yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius, bila suhu naik maka harga k semakin besar, sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi makin besar.

5) Katalisator

Sifat reaksi esterifikasi yang lambat membutuhkan katalisator agar berjalan lebih cepat. Katalisator berfungsi untuk mengurangi energi aktivasi pada suatu reaksi, sehingga pada suhu tertentu harga konstanta kecepatan reaksi semakin besar.

2.3. Bahan Baku Produksi Ester

2.3.1. Asam asetat

Asam asetat merupakan asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Senyawa ini bersifat korosif.


(25)

Asam asetat diproduksi secara sintetis maupun secara alami melalui fermentasi bakteri, seperti dari genus Acetobacter dan spesies Clostridium acetobutylicum (Yoneda, 2001). Bakteri-bakteri tersebut terdapat pada makanan dan tanah, sehingga asam asetat secara alami diproduksi pada buah-buahan atau makanan yang sudah basi. Adapun cara yang paling populer dalam pembuatan asam asetat melalui karbonilasi metanol. Dalam proses ini, metanol dan karbon monoksida bereaksi membentuk asam asetat (Riyanto, 2006).

CH3 OH HI CH3I H2O CH3 C

O

I H2O

+ + + CO +

CH3 C

O OH

Gambar 2. Reaksi karbonilasi metanol

Selain itu, asam asetat juga dihasilkan melalui metode alternatif, seperti oksidasi asetaldehida (Yoneda, 2001).

CH3 C

O

H O2 CH3 C

O

OH

2 + 2


(26)

Adapun sifat-sifat asam asetat adalah sebagai berikut: Tabel 1. Sifat-sifat asam asetat

Nama Senyawa Asam asetat

Rumus Kimia CH3COOH

Wujud Senyawa (28˚C) Liquid (Cair)

Berat Molekul 60,05 g/mol

Warna Senyawa Tidak berwarna

Titik Leleh 17˚C

Titik Didih 116-118˚C

Densitas 1,05 g/cm3

(Sumber: Merck MSDS, 2011)

Asam asetat ini memiliki beberapa manfaat dalam bidang industri, diantaranya sebagai berikut (Riyanto, 2006):

a. digunakan dalam produksi polimer, seperti selulosa asetat dan polivinil asetat yang biasanya digunakan sebagai bahan dasar cair cat dan lem untuk kertas dan kayu

b. pembuatan anhidrida asetat c. sebagai fungisida

d. sebagai bahan pelarut untuk banyak campuran organik.

e. sebagai bahan dalam industri farmasi, seperti aspirin yang dibentuk dari reaksi antara asam asetat dan asam salisilat.

2.3.2. 1-heksena

Senyawa 1-heksena adalah jenis olefin yang besar dengan rumus kimia C6H12. 1-heksena merupakan alfa olefin, karena ikatan rangkap senyawa ini berada pada posisi alfa.


(27)

Gambar 4. Struktur 1-heksena

Senyawa yang dikenal juga dengan nama heksena, heksilen, atau butil etilen ini tidak larut dalam air, tetapi larut dalam etanol. Adapun sifat-sifat lain dari senyawa ini ditampilkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Sifat-sifat 1-heksena

Nama Senyawa 1-heksena

Rumus Kimia C6H12

Wujud Senyawa (28˚C) Liquid (Cair)

Berat Molekul 84,16 g/mol

Warna Senyawa Tidak berwarna

Titik Leleh -140˚C

Titik Didih 62-63˚C

Densitas 0,67 g/mL

(Sumber: Sigma-Aldrich MSDS, 2011) 2.3.3. Katalis

Katalis ditemukan oleh J.J. Berzelius pada tahun 1836 sebagai komponen yang dapat meningkatkan laju reaksi kimia, namun tidak ikut bereaksi. Definisi katalis adalah suatu substansi yang dapat meningkatkan kecepatan, sehingga reaksi kimia dapat mencapai kesetimbangan tanpa terlibat di dalam reaksi secara permanen (Satterfield, 1991).


(28)

Pada akhir reaksi, katalis tidak tergabung dengan senyawa produk reaksi. Adanya katalis dapat mempengaruhi faktor-faktor kinetika suatu reaksi seperti laju reaksi, energi aktivasi, sifat dasar keadaan transisi dan lain-lain. Karakteristik katalis adalah berinteraksi dengan reaktan tetapi tidak berubah pada akhir reaksi (Widyawati, 2007). Adapun perbandingan dari pengaruh penggunaan katalis terhadap energi aktivasi yang mempengaruhi waktu reaksi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram penurunan energi aktivasi oleh katalis

Berdasarkan tingkat kepentingannya, komponen inti katalis terbagi menjadi tiga, yaitu (Hoon, 2005):

1) Selektifitas

Selektifitas yang dimaksud adalah kemampuan katalis untuk memberikan produk reaksi yang diinginkan (dalam jumlah tinggi) dari sejumlah produk yang mungkin dihasilkan.

A+B


(29)

2) Stabilitas

Stabilitas adalah kemampuan sebuah katalis untuk menjaga aktifitas, produktifitas dan selektifitasnya dalam jangka waktu tertentu.

3) Aktifitas

Aktifitas adalah kemampuan katalis untuk mengubah bahan baku menjadi produk atau aneka produk yang diinginkan.

Katalis dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Dalam penggunaannya, katalis dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu katalis homogen, heterogen, dan enzim (Widyawati, 2007).

1) Katalis homogen

Katalis homogen berada pada fasa yang sama seperti reaktan dan produk. Beberapa contoh misalnya hidrolisis ester oleh asam (cair-cair), oksidasi SO2 oleh NO2 (uap-uap), dan dekomposisi potasium klorat dengan MnO2 (padat-padat). Kelemahan pada katalis homogen ini adalah hanya dapat digunakan pada skala laboratorium, sulit dilakukan secara komersial, operasi pada fase cair dibatasi pada kondisi suhu dan tekanan, sehingga peralatan lebih kompleks, dan diperlukan pemisahan antara produk dan katalis. Oleh karena itu, katalis homogen digunakan terbatas pada industri bahan kimia tertentu, obat-obatan dan makanan. 2) Katalis heterogen

Katalis heterogen secara umum berbentuk padat dan banyak digunakan pada reaktan berwujud cair atau gas. Penggunaan katalis heterogen menguntungkan dengan beberapa alasan, antara lain selektivitas produk yang diinginkan dapat ditingkatkan dengan adanya pori yang terdapat pada katalis heterogen. Selain itu, aktivitas intrinsik dari active site katalis tersebut dapat


(30)

dimodifikasi oleh struktur padat dan komposisi kimia pada permukaan dapat digunakan untuk meminimalisasi atau meningkatkan adsorpsi komponen tertentu. Adapun keuntungan dari katalis heterogen lainnya adalah dapat dipisahkan dari produk dengan penyaringan dan dapat digunakan kembali, dan konstruksi peralatan sederhana.

3) Katalis enzim

Enzim adalah molekul protein ukuran koloidal, merupakan katalis diantara homogen dan heterogen. Enzim merupakan driving force untuk reaksi biokimia, karakterisasinya adalah efisiensi dan selektivitas. Katalis ini sesuai digunakan untuk keperluan industri.

Pemilihan katalis atau pengembangan katalis perlu pertimbangan untuk mendapatkan efektivitas dalam pemakaian. Dalam pengembangannya, katalis cair dapat digantikan dengan katalis asam padat seperti zeolit, clay, dan lain-lain. Keuntungannya adalah dapat di-recovery, di-recycle, dan digunakan kembali (Widyawati, 2007). Beberapa jenis katalis ditampilkan dalam Tabel 3.


(31)

Tabel 3. Jenis-jenis bahan katalis

Jenis Kondisi Contoh

Logam

Terdispersi Low: Pt/Al2O3, Ru/SiO2; High : Ni/Al2O3 Berpori Raney : Ni, Co, Fe-Al2O3-K2O

Bulk Pt, Ag

Multi metallic

cluster, campuran Terdispersi (Pt-Re, Ni-Cu, Pt-Au)/Al2O3

Oksida

Single Al2O3, Cr2O3, V2O5 Dual SiO2-Al2O3, TiO2-Al2O3 Komplek CuCr2O4, Bi2MoO6 Sulfida Terdispersi MoS2/ Al2O3,WS2/ Al2O2

Asam

Dual SiO2-Al2O3

Kristal Zeolit

Natural Clay Montmorillonite Promoted Acid Super Acid SbF5, HF Basa Terdispersi CaO, MgO, K2O, Na2O (Sumber: Widyawati, 2007)

Zeolit mempunyai sifat-sifat umum, antara lain berbentuk kristal yang agak lunak, air kristalnya mudah dilepaskan dengan pemanasan, namun mudah menyerap air kembali dari udara (dehidrasi). Selain itu, zeolit juga mudah melakukan pertukaran ion-ion alkali dengan ion-ion lainnya (pertukaran ion), adsorpsi, dan katalis. Zeolit mempunyai struktur berongga, biasanya rongga ini diisi oleh air dan kation yang dapat dipertukarkan dan memiliki ukuran pori-pori tertentu (Al Anshori, 2009).

Oleh karena itu, zeolit dapat dimanfaatkan sebagai penyaring molekular, penukar ion, penyerap bahan, dan katalisator. Berdasarkan asalnya, zeolit dibagi menjadi dua, yaitu (Al Anshori, 2009):


(32)

1) Zeolit Alam

Zeolit alam terbentuk karena adanya proses perubahan alam (zeolitisasi) dari batuan vulkanik tuf, sedangkan zeolit sintesis direkayasa oleh manusia secara proses kimia. Pembentukan mineral zeolit alam diduga merupakan hasil reaksi antara debu vulkanik dengan air garam, ada juga beberapa zeolit seperti kabasit,

erionit dan filipsit diduga sebagai hasil dari proses hidrotermal. Karena sifat-sifat zeolit alam sangat terbatas maka dilakukan sintesis zeolit untuk mensubtitusi zeolit yang berasal dari alam. Berikut ini beberapa contoh zeolit alam diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Beberapa mineral zeolit yang terdapat pada batuan sedimen

Nama Kimia Rumus Kimia Unit Sel

Analsim Na16(Al16Si16O96). 16H2O Kabasit (Na2Ca)6 (Al12Si24O72). 4H2O Klinoptilolit (Na3, K3) (Al6Si30O72). 24H2O

Erionit (Na, Ca0,5, K)9 (Al9Si27O72). 27H2O Faujasit Na58(Al58Si134O384). 24H2O Mordenit Na8(Al8Si40O90). 24H2O

Filipsit (Na, K)5 (Al5Si11O32). 20H2O Laumontit Ca4 (Al8Si16O48). 16H2O Heulandit Ca4 (Al8Si28O72). 24H2O

2) Zeolit Sintetik

Perkembangan zeolit sintetik dimulai sejak akhir tahun 1940 oleh Union Carbide Corporations, melalui suatu program pembuatan zeolit dengan meniru proses hidrotermal alamiah. Dengan cara ini telah berhasil dibuat lebih dari seratus jenis zeolit, sebagai upaya pencarian jenis-jenis zeolit yang mempunyai


(33)

daya guna tinggi. Zeolit sintetik dapat diproduksi dengan cara hidrotermal dan kebanyakan diproduksi dibawah kondisi tidak setimbang, akibatnya zeolit yang dihasilkan merupakan bahan metastabil atau mudah berubah. Tahap pertama dalam pembuatan zeolit adalah reaksi bahan dasar seperti gel atau zat padat amorf hidroksida alkali dengan pH tinggi dan basa kuat dengan kondisi operasi pada suhu hidrotermal rendah.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai katalis-katalis yang digunakan dalam penelitian:

a. Asam Sulfat (H2SO4)

Asam sulfat merupakan salah satu bahan penunjang yang sangat penting dan banyak dibutuhkan di bidang industri, terutama industri kimia. Oleh karena itu, asam sulfat memperoleh julukan the lifeblood of industry.

Asam sulfat merupakan cairan yang bersifat korosif, tidak berwarna, tidak berbau, sangat reaktif dan mampu melarutkan berbagai logam. Selain itu, bahan kimia ini dapat larut dengan air dengan segala perbandingan dan akan terdekomposisi pada temperatur 300oC atau lebih menghasilkan sulfur trioksida (Lutfiati, 2008). Adapun sifat-sifat dari asam sulfat lainnya ditampilkan dalam Tabel 5.


(34)

Tabel 5. Sifat-sifat asam sulfat

Nama Senyawa Asam sulfat

Rumus Kimia H2SO4

Wujud Senyawa (28˚C) Liquid (Cair)

Berat Molekul 98,08 g/mol

Warna Senyawa Tidak berwarna

Titik Leleh (-35) - 10,36˚C

Titik Didih 270 - 340˚C

(Sumber: Merck MSDS, 2011)

Pada proses esterifikasi katalis yang banyak digunakan pada awalnya adalah katalis homogen asam donor proton dalam pelarut organik, seperti H2SO4, HF, H3PO4, R-SO3H, dan PTSA. Katalis H2SO4 dalam reaksi esterifikasi adalah katalisator positif karena berfungsi untuk mempercepat reaksi esterifikasi yang berjalan lambat. H2SO4 juga merupakan katalisator homogen karena membentuk satu fase dengan pereaksi (Juan et al., 2007).

Adapun pemilihan penggunaan asam sulfat (H2SO4) sebagai katalisator dalam reaksi esterifikasi dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah (Sukardjo, 1997):

1. asam sulfat selain bersifat asam juga merupakan agen pengoksidasi yang kuat 2. dapat larut dalam air pada semua kepekatan

3. konsentrasi ion H+ berpengaruh terhadap kecepatan reaksi

4. karena afinitasnya terhadap air, maka asam sulfat dapat menghilangkan bagian terbesar uap air dan gas yang basah, seperti udara lembab.


(35)

b. ZSM-5

ZSM (Zeolite Sieve of Molecular Porosity)-5 adalah jenis zeolit sintetis bersilika tinggi. Zeolit ini pertama kali ditemukan tahun 1973 oleh Argauer dan Landolt. ZSM-5 adalah material berkadar silika tinggi yang terdiri dari 96 tetrahedral dalam satu unit selnya. Delapan tetrahedral diantaranya disusun oleh atom aluminium. Rasio Si/Al digunakan untuk menyatakan jumlah kadar Al dalam zeolit. Jika kadar aluminiumnya nol, maka zeolit ini disebut silikalit (Al Anshori, 2009). Struktur kerangka ZSM-5 disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Struktur kerangka ZSM-5 (Sumber: Paul Scherrer Institut, 2011)

ZSM-5 dikenal sebagai jenis zeolit sintetik yang mempunyai permukaan inti asam dan struktur jaringan pori yang luas serta homogen. Kemampuan ZSM-5 untuk mengakselerasi berbagai jenis reaksi sangat berkait dengan sifat keasamannya yang dapat dikontrol dengan rasio Si/Al. Namun, beragamnya variasi Si/Al ini sama sekali tidak akan mempengaruhi struktur kerangka ZSM-5 (Setiadi, 2005). Adapun komposisi dari struktur zeolit ZSM-5 ditampilkan dalam Tabel 6.


(36)

Tabel 6. Komposisi struktur ZSM-5

Nama Zeolit ZSM-5

Rasio SiO2/Al2O3 30

Bobot Na2O 0,1 %

Luas Permukaan 400 m2/g

Komposisi

ZnO 0,24% TiO2 0,22% MgO < 0,001%

BaO 0,23% Na2O < 0,001%

Fe2O3 0,49% CaO 0,005% K2O 0,073% SiO2 89,651 %

Al2O3 4,66% (Sumber: Savitri et al., 2006)

Selain digunakan pada proses reaksi esterifikasi pembuatan bioenergi, katalis ZSM-5 digunakan pula dalam konversi katalitik aseton menjadi hidrokarbon C1-C10 (Setiadi, 2005) serta proses pembuatan bahan bakar cair dengan memanfaatkan limbah ban bekas menggunakan katalis zeolit y dan ZSM-5 melalui proses cracking (Damayanthi dan Retno, 2010). Katalis ZSM-5 dapat pula digunakan untuk proses dewaxing, produksi synfuel, dan mensintesis etil benzena (Lefond, 1983).

2.4. Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Metode spektrofotometri inframerah (IR) digunakan untuk menentukan gugus fungsional suatu senyawa melalui prinsip absorpsi cahaya inframerah oleh molekul dalam senyawa yang dianalisis. Panjang gelombang IR lebih pendek daripada panjang gelombang sinar tampak maupun UV, oleh karena itu IR tidak mampu


(37)

mentransisikan elektron, melainkan hanya menyebabkan molekul bergetar atau bervibrasi (Hendayana, 1996).

Cara kerja alat spektrofotometri inframerah dapat dijelaskan dimana mula-mula sinar inframerah dilewatkan melalui sampel dan larutan pembanding, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray radiation). Berkas ini kemudian didispersikan melalui prisma atau gratting. Dengan melewatkannya melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor yang akan mengubah berkas sinar menjadi sinyal listrik yang selanjutnya direkam oleh recorder (perekam) (Khopkar, 2008).

Adapun bagian-bagian penting dari instrumen spektrofotometer inframerah, yaitu:

1. sumber radiasi 2. monokromator 3. detektor

Diagram instrumen tersebut disajikan pada Gambar 7 yang terdapat di bawah ini:

Gambar 7. Skema alat spektrofotometer inframerah (Sumber: Fessenden & Fessenden, 2006)

Penggunaan spektrum inframerah untuk penentuan struktur senyawa organik biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 µm) yang merupakan daerah fundamental. Daerah di bawah frekuensi 650 cm-1 dinamakan infra merah jauh dan daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 dinamakan infra merah dekat. Letak

Larutan Uji Larutan Pembanding Monokromator Prisma (slit)


(38)

puncak serapan dapat dinyatakan dalam satuan frekuensi (µm) atau bilangan gelombang (cm-1) (Sudjadi, 1985).

Molekul senyawa akan tereksitasi ke tingkatan energi yang lebih tinggi apabila menyerap radiasi inframerah. Dalam proses penyerapan, energi yang diserap akan menaikkan amplitudo gerakan vibrasi ikatan dalam molekul. Namun, hanya ikatan yang memiliki momen dipol yang dapat menyerap radiasi inframerah (Sastrohamidjojo, 1990).

2.5. Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GC-MS)

GC-MS merupakan suatu teknik analisis untuk mengidentifikasi senyawa yang mudah menguap, berantai panjang, rantai cabang hidrokarbon, alkohol, dan ester (Ruikar et al., 2009). Sampel-sampel yang dapat dianalisis dengan menggunakan GC-MS, harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya (Hermanto, 2008):

a. dapat diuapkan hingga suhu ~400°C

b. secara termal stabil, yaitu tidak terdekomposisi pada suhu ~400°C

c. sampel-sampel lainnya dapat dianalisis setelah melalui tahapan preparasi yang khusus.

GC-MS adalah teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisis, yaitu kromatografi gas dan spektroskopi massa. Dalam kromatografi gas, fase geraknya adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya. Sedangkan spektrometer massa adalah suatu instrumen yang dapat


(39)

menyeleksi molekul-molekul gas bermuatan berdasarkan massa atau beratnya (Khopkar, 2008).

Dalam sebuah spektrometer, suatu sampel dalam keadaan gas dibombardir dengan elektron yang berenergi cukup tinggi untuk mengalahkan potensial ionisasi pertama senyawa tertentu. Tabrakan antara sebuah molekul organik dan salah satu elektron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari molekul tersebut dan terbentuknya suatu ion organik. Ion organik yang dihasilkan oleh pembombardir elektron berenergi tinggi ini tidak stabil dan pecah menjadi fragmen kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain (Fessenden & Fessenden, 2006).

Proses ionisasi menghasilkan partikel-partikel bermuatan positif, dimana massa yang terdistribusi adalah spesifik terhadap senyawa induk. Selain untuk penentuan struktur molekul, spektrum massa digunakan untuk penentuan analisis kuantitatif (Khopkar, 2008).

Adapun unsur-unsur penting yang harus diperhatikan dalam sistem GC-MS, antara lain:

1. Gas pembawa

Gas pembawa yang umum digunakan adalah helium (He), nitrogen (N2), hidrogen (H2), dan argon (Ar), tetapi untuk detektor konduktivitas termal, He lebih disukai karena konduktivitas termalnya yang tinggi (Khopkar, 2008). Gas pembawa harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain harus inert (tidak bereaksi dengan sampel, pelarut sampel, material dalam kolom), murni, dan mudah diperoleh (Harnani, 2010).


(40)

2. Kolom

Ada dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler. Kolom kemas adalah pipa yang terbuat dari logam, kaca, plastik yang berisi penyangga padat yang inert sedangkan pada kolom kapiler terdapat rongga pada bagian dalam kolom yang menyerupai pipa (Harnani, 2010). Fungsi kolom adalah sebagai tempat terjadinya pemisahan molekul-molekul dalam sampel (Hermanto, 2008).

3. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor utama penentu hasil analisis kromatografi gas dan spektrometri massa. Parameter yang sangat menentukan adalah pengaturan suhu injektor dan kolom (Harnani, 2010).

4. Sistem injeksi

GC-MS memiliki dua sistem pemasukan sampel, yaitu secara langsung ke dalam ruang pengion (direct inlet) dan melalui sistem kromatografi gas (indirect inlet) (Harnani, 2010).

5. Detektor

Spektrometer massa pada sistem GC-MS berfungsi sebagai detektor itu sendiri yang terdiri dari sistem ionisasi dan sistem analisis (Harnani, 2010). Electron Impact (EI) adalah teknik ionisasi dengan menggunakan elektron energi tinggi, yaitu 70 eV. EI memiliki kelebihan bila digunakan untuk identifikasi senyawa, karena pemisahan molekul yang terjadi cukup baik (Hermanto, 2008).

6. Sistem pengolahan data dan identifikasi senyawa

Analisis GC-MS memberikan dua informasi dasar yaitu hasil analisis kromatografi gas dalam bentuk kromatogram dan hasil analisis spektrometri massa dalam bentuk spektrum massa (Harnani, 2010).


(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama delapan bulan, dari bulan Juni 2010 – Februari 2011 di Bidang Teknologi Proses dan Katalisis Pusat Penelitian Kimia – LIPI, Serpong.

3.2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah labu leher tiga 100 mL dan 250 mL, corong pisah 100 mL dan 500 mL, kondensor, hotplate, magnet stirrer, waterbath, termometer, FTIR (Shimadzu IR Prestige 21), GC-MS (Shimadzu QP 5050A), timbangan digital, pipet ukur 1 mL; 5 mL; 10 mL; dan 25 mL, pipet gondok 25 mL, pipet tetes, buret, statif, dan peralatan gelas pirex lainnya, seperti labu Erlenmeyer 250 mL, labu ukur, beaker glass, dan gelas ukur. Sedangkan bahan kimia utama yang digunakan pada penelitian adalah asam asetat glasial 100% (Merck), 1-heksena 97% (Sigma-Aldrich), H2SO4 98% (Merck), dan zeolit ZSM-5 (Zeolyst). Bahan kimia lainnya yang digunakan untuk keperluan analisa adalah H2SO4 0,5 N, KOH 0,1 N dan 0,4 N.

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Esterifikasi asam asetat dengan 1-heksena

Proses esterifikasi dilakukan dengan menggunakan peralatan refluks dan labu leher tiga yang ditempatkan pada waterbath dengan rasio mol reaktan 1:1


(42)

(asam asetat:1-heksena). Asam asetat sebanyak 57,25 mL dan katalis H2SO4 5% sebanyak 0,8 mL dimasukkan ke dalam labu leher tiga. Sedangkan 1-heksena sebanyak 124,13 mL dimasukkan ke dalam corong pisah yang dihubungkan dengan salah satu leher. Kemudian labu leher tiga tersebut dihubungkan dengan kondensor dan ditempatkan pada waterbath. 1-heksena dimasukkan ke dalam labu leher tiga saat suhu asam asetat dan katalis di dalam labu telah mencapai 60˚C dan waktu proses dimulai. Proses ini berlangsung selama 8 jam disertai dengan pengadukan. Produk yang dihasilkan kemudian diidentifikasi. Kemudian dilakukan perlakuan yang sama terhadap sampel dengan jumlah rasio reaktan yang sama namun menggunakan katalis H2SO4 10%, ZSM-5 5%, 10%, dan 15%, serta terhadap sampel dengan rasio mol reaktan (asam asetat:1-heksena) 1:2, 2:1, 3:1, dan 5:1 menggunakan katalis H2SO4 10% dan ZSM-5 15%.

1

2 34

56 7 8 9 1 1 0 2 34

56 7 8 9

11

Gambar 8. Susunan peralatan untuk proses esterifikasi

Waterbath Hotplate Termometer Kondensor Pemasukan 1-heksena Inlet Outlet


(43)

3.3.2. Identifikasi produk

Untuk identifikasi produk, analisa yang dilakukan antara lain dengan mengukur bilangan asam, bilangan ester, dan beberapa sampel diuji dengan menggunakan instrumen FT-IR serta GC-MS.

1) Penentuan bilangan asam Pengujian blanko:

Etanol sebanyak 25 mL dimasukkan labu Erlenmeyer dan dipanaskan. Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan fenolftalein sebagai indikator. Selanjutnya larutan tersebut dititrasi dengan KOH-etanol 0,1 N sampai larutan berwarna merah muda.

Pengujian sampel:

Sampel produk ditimbang sebanyak 0,5 g dan dilarutkan dalam 25 mL etanol pada labu Erlenmeyer, dipanaskan sampai larut, kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan fenolftalein sebagai indikator. Selanjutnya, larutan tersebut dititrasi dengan KOH-etanol 0,1 N sampai larutan berwarna merah muda.

Bilangan Asam = (mL sampel - mL blanko) x NKOH x 56,1 gram sampel

2) Penentuan bilangan ester Pengujian blanko:

Blanko hasil uji bilangan asam ditambahkan 25 mL larutan KOH-etanol 0,4 N dan sedikit batu didih atau porselen. Larutan tersebut direfluks dengan hati-hati selama 1,5 jam setelah larutan mendidih. Larutan didiamkan hingga menjadi dingin. Kondensor refluks dilepaskan kemudian larutan


(44)

dititrasi dengan H2SO4 0,25 N sampai diperoleh perubahan warna dari merah muda menjadi bening.

Pengujian sampel:

Sampel hasil uji bilangan asam ditambahkan 25 mL larutan KOH-etanol 0,4 N dan sedikit batu didih atau porselen. Larutan tersebut direfluks dengan hati-hati selama 1,5 jam setelah larutan mendidih. Larutan didiamkan hingga menjadi dingin. Kondensor refluks dilepaskan kemudian larutan dititrasi dengan H2SO4 0,25 N sampai diperoleh perubahan warna dari merah muda menjadi bening.

Bilangan Ester = (mL blanko - mL sampel) x NKOH x 56,1 gram sampel


(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pangaruh Katalis dan Rasio Reaktan terhadap Bilangan Asam dan Bilangan Ester

Bilangan asam merupakan banyaknya jumlah asam asetat dalam suatu sampel uji. Pengujian bilangan asam ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar asam asetat yang tersisa. Nilai bilangan asam tersebut dapat menunjukkan bahwa asam asetat telah bereaksi terhadap 1-heksena dalam setiap proses esterifikasi. Bilangan ester menyatakan banyaknya jumlah senyawa ester dalam suatu sampel uji. Pengujian bilangan ester pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besarnya jumlah senyawa ester yang terbentuk pada proses esterifikasi.

Perlakuan kedua pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan pembentukan produk ester pada proses esterifikasi antara asam asetat dan 1-heksena berdasarkan pengaruh katalis dan jumlah reaktan yang digunakan. Produk dari hasil reaksi esterifikasi asam asetat dengan 1-heksena, sebagian besar membentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas berupa senyawa non-polar dan lapisan bawah berupa senyawa polar.

4.1.1. Pengaruh katalis

Katalis yang digunakan pada penelitian ini adalah H2SO4 98% dan zeolit ZSM-5 dengan konsentrasi yang beragam, yaitu H2SO4 5% dan 10%, serta ZSM-5 5%, 10%, dan 15%. Penggunaan katalis H2SO4 15% tidak dilakukan, karena penurunan bilangan asam maupun kenaikan bilangan ester dengan katalis H2SO4


(46)

tidak menunjukkan angka yang lebih baik jika dibandingkan dengan katalis ZSM-5, sehingga tidak efisien apabila dilakukan.

Berikut ini merupakan grafik bilangan asam lapisan bawah (senyawa polar) setelah proses esterifikasi berdasarkan konsentrasi katalis.

Gambar 9. Pengaruh katalis terhadap bilangan asam

Pada Gambar 9 terdapat penurunan bilangan asam pada sampel yang menggunakan katalis H2SO4 maupun ZSM-5. Penurunan nilai bilangan asam ini dapat terjadi karena adanya reaksi asam asetat terhadap 1-heksena yang bersifat bolak-balik (reversible) sehingga membentuk senyawa ester. Pada grafik tersebut, nilai bilangan asam terendah ditunjukkan oleh sampel uji yang menggunakan katalis ZSM-5 10%, yaitu sebesar 313,76, sedangkan sampel uji yang menggunakan katalis H2SO4 10% sebesar 370,77.

Berikut ini merupakan grafik bilangan ester lapisan atas setelah proses esterifikasi berdasarkan konsentrasi katalis.


(47)

Gambar 10. Pengaruh katalis terhadap bilangan ester

Gambar 10 menunjukkan kenaikan bilangan ester baik pada sampel dengan menggunakan katalis H2SO4 maupun katalis ZSM-5. Kenaikan jumlah bilangan ester menunjukkan bahwa asam asetat telah banyak bereaksi dengan 1-heksena dalam proses esterifikasi dan membentuk senyawa ester. Bilangan ester tertinggi ditemukan pada sampel dengan katalis ZSM-5 10%, yaitu sebesar 10,49, sedangkan dengan katalis H2SO4 10% sebesar 9,13. Besarnya bilangan ester dengan katalis ZSM-5 dibandingkan dengan katalis H2SO4 disebabkan oleh sifat selektivitas dari masing-masing katalis. Meskipun katalis H2SO4 ini memiliki selektitivitas yang tinggi, namun selektivitas katalis ZSM-5 yang rendah ini dapat ditingkatkan melalui luas permukaannya. Sehingga, reaksi esterifikasi dapat berjalan lebih optimal dan menghasilkan produk ester yang lebih banyak.

Berdasarkan pengujian bilangan asam dan bilangan ester, maka dapat dikatakan ZSM-5 lebih optimal dalam mengkatalisis reaksi esterifikasi dibandingkan dengan H2SO4. Sehingga dilakukan reaksi esterifikasi lebih lanjut


(48)

dengan katalis ZSM-5 15% untuk mengetahui pengaruh konsentrasi katalis tersebut.

Gambar 11. Pengaruh konsentrasi katalis ZSM-5 terhadap bilangan asam

Gambar 12. Pengaruh konsentrasi katalis ZSM-5 terhadap bilangan ester Pada gambar 11, penurunan bilangan asam terendah terjadi pada sampel uji dengan katalis ZSM-5 15%, yaitu sebesar 302,07. Pada uji bilangan ester, nilai tertinggi juga terjadi pada sampel uji dengan katalis ZSM-5 15%. Berdasarkan


(49)

nilai-nilai bilangan asam maupun bilangan ester, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi katalis yang digunakan pada proses esterifikasi tersebut, maka energi aktivasi akan semakin mudah diturunkan. Hal ini menyebabkan asam asetat dan 1-heksena semakin cepat bereaksi dan produk ester yang dihasilkan semakin banyak atau lebih maksimal.

4.1.2. Pengaruh rasio reaktan

Pada penelitian ini, proses esterifikasi dilakukan dengan variasi rasio mol reaktan antara asam asetat dan 1-heksena, yaitu 1:1, 1:2, 2:1, 3:1, dan 5:1. Sampel uji menggunakan dua jenis katalis, yaitu H2SO4 5% dan ZSM-5 15%. Pemilihan katalis H2SO4 5% didasarkan pada hasil pengujian bilangan asam dan bilangan ester yang apabila dibandingkan dengan katalis H2SO4 10% tidak terlalu jauh. Sehingga pada optimalisasi rasio mol digunakan katalis H2SO4 5% dengan alasan lebih ekonomis dalam mengefisienkan penggunaan bahan. Sedangkan pada pemilihan katalis ZSM-5, dimana nilai penurunan bilangan asam dan kenaikan bilangan ester memiliki angka yang lebih baik, maka optimalisasi rasio mol dilakukan pada konsentrasi ZSM-5 15% untuk mendapatkan produk ester heksil asetat yang optimal.

Adapun grafik hasil pengujian bilangan asam lapisan bawah sampel tersebut disajikan pada Gambar 13.


(50)

Gambar 13. Pengaruh rasio reaktan terhadap bilangan asam

Pada gambar di atas, dapat dilihat penurunan yang cukup drastis pada sampel yang menggunakan katalis ZSM-5 15% dengan rasio mol 1:2 (asam asetat:1-heksena). Penurunan terjadi dari 302,07 menjadi nol. Angka nol menunjukkan bahwa dengan katalis dan variasi ini, asam asetat bereaksi seluruhnya dengan 1-heksena, sehingga produk akhir hanya membentuk satu lapisan. Sedangkan pada sampel yang nenggunakan katalis H2SO4 5%, penurunan bilangan asam terjadi dari 441,15 pada rasio mol 1:1 (asam asetat:1-heksena) menjadi 340,12 pada rasio mol 1:2 (asam asetat:1-heksena). Kemudian, baik dengan katalis ZSM-5 15% maupun H2SO4 5%, grafik mengalami kenaikan secara perlahan mulai dari rasio mol 2:1 hingga 5:1 (asam asetat:1-heksena) sehingga tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan pada rasio tersebut.

Adapun grafik bilangan ester lapisan atas setelah proses esterifikasi berdasarkan variasi rasio reaktan. Grafik tersebut tersaji pada Gambar 14 yang menunjukkan bentuk grafik yang tampak signifikan satu sama lain.


(51)

Gambar 14. Pengaruh rasio reaktan terhadap bilangan ester

Grafik di atas menunjukkan kenaikan yang cukup besar pada sampel yang menggunakan katalis ZSM-5 15% dengan rasio mol 1:2 (asam asetat:1-heksena), yaitu dari 10,52 menjadi 18,22. Namun, angka tersebut kemudian mengalami penurunan berkala pada rasio mol 2:1 hingga 5:1 (asam asetat:1-heksena). Sedangkan pada sampel yang menggunakan katalis H2SO4 5%, grafik tidak menunjukkan perubahan yang signifikan mulai dari rasio mol 1:1 hingga 3:1 (asam asetat:1-heksena). Kemudian mengalami sedikit penurunan pada rasio mol 5:1 (asam asetat:1-heksena), yaitu sebesar 5,23.

Nilai bilangan asam yang rendah dan bilangan ester yang tinggi pada rasio mol reaktan 1:2 (asam asetat:1-heksena) dapat dijelaskan berdasarkan reaksi esterifikasi yang terjadi antara asam asetat dengan 1-heksena. Pada reaksi tersebut asam asetat bertindak sebagai nukleofil (CH3COO-), sedangkan 1-heksena merupakan senyawa yang membentuk karbokation. Apabila jumlah 1-heksena ditambah, maka akan semakin banyak karbokation yang terbentuk. Hal ini akan meningkatkan penyerangan nukleofil dari asam asetat pada


(52)

karbokation-karbokation tersebut untuk membentuk senyawa ester, sehingga kesetimbangan reaksi akan bergeser ke kanan.

4.2. Analisa Kualitatif dengan FTIR

Analisa kualitatif dengan spektroskopi inframerah (FTIR) dilakukan pada bilangan gelombang 4000 hingga 500 cm-1. Analisa ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya gugus karbonil ester. Adapun spektrum FTIR asam asetat dan 1-heksena yang merupakan bahan baku proses esterifikasi disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16. Spektrum ini digunakan sebagai spektrum standar untuk melihat penurunan intensitas atau hilangnya gugus C=C pada spektrum sampel uji.

Gambar 15. Spektrum FTIR asam asetat pada frekuensi 4000 - 500 cm-1

CH3 C

O OH


(53)

Pada gambar di atas terlihat adanya dua vibrasi yang cukup tajam pada bilangan gelombang 1730,15 cm-1 dan 1290,38 cm-1. Masing-masing adalah vibrasi gugus C=O dan C–O yang merupakan karakteristik untuk senyawa asam karboksilat. Sedangkan vibrasi gugus O-H muncul pada bilangan gelombang 3589,53 cm-1. Interpretasi spektrum FTIR asam asetat adalah sebagai berikut: Tabel 7. Interpretasi spektrum FTIR asam asetat

No.

Bilangan Gelombang

Daerah Serapan (cm-1) Gugus Fungsional (Tipe Vibrasi) Hasil Analisis

1. 1290,38 Vibrasi C–O

2. 1730,15 Vibrasi C=O (asam karboksilat)

3. 3589,53 Vibrasi O-H

(Sumber: Silverstein et al., 2005)

Gambar 16. Spektrum FTIR 1-heksena pada frekuensi 4000 - 500 cm-1


(54)

Pita serapan pada bilangan gelombang 3086,11 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi =C-H rentangan dan vibrasi =C-H bengkok ke luar bidang ditunjukkan pada bilangan gelombang 912,33 cm-1. Jenis vibrasi karakteristik dari alkena dengan vibrasi =C-H bengkok ke luar bidang muncul pada frekuensi 1000 – 650 cm-1 dan pita serapan ini biasanya paling kuat dalam spektrum alkena (Silverstein et al., 2005). Bilangan gelombang pada kisaran 2850-3000 cm-1 menunjukkan vibrasi C–H rentangan alifatik, sedangkan pada daerah 1645,28 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=C yang merupakan karakteristik untuk senyawa alkena. Pada alkena tak terkonjugasi, serapan vibrasi C=C rentangan biasanya muncul antara 1667 hingga 1640 cm-1 serta memberikan serapan sedang hingga lemah (Silverstein et al., 2005).

Adapun interpretasi spektrum FTIR 1-heksena di atas dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Interpretasi spektrum FTIR 1-heksena

No.

Bilangan Gelombang Daerah

Serapan (cm-1) Gugus Fungsional (Tipe Vibrasi) Hasil Analisis

1. 912,33 Vibrasi =C-H bengkok keluar bidang

2. 1645,28 Vibrasi C=C rentangan

3. 2875,86; 2929,87; 2966,52 Vibrasi C–H rentangan

4. 3086,11 Vibrasi =C-H rentangan (alifatik)

(Sumber: Silverstein et al., 2005)

Pada penelitian ini, sampel-sampel yang dilakukan pengujian FTIR, antara lain sampel lapisan atas (senyawa non-polar) dengan rasio mol 1:1 dan 1:2 (asam asetat:1-heksena) dengan katalis H2SO4 5% serta katalis ZSM-5 15%. Keempat spektrum tersebut menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, sehingga


(55)

penjelasan mengenai spektrum sampel hanya dilakukan terhadap sampel dengan rasio mol 1:2 (asam asetat:1-heksena) baik dengan katalis H2SO4 5% maupun katalis ZSM-5 15%. Secara berurutan spektrum sampel tersebut disajikan pada Gambar 17 dan Gambar 18.

Pada spektrum-spektrum tersebut dapat dilihat terdapat dua serapan tajam dan kuat. Berikut ini adalah spektrum FTIR sampel uji asam asetat:1-heksena (1:2) dengan katalis H2SO4 5%.

Gambar 17. Spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis H2SO4 5% pada frekuensi 4000 - 500 cm-1

Bilangan gelombang pada Gambar 17 ini menunjukkan angka bilangan gelombang yang karakteristik dan spesifik untuk gugus-gugus karbonil milik

CH3 C

O


(56)

senyawa ester. Bilangan gelombang 1726,22 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C=O rentangan (ester) dan bilangan gelombang 1265,30 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi C–O rentangan. Sedangkan pada bilangan gelombang 2864,29 cm-1 hingga 2958,80 cm-1, menunjukkan adanya vibrasi C–H rentangan alifatik. Adapun interpretasi spektrum sampel tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Interpretasi spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis

H2SO4 5%

No.

Bilangan Gelombang Daerah

Serapan (cm-1) Gugus Fungsional (Tipe Vibrasi) Hasil Analisis

1. 1265,30 Vibrasi C–O rentangan

2. 1726,22 Vibrasi C=O rentangan (ester)

3. 2864,29; 2927,94; 2958,80 Vibrasi C–H rentangan (alifatik) (Sumber: Sastromidjojo, 1990)

Selanjutnya adalah spektrum FTIR sampel uji asam asetat:1-heksena (1:2) dengan katalis ZSM-5 15%. Spektrum tersebut tersaji pada Gambar 18. Pada Gambar 18, terlihat adanya puncak yang muncul pada daerah bilangan gelombang 1732,08 cm-1 dan 1263,37 cm-1, yang masing-masing menunjukkan adanya gugus karbonil C=O dan vibrasi C–O rentangan pada daerah sidik jari. Dua puncak tersebut yang dapat dijadikan sebagai acuan bahwa sampel ini merupakan senyawa ester atau mengandung senyawa ester. Sedangkan bilangan gelombang 2856,58 cm-1 hingga 2956,87 cm-1 merupakan vibrasi C–H rentangan alifatik.


(57)

Gambar 18. Spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis ZSM-5 15% pada frekuensi 4000 - 500 cm-1

Adapun interpretasi spektrum FTIR sampel pada Gambar 15 disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Interpretasi spektrum FTIR sampel heksil asetat (1:2) dengan katalis ZSM-5 15%

No.

Bilangan Gelombang Daerah

Serapan (cm-1) Gugus Fungsional (Tipe Vibrasi) Hasil Analisis

1. 1263,37 Vibrasi C–O rentangan

2. 1732,08 Vibrasi C=O rentangan (ester)

3. 2856,58; 2924,09; 2956,87 Vibrasi C–H rentangan (alifatik) (Sumber: Sastromidjojo, 1990)

CH3 C

O


(58)

Berdasarkan spektrum kedua sampel uji hasil proses esterifikasi dan perbandingan dengan spektrum 1-heksena dan asam asetat, serapan pada daerah bilangan gelombang kisaran 1667 – 1640 cm-1 yang merupakan karakteristik bilangan gelombang untuk ikatan rangkap senyawa alkena semakin berkurang dan bilangan gelombang ikatan karbonil serta gugus hidroksil asam asetat tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar ikatan rangkap (C=C) pada senyawa 1-heksena telah terjenuhkan selama proses esterifikasi dan berikatan dengan asam asetat membentuk senyawa ester. Selain itu, gugus O-H yang merupakan ciri utama dari senyawa asam asetat pun telah terlebur untuk berikatan dengan 1-heksena.

4.3. Analisa Kualitatif dengan GC-MS

Analisa GC-MS dalam penelitian ini dilakukan untuk mengkonfirmasi senyawa-senyawa yang terbentuk pada proses esterifikasi. Pada analisa tersebut digunakan Shimadzu QP 5050A dengan kolom jenis DB5-MS yang bersifat non-polar, memiliki panjang 30 m dan berdiameter 0,25 mm. Gas pembawa yang digunakan adalah nitrogen (N2) dengan laju alir 1,6 mL/min.

Analisa GC-MS hanya dilakukan terhadap tiga sampel, yaitu lapisan atas (non-polar) dengan katalis H2SO4 5% dan katalis ZSM-5 5% serta 15% pada rasio mol reaktan 1:1 (uji asam asetat:1-heksena). Kromatogram GC-MS sampel heksil asetat (1:1) dengan katalis H2SO4 5% dapat dilihat pada Gambar 19.


(59)

Gambar 19. Kromatogram GC-MS sampel uji (1:1) dengan katalis H2SO4 5% Pada gambar di atas terlihat adanya satu puncak kromatogram GC-MS yang menunjukkan jumlah senyawa yang terkandung dalam sampel uji asam asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis H2SO4 5%. Puncak tersebut muncul pada waktu retensi 3,698 dengan luas area sebesar 61535.

Adapun interpretasi hasil analisa GC-MS sampel uji tersebut disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Interpretasi spektrum massa sampel uji (1:1) dengan katalis H2SO4 5% Puncak Waktu

Retensi Luas Area Base Peak Senyawa yang Disarankan Molecular Ion Peak Similaritas (%)

1 3,698 61535 40,00

Heksil asetat (C8H16O2)

144 79

Dari hasil analisa GC-MS ini, didapatkan suatu spektrum massa dengan

base peak sebesar 40,00. Berdasarkan spektrum massa tersebut, diketahui bahwa senyawa yang terbentuk adalah heksil asetat dengan similaritas sebesar 79%.


(60)

Kemungkinan tersebut dilihat dari kemiripan dari pola fragmentasi spektrum massa sampel dengan library fragmen (Nist 62, Wiley 229) yang tersedia pada rangkuman MS.

Pada kromatogram sampel uji asam asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis ZSM-5 5% juga terlihat adanya satu puncak terbentuk. Puncak tersebut muncul pada waktu retensi 3,556 dengan luas area sebesar 397320. Kromatogram dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Kromatogram sampel uji (1:1) dengan katalis ZSM-5 5% Interpretasi hasil analisa GC-MS sampel uji asam asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis ZSM-5 5% tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12. Interpretasi spektrum massa sampel uji (1:1) dengan katalis ZSM-5 5%

Puncak Waktu Retensi Luas Area Base Peak Senyawa yang Disarankan Molecular Ion Peak Similaritas (%) 1 3,556 397320 43,10 Heksil asetat

(C8H16O2)


(61)

Spektrum massa pada sampel di atas memiliki base peak sebesar 43,10. Berdasarkan spektrum massa tersebut, diketahui bahwa senyawa yang terbentuk adalah heksil asetat dengan similaritas sebesar 85%. Persen kemiripan sampel yang dihasilkan ini lebih besar bila dibandingkan dengan sampel yang menggunakan katalis H2SO4 5%.

Pada sampel uji asam asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis ZSM-5 15% terkandung satu senyawa yang dominan. Hal ini dapat dilihat dari puncak kromatogram pada Gambar 21.

Gambar 21. Kromatogram sampel uji (1:1) dengan katalis ZSM-5 15%

Pada kromatogram tersebut muncul satu puncak dengan waktu retensi 3,636 dan luas area sebesar 1587532 juga muncul dua puncak yang berhimpit dengan waktu retensi masing-masing 7,064 dan 7,190 serta luas area sebesar 57295 dan 56820. Puncak pertama merupakan senyawa yang terkandung dalam sampel uji, yaitu heksil asetat, sedangkan dua puncak berhimpit tersebut dapat dikatakan sebagai zat pengotor (impurities) yang terdapat dalam sampel uji, yaitu


(62)

1-heksena ataupun asam asetat yang merupakan bahan baku proses esterifikasi ini. Hasil data tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Interpretasi spektrum massa sampel uji (1:1) dengan katalis ZSM-5 15%

Puncak Waktu Retensi Luas Area Base Peak Senyawa yang Disarankan Molecular Ion Peak Similaritas (%)

1 3,556 1587532 43,10

Heksil asetat (C8H16O2)

144 88

Spektrum massa sampel uji asam asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis ZSM-5 15% memiliki base peak sebesar 43,10 untuk puncak 1. Senyawa yang disarankan oleh library fragmen MS (Nist 62, Wiley 229, Pesticd) untuk puncak 1 adalah heksil asetat dengan similaritas 88%.

Berdasarkan hasil analisa dengan GC-MS, ketiga sampel uji menunjukkan hasil senyawa yang sama meskipun dengan similaritas yang berbeda-beda. Reaksi pembentukan ester tersebut dapat dilihat pada Gambar 22.

CH3 (CH2)3 CH CH2 CH3 C

O OH

H+

+ CH3 (CH2)5 O C

O

CH3 + H+

Gambar 22. Reaksi esterifikasi asam asetat dengan 1-heksena

Pada reaksi esterifikasi antara asam asetat dan 1-heksena tersebut dihasilkan suatu produk ester, yaitu heksil asetat. Selain sebagai bahan baku lanjutan untuk pembuatan etanol, heksil asetat juga dapat digunakan sebagai

flavouring agent rasa buah-buahan seperti buah pir, persik, apel, dan pisang pada makanan. Selain dapat juga digunakan sebagai substansi tambahan untuk parfum atau bahan pewangi lainnya. Berikut ini adalah struktur dari senyawa tersebut:


(63)

CH3 CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 O C O

CH3

Gambar 23. Struktur senyawa heksil asetat

Mekanisme reaksi pembentukan senyawa ester ini meliputi pembentukan ion karbon (karbokation) dari alkena yang dihadapkan dengan katalis asam, yang kemudian diserang oleh atom oksigen dari gugus hidroksil senyawa asam karboksilat (Patwardhan, 1990). Mekanisme reaksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 24.

CH3 (CH2)3 CH CH2

H+

CH3 (CH2)3 CH2 CH2+ CH3 C

O

O H

.. ..

CH3 (CH2)3 CH2 CH2 O C

O

CH3 + H+

Gambar 24. Mekanisme pembentukan senyawa heksil asetat

Pada Gambar 24 dapat dijelaskan bahwa reaksi pembentukan ester terjadi melalui dua tahapan. Pada tahap 1, terjadi suatu serangan elektrofilik dimana elektron phi (π) yang tidak terlindung dalam ikatan rangkap 1-heksena akan menarik elektrofil (H+) pada katalis asam yang digunakan. Pada tahapan reaksi ini dihasilkan suatu karbokation pada C1 senyawa 1-heksena. Kemudian dilanjutkan dengan tahap 2, dimana karbokation tersebut diserang oleh nukleofil (CH3COO-) dan dihasilkan suatu produk ester, yaitu heksil asetat.

Pada reaksi ini pembentukan karbokation terjadi pada C1, meskipun diketahui bahwa karbon sekunder lebih disukai dan stabil bila dibandingkan dengan karbon primer. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan senyawa 1-butena, dimana pembentukan karbokation terjadi pada C2. Peristiwa tersebut


(64)

dapat terjadi karena adanya faktor sterik, dimana senyawa 1-heksena memiliki rantai yang panjang sehingga pembentukan karbokation terjadi pada C1. Sedangkan pada senyawa 1-butena, halangan sterik lebih kecil sehingga pembentukan karbokation terjadi pada C2.


(65)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain: 1. Rasio pereaksi optimal pada reaksi esterifikasi asam asetat dengan 1-heksena

baik dengan menggunakan katalis H2SO4 maupun ZSM-5 adalah (1:2).

2. Produk ester heksil asetat telah teridentifikasi pada pengujian dengan FTIR, dengan keberadaan gugus C=O dan C–O pada bil. gelombang 1726,22 cm-1 - 1732,08 cm-1 dan 1263,37 cm-1 - 1265,30 cm-1.

3. Pengujian dengan GCMS, mengkonfirmasi bahwa contoh produk esterifikasi mengandung senyawa heksil asetat.

4. Pada reaksi esterifikasi ini, katalis ZSM-5 lebih tinggi keaktifannya dibandingkan dengan katalis H2SO4. Semakin besar konsentrasi katalis yang digunakan, maka semakin tinggi keaktifannya.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar dilakukan perlakuan lebih lanjut, antara lain:

1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk perbaikan sistem esterifikasi yang digunakan sehingga dihasilkan produk ester yang lebih baik.

2. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan NMR untuk mengkonfirmasi struktur senyawa yang terbentuk pada proses esterifikasi ini.


(66)

DAFTAR PUSTAKA

Al Anshori, Jamaludin. 2009. Siklisasi Intramolekuler Sitronelal dikatalisis Zeolit dan Bahan Mesoporus. Karya Tulis Ilmiah. Jurusan Kimia, UNPAD, Bandung.

Damayanthi, Reska dan Retno Martini. 2010. Proses Pembuatan Bahan Bakar Cair dengan Memanfaatkan Limbah Ban Bekas Menggunakan Katalis Zeolit Y dan ZSM-5. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia, UNDIP.

Effendi, D. Soleh. 2010. Prospek Pengembangan Tanaman Aren (Arengan pinnata Merr) Mendukung Kebutuhan Bioetanol di Indonesia. J. Perspektif. Vol. 9, no. 1, h. 36 – 46.

Ega, L dan Bambang Triwiyono. 2006. Kajian Tekno Ekonomi Produksi Fuel Grade Ethanol dari Nira Aren dan Kelapa sebagai Sumber Energi Engine Alternatif. Jurnal BPPT Jakarta.

Fessenden & Fessenden. 2006. Kimia Organik. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Fessenden & Fessenden. 2006. Kimia Organik. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Gozan, Misri, M. Samsuri, Fani Siti H., Bambang P., dan M. Nasikin. 2007. Sakarifikasi dan Fermentasi Bagas menjadi Ethanol Menggunakan Enzim Selulase dan Enzim Sellobiase. Jurnal Teknologi.Edisi no. 3, h. 209-215. Hakim, Arif Rahman dan Irawan S., 2010. Kajian Awal Sintesis Biodiesel dari

Minyak Dedak Padi Proses Esterifikasi. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP, Semarang.

Harnani, E. Dwi. 2010. Perbandingan Kadar Eugenol Minyak Atsiri Bunga Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Meer. & Perry) dari Maluku, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa dengan Metode GC-MS. Skripsi. Jurusan Farmasi UMS, Surakarta.

Hermanto, Sandra. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan Spektrofotometri. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Hendayana, Sumar. 1996. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta: Erlangga.

Hoon, Sik Kim. 2005. Phosphine-bound Zinc Halide Complexes for The Coupling Reaction of Etylene Oxide and Carbon Dioxide. Journal of Catalysis. Vol. 232, p. 80-84.


(67)

Juan, J.C., Zhang, J., Yarmoa, M.A., 2007. 12-Tungstophosphoric Acid Supported on MCM-41 for Esterification of Fatty Acid under Solvent-free Condition.

Journal of Molecular Catalysis A: Chemical. Vol. 267, p. 265–271. Khopkar, S. M. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press.

Kiff, Ben W., David, J. Schreck. 1983. Production of Etanol from Acetic Acid.

United State Patent, 4.421.939.

Lefond, S. J. 1983. Industrial Minerals and Rocks (Nonmetallic other than Fuel).

Journal of AIME. Vol. 2, p. 1391-1431.

Lutfiati, Anna. 2008. Prarancangan Pabrik Asam Sulfat dari Sulfur dan Udara dengan Proses Kontak Kapasitas 225.000 Ton per Tahun. Skripsi. Fakultas Teknik UMS, Surakarta.

Merck MSDS. 2011. Acetic Acid. www.merck.com (akses 1 Maret 2011). Merck MSDS. 2011. Sulfonic Acid. www.merck.com (akses 1 Maret 2011).

Patwardhan, A.A dan M.M. Sharma. 1990. Esterification of Carboxylic Acids with Olefins using Cation Exchange Resins as Catalysts. Reactive Polymers. Vol. 13, p. 161-176.

Paul Scherrer Institut. 2011. Identification of the SCR active sites in Fe-ZSM-5.

http://ene.web.psi.ch/highlights/SCR.html (akses 24 Mei 2011).

Riyanto. 2006. Produksi Asam Asetat dari Etanol dengan Cara Elektrolisis.

J. Logika, ISSN: 1410-2315.Vol. 3, No. 2.

Ruikar, Anjali et al. 2009. GC-MS Study Of A Steam Volatile Matter From Mimusops elengi. Journal of ChemTech Research. Vol.1, No.2, pp 158-161.

Samsuri, M., M. Gozan, R. Mardias, dkk. 2007. Pemanfatan Sellulosa Bagas untuk Produksi Ethanol melalui Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak dengan Enzim Xylanase. J.Makara, Teknologi.Vol. 11, No. 1, h. 17-24. Sastrohamidjojo, Hardjono. 1990. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta: Liberty. Satterfield, Charles. N., 1991. Heterogeneous Catalysis in Industrial Practice. 2nd

Edition. New York: McGraw Hill, Inc.

Savitri, Yan Irawan, S. R. Wuryaningsih, M. Ghozali. 2006. Rate of Reaction Constants as Time Function from Esterification of Glicerol with Oleic Acid using Zeolyt as Catalist. J.International Oil Palm Conference, PCTE-2.


(68)

Setiadi. 2005. Uji Kinerja Katalis ZSM-5 dalam Konversi Aseton menjadi Hidrokarbon Aromatik. J. Simposium dan Kongres Teknologi Katalisis Indonesia, ISSN-0216-4183.

Sigma-Aldrich MSDS. 2011. 1-hexene. sigma-aldrich.com (akses 23 Maret 2011).

Silverstain, M. Robert, Francis X. Webster, David J. Kiemle. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds. USA: John Wiley & Sons, Inc. Sudjadi, M.S. 1985. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Jakarta: Penerbit

Ghalia Indonesia.

Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta: Rineka Cipta.

Supardjan. 2004. Sintesis Diasetil Heksagamavunon-1 dengan Katalis Basa.

J.Pharmacon.Vol. 5, No. 2, h. 48-55.

Widyawati, Yeti. 2007. Disain Proses Dua Tahap Esterifikasi-Transesterifikasi (Estrans) pada Pembuatan Metil Ester (Biodiesel) dari Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas. L). Tesis. Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB, Bogor.

Yoneda, Noriyuki. 2001. Recent Advances in Processes and Catalysts for The Production of Acetic Acid. Journal of Applied Catalysis A: General 221. p. 253–265.


(69)

(70)

(71)

Lampiran 3. Sampel hasil proses esterifikasi

Sampel sebelum pemisahan

(a) (b)

Sampel setelah dipisahkan: (a) sampel lapisan atas (non-polar) dan (b) sampel lapisan bawah (polar)


(72)

Lampiran 4. Kondisi Operasi GC-MS

Parameter Keterangan

Merk Alat Shimadzu QP 5050A

Temperatur Oven 60 oC

Waktu Equil. Oven 0,50 menit

Temperatur Injektor 300 oC

Temperatur Interface 320 oC

Gas Pembawa Nitrogen (N2)

Jenis Kolom DB5-MS

Panjang Kolom 30 m

Diameter Kolom 0,25 mm

Tekanan Kolom 100 kPa

Laju Alir Kolom 1,6 mL/min

Kecepatan Linier 46,4

Rasio Split 20


(73)

Lampiran 5. Data pengujian bilangan asam fraksi bawah dengan rasio reaktan (asam asetat:1-heksena) 1:1

No. Katalis Bobot

Sampel Penggunaan KOH-etanol 0,1 N Bilangan Asam Bilangan Asam (Rata-rata) 1. H2SO4 5% 0,3054 g 27,8 mL 441,156 441,15

Blanko 0,1 mL

2. H2SO4 10%

0,2088 g 16,0 mL 370,3809

370,77

0,2136 g 16,4 mL 371,1661

Blanko 0,1 mL

3. ZSM-5 5% 0,2351 g 21,2 mL 434,4588 412,49

0,2146 g 18,4 mL 412,4996

Blanko 0,2 mL

4. ZSM-5 10% 0,2112 g 13,0 mL 315,1373 313,76

0,2084 g 13,5 mL 312,3833

Blanko 0,1 mL

5. ZSM-5 15% 0,2032 g 12,8 mL 303,6358 302,07

0,2037 g 12,7 mL 300,5218


(74)

Lampiran 6. Data pengujian bilangan asam fraksi bawah dengan katalis H2SO4 5%

No. Rasio Reaktan Bobot Sampel Penggunaan KOH-etanol 0,1 N Bilangan Asam Bilangan Asam (Rata-rata)

1. 1:1 0,3054 g 27,8 mL 441,156 441,15

Blanko 0,1 mL

2. 1:2 0,2149 g 15,2 mL 341,7609 340,12

0,2254 g 16,7 mL 338,7877

Blanko 1 mL

3. 2:1 0,2110 g 15,4 mL 352,6882 344,18

0,2159 g 15,9 mL 335,6723

Blanko 1 mL

4. 3:1 0,2150 g 15,7 mL 352,9133 344,29

0,2130 g 14,8 mL 335,6755

Blanko 0,1 mL

5. 5:1 0,2140 g 15,8 mL 356,8353 349,73

0,2030 g 14,4 mL 342,6272


(75)

Lampiran 7. Data pengujian bilangan asam fraksi bawah dengan katalis ZSM-5 15%

No. Rasio Reaktan Bobot Sampel Penggunaan KOH-etanol 0,1 N Bilangan Asam Bilangan Asam (Rata-rata)

1. 1:1 0,2032 g 12,8 mL 303,6358 302,07

0,2037 g 12,7 mL 300,5218

Blanko 0,1 mL

2. 1:2 - - - -

- - -

Blanko -

3. 2:1 0,2041 g 13,2 mL 290,7359 289,72

0,2089 g 13,4 mL 288,7122

Blanko 1 mL

4. 3:1 0,2258 g 14,3 mL 305,8766 292,73

0,2450 g 14,2 mL 279,5978

Blanko 0,1 mL

5. 5:1 0,2142 g 14,2 mL 319,8119 319,89

0,2080 g 13,8 mL 319,9856


(76)

Lampiran 8. Data pengujian bilangan ester fraksi atas dengan rasio reaktan (asam asetat:1-heksena) 1:1

No. Katalis Bobot

Sampel

Penggunaan H2SO4 0,25 N

Bilangan Ester

Bilangan Ester (Rata-rata)

1. H2SO4 5% 0,5087 g 19,0 mL 7,8211 7,82

Blanko 19,3 mL

2. H2SO4 10%

0,5070 g 18,8 mL 10,4631

9,13

0,5099 g 18,9 mL 7,8027

Blanko 19,2 mL

3. ZSM-5 5% 2,0078 g 23,8 mL 7,9827 9,54

2,0199 g 38,0 mL 11,1089

Blanko 24,3 mL; 39,4 mL

4. ZSM-5 10% 0,5070 g 18,8 mL 10,4631 10,49

0,5047 g 18,8 mL 10,5241

Blanko 19,2 mL

5. ZSM-5 15% 2,0918 g 32,0 mL 9,960 10,52

2,0221 g 38,0 mL 11,0968


(77)

Lampiran 9. Data pengujian bilangan ester fraksi atas dengan katalis H2SO4 5%

No. Rasio Reaktan

Bobot Sampel

Penggunaan H2SO4 0,25 N

Bilangan Ester

Bilangan Ester (Rata-rata)

1. 1:1 0,5087 g 19,0 mL 7,8211 7,82

Blanko 19,3 mL

2. 1:2 0,5009 g 19,0 mL 7,9429 7,87

0,5110 g 18,7 mL 7,7859

Blanko 19,3 mL; 18,9 mL

3. 2:1 0,5038 g 0,9 mL 7,8771 7,79

0,5142 g 27,0 mL 7,7178

Blanko 12,2 mL; 27,3 mL

4. 3:1 0,5176 g 19,4 mL 7,6866 7,68

0,5184 g 19,4 mL 7,6747

Blanko 19,7 mL

5. 5:1 0,5063 g 19,2 mL 5,2388 5,23

0,5064 g 19,2 mL 5,2377


(1)

Lampiran 22

. Hasil analisa GC sampel uji asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis

ZSM-5 15%


(2)

Lampiran 23

. Hasil analisa MS sampel uji asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis

ZSM-5 15% (Puncak 1)


(3)

Lampiran 24

. Hasil analisa MS sampel uji asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis

ZSM-5 15% (Puncak 2)


(4)

Lampiran 25

. Hasil analisa MS sampel uji asetat:1-heksena (1:1) dengan katalis

ZSM-5 15% (Puncak 3)


(5)

Lampiran 26

. Pola fragmentasi heksil asetat

O

O

- 60

m/z = 84 m/z = 144

penataan ulang

H

CH3

+ m/z = 42

m/z = 43 +

m/z = 101

O

O +

m/z = 43

m/z = 101

m/z = 42

m/z = 84

O


(6)

Lampiran 27

. Pola pemisahan spin untuk proton-proton dalam heksil asetat pada

1

H-NMR

CH

3

CH

2

CH

2

CH

2

CH

2

CH

2

O

C

O

CH

3

1 2 3 4 5 6 7

1

triplet

3

kuintet

5

kuintet

7

singlet

n+1 = 2+1

n+1 = 4+1

n+1 = 4+1

n+1 = 0+1

= 3

= 5

= 5

= 1

2

sektet

4

kuintet

6

triplet

n+1 = 5+1

n+1 = 4+1

n+1 = 2+1

= 6

= 5

= 3

0 1 2 3 4 5 PPM

Protocol of the H-1 NMR Prediction:

Node Shift Base + Inc. Comment (ppm rel. to TMS) CH3 2.01 0.86 methyl

1.15 1 alpha -C(=O)OC CH2 4.08 1.37 methylene

2.75 1 alpha -OC(=O)-C -0.04 1 beta -C

CH2 1.57 1.37 methylene

0.24 1 beta -OC(=O)-C -0.04 1 beta -C

CH2 1.29 1.37 methylene -0.04 1 beta -C -0.04 1 beta -C CH2 1.29 1.37 methylene -0.04 1 beta -C -0.04 1 beta -C CH2 1.33 1.37 methylene 0.00 1 alpha -C -0.04 1 beta -C CH3 0.96 0.86 methyl 0.10 1 beta -C-R

O O 2.01 4.08 1.57 1.29 1.29 1.33 0.96