BAB V Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (Studi Kasus di Universitas Nusantara PGRI Kediri)

(1)

Didasarkan dari kajian teori pada Bab I dan Bab II, serta dari hasil penelahaan metodologi penelitian yang digunakan kemudian dikaitkan dengan temuan empiris di lokasi penelitian pada Bab IV maka dapat dirumuskan beberapa hal yang dicapai dari hasil analisis data dan pemberian makna sebagaimana yang tertuang dalam pembahasan berikut:

A.Materi Kurikulum PAI di UNP Kediri

Penyusunan materi pembelajaran di UNP Kediri secara umum didasarkan serta disesuaikan pada ketentuan peraturan pemerintah yang tertuang dalam keputusan No. 43 Dirjen Dikti 2006. Walaupun secara utuh materi tersebut sangat sulit untuk disampaikan semua dan dikaji bersama dalam proses pembelajaran. Hal ini karena disebabkan minimnya anggaran waktu yang disediakan untuk pembelajaran PAI sehingga dalam pembahasan materi PAI tidak bisa dikaji dengan tuntas. Ketidak tuntasan itu bisa berupa penyampaian tema satu ke tema yang lain kurang mendalam walaupun seluruh tema atau materi telah diajarkan. Ketidak tuntasan yang lain adalah materi yang disampaikan sangat mendalam tapi ada beberapa tema yang tidak dikaji atau dibahas, sehingga mahasiswa ditugaskan untuk belajar sendiri dalam pengkajian tema-tema yang tertinggal tersebut. Agar lebih spesifik dan bernilai guna maka perlu dipaparkan tentang materi pembelajaran pada Mata Kuliah


(2)

PAI di UNP Kediri yang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa macam kriteria yaitu sebagai berikut:

1. Materi Pokok yang Digunakan Dosen PAI

Materi pokok yang digunakan oleh dosen PAI di UNP Kediri antara satu dosen dengan dosen yang lain berbeda-beda, artinya belum ada kesepakatan atau keutuhan materi pokok yang terkandung dalam materi yang disampaikan kepada mahasiswa. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa walaupun materi yang digunakan oleh sebagian besar dosen UNP Kediri secara tematik sudah sesuai ketentuan Keputusan Dikti 2006 namun secara porsi kuantitasnya belum terpenuhi. Hal ini menjadi indikasi nyata bahwa hal tersebut bisa terjadi karena tidak adanya produk kesepakatan bersama tentang materi pokok atau materi yang sebagian besar diajarakan secara formal oleh dosen PAI di UNP kepada mahasiswa. Dengan kata lain materi pokok yang diajarkan belum terstruktur, tersistem, dan terpadu antara dosen PAI yang satu dengan yang lain, sehingga ini akan berdampak pada perbedaan titik tekan materi yang diajarkan bahkan terjadi perbedaan besar materi pokok yang disampaikan kepada mahasiswa antara satu dosen dengan yang lain. Dampak yang lain adalah ketika penyusunan soal Ujian, manakala materinya berbeda titik tekannya maka berbeda pula titik tekan pertanyaan dalam soal ujian tersebut. Secara rinci asumsinya adalah antara Dosen PAI yang satu dengan yang lain seharusnya punya materi pokok yang seragam namun dosen juga diberi wewenang untuk


(3)

pengembangan materi lebih luas yang didasarkan atau disesuaikan pada prodi dan latar belakang mahasiswanya.

Secara umum materi pokok yang diajarkan oleh dosen PAI UNP Kediri secara berturu-turut adalah berkatian tentang aqidah, akhlak, dan pendalaman tentang hakikat manusia. Penekanan pada materi aqidah dan akhlak digunakan karena keadaan sosiokultur mahasiswa dan masyarakat internal kampus secara umum masih perlu ditekankan pada kedua aspek tersebut. Lebih jelasknya hal tersebut dilakukan karena kebanyakan mahasiswa UNP Kediri adalah lulusan dari sekolah menengah umum (bukan jenis pendidikan keagamaan), minim tentang pengetahuan agama, dan suasana masyarakat kampus yang sangat heterogen. Selain itu juga digunakan materi tentang hakikat manusia yang bermuatan nilai-nilai filsafat bertujuan sebagai salah satu intstrumen bagi mahasiswa untuk belajar dalam penggunaan logika (rasionalitas).

Dengan kondisi mahasiswa yang sangat beragam dari segi sosiokultur dan pemilihan program studi namun hampir seragam dari segi kemampuan serta wawasan keagamaan Islam maka pembelajaran PAI di UNP Kediri tidak bisa disamakan dengan kegiatan pendidikan keagamaan Islam di perguruan tinggi Islam atau bahkan pola pembelajaran serta pendidikan di pondok pesantren. Oleh karena itu, pembuatan buku pegangan mata kuliah PAI sangat penting sebagai patokan dan bahan pembelajaran di rumah bagi mahasiswa serta sebagai bahan atau landasan pengembangan sistem pembelajaran PAI bagi dosen. Tentu buku tersebut dibuat bukan dari


(4)

peniruan dari perguruan tinggi lain, tapi dibuat didasarkan pada kondisi riil keadaan mahasiswa UNP Kediri sehingga buku tersebut senantiasa bisa diperbarui sesuai dengan situasi di lapangan atau Kampus UNP Kediri.

Berdasarkan kenyataan tersebut dijelaskan oleh Ahmad Watik karena begitu luas dan dalamnya kandungan agama, maka pelaksanaan PAI pada PTU diperlukan kemampuan Dosen dalam pemilihan tema atau pokok bahasan sehingga menjadi kompetensi yang diharapkan pada mahasiswa tercapai. Setidaknya ada tiga kelompok pokok bahasan yang perlu ditekankan yaitu pertama tentang kedudukan agama dalam konfigurasi kehidupan bangsa sehingga bisa dikembangkan ke dalam pemahaman tentang peran dan keterkaitan agama dengan berbagai aspek kehidupan lain,

kedua sebagai pokok bahan filosofi agama tentang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pengembangan pemahaman yang padu bagi keberilmuan dan keagamaan mahasiswa, dan ketiga tentang nilai etik agama pada keilmuan serta kehidupan sebagai pengembangan wawasan mahasiswa agar dapat diaktualisasikan pemahaman normatif agamanya ke dalam tataran fungsional dan operasional.367

Karena alokasi waktu mata kuliah PAI di UNP Kediri sangat minim yaitu 2 SKS maka sebagai pengimbangnya dosen berinisiatif dalam pemberian tugas-tugas tambahan kepada mahasiswanya seperti pembuatan resensi tentang buku agama yang terbaru dan best seller, perangkuman buku Daras PAI dari perguruan tinggi lain yang sudah ditentukan dosen, dan

367Pratiknya, “Pengembangan Pendidikan Agama,” 93.


(5)

pengajakan mahasiswa untuk ikut aktif dalam kegiatan keagamaan di kampus baik yang rutin, eksidental, maupun kegiatan PHBI yang berada di dalam kampus. Cara tersebut dilakukan untuk pengakomodasian seluruh materi PAI yang tidak bisa diberikan secara utuh dan menyeluruh dengan waktu yang mininm tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa waktu yang minim dapat disiasati dengan bentuk kegiatan-kegiatan lain yang terkadang jauh lebih efektif jika dilakukan dalam proses pembelajaran di dalam kelas.

Sebagaimana menurut Wahyudin, dkk. bahwa ditinjau dari segi alokasi waktu mata kuliah PAI pada PTU yang secara formal hanya 2 sks (16 kali tatap muka) dan hanya pada 1 semester saja hingga wisuda adalah alokasi yang sangat minim untuk tercapainya tujuan pembelajaran secara umum. Oleh karena itu mahasiswa harus punya kesadaran untuk pendalaman dan pengkajian ajaran Islam secara non formal dengan cara ikut serta kegiatan-kegiatan dan diskusi keagamaan di luar jam kuliah.368

2. Penggunaan Materi yang Dikembangkan Sesuai dengan Program Studi

Di UNP Kediri disediakan beberapa prodi sebagai fasilitas bagi mahasiswa untuk dipilih serta dituntu mampu dalam penyesuaian diri terhadap minat, bakat, dan kecenderungan akademik yang mereka miliki. Dengan kenyataan seperti itu maka langkah nyata yang dilakukan oleh dosen PAI untuk pengaturan atau pembagian materi PAI yang diajarkan di

368Wahyudin, dkk., “Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi,” Buku Google

, http:// books.google.co.id/books?isbn=9790258623, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. x-xi.


(6)

UNP Kediri disesuaikan dengan program studi yang diajar. Misalnya jika dosen PAI mengajar prodi manajemen ekonomi maka pengembangan materi yang dilakukan berkaitan dengan ilmu ekonomi yang ada dalam ajaran Islam (ekonomi Syariah). Penggunaan materi ini dilakukan selain untuk penarikan minat mahasiswa karena sesuai dengan kebutuhan mereka juga ditekankan untuk pendamping dari materi-materi mata kuliah umum. Dengan demikian materi PAI bisa bermuatan serta bermakna aplikatif-praktis sebagai solusi alternatif dalam kehidupan di dunia dan tidak hanya sebuah materi normatif yang jauh dari kehidupan nyata.

Namun demikian pada tataran penyusunan pengembangan materi secara tertulis sangat mudah dilakukan atau dikatagorikan berdasarkan tema-tema atau topik pembahasan yang sesuai dengan prodi tapi pada tataran praktis sangat sulit dilakukan. Hal ini terjadi karena kondisi mahasiswa yang belum punya dasar-dasar atau pijakan yang kuat tentang bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya. Dengan demikian maka materi-materi pengembangan yang disesuaikan dengan prodi harus diajarakan atau diletakkan setelah materi-materi pokok yang digunakan sebagai materi insturmen kunci. Cara ini dilakukan agar mahasiswa punya kemampuan dan pengetahuan dasar tentang agama Islam dan cara berfikir dengan benar dan utuh sebelum dilakukan pembahasan tentang materi PAI yang telah dikembangkan.

Di UNP Kediri mata kuliah PAI secara umum diajarkan pada semester awal, sehingga hal ini berakibat pada kondisi mahasiswa yang


(7)

belum banyak menyerap beberapa ilmu yang ada di mata kuliah lain sehingga idealnya materi PAI harus digunakan sebagai instrumen bagi mahasiswa untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh di beberapa semester berikutnya. Dengan kata lain materi PAI yang ditetapkan harus sinkron dengan mata kuliah lain yang akan dipelajari oleh mahasiswa, bahkan matari PAI harus bermuatan motivasi bagi mahasiswa untuk pendalaman ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu materi PAI tidak bisa berdiri sendiri atau terlepas dari mata kuliah lain sehingga kesan PAI sebagai mata kuliah termarginalkan tidak ada lagi. Dengan demikian perlu diadakan pelatihan bagi dosen PAI tentang bagaimana aturan teknis pengembangan materi yang disesuaikan dengan kondisi cari khas bidang keilmuan pada prodi.

Terkait dengan pernyataan di atas maka disimpukan bahwa penggunaan materi PAI yang disesuaikan dengan program studi dapat bermanfaat sebagai dasar dan motivasi mahasiswa dalam penerapan ilmu-ilmu bidang pada prodi yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Selain itu materi PAI yang dikaitkan dengan pengetahuan (sesuai prodi) yang dimiliki mahasiwa dalam hal ini bisa berakibat mahasiwa lebih senang pada mata kuliah agama yang selalu dikaitkan dengan bidang studinya (sesui prodi). Dengan kata lain sebagaimana menurut Mastuhu seharusnya ada sinergitas dan hubungan antara dosen PAI dengan dosen umum untuk penambahan wawasan keilmuan dari berbagai disiplin keilmuan umum bagi


(8)

masing-masing dosen PAI dan wawasan keagamaan bagi dosen-dosen di bidang lain.369

Sebagaimana menurut konstitusi bahwa pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan rumpun Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dalam struktur Mata Kuliah Umum (MKU) yang di dalamnya ada pemahaman serta dilakukan pengembangan filosofis untuk berkembangnya kepribadian mahasiswa. Dengan kata lain MPK memuat kaidah-kaidah dengan tingkat filosofis yang cukup tinggi dengan maksud agar

timbul keingintahuan mahasiswa dalam pemahaman, penghayatan,

pendalaman, dan pengamalan atas ilmunya. Oleh karena itu PAI sebagai salah satu mata kuliah yang dikatagorikan masuk dalam kurikulum inti diusahakan bisa membentuk karakter, watak, kepribadian, dan sikap serta wawasan beragama dalam kehidupan sosial. Mata Kuliah PAI diharapkan juga mampu menjadi landasan dan pencerahan bagi mahasiswa dalam pengembangan ilmu umum yang ditekuninya sesuai dengan program studi yang ia ambil.370

3. Penggunaan Materi yang Berbasis pada Perbedaan Organisasi Keagamaan Mahasiswa

Pada kelas dan prodi tertentu mahasiswa yang beragama Islam di UNP Kediri terklasifikasi dalam beberapa organisasi keagamaan yang mereka ikuti yaitu NU, Muhammadiyah, dan LDII. Sudah menjadi pengetahuan jamak bahwa masalah perbedaan agama di negara Indonesia adalah masalah yang sangat sensitif dan peka untuk disentuh, dibentuk, atau

369Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,” 37

-38.

370Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme,”


(9)

dikendalikan. Hal ini juga terjadi pada mahasiswa, apalagi pada mahasiswa semester awal yang masih belum terbuka seluruh nalar ilmu pengetahuannya. Di mana perbedaan organisasi keagamaan biasanya menjadi penyebab terjadinya pengkotak-kotakan pergaulan mahasiswa, tindakan ekslusif seperti ini tentu bukanlah tindakan yang didasarkan pada keilmuan (ilmiah). Oleh karena itu perlu penanganan khusus oleh dosen untuk kelas-kelas yang sangat heterogen komunitasnya, sehingga diperlukan pengembangan materi PAI yang tidak menjadi penyebab runcingnya perbedaan pandangan antar mahasiswa. Misalnya tidak digunakan materi-materi PAI yang mengunggulkan paham organisasi tertentu dan menyudutkan paham organisasi lain.

Penggunaan, penekanan, dan pengembangan materi PAI di UNP Kediri yang berbasis pada latar belakang organisasi keagamaan mahasiswa berguna sebagai pembelajaran nyata bagi mahasiswa tentang bagaimana cara menerapkan materi PAI yang diajarkan. Dengan demikian penggunaan materi seperti ini sangat diperlukan untuk penjagaan stabilitas suasana keagamaan dan pergaulan di kampus. Jika perbedaan organisasi keagamaan mahasiswa di UNP tidak ditangani dengan benar maka berdampak secara signifikan pada suasana lingkungan kampus hingga berhentinya dinamisasi pola fikir mahasiswa. Misalnya mahasiswa akan cenderung hati-hati dalam bertanya agar tidak menyinggung perasaan yang beda pemahaman keagamaan atau bahkan sebaliknya mahasiswa secara agresif melakukan penyerangan secara membabi buta terhadap perbedaan paham organisasi.


(10)

Dengan demikian secara berkelanjutan mahasiswa Islam tidak terbiasa berfikir dan bertindak secara ilmiah, yaitu tidak bisa membedakan secara profesional mana kajian keagamaan (konsep umum) yang perlu didiskusikan untuk kemajuan umat Islam serta umat manusia dan mana kajian yang bersifat pribadi (dogma organisasi keagamaan) yang menjadi hak bagi setiap individu untuk memilihnya.

Dengan demikian kondisi kelas yang semi multikultural seperti ini harus dibedakan dengan kondisi kelas yang lebih cenderung homogen. Misalnya pada kelas homogen dosen bisa memuat dominasi materi-materi yang sepaham dengan organisasi mahasiswa yang menjadi mayoritas di dalam kelas dan pada kelas semi multikulutral diberikan materi yang terkandung nilai-nilai filosofi sejarah atau fenomena penyebab terjadinya perbedaan mazhab, cara pensikapan mahasiswa dalam kondisi multikulturalisme, dan pendalaman terhadap buku-buku tentang Fikih Lima Mazhab. Dengan kata lain materi-materi yang diajarkan berkaitan tentang tata cara ibadah (rukun dan syarat) yang menjadi dogma organisasi keagamaan dipaparkan secara holistik, artinya tidak ada pengunggulan atau pengutamaan pada paham-paham organisasi tertentu. Oleh karena itu secara umum mata kuliah PAI harus bisa menjadi solusi praktis bagi kenyataan kondisi mahasiswa yang semi multikulturalisme ini. Secara spesifik mata kuliah PAI harus bisa menjadi pengaruh bagi mahasiswa untuk bersikap secara dewasa dan ilmiah dalam menghadapi kenyataan masyarakat kampus atau kelas yang semi multikulturalisme.


(11)

Sebuah penelitian dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama RI pada tahun 2010 pada 7 perguruan tinggi umum negeri yang ternama di Indonesia yaitu UDAYANA, UNDANA, UNHAS, UI, UNDIP, UNPAD, dan UGM menunjukkan bahwa hasil dari sistem pembelajaran Pendidikan Agama memiliki pengaruh yang terkecil terhadap toleransi beragama pada mahasiswa dibandingkan dengan komponen lain misalnya adalah lingkungan pendidikan secara luas memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung yang lebih besar terhadap toleransi beragama.371 Selain itu juga berdasar hasil penelitian Kasinyo Harto di Universitas Sriwijaya Palembang menunjukkan bahwa di sana terdapat beberapa organisasi gerakan keagamaan ekstra kampus yang pendekatannya menggunakan kajian keagamaan yang cenderung bernuansa normatif-doktriner, yaitu suatu pendekatan yang dibangun atas norma-norma keagamaan (wahyu) dengan pola top down dan deduktif tanpa melibatkan pertimbangan nalar, konteks historis, sosial, dan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat.372 Sehingga menimbulkan pola fikir dan tindakan yang ekslusif (tertutup).

Sebagaiman penejelasan Abidin Nurdin bahwa Internaliasasi nilai-nilai agama yang bersifat universal pada mata kuliah PAI di PTU harus ada pendukungan terhadap kerukunan umat beragama. Pada wilayah pengimplementasian digunakan pendekatan multikultural sedang materi atau kurikulumnya diubahsesuaikan dengan kearifan lokal yang cocok dengan masing-masing daerah di seluruh Inodnesia. Dengan demikian PAI sejatinya selain dapat menjadi pemberi kepuasan batin dan sosial bagi pemeluknya

371

Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa, 139.

372


(12)

juga dalam konteks kemajemukan masyarakat mampu tampil sebagai penyejuk di tengan komunitas yang prular. Sehingga agama berfungsi sebagai perekat persaudaraan dan kerukunan di antara umat beragama.373

B.Kompetensi Mahasiswa yang Diharapkan dalam Kurikulum PAI di UNP Kediri

1. Harapan Mahasiswa Berkompetensi dalam Ketauhidan (Aqidah)

Setelah ikut serta dalam mata kuliah PAI maka mahasiswa Islam di UNP Kediri dikehendaki kuat dan mantap dalam beriman pada Allah SWT. Ini berarti secara linier diharapkan mahasiswa beriman pula pada Kekuatan dan Kekuasaan yang Maha Hebat di luar jangkauan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan serta dikembangkan oleh manusia. Dengan kesadaran posisi tersebut maka mahasiswa dikehendaki mampu dalam pengendalian diri secara proprosional dalam upaya pendalaman ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu secara spesifik harapan dosen PAI di UNP Kediri tidak hanya berhenti pada kemantapan dan kekukuhan mahasiswa pada kepercayaan tentang adanya Allah SWT dan tidak malu mengakui Islam sebagai agamanya. Namun juga harapan mahasiswa mampu mewujudkan nilai-nilai tauhid yang dipadukan dengan kemampuan akademisnya tersebut untuk kesejahteraan dirinya terlebih pada masyarakat.

Kemampuan atau penguasaan mahasiswa dalam ketauhidan sangat penting, yaitu agar mahasiswa tidak sombong (bangga diri), tidak mudah terbujuk pada kesenangan sesaat yang semu, terkendali dalam penggunaan

373Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme,”


(13)

logika (rasionalitasnya), dan sebagai dasar mahasiswa untuk pengembangan ilmu yang ada di mata kuliah lain. Selain itu pula kompetensi ketauhidan harus dimiliki oleh mahasiswa sejak awal masa-masa perkuliah PAI, karena ketauhidan menjadi dasar mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah PAI pada pertemuan-pertemuan selanjutnya sampai akhir perkuliahan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompetensi ketauhidan adalah roh atau unsur terpenting untuk keberhasilan tujuan pembelajaran PAI secara luas yang harus dimilik oleh mahasiswa. Oleh karena itu tidak bisa ditawar-tawar lagi kompetensi ketaudian harus dimiliki oleh mahasiswa dan biasa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dapat disimpulkan bahwa penekanan pada ranah ketauhidan sangat penting bagi mahasiswa hal ini sebagaimana menurut Hasan Langgulung di mana ia menempatkan tentang ketaudian (Keesaan Tuhan) di urutan pertama dari dasar-dasar ajaran Islam (fundamental doctrines of Islam) yang telah ia rumuskan.374 Lebih lanjut secara konsep yang lebih detail maka pengaruh ketahudian seharusnya berdampak pada perilaku dan penyikapan mahasiswa terhadap pola fikir dalam memandang ilmu pengetahuan secara umum. Sebagaimana menurut Malikhah Towaf yang dikutip oleh Nurcholish Madjid bahwa tantangan internal PAI di perguruan tinggi umum adalah seharusnya mahasiswa sebagai calon ilmuwan Islam punya konsep filosofi tentang kesatuan ilmu pengetahuan. Artinya antara konsep Ketuhanan (ketauhidan) dengan konsep ilmu pengetahuan diintregasikan.

374

Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi (Jakarta: Pustaka al Husna, 1985), 98.


(14)

Sehingga konsep dan prinsip ketauhidan tidak hanya dipahami dari tinjauan teologis tentang keesaan Allah saja namun juga kerangaka berfikir tentang kesatuan ilmu pengetahuan, penggalian, dan pengembangannya.375

Lebih detailnya kemampuan mahasiswa yang harus dicapai setelah mata Kuliah PAI diikuti oleh mereka, diantaranya adalah: 1. Literasi, 2. Numerasi, 3. Pemahaman perkembangan sejarah , 4. Pengertian terhadap pluralitas, 5. Kedewasaan moral, 6. Kedewasaan estetika, 7. Pemahaman terhadap proses pencarian kebenaran, 8. Kelapangan dada terhadap perbedaan penemu ilmu pengetahuan teknologi. Dengan demikian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilakukan mahasiswa harus disertai nilai kepercayaan pada kemahakuasaan Tuhan supaya ia tidak sombong dan merasa unggul setelah kemudian berhasil menjadi ilmuwan atau menjadi penemu atas keberhasilan dalam pengembangan IPTEK.376

2. Harapan Mahasiswa Berkompetensi dalam Perilaku (Akhlak) Mulia

Kompetensi akhlak mulia merupakan aspek yang sangat mudah diamati jika dibandingkan dengan aspek ketauhidan, sehingga kompetensi ini bisa digunakan sebagai tolak ukur sejauh mana kemampuan ketauhidan mahasiswa setelah ikut serta dalam mata kuliah PAI. Pengukuran aspek akhlak mulia bisa dilakukan melalui perilaku, perkataan, dan tulisan yang spontan oleh mahasiswa kepada dosen dan teman sekelasnya. Lebih jauh lagi setelah mahasiswa menguasi secara konsep tentang perilaku-perilaku

375Soedarto, “Tantangan, Kekuatan, dan Kelemahan,” 74

-75.

376

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 82.


(15)

mulia yang Islami maka mahasiswa diupayakan untuk mewujudkan konsep periaku tersebut pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain kompetensi ini sangat penting untuk dimiliki mahasiswa karena untuk pembedaan secara konkrit dan jelas bagi mahasiswa antara sebelum mengikuti mata kuiah PAI dengan sesudahnya.

Secara spesifik kompetensi akhlak yang dimaksud adalah akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap mahkluk. Misalnya mahasiswa berperilaku lebih sopan terhadap orang yang lebih tua terutama pada dosen. Selain itu perilaku yang mulia dapat disimbolkan sebagai perbuatan Islami sudah biasa digunakan, misalnya pada pelaksanaan mata kuliah PAI mahasiswa terbiasa mengucapkan salam saat masuk ke dalam kelas, mahasiswa perempuan banyak yang memakai jilbab, dan saat pergaulan di lingkungan kampus dengan lawan jenis. Oleh karena itu dapat disimpulkan adanya keterkaitan antara kompetensi akhlak mulia yang diharapan dengan bentuk penilaian yang mengutamakan aspek afketif.

Perilaku mulia merupakan salah satu aspek yang harus dikuasi oleh mahasiswa, karena akhlak mulia merupakan bentuk pengimplementasian dari ajaran Islam yang telah disampaikan oleh dosen. Dengan kata lain kompetensi akhlak mulia merupakan bentuk aktualisasi mahasiswa, sehingga diharapkan tujuan perkuliahan PAI tidak hanya berhenti pada penguasaan konsep saja namun juga diterapkan oleh mahasiswa dalam kehidupan atau perilaku sehari-hari sebagai bentuk kepribadian dan karakter mahasiswa. Dengan demikian setelah kompetensi ketauhidan sudah dimiliki


(16)

oleh mahasiswa pada awal perkuliahan PAI, langkah selanjutnya adalah kompetensi akhlak mulia yang harus mereka miliki. Hal ini supaya dalam berperilaku mulia seperti sopan santun, ibadah, dan belajar dengan rajin yang dilakukan oleh mahasiswa semata-mata ditujukan untuk Allah SWT (implimentasi konsep ketauhidan).

Sebagaimana menurut Nur Kholidah bahwa salah satu pencapain hasil pembelajaran PAI adalah termanifestasinya perilaku yang didasarkan pada kesanggupan individu dalam pengelolaan diri secara optimal untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada.377 Dengan kata lain perilaku moral mahasiswa dilandasi oleh keinsyafan dan keteguhan untuk dijadikan ketentuan atau aturan moral sebagai prinsip hidup. Dengan penekanan bahwa komitmen dan perilaku moral ini dilaksankan bukan karena tekanan, rasa takut terhadap hukuman, dan pengharapan pujian. Namun benar-benar suatu pilihan otonom yang didasarkan pada kesadaran nilai. Dengan kata lain bahwa mahasiwa melakukan suatu kebaikan karena ada keyakinan bahwa hal tersebut memang baik, benar, dan mulia bukan karena adanya faktor tekanan dari dosen.378

Hal tersebut sebagaimana menurut Satriyo bahwa dalam PAI dikehendaki terwujudnya mahasiswa yang mampu dalam penguasan iptek sekaligus penerapan (perilaku) ajaran-ajaran Islam yang dilandaskan pada ketaqwaan dan keimanan pada Allah SWT.379 Sehingga mahasiswa tidak hanya punya status kesalehan di atas kertas namun juga saleh dalam dunia

377

Kholidah,Implementasi Strategi Pembelajaran,” 64.

378

Ibid., 64-65.

379Satryo Soemantri Brodjonegoro, “Strategi Kebijakan Pembinaan,”


(17)

nyata. Lebih konkrit sering kali terjadi ketidak sinkronan antara pengembangan dan pengimplementasian Iptek dalam perilaku keseharian dengan nilai-nilai luhur agama. Artinya belum ada kemampuan dalam pengembangan teori atau konsep keilmuan yang benar-benar murni bersumber pada ajaran–ajaran atau nilai Islam.380

Maka dengan demikian PAI pada PTU diharapkan mampu ikut berkiprah dalam penghasilan sarjana yang memiliki jiwa agama (religius) dan taat menjalankan perintah agamanya, bukan hanya sebagai penghasil mahasiswa yang hanya berpengetahuan agama tapi tanpa pengamalan.381 Seperti makna agama menurut Chapps yang dikutip oleh Kholidah bahwa terdapat aspek yang harus diperhatikan yaitu adanya kepercaaan terhadap sesuatu yang transenden, adanya ritual keagamaan sebagai manifestasi kepercayaanya, adanya ajaran (nilai-nilai), dan adanya pola perilaku keberagaman baik dalam konteks sosiologis mapun kosmologis.382

Sehingga materi PAI dikampus tidak hanya pada wilayah retorika saja namun pada aspek penerapannya, artinya antara teori dengan aksi tidak dapat dipisahkan. Karena PAI adalah sebagai alat indikator untuk diketauhi sejauh mana pelaksanaan ajaran agama dengan benar (bukan dari segi cara ibadah tapi melakukan ibadah atau tidak) yang telah dilakukan oleh mahasiwa.383 Sebagaimana menurut Muahimin terjadi banyaknya korupsi di

380Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,”

30-31.

381

Muhibbin, Pendidikan Agama Islam:, 6.

382

Kholidah,Implementasi Strategi Pembelajaran,” 50.

383

Azyumardi Azra, dkk., Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, ed. Muharam Marzuki&Zulmaizarna (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 2002), viii.


(18)

pemerintahan dan adanya plagiarisme dalam pendidikan tidak selaras dengan PAI sehingga fenomena tersebut menuntut pada mata kuliah PAI untuk menjadi motivasi bagi mahasiswa sebagai pencetus pembangunan masyarakat yang memiliki nilai amanah (turst) yang tinggi. Mahasiswa sebagai genarasi penerus dituntut dalam pembentukan masyarakat madani tersebut, yaitu masyarakat yang memiliki pribadi yang cerdas, berakhlak mulia, mandiri, dan bekerja sama dengan orang lain dalam penciptaan masyarakat yang sejahtera dan penuh sikap amanah.384 Sehingga menjadi sarjana muslim yang mampu dalam pengamalan ilmu dan keterampilannya sesuai dengan ajaran Islam (Q.S Ibrahim: 24-27).385

3. Harapan Mahasiswa Berkompetensi pada Penggunaan Rasionalitas (Intelektual) dalam Masalah Sosial Keagamaan

Harapan dosen PAI UNP Kediri pada para mahasiswanya adalah tertanamnya nilai intelektual serta penerapannya sebagai jawaban untuk permasalahan sosial keagamaan. Penggunaan ini sangat penting karena sebagai sarana latihan mahasiswa dalam penggunaan nalar rasionalitasnya saat dihadapkan pada permasalah-permasalah keagamaan yang tidak hanya dibutuhkan penjelasan dogmatis saja namun juga penjelasan rasionalis sebagai penjelas bagi siapa saja yang butuh rasionalitas. Artinya kompetinsi ini bermanfaat sebagai alat penjelas bagi masyarakat yang semakin kritis, logis, dan tidak mudah percaya pada pernyataan-pernyataan yang tanpa dasar. Konsekuensinya ajaran Agama atau permasalahan pada ranah sosial

384

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan, 84-85

385

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.


(19)

keagamaan tidak bisa diselesaikan atau disebarkan dengan fatwa-fatwa saja yang cenderung dogmatis. Dengan kata lain dibutuhkan penjelasan-penjelasan rasionalistis untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

Penguasaan rasionalitas juga harus dimiliki oleh mahasiswa yang bertujuan sebagai alat untuk penjelas secara logis dalam upaya pendalaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang ada di mata kuliah lain. Hal ini dilakukan sebagai upaya praktis dosen yang mana kondisi riil (realistis) dari UNP Kediri yang merupakan Perguruan Tinggi Umum bukan Perguruan Tingga Agama. Kenyataan lain adalah tujuan awal mahasiswa berkuliah di UNP Kediri lebih cenderung untuk pendalaman ilmu pengetahuan umum (sesui prodi) yang merupakan sarat dengan muatan mata kuliah yang perlu penggunaan rasional. Dengan demikian penggunaan kemampuan rasionalitas sangat penting dan harus dimiliki oleh mahasiswa.

Sedang secara tertulis harapan kemampuan mahasiswa Islam di UNP Kediri dalam berasionalitas adalah terbinanya mahasiswa yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi pekerti luhur, berfikir filosofis, bersikap rasional yang dinamis, berpandangan luas, ikut kerjasama antar umat beragama dalam rangka pengembangan serta pemanfaatan ilmu, teknologi, dan seni untuk kepentingan manusia dan Nasional. Tujuan tertulis tersebut sesuai dengan konsorsium ilmu agama pada tahun 1988 di Jakarta.386 Dengan demikian kemampuan rasionalitas dalam mata kuliah

386Mastuhu, “Pendidikan Agama Islam,”


(20)

PAI merupakan aspek sikap atau perilaku mahasiswa bukan berhenti pada aspek lisan dan tulisan mahasiswa yang ahli dalam penganalisaan sebuah masalah. Oleh karena itu kemampuan ini sangat penting sebagai dasar mahasiswa dalam pengambilan sikap atau berperilaku yang didasarkan pada kematangan berfikir (tidak tergesa-gesa), kritis, dan diterima oleh mayarotias kalangan masyarakat.

Sebagaimana penjelasan Andreas Anangguru Yewangoe yang mengemukakan bahwa sosok mahasiswa adalah seorang manusia yang memiliki intelektual diharapkan mampu dalam pemilihan dan pemilahan „kebenaran‟ sebuah persoalan secara kritis dan objektif. Selain itu menurutnya mahasiswa dalam pergaulan sehari-hari cenderung mampu untuk membantu seseorang dalam mengambil jarak dengan permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi untuk menolong seseorang.387 Oleh karena itu mahasiswa sebagai manusia „ilmiah‟ hendaknya bisa berperilaku serta berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.388

Sedang menurut Ahmad Watik Pratiknya penanaman daya intelektual mahasiswa dalam mata kuliah PAI diperankan dalam pengembangan sumber daya manusia. Dan merupakan perwujudan dan pengembangan seluruh daya manusia secara terpadu dalam pencapaian

387Andreas Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku Google

, http://books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40.

388


(21)

kompetensi sebagai subjek pembangunan maupun ketinggian martabatnya (sebagai mahkluk budaya dan religius) yang menjadi objek pembangunan. Sehingga pada dasarnya pengembangan kompetensi manusia sebagai wujud pengembangan SDM dianut paradigma “nilai tambah.” Nilai tambah tersebut setidaknya punya dua makna, yaitu makna ekonomis (manusia sebagai subjek) yaitu menjadikan manusia lebih produktif dan nilainya lebih tinggi secara ekonomis dengan kemampuan pemanfaatan teknologi, kemampuan manajemen, dan tingkat profesionalisme. Dan makna non-ekonomis atau nilai tambah insani (manusia sebagai objek) yaitu menjadikan manusia lebih tinggi harkat serta derajat manusia dengan menjadi manusia yang berbudaya, beriman, dan bertakwa.389

Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PAI di PTU salah satu pengkajiannya adalah pada tingkat kemampuan analisis terhadap fenomanena dan teori. Maka untuk penganalisisan diperlukan kompetensi mahasiwa dalam penggunaan rasionalitas untuk penilaian dan pengambilan sikap mereka terhadap fenomena yang menjadi wawasan sosial dan dianggap menyimpang oleh agama. Metode ini bertujuan pada peningkatan naral yang analitis, komparatif, dan mampu dalam pengambilan keputusan baru yang bersifat prespektif bagi tindakan umat Islam di zaman kini.390

389Pratiknya, “Pengembangan Pendidikan Agam

a,” 87.

390


(22)

C.Strategi Pembelajaran PAI di UNP Kediri 1. Kebijakan Pengelolaan Kelas oleh Dosen PAI

Secara umum srategi pegelolaan kelas pada mata kuliah PAI di UNP Kediri adalah berasaskan pada prinsip keluwesan. Artinya kebijakan strategi yang dilakukan oleh dosen dilandaskan pada kondisi sosial mahasiswa, lebih detailnya mahasiswa dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan kelas. Misalnya posisi tempat duduk yang berbaur atau campur (tidak ada pemisahan) antara mahasiswa putra dengan mahasiswa putri, yang mana kondisi jumlah mahasiswa sangat banyak serta posisi tempat duduk yang cenderung berdekatan satu dengan yang lain maka nampak suasana kelas yang tidak seperti lembaga-lembaga pendidikan agama. Kebijakan yang luwes ini diambil karena mahasiswa sudah terbiasa pada kondisi pengaturan posisi tempat duduk yang campur pada mata kuliah lain sehingga cenderung sulit dibiasakan pada mata kuiah PAI. Selain itu karena pada setiap kelas di prodi satu dengan yang lain terdapat perbedaan komposisi jenis kelamin, pada kelas tertentu mahasiswa putri cenderung lebih banyak (dominan) namun pada kelas lain mahasiswa putra jauh lebih banyak, walaupun juga ada komposisi jenis kelamin pada kelas yang seimbang.

Strategi pengelolaan kelas sangat penting bagi keberlangsungan pembelajaran, hal ini bersangkutan dengan motivasi mahasiswa untuk ikut proses pembelajaran. Dengan asumsi jika kebijakan atau srategi pengelolaan kelas tidak sesuai dengan harapan mahasiswa maka akan


(23)

berdampak pada konflik antar mahasiswa dengan dosen. Bisa saja mahasiswa menganggap permasalahan tentang pemisahan tempat duduk berdasarkan jenis kelamin ini sangat sepele atau tidak penting sehingga kebijakan ini tidak perlu dilakukakan. Masalah sensitif lain di UNP Kediri berkenaan strategi pengelolaan kelas adalah tentang kewajiban mahasiswa putri untuk memakai jilbab. Peraturan pemakaian jilbab dalam kelas merupakan salah satu bentuk strategi pengelolaan kelas karena suasana kelas yang dikelola oleh dosen akan nampak berbeda secara kasat mata jika strategi itu diterapkan.

Strategi pengorganisasian kelas merupakan salah satu komponen pembelajaran PAI yang sangat penting, namun sangat sulit untuk diterapkan di perguruan tinggi umum karena dibutuhkan kemampuan dosen terutama dalam mempengaruhi mahasiswanya. Oleh karena itu rata-rata semua dosen PAI di UNP Kediri mengadakan pendalaman terlebih dahulu kepada mahasiswanya terkait latar belakang sekolah, kemampuan dasar keagamaan, dan minatnya terhadap mata kuliah PAI pada pertemuan pertama di awal semester. Tujuannya adalah untuk pemetaan kemampuan agama Islam mahasiswa yang ada di kelas tersebut. Dengan demikian dosen bisa memperkirakan dalam penentuan kebijakan pengolaan kelas bagaiaman yang akan dilakukannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan kelas dosen lebih cenderung pada tingkat kesadaran mahasiswa secara penuh untuk berperilaku dan menata diri dalam kelas sesuai dengan


(24)

ajaran-ajaran Islam. Hal ini juga sebagai alat tolak ukur bagi dosen untuk diketahui sejauh mana tingkat kompetensi akhlak mahasiswanya. Oleh karena itu idealnya strategi dosen dalam pengelolaan kelas hendaknya didasarkan pada peraturan atau tata tertib ada pada kampus. Atau paling tidak sebelum mata kuliah PAI berlangsung (pada pertemuan pertama di awal semester) terdapat kontrak belajar yang salah satunya mewajibkan mahasiswa untuk duduk terpisah antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini tentu idealnya dosen PAI terlebih dahulu sebelum kebijakan ini ditawarkan pada mahasiswa dilakukan pemetaan kelas yaitu pengindraan tentang karakter mahasiswa di dalam kelas dan kecenderungan mahasiswa arahnya ke mana.

Dalam kajian ilmu pisokologi menuru Cage&Berliner yang dikutip oleh Rochmat Wahab bahwa model dalam pengelolaan proses pembelajaran memilik lima langkah, yaitu dari penentuan tujuan, pendalaman terhadap karakteristik peserta didik, penentuan proses pembelajaran, dan cara pemotivasian peserta didik, pemilihan strategi serta cara dan bagaimana pelaksanaan pembelajaran dan melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran.391 Lebih spesifik pendapat Scoty yang dikutip oleh Kholidah bahwa penting dalam peninjauan kapasitas intelektual mahasiswa dalam pengembangan moral keagamaan di jenjang pendidikan tinggi. Mahasiswa yang mengikuti proses pembelajarna PAI cenderung heterogen dari segi latar belakang pemahaman serta

391

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 178.


(25)

pengamalan agama jika dibandingan pada masa pembelajaran dijenjang pendidikan menengah. Maka pendekatan yang dipakai dalam pengelolaan proses pembelajaran PAI di PTU perlu disesuaikan dengan karakter subjek pembelajaran.392

Sedang berdasarkan acuan dari Dirjen Kelembagaan Agama Islam RI yang menyatakan bahwa mata kuliah PAI yang punya tujuan secara terukur yang dapat diketahui sejauh mana perkembangan mahasiswanya dalam belajar diperlukan pree test pada awal perkuliahan. Hal ini berfungsi untuk diketahui perbedaan kemampuan dan pengetahuan mahasiswa sebelum ikut kuliah PAI dengan sesudahnya. Materi pree test meliputi pengetahuan dasar keIslaman dalam berbagai aspek seperti pembacaan al Quran, ibadah praktis, dan pengungkapan latar belakang kehidupan keagamaan mahasiswa. Dengan demikian hasil dari tes ini bisa digunakan untuk kebijakan pemberian materi PAI yang berbeda sesuai dengan hasilnya. Artinya untuk mahasiswa tertentu diperlukan materi dan kegiatan intensif agar bisa pada pencapaian kemampuan rata-rata sesuai dengan ketentuan kurikulum.393

2. Keteladanan Berperilaku oleh Dosen PAI

Dosen PAI merupan simbol dan panutan dalam penerapan nilai-nilai agama (terutama pada ajaran agama yang nampak seperti ibadah, cara berpakaian, dan peran serta di kehidupan masyarakat) bagi mahasiswa dan

392

Kholidah,Implementasi Strategi Pembelajaran ,” 59-60.

393

Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 2003), 34.


(26)

masyarakat kampus PTU secara umum. Oleh karena itu segala perilaku, perkataan, dan segala yang ada pada dirinya menjadi sorotan bagi sivitas akademik. Sebagaian dosen PAI di UNP Kediri menjadi Khotib di Masjid kampus, dosen berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan Kampus, dan cara berpaikan dosen yang sopan (mencirikan keIslaman/santri) serta formal merupakan bentuk keteladan positif yang dilakukan dosen. Selain itu dosen juga aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi keagamaan di masyarakat mereka tinggal. Langkah tersebut dilakukan sebagai cara agar apa yang diomongkan oleh dosen bisa didengarkan dan diikuti oleh Mahasiswa. Dengan demikian diupayakan mahasiwa bisa tergugah secara sadar untuk berperilaku sama seperti dosennya.

Namun demikian keteladanan tersebut masih berhenti pada aspek ritual keagamaan saja, belum menyentuh pada aspek keilmuan secara luas, misalnya dosen PAI menjadi teladan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian ilmiah terutaman penelitian tentang PAI atau yang bersangkutan dengan eksistensi agama Islam. Keteladanan ini sangat penting supaya presespi mahasiswa tentang kuliah PAI bisa terbuka lebar yaitu PAI tidak hanya mata kuliah doktrinasi namun juga mata kuliah pengembangan keilmuan. Oleh karena itu, kedepannya diharapkan bukan suatu hal yang mengherankan lagi jika dosen PAI di PTU saat mengajar memakai dasi, memakai jas, mengajak mahasiswa ke tempat atau lokasi dosen PAI melakukan pengabdian terhadap masyarakat, dan membawa buku-buku atau literatur tentang dasar-dasar penelitian.


(27)

Dapat disimpulkan bahwa keteladanan dosen bisa menjadi acuan yang sangat bernilai sehingga sangat layak untuk ditirukan oleh mahasiswa dalam pengembangan ilmu dan berperlikaku. Sebagaimana menurut Kohlberg seperti yang dikutip Kholidah menyampaikan bahwa perkembangan pemikiran nilai dan moral pada mahasiswa dicirikan dengan mulai semakin tumbuh kesadaran tentang kewajiban dalam upaya mempertahankan nilai dan pranata yang ada karena dianggap sebagai sesutu yang bernilai.394 Oleh karena itu pembentukan sebuah nilai yang diakui oleh seluruh komunitas kampus perlu dibentuk menjadi sebuah tatanan atau sistem yang mapan. Di sinilah fungsi dan peran keteladan dari dosen dan pejabat kampus sangat penting bagi terbentuknya suasana yang religius di kampus.

3. Strategi Pembelajaran yang Kontekstual

Pembelajaran yang diadakan oleh dosen PAI di UNP Kediri dilaksanakan secara kondisional dan luwes. Artinya, strategi yang digunakan dalam pemberian tindakan dan pengambilan sikap dosen saat proses pembelajaran di kelas didasarkan pada situasi dan kondisi kelas maupun lingkungan masyarakat secara luas. Dengan kata lain pembelajaran PAI UNP Kediri untuk kemenarikan dan bernilai guna secara nyata digunakan strategi pembelajaran kontekstual, yaitu pengaitan tema-tema atau materi PAI yang tekstual dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Misalnya mahasiswa lebih cenderung biasa diajak untuk

394


(28)

belajar dan berfikir secara kontekstual dengan metode diskusi maupuan ceramah. Strategi ini dilakukan untuk menghindari mahasiswa bosan dengan materi-materi yang kaku dan dogmatis yang cenderung banyak kandugan bahasa arabnya, hal ini karena mahasiswa banyak yang kurang menguasai bahasa arab. Dengan kata lain strategi dapat menjadi penghindar kecemasan mahasiswa terhadap mata kuliah PAI. Selain juga tentu untuk mengasah atau melatih kemampuan mahasiswa dalam menelaah permasalahan terkini. Walaupun pada penerapannya strategi pembelajaran kontekstual dibutukan daya rasional mahasiswa untuk menganalisis konteks-konteks permasalah terbaru yang sedang terjadi di masyarakat.

Sebagaiman menurut Rohmat Wahab ada dua macam pendekatan PAI di PTU, yaitu pendekatan holistik dan kontekstual. Pendekatan holistik adalah cara pandang tentang subjek bahwa organisme atau satu keseluruhan yang terpadu itu punya realitas yang mandiri dan lebih besar dari sekedar kumpulan bagian-bagiannya. Oleh karena itu masalah, gejala, atau masyarakat dipandang oleh pendekatan ini sebagai suatu kesatuan organis. Dengan kata lain adalah terjadinya pembinaan mahasiswa yang berkepribadian Muslim secara utuh, sehingga perlu pemahaman dan penghayatan ajaran Islam secara utuh pula. Dengan demikian keutuhan antara perngetahuan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama perlu diwujudkan dalam proses perkuliahan sehingga pribadi mahasiswa berproses menuju kepribadian muslim yang utuh pula. Sedangkan


(29)

pendakatan kontekstual adalah keterkatian seluruh situasi, latar belakang, atau lingkungan yang relevan dengan beberapa kejadian dan kepribadian. Pendekatan ini digunakan agar mahasiswa punya wawasan komperhensif dan integral dalam pengambilan sikap terhadap masalah kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, pertahanan, keamanan, dan kebudayaan.395

Dengan demikian dapat disimpulkan PAI diharapkan tidak hanya sebagai ladang moralitas semata yang semakin diacuhkan oleh masyarakat umum karena adanya pergesaran budaya, namun juga sebagai cara berinvestasi untuk kepentingan dunia. Artinya didasarkan pada prinsip teori human capital bahwa PAI tidak hanya bisa dijangkau oleh mahasiswa yang sudah memiliki kesadaran dalam beragama dan mempelajarinya namun juga diminati oleh mahasiswa lain yang lebih cenderung pada pola fikir pragmatis. Oleh karena itu fungsi PAI dengan fungsi mata kuliah lain sama yaitu sebagai alat investasi bagai mahasiswa dan masyarakat.396

Keadaan lain menurut Kholid Fathoni yang menjadikan pembelajaran kontekstual itu penting adalah bahwa pembelajaran PAI yang waktunya sangat minim perminggunya sering kali bagi sebagian mahasiswa mengalami kurang mendalamnya pemahaman materi. Sehingga mahasiswa bisa dihadapkan pada suasana yang berbeda bahkan cenderung berlawanan dengan materi-materi agama yang disampaikan dalam mata kuliah. Oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu oleh dosen PAI

395Rochmat Wahab, “Pembelajaran

PAI di PTU; Strategi Pengembangan Kegiatan Kokuler dan

Ekstra Kurikuler,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 168-169.

396Ahmad Watik Pratiknya, “Pengembangan Pendidikan Agama


(30)

kepada mahasiswa tentang penyebab dan alasan terjadinya disparitas suasana antara materi kuliah dengan kenyataan. Penjelasan ini terutama diberikan kepada mahasiswa baru yang belum terlatih untuk menggunakan rasionalnya untuk berlogika sebagaimana mahasiswa lama. Dapat disimpulkan bahwa pendidikan PAI tidak hanya berhenti di bangku ruang kuliah saja namun di luarnya harus terdapat sistem kegiatan lain yang mendukung tercapainya proses pembelajaran PAI.397

Sedang menurut Mastuhu bahwa kontekstualisasi PAI yang dikaitan dengan kondisi mahasiswa setidaknya didasarkan pada muatan sebagai berikut:

1. Konsep tentang manusia adalah makhluk yang berkebutuhan dan berkeinginan. Kebutuhan jasmani adalah sifat mutlak makhluk hidup yaitu bernafas, makan, dan minum. Sedang kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang hanya dimiliki manusia yaitu pendidikan, pengakuan sosial, dan kebutuhan agama yang salah satu tujuannya adalah untuk pencapaian ketenangan.

2. Konsep tentang manusia selalu diahadapkan pada dua pilihan, yaitu beragama atau tidak beragama. Meskipun ada manusia yang tidak memilih keduanya maka secara otomatis telah memilih salah satu di antara keduanya, sebab tidak ada alternatif di luarnya. Pemilihan tersebut didasarkan melalui keputusan intuisi yaitu pelibatan keputusan yang melampaui batas kekuasaan manasia.

397


(31)

3. Konsep tentang manusia secara fitrah terlahir suci dan sakral. Namun manusia dalam kelahirannya dimiliki juga pembawaan „kegelapan‟ yang berpotensi berkembang secara besar jika tidak ada pendidikan yang terarah. Oleh karena itu, pendidikan Islam diupayakan mampu meredam potensi „kegelapan tersebut sehingga yang berkembang adalah potensi „cahaya‟ yang dimilikinya seoptimal mungkin.

4. Konsep tentang corak dan muatan mata kuliah agama berbeda dengan ata kuliah lain yang sekuler cendurung hanya untuk tujuan duniawi. Secara spesifik mata kuliah sekuler tidak ada penjelasan bagaimana sebuah kehidupan itu dikontruksi supaya lebih mudah diantisipasi oleh kekuatan manusia yang serba terbatas dan spekulatif. Namun sebaliknya materi mata kuliah agama selain berdimensi (muatan) iptek juga mampu dalam penjelasan hakekat dan makna hidup yang secara transendental. Oleh karena itu wajar jika di dalam pendidikan agama terdapat muatan-muatan doktrin dan nilai-nilai spirtual normatif yang absolut sekaligus relatif. Sehingga mata kuliah agama harus mampu dalam penjangkauan kedua sisi tersebut secara simultan, seimbang, dan dinamis.398

4. Pemberian Kesempatan Mahasiswa dalam Berlogika (Rasional)

Di UNP Kediri mata kuliah PAI secara umum diajarkan pada semester awal, sehingga hal ini berakibat pada kondisi mahasiswa yang belum benar-benar „menjadi‟ mahasiswa. Artinya pola fikir, logika, atau

398


(32)

daya nalar mahasiswa belum terasah karena masih belum terlatih dan masih ada pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan pembelajaran di masa pendidikan sebelumnya (jenjang menengah). Dengan demikian dalam mata kuliah PAI mahasiswa harus dilatih untuk pembiasaan dalam pengguanaan logika dan rasional sebagai ciri khas pendalaman keilmuan. Lebih spesifik dosen PAI UNP Kediri cenderung memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk pengapresiasian pendapatnya, penyampaian hasil analisisnya, dan pemberian kesempatan untuk berlogika dengan daya rasionalitasnya baik melalui tulisan maupun saat mahasiswa berdiskusi.

Strategi pemberian kesempatan untuk berlogika kepada mahasiswa sangat penting diterapkan yaitu sebagai instrumen pengembangan PAI bagi dosen yang disesuaikan dengan minat dan bakat berdasarkan dari hasil diskusi atau masukan mahasiswa melalui logika atau rasionalitas yang telah mereka sampaikan. Dengan demikian mata kuliah PAI dengan strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi mahasiswanya untuk berlogika diharapkan mampu menjadikan mereka lebih semangat, tergugah, dan aktif dalam pembelajaran. Dengan kata lain ini merupakan salah satu bentuk penghargaan atau pengakuan dosen kepada mahasiswa untuk pengaktualisasian diri dan sebagai wadah bagi mahasiswa menyampaikan pendapat-pendapatnya.

Sebagaiamana menurut Keputusan Dirjen Dikti No. 34/Dikti/2006 bahwa: “Pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses yang mendidik, yang di dalam-nya terjadi pembahasan kritis, analitis, induktif,


(33)

deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran substansi dasar kajian, berkarya nyata, dan untuk menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hayat.” 399

Secara aplikatif menurut Agus M. Hardjana menyatakan semua pengarahan dan masukan dari dosen kepada mahasiswa sebaiknya diolah dan dikaji penuh pendalaman (klarifikasi), serta mahasiswa seharusnya tidak sangat tergantung dan total dipengaruhi oleh pengarahan dan pemikiran dosen.400 Hal yang beresensi sama disampaikan oleh E. P Hutabarat bahwa mahasiswa harus mengkritisi bahan atau materi pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang disajikan oleh dosen yang mana bahan pembelajaran merupakan sebuah „fakta‟ yang masih bisa berubah karena sebuah materi tersebut dilahirkan berdasarkan dari penelitian. Oleh karena itu dosen bukan sekedar penyampai informasi namum juga melakukan penyampaian dan pemeriksaan terhadap dasar serta alasan kepada mahasiswa kenapa harus mempercayai informasi tersebut. Dengan asumsi mahasiswa harus aktif dalam pencarian referensi atau sumber ilmu lain yang berperan dalam peningkatan keilmuan. Namun demikian seharusnya sikap kritis dan rasional mahasiswa ini tidak menjadi sebuah ancaman bagi dosen PAI, malah sebaliknya menjadi sebuah tantangan bagi dosen PAI dalam

399

Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006, Pasal 5 ayat 2 dan 3.

400


(34)

pengembangan materi PAI sehingga bisa menjadi kajian keilmuan yang menarik seperti halnya ilmu pengetahuan umum.401

Hal ini diperkuatan oleh Mastuhu bahwa konsep ideal seharusnya materi perkuliahan agama Islam adalah pada aspek rasional yang dikaitkan erat relevansinya dengan kebutuhan-kebutuhan modernitas yang menjadi konsekuen bersama. Namun pada kenyataannya materi agama Islam masih lebih banyak menyentuh sapek tradisional yang dogmatis dan aspek ritualnya. Oleh karena itu kehadiran mata kuliah PAI dianggap menjadi kajian membosankan, tidak hidup, dan tidak menantang. Padalah hasil atau kompetensi yang dicapai dari aspek tradisional tersebut tidak dapat dinilai atau dijelaskan dengan kata-kata atau tulisan, namun hanya dapat dijelaskan dengan perbuatan dan amalan. 402

D.Evaluasi Pembelajaran PAI di UNP Kediri

Walaupun dalam Pedoman Akademik UNP Kediri yang berlaku untuk semua mata kuliah lebih ditekankan dan diutamakan pada penilaian aspek kognitifnya (jumlah prosentasi penentu hasil Nilai Akhir lebih besar) dari pada aspek lainnya namun sebagain besar Dosen PAI lebih ditumakan pada penilaian afektif. Meski demikian acuan atau pedoman akademik UNP Kediri tetap digunakan oleh mereka dengan ada penyesuaian-penyesuaian. Evaluasi pembelajaran di perguruan tinggi sangat penting di mana tujuannya adalah untuk penetapan hasil belajar mahasiswa dalam mencapai tingkat penguasaan

401

E.P. Hutabarat, Cara Belajar: Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa saja yang Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 115-116.

402Mastuhu, “Pendidi


(35)

sesuai dengan tujuan pembelajaran pada setiap mata kuliah. Yang mana penilaian tersebut bisa berbentuk ujian dan non ujian. Secara teknis di UNP Kediri dalam pemberian nilai pada hasil yang telah dicapai mahasiswa dilakukan dengan cara pemberian skor, yaitu proses penetapan taraf penguasaan atau kemampuan mahasiswa oleh Dosen. Dengan demikian idealnya dibutuhkan instrumen khusus untuk penilain aspek afketif. Untuk pensiasatan tidak adanya instrumen tersebut maka dosen dalam pemberian skor penilaian afektif masih dikonversikan ke aspek kognitif yang dimasukkan ke dalam blanko (draf) yang disediakan oleh kampus UNP Kediri.

Tindakan tersebut sesuai dengan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi bahwa dalam penilaian PAI di perguruan tinggi umum ditentukan sebagai berikut:

(1) Penilaian hasil belajar mahasiswa dilakukan berdasarkan data yang diperoleh melalui penugasan individual atau berkelompok, ujian tengah semester, ujian akhir semester, penilaian-diri (self-assessment), penilaian-sejawat (peer-assessment), dan observasi kinerja mahasiswa melalui tampilan lisan atau tertulis. (2) Kriteria penilaian dan pembobotannya diserahkan kepada dosen pengampu dan disesuaikan dengan Pedoman Evaluasi Akademik yang berlaku pada perguruan tinggi masing-masing. (3) Sistem penilaian perlu dijelaskan kepada mahasiswa pada awal perkuliahan.403

Serta sesuai dengan penegasan Gagne sebagaimana yang dikutip oleh Kholidah bahwa penilaian adalah salah satu tugas penting yang harus dilakukan oleh pembelajaran untuk penentuan seberapa jauh keberhasilan yang

403


(36)

dicapai dari proses pembelajaran. Yang mana penilaian pada domain pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dapat diperoleh melalu tes tulis dan tes lisan. Sedangkan penilaian pada domain sikap dilakukan dengan tes perbuatan dan pengamatan. 404 Sedang cara yang dapat digunakan untuk pengukuruan proses keberhasilan pembelajaran PAI dilakukan penilaian kepada mahasiswa dengan ditugaskan untuk pembuatan laporan aktivitas keagamaan di tempat tinggal masing-masing. Komponen-komponen yang dinila meliputi penyajian makalah, penyampaian gagasan, cara bertanya, cara menjawab, cara pengambilan kesimpulan, keterampilan menjadi moderator, dan keterampilan menjadi notulen. Semua komponen di atas disusun dalam format khusus yang telah disiapkan oleh dosen masing-masing dan diberikan kepada setiap kelompok pada pertemuan pertama.405

Oleh karena itu dari pemaparan di atas dan dari data yang ditemukan di lapangan maka sistem penilaian yang ada di UNP Kediri diklasifikasikan ke dalam beberapan hal sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Penilaian dengan Ujian dan Non Ujian

Bentuk ujian yang digunakan Dosen PAI UNP Kediri sebagai penilaian terhadap mahasiswa meliputi kegiatan Ujian dan Non Ujian. Artinya, tidak hanya digunakan metode pengujian terhadap mahasiswa untuk diketahui hasil pencapain yang telah diperolehnya setelah dilakukan pembelajaran PAI, misalnya melalui tes soal pertanyaan secara lisan, tulis,

404

Kholidah,Implementasi Strategi Pembelajaran,” 57-58.

405


(37)

dan tes praktek. Namun juga digunakan bentuk penilaian non ujian yaitu dengan pengamatan perilaku serta perkataan yang dilakukan secara alami atau tanpa perintah dari dosen maka penilaian non ujian ini dilakukan terhadap perilaku, perkataan, dan segala sesuatu yang melekat di dalam mahasiswa yang mereka lakukan secara spontan. Oleh karena itu diharapkan penilaian non ujian ini bisa menjadi nilai pembanding bagi nilai ujian yang dilaksakan dengan terencana, terstruktur, dan terbuka sehingga cenderung untuk dihasilkan nilai-nilai yang kredibilitasnya diragukan.

Sebagaimana menurut Kholidah bahwa penilaian pada domain pengetahuan dan pemahaman mahasiswa dapat diperoleh melalu tes tulis dan tes lisan. Sedangkan penilaian pada domain sikap dilakukan dengan tes perbuatan dan pengamatan.406 Lebih spesifik Zainul Muhibbin, dkk. menjelaskan tentang bentuk-bentuk evaluasi PAI yang digunakan di Perguruan tinggi umum dapat diuraikan sebagai berikut : “1. Keikutsertaan dalam mentoring. 2. Sikap Islam (akhlak) dalam perilaku sehari-hari. 3. Penilaian terhadap pelaksaan tugas-tugas. 4. Keaktifan mengikuti kuliah, diskusi, dan presentasi makalah. 5. Ujian tulis.”407

2. Pelaksanaan Evaluasi Afektif

Evaluasi yang dilakukan oleh Dosen PAI UNP Kediri lebih ditekankan pada aspek afektif, yaitu pada sikap keseharian (kebiasaan) dan sikap respon mahasiswa ketika dihadapkan pada permasalahan pribadi,

406

Kholidah,Implementasi Strategi Pembelajaran,” 58.

407


(38)

kelompok, dan sosial keagamaan. Evaluasi ini dilihat dari tingkah laku mahasiswa yang muncul secara respek, spontan, dan terlihat alami. Secara spesifik penilaian afektif juga menjadi tolak ukur dalam penentuan Nilai Akhir atau kelulusan mata kuliah PAI. Misalnya Penilaian ditentukan oleh perilaku mahasiswa terhadap dosen serta mahasiswa lain, kedisiplinan, minat serta antusiasme dalam pembelajaran PAI, kepekaan (empati) mahasiswa ketika dihadapkan pada permasalahan sosial dalam pembelajaran PAI, dan kesesuaian antara jawaban atau pernyataan-pernyataan mahasiswa tentang ajaran-ajaran Islam di tes tulis maupun pada kegiatan diskusi presentasi dengan perilaku di dunia nyata. Dengan demikian evaluasi pada aspek afektif lebih cenderung pada bagaimana cara mahasiwa dalam pengimplementasian nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Lebih konkrit penilaian afketif untuk menilaia sejauh mana kemampuan atau kompetensi mahasiswa dalam bidang ketauhidan (aqidah) dan kompetensi dalam akhlak mulia secara spontan.

Evaluasi afektif sangat penting dalam mata kuliah PAI, karena mata kuliah PAI adalah mata kuliah terapan bukan hanya mata kuliah konsep sehingga diperlukan penilaian dari sikap mahasiswa. Namun demikian karena tidak adanya instrumen penilaian afektif maka penilaiannya lebih banyak dilakukan saat mahasiswa hanya di dalam kelas saja karena jika dilakukan di luar kelas dibutuhkan beberapa informasi melalui instrumen yang benar sempurna agar bisa diperolah hasil penilaian yang benar-benar objektif. Padahal sungguh tidak adil jika penilaian hanya dilakukan di


(39)

dalam kelas saja namun tidak disertai penilaian afektif mahasiswa di luar kelas. Bisa jadi adanya ketidak sesuaian antara perilaku mahasiswa di lingkungan masyarakat dengan apa yang ia katakan atau tunjukkan di dalam kelas saat berdiskusi.

Penekanan dan pengutamaan aspek afektif pada mata kuliah PAI tersebut seperti di atas sesuai dengan pendapat Heman Hudojo bahwa materi PAI bukan sebagai ilmu agama yang lebih diacukan pada ranah kognitif, namun dipandang lebih pada acuan ranah afektif. Hal ini karena PAI sebagai dasar pembentukan manusia Indonesia yang berkepribadian utuh, beriman, dan bertaqwa kepada Allah SWT. Sehingga PAI bisa menjadi sumber inspirasi etika, moral, dan spiritual sebagai penangkal perubahan sosial budaya bangsa yang beraspek negatif karena dampak modernisasi yang tak terkendali.408 Lebih dipertegas oleh Kholidah bahwa yang perlu ditekankan pada domain penilaian afektif mahasiswa lebih pada kemampuan berperilaku secara konsisten (ajeg), secara spontan tanpa pengaruh, mampu dalam pengorganisasaian sejumlah nilai yang diwujudkan dalam perilaku, dan kepemilikan terhadap sejumlah perilaku yang terekat dalam kesatuan kebiasaan.409 Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional Pembelajaran PAI di PTU jika ditinjau dari aspek Afektif meliputi pembudayaan diri dan

408Heman Hudojo, “Tolok Ukur dan Sistem Evaluasi Terhadap Keberhasilan Pengajaran

Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 184.

409


(40)

lingkungannya dengan nilai-nilai Islam (Q.S. al Baqarah 138 dan Q.S ali Imran: 110).410

3. Pelaksanaan Evaluasi Psikomotorik

Secara umum penggunaan evaluasi psikomotorik sangat minim digunakan pada mata kuliah PAI di UNP Kediri. Selain itu apabila dilakukan tes kepada mahasiswa melalui pengujian ketrampilan bisa menimbulkan kecemasan pada mahasiswa karena rata-rata mereka masih lemah dari segi praktik ibadah. Oleh karena itu evaluasi psikomotorik yang digunakan di UNP Kediri meliputi ujian praktek baca tulis al Quran dan penilaian pelaksanaan praktik sholat lima waktu termasuk sholat jumat di Masjid kampus atau mushola di sekitar kampus.

Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional Pembelajaran PAI di PTU jika ditinjau dari aspek Psikomotorik meliputi pengamalan, penghayatan, dan keyakinan pada syari‟ah Islam baik ibadah maupun muamalah sehingga ia mampu berzikir pada Allah dan bertafakur tentang ciptaan-Nya (Q.S ali Imran: 190-191).411 Sedang menurut Kholidah bahwa pada domain psikomotorik mahasiswa dinilai pada keterampilan dalam penggunaan keahliaan secara spontan.412 Idealnya PAI tidak cukup diukur pada ranah kognitif namun juga ada pelibatan ranah afektif dan psikomotorik secara berimbang. Artinya bahwa mata kuliah PAI diharapkan

410

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.

411

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.

412


(41)

mampu diktualisasikan oleh mahasiswa sebagai wujud penghayatan sehinggap sehingga sikap, tutur kata, dan tingkah laku mahasiswa akan sejalan (paralel) dengan pengetahuan agama yang dia miliki. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa tidak hanya cakap dalam berdiskusi dengan rasionalitasnya, mampu dalam penjelasan praktik ibadah serta hukum-hukum dalam agama, dan mampu dalam beretorika keagamaan saja. Melainkan mereka juga dituntut adanya konsistensi antara ucapan dengan perbuatan sebagaimana peringatan dalam al Quran dalam surat as Shaf yang terjemahnya adalah “wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Allah murka kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak mau melakukannya.”413

4. Pelaksanaan Evaluasi Kognitif

Penilaian aspek kognitif yang dilakukan Dosen PAI UNP Kediri terhadap mahasiswa melalui kegiatan ujian tulis (UTS dan UAS), ujian lisan (tes pertanyaan), kualitas subtansi (konten) tugas kelompok maupuan tugas individu, dan penjelasan serta jawaban saat presentasi (kualitas dalam penganalisaan masalah). Semua bentuk kegiatan penilaian kognitif tersebut digunakan dalam jangka waktu berbeda untuk diketahui perkembangan pemahaman mahasiswa terhadap materi dan juga sebagai salah satu instrumen pengklarifikasian dari hasil metode penilaian yang lain. Salah satunya caranya adalah penilaian kemampuan mahasiswa dalam

413Nurcholish Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,” dalamDinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 38.


(42)

penganalisaan permasalahan sosial terkini yang ada pada koran sebagai pengklarifikasi dari hasil penilaian tugas pembuatan makalah.

Hal ini sebagaimana pendapat Kholidah bahwa pada domain kognitif pelaksanaan pembelajaran PAI dilakukan sampai pada tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi. Sehingga mahasiswa punya kemampuan dalam pengambilan keputusan.414 Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional pembelajaran PAI di PTU jika ditinjau dari aspek kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, dan pengertian tentang akidah dan syariah Islam (Q.S al-Tawbah: 122).415

E.Proposisi Penelitian

Proposisi adalah ekspresi tertulis dari putusan yang berisi pengakuan atau penolakan sesuatu (sebagai prediket) terhadap sesuatu lain (subjek) yang dapat dinilai benar atau salah.416 Dengan kata lain proposi merupakan penarikan gugusan-gugusan pernyataan sehingga terhubungnya sesuatu teori dengan kenyataan. Dari pernyataan tersebut setelah diadakan penelahaan dan setelah dilakukan analisis data pada pembahasan di bab ini maka proposisi dalam penelitian ini adalah:

1. Mana kala materi pokok antara dosen satu dengan dosen PAI yang satu dengan yang lain tidak disusun atau direncanakan secara bersama-sama maka akan terjadi perbedaan pandangan dalam pengembangan materi PAI antara dosen satu dengan dosen lain.

414

Kholidah,Implementasi Strategi Pembelajaran,” 56.

415

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.

416


(43)

2. Apabila materi PAI di perguruan tinggi umum dikembangakan sesuai dengan program studi maka bisa menumbuhkan semangat mahasiswa untuk mempelajari materi PAI.

3. Pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum mana kala tidak memperhatikan kondisi kontekstual masyarakat dan latar belakang serta kemampuan mahasiswa maka bisa menjadi penyebab sulitnya dosen dalam pencapaian tujuan pembelajaran PAI yang efektif.

4. Tugas pengelola kampus terhadap keberhasilan sistem pembelajaran PAI secaram umum adalah sebagai pembuat kebijakan mengenai kegiatan keagamaan di kampus dan pembentukan forum dosen PAI secara resmi. 5. Forum Dosen PAI di UNP Kediri apabila terbentuk dan berjalan dengan

efektif dan efisien maka akan bisa terwujud sistem pembelajaran PAI yang integral dengan mata kuliah lain, bisa menjadi wadah diskusi dosen PAI dalam merumuskan serta menyusun komponen sistem pembalajaran PAI (materi, kompetensi, strategi, dan evaluasi), menjadi wadah untuk saluran aspirasi atau interakis dosen PAI baik secara akademis maupun sosial dengan masyarakat kampus maupun yang di luar kampus.

6. Jika hanya dosen PAI yang diberi tanggung jawab untuk pencapaian kompetensi mahasiswa dari segi akhlak mulia secara utuh maka dibutuhkan keprofesionalan dosen.

7. Pelatihan-pelatihan bagi dosen PAI merupakan syarat untuk menimbulkan kepercayaan diri bagi dosen dalam pengembangan materi, strategi, dan evalusi pembelajaran PAI.


(44)

8. Walaupun ada dukungan secara sosial dari pengelola kampus tapi jika tidak ada peraturan tertulis secara formal yang mendukung sistem pembelajaran PAI maka pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum tidak berjalan efektif.

9. Mahasiswa Islam di perguruan tinggi umum yang berbentuk universitas adalah kumpulan manusia heterogen dan membutuhkan penanganan yang berbeda dengan mahasiswa di perguruan tinggi agama yang sangat homogen.


(1)

dalam kelas saja namun tidak disertai penilaian afektif mahasiswa di luar kelas. Bisa jadi adanya ketidak sesuaian antara perilaku mahasiswa di lingkungan masyarakat dengan apa yang ia katakan atau tunjukkan di dalam kelas saat berdiskusi.

Penekanan dan pengutamaan aspek afektif pada mata kuliah PAI tersebut seperti di atas sesuai dengan pendapat Heman Hudojo bahwa materi PAI bukan sebagai ilmu agama yang lebih diacukan pada ranah kognitif, namun dipandang lebih pada acuan ranah afektif. Hal ini karena PAI sebagai dasar pembentukan manusia Indonesia yang berkepribadian utuh, beriman, dan bertaqwa kepada Allah SWT. Sehingga PAI bisa menjadi sumber inspirasi etika, moral, dan spiritual sebagai penangkal perubahan sosial budaya bangsa yang beraspek negatif karena dampak modernisasi yang tak terkendali.408 Lebih dipertegas oleh Kholidah bahwa yang perlu ditekankan pada domain penilaian afektif mahasiswa lebih pada kemampuan berperilaku secara konsisten (ajeg), secara spontan tanpa pengaruh, mampu dalam pengorganisasaian sejumlah nilai yang diwujudkan dalam perilaku, dan kepemilikan terhadap sejumlah perilaku yang terekat dalam kesatuan kebiasaan.409 Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional Pembelajaran PAI di PTU jika ditinjau dari aspek Afektif meliputi pembudayaan diri dan

408Heman Hudojo, “Tolok Ukur dan Sistem Evaluasi Terhadap Keberhasilan Pengajaran

Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 184.

409


(2)

lingkungannya dengan nilai-nilai Islam (Q.S. al Baqarah 138 dan Q.S ali Imran: 110).410

3. Pelaksanaan Evaluasi Psikomotorik

Secara umum penggunaan evaluasi psikomotorik sangat minim digunakan pada mata kuliah PAI di UNP Kediri. Selain itu apabila dilakukan tes kepada mahasiswa melalui pengujian ketrampilan bisa menimbulkan kecemasan pada mahasiswa karena rata-rata mereka masih lemah dari segi praktik ibadah. Oleh karena itu evaluasi psikomotorik yang digunakan di UNP Kediri meliputi ujian praktek baca tulis al Quran dan penilaian pelaksanaan praktik sholat lima waktu termasuk sholat jumat di Masjid kampus atau mushola di sekitar kampus.

Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional Pembelajaran PAI di PTU jika ditinjau dari aspek Psikomotorik meliputi pengamalan,

penghayatan, dan keyakinan pada syari‟ah Islam baik ibadah maupun muamalah sehingga ia mampu berzikir pada Allah dan bertafakur tentang ciptaan-Nya (Q.S ali Imran: 190-191).411 Sedang menurut Kholidah bahwa pada domain psikomotorik mahasiswa dinilai pada keterampilan dalam penggunaan keahliaan secara spontan.412 Idealnya PAI tidak cukup diukur pada ranah kognitif namun juga ada pelibatan ranah afektif dan psikomotorik secara berimbang. Artinya bahwa mata kuliah PAI diharapkan

410

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.

411

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.

412


(3)

mampu diktualisasikan oleh mahasiswa sebagai wujud penghayatan sehinggap sehingga sikap, tutur kata, dan tingkah laku mahasiswa akan sejalan (paralel) dengan pengetahuan agama yang dia miliki. Oleh karena itu diharapkan mahasiswa tidak hanya cakap dalam berdiskusi dengan rasionalitasnya, mampu dalam penjelasan praktik ibadah serta hukum-hukum dalam agama, dan mampu dalam beretorika keagamaan saja. Melainkan mereka juga dituntut adanya konsistensi antara ucapan dengan perbuatan sebagaimana peringatan dalam al Quran dalam surat as Shaf yang terjemahnya adalah “wahai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? Allah murka kepada orang-orang yang mengatakan sesuatu tetapi tidak mau melakukannya.”413

4. Pelaksanaan Evaluasi Kognitif

Penilaian aspek kognitif yang dilakukan Dosen PAI UNP Kediri terhadap mahasiswa melalui kegiatan ujian tulis (UTS dan UAS), ujian lisan (tes pertanyaan), kualitas subtansi (konten) tugas kelompok maupuan tugas individu, dan penjelasan serta jawaban saat presentasi (kualitas dalam penganalisaan masalah). Semua bentuk kegiatan penilaian kognitif tersebut digunakan dalam jangka waktu berbeda untuk diketahui perkembangan pemahaman mahasiswa terhadap materi dan juga sebagai salah satu instrumen pengklarifikasian dari hasil metode penilaian yang lain. Salah satunya caranya adalah penilaian kemampuan mahasiswa dalam

413Nurcholish Madjid, “Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,” dalamDinamika

Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 38.


(4)

penganalisaan permasalahan sosial terkini yang ada pada koran sebagai pengklarifikasi dari hasil penilaian tugas pembuatan makalah.

Hal ini sebagaimana pendapat Kholidah bahwa pada domain kognitif pelaksanaan pembelajaran PAI dilakukan sampai pada tingkat analisis, sintesis, dan evaluasi. Sehingga mahasiswa punya kemampuan dalam pengambilan keputusan.414 Secara spesifik berdasarkan tujuan institusional pembelajaran PAI di PTU jika ditinjau dari aspek kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, dan pengertian tentang akidah dan syariah Islam (Q.S al-Tawbah: 122).415

E.Proposisi Penelitian

Proposisi adalah ekspresi tertulis dari putusan yang berisi pengakuan atau penolakan sesuatu (sebagai prediket) terhadap sesuatu lain (subjek) yang dapat dinilai benar atau salah.416 Dengan kata lain proposi merupakan penarikan gugusan-gugusan pernyataan sehingga terhubungnya sesuatu teori dengan kenyataan. Dari pernyataan tersebut setelah diadakan penelahaan dan setelah dilakukan analisis data pada pembahasan di bab ini maka proposisi dalam penelitian ini adalah:

1. Mana kala materi pokok antara dosen satu dengan dosen PAI yang satu dengan yang lain tidak disusun atau direncanakan secara bersama-sama maka akan terjadi perbedaan pandangan dalam pengembangan materi PAI antara dosen satu dengan dosen lain.

414

Kholidah,Implementasi Strategi Pembelajaran,” 56. 415

Anonim, dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 142.

416


(5)

2. Apabila materi PAI di perguruan tinggi umum dikembangakan sesuai dengan program studi maka bisa menumbuhkan semangat mahasiswa untuk mempelajari materi PAI.

3. Pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum mana kala tidak memperhatikan kondisi kontekstual masyarakat dan latar belakang serta kemampuan mahasiswa maka bisa menjadi penyebab sulitnya dosen dalam pencapaian tujuan pembelajaran PAI yang efektif.

4. Tugas pengelola kampus terhadap keberhasilan sistem pembelajaran PAI secaram umum adalah sebagai pembuat kebijakan mengenai kegiatan keagamaan di kampus dan pembentukan forum dosen PAI secara resmi. 5. Forum Dosen PAI di UNP Kediri apabila terbentuk dan berjalan dengan

efektif dan efisien maka akan bisa terwujud sistem pembelajaran PAI yang integral dengan mata kuliah lain, bisa menjadi wadah diskusi dosen PAI dalam merumuskan serta menyusun komponen sistem pembalajaran PAI (materi, kompetensi, strategi, dan evaluasi), menjadi wadah untuk saluran aspirasi atau interakis dosen PAI baik secara akademis maupun sosial dengan masyarakat kampus maupun yang di luar kampus.

6. Jika hanya dosen PAI yang diberi tanggung jawab untuk pencapaian kompetensi mahasiswa dari segi akhlak mulia secara utuh maka dibutuhkan keprofesionalan dosen.

7. Pelatihan-pelatihan bagi dosen PAI merupakan syarat untuk menimbulkan kepercayaan diri bagi dosen dalam pengembangan materi, strategi, dan evalusi pembelajaran PAI.


(6)

8. Walaupun ada dukungan secara sosial dari pengelola kampus tapi jika tidak ada peraturan tertulis secara formal yang mendukung sistem pembelajaran PAI maka pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum tidak berjalan efektif.

9. Mahasiswa Islam di perguruan tinggi umum yang berbentuk universitas adalah kumpulan manusia heterogen dan membutuhkan penanganan yang berbeda dengan mahasiswa di perguruan tinggi agama yang sangat homogen.