Perbandingan kadar sitokin interleukin-17 dalam serum antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris

(1)

PERBANDINGAN KADAR SITOKIN INTERLEUKIN-17 DALAM SERUM ANTARA PENDERITA DENGAN

BUKAN PENDERITA PSORIASIS VULGARIS

TESIS

VERA MADONNA LUMBAN TORUAN NIM : 097105010

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PERBANDINGAN KADAR SITOKIN INTERLEUKIN-17 DALAM SERUM ANTARA PENDERITA DENGAN

BUKAN PENDERITA PSORIASIS VULGARIS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam Program Magister Kedokteran Klinik

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

VERA MADONNA LUMBAN TORUAN NIM : 097105010

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Perbandingan kadar sitokin interleukin-17 dalam serum antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris

Nama : Vera Madonna Lumban Toruan

Nomor Induk : 097105010

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui :

Pembimbing I

(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K))

Pembimbing II

(Prof. Dr.dr. Irma D. Roesyanto, SpKK(K))

Ketua Program Studi

(Prof. dr. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SpA (K))

Dekan

(Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH)


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar

Nama : Vera Madonna Lumban Toruan NIM : 097105010


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat dan kemuliaan penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa yang Maha Pengasih, yang telah memampukan penulis dalam menyelesaikan seluruh rangkaian punyusunan tesis yang berjudul: “Perbandingan kadar sitokin Interleukin-17 dalam serum antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris” sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar magister kedokteran klinik Kulit dan Kelamin di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian tesis ini ada banyak pihak yang Tuhan telah kirimkan untuk membantu, memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Yang terhormat dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K), selaku pembimbing utama penulis, yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberi masukan dan koreksi kepada penulis selama proses penyusunan tesis ini dan juga sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan selama menjalani pendidikan sehari-hari.

2. Yang terhormat Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), selaku pembimbing kedua, yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberi masukan, koreksi dan dorongan semangat kepada penulis dan juga sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

4. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr.

Gontar A. Siregar, SpPD,KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Yang terhormat dr. Rointan Simanungkalit, SpKK(K), sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi atas penyempurnaan tesis ini.

6. Yang terhormat dr. Salia Lakswinar, SpKK, sebagai anggota tim penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi kepada saya dalam penyusunan tesis ini.


(6)

7. Yang terhormat dr. Mila Darmi, SpKK, sebagai anggota tim penguji yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi kepada saya dalam penyusunan tesis ini.

8. Yang terhormat para Guru Besar, Alm. Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

9. Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan dan Direktur

RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.

10. Yang terhormat Drs. Abdul Jalil Amra, M.Kes, dan dr. Surya dharma, MPH selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, yang telah banyak membantu penulis dalam hal metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian ini.

11. Yang terhormat seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini. 12. Yang terhormat semua pasien Psoriasis vulgaris yang telah terlibat dalam

penellitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

13. Yang terhormat Bapak rektor dan dekan fakultas kedokteran Universitas

Mulawarman yang telah mengijinkan saya melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara.

14. Yang tercinta Ayahanda T. Lumban Toruan dan Ibunda S. Tambunan, yang dengan penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengasuh, mendidik, dan membesarkan penulis. Tiada ungkapan yang mampu melukiskan betapa bersyukurnya saya mempunyai kedua orangtua seperti kalian. Kiranya hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang dapat membalas segala kebaikan kalian.

15. Yang terkasih Kakak-kakak saya, terima kasih atas doa, dukungan dan semua bantuan yang telah kalian berikan kepada saya selama ini.

16. Yang terkasih suamiku dr. Suherman Tambunan, M.Ked. Neu, terima kasih untuk segala dukungan moril dan materil, perhatian, kebersamaan kita selama ini. Doa dan semangat darimu merupakan salah satu sumber kekuatan saya dalam menjalani suka duka masa pendidikan ini.

17. Teristimewa kepada anak-anakku tersayang, Naomi Christy Natasha dan

Deandra Audrey Philia yang telah menjadi motivasi dan inspirasi saya dalam penyelesaian tesis ini.

18. Yang terhormat seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu atas segala bantuan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.


(7)

19. Kepada seluruh staf Laboratorium Prodia Medan, yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, dan kemudahan kepada saya untuk melaksanakan penelitian.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya untuk menyampaikan

permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan atau kekhilafan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama menjalani masa pendidikan ini.

Dan akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, saya panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, agar kiranya berkenan untuk memberkati dan melindungi kita sekalian. Amin.

Medan, Juni 2014 Penulis

dr. Vera Madonna Lumban Toruan, M.Kes


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... ... 1

I.2 Rumusan Masalah ... 6

I.3 Hipotesis ... 6

I.4 Tujuan Penelitian ... 6

I.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA II.1 Epidemiologi Psoriasis vulgaris ... 8

II.2 Etiologi dan Patogenesis Psoriasis vulgaris ... 9

II.3 Gambaran Klinis Psoriasis vulgaris ... 13

II.4 Imunopatogenesis Sel Th17 pada Psoriasis vulgaris ... 15

II.4.1 Sel Th17 dan sitokin IL-17 pada psoriasis vulgaris ... 16

II.5 Kerangka Teori ... 19

II.6 Kerangka Konsep. ... 20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN III.1 Desain Penelitian ... 21

III.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

III.3 Populasi Penelitian ... 21

III.4 Besar Sampel ... 23

III.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian ... 24

III.6 Identifikasi Variabel ... 24

III.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 24

III.7.1 Kelompok sampel ... 24

III.7.2 Kelompok kontrol ... 25

III.8 Alat, bahan, dan cara kerja ... 26

III.8.1 Alat dan bahan ... 26

III.8.2 Cara kerja ... 27

III.9 Definisi Operasional ... 30

III.10 Pengolahan dan Analisis Data ... 34

III.11 Ethical Clearance ... 34

III.12 Kerangka Operasional ... 35


(9)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 36

IV.2 Perbandingan Kadar Sitokin IL-17 dalam Serum antara Penderita Psoriasis vulgaris dengan Bukan Penderita ... 42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ... 45

V.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian ... 37 Tabel 4.2. Distribusi subjek penelitian berdasarkan durasi penyakit ... 41 Tabel 4.3. Perbandingan nilai rerata kadar IL-17 ... ... 42


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Judul

Lampiran 1. Naskah penjelasan kepada peserta penelitian ... 50

Lampiran 2. Persetujuan ikut serta dalam penelitian ... 52

Lampiran 3. Status penelitian ... 53

Lampiran 4. Data penelitian ... 56

Lampiran 5.Hasil uji statistik ... 58

Lampiran 6. Lembar persetujuan komisi etik ... 60

Lampiran 7.Daftar riwayat hidup ... 61


(12)

DAFTAR SINGKATAN

CD : Clusters of Differentiation

CRP : C-reactive protein

GMCSF : Granulocyte Macrophage Stimulating Factor

HLA : Human Leucocyte Antigen

ICAM : Intercellular Adhesion Molecule

IFN : Interferon

Ig : Imunoglobulin

IL : Interleukin

IRF :Interferon Regulatory Factor

LFA : Leucocyte Factor Activating

MHC : Major Histocompatibility Complex

NK : Natural Killer

NOS : Nitric Oxide Synthase

PASI : Psoriasis Area and Severity Index

ROR : Retinoid Acid Receptor-Related Orphan Receptor

STAT : Signal Transducer and Activator of Transcription

TGF : Tumor Growth Factor

TLR : Toll Like Receptor


(13)

ABSTRAK

Latar belakang : Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis

yang dipertimbangkan diperantarai oleh suatu kelompok sel Thelper yang disebut Thelper-17 melalui sekresi sitokin Interleukin-17 (IL-17). Perkembangan pemahaman mengenai psoriasis vulgaris akhir-akhir ini menunjukkan bahwa regulasi sitokin lokal dan sistemik memainkan peran penting dalam patogenesisnya.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum pada

penderita dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.

Metode : Penelitian bersifat analitik dengan rancangan potong lintang. Dua puluh

lima orang penderita psoriasis vulgaris yang datang ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik dan 25 orang yang bukan penderita dan tidak mempunyai riwayat keluarga psoriasis vulgaris sebagai kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Terhadap subjek penelitian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Kadar interleukin-17 (IL-17) dalam serum diukur dengan menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

Hasil : Kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris lebih tinggi secara

signifikan daripada kontrol ( kontrol: Mean ± SD = 5,365 ± 0,694 ; penderita : Mean ± SD = 9,806 ± 2,202; p<0,001).

Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar sitokin IL-17

dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.


(14)

ABSTRACT

Background: Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disease that is

thought to be mediated by a type of T helper cell, called Th17 cells with the secretion of interleukin-17 (IL-17) cytokine. Recent progress in the understanding of psoriasis vulgaris has shown that the regulation of local and systemic cytokines plays an important role in its pathogenesis.

Objective: To evaluate the comparison of serum level of IL-17 cytokine

between psoriasis vulgaris patients and controls.

Method: This is a cross sectional analytic study. Twenty five patients with

psoriasis vulgaris who came to the outpatient clinic of Dermatology and Venereology Departement Haji Adam Malik Hospital and 25 individuals with no psoriasis vulgaris and no family history enrolled to this study. History taking and clinical examination were performed. Serum Interleukin-17 level were measured with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method.

Result: Serum level of IL-17 in the psoriasis vulgaris patients were significantly

higher than those of controls ( controls: Mean ± SD= 5,365 ± 0,694 ; patients: Mean ± SD= 9,806 ± 2,202; p<0,001).

Conclusion: There is a significant difference of cytokine IL-17 serum level

between psoriasis vulgaris patients and controls.

Key words: Psoriasis vulgaris, IL-17


(15)

ABSTRAK

Latar belakang : Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis

yang dipertimbangkan diperantarai oleh suatu kelompok sel Thelper yang disebut Thelper-17 melalui sekresi sitokin Interleukin-17 (IL-17). Perkembangan pemahaman mengenai psoriasis vulgaris akhir-akhir ini menunjukkan bahwa regulasi sitokin lokal dan sistemik memainkan peran penting dalam patogenesisnya.

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum pada

penderita dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.

Metode : Penelitian bersifat analitik dengan rancangan potong lintang. Dua puluh

lima orang penderita psoriasis vulgaris yang datang ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik dan 25 orang yang bukan penderita dan tidak mempunyai riwayat keluarga psoriasis vulgaris sebagai kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Terhadap subjek penelitian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Kadar interleukin-17 (IL-17) dalam serum diukur dengan menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

Hasil : Kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris lebih tinggi secara

signifikan daripada kontrol ( kontrol: Mean ± SD = 5,365 ± 0,694 ; penderita : Mean ± SD = 9,806 ± 2,202; p<0,001).

Kesimpulan : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar sitokin IL-17

dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.


(16)

ABSTRACT

Background: Psoriasis vulgaris is a chronic inflammatory skin disease that is

thought to be mediated by a type of T helper cell, called Th17 cells with the secretion of interleukin-17 (IL-17) cytokine. Recent progress in the understanding of psoriasis vulgaris has shown that the regulation of local and systemic cytokines plays an important role in its pathogenesis.

Objective: To evaluate the comparison of serum level of IL-17 cytokine

between psoriasis vulgaris patients and controls.

Method: This is a cross sectional analytic study. Twenty five patients with

psoriasis vulgaris who came to the outpatient clinic of Dermatology and Venereology Departement Haji Adam Malik Hospital and 25 individuals with no psoriasis vulgaris and no family history enrolled to this study. History taking and clinical examination were performed. Serum Interleukin-17 level were measured with enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method.

Result: Serum level of IL-17 in the psoriasis vulgaris patients were significantly

higher than those of controls ( controls: Mean ± SD= 5,365 ± 0,694 ; patients: Mean ± SD= 9,806 ± 2,202; p<0,001).

Conclusion: There is a significant difference of cytokine IL-17 serum level

between psoriasis vulgaris patients and controls.

Key words: Psoriasis vulgaris, IL-17


(17)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang khas ditandai dengan plak berbatas tegas yang disertai dengan skuama tebal berwarna keputihan. Lesi kulit psoriasis vulgaris terdistribusi secara simetris dengan predileksi utama di daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia.1

Etiologi pasti psoriasis vulgaris sampai saat ini belum diketahui. Penyakit ini bersifat kompleks dan belum dimengerti sepenuhnya. Peran dari sistem imun, faktor genetik serta kombinasi faktor-faktor lingkungan dan psikis dikaitkan dengan penyakit ini. Aktivasi sel limfosit T menjadi dasar proses inflamasi pada penyakit ini dan hiperproliferasi keratinosit merupakan kejadian inflamasi berikutnya yang mengikuti respon imun.

1

Psoriasis vulgaris menjadi masalah dalam bidang kesehatan. Selain manifestasi kulit yang signifikan juga dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita. Sifat kronisitas penyakit ini juga dapat berdampak pada sektor ekonomi baik bagi pasien, keluarga maupun sistem kesehatan nasional. Prevalensi penyakit ini bervariasi secara geografis. Studi epidemiologi di beberapa negara di dunia memperkirakan prevalensi penyakit ini berkisar 0,6-4,8%.

2

Data pasti untuk penyakit ini di Indonesia belum ada. Dari data rekam medik Rumah Sakit Umum


(18)

Pusat Haji Adam Malik-Medan periode Januari hingga Desember 2011 dari total 5.644 orang yang datang berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 46 pasien (0,81%) diantaranya didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris. Dari jumlah tersebut 25 pasien (54,3 %) berjenis kelamin pria dan 21 pasien (45,6 %) berjenis kelamin wanita. Data rekam medis RSUP H. Adam Malik tahun periode Januari hingga Desember 2012 dari total 5342 orang yang datang berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 36 pasien (0,67%) didiagnosis sebagai psoriasis vulgaris. Dari jumlah tersebut 22 pasien (61,1%) adalah laki-laki dan 14 pasien (38,9%) adalah perempuan.

Psoriasis vulgaris telah diyakini merupakan penyakit inflamasi yang diperantarai oleh sistem imun. Sejak tahun 1983 berkembang pendapat bahwa sel T terlibat dalam patogenesis penyakit ini. Penelitian di bidang imunologi mengamati adanya peningkatan sel T di epidermis penderita pada saat eksaserbasi penyakit dan pada saat resolusi terjadi penurunan jumlah sel T. 3

Sitokin berperan penting dalam patogenesis yang berkaitan dengan sistem imun pada penyakit ini. Sel T Clusters of Differentiation Antigen (CD)4

+ dan CD8+ dari epidermis dan dermis psoriasis vulgaris memproduksi sitokin-sitokin IFN-γ dan Interleukin-12 (IL-12). Beberapa penelitian terdahulu telah melaporkan peningkatan kadar sitokin-sitokin Interferon gamma (IFN-γ) yang diproduksi oleh sel Th1 dan Tumor Necrosis Factor Alfa (TNF-α) yang diproduksi oleh beberapa jenis sel pada serum maupun lesi kulit penderita psoriasis vulgaris. Berdasarkan pengamatan tersebut maka diyakini bahwa psoriasis vulgaris


(19)

merupakan penyakit yang diperantarai oleh sel Thelper1 (Th1).4 Gudjonsson dan kawan-kawan (2004) pada tulisannya mengenai mekanisme imunopatogenesis psoriasis vulgaris memaparkan peran dari sitokin-sitokin Th1. Interferon γ dan TNF-α yang dapat menginduksi hiperproliferasi keratinosit dikatakan merupakan sitokin predominan pada lesi psoriasis vulgaris.3 Penelitian oleh Almakhzangy dan Gaballa (2009) menemukan adanya peningkatan kadar IFN-γ yang signifikan dalam serum penderita psoriasis vulgaris dibandingkan dengan individu normal.5 Ragab dkk. (2010) pada penelitiannya terhadap 40 orang penderita psoriasis vulgaris di rumah sakit Kairo, Mesir melaporkan peningkatan kadar sitokin

TNF-α yang signifikan pada serum pasien psoriasis vulgaris dibandingkan dengan individu sehat.6 Dari hasil-hasil penelitian tersebut diasumsikan bahwa kehadiran IFN-γ oleh sel Th1 dan juga TNF-α adalah sebagai mediator utama dalam patogenesis inflamasi pada penyakit ini.

Berkembangnya pengetahuan di bidang imunologi mendorong para ilmuwan untuk terus meneliti patogenesis dari psoriasis vulgaris. Penemuan suatu kelompok sel Th baru yang kemudian diidentifikasi sebagai sel Th17 pada tahun 2005 telah membuka wawasan baru pada patogenesis penyakit ini. Kelompok sel Th17 ini memproduksi sitokin-sitokin yang berbeda dari yang diproduksi oleh sel Th1 maupun sel Th2 yaitu sitokin IL-17, IL-17F, IL-22 dan IL-21.

3,4,6

7

Beberapa penelitian telah melaporkan peranan sel Th17 pada beberapa penyakit autoimun lain yaitu penyakit Graves, sklerosis sistemik dan penyakit Addisons, dan dikatakan bahwa proses inflamasi pada penyakit-penyakit autoimun tersebut diperantarai oleh sitokin IL-17.8


(20)

Jalur sel Th17 pada patogenesis psoriasis vulgaris telah dicoba diteliti oleh

beberapa ilmuwan. Lowes dkk. (2008) pada tulisannya mengenai

imunopatogenesis psoriasis vulgaris menyatakan bahwa pada dermis penderita psoriasis vulgaris dijumpai lebih banyak sel Th17 dibandingkan kulit normal.4 Penelitian yang dilakukan oleh Ortega dkk. (2009) yang mengambil spesimen dari biopsi lesi kulit 11 orang penderita psoriasis vulgaris menunjukkan bahwa sel T yang memproduksi IL-17 terdapat dalam jumlah yang lebih besar pada plak psoriasis vulgaris dibandingkan pada donor sehat.9

Pemahaman mengenai mekanisme imunologis yang terlibat pada psoriasis vulgaris sangat penting, dimana hal ini dapat menjadi dasar dalam penatalaksanaan penyakit tersebut. Diperlukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan eksaserbasi dan memperburuk keadaan penyakit ini. Penemuan kelompok sel Th17 dengan sekresi sitokin IL-17 telah memberi wawasan baru dalam perkembangan pengetahuan mengenai penyakit ini, namun penelitian mengenai hal ini masih sangat sedikit.

Hasil ini menunjukkan bahwa proses inflamasi pada psoriasis vulgaris tidak hanya diperantarai oleh Th1 tetapi kemungkinan terdapat juga peran dari jalur sel Th17.

Psoriasis vulgaris bukanlah penyakit yang hanya terbatas pada kulit. Keterlibatan sistemik dapat dijumpai pada penyakit ini. Mekanisme pasti bagaimana keadaan tersebut terjadi belum dapat dijelaskan, namun diduga berhubungan dengan keberadaan faktor-faktor pro inflamasi yang beredar di sirkulasi. 10 Beberapa studi telah melaporkan adanya peningkatan sitokin-sitokin pro inflamasi pada sirkulasi penderita psoriasis vulgaris. Keberadaan


(21)

sitokin-sitokin ini selain dapat memperburuk lesi kulit juga menimbulkan komplikasi sistemik pada penyakit ini.5,6,11 Penelitian yang mencari perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dibandingkan dengan yang bukan penderita sampai saat ini masih sedikit. Arican dkk. (2005) dalam penelitiannya melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dibandingkan dengan individu sehat, namun terdapat hubungan kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan derajat keparahan penyakitnya yang dinilai dengan skor Psoriasis Area and Severity

Index (PASI).11 Berlawanan dengan itu, berdasarkan hasil penelitiannya

Almakhzangy dan Gaballa (2009) telah melaporkan terdapat peningkatan kadar sitokin IL-17 yang bermakna dalam serum penderita psoriasis dibandingkan dengan kontrol sehat, dan terdapat hubungan yang bermakna antara kadar IL-17 dalam serum dengan skor PASI.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada beberapa penelitian sebelumnya mengenai kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris belum menunjukkan hasil yang konsisten. Di Indonesia hingga saat ini belum pernah dilaporkan penelitian yang membandingkan kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menilai perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.


(22)

I.2 Rumusan Masalah

I.2.1 Apakah terdapat perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris ?

I.3 Hipotesis

I.3.1. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris.

I.4 Tujuan Penelitian

I.4.1 Tujuan umum :

Untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dengan bukan penderita psoriasis vulgaris.

I.4.2 Tujuan khusus :

a. Mengetahui kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris.

b. Mengetahui kadar sitokin IL-17 dalam serum bukan penderita psoriasis vulgaris.

c. Mengetahui karakteristik penderita psoriasis vulgaris di RSUP. H. Adam Malik Medan.


(23)

I.5 Manfaat Penelitian

I.5.1 Dalam bidang akademik:

Menambah pengetahuan mengenai perkembangan patogenesis psoriasis vulgaris.

I.5.2 Dalam pelayanan masyarakat:

Menjadi masukan bagi pengembangan wawasan masyarakat mengenai psoriasis vulgaris.

I.5.3 Dalam pengembangan penelitian:

Sebagai data dasar bagi penelitian mengenai psoriasis vulgaris selanjutnya.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh sisik tebal berwarna keperakan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia 12

II.1 Epidemiologi Psoriasis vulgaris

Psoriasis vulgaris adalah salah satu penyakit kulit yang cukup sering dijumpai. Prevalensi psoriasis vulgaris bervariasi tergantung pada etnis dan geografis. Psoriasis vulgaris banyak terjadi pada keturunan Kaukasian dengan perkiraan insidensi 60 kasus per 100.000/tahun. Di Amerika Serikat prevalensi penyakit ini 2-4%. Di China prevalensi penyakit ini sekitar 0,3%, sementara di Eropa Utara adalah 1,5-3%.

Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis vulgaris berdasarkan wilayah geografis dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik dimana dikatakan bahwa psoriasis lebih sering ditemukan pada daerah beriklim dingin. Selain itu faktor genetik, dan pola tingkah laku atau paparan lainnya juga berpengaruh terhadap insidensi psoriasis vulgaris.

13

Penyakit ini dapat menyerang pria maupun wanita. 2

Beberapa pengamatan menunjukkan bahwa psoriasis vulgaris sedikit lebih sering terjadi pada pria


(25)

dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang meneliti pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa pada pasien yang berusia lebih muda (<20 tahun) prevalensi psoriasis vulgaris ditemukan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.

Psoriasis vulgaris dapat mengenai semua usia walaupun jarang terjadi pada usia dibawah 10 tahun. Penelitian mengenai onset usia psoriasis vulgaris mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam medis yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Kebanyakan kasus terjadi padausia 15-30 tahun, dan 75% kasus terjadi sebelum usia 46 tahun. Penelitian studi prevalensi psoriasis vulgaris di Spanyol, Inggris dan Norwegia menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi psoriasis vulgaris dengan meningkatnya usia.

13

14

II.2 Etiologi dan Patogenesis Psoriasis vulgaris

Etiologi pasti psoriasis vulgaris sampai saat ini belum diketahui, namun mekanisme genetik, metabolik dan imunologis diduga berperan dalam patogenesisnya dikombinasi dengan faktor-faktor pencetus seperti trauma, infeksi, hormon, alkohol, merokok, stres atau obat-obatan.

Saat ini psoriasis vulgaris telah dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis vulgaris melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Dijumpainya aktivitas sel-sel imun pada


(26)

pasien psoriasis vulgaris mendukung peranan patogenesis tersebut. Penemuan ini meliputi peningkatan sel dendritik dan sel T pada lesi kulit psoriasis vulgaris, peningkatan sitokin-sitokin produk sel T dan dijumpainya efektifitas terapi dari obat-obat yang menargetkan sistem imun. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel diduga terlibat dalam jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit.

Aktivasi sel T, hiperproliferasi keratinosit, peningkatan angiogenesis dan pelepasan mediator-mediator sitokin merupakan hal-hal yang berperan pada imunopatogenesis psoriasis vulgaris. Aktivasi sel T melibatkan 3 tahap yaitu pengikatan sel T melalui molekul adhesi Leucocyte Activating Factor (LFA)-1 dan Cluster differentiation(CD)2 dengan sel penyaji antigen melalui molekul Intercellular Adhesion Molecule (ICAM)-1 dan LFA-3, diferensiasi sel Tnaive menjadi sel T spesifik yang juga membentuk sel T memori yang bersirkulasi, dan interaksi sel T dengan peptida antigen melalui molekul ko-stimulator.

10,15,16

Antigen yang menjadi pencetus aktivasi sel T pada psoriasis vulgaris sampai sekarang belum dapat dipastikan, sekalipun beberapa faktor telah diketahui dapat mencetuskan reaktivasi penyakit ini. Meskipun dinyatakan sebagai penyakit autoimun namun sampai saat ini belum ada autoantigen pasti yang telah diidentifikasi yang terlibat dalam proses inflamasi pada penyakit ini. Diduga komponen-komponen epidermis seperti keratin dapat menjadi kandidat antigen.

4,17,18

10

Stimulus terhadap aktivasi sistem imun pada psoriasis vulgaris dapat berupa sinyal-sinyal bahaya seperti faktor ekstrinsik berupa patogen eksternal


(27)

atau faktor intrinsik yang berasal dari tubuh seperti heat-shock protein ataupun dapat juga obat-obatan seperti lithium dan β-blocker.17,19

Sel penyaji antigen pada epidermis dan dermis teraktivasi dan selanjutnya mengalami pematangan yang ditandai dengan peningkatan ekspresi reseptor permukaan CD80, CD86, CD40 dan ICAM1. Sel penyaji antigen yang teraktivasi kemudian bermigrasi melalui pembuluh limfa ke nodus limfatikus, kemudian akan mengaktivasi sel Tnaive CD4

+

atau CD8+. Kejadian ini memerlukan penyajian sel penyaji antigen kepada molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas I ataupun MHC kelas II, diikuti oleh molekul ko-stimulator. Molekul CD28 pada sel T merupakan molekul ko-stimulator yang penting yang berikatan dengan reseptor CD80 dan CD86 pada permukaan sel penyaji antigen. Molekul ko-stimulator lain pada sel T termasuk LFA-1 yang berikatan dengan ICAM-1 pada sel penyaji antigen, dan CD2 pada sel T yang berikatan dengan CD40 pada sel penyaji antigen. Begitu molekul-molekul ko-stimulator tersebut berinteraksi, sel Tnaive akan berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel T memori yang akan menginduksi ekspresi CD2, IL-2 dan IL-2Receptor, yang berperan dalam proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi kemudian berdifrensiasi oleh induksi dari sitokin IL12 menjadi sel Th1 yang menghasilkan sitokin IL-2, TNF-α, dan IFN-γ.

Pada psoriasis vulgaris terjadi hiperproliferasi keratinosit dimana siklus sel pada keratinosit memendek. Proses maturasi dan pelepasan keratinosit pada epidermis normal terjadi dalam 311 jam, sementara pada psoriasis vulgaris memendek menjadi 36 jam. Rasio keratinosit proliferasi dengan yang tidak berproliferasi pada kulit normal adalah sekitar 60%, sementara pada psoriasis 1


(28)

vulgaris hampir 100%.3 Faktor-faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh berbagai sel berperan dalam peningkatan proliferasi ini. Hiperproliferasi keratinosit distimulasi oleh sitokin-sitokin yang dilepas oleh limfosit T dan sel keratinosit. Keratinosit memproduksi IL-6, IL-8, Tumor Growth Factor (TGF)-α, TGF-β dan amphiregulin. TGF-α dan amphiregulin bekerja menstimulasi hiperproliferasi keratinosit. Sitokin IL-8 selain bekerja menstimulasi proliferasi keratinosit juga sebagai kemoatraktan terhadap netrofil.

Selama ini psoriasis vulgaris dipertimbangkan oleh para ahli sebagai suatu penyakit inflamasi yang diperantarai oleh sel Th1, ditandai dengan sekresi sitokin TNF-α dan IFN-γ. Namun akhir-akhir ini berkembang dugaan bahwa suatu sub populasi sel Th17 juga turut berperan pada penyakit ini.

10,19

4,5

Lowes dkk. (2008) pada penelitiannya melaporkan adanya peninggian sel Th17 pada dermis pasien psoriasis vulgaris dibandingkan dengan kulit normal.4 Almakhzangy dan Gaballa (2009) menemukan peningkatan kadar IL-17 yang diproduksi oleh sel Th17 pada serum penderita psoriasis vulgaris, dan peninggian kadar sitokin tersebut berhubungan dengan derajat keparahan penyakit yang diukur dengan skor PASI.5

Keterlibatan genetik pada psoriasis vulgaris telah banyak diteliti. Adanya hubungan keluarga yang positif dijumpai pada 40% pasien. Bila kedua orangtua menderita psoriasis vulgaris maka kemungkinan 50% dari keturunannya akan menderita penyakit yang serupa, bila hanya salah satu dari orangtuanya yang menderita psoriasis vulgaris maka kemungkinan 16% dari keturunannya akan menderita penyakit tersebut.

2

Beberapa alel Human Leucocyte Antigen (HLA) dilaporkan berhubungan dengan psoriasis vulgaris yaitu HLA-B13, HLA-B37,


(29)

HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cw1, HLA-Cw6, HLA-DR7 dan HLA-DQ9.12 Saat ini telah ditemukan 9 lokus kromosom yang berhubungan dengan psoriasis vulgaris yaitu PSORS1-9. PSORS-1 merupakan kromosom utama yang berperan pada psoriasis vulgaris, sekalipun gen yang pasti belum dapat diidentifikasi.2,14

II.3 Gambaran Klinis Psoriasis vulgaris

Lesi klasik psoriasis vulgaris adalah adanya penebalan kulit yang eritem berbatas tegas ditutupi oleh sisik putih berlapis-lapis. Ukuran lesi dapat bervariasi dari yang kecil sampai plak besar yang dapat menutupi sebagian besar tubuh.

Lesi kulit pada psoriasis vulgaris umumnya terjadi secara simetris, walaupun dapat terjadi secara unilateral. Dibawah skuama akan tampak kulit berwarna kemerahan mengkilat dan tampak bintik-bintik perdarahan pada saat skuama diangkat. Hal ini disebut dengan tanda Auspitz. Penggoresan sisik utuh dengan mengggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih putih seperti tetesan lilin yang disebut fenomena tetesan lilin. Pada psoriasis vulgaris dapat dijumpai fenomena Koebner yaitu induksi lesi oleh trauma yang terjadi pada daerah yang tidak terdapat lesi. Reaksi Koebner biasanya terjadi 7-14 hari setelah trauma. Namun demikian fenomena Koebner bukanlah tanda spesifik untuk psoriasis vulgaris.

12

Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe klinis dari psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe psoriasis yang paling sering terjadi, berupa plak kemerahan berbentuk oval atau bulat, berbatas


(30)

tegas, dengan skuama berwarna keputihan. Lesi biasanya terdistribusi secara simetris pada ekstensor ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genital. Bentuk psoriasis gutata ditandai dengan erupsi papul-papul kecil dengan lokasi lesi di badan bagian atas dan ekstremitas proksimal. Bentuk ini biasa dijumpai pada usia muda. Bentuk psoriasis plak kecil secara klinis serupa dengan psoriasis gutata, namun dapat dibedakan dari onset penyakit yang terjadi pada usia dewasa, kronisitas, dan ukuran lesi yang relatif lebih besar, lebih tebal dan lebih bersisik daripada bentuk gutata. Bentuk inversa ditandai dengan lokasi lesi di daerah lipatan kulit seperti aksila, regio genitokrural dan leher. Sisik biasanya lebih tipis dengan eritema berbatas tegas yang lebih menonjol. Bentuk eritroderma adalah bentuk generalisata dari penyakit ini yang mengenai hampir keseluruhan tubuh termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstemitas dimana eritema menjadi gejala yang menonjol. Pada pasien psoriasis dengan eritroderma dapat terjadi hipotermia disebabkan vasodilatasi yang menyeluruh. Sebopsoriasis merupakan bentuk psoriasis yang ditandai dengan plak eritema dengan sisik keabuan di lokasi seboroik misalnya kulit kepala, glabella, lipatan nasolabial, area perioral dan presternal dan area intertriginosa, dimana secara klinis bentuk ini sulit dibedakan dari dermatitis seboroik. Psoriasis popok diawali antara usia 3 dan 6 bulan dan pertama kali muncul pada area popok. Bentuk psoriasis ini cenderung menghilang setelah usia 1 tahun.12,19,20


(31)

II.4 Imunopatogenesis Sel Th17 pada Psoriasis vulgaris

Tahun 1986, Mosmann dan Coffman memperkenalkan konsep kelompok sel T helper (Th) yang dibedakan berdasarkan jenis sitokin yang diproduksi saat sel tersebut distimulasi dan kemudian berdiferensiasi. Kelompok sel Th tersebut adalah sel Th1 dan sel Th2. Sel Th1 memproduksi Interferon-γ dalam jumlah yang besar, menginduksi reaksi hipersensitivitas lambat, mengaktivasi makrofag, dan penting dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen intraseluler. Sel Th2 terutama memproduksi IL-4, IL-5 dan IL-13 dan penting dalam menginduksi produksi imonoglobulin (Ig)E, merekrut netrofil ke lokasi inflamasi, dan penting dalam mekanisme pertahanan terhadap infeksi parasit.

Pada tahun 2005 telah ditemukan kelompok sel Th yang berbeda dari kedua kelompok sel Th sebelumnya yang disebut sel Th17. Mekanisme induksi dan fungsi efektor dari sel Th17 belum sepenuhnya dipahami. Terminologi Th17 didasarkan atas produksi sitokin IL-17 yang merupakan sitokin utama sel Th17.

21,22

23,24

II.4.1 Sel Th17 dan sitokin interleukin-17 pada psoriasis vulgaris

Sel Th17 adalah suatu kelompok sel Thelper CD4+, yang pertama kali dideskripsikan oleh para ahli pada tahun 2005. Diferensiasi sel Tnaive menjadi sel Th17 memerlukan sitokin-sitokin lain meliputi TGF-β, IL-1β, IL-6, IL-21 dan IL-23. Ligasi dari sel Toll like receptor (TLR)-3, TLR4 ataupun TLR9 dapat menginduksi sekresi TGF-β dan IL-6 yang selanjutnya mendukung diferensiasi sel Tnaive menjadi sel Th17. TGF-β dapat mencegah diferensiasi sel Th1 dan sel


(32)

Th2 dengan menekan ekspresi STAT4 dan GATA-3, sehingga mengijinkan terjadinya diferensiasi sel Th17. TGF-β dan IL-6 berperan dalam promotor ekspresi IL-21R dan IL-23R melalui suatu mekanisme yang melibatkan RORγT. Selanjutnya, ekspresi IL-21 oleh sel Th17 berperan sebagai promotor diferensiasi sel Th17, sementara peningkatan ekspresi IL-23R yang berasal dari aktivasi sel T dan perkembangan sel Th17 mengijinkan sinyal IL-23 untuk memelihara aktivitas Th17.

Sitokin IL-12 mempunyai sub unit p35 dan p40. Protein lainnya yaitu p19 bergabung dengan sub unit p40 untuk membentuk 23, sehingga 12 dan IL-23 berbagi sub unit yang sama yaitu p40, namun masing-masing memiliki sub unit sendiri yaitu p35 untuk IL-12 dan p19 untuk IL-23

25,26

Penelitian laboratorium sebelumnya telah membuktikan bahwa sel Th17 bersifat antagonis terhadap sel T regulator. Sel T regulator adalah kelompok sel T yang berperan untuk mengatur respon imun sehingga dapat memelihara toleransi terhadap self antigen. Penekanan terhadap fungsi sel T regulator dapat memicu terjadinya penyakit-penyakit autoimun.

8,27

Sitokin IL-17 merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel Th17. Gen yang mengkode IL-17 ditemukan pada tahun 1993 pada limfosit T tikus. Reseptor terhadap IL-17,yaitu IL-17RA diekspresikan pada sel epitel, sel T dan sel B, fibroblas dan sel monosit. Efek sitokin IL-17 pada inflamasi adalah perekrutan dan aktivasi netrofil, meningkatkan angiogenesis, aktivasi keratinosit untuk mengekspresikan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMCSF), IL-6, komplemen, C-Reactive Protein (CRP), dan molekul-molekul kemokin


(33)

CCL-20 dan molekul adhesi intraseluler (ICAM)-1 yang mana hal-hal tersebut merupakan kejadian yang dijumpai pada inflamasi psoriasis. Sitokin IL-17 juga

meningkatkan ekspresi beberapa gen peptida anti mikroba seperti β-defensin yang

merupakan anti mikroba yang terdapat di kulit. Molekul β-defensin juga memiliki efek kemotaktik dan dapat memperantarai perekrutan sel dendritik ke lokasi inflamasi.

Keterlibatan jalur inflamasi sel Th17 dalam psoriasis mulai diteliti sejak ditemukannya keterlibatan jalur ini pada penyakit autoimun lain. Telah dilaporkan terdapat peningkatan ekspresi sitokin IL-17 pada pasien-pasien dengan penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis multipel, penyakit Addison dan penyakit Graves.

28-30

8,31

Peran sitokin IL-17 pada patogenesis psoriasis vulgaris juga mulai dipertimbangkan sejak ditemukan peningkatan ekspresi RORC, IL-6, IL-1β dan IL-23 pada kulit psoriasis vulgaris dibandingkan dengan kulit dari individu sehat.

Menurut Miossec dkk. (2009), respon sel Th17 yang tidak terkontrol dan produksi berlebihan dari sitokin IL-17 oleh sel T berhubungan dengan inflamasi kronis dan kondisi imunopatologis berat.

7,32

21

Sitokin IL-17 menstimulasi fibroblas, sel endotel, makrofag dan sel epitel untuk memproduksi mediator-mediator pro inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α, NOS-2, metalloprotease dan kemokin yang semuanya akan menginduksi inflamasi.

Telah diketahui bahwa IL-23 terdiri dari sub unit p40 dan sub unit p19. Beberapa studi menunjukkan bahwa subunit p40 dan subunit p19 diekspresikan


(34)

dengan kadar tinggi pada monosit dan sel dendritik lesi kulit psoriasis. Sitokin IL-23 berperan dalam proliferasi sel Th17.7,35,36

Studi-studi sebelumnya melaporkan peningkatan kadar sitokin IL-17 pada penderita psoriasis vulgaris. Menurut Meier dan Sheth (2009), jalur Th17 berperan dalam menjaga kelangsungan proses inflamasi pada psoriasis. Proliferasi sel Th17CD4+ diinduksi oleh IL-23 yang disekresi oleh sel dendritik, yang kemudian mensekresi IL-17 yang memberi kontribusi pada peningkatan inflamasi dan proliferasi epidermis.37 Almakhzangy dan Gaballa (2009) pada penelitiannya melaporkan adanya peran dari IL-17 baik lokal maupun sistemik dalam menimbulkan lesi psoriasis vulgaris.5 Luo dkk. (2012) melaporkan peningkatan kadar sitokin IL-17 pada serum penderita psoriasis vulgaris yang dibandingkan dengan individu sehat.38


(35)

II.5 Kerangka Teori

Antigen

Sel Dendritik

Th17

IL-17

Psoriasis vulgaris

Kemokin CCL-20 IL-6, IL-8, TNF-α Komplemen CRP

Rekrut netrofil dan makrofag Angiogenesis

Molekul adhesi ICAM-1 Aktivasi keratinosit

Genetik Lingkungan:

Trauma Infeksi Hormon Alkohol Merokok Stres

Obat-obatan

Sel Tnaive

Koloni sel Th17 IL-23

IL-6 TGF-β


(36)

II.6 Kerangka Konsep

Dari landasan teori yang telah diuraikan dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

IL-17

Psoriasis vulgaris

(+)

Psoriasis vulgaris

(-)

Perbedaan kadar

dalam serum


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional).

III.2 Waktu dan Tempat Penelitian

1. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2012 sampai Januari 2014, bertempat di Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi Alergi dan Imunologi RSUP. H. Adam Malik Medan. 2. Pengambilan sampel darah dilakukan di Laboratorium klinik Prodia

cabang Medan. Sampel darah kemudian dikirim ke Laboratorium klinik Prodia Pusat di Jakarta untuk pemeriksaan kadar sitokin IL-17 dalam serum.

III.3 Populasi Penelitian

1. Populasi target:


(38)

2. Populasi terjangkau:

Pasien-pasien usia 15-65 tahun yang menderita psoriasis vulgaris yang berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Divisi Alergi dan Imunologi RSUP. H. Adam Malik Medan sejak bulan Februari 2013 sampai Desember 2013.

3. Sampel:

Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan bersedia ikut serta dalam penelitian.

4. Kontrol:

Kontrol adalah individu bukan penderita psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kontrol dan bersedia ikut serta dalam penelitian.


(39)

III.4 Besar Sampel

Untuk menghitung besar sampel penelitian, maka digunakan rumus berikut :

Jumlah sampel =

n1=n2 ≥ 2 σ2 {Z(1-α/2)+ Z (1-β)}2 ( µ

1-µa)2

σ = standar deviasi IL-17 = 24,57 (diambil dari kepustakaan

38

Z(1-α/2) = deviat baku alfa untuk α=0,05 = 1,96

)

Z (1-β) = deviat baku beta untuk β = 0,10 = 1,282

(µ1-µa) = beda rerata IL-17 yang bermakna, ditetapkan sebesar 25 pg/ml.

Maka n1=n2 ≥ 2 x (24,57)2 { 1,96+ 1,282}2 (25)

2

n1 = n2 = 20,303 ≈21

Jumlah sampel minimal penderita psoriasis vulgaris dan kontrol dalam penelitian ini adalah masing-masing sebanyak 21 orang. Pada penelitian ini diikut sertakan 25 orang penderita psoriasis vulgaris sebagai kelompok sampel dan 25 orang bukan penderita psoriasis vulgaris sebagai kelompok kontrol.


(40)

III.5 Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan menggunakan metode consecutive sampling.

III.6 Identifikasi Variabel

III.6.1 Variabel bebas : kadar sitokin IL-17 dalam serum III.6.2 Variabel terikat : psoriasis vulgaris

III.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi III.7.1 Kelompok sampel:

Kriteria inklusi :

1. Penderita yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita psoriasis vulgaris.

2. Berusia 15-65 tahun.

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani

informed consent.

Kriteria eksklusi :

1. Penderita psoriasis vulgaris yang sedang hamil dan menyusui. 2. Penderita psoriasis vulgaris yang sedang menggunakan

obat-obatan topikal untuk mengobati psoriasis vulgaris

(kortikosteroid topikal, kalsipotriol, tazarotene, tar) minimal 2 minggu sebelum dilakukan penelitian dan sistemik


(41)

(metotreksat, asitretin, siklosporin, kortikosteroid) minimal 6 minggu sebelum dilakukan penelitian.

3. Penderita psoriasis vulgaris yang menderita penyakit autoimun lainnya: lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis multipel, penyakit Graves dan penyakit Addisons.

III.7.2 Kelompok kontrol:

Kriteria inklusi :

1. Individu bukan penderita psoriasis vulgaris yang tidak

mempunyai riwayat keluarga psoriasis vulgaris. 2. Berusia 15-65 tahun.

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani

informed consent.

Kriteria eksklusi :

1. Wanita yang sedang dalam keadaan hamil dan menyusui. 2. Individu yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang bersifat

imunosupresi dalam kurun waktu 6 minggu terakhir sebelum penelitian seperti : metotreksat, kortikosteroid.

3. Individu yang menggunakan obat kortikosteroid topikal atau imunomodulator topikal (takrolimus, pimekrolimus) dalam kurun waktu 2 minggu terakhir sebelum penelitian.


(42)

4. Individu yang menderita penyakit autoimun lainnya: lupus eritematosus sistemik, sklerosis sistemik, sklerosis multipel, penyakit Graves dan penyakit Addisons.

III.8 Alat, Bahan dan Cara Kerja III.8.1 Alat dan bahan :

a. Untuk pengambilan masing-masing sampel darah : 1). Satu pasang sarung tangan.

2). Satu buah alat ikat pembendungan (torniquet). 3). Satu buah spuit disposable 3 ml.

4). Satu buah vacutainer (tabung pengumpul darah steril) 5 ml. 5). Satu buah plester luka.

b. Satu unit alat sentrifuge (alat pemusing untuk memisahkan serum).

c. Microtube (tabung mikro) 1 ml untuk menampung/menyimpan

serum.

d. Satu buah freezer yang digunakan untuk menyimpan sampel

sebelum pemeriksaan kadar IL-17. e. 1 unit alat Elisa reader.

f. 1 unit kit Quantikine human IL-17 immunoassay, R&D systems Inc, America


(43)

III.8.2 Cara kerja

1. Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di Poliklinik

Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan. Pencatatan data dasar meliputi identitas penderita, anamnesis, pemeriksaan dermatologis yang meliputi pemeriksaan fenomena tetesan lilin dan tanda Auspitz .

2. Diagnosis klinis ditegakkan oleh peneliti bersama dengan pembimbing di Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.

3. Pengambilan sampel darah dilakukan oleh petugas Laboratorium Klinik Prodia cabang Medan.

Cara pengambilan sampel darah adalah sebagai berikut : dengan menggunakan sarung tangan, kulit di atas lokasi tusuk dibersihkan dengan kapas yang dibasahi dengan alkohol 70% dan dibiarkan sampai kering. Lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku. Ikatan pembendungan (torniquet) pada lengan atas dan pasien diminta untuk mengepal dan membuka telapak tangan berulang kali agar vena jelas terlihat. Lokasi penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputar dari dalam keluar. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut


(44)

45 derajat dengan jarum menghadap keatas. Darah dibiarkan mengalir kedalam jarum kemudian jarum diputar menghadap kebawah. Agar aliran darah bebas, pasien diminta untuk membuka kepalan tangannya. Kemudian darah dihisap sebanyak 3 cc. Torniquet dilepas, lalu jarum ditarik dengan tetap menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol. Selanjutnya tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai tidak keluar darah lagi. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester. Darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi, dan diputar 300 g selama 5 menit untuk mendapatkan serum. Selanjutnya serum dimasukkan kedalam microtube 1cc dan disimpan dalam freezer pada temperatur -200 C sampai saat pengiriman sampel ke laboratorium klinik pusat di Jakarta. Sampel selanjutnya dikirim ke Laboratorium Klinik Prodia Pusat di Jakarta untuk pemeriksaan kadar IL-17. Pengiriman sampel dari Laboratorium Klinik Medan ke Laboratorium Klinik Pusat di Jakarta dilakukan satu kali per minggu yaitu setiap hari Senin. Sampel kemudian disimpan pada suhu -700 C sampai saat pemeriksaan kadar IL-17. Pemeriksaan kadar IL-17 dilakukan bersamaan setelah semua sampel terkumpul.

4. Pengukuran kadar sitokin IL-17 serum.

Pengukuran kadar sitokin IL-17 serum dilakukan di Laboratorium klinik Prodia pusat di Jakarta menggunakan kit Quantikine human IL-17 immunoassay R&D systems Inc. America (RDI-36) dengan metode


(45)

ELISA. Semua reagensia dan sampel serum dipersiapkan. Sumuran 96 dengan volume maksimal 300 µl dikeluarkan dari kemasan. Ke dalam tiap sumuran ditambahkan 100 µl larutan RDI-36. Ditambahkan 100 µl larutan serum sampel yang akan diperiksa, sehingga total larutan dalam sumuran berjumlah 200 µl. Penambahan larutan serum harus selesai dalam waktu 15 menit. Sumuran ditutup dengan selotip steril lalu diinkubasi selama 3 jam pada temperatur ruangan. Kemudian larutan dalam setiap sumuran diaspirasi dan dilakukan proses pencucian sebanyak 3 kali dengan larutan buffer. Selanjutnya kedalam tiap sumuran ditambahkan 200 µl konjugat IL-17, lalu sumuran ditutup dengan selotip steril dan diinkubasi selama 1 jam pada temperatur ruangan. Dilakukan kembali pencucian dengan larutan buffer sebanyak 3 kali. Kemudian kedalam tiap sumuran ditambahkan 200 µl larutan substrat, lalu diinkubasi selama 30 menit pada temperatur ruangan. Kemudian kedalam tiap sumuran ditambahkan larutan penghenti reaksi. Diamati perubahan warna yang terjadi yaitu dari biru menjadi kuning. Kemudian dilakukan penilaian kepadatan optik dengan alat pembaca Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada panjang gelombang 450 nm dalam waktu 30 menit. Kadar IL-17 dalam serum diukur dalam satuan pg/ml.


(46)

III.9 Definisi Operasional

1. Umur :

Umur subjek penelitian adalah 15-65 tahun. Umur dihitung berdasarkan tanggal lahir, apabila lebih besar dari 6 bulan dilakukan pembulatan keatas dan apabila lebih kecil dari 6 bulan dilakukan pembulatan kebawah.

2. Psoriasis vulgaris :

Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kulit kronis dengan gejala klinis plak eritem berbatas tegas ditutupi sisik tebal berwarna keperakan. Diagnosis psoriasis vulgaris ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis oleh dokter spesialis kulit dan kelamin.

Diagnosis klinis psoriasis : plak eritematosa yang ditutupi skuama

tebal berwarna putih keperakan dengan predileksi pada daerah kulit kepala, garis perbatasan kepala dan rambut, ekstremitas ekstensor, batang tubuh dan lumbosakral disertai hasil pemeriksaan fenomena tetesan lilin atau tanda Auspitz yang menunjukkan hasil positif.

Fenomena tetesan lilin : gambaran garis putih seperti tetesan lilin

yang tampak ketika sisik utuh pada lesi psoriasis vulgaris digores dengan pinggir gelas objek.


(47)

Tanda Auspitz : bintik-bintik perdarahan yang tampak ketika sisik

pada lesi psoriasis vulgaris diangkat dengan menggunakan ujung gelas objek.

3. Sitokin IL-17 dalam serum :

Kadar sitokin IL-17 dalam serum yang diukur dengan pemeriksaan laboratorium dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan kit Quantikine human IL-17 immunoassay R&D systems Inc. America (RDI-36).

4. ELISA :

Singkatan dari Enzyme Linked Immunosorbent Assay yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mengestimasi material di dalam larutan seperti serum. Prinsip dasarnya ialah menggunakan antibodi monoklonal untuk mendeteksi adanya ikatan antigen dan antibodi.

5. ELISA reader :

Adalah suatu alat yang berguna untuk membaca kepadatan optik dari sampel uji pada panjang gelombang 450 nm. Pada penelitian ini menggunakan produk Bio-rad Laboratories, Inc., Hercules dengan nomor registrasi CA 94547, Amerika serikat.


(48)

6. Lupus eritematosus sistemik :

Merupakan suatu penyakit autoimun sistemik yang dapat mengenai seluruh bagian tubuh. Secara klinis dapat dijumpai ruam malar (butterfly rash), ruam diskoid, serositis, ulkus oral, arthritis, fotosensitivitas.

Diagnosis ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam.

7. Sklerosis sistemik :

Merupakan suatu penyakit jaringan ikat sistemik yang ditandai dengan adanya gangguan vasomotor, atrofi kulit, jaringan subkutan, otot, dan organ dalam (paru-paru, jantung, jantung, ginjal dan susunan syaraf pusat) serta ganguan imunologik. Diagnosis ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam.

8. Sklerosis multipel :

Merupakan penyakit inflamasi akibat demielinisasi susunan syaraf pusat yang ditandai dengan kelemahan satu atau lebih anggota gerak, optik neuritis serta gejala sensoris. Diagnosis ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis saraf.

9. Penyakit Graves :

Merupakan suatu jenis penyakit hipertiroid yang ditandai dengan iritabilitas, kelemahan otot, intoleransi terhadap panas, gangguan


(49)

tidur, tremor, diare, denyut jantung yang cepat dan ireguler, penurunan berat badan serta pembesaran kelenjar tiroid. Diagnosis ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam.

10. Penyakit Addisons :

Merupakan kelainan endokrin kronis akibat gangguan pada kelenjar adrenal yang jarang terjadi. Ditandai dengan kelemahan otot, demam, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri otot dan sendi, hipotensi ortostatik. Sebagian besar penderita akan mengalami hiperpigmentasi kulit meskipun pada daerah yang tidak terpapar sinar ultraviolet. Diagnosis ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam.

11.Kelompok kontrol:

Kontrol adalah individu berusia 15 - 65 tahun yang bukan penderita psoriasis vulgaris dan tidak mempunyai riwayat keluarga menderita psoriasis vulgaris serta memenuhi kriteria inklusi dan ekskusi kelompok kontrol.

12. Durasi penyakit:

Durasi penyakit adalah rentang waktu yang dihitung dari mulai awal timbulnya penyakit hingga saat pemeriksaan, dibagi menjadi <5 tahun, 5-10 tahun, >10 tahun.


(50)

13.Hamil:

Hamil adalah rangkaian peristiwa yang terjadi bila ovum dibuahi dan pembuahan ovum akhirnya berkembang sampai menjadi fetus yang aterm. Diagnosis ditegakkan oleh bidan atau dokter spesialis kebidanan dan kandungan.

14.Menyusui:

Wanita yang melakukan proses pemberian air susu ibu kepada bayi. Informasi berdasarkan anamnesis.

III.10 Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang terkumpul dianalisis secara statistik dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Untuk mengetahui normalitas distribusi data, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk menilai perbandingan kadar sitokin IL-17 serum antara kelompok penderita psoriasis vulgaris dengan kelompok kontrol digunakan uji T independent. Batas uji kemaknaan (p) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05. Dikatakan bermakna jika nilai p ≤ 0,05 dan tidak bermakna jika nilai p > 0,05.

III.11 Ethical clearance

Penelitian ini dilakukan setelah memperoleh ethical clearance dari komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(51)

III.12 Kerangka Operasional

Pasien psoriasis vulgaris

Sitokin IL-17 dalam serum

Kontrol

Sitokin IL-17 dalam serum

Perbandingan

Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok sampel

Kriteria inklusi dan eksklusi kelompok kontrol

Sampel

Individu tanpa psoriasis vulgaris


(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan kadar sitokin IL-17 dalam serum terhadap 25 orang penderita psoriasis vulgaris dan 25 orang yang bukan penderita psoriasis vulgaris sebagai kontrol mulai bulan Februari 2013 sampai Desember 2013. Pada semua subyek penelitian telah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis.

IV.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik subyek pada penelitian ini ditampilkan berdasarkan distribusi jenis kelamin, kelompok umur dan suku bangsa yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(53)

Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian

Variabel kasus kontrol total

Jenis kelamin n % n % n %

Laki-laki 18 72 18 72 36 72

perempuan 7 28 7 28 14 28

Total 25 100 25 100 50 100

Kelompok umur (tahun)

<20 0 0 0 0 0 0

21-30 2 8 2 8 4 8

31-40 7 28 7 28 14 28

41-50 6 24 6 24 12 24

51-60 10 40 10 40 20 40

>61 0 0 0 0 0 0

Total 25 100 25 100 50 100

Suku bangsa

Batak 9 36 13 52 22 44

Jawa 8 32 7 28 15 30

Aceh 3 12 0 0 3 6

Melayu 3 12 4 16 7 14

Tionghoa 2 8 1 4 3 6

Total 25 100 25 100 50 100

Pada penelitian ini, dari 25 orang penderita psoriasis vulgaris didapatkan 18 orang (72%) adalah laki-laki dan 7 orang (28%) perempuan. Hasil ini memperlihatkan bahwa jumlah kasus dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan penelitian ini.

Berbagai penelitian sebelumnya telah melaporkan prevalensi jenis kelamin yang bervariasi pada kasus psoriasis vulgaris. Neiman dkk. (2006) daalam tulisannya menyatakan bahwa psoriasis vulgaris lebih sering terjadi pada laki-laki, namun pada pasien-pasien muda dibawah usia 20 tahun lebih sering terjadi pada wanita.2 Sinniah dkk. (2010) menyatakan bahwa dari total keseluruhan 5607 pasien yang diperiksa selama tiga tahun di RSU. Malaysia didapati 9,5% menderita psoriasis vulgaris dimana penyakit ini lebih banyak


(54)

diderita oleh laki-laki (11,6%) daripada perempuan (7,2%).39 Berbeda dengan laporan tersebut, Parisi dkk. (2013) dalam suatu tulisan studi sistematik melaporkan tidak terdapat perbedaan prevalensi psoriasis vulgaris antara pria dan wanita pada penelitian yang dilakukan pada populasi di Taiwan, Amerika serikat dan Norwegia.14

Berdasarkan tabel 4.1 memperlihatkan bahwa pada penelitian ini jumlah pasien psoriasis vulgaris terbanyak adalah dari kelompok usia 51-60 tahun yaitu sebanyak 10 orang (40%), dan jumlah pasien psoriasis vulgaris paling sedikit terdapat pada kelompok usia 21-30 tahun yaitu sebanyak 2 orang (8%).

Dari laporan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang bervariasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat variasi prevalensi psoriasis vulgaris berdasarkan jenis kelamin di berbagai tempat. Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai pengaruh jenis kelamin pada prevalensi psoriasis vulgaris.

Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan terdapatnya pengaruh usia terhadap prevalensi psoriasis vulgaris. Coimbra dkk. (2004) dalam tulisannya menyatakan bahwa psoriasis vulgaris dapat terjadi pada semua umur, namun rata-rata onset usia terjadinya adalah 33 tahun.

Traub dan Marshall (2007) menyatakan bahwa onset usia rata-rata psoriasis vulgaris adalah 33 tahun, dimana 75% kasus terjadi sebelum usia 46 tahun.

19

Sinniah dkk. (2010) melaporkan penderita psoriasis vulgaris terbanyak pada penelitiannya di Malaysia adalah penderita dalam kelompok usia 40-60 tahun (17,2%) dan jumlah lebih sedikit pada kelompok usia yang lebih muda dan kelompok usia lebih dari 60 tahun (8,1%).

13


(55)

Parisi dkk. (2013) dalam suatu laporan studi sistematik menyatakan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan insiden psoriasis vulgaris dengan meningkatnya usia. Penyakit ini jarang terjadi pada anak usia dibawah 9 tahun. 14

Psoriasis vulgaris dapat terjadi pada semua umur. Terdapat kecenderungan peningkatan insiden pada usia 30-39 tahun dan pada usia 50-59 tahun. Hal ini dikaitkan dengan adanya pengaruh genetik yaitu HLA-Cw6 yang berhubungan dengan onset dini dan riwayat keluarga.12 HLA-Cw6 adalah alel penerimaan psoriasis yang terdapat pada lokus PSORS1. PSORS1 sendiri adalah salah satu lokus yang berkaitan dengan penerimaan terhadap psoriasis yang terdiri dari PSORS1-PSORS9. PSORS1 dikatakan merupakan gen determinan mayor dari kesembilan lokus gen tersebut. PSORS1 berlokasi didalam kromosom 6p dengan ukuran sekitar 220-kb didalam regio telomer Human Leucocyte Antigen B(HLA-B).

Studi-studi prevalensi sebelumnya mengindikasikan penurunan frekwensi kejadian psoriasis vulgaris pada usia tua. Insidensi menurun pada individu diatas usia 70 tahun. Penyebab pasti penurunan insidensi ini belum pernah dilaporkan. Beberapa kemungkinan yang diajukan adalah karena pasien-pasien berusia tua tidak lagi berminat mengobati lesi kulitnya sehingga tidak dapat diukur dalam studi prevalensi. Kemungkinan lain yang diajukan ialah karena tingginya angka mortalitas pada pasien usia tua berkaitan dengan komorbiditas yang dialaminya.

18

Pada penelitian ini didapati bahwa suku Batak merupakan suku terbanyak

diantara semua kasus (36%). Studi-studi epidemiologi sebelumnya

menghubungkan prevalensi psoriasis vulgaris dengan ras. Chandran dan 2


(56)

Raychaudhuri (2010) dalam tulisannya menyatakan bahwa kejadian psoriasis vulgaris diantara ras Afika-Amerika lebih rendah dibandingkan ras Kaukasia. Prevalensi lebih tinggi dijumpai di Asia, namun Eropa memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan China dan Jepang. 40 Traub dan Marshall (2007) juga menyatakan bahwa prevalensi psoriasis vulgaris dipengaruhi oleh ras. Psoriasis vulgaris sering terjadi pada ras Kaukasia dengan angka estimasi 60 kasus per 100.000 per tahun.13

Hubungan antara ras dengan kejadian psoriasis vulgaris ini selain dikaitkan dengan genetik juga oleh adanya pengaruh iklim pada lokasi geografis tempat bermukim. Prevalensi psoriasis vulgaris dikatakan lebih tinggi pada daerah beriklim dingin dikaitkan dengan adanya efek menguntungkan dari paparan sinar matahari.

13,40

Penelitian ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik yang terletak di wilayah kotamadya Medan. Hasil penelitian ini sesuai dengan data rekam medis RSUP. H. Adam Malik tahun 2010-2012 dimana penderita psoriasis vulgaris yang berobat ke rumah sakit ini terbanyak berasal dari suku Batak (36%) yang diikuti dengan suku Jawa (22%). Menurut data sensus kependudukan tahun 2010 jumlah penduduk terbanyak yang berdomisili di kotamadya Medan adalah suku Jawa (33,03%) diikuti dengan suku Batak (19,21%). Rumah sakit H. Adam Malik sendiri merupakan rumah sakit rujukan di wilayah Sumatera Utara

Pada penelitian ini walaupun kelompok kasus berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda namun semuanya berasal dari ras yang sama (mongoloid) dan bermukim pada daerah geografis yang sama, sehingga diharapkan tidak terdapat pengaruh ras dan lokasi geografis pada penelitian ini.


(57)

sehingga pasien yang berkunjung ke rumah sakit ini tidak terbatas dari wilayah kotamadya Medan saja. Data dinas kependudukan menunjukkan bahwa penduduk Sumatera Utara menurut golongan etnis terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Yang termasuk penduduk asli ialah suku Melayu, Batak Karo, Simalungun, Fak-fak Dairi, Batak Toba, Mandailing, Pesisir dan Nias. Golongan pribumi pendatang adalah suku Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Minahasa, Banjar dan lain-lain. Sedangkan penduduk asing adalah orang Arab, India, Cina dan lain-lain-lain.

Distribusi subyek penelitian berdasarkan durasi penyakit dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi subyek penelitian berdasarkan durasi penyakit

Durasi penyakit (tahun)

Subyek penelitian

n %

<5 5-10

>10

13 6 6

52 24 24

Total 25 100

Dari tabel 4.2 terlihat bahwa pada penelitian ini subyek penelitian paling banyak adalah dengan durasi penyakit kurang dari 5 tahun (52%). Durasi penyakit pada psoriasis vulgaris sering berhubungan dengan komorbiditas penyakit lain seperti gangguan kardiovaskuler, psoriasis artritis ataupun gangguan kejiwaan.2 Pada penelitian ini data mengenai durasi penyakit diperoleh dari anamnesis riwayat penyakit pada penderita. Keterbatasan subyek penelitian dalam mengingat waktu yang pasti sejak kapan menderita penyakit ini menjadi salah satu keterbatasan dalam penelitian ini.


(58)

IV.2 Perbandingan kadar sitokin IL-17 dalam serum antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan penderita

Perbandingan nilai rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris dan bukan penderita dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Perbandingan nilai rerata kadar IL-17

Variabel n Mean ± SD Nilai

minimal-maksimal

p

Kasus Kontrol

25 25

9,806 ± 2,202 5,365 ± 0,694

7,08 – 13,98 4,14 – 6,44

0,001

Uji T independent

Pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa nilai rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris pada penelitian ini adalah 9,806 pg/ml, dengan rentang nilai berkisar dari 7,08 – 13,98 pg/ml. Nilai rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum pada yang bukan penderita psoriasis vulgaris adalah 5,365 pg/ml, dengan rentang nilai berkisar dari 4,14 – 6,44 pg/ml. Berdasarkan hasil uji analisis statistik dengan uji T independent dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum yang bermakna antara penderita psoriasis vulgaris dengan yang bukan penderita (nilai p = 0,001).

Arican dkk. (2005) dalam penelitiannya pada 25 orang pasien psoriasis vulgaris di Turki melaporkan nilai rerata kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris adalah 8,3 pg/ml sementara kadarnya pada kelompok kontrol adalah 7,4 pg/ml.

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Almakhzangy dan Gaballa (2009) pada 30 orang pasien psoriasis vulgaris di rumah sakit Zagazig Mesir melaporkan


(59)

nilai rerata kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris adalah 88,5 pg/ml sementara kadarnya pada kelompok kontrol adalah 9,1 pg/ml.

Pada suatu penelitian di China oleh Luo dkk. (2012) yang mengukur kadar mRNA IL-17 pada biopsi lesi kulit, dilaporkan bahwa terdapat peningkatan ekspresi mRNA IL-17 pada lesi pasien psoriasis vulgaris. Selain itu juga dilakukan pengukuran kadar IL-17 dalam serum dan didapati bahwa pada pasien psoriasis vulgaris kadar sitokin ini meningkat secara signifikan dibandingkan dengan kontrol sehat. Pada penelitian tersebut Luo dkk. melaporkan nilai rerata kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris yang berada pada fase aktif adalah 210,46 pg/ml sementara pada kelompok kontrol sebesar 48,50 pg/ml.

5

Dari beberapa laporan penelitian tersebut dapat dilihat perbedaan rerata nilai kadar IL-17 dalam serum yang bervariasi baik pada penderita psoriasis vulgaris maupun pada kelompok kontrol. Sampai saat ini belum ada penelitian yang melaporkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sitokin ini dalam darah. Sitokin IL-17 adalah suatu sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh adanya stimulus yang mengaktivasi sistem imun dalam tubuh hospes. Pada psoriasis vulgaris, sekalipun dinyatakan sebagai suatu penyakit autoimun namun molekul yang berperan sebagai auto antigen pada kondisi ini sampai saat ini belum dapat dipastikan. Faktor-faktor internal dan eksternal seperti genetik, geografis, obat-obatan, alkohol, obesitas dapat berpengaruh pada perjalanan penyakit ini, namun apakah faktor-faktor tersebut secara langsung mempengaruhi produksi sitokin IL-17 belum dapat dipastikan.

41


(60)

Etiopatogenesis psoriasis vulgaris sampai saat ini masih banyak diperdebatkan. Perkembangan keilmuan telah mengkaitkan penyakit ini dengan respon imun adaptif pada tubuh hospes. Psoriasis vulgaris yang awalnya diyakini sebagai suatu kondisi yang diperantarai oleh sel Th1 saat ini telah banyak dihubungkan dengan jalur sel Th17. Laporan bukti-bukti penelitian yang telah ada sebelumnya menyimpulkan penyakit ini diperantarai oleh peranan bersamaan antara jalur sel Th1 dan sel Th17. Hasil dari penelitian ini juga menemukan adanya peranan sel Th17 melalui sekresi sitokin IL-17 nya yang ditemukan meningkat pada pasien-pasien psoriasis vulgaris.

Pemahaman mengenai mekanisme imunologis pada psoriasis vulgaris penting untuk pengembangan terapi spesifik penyakit ini. Akhir-akhir ini terapi psoriasis vulgaris telah dikembangkan ke arah penggunaan agen-agen biologik. Terapi yang menargetkan jalur TH17 sendiri saat ini telah banyak diteliti dan memasuki fase uji klinis. Peranan jalur Th17 pada psoriasis vulgaris masih perlu terus diteliti untuk pengembangan terapi di masa mendatang.


(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan:

1. Kadar sitokin IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris lebih tingggi secara signifikan daripada yang bukan penderita psoriasis vulgaris. Hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan kadar sitokin IL-17 dalam serum antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan penderita pada penelitian ini dapat diterima.

2. Secara umum nilai rerata kadar IL-17 dalam serum penderita psoriasis vulgaris adalah 9,806 pg/ml.

3. Secara umum nilai rerata kadar IL-17 dalam serum bukan penderita

psoriasis vulgaris adalah 5,365 pg/ml.

4. Subyek penelitian terbanyak pada penelitian ini adalah jenis kelamin laki-laki, umur 51-60 tahun, suku Batak, dengan durasi penyakit <5 tahun.

V.2 Saran

Dari hasil penelitian ini maka beberapa saran yang dapat diajukan untuk penelitian berikutnya ialah:

1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menghubungkan kadar IL-17


(62)

2. Pada penelitian berikutnya dapat dilakukan pengukuran faktor-faktor tanskripsi yang berkaitan dengan sitokin IL-17.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

1. MacDonald A, Burden AD. Psoriasis: advances in pathophysiology and

management. Postgrad Med J. 2007(83): 690-7.

2. Neimann AL, Porter SB, Gelfand JM. The epidemiology of psoriasis.

Expert Rev. Dermatol. 2006(1): 63-75.

3. Gudjonsson JE, Johnston A, Sigmundsdottir H, Valdimarsson H.

Immunopathogenic mechanism in psoriasis. Clin Exp Immunol. 2004(135):1-8.

4. Lowes MA, Lew W, Krueger JG. Current concepts in the

immunopathogenesis of psoriasis. Dermatol Clin.2008(22):349-69.

5. Almakhzangy I, Gaballa A. Serum level of IL-17, IL-22, IFN-γ in patients with psoriasis. Egyptian Dermatology Online Journal 2009;5(1): 1-7.

6. Ragab MH,Maksoud NA, Roaiah M.Biochemical significance of pro

inflammatory cytokines in psoriasis vulgaris among Egyptian patients. Journal of American Science.2010;6(10):423-8.

7. Tesmer LA,Lundy SK,Sarkar S,Fox DA. Th17 cells in human disease.

Immunological reviews.2008 (223): 87-113.

8. Blauvelt A. New concepts in the pathogenesis and treatment of

psoriasis:key roles for IL-23, Il-17A and TGF-β1. Expert Rev

Dermatol.2007 (1):69-71.

9. Ortega C,Fernandez S, Carillo JM, Romero P, Molina IJ, Moreno IC,

Santamaria M. IL-17 producing CD8+ T lymphocytes from psoriasis skin plaques are cytotoxic effector cells that secrete Th17-related cytokines. Journal of Leukocyte Biology. 2009(86):435-42.

10. Griffiths CEM., Barker JNW.Pathogenesis and clinical features of

psoriasis, Lancet, 2007(370):263-71.

11. Arican O, Aral M, Sasmaz S, Gragil P. Serum levels of TNF-α, IFN-γ, IL -6, IL-8, IL-12, IL-17 and IL-18 in patients with active psoriasis and correlation with disease severity. Mediators of inflammation.2005(5):273-9.

12. Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis dalam Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi-8. New York: McGrawHill Incoorporate; 2012:197-231.

13. Traub M, Marshall K. Psoriasis-pathophysiology, conventional, and

alternative approaches to treatment. Alternative Medicine Review 2007(12):319-30.

14. Parisi R, Symmons DPM, Griffiths CEM, Ashcroft D. Global

epidemiology of psoriasis: a systematic review of incidence and prevalence. The society for investigative Dermatology. 2013 (133) : 377 -83.

15. Sanchez APG. Immunopathogenesis of psoriasis. An Bras Dermatol.


(64)

16. Jariwala SP. The role of dendritic cells in the immunopathogenesis of psoriasis. Arch Dermatol Res. 2007( 299):359-66.

17. Krueger G, Ellis CN. Psoriasis-recent advances in understanding its

pathogenesis and treatment. J.Am.Acad.Dermatol.2005(53):94-100.

18. Nestle FO, Kaplan DH, Barker,J.Psoriasis.N Engl J

Med.2009(361):496-509.

19. Coimbra S, Oliveira H, Figueiredo A, Rocha-Pereira P, Santos-silva A. Psoriasis: Epidemiology, clinical and histological features, triggering factors, assessment of severity and psychosocial aspects. IntechopenJ. 2004 (3):69-82.

20. Smith CH, Barker JNWN. Psoriasis and its management. BMJ.2006 (333):

380-4.

21. Miossec P, Korn T, Kuchroo V. Interleukin-17 and Type 17 helper T cells. N Engl J Med 2009(361): 888-98.

22. Wynn TA. Th17: a giant step from Th1 and Th2. Nature Immunology.

2005(6):1069-70.

23. Romagnani S. Human Th17 cells. Arthritis Research&therapy

2008(10):206.

24. Mesquita D, Cruvinel WM, Camara NOS, Kallas EG, Andrade LEC.

Autoimmune diseases in the Th7 era. Braz J Med Biol Res.2009(42):476-86.

25. Bettelli E, Carrier Y, Gao W, Korn T, Strom TB, Oukka M, Weiner HL,

Kuchroo VK. Reciprocal developmental pathways for the generation of pathogenic effector Th17 and regulatory T cells. Nature.2006 (44 ): 235-8.

26. Chung Y, Yang X, Chang SH. Expression and regulation of IL-22 in the

IL-17 producing CD4+T lymphocytes. Cell Research 2006(16): 902-7.

27. Langrish CL, Blumenschein WM, Mattson J, Basham B, Sedgwick JD,

McClanahan T, Kastelein RA, Cua DJ. IL-23 drives a pathogenic T cell population that induces autoimmune inflammation. JEM. 2004(201): 233-40.

28. Kramer JM, Gaffen SL. Interleukin-17: a new paradigm in inflammation, autoimmunity and therapy. Review. J Periodontol. 2007(78): 1083-90.

29. Witowski J, Ksiazek K, Jurres A. Interleukin-17: a mediator of

inflammatory responses. CMLS Cell Mol Life Sci.2004(61):567-79.

30. Gaffen SL, An overview of IL-17 function and signaling. Cytokine

2008(3): 402-7.

31. Waite JC, Skokos D. Th17 response and inflammatory autoimmune

diseases. International Journal of Inflammation. 2012(212):1-7.

32. Manel N, Unutmaz D, Littman DR. The differentiation of human Th17

cells requires transforming growth factor-β and induction of the nuclear

receptor RORγt. Nature Immunology.2008(9): 641-7.

33. Korn T, Oukka M, Kuchroo V, Bettelli E. Th17 cells: effector T cells with inflammatory properties. Semin Immunol. 2007(19):362-71.

34. Louten J, Boniface K, Malefyt RW. Development and function of Th17


(65)

35. Lowes MA, Kikuchi T, Fuentes-Duculan J, Cardinale I, Zaba LS, Haider AS, Boman EP, Krueger JG. Psoriasis vulgaris lesions contain discrete ppulations of Th1 and Th17 T cells. Journal of investigative Dermatology. 2008(128):1207-11.

36. Meglio PD, Nestle FO. The role of IL-23 in the immunopathogenesis of

psoriasis. Biology reports. 2010 (2): 1-5.

37. Meier M., Sheth PB. Clinical spectrum and severity of psoriasis. Curr Probl Dermatol. Basel, Karger. 2009 (38):1-20.

38. Luo q., Zhang X., Luo Y., Lin L., Li J., Zhang S., Liu Y. Increased

expression of Th17 cytokines in patients with psoriasis. African Journal of Biotechnology. 2012 (11):3413-5.

39. Sinniah B, Devi S, Prashant D. Epidemiology of Psoriasis in Malaysia: A Hospital Based Study.Med J Malaysia.2010 (2):112-14.

40. Chandran V, Raychaudhuri SP. Geoepidemiology and environmental

factors of psoriasis and psoriatic arthritis. Journal of autoimmunity. 2010 (34):314-21.

41. Flatz L, Conrad C. Role of T-cell-mediated inflammation in psoriasis

pathogenesis and targeted therapy. Review. Psoriasis Targets and Therapy. 2013(3):1-10.


(66)

LAMPIRAN 1.

NASKAH PENJELASAN KEPADA PESERTA PENELITIAN

Selamat pagi/siang.

Saya adalah dr. Vera. Saat ini saya sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis Kulit di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Magister Kedokteran klinik dengan konsentrasi pada Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang sedang saya jalani, saya melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan kadar sitokin

interleukin-17 dalam serum antara penderita dengan bukan penderita psoriasis vulgaris”.

Tujuan penelitian saya adalah untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin interleukin-17 dalam serum penderita dengan yang bukan penderita psoriasis vulgaris. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk menjadi masukan bagi terapi psoriasis vulgaris di masa depan.

Psoriasis vulgaris merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini belum dapat dipastikan. Gejala klinis utama pada psoriasis adalah bercak meninggi kemerahan pada kulit yang ditutupi sisik berwarna putih berlapis-lapis.

Jika Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini, maka saya akan melakukan tanya jawab terhadap Bapak/Ibu/Saudara/i untuk


(1)

Lampiran 4

No. Inisial Umur Jenis kelamin

Suku bangsa

Durasi penyakit

Nilai IL-17 (pg/ml)

Skor PASI

1 EH 56 L Batak >10 tahun 10,39 40

2 AB 31 L Batak <5 tahun 7,72 26,1

3 MS 42 L Batak <5 tahun 7,08 10,7

4 RP 53 P Batak 5-10 tahun 9,04 30,6

5 YS 60 P Batak 5-10 tahun 13,98 56,0

6 KL 60 L Batak >10 tahun 7,72 8,6

7 W 60 L Melayu >10 tahun 9,71 14,7

8 AS 58 L Melayu >10 tahun 7,72 8,6

9 S 32 L Jawa <5 tahun 11,79 40,0

10 R 45 P Jawa 5-10 tahun 11,08 29,1

11 Ri 31 L Jawa <5 tahun 8,38 5,2

12 D 33 P Aceh <5 tahun 9,71 26,1

13 I 23 L Jawa <5 tahun 7,08 12,6

14 R 54 P Melayu <5 tahun 11,79 50,2

15 MT 58 L Batak 5-10 tahun 7,72 5,2

16 MM 42 P Batak <5 tahun 11,79 30,6

17 HY 41 L Tionghoa >10 tahun 13,31 15,6

18 E 25 P Batak <5 tahun 7,08 11,9

19 RS 53 L Aceh 5-10 tahun 10,39 40,0

20 F 40 L Tionghoa >10 tahun 7,08 3,6

21 AMS 44 L Jawa <5 tahun 9,71 14,9

22 H 37 L Aceh <5 tahun 10,39 25,1

23 S 48 L Jawa <5 tahun 11,79 30,6

24 MS 55 L Jawa 5-10 tahun 13,98 59,4

25 S 31 L Jawa <5 tahun 8,72 14,9

26 M 55 L Batak - 5,16 -

27 V 41 L Batak - 4,14 -

28 S 48 L Jawa - 4,51 -

29 MT 55 L Batak - 4,51 -

30 L 35 L Jawa - 5,97 -

31 AS 35 L Melayu - 5,80 -

32 Sn 37 L Batak - 4,14 -


(2)

34 W 41 P Batak - 5,16 -

35 D 60 P Jawa - 6,44 -

36 NK 57 P Jawa - 5,16 -

37 I 51 L Batak - 6,44 -

38 Gt 53 L Btak - 5,80 -

39 Ru 21 L Tionghoa - 4,51 -

40 Bt 42 L Batak - 5,80 -

41 RL 45 P Jawa - 6,44 -

42 Ta 52 L Jawa - 5,16 -

43 H 41 P Batak - 5,16 -

44 RA 30 P Melayu - 5,80 -

45 JK 31 L Jawa - 5,80 -

46 FR 35 L Melayu - 5,80 -

47 EL 34 L Batak - 5,16 -

48 LIL 57 P Batak - 5,16 -

49 RK 55 L Batak - 5,80 -


(3)

Lampiran 5

Hasil uji analisis statistik

NPar Tests (Kontrol)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

25 25 44.12 5.3652 10.963 .69421 .135 .214 .117 .136 -.135 -.214 .674 1.072 .754 .200 N Mean Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z As ymp. Sig. (2-tailed)

Umur (tahun)

Nilai IL17 (pg/ml)

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.

NPar Tests (Kasus)

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

25 25 25 25

44.56 24.4120 9.8060 1.72 11.924 16.15983 2.20294 .843 .160 .187 .148 .324 .114 .187 .148 .324 -.160 -.099 -.108 -.196 .802 .936 .741 1.618 .540 .345 .643 .011 N

Mean Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z As ymp. Sig. (2-tailed)

Umur (tahun) Skor PASI

Nilai IL17 (pg/ml)

Durasi penyakit

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

25 25 25 25

44.56 24.4120 9.8060 1.72 11.924 16.15983 2.20294 .843 .160 .187 .148 .324 .114 .187 .148 .324 -.160 -.099 -.108 -.196 .802 .936 .741 1.618 .540 .345 .643 .011 N

Mean Std. Deviation Normal Parametersa,b

Absolute Positive Negative Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z As ymp. Sig. (2-tailed)

Umur (tahun) Skor PASI

Nilai IL17 (pg/ml)

Durasi penyakit

Test distribution is Normal. a.

Calculated from data. b.


(4)

25 44.12 10.963 2.193 25 44.56 11.924 2.385 25 5.3652 .69421 .13884 25 9.8060 2.20294 .44059 Sampel

Sehat Penderita Sehat Penderita Umur (tahun)

Nilai IL17 (pg/ml)

N Mean St d. Deviat ion

St d. E rror Mean

Uji T independent

Independent Samples Test

.201 .656 -.136 48 .893 -.440 3.240 -6.954 6.074

-.136 47.665 .893 -.440 3.240 -6.955 6.075 25.495 .000 -9.613 48 .000 -4.44080 .46195 -5.36961 -3.51199 -9.613 28.720 .000 -4.44080 .46195 -5.38599 -3.49561 Equal variances

as sumed Equal variances not ass umed Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Umur (tahun)

Nilai IL17 (pg/ml)

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means


(5)

Lampiran 6


(6)

CURRICULUM VITAE

I.

IDENTITAS

1.

Nama

: dr. Vera Madonna Lumbantoruan

2.

Tempat/tgl.lahir

: Medan / 06 April 1975

3.

Alamat

: Jl. Rakyat Pasar 3 No. 196 Medan

4.

Telp/HP

: 085270762411

II.

RIWAYAT PENDIDIKAN

1.

1981-1987

: SD Methodist 1 Medan

2.

1987-1990

: SMP Methodist 1 Medan

3.

1990-1993

: SMA Negri 1 Medan

4.

1993-2000

: Fakultas Kedokteran USU-Medan

5.

2003-2005

: Pasca Sarjana Fak. Kedokteran UGM-

Yogyakarta

6.

2009-sekarang

: PPDS Ilmu Kes. Kulit dan Kelamin Fak.

Kedokteran USU

III.

KEANGGOTAAN PROFESI

1.

2010-sekarang

: Anggota IDI cabang Medan