BAB II Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Studi Kasus di Universitas Nusantara PGRI Kediri)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Sistem Pembelajaran PAI 1. Pengertian Sistem Pembelajaran PAI
Sistem pembelajaran PAI merupakan sebuah rangkain dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu. Setiap kata dari rangkain tersebut secara bahasa dan istilah punya arti tersendiri dan secara independen bisa dibentuk makna yang utuh. Oleh karena itu sebelum pembahasan tentang arti sistem pembelajaran PAI secara utuh maka dipandang perlu terlebih dahulu ditelusuri makna perkata dari rangkain tersebut diantaranya adalah kata sistem, pembelajaran, Pendidikan Agama Islam, sistem pembelajaran, pembelajaran Pendidikan Agama Islam, dan secara utuh terbentuk rangkaian kata sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Menurut Lorens Bagus kata „sistem‟ berasal dari bahasa Inggris yaitu system dan bahasa Yunani systema yang tersusun dari dua kata yaitu syn yang berarti „dengan‟ dan istanai berarti „menempatkan‟. Sedangkan dalam satu kata utuh, kata systema punya arti tentang keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian atau komposisi. Diacukan pada penjelasan tersebut maka secara istilah kata sistem memiliki pengertian “kumpulan hal-hal yang disatukan ke dalam suatu keseluruhan
(2)
yang konsisten karena saling terkait (interaksi, interdependensi, saling keterkaitan yang teratur dari bagian-bagiannya).”32
Maka dapat disimpulkan dalam setiap tatanan „sistem‟ pasti terdapat sebuah komponen-komponen yang berperan dalam penyuksesan kinerja organisasi atau tatanan tersebut. Namun tentu kinerja dari salah satu komponen itu perlu didukung oleh komponen yang lain agar terjadinya prinsip efektif dan efisien. Sebagaimana menurut Lauralee Sherwood serta menurut Campbell, N.A. dkk. yang dinyatakan dalam terminologi bidang biologi ada beberapa istilah „sistem‟ yang digunakan sebagai penjelas tentang organisasi kinerja dari beberapa organ dalam tubuh manusia misalnya dalam tubuh terdapat sistem reproduksi, sistem pencernaan, dan sistem pernapasan. Sebagai contoh pada sistem pernapasan terdapat komponen (organ tubuh) yang berperan utama yaitu paru-paru serta komponen lain sebagai pendukung yaitu bulu hidung untuk menjaga kebersihan udara yang masuk ke paru-paru dan rongga hidung yang berlendir untuk menjaga suhu udara yang masuk agar stabil (sesuai dengan kekuatan paru-paru). Dengan demikian tidak ada sistem dalam tubuh manusia bekerja tersendiri dan kesehatan tubuh tergantung pada semua sistem tubuh dalam berinteraksi.33
Kata sistem juga digunakan dalam istilah „Sistem Pendidikan Nasional‟ yang pengertiannya adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
32
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 1015. 33“Fisiologi Manusia,” Wikipedia
, http:// www.id.wikipedia. org/wiki/Fisiologi_manusia, diakses tanggal 12 Juni 2013.
(3)
nasional.”34
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sistem dimiliki banyak arti di antaranya adalah pertama; suatu perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga terbentuk suatu totalitas,
kedua; susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya, dan yang ketiga; sebuah metode. Namun dalam kamus tersebut di dalamnya juga ada penjelasan arti dari istilah “sistem pengajaran” yang bermakna sistem proses, perbuatan, cara penyamaan arah, jarak, dan sebagainya.35 Oleh karena itu berdasarkan dari seluruh pembahasan di atas secara garis besar dapat disimpulkan kata sistem berdefinisi beberapa rangkaian (satu kesatuan) komponen yang saling terjadi pendukungan satu sama lain untuk tercapainya sebuah tujuan secara terorganisir.
Sedangkan arti pembelajaran adalah proses mental dan emosional, serta berfikir dan merasakan. Seseorang pembelajar dikatakan melakukan pembelajaranan apabila pikiran dan perasaannya aktif.36 Berbeda menurut Ahmad Sabri disampaikan tentang orang yang sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa merasa lebih bahagia, lebih pantas dalam pemanfaatan alam sekitar, penjagaan kesehatan, peningkatan pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil dalam pengimplementasian pembedaan (terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses pembelajaran).37 Dengan
34Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
. Pasal 1 ayat 3. 35
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 950-951.
36
R. Ibrahim, dkk., Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawal, 2011), 125. 37
Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching (Jakarta: Quantum Teaching, 2005),34.
(4)
demikian dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran, motivasi, dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara peserta didik terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.38 Lebih jauh peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri dalam pemecahan masalah dan mampu terbiasa dalam penggunaan empati beserta logikanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan pembelajaran bisa terjadi di mana saja, tidak hanya di dalam kelas yang sangat formal dan kaku.
Lebih lanjut jika antara kedua kata yaitu sistem dan pembelajaran
dikombinasikan menjadi satu menjadi „sistem pembelajaran‟ maka menurut Oemar Hamalik sistem pembelajaran dimiliki arti “suatu kombinasi yang terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur-prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan.”39
Dari beberapa pembahasan sebelumnya dapat ditarik garis lurus bahwa kata sistem pembelajaran bermakna rangkaian beberapa komponen atau unsur-unsur materi, manusia, dan ilmu (cara/metode) yang bersatu dalam implementasi prosedur tertentu agar tercapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu apabila salah satu komponen tidak bisa bergerak sesuai yang diharapkan, menjadi berdampak dampak secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi komponen lain sehingga bisa terjadi perubahan tatanan kinerja sistem pembelajaran yang telah berjalan mapan.
38Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
, Pasal 1 ayat 20. 39
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran: Berdasarkan Pendekatan Sistem (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), 12.
(5)
Meskipun sebenarnya secara tersirat tanpa kata „sistem‟ pada istilah „pembelajaran‟ secara otomatis sudah terdapat sebuah tatanan sistem di dalamnya. Hal ini nampak dalam pembelajaran sudah terdapat komponen-komponen penyusun misalnya pendidik, peserta didik, media pembelajaran, dan komponen penting lainnya. Pendapat di atas didukung oleh argumentasi Laila Nusibat, sebenarnya kata pembelajaran dikatakan sebagai sistem karena di dalamnya sudah terkandung komponen yang saling berkaitan untuk pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan.40 Namun demikian pendapat ini bisa dikesampingkan karena lebih banyak referensi lain yang kokoh dalam penggunaan istilah‟sistem pembelajaran‟ dari pada hanya istilah „pembelajaran‟ yang berfungsi untuk pemertegas dalam pembahasan yang lebih mendalam.
Selanjutnya untuk pendalaman tentang makna PAI, bahwasanya secara terminologi kata Pendidikan Agama Islam dimiliki pengertian sebuah kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan agar peserta didik mampu dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain) yang meliputi nilai ibadah, nilai humanisme, keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme), dan nilai-nilai kedamaian dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik aktif dalam pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara konsisten dengan segenap logika
40Laila Nusibad, “
Manajemen Proses Pembelajaran Pada Sekolah Kejuruan (Studi Kasus Di SMK Negeri 4 Malang),” dalam http:// karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/ASP/article/view/18498, diakses tanggal 05 Mei 2012 pukul 19.30 WIB.
(6)
atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya. Analisis tentang Pendidikan Agama Islam di atas didasarkan pada pendapat Syukri Fathuddin disampaikan PAI adalah “upaya Pendidikan Agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”41 Didasarkan pada semua rangkaian penjelasan di atas maka dapat disimpulkan sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebuah tatanan dari beberapa komponen pembelajaran yang terorganisir, saling terkait, dan di dalamnya termuat nilai-nilai agama Islam secara universal sebagai pedoman berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam perjalanan hidup sampai mati.
2. KomponenSistem Pembelajaran PAI
Untuk penelahaan sistem pembelajaran secara mendalam sesungguhnya dalam sistem pembelajaran terdapat beberapa komponen penyusun yang berperan dalam pelancaran mekanisme organisasi pembelajaran. Di antara beberapa komponen tersebut sangat berperan penting bagi terwujudnya tujuan pembelajaran, bahkan diantaranya merupakan komponen utama dan yang paling vital. Diantara beberapa komponen dalam sistem pembelajaran menurut Wina Sanjaya adalah:
a.Peserta didik: Mahasiswa sebagai peserta didik dalam sistem pembelajaran PAI merupakan komponen pertama, utama, dan yang paling penting (vital). Dalam proses pembelajaran mahasiswa harus
41Syukri Fathuddin, “Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam: Pendidikan Agama Islam di
(7)
dijadikan pusat dari segala kegiatan, keputusan, dan pembentukan suasana pembelajaran. Dengan demikian berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan dan desain pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi mahasiswa, baik kondisi kemampuan dasar, minat, bakat, motivasi, dan berbagai keberagaman di antara beberapa mahasiswa di lingkungan pembelajaran.
b.Tujuan: Tujuan merupakan salah satu komponen dalam sistem pembelajaran yang berkaitan dengan misi dan visi suatu lembaga pendidikan. Dengan kata lain sebuah proses pembelajaran pada mata kuliah PAI harus dimiliki tujuan pembelajaran yang diturunkan dari tujuan institusional atau tujuan lembaga perguruan tinggi. Komponen ini adalah komponen yang penting, oleh karena itu harus dituangkan dalam bentuk tulisan pada sebuah draft perencanaan pembelajaran sehingga komponen tujuan ini dirumuskan sejak awal untuk penentuan arah dan bahan apa yang digunakan dalam pembelajaran.
c.Kondisi: Kondisi atau keadaan dalam proses pembelajaran diupayakan dapat menjadi penggugah mahasiswa berperan aktif baik secara fisik maupun non fisik dalam pembelajaran, berinisiatif dalam pemecahan masalah, dan dimilikinya nalar yang logis oleh mahasiswa dalam penyampaian sebuah teori-teori yang ditemukannya dari beberapa sumber. Oleh karena itu kondisi atau suasana pembelajaran dalam perkuliahan dirancang secara matang agar tercapainya tujuan khusus yang telah disepakati bersama.
(8)
d.Sumber-sumber belajar: Sumber belajar tidak hanya berupa buku ataupun sumber-sumber yang tertulis semata, namun sumber belajar merupakan segala sesuatu yang punya kemampuan dalam penambahan dan pengisian pengalaman-pengealaman pembelajaran bagi mahasiswa. Dengan demikian maka lingkungan fisik seperti lingkungan pembelajaran, bahan atau alat ajar, dosen, petugas perpustakaan atau siapa saja yang mampu berperan dalam pemberian pengaruh baik langsung maupun tidak langsung untuk keberhasilan dalam terwujudnya pengalaman pembelajaran disebut sumber belajar. e.Hasil belajar: Dalam sistem pembelajaran komponen hasil belajar
menjadi tolak ukur tercapainya kemampuan mahasiswa yang sesuai dengan tujuan khusus yang telah direncanakan. Oleh karena itu diukur terlebih dahulu tingkat kemampuan dan pengetahuan tentang agama serta intensitas keberagaman (heterogenitas) mahasiswa sebelum penentuan dan pematokan target hasil belajarnya (tingkat pencapaian) yang dirancang oleh dosen. Titik tekan hasil belajar akan berbeda dari rombongan belajar yang satu dengan yang lain, sehingga diyakini setiap rombongan kelas dimiliki karakter atau ciri khas yang berbeda.42
Dari penjelasan di atas maka dapat dirumuskan bahwa khusus untuk sistem pembelajaran PAI terdapat komponen khas yang menjadi pembeda dengan sistem pembelajaran ilmu pengetahuan umum atau pada mata kuliah umum lain di antaranya adalah dalam pelaksanaan
42
(9)
pembelajaran PAI harus dilandaskan pada nilai-nilai agama Islam. Dengan kata lain pembelajaran ilmu PAI bukan sekedar upaya untuk pemberian ilmu pengetahuan yang berorientasi pada target penguasan materi (peserta didik lebih banyak dalam penghafalan dan pengimanan terhadap materi begitu saja) yang diberikan pendidik. Akan tetapi sebagaimana menurut penjelasan di atas pendidik juga ikut andil dalam pemberian pedoman hidup (pesan pembelajaran) misalnya tentang moralitas (akhlak) kepada peserta didik yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain.43 Komponen inilah yang ikut andil pada pemberian cetak biru khusus sehingga menjadi ciri utama pembelajaran PAI.
Ciri istimewa lainnya adalah dalam PAI tidak hanya semata-mata digambarkan pada pembahasan tentang bagaimana umat Islam dalam beragama namun secara umum ada pembahasan permasalahan yang lebih luas tentang pentingnya konsep penciptaan „kesuksesan‟ di dunia hingga akhirat. Ini berarti dalam PAI seharunya juga ada „pendoktrinan‟ peserta didik agar saat fokus pada pembelajaran ilmu pengetahuan umum dimaksudkan untuk digunakan demi kesejahteraan umat Islam dan tentunya juga bagi manusia lainnya secara umum. Dapat disimpulkan pembelajaran PAI tidak hanya pengajaran kepada mahasiswa tentang bagaimana cara bersyiar melalui ibadah dan dakwah yang bersifat normatif. Namun menjadi pendorong bagi mahasiswa untuk bersyiar
43
Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional [Pardigma Baru]
(10)
Islam dengan cara dihasilkannya produk ilmu pengetahuan umum, budaya, dan gaya hidup yang berlapiskan nilai-nilai Islam sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat.44
Dengan demikian PAI sebagai materi dari salah satu mata kuliah yang diberikan pada mahasiswa bukan hanya sebagai bentuk doktrinasi yang dogmatis semata namun juga harus bisa menjadi pembangkit nalar logis mahasiswa untuk didalami secara ilmiah. Dengan kata lain materi PAI tidak dipandang sebagai sebuah materi khutbah Jumat atau materi ceramah keagamaan yang sering ditemui di masyarakat berisi tentang dalil-dalil, doktrin-doktrin, dan seruan-seruan mulia (moralitas) yang bersifat dogma agama semata. Padahal nasehat-nasehat dan petuah-petuah semuanya itu sering kali berlawanan dengan kenyataan suasana lingkungan peserta didik, artinya terjadi disparitas suasana antara ajaran Islam dengan keadaan nyata yang jauh lebih komplek yang dihadapi oleh peserta didik.45 Sedang dari sudut pandang lain menurut Muhammad Kosim dikemukakan tentang PAI sangat sarat dengan nilai (full value), termasuk dalam penanaman nilai-nilai kasih sayang dan keharmonisan antar sesama manusia.46
44
Fathoni, Pendidikan Islam dan, 52-56. 45
Ibid., 41.
46Muhammad Kosim, “Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Multikultural,” dalam Pendidikan Agama Islam dalam Prespektif Multikulturalisme, ed. Zainal Abidin&Neneng Habibah (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), 219.
(11)
3. Peran Penting Sistem Pembelajaran PAI
Proses pembelajaran agama Islam adalah sebagai perwujudan dakwah yang senantiasi terjadi secara dinamis serta dimunculkannya kesadaran motivasi yang besar pada peserta didik guna pencarian keridhaan dari Allah SWT. Jika pembelajaran agama Islam dimaknai sebagai sesuatu yang statis maka pembelajaran hanyalah menjadi rutinitas yang kurang dimiliki makna. Selain itu pembelajaran pendidikan Islam hendaknya didasarkan dan digerakkan pada keimanan dan komitmen tinggi terhadap ajaran agama Islam.47 Oleh karena itu untuk diperolehnya hasil dan pencapaian tujuan secara optimal pada pembelajaran PAI maka perlu dibentuknya sistem pembelajaran PAI secara utuh dan kokoh. Selain itu dengan adanya sistem pembelajaran PAI yang kokoh dapat menjadi pengaruh positif, baik sistem pembelajaran PAI yang dinaungi oleh satu pendidik sebagai penanggung jawab tujuan pembelajaran di dalam kelas (sistem pembelajaran PAI yang dilaksanakan dan dikelola oleh satu pendidik) maupun sistem pembelajaran PAI dalam lingkup satu lembaga yang terdiri dari seluruh pendidik atau dosen PAI di lembaga tersebut dalam usaha pensuksesan tujuan institusional.
Guna sebagai pendukung pada pembahasan di atas tentang peran penting sistem pembelajaran PAI secara umum dan lebih bersifat konstruksi pada PAI agar eksistensinya terjaga maka menurut Wina Sanjaya ada beberapa manfaat yang dicapai jika kajian tentang sistem
47
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta: Lkis, 2009), 18-19.
(12)
pembelajaran dilaksanakan dengan baik, di antara manfaat tersebut adalah:
a. Arah dan tujuan pembelajaran dapat direncanakan serta dirumuskan dengan jelas, konkrit, dan terorganisir. Hal ini supaya dapat membantu dalam penentuan langkah-langkah proses pembelajaran, sebagai bahan utama dalam pengembangan komponen-komponen pembelajaran, dan dijadikan tolak ukur sejauh mana efektivitas proses pembelajaran.
b. Kinerja pendidik lebih sistematis, sehingga pola fikirnya dan kegiatannya lebih runtut yang dimungkinkan diperoleh hasil optimal. Dengan kata lain bisa terhindar dari kegiatan-kegiatan yang tidak perlu dilakukan.
c. Sebagai perancang pembelajaran dengan optimalisasi segala potensi serta sumber daya yang relevan dan tersedia. Pada akhirnya diharapkan tercapainya efisiensi, dengan alakosi waktu yang sama namun bisa dihasilkan mutu pembelajaran yang berkualitas.
d. Menjadi bahan umpan balik, yaitu untuk diketahuinya keberhasilan pembelajaran sudah sesuai tujuan atau belum. Selain itu untuk penilaian komponen pembelajaran manakah yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki kualitasnya agar bisa pada tahap pencapaian tujuan pembelajaran yang diharapkan.48
48
(13)
Dari pembahasan di atas maka dapat diambil intisarinya yaitu sistem pembelajaran secara umum punya nilai guna teknis yang sangat tinggi dan sebagai instrumen dalam perbaikan-perbaikan dari beberapa komponen pada sistem yang dinilai masih kurang. Namun sebagaimana pada pembahasan sebelumnya khusus untuk sistem pembelajaran PAI di dalamnya perlu ditambah komponen yang tak nampak (non fisik) yaitu penyelenggaraan sistem pembelajaran PAI menjadi bagian dari salah satu bentuk dakwah. Artinya penyelenggaraan sistem pembelajaran PAI tidak hanya bentuk mentransfer ilmu saja, namun sebagai wujud dakwah atau ajakan untuk menuju kebenaran. Dengan penekanan pada ajakan atau seruan ini maka sistem pembelajaran PAI bisa menjadi salah satu cara dalam mencetak generasi yang cinta pada kebenaran, pada nilai-nilai moralitas, dan nilai-nilai etika serta estetika yang Islami. Sebagaimana menurut Syafaruddin dan Irwan Nasution tentan perang penting sistem pembelajaran adalah sebagai bantuan bagi pendidik supaya mudah dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga mampu menjadi pengantar peserta didik kepada tujuan. Selain itu agar kinerja dosen bisa dipermudah dengan adanya solusi permasalahan yang terjadi pada pembelajaran secara holistik yang muncul bisa dari peserta didik, pendidik (dosen), kurikulum, dan karena faktor lingkungan.49
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan tentang peran penting sistem pembelajaran PAI dengan sudut pandang tertentu bisa
49
(14)
digunakan dalam penilaian dan pemahaman tentang PAI yang tidak hanya berkutat tentang masalah–masalah syariat seperti benar-salah, haram-halal, pahala-dosa, iman-kafir, dan surga-neraka. Namun sistem pembelajaran PAI diupayakan bisa terjadi pemaduan antara pengetahuan keagamaan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan teknologi untuk peningkatan mutu manusia. Sebagaimana menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 pada pasal 2 ayat 2 yang diterangkan “Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”50
4. Komponen Kurikulum PAI
Komponen kurikulum secara umum dalam dunia pendidikan yang luas menurut Syaodih Sukmadinata teridentifikasi dalam unsur atau komponenen dalam anatomi51 tubuh kurikulum. Komponen tersebut terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut yaitu tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian serta medianya, dan evaluasi, yang mana keempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya.52 Hampir sama menurut Hamid Syarief walaupun terjadi sedikit perbedaan istilah telah diuraikan
50
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidkan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
51
Penggunaan kata anatomi kurikulum juga digunakan dalam artikel ilmiah. Lihat Heman Hudojo,
“Tolok Ukur dan Sistem Evaluasi Terhadap Keberhasilan Pengajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 184.
52
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002), 102.
(15)
Kondisi masyarakat,
kondisi peserta didik,
dan perkembanga
n ilmu pengetahuan
serta
Nilai-nilai
Islam
TujuanIsi/materi/ bahan ajar
Metode/stategi mangajar Evaluasi
tentang kurikulum secara struktural terbagi menjadi beberapa komponen di antaranya adalah tujuan kurikulum, komponen isi/bahan, komponen strategi pelaksanaan, dan komponen evaluasi.53 Dari pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan komponen kurikulum setidaknya harus terdiri dari empat komponen yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Oleh karena itu dari pembahasan sebelumnya tentang pembelajaran PAI maka khusus untuk kurikulum PAI di dalamnya harus bermuatan nilai-nilai ajaran Islam pada setiap komponen secara integral sehingga digambarkan sebagaimana gambar berikut ini:
Gambar 2.1 Skema Komponen Kurikulum PAI
Dari gambar di atas jika dikaitkan pada pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan komponen kurukulum PAI satu sama lain terjadi hubungan dan keterkaitan sebagai bentuk kerjasama dalam perwujudan kurikulum PAI agar tetap relevan dengan realitas, waktu, kondisi masyarakat, kondisi peserta didik, dan kondisi perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Namun yang perlu ditekankan adalah pada
53
(16)
kurikulum PAI harus ditanamkan nilai-nilai Islam sebagai sumbu utama yang menjadi ciri khas. Walaupun demikian pendidik tetap berupaya dalam pengembangan kurikulum terutama pada materi PAI agar sistem pembelajaran PAI tetap menarik terutama bagi mahasiswa yang memiliki nalar kritis. Dengan demikian dapat ditarik garis lurus bahwa salah satu komponen dari sistem pembelajaran PAI adalah kurikulum PAI yang juga terdiri dari beberapa komponen lain yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi. Sedang komponen lain dari sistem pembelajaran PAI adalah pendidik, peserta didik, pengelola lembaga, dan sumber pembelajaran selain pendidik.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Sistem Pembelajaran PAI
Hasil dari pencermatan dari fenomena yang terjadi di masyarakat sekarang ini baik secara global maupun nasional perlu ada perhatian serius pada penggalian format dan model sistem PAI di lembaga pendidikan umum54 yang ada muatan akomodasi tuntutan dan kebutuhan zaman dalam sinaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Oleh karena itu orientasi PAI dalam zaman informasi mendatang perlu diubah, yang
54
Tidak mengherankan jika terdapat kesimpulan dari sebagian kalangan pendidikan bahwa terjadi ketidak efektifan metode pembelajaran PAI. Hal ini sebagaimana pendapat Armai Arif yang dikutip oleh Ismail dikatakan bahwa persoalan-persoalan yang selalu menyelimuti dunia PAI sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, dengan kata lain PAI belum bisa membumi dengan realitas yang terjadi di Masyarakat. Selain itu metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang mendukung proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif. Lihat http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html, diakses pada tanggal 03 Januari 2013.
(17)
semula berorientasi kepada kehidupan ukhrawy menjadi duniawy-ukhrawy.55
Untuk pemaparan yang lebih rinci dan praktis maka perlu dipaparkan beberapa faktor yang bisa menjadi pengaruh dalam sistem pembelajaran PAI. Faktor yang mempengaruhi Kualitas sistem pembelajaran PAI secara langsung saat pembelajaran di kelas atau di luar kelas dapat di bagi menjadi tiga yaitu:
a. Pendidik
Permasalahan pembelajaran adalah permasalahan yang rumit dan dinamis dimana pendidik merupakan komponen yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Secara intensif tugas pendidik adalah berperan dalam pembangunan interaksi dan komunikasi dalam proses pembelajaran dengan peserta didik secara efektif. Kesuksesan dosen sebagai pendidik dalam pembangungan suasana harmonis, komunikatif, dan pembelajaran yang efektif tergantung pada metodenya dalam pembelajaran. Tentunya juga peran dosen dalam pemanfaatan media pembelajaran. Ketidaklancaran dalam komunikasi di kelas dapat berakibat terhadap pesan atau materi yang bermuatan afektif, kognitif, dan ketrampilan yang disampaikan oleh pendidik bisa tidak terserap dengan sempurna oleh peserta didik.56
Kompetensi pendidik juga menjadi pengaruh dalam kualitas pembelajaran karena pendidik yang bertugas dalam pembangunan
55
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan – Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), 7. 56
(18)
interaksi antara pendidik dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik lainnya, dan peserta didik dengan sumber belajar. Dengan asumsi pendidik adalah penanggung jawab dan teladan hidup bagi murid-muridnya dalam proses pembelajaran. Di sisi lain kualitas dan profesionalitas dosen juga penting karena bagaimanapun bagusnya dan lengkapnya strategi/metode, sarana prasarana, tujuan pembelajaran, dan canggihnya teknologi pembelajaran jika tidak diimbangi dengan kualitas dosen yang terjamin maka hal tersebut akan tidak berefek yang signifikan bagi kualitas sistem pembelajaran57.
Dengan demikian dapat disimpulkan tentang faktor pengaruh dosen dalam pembelajaran merupakan komponen penting yang dapat menjadi pengaruh terhadap kualitas pembelajaran PAI. Artinya pembelajaran khususnya dalam PAI tanpa pendampingan dosen atau bahkan dosen hanya duduk diam di dalam kelas atau hanya sebagai pemberi perintah dan pengerjaan tugas kepada mahasiswa, tanpa pemberian materi pendalaman yang bersifat wawasan, aplikatif, dan penciptaan suasana pembelajaran yang canggih maka bisa menjadi penyebab pembelajaran PAI hanya berhenti pada aspek kognitif saja. Padahal menurut pembahasan sebelumnya PAI merupakan ajaran dan pedoman hidup untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat yang harus dilaksanakan bagi setiap mahasiswa dengan sadar, mandiri, dan
57Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran
(19)
konsisten dalam beribadah serta dinamis dalam pengembangan IPTEK hingga kematiannya tiba.
Pernyataan tersebut secara detail sesuai dengan pendapat Suryo Subroto yaitu faktor-faktor pembelajaran yang terlekat pada pendidik adalah kepribadiannya, penguasaan bahan, penguasaan kelas, cara berbicara (intonasi, penguasaan bahasa, dan pengulangan), penciptaan suasana kelas, pembedaan individu (mahasiswa), dan yang paling penting adalah seorang dosen PAI harus terbuka, mau bekerja sama, tanggap terhadap inovasi, dan secara rutin mampu dalam pelaksanaan penelitian dalam kegiatan pengajarannya.58
Selama ini profil dan performa pendidik dalam sistem pembelajaran PAI dianggap masih kurang dalam peningkatan kualitas pembelajaran PAI yang mana penggunaan metode pembelajaran PAI di lembaga pendidikan umum masih banyak digunakan cara-cara pembelajaran tradisional, yaitu ceramah monoton dan statis kontekstual.59 Hal ini berarti pendidik PAI lebih cenderung menjauhi teks-teks keilmuan dan lebih condong pada penguatan teks-teks al-Quran, Hadis, dan pendapat Ulama dengan minimnya keterkaitan dengan realitas yang ada. Padahal berdasarkan pada pembahasan sebelumnya seorang mahasiswa kapasitasnya tidak lagi hanya memperoleh sumber belajar dari ceramah dosen namun perlu dibiasakan dalam aktivitas pembacaan teks-teks ilmiah yang didasarkan
58
Suryosubroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 153-154. 59
(20)
pada kredibilitasnya dan merupakan hasil dari penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan moral.
Sebagaimana menurut Nurcholish Madjid disampaikan tentang peran PAI dalam dunia akademik yang sarat dengan nilai keilmiahan tidak hanya diposisikan pada ranah pembenaran (context of justification), namun juga yang terpenting adalah pada lingkup penemuan (context of discovery) serta visi baru ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu penggunaan ayat-ayat Allah yang kauliyah beserta kauniyah perlu dipahami dan diberi intrepretasi sesuai dengan kenyataan terkini. Dengan intrepretasi beserta reintrepretasi tersebut menjadikan agama mampu dan sejajar atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.60
Permasalahan lain yang sering dijumpai dalam pembelajaran PAI adalah bagaimana cara penyajian materi kepada peserta didik secara baik dan sistematis sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien. Hal ini dilakukan agar kesan PAI di mata peserta didik bukan mata kuliah kaku dan kuno. Dengan kata lain dosen PAI terbiasa dalam penggunaan variasi metode pembelajaran dan pengembangan materi PAI menjadi lebih menarik bagi mahasiswa sehingga mereka tertantang untuk aktif dalam pendalaman materi karena kedinamisan isinya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Armai Arif yang dikutip oleh Ismail
60Nurcholish Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 58.
(21)
dikatakan tentang persoalan-persoalan yang selalu menjadi selimut pada dunia PAI sampai saat ini adalah seputar tujuan dan hasil yang tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat, dengan kata lain PAI belum bisa membumi dengan realitas yang terjadi di Masyarakat. Selain itu metode pembelajaran yang statis dan kaku, sikap dan mental pendidik yang dirasa kurang dalam pendukungan proses, dan materi pembelajaran yang tidak progresif.61
Ketelitian lain yang perlu diperhatikan tentang mahasiswa adalah karakteristiknya yang berbeda satu dengan yang lain. Karakteristik tersebut meliputi tingkat kemampuannya, tingkat perkembangannya, usia, latar belakang pendidikan, dan unsur lain yang berhubungan dengan proses pembelajaran mahasiswa. Sehinga hal ini dibutuhkan suatu usaha untuk penentuan pendakatan yang tepat. Jika ditinjau dari cara mahasiswa belajar maka salah satu caranya adalah dengan penggunaan pendekatan pembelajaran kooperatif. Artinya mahasiswa dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk pembahasan suatu masalah, atau pemahanan terhadap suatu teori. Kelompok yang dibentuk bisa heterogen dan homogen, walaupun dari masing-masing cara itu terdapat kelemahan dan keunggulan. Mahasiswa dalam kelompok tersebut belajar bersama melalui diskusi. Pendekatan kooperatif ini digunakan
61
http:// www.majalahpendidikan.com/2011/04/problematika-pai-di-sekolah.html, diakses pada tanggal 03 Januari 2013.
(22)
untuk masalah bidang tertentu agar terjadi pengurangan kecemasan pada mahasiswa.62
Langkah ini diambil supaya metode pembelajaran PAI tidak didominasi oleh tipe pembelajaran teacher centered, yang mana pendidik dianggap berhak atas kepemilikan otoritas penuh dalam penentuan segala permasalahan pembelajaran. Padahal mahasiswa bisa bermain peran dalam penyelesaian masalah yang di-setting oleh dosen. Aktif dalam penggunaan metode-metode yang tidak menimbulkan kejenuhan, dinamis, dan penggunaan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks kekinian.
Penyebab lain yang masih menjadi problem pendidik dalam pengembangan PAI adalah minimnya semangat dan produktifitas dalam penciptaan dan penemuan hasil penelitian-penelitian tentang pendidikan, khususnya penelitian yang berkaitan dengan PAI. Sebagaimana yang telah dipaparkan dari hasil penelitian dinyatakan dosen PAI di UPI telah ikut aktif dalam penelitian ilmiah.63 Gejala lain yang menjadi problematika adalah pembaruan serta reorientasi dosen dalam implementasi pembelajaran PAI. Reorientasi ke dalam bisa dihasilkan pernyataan-pernyataan seperti untuk apa aku mengajar PAI, untuk siapa aku mengajar, bagaimana aku mengajar, mengapa materi ini diajarkan, dan sebagainya. Dan reorientasi ke luar dihasilkan
62
Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 179-180.
63
Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2003),24.
(23)
pernyataan-pernyataan akan diarahkan ke mana mahasiswa dan bagaimana agar peserta didik suka terhadap materi serta pembelajaran PAI.
Oleh karena itu untuk penyelesaian permasalahan yang terjadi pada dosen maupun mahasiswa perlu dibentuk suatu wadah profesi dosen PAI di PTU yang menjadi tempat kegiatan akademik, saling berbagi, dan belajar untuk pemertajaman keahlian masing-masing. Diharapkan dengan adanya wadah ini bisa dilanjutkan dengan kegiatan studi bersama seperti seminar, diskusi, penelitian, dan kegiatan ilmiah lainnya yang dapat menjadi cara dalam peningkatan wawasan keilmuan dosen PAI. Melalui wadah ini juga bisa digunakan sebagai sarana komunikasi dengan dosen-dosen lain dari berbagai bidang disiplin ilmu. Dengan kata lain adanya sinergitas dan hubungan antara dosen PAI dengan dosen umum untuk penambahan wawasan keilmuan dari berbagai disiplin keilmuan umum bagi dosen PAI dan wawasan keagamaan bagi dosen-dosen di bidang lain.64
b. Peserta didik
Peserta didik sebagai manusia adalah makhluk yang unik dan penuh misteri, makhluk yang dinamis, dan punya potensi yang pada setiap perkembangannya dimiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karena manusia sebagai makhluk hidup punya perbedaan yang khusus
64Mastuhu, “Pendidikan AgamaIslam,” 37
(24)
dengan makhluk lain. Manusia punya hak untuk kepemilikan iman dan ilmu sedangkan makhluk lain tidak diberi anugerah itu.65
Motivasi peserta didik dalam pelaksanaan proses pembelajaran PAI ditentukan oleh tujuan atau paling tidak fasilitas yang sesuai dengan keinginan peserta didik untuk pencapaian tujuan tersebut. Jika tujuan atau motivasi peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam maka tugas pendidik adalah bertindak dalam pelurusan „niat‟ yang ada pada peserta didik dalam melakukan proses pembelajaran PAI. Jika dikaji dan dianalisis dari gelaja sosial akademik yang menjadi latar belakang dalam kekurang minatan atau menjadi beban yang besar bagi mahasiswa untuk ikut aktif dalam pembelajaran PAI di kelas maka dapat dibedakan ke dalam berbagai orientasi berikut ini yaitu banyak tugas yang terlalu sulit secara kuantitas dan kualitasnya, banyaknya pekerjaan lain yang jauh lebih penting dari pada kuliah PAI misalnya tugas mengajar, bekerja di perusahaan, atau untuk pengerjaan tugas mata kuliah lain, ketidak cocokan dengan dosen atau teman sekelas, materi PAI yang sulit karena penuh dengan bahasa Arab, adanya peraturan lembaga atau kontrak belajar dengan dosen yang tidak sesuai dengan keinginannya, materi maupun metode serta media yang monoton, dan niat utama dalam pembelajaran PAI adalah untuk pepenuhan kewajiban beban kuliah
65
(25)
serta karena faktor mendapat nilai PAI yang bagus untuk peningkatan jumlah nilai IPK.
Pernyataan tersebut sebagaimana menurut Abdul Aziz dan Martin Handoko disampaikan tentang problematika mahasiswa yang bisa menjadi penghambat dalam sistem pembelajaran adalah segala sesuatu yang bisa menjadi penyebab adanya kelambatan atau ketidak lancaran dalam pencapaian hasil pembelajaran. Hambatan-hambatan tersebut meliputi terjadinya kelambatan dan alenialisasi perkembangan psikologi, terjadinya kelambatan dan alenialisasi daya fikir (kognitif), terjadinya kelambatan dalam komunikasi (linguistik) dan kelambatan dalam pemahaman kehidupan sosial,66 dan terjadinya kesalahan dalam pembangunan tujuan awal dan kemauan mahasiswa aktif dalam proses pembelajaran (motivasi).67
c. Suasana atau kondisi pembelajaran
Menurut Muhaimin dalam sistem pembelajaran PAI terdapat tiga komponen utama yang saling berpengaruh satu sama lain, yaitu kondisi pembelajaran PAI, metode pembelajaran, dan hasil pembelajaran PAI. Yang mana kondisi pembelajaran PAI seperti tujuan intruksional, karakteristik bidang studi PAI, karakter peserta didik, dan kendala
66
Abdul Aziz Asy Syakhs, Kelambanan dalam Belajar dan Cara Penanggulangannya (Jakarta: Gema Insani), 25-30.
67
Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku (Yogyakarta: Penerbit Konisius, 1992), 9.
(26)
pembelajaran PAI merupakan faktor yang mempengaruhi penggunaan metode dalam upaya peningkatan hasil pembelajaran PAI.68
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah metode serta waktu dalam pengimplementasian evaluasi, menurut Muhaimin evaluasi bermanfaat untuk diketahuinya tingkat perubahan belajar mahasiswa terhadap bahan atau materi ajar, metode, dan sarana tertentu yang digunakan untuk tercapainya tujuan yang telah direncanakan. Intinya evaluasi merupakan alat pengukur tercapainya proses interaksi pembelajaran.69 Dapat disimpulkan evaluasi merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembelajaran di kelas. Evaluasi di sini tidak hanya berupa ujian formal sekolah saja semisal Ulangan Harian, UTS, dan UAS namun juga evaluasi secara bertahap tiap satu kali pertemuan untuk diketahui perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik mahasiswa.
Lebih detailnya menurut Husnul Atiah tentang kualitas sistem pembelajaran disampaikan “proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik apabila seorang pendidik mampu mengatur waktu yang tersedia dengan sebaik mungkin.”70
Dapat disimpulkan faktor waktu dan kemampuan dosen dalam pengaturan waktu berperan dalam mempengaruhi kualitas pembelajaran. Berikut telah diidentifikasikan
68
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 146.
69
Ibid., 148-149. 70Husnul Atiah, “
Manajemen Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Sebagai Upaya Guru Dalam
Menciptakan Peserta didik Aktif di Sekolah Dasar Negeri 120/V Tungkal Harapan,” (Skripsi,
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) An – Nadwah Kuala Tungkal Kopertais Wilayah XIII, Jambi,2010).
(27)
oleh Husnul ada empat fungsi umum yang merupakan ciri pekerjaan seorang pendidik sebagai manajer sehingga sangat berpengaruh pada kualitas pembelajaran PAI adalah:
1) Perencanaan; merupakan pekerjaan pendidikan dalam penyusunan tujuan belajar.
2) Pengorganisasian; adalah kemampuan pendidik dalam pengaturan dan berperan aktif dalam penghubungan sumber-sumber belajar terhadap peserta didik, sehingga dapat terwujud tujuan pembelajaran dengan cara yang paling efektif dan efisien.
3) Kepemimpinan; adalah tugas pendidik untuk pemberian motivasi, pendorong, dan pemberi stimulasi peserta didiknya sehingga mereka akan siap dalam upaya perwujudan tujuan pembelajaran.
4) Pengawasan; adalah pekerjaan seorang pendidik dalam penentuan apakah fungsinya dalam pengorganisasan dan kepemimpinan telah berhasil dalam mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan.71
Lebih spesifik selain dari beberapa poin faktor di atas menurut Rohmat ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yaitu ”faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor kurikulum, faktor pembiayaan, dan lain-lain.”72 Untuk mempertegas realitas kualitas proses pembelajaran PAI selama ini, maka perlu dipaparkan pendapat Sukirman, berikut pendapatnya:
71Atiah, “Manajemen Pembelajaran Pendidikan,” (Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI ) An – Nadwah Kuala Tungkal Kopertais Wilayah XIII, Jambi,2010).
72
(28)
Suatu kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan formal saat ini, adalah rendahnya kualitas manajerial pembelajaran baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan maupun cara pengendaliannya, akibatnya proses pembelajaran pendidikan Agama Islam kurang berhasil dalam pembentukan perilaku positif peserta didik. Lemahnya aspek metodologi yang dikuasai oleh guru juga merupakan penyebab rendahnya kualitas pembelajaran. Metode yang banyak dipakai adalah model konvensional yang kurang menarik. Ketidakberdayaan pendidikan agama dalam menginternalisasikan nilai-nilai agama juga merupakan salah satu faktor penyebab munculnya output yang tidak mampu mengemban misi pendidikan nasional yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Oleh karenanya rekonstruksi terhadap manajemen program-program pembelajaran agama mutlak dilakukan demi tercapainya tujuan yang diharapkan.73
Selain beberapa faktor di atas, kualitas sistem pembelajaran PAI juga dipengaruhi oleh karakteristik kelas. Variabel karakteristik kelas tersebut antara lain pertama besarnya ukuran kelas (class size) artinya banyak sedikitnya jumlah mahasiswa yang ikut serta dalam proses pembelajaran. Kedua suasana pembelajaran yaitu suasana pembelajaran yang demokratis dapat menjadi pemberi peluang dalam pencapaian hasil pembelajaran yang optimal dibandingan dengan suasana yang kaku, disiplin yang ketat dengan otoritas penuh pada pendidik. Dan ketiga
fasilitas serta sumber pembelajaran yang tersedia di mana sering ditemukan dalam proses pembelajaran di kelas posisi pendidik sebagai sumber pembelajaran satu-satunya. Padahal seharusnya peserta didik
73Sukirman, “
Manajemen Pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Malang,” (Tesis MA., Universitas Islam Negeri Malang, Malang, 2010), v.
(29)
diberi kesempatan untuk berperan sebagai sumber pembelajaran dalam proses pembelajaran.74
Faktor pembelajaran PAI di kelas juga bisa dititik tekankan pada organisasi kelas dan organisasi lembaga perguruan tinggi secara umum, baik secara formal maupun non formal. Misalnya hirarkinya, kekuatan pengaruh, nilai-nilai yang tertanam dalam kelas atau dalam lembaga perguruan tinggi yang dibangun oleh mahasiswa, dan iklim sosial psikologisnya.75 Dengan kata lain tiap mahasiswa berada tidak bisa lepas dari lingkungan sosial kelembagaan perguruan tinggi. Di dalamnya juga mereka berhak atas kepemilikan kebutuhan dalam berkedudukan dan berperan untuk mendapat pengakuan temannya dan lingkungan kampusanya. Jika seorang mahasiswa diterima, maka ia dengan mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika ia tertolak, maka ia akan merasa tertekan.76
Faktor-faktor di atas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan berpengaruh satu sama lain. Seorang mahasiswa yang bersikap konservatif (faktor internal) terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif eksentrik (faktor eksternal) biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang mahasiswa yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan ada dorongan positif dari orang tuanya (faktor
74
Sabri, Strategi Belajar Mengajar,51-52. 75
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), 202.
76
(30)
eksternal) akan cenderung digunakan pendekatan belajar yang lebih pada kepentingan kualitas hasil belajar.77
Dari pembahasan dia atas maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sistem pembelajaran PAI adalah sebagaimana berikut:
1) Faktor mahasiswa; mahasiswa punya karakteristik dan perbedaan satu sama lain, mulai dari fisik, gaya belajar, motivasi belajar, kecerdasan, orientasi bersekolah, cita-cita, dan berbagai perbedaan lain.78
2) Faktor sarana prasarana; sarana adalah segala yang jadi pendukung secara langsung terhadap proses pembelajaran, contohnya media, alat, perlengkapan sekolah, dan perpustakaan. Sedangkan prasarana merupakan segala yang jadi pendukung secara tidak langsung bagi keberhasilan proses pembelajaran seperti kamar kecil, penerangan, taman, dan infrakstuktur kampus yang lain.
3) Faktor lingkungan; dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosio psikologis.79
4) Faktor Keluarga; mahasiswa berangkat ke kampus dari rumah tidak hanya membawa buku serta peralatan dan sumber belajar lainnya, namun juga membawa latar belakang ideologi dari rumah (mazhab), serta dibawa pula asumsi-asumsi dasar yang ia bangun dari lingkungan
77“
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam,“ http:// www.id.shvoong.com/social-sciences/education/2194125-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-pembelajaran/#ixzz2F0ahy41L, diakses tanggal 05 Desember 2013.
78
Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohammad, Belajar dengan Pendekatan PAILKEM: Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 198-202. 79
(31)
keluarga. Hal tersebut sebagaimana menurut Slameto Faktor keluarga dibagi menjadi tiga yaitu cara orang tua dalam pendidikan anak, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang budaya.80
5) Faktor Waktu; Faktor waktu dapat dibagi dua, yaitu yang bersangkutan dengan jumlah waktu dan kondisi waktu. Di mana jumlah waktu diidentifikasikan ke dalam berapa jumlah jam pelajaran yang tersedia untuk proses pembelajaran. Sedangkan yang menyangkut kondisi waktu ialah kapan pembelajaran itu dilaksanakan. Pagi, siang, sore atau malam, kondisinya akan berbeda. Hal tersebut akan menjadi pengaruh terhadap proses pembelajaran yang terjadi.81
6) Faktor pendidik; merupakan faktor utama dalam sistem pembelajaran, karena ia yang bertanggung jawab dalam berperan tercapainya tujuan sistem pembelajaran.
B.Tinjauan Tentang Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum 1. Pengertian Perguruan Tinggi Umum
Perguruan tinggi menurut Nano Supriono adalah satuan pendidikan yang padanya diselenggarakan jenjang pendidikan tinggi di mana peserta didiknya disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidiknya disebut dosen.
Disebutkan pula perguruan tinggi terdiri dari dua jenis, yaitu perguruan
80
Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 60-64.
81Toto Fathoni dan Cepi Riyana, “Komponen
-Komponen Pembelajaran”, dalam Kurikulum dan Pembelajaran dalam Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), 156.
(32)
tinggi negeri dan perguruan tinggi suasta. Yang mana perbedaannya adalah terletak pada yang berwenang dalam pengelolaan dan peregulasian yang dilakukan.
82
Dengan demikian maka perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan tinggi, yaitu setingkat di atas jenjang pedidikan dasar dan pendidikan menengah. Penjelasan tersebut searah dengan keterangan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas bab VI bagian keempat tentang pendidikan tinggi pada pasal 19 nomor 1 dijelaskan “pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.” Pada nomor 2 diterangkan tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi yaitu “pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.”83
Sedangkan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia kata umum memiliki beberapa arti, yang salah satunya dikandung pengertian sebagai segala sesuatu yang dikenai semuanya, secara atau untuk keseluruhan, tidak disangkutkan pada yang khusus atau bidang tertentu saja, dan diperuntukkan bagi orang banyak atau untuk siapa saja.84 Dengan demikian apabila dari semua pengertian di atas dirangkai menjadi satu maka arti dari Perguruan Tinggi Umum adalah unit pelaksana pendidikan yang berwenang dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan tujuan secara khusus untuk pengembangan ilmu pengetahuan umum (non Agama) yang sesuai dengan
82Nano Supriono, “Arti Perguruan Tinggi,”
http://www. id.shvoong.com/social-sciences/education/2124265-arti-perguruan-tinggi/, 27 Februari 2011, diakses tanggal 01 Februari 2013.
83Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
, Pasal 1 ayat 3. 84
(33)
ketentuan serta peraturan dan undang-undang Republik Indonesia di mana mahasiswa dan tenaga pendidiknya berasal dari khalayak umum atau terbuka untuk umum.
Hal ini bukan berarti perguruan tinggi umum merupakan lembaga pendidikan tinggi yang bersifat sekuler, karena undang-undang telah mewajibkan untuk dimasukkannya nilai-nilai agama ke dalam kurikulum, salah satunya dengan diwajibkan alokasi mata kuliah agama di dalamnya. Hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya di Bab I. Namun Muh. Sain Hanafy bersikap kritis terhadap Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan di Bagian Kesatu (umum) pasal 15 disebutkan “jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.” Kata pendidikan umum
dan keagamaan pada pasal tersebut menurutnya dengan jelas terdapat dikotomi antara pendidikan agama dengan pendidikan umum.85 Ini berarti terdapat peluang bagi pemerintah untuk membedakan pada segi kebijakan, fasilitas, dan perhatian antara lembaga pendidikan umum dengan lembaga pendidikan keagamaan.
Definisi perguruan tinggi umum secara inplisit atau tersurat sangat sulit sekali ditemukan dengan penjelasan yang pasti dan utuh dalam kamus, artikel ilmiah, karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan, buku ilmiah, dan referensi lain yang dipandang relevan dengan hal tersebut. Hal ini
85
Muh. Sain Hanafy, “Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan
(34)
dimungkinkan karena istilah PTU sudah menjadi konsesus bagi masyarakat umum terutama dari kalangan umat Islam yang terbiasa dalam penggunaannya sebagai pembeda antara perguruan tinggi yang berafiliasi Agama tertentu khususnya agama Islam yang lumrah disebut PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam). Sedangkan PTU lebih terbuka untuk semua golongan dan agama yang dianut oleh mahasiswa. Namun tidak dapat dipungkiri sering kali penggunaan istilah perguruan tinggi umum sudah lumrah digunakan dan dimasukkan dalam beberapa judul karya tulis meskipun di dalamnya tidak dijelaskan secara gamblang tentang pengertian Perguruan Tinggi Umum ataupun pembahasan tentang perbedaan PTU dengan PTAI. Penggunaan istilah PTU sudah diketahui secara jamak oleh kalangan akedemisi dan cendikiawan, di antaranya adalah buku karyanya Aminuddin dkk.,86 Ajat Sudrajat dkk.,87 Kasinyo Harto,88 Syahidin,89 Marzuki,90 Hamdan Mansoer dkk.,91 dan Wahyuddin dkk.92 Sedangkan karya dalam bentuk jurnal dan artikel sebagaimana yang ditulis oleh Imam
86
Aminuddin dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum (Bogor: Ghalia Indonesia dengan Universitas Indonusi Esa unggul, 2005).
87
Ajat Sudrajat, Din-al-Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: UNY Press, 2008).
88
Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008).
89
Syahidin, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Proyek Dikti, 2003). 90
Marzuki, Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Yogyakarta: Ombak, 2012).
91
Hamdan Mansoer dkk., Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 2004).
92
Wahyuddin dkk., Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan TinggI (Jakarta: PT. Grasindo, 2009).
(35)
Bawani,93 Abidin Nurdin,94 Nuryadin,95 Pudji Mulyono,96 Nurcholish Madjid,97Yahya Aziz,98 dan Marzuki.99
Dari pemaparan di atas berdasarkan analisis yang telah dilakukan hampir semuanya dari karya tulis tersebut digunakan istilah Perguruan Tinggi Umum sebagai pembeda antara perguruan tinggi agama (PTA) yang berciri khas keagamaan atau fokus pada bidang kajian agama tertentu dengan PTU yang cenderung pada pembahasan ilmu pengetahuan umum yang tidak terikat dengan kekangan ilmu agama tertentu. Dengan kata lain istilah Perguruan Tinggi Umum merupakan istilah yang sudah umum untuk digunakan dan diakui oleh kalangan akademis sebagai bahan kajikan keilmuan. Walaupun secara historis belum ditemukan kapan pastinya istilah tersebut mulai digunakan pada pembahasan di dunia pendidikan. Oleh karena itu dapat disimpulkan istilah „PTU‟ masih relevan digunakan dalam penelitian ini karena semua aspek syaratnya terpenuhi. Untuk pemaparan yang konkrit agar lebih jelas maka perlu disajikan data-data tentang perguruan tinggi beserta runtutannya sebagai contoh yang didasarkan pada penjelasan-penjelasan di atas diuraikan sebagai berikut:
93Imam Bawani, “Metodologi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” Jurnal IAIN
Sunan Ampel: Media Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Edisi 12 (1998), 17-21. 94Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme,”
95Nuryadin, “Tantang dan
Harapan pada Pendidikan Agama di PTU untuk Membangun Sumber
Daya Manusia Indonesia,” http:// alulum.baak.web.id/files/7.%20nuryadin%20april%202010.pdf, diakses tanggal 20 Juni 2013.
96Pudji Muljono, “Kelompok Keagamaan di Kampus Perguruan Tinggi Umum: Kajian Sosiologi,”
Mimbar: Jurnal Agama & Budaya, Vol. 24 No. 4 (2007) , 483-484.
97Nurcholis Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,”
http://www. oocities.org/fauzy70/para/p036.html, 12 April 2001, diakses tanggal 01 Pebruari 2013.
98Yahya Aziz, “Penguatan Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,”
Jurnal Sosial dan Hukum ITS Surabaya Vol. 4. No. 2 (2011).
99Marzuki, “Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum dan Pemberdayaan Masyarakat
(36)
Tabel 2.1 Contoh-contoh Perguruan Tinggi di Indonesia No. Bentuk Perguruan Tinggi100 Jenis
Pendidikan101 Contoh
102
1. Akademik PTU
Akademi Tata boga, Akademi Sekretari dan Manajemen, Akademi Akuntansi, Akademi Keuangan dan Perbankan, Akademi Perikanan Sorong, Akademi Manajemen dan Ilmu Komputer, Akademi Maritim, Akademi Teknologi Industri, Akademi Farmasi, Akademi Kebidadan, Akademi Keperawatan, Akademi Kesehatan, Akademi Teknologi, Akademi Perpajakan, Akademi Komunikasi Indonesia, Akademi Pariwisata, Akademi Militer, Akademi Kepolisian, dll.
2. Politeknik PTU
Politeknik Perikanan, Politkenik Teknologi, Politeknik Pertanian, Politeknik Informatika, Politeknik Manufaktur Timah, Politeknik Pos Indonesia, Politeknik Komputer, dll
3. Sekolah Tinggi
PTU
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, Sekolah Tinggi Desain, Sekolah Tinggi Seni, Sekolah Tinggi Perkebunan, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen dan Ilmu Komputer, Sekolah Tinggi Filsafat, Sekolah Tinggi Perpajakan, Sekolah Tinggi ilmu Kesehatan, Sekolah Tinggi Ilmu Psikologi, Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Sekolah Tinggi Teknologi, Sekolah Tinggi Pertanahan, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sekolah Tinggi Hukum Militer, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Sekolah Tinggi Pariwisati, Sekolah tinggi Ilmu Komunikasi, dll.
PTA Sekolah Tinggi Agama Islam, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten Jawa Tengah, dll.
4. Institut
PTU
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Teknologi, Institut Pertanian, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Institut Kesenian, Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, Institut Keungan Perbankan dan Informatika, Institut Manajemen Koperasi, dll.
PTA Institut Agama Islam, Institut Studi Islam, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, dll.
5. Univeristas
PTU
Universitas Informatika dan Bisnis, Universitas Indonesia, Universtias Nusantara PGRI Kediri, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Komputer, dll.
PTA
Universitas Islam, Universitas Hindu Indonesia Denpasar, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Universitas Katolik, dll.
Keterangan: - PTU adalah Perguruan Tinggi Umum (Pendidikan Umum) - PTA adalah Perguruan Tinggi Agama (Pendidikan Keagamaan)
100Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
, Pasal 20 ayat 1. 101
Ibid., Pasal 15. 102
Tim Penyusun Direktori Hasil Akreditasi Program Studi Tahun 2009, Direktori Hasil Akreditasi Program Studi Tahun 2009 Buku I, II,III, IV, VI,VII IX,X, Kelompok Program Studi Agama,Pertanian, Sosial, Teknik,Seni, Ilmu Kesehatan, Ekonomi, dan Pendidikan (Jakarta: BAN-PT, 2009).
(37)
Dari sajian tabel di atas dapat disimpulkan sebuah universitas jika tidak diberikan label agama tertentu misalnya adalah Universitas Islam atau Universitas Katolik maka itu merupakan perguruan tinggi umum, salah satunya Universitas Nusantara PGRI yang menjadi lokasi penelitian tesis ini. Lebih lanjut lagi karena penelitian ini adalah pengkajian tentang sebuah universitas yaitu Universitas Nusantara PGRI Kediri maka didasarkan pada peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dincatumkan ”universitas adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan pendidikan profesi.”103
Oleh Karena itu dapat disimpulkan bahwa UNP Kediri merupakan salah satu dari Perguruan Tinggi Umum atau perguruan tinggi yang jenis pendidikannya adalah pendidikan umum yang ada di Kota Kediri yang berbentuk Universitas.
2. Ciri Utama PAI di Perguruan Tinggi Umum
Salah satu ciri utama perguruan tinggi umum adalah adanya tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang mana menurut Muhammad Nuh dari ketiganya harus dilakukan secara utuh
103
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
(38)
tidak boleh dibeda-bedakan.104 Sebagaimana pada amanat Undang-undang Sisdiknas pada bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan pada Bagian keempat Pasal pasal 20 ayat 2 “perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”105
Dari pernyataan tersebut konsekuensi logisnya adalah seluruh dosen tidak terkecuali dosen PAI dituntut menjadi contoh bagi mahasiswa dan elemen lainnya di kampus untuk aktif dalam tiga hal tersebut, terutama dalam dunia penelitian. Namun berdasarkan temuan Nana Sudjana dan Awalkusumah bahwa penelitian yang dilakukan oleh para dosen di perguruan tinggi masih belum optimal, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini karena umumnya dosen lebih tertarik pada tugas pengajaran jika dibandingkan dengan penelitian.106 Padahal dalam undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, bab VI, pasal 24, ayat 2 dinyatakan “perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.”107 Dengan demikian maka kegiatan penelitian di perguruan tinggi beserta hasil yang diperolehnya sangat penting sebagai penunjang dalam pengembangan pembelajaran.
104Dinna Handini, “Nuh: Tri Dharma Perguruan Tinggi Harus Ditumbuhkan dan Ditegakkan,”
Dikti on Line, http://www dikti.go.id/?p=8628&lang=id, 22 Maret 2013, diaksess tanggal 12 Juni 2013.
105Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 . 106
Nana Sudjana dan Awalkusumah, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi: Panduan bagi Tenaga Pengajar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), 21-22.
107Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 .
(39)
Secara spesifik tugas utama dosen dalam amanat Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional pada BAB XI Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pasal 39 ayat 2 diterangkan “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.”108
Oleh karena itu secara umum pada perguruan tinggi strategi pendidikan ditujukan pada penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan Teknologi) agar dapat berkarya dan bersaing dalam forum internasional, atau paling tidak mampu dalam penanggunalan arus globalisasi yang lambat laun pasti terjadi. Namun IPTEK saja tidak cukup perlu penekanan pada budaya kerja atau etos kerja yang positif. Etos kerja sangat penting sebagai pembentukan karakter masyarakat walaupun pembentukannya relatif sulit karena sifatnya yang sangat mendasar. pembentukan etos kerja dapat dilakukan melalui pembentukan pribadi dengan berbagai kegiatan pendidikan, keteladanan, dan bimbingan.109
Secara Ideal ciri lain Pendidikan Agama Islam di PTU adalah “perguruan tinggi mengupayakan terwujudnya suasana lingkungan kampus yang kondusif dan tersedianya fasilitas yang mampu menumbuhkan interaksi lintas agama yang religius untuk seluruh sivitas akademika.” Oleh
108Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
, Pasal 1 ayat 3. 109Satryo Soemantri Brodjonegoro, “Strateg
i Kebijakan Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada
PTU,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 10.
(40)
karena itu guna terwujudnya tujuan tersebut diperlukan sarana fisik meliputi perpustakaan dengan literatur berbagai agama dalam judul dan jumlah yang memadai serta ruang serbaguna untuk kegiatan akdemik secara kelompok. Sedang sarana non fisiknya adalah adanya peraturan yang menjadi pengantar sistem interaksi akademik yang religius.110
Sebagai penunjang dicapainya tujuan pembelajaran PAI perlu diadakan kegiatan keagamaan di perguruan tinggi yang mana kegiatan tersebut tidak hanya pengulangan-pengualan (rutinitas) aspek ritual semata, namun lebih berperan sebagai manifestasi/celupan (sibghah) bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sunguh-sungguh bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat. Serta diupayakan kehadiran PAI di perguran tinggi umum mampu memayungi kemajuan ilmu pengetahuan teknologi yang senantiasi berada pada rel agama dan diperoleh dari inspirasi wahyu Allah.111
3. Kedudukan PAI di Perguruan Tinggi Umum
Kedudukan PAI di PTU adalah sebagai mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa Islam di seluruh Perguruan Tinggi Umum baik pada perguruan tinggi negeri maupun suasta. Hal ini agar mahasiswa mampu menjadi manusia yang punya kepribadian muslim secara utuh, yaitu yang taat pada perintah agama Islam, dan bukan hanya sekedar menjadi mahasiswa yang ahli dalam bidang ilmu agama Islam tanpa
110
Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi Pasal 11 (1). 111Madjid, “Masalah Pendidikan Agama,” 38.
(41)
diamalkan. Dengan demikian kedudukan PAI di PTU adalah sangat penting yaitu menjadi suatu mata kuliah yang diharapkan darinya mampu dihasilkan para sarjana yang punya jiwa agama (religius) dan taat pada perintah agamanya, tidak hanya menjadi manusia yang hanya ahli dalam bidang pengetahuan tentang agama Islam tanpa pengamalan secara konkrit dalam sehari-hari.112
Idealnya mata kuliah PAI menjadi mata kuliah kunci dan terintegrasi secara fungsional dengan mata kuliah lain. Setidaknya mata kuliah umum tersebut dipelajari sarat dengan muatan moral agama, disesuaikan dengan tingkat dan jenis lembaga pendidikannya.113 Lebih konkritnya adalah dalam pembelajaran PAI mahasiswa didorong dalam pengembangan ilmu pengetahuan dengan lebih dalam disesuaikan dengan kerangka pengembangan konsep-konsep keilmuan didasarkan pada prodi yang dia pilih. Oleh karena itu bidang ilmu atau keahlian sesuai dengan prodi yang mahasiswa tekuni benar-benar dipandu dan disumberkan pada ajaran-ajaran Islam. Pada akhirnya dalam jangka panjang bisa terbentuk kehidupan kampus yang akademis religius sebagai pengisi sempitanya waktu pembelajaran PAI yang hanya 3 sks.114 Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Bawani secara lengkap sebagai berikut:
Kemungkinan banyak dan heterogennya fakultas atau program studi yang ada di sebuah perguruan tinggi, maka perlu adanya penjabaran dalam kurikulum, yang kemudian
112
Zainul Muhibbin, Pendidikan Agama Islam: Membangun Karakter Madani (Surabaya, ITS Prress, 2012), 5-6.
113Mastuhu, “Pen
didikan Agama Islam,” 36. 114
(42)
direalisasikan secara bertahap pada tujuan pembelajaran sehari-hari. Jadi, dari tujuan akhir yang menggambarkan sosok manusia ideal menurut ajaran Islam, diupayakan perwujudannya melalui tujuan institusional pada level perguruan tinggi umum. Lebih lanjut, dialakukan spesialisasi tujuan kurikuler untuk setiap fakultes atau program studi yang ada, dan akhirnya dijabarkan dalam bentuk tujuan pembelajaran yang ingin dicapai langsung di lokal perkuliahan.115
Namun menurut Mastuhu pada kenyataannya “PAI masih menempati posisi pinggiran, teralienasi,... Selain itu, mata kuliah PAI bukanlah mata kuliah keahlian, tetapi ia hanya merupakan mata kuliah umum yang bersifat melayani.” Lebih spesifik dijelaskan pengembangan dan pengimplementasian IPTEK dalam perilaku keseharian kurang dikaitkan dengan nilai-nilai luhur agama. Artinya belum ada kemampuan dalam pengembangan teori atau konsep keilmuan yang benar-benar murni bersumber pada ajaran–ajaran atau nilai Islam.116 Dengan demikian dapat disimpulkan PAI di PTU bukan hanya sebagai ilmu agama yang lebih diacu pada ranah kognitif, namun dipandang lebih pada acuan ranah afektif, PAI di PTU sebagai dasar pembentukan manusia Indonesia yang berkepribadian utuh, beriman, serta bertaqwa kepada Allah SWT, dan PAI menjadi sumber inspirasi etika, moral, serta spiritual sebagai penangkal perubahan sosial budaya bangsa yang beraspek negatif karena dampak modernitas.117
115Imam Bawani, “Metodologi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” Jurnal IAIN
Sunan Ampel: Media Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Edisi 12 (1998), 18. 116Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,30
-31.
117Heman Hudojo, “Tolok Ukur dan Sistem Evaluasi Terhadap Keberhasilan Pengajaran
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 184.
(43)
4. Tantangan PAI di Perguruan Tinggi Umum
Dengan adanya media massa dan teknologi informasi komunikasi yang canggih serta begitu mudahnya diakses oleh siapapun menjadi penyebab masyarakat mudah terpengaruh terhadap tayangan atau „ajaran‟ yang ada di dalamnya. Hal tersebut terjadi karena seringnya dan mudahnya diaskes hampir setiap hari. Hal tersebut menjadi penyebab secara lambat laun terjadi perubahan budaya, etika, dan moral pada masyarakat dan tak terkecuali pada mahasiswa. Masyarakat yang pada mulanya merasa asing dan tabu pada model-model pakaian yang terbuka (porno), hiburan-hiburan yang berlebihan, dan sadisme yang ditayangkan pada media tersebut kemudian lama kelamaan karena tidak terbendung lagi menjadi terbiasa bahkan selanjutnya mereka menjadi bagian dari fenomena tersebut. Oleh karena itu pada kehidupan masyarakat bahkan pada mahasiswa ditemui kehidupan yang kontroversial dapat dialami dalam waktu yang sama dalam individu pribadi yang sama. Misalnya dalam satu pribada punya keseimbangan antara kesalehan dan keseronohan, kelembutan dan kekerasan, antara korupsi dan dermawan, antara korupsi dan keaktifan ibadah, antara kehidupan masjid dengan mall, yang keduanya terus menerus berdampingan satu sama lain. Hal inilah yang menjadi alasan diperlukannya kajian keilmuan (penelitian) dalam bidang PAI sebagai penemuan jawaban atas masalah-masalah seperti itu.118
118
(44)
Lebih detail menurut Arif Furqan peran PAI di PTU sangat strategis hal ini karena para mahasiswa di PTU sebagian besar akan menjadi pemimpin dan praktisi di berbagai bidang kehidupan seperti politik, keuangan, ekonomi, pertahanan, kesehatan, sosial, kebudayaan, pariwisata, dan lain sebagainya. Ketahanan mental mereka amat diperlukan agar mereka dapat menjadi pemimpin dan praktisi yang jujur, amanah, dan tahan godaan yang merusak tatanan sosial. Ketahanan mental yang didasari pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam yang mantap akan jauh lebih kokoh daripada ketahanan mental yang dilandasi oleh norma sosial dan pengawasan aparat penegak hukum. Namun kenyataannya pembelajaran PAI di PTU belum terasa efektif di mana iman, taqwa, dan akhlaq mulia lulusan PTU belum tampak sebagai akibat pembelajaran PAI di PTU. Masih banyak aliran eksklusif di PTU, sehingga dapat dikatakan PAI di PTU belum dibuahkan hasil sesuai harapan. Hal ini disebabkan karena kurikulum, dosen, kepedulian pimpinan PTU, lingkungan PTU yang kurang kondusif bagi PAI, serta kurangnya bahan bacaan agama di perpustakaan umum PTU.119
Hal ini sebagaimana menurut Arif Rahman yang dikutip oleh Soedarto diungkapkan tentang tantangan yang dihadapi oleh PAI di PTU secara eksternal adalah terjadinya perubahan yang dialami masyarakat dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga bisa terjadi pergeseran-pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat.
119Arief Furqan, “Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam: Visi, Misi, dan Program.” Dalam http://ditpertais.net/visi.htm diakses pada tanggal 03 April 2013.
(45)
Salah satu bentuk pergeseran menurut Arif Rahman adalah “agama tidak dijadikan pegangan hidup yang sifatnya rutin dan dogmatis, agama tidak hanya diterima melalui keyakinan dan masyarkaat perlu penjelas yang bersifat multi demensional”. Dengan demikian tugas berat PAI adalah bagaimana nilai kandungan PAI bisa dirasionalisasikan agar bisa diterima oleh masyarakat yang semakin cenderung rasionalis, lebih berpikir progesif, dan menjadi budak teknologi. Sedangkan tantangan internalnya menurut Malikhah Towaf yang dikutip oleh Soedarto yaitu adanya pola fikir dikotomis yang terjadi pada dosen maupun mahasiswa. Seharusnya mahasiswa sebagai calon ilmuwan Islam punya konsep filosofi tentang kesatuan ilmu pengetahuan. Artinya konsep dan prinsip ketauhidan tidak hanya dipahami dari tinjauan teologis tentang keesaan Allah saja namun juga kerangka berfikir tentang kesatuan ilmu pengetahuan, penggalian, dan pengembangannya. Sedang tantangan lainnya di mana PAI merupakan program pendalaman ilmu agama di PTU baik pada tatanan perencaan maupun pelaksanaannya yang masih dipertanyakan perolahan hasil optimalnya.120
Sedang dari tinjauan organisasi sistem pembelajaran PAI belum ada pengelolaan secara profesional, manajemen yang dibangun belum berjalan secara modern, dan lemahnya pengawasan dari pihak lain. Terlihat pada kenyataan umumnya pendidik PAI lebih cenderung bekerja secara individu khususnya pada pemecahan masalah dalam pembelajaran. Ini
120Soedarto, “Tantangan, K
(46)
berarti pada diri pendidik ada pengkultusan dirinya sebagai kyai, ulama, dan ahli agama Islam yang tidak sembarang orang boleh kritis terhadapnya, aktif dalam pemberian masukan, dan pemberian bantuan dalam pemecahan masalah terlebih lagi masukan dari mahasiswanya.121 Jika paradigma seperti itu digunakan maka sebagaimana pembahasan sebelumnya pembelajaran PAI bukan lagi sebagai mata kuliah keilmuan yang dinamis, tapi nilainya tidak lebih dari sebuah materi ceramah keagamaan yang dogmatis dan statis. Lebih spesifik tantangan-tantangan pelaksanaan PAI di PTU yang masih menjadi kelemahan yaitu meliputi adanya upaya perombakan kerangka pikir dikotomis masih dilakukan secara parsial (setengah-setentah). Artinya belum dilakukan secara terpadu dan utuh dengan strategi yang jelas, pendekatan masih lebih cenderung normatif yaitu penggunaan norma-norma tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga mahasiswa minim penghayatan pada nilai-nilai agama sebagai nilai hidup keseharian. Tantangan lain adalah kurikulum yang dirancang nilai tawarnya masih minim kompetensi dan minim informasi bagi mahasiswa. Ditambah lagi dosen yang juga masih terpaku pada kurikulum tersebut tanpa adanya pengembangan dan pengayaan kurikulum, sehingga minimnya pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh. Selain itu penggunaan metode pembelajaran yang dilakukan dosen masih minimalis sehingga pembelajaran PAI dilakukan cenderung monoton.122 Dan tantangan yang berkaitan dengan mahasiswa adalah pembelajaran PAI dihadapkan pada heterogenitas
121Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 32 -33. 122Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,”
(1)
mahasiswa dilibatkan untuk berbicara tentang pengalaman pribadinya berkaitan dengan mata kuliah PAI.158
Dengan demikian dari pembahasan di atas dapat disimpulkan suatu bahan ajar atau materi bisa mudah dipahami dan masuk dalam struktur kognitif apabila terkandung makna dan terkait dengan apa yang ada dalam struktur kognitif mahasiswa. Namun pada kenyataannya sturktur kognitif tiap mahasiswa tidak sama, tergantung pada pengalaman yang dilihat dan dipelajarinya. Oleh karena itu penyampaian materi PAI harus terkait dengan pengetahuan yang dimiliki mahasiswa. Dalam ini bisa berakibat mahasiswa lebih senang pada mata kuliah agama yang selalu dikaitkan dengan bidang studinya (sesui prodi). Maka perlu dibutuhkan pendekatan kontekstual, walaupun pendekatan ini diperlukan dosen PAI yang punya wawasan dalam bidang studi (prodi) yang diminati mahasiswa. Masalah ini bisa diminimalisir dengan penempuhan atau pengadaan pelatihan bagi dosen PAI.159
4. Evaluasi Pembelajaran PAI di Perguruan Tinggi Umum
Menurut Oemar Hamalik evaluasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari komponen-komponen masukan, proses, dan produk. Di mana komponen masukan terdiri dari beberapa aspek yaitu mahasiswa yang dinilai, perlengkapan instrumen yang digunakan dalam penilaian, biaya yang disediakan, dan informasi tentang mahasiswa. Sedang komponen
158
Zaini, dkk. Strategi Pembelajaran Aktif, 2.
159
Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 181.
(2)
proses meliputi program penilaian, prosedur dan teknik penilaian, teknik penganalisaan data, dan kriteria penentuaan kelulusan. Dan komponen produk merupakan hasil-hasil penilaian yang berguna untuk pembuatan keputusan dan sebagai bahan balikan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan sistem penilaian atau evaluasi merupakan komponen atau bagian terpenting dari sistem pembelajaran. Oleh karena itu, pengadaan evaluasi merupakan keharusan untuk dilaksanakan hal ini berfungsi sebagai pusat informasi tentang proses pembelajaran maupun keberhasilan studi para mahasiswa. Sedang tujuan dari diadakannya evaluasi adalah sebagai pegidentifikasian apakah mahasiswa sudah mampu dalam pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan bahan yang disajikan dalam mata kuliah. Selain itu sebagai dasar atau acuan pengelompokan mahasiswa ke dalam beberapa kriteria atau tingkatan prestasi belajarnya. Dan tujuan evaluasi bagi dosen adalah untuk diketahui derajat kesesuaian antara bahan mata kuliah yang disajikan dengan cara penyajiannya.160
Pendidikan agama tidak cukup diukur pada ranah kognitif namun juga ada pelibatan ranah afektif dan psikomotorik. Artinya mata kuliah PAI diharapkan mampu diaktualisasikan oleh mahasiswa sebagai wujud penghayatan sehingga sikap, tutur kata, dan tingkah laku mahasiswa akan sejalan (paralel) dengan pengetahuan agama yang dia miliki. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa tidak hanya cakap dalam berdiskusi dengan rasionalitasnya, mampu dalam penjelasan praktik ibadah serta
160
(3)
hukum dalam agama, dan mampu dalam beretorika keagamaan. Melainkan mereka juga dituntut adanya konsistensi antara ucapan dengan perbuatan sebagaimana peringatan dalam al Quran Surat as Shaf: “wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Allah murka kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak mau melakukannya.”161
Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 diterangkan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik dalam rangka sebagai pemantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil proses pembelajaran peserta didik secara berkesinambungan.162 Namun pada kenyataannya menurut Muhaimin selama ini pendidik PAI lebih diprioritaskan model evaluasi acuan yang normatif serta evaluasi yang diacukan pada patokan atau berdasarkan kriteria dari pada evaluasi yang didasarkan pada etik. Dengan asumsi bahwa pendidikan agama tidak hanya berkutat pada penilaian tentang hafalan-hafalan tentang sejarah Islam, hafalan kitab-kitab dan ayat, kemampuan pelaksanaan ibadah, dan kemampuan dalam penjelasan kembali tentang ajaran-ajaran (kandungan) Islam baik secara lisan maupun tulisan. Namun hendaknya juga dinilai dari perilaku mahasiswa secara objektif, rutin, dan benar yang ditinjau baik dari perilaku moral, ibadah, dan tutur katanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.163
161Madjid, “Masalah Pendidikan Agama,” 38.
162Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. 163
(4)
Masih dijelaskan oleh Muhaimin bahwa sebelum diadakan tes atau pengukuran keberhasilan belajar oleh pendidik, maka terlebih dahulu harus dipertimbangkan dulu model evaluasi apa yang cocok dilakukan terhadap materi tertentu. Misalnya jika yang akan dites adalah kemampuan dasar mahasiswa maka evaluasi yang digunakan adalah acuan norma/kelompok, namun jika yang akan dites adalah prestasi belajar maka evaluasi yang cocok digunakan adalah acuan patokan (kriteri), dan jika yang akan dites adalah kepribadian mahasiswa maka evaluasi yang digunakan adalah evaluasi acuan etik. Yang mana PAI banyak terkait dengan masalah yang terakhir ini,164 karena PAI bukanlah materi kuliah retorika namun materi kuliah aplikatif.
Dalam sistem pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum pengujian permata kuliah sebagai bentuk salah satu evaluasi merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa agar diperoleh kelulusan. Sebagaimana menurut Yahya Ganda disampaikan bahwa ujian yang dilakukan permata kuliah untuk diketahuinya tingkat penguasaan mahasiswa telah pada capaian standar akademik atau belum, jika sudah maka bisa dinyatakan lulus mata kuliah tersebut. Oleh karena itu pemberian nilai pada mahasiswa tidak hanya semata-mata terhadap hasil pengerjaan ujian pada lembar kertas ujian saja, namun juga didasarkan pada kehadiran mahasiswa secara kuantitas dan kualitas saat di dalam kelas, karya tulis ilmiah, tugas-tugas yang terprogram,
164
(5)
tugas insidental yang dianggap perlu oleh dosen, dan sikap ilmiah dalam mata kuliah itu. 165
Secara konkrit salah satu cara untuk pengukuruan proses keberhasilan pembelajaran PAI dilakukan penilaian dengan cara mahasiswa ditugaskan dalam pembuatan laporan aktivitas keagamaan di tempat tinggal masing-masing. Sedang untuk komponen-komponen yang dinilai pada saat proses pembelajaran meliputi penyajian makalah, penyampaian gagasan, cara bertanya, cara menjawab, cara pengambilan kesimpulan, keterampilan menjadi moderator, dan keterampilan menjadi notulen. Semua komponen di atas disusun dalam format khusus yang telah disiapkan oleh dosen masing-masing dan diberikan kepada setiap kelompok pada pertemuan pertama.166 Sedang lebih spesifik menurut Zainul Muhibbin terdapat klasifikasi bentuk-bentuk evaluasi PAI di Perguruan tinggi umum yang meliputi keikutsertaan mahasiswa dalam mentoring, sikap Islam (akhlak) dalam perilaku sehari-hari, penilaian terhadap pelaksaan tugas-tugas, keaktifan dalam ikut serta kuliah, diskusi, dan presentasi makalah, dan ujian tulis.167 Penilaian pada domain pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dapat diperoleh melalu tes tulis dan tes lisan. Sedangkan penilaian pada domain sikap dilakukan dengan tes perbuatan dan pengamatan.168
165
Ganda, Petunjuk Praktis Cara, 69-70.
166
Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2003), 35.
167
Muhibbin, Pendidikan Agama Islam, 10.
168Lilik Nur Kholidah, “
Implementasi Strategi Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Negeri Di Surabaya” (DisertasiDoktor, Universitas Negeri Malang, Malang), 58.
(6)
Sejalan dengan penjelasan di atas menurut pendapat Kholidah dalam pembelajaran PAI digunakan pendekatan pembelajaran yang mampu dalam pengakomodiran aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada domain kognitif pelaksanaan pembelajaran PAI dilakukan sampai pada tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi sehingga mahasiswa punya kemampuan dalam pengambilan keputusan. Pada domain afektif mahasiswa mampu berperilaku konsisten (ajeg), secara spontan tanpa pengaruh, mampu dalam pengorganisasaian sejumlah nilai yang diwujudkan dalam perilaku, dan kepemilikan terhadap sejumlah perilaku yang menyatu dalam kesatuan kebiasaan. Dan pada domain psikomotorik mahasiswa terampil dalam penggunaan keahliaan secara spontan .169
169Kholidah, “Implementasi Strategi Pembelajaran,”