Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

(1)

PENGGUNAAN TEKNIK COMPOSING PADA PEMERIKSAAN

WHOLE SPINE POTONGAN SAGITAL T2 WEIGHTED

PADA MRI 1.5T

SKRIPSI

SUKARSI TAMBA

NIM : 130821013

DEPERTEMEN FISIKA

JURUSAN FISIKA MEDIK

FAKULTAS MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

PENGGUNAAN TEKNIK COMPOSING PADA PEMERIKSAAN

WHOLE SPINE POTONGAN SAGITAL T2 WEIGHTED

PADA MRI 1.5T

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

SUKARSI TAMBA

NIM : 130821013

DEPERTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKADAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

PESETUJUAN

Judul Skripsi : Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

Kategori : skripsi

Nama : Sukarsi Tamba

NIM : 130821013

Program studi : Sarjana (S1) Fisika Medik Dapertemen : Fisika

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh :

Pembimbing II Pembimbing I

Josepa ND Simanjuntak, M.Si Drs. Herli Ginting, M.Si

NIP.197703192006042001 NIP 195505191986011002

Diketahui Oleh :

Ketua Departemen Fisika

Dr. Marhaposan Situmorang NIP. 195510301980031003


(4)

LEMBARAN PENGESAHAN

PENGGUNAAN TEKNIK COMPOSING PADA PEMERIKSAAN WHOLE SPINE POTONGAN SAGITAL T2 WEIGHTED

PADA MRI 1.5T

Disetujui Oleh : Pembimbing I

NIP. 195505191986011002 Drs. Herli Ginting, M.Si

Pembimbing II

NIP. 197703192006042001 Josepa ND Simanjuntak, M.Si

Disahkan Oleh:

Ketua Departemen Fisika FMIPA USU

NIP. 195510301980031003 Dr. Marhaposan Situmorang


(5)

PERNYATAAN

PENGGUNAAN TEKNIK COMPOSING PADA PEMERIKSAAN WHOLE SPINE POTONGAN SAGITAL T2 WEIGHTED PADA MRI 1.5T

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan,

Sukarsi Tamba 130821013


(6)

i

PENGHARGAAN

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah atas segala Kasih dan penyertaan-Nya sehingga Penulis menyelesaikan tugas akhir yang berjudul ‘’PENGGUNAAN TEKNIK COMPOSING PADA PEMERIKSAAN WHOLE SPINE POTONGAN SAGITAL T2 WEIGHTED PADA MRI’’

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S-1 Fisika pada program studi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, MSc.

2. Bapak DR.Marhaposan Situmorang selaku kepala jurusan Fisika Universitas Sumaetra Utara.

3. Bapak Drs. Herli Ginting M.Si dan Ibu Josepa ND Simanjuntak M.Si selaku pembimbing utama yang selalu membantu saya disetiap kesulitan yang saya hadapi dalam menyempurnakan skripsi ini.

4. Bapak Aditia Warman M.Si dan Bapak Dr. Marhaposan Situmorang Selaku dosen penguji yang turutmmbantu dalam menyempurnkan Skripsi ini melaluimasukan dan saran.

5. Seluruh Dosen / Staf pengajar di fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuaan Alam (FMIPA)

6. Ayahanda Saudara Tamba dan IbundaRoida Naibaho yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan, semangat dan bantuan baik dalam bentuk moril maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga buat abang dan adik-adikku yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. 7. Kebersamaan seluruh teman-teman seperjuangan di Fisika Ekstensi


(7)

ii

8. Seluruh Radiolog, teman-teman Radiografer dan staf radiologi Di Murni Teguh Memorial Hospital Medan.

Medan... Penulis

Sukarsi Tamba Nim : 130821013


(8)

iii ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada citra lima orang pasien dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) 1,5Tesla pada pemeriksaan MRI whole spine, untuk memperoleh citra yang akurat dan lebih informatif denga perubahan FOV 400 mm, 450 mm, dan 500 mm pada pembobotan potongan T2 sagital weighted maka dilakukan teknik composing pada perubahan FOV dan SNR. Materi penelitian ini adalah hasil citra MRI whole spine potongan sagital T2 weighted dengan menggunakan teknik composing pada perubahan FOV 400 mm, 450 mm, dan 500 mm yang dilakukan pada setiap pasien. Penelitian dilakukan di RS Murni Teguh Memorial Medan. Tata cara penelitian yang dilakukan dengan persiapan pesawat Magnetik Resonance Imaging, persiapan pasien , pengaturan Sequence T2 weighted sagital dan teknik composing pada masing-masing FOV. Pada citra teknik composing yang diperoleh akan dilakukan pengukuran Region of interest (ROI) untuk semua citra dan dengan hasil pengukuran tersebut di tentukan nilai Signal noise to ratio (SNR). Dari nilai SNR maka dilakukan uji statistik pada masing masing perubahan FOV dan diperoleh hasil citra dengan perubahan FOV 450mm lebih akurat dibandinga 400 mm dan 500 mm, Dari hasil yang diperoleh disimpulkan bahwa penggunaan teknik composing pada MRI whole spine dengan potongan sagital T2 weighted lebih akurat pada perubahan FOV 450 mm.


(9)

(10)

v DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN

PENGHARGAAN ... i

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Pembatasan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Magnetic Resonance Imaging (MRI) ... 5

2.2 Komponen Dari MRI ... 6

2.3 Prinsip dasar MRI ... 10

2.4 Pulsa Sequence ... 23

2.5 Teknik Composing ... 25

2.6 Anatomi Whole Spine ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian ... 29

3.2 MR Scan System ... 29

3.3 Subjek Penelitian ... 30

3.4 Alur Kerja ... 31

3.5 Analisa Data ... 33


(11)

vi

BAB IV HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Citra Magetic Rsonance Imaging (MRI) ... 36 4.2 Pembahasan ... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 49 5.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Nilai ROI pada citra ... 37

Tabel 4.2 Nilai SNR pada perubahan FOV 400 mm ... 38

Tabel 4.3 Nilai SNR pada perubahan FOV 450 mm ... 38

Tabel 4.4 Nilai SNR pada perubahan FOV 500 mm ... 39

Tabel 4.5 Nilai rata rata SNR ... 39

Tabel 4.6 Uji Normalitas Data Sebelum dilakukan transformasi data ... 40

Tabel 4.7 Nilai mean untuk semua perubahan FOV ... 40

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Sesudah dilakukan transformasi data ... 44

Tabel 4.9 Multivariate test ... 45


(13)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komponen mesin MRI ... 6

Gambar 2.2 Skema dan tabel Gx, Gy dan Gz ... 8

Gambar 2.3 Sistem Komputer pada MRI ... 10

Gambar 2.4 Inti atom H ... 10

Gambar 2.5 Proses dari presesi atom hydrogen ... 12

Gambar 2.6 Pemberian radiofrekuensi pada atom Hidrogen... 13

Gambar 2.7 Peluruhan induksi bebas ... 15

Gambar 2.8 Proses terjadinya T1 Recoveri dan diagram T1 recoveri ... 16

Gambar 2.9 Proses terjadinya T1 Recoveri dan diagram T1 recoveri ... 17

Gambar 2.10 Definisi symbol yang umum digunakan dalam urutan pulsa ... 19

Gambar 2.11 A. Skema representasi dari TR dan TE ... 20

Gambar 2.11 B. Grafik TR ,TE panjang / pendek saat pembobotan T2 dan T1 ... 20

Gambar 2.12 Perbedaan antara lemak dan air pada pembobotan T1 ... 22

Gambar 2.13 Perbedaan antara lemak dan air pada pembobotan T2 ... 23

Gambar 2.14 Waktu antara pulsa 1800 dan pulsa RF 900 ... 24

Gambar 2.15 Tampilan dari menu composing ... 26

Gambar 2.16 Anatomi vertebra lateral side ... 27

Gambar 2.17 Anatomi gambaran axial ... 28

Gambar 3.1 Gantri MRI ... 30

Gambar 3.2 Posisi pasien head first supine ... 32

Gambar 3.3 Foto pendahuluan (scenogram foto) ... 32

Gambar 3.4 Proses composing dari potongan sagital ... 33

Gambar 3.5 Diagram flow chart ... 35


(14)

ix

DAFTAR ISTILAH

Antero-posterior : Arah potongan dari depan ke belakang

Axial : Potongan gambaran transversal

Brain : Otak

Cerebrospinal fluid (CSF) : Cairan sumsum tulang belakang

Cervical : Tulang leher

Corpus vertebrae : Bagian badan ruas tulang punggung

Coronal : Potongan dari depan

Composing : Penggabungan

Decay : Meluruh

Dephase : Sama dengan decay

Diskus intervertebrae : Space antara corpus yang satu dengan corpus selanjutnya

Extremitas : Tulang anggota gerak badan Oblique : Posisi miring dengan sudut 450

Precession : Proses atom H berputar pada porosnya layknya seperti gasing

Precesional path : Proses perputaranatom H yang

mengelilingi sumbu porosnya

Facemaker : Alat pacu jantung

Field of view (FOV) : Luas lapangan yang di scanning:

Gradien Echo (GRE) : Urutan pemberian pulsa yang

pemberiannya hanya sekali

Head first supine : Posisi pasien ridur telentang dengan kepala lebih awal

Hernia nucleic pulpose (HNP) : Syaraf terjepit

Hyperintens : Sinyal yang diterima besar sehingga citra yang dihasilkan putih

Hypointens : Sinya yang diterima sedikit sehingga citra yang dihasilkan hitam


(15)

x

Inform concent : Formulir persetujuan Lateral Side : Gambaran dari samping

Lumbal : Tulang pinggang

Magnetic resonance Imaging (MRI) : Pencitraan dengan menggunakan resonansi magnetik

Metastasis : Penyebaran Cancer

Net magnetic vector (NMV) : Prosesperpindahan atom H dari sumbu Z ke sumbu X dan Y

Receiver coil : Koil penerima

Recoveri : Proses pengalihan ke posisi awal Region of interest (ROI) : Penentuan intensitas signal

Relaksasi : Proses dimana atom H kembali pada

kesetimbangannya

Scenogram : Foto pendahuluan

Sagital : Potongan dari samping kiri ke kanan atau sebalikanya

Spektroscopy : Pemeriksaan dengan menampilkan

spectrum sebagai hasil

Sequence : Parameter atau protocol yang digunakan pada sistem pencitraan

Signal noise to ratio (SNR) : Perbandingan nilai intensitas dari daerah tertentu per intensitas background

Spin Echo (SE) : Urutan pulsa sequence yang diawali dengan pemberian RF yang mengakibatkan atom H

Thorakal : Tulang punggung

Time Repetition : Waktu pengulangan. Waktu yang

digunakan untuk pengulangan pemberian RF

Time Echo : waktu echo waktu yang digunakan untuk pencatatan echo


(16)

xi

Transmitter coil : Koil pemancar

Weighted : Pembobotan


(17)

iii ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada citra lima orang pasien dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) 1,5Tesla pada pemeriksaan MRI whole spine, untuk memperoleh citra yang akurat dan lebih informatif denga perubahan FOV 400 mm, 450 mm, dan 500 mm pada pembobotan potongan T2 sagital weighted maka dilakukan teknik composing pada perubahan FOV dan SNR. Materi penelitian ini adalah hasil citra MRI whole spine potongan sagital T2 weighted dengan menggunakan teknik composing pada perubahan FOV 400 mm, 450 mm, dan 500 mm yang dilakukan pada setiap pasien. Penelitian dilakukan di RS Murni Teguh Memorial Medan. Tata cara penelitian yang dilakukan dengan persiapan pesawat Magnetik Resonance Imaging, persiapan pasien , pengaturan Sequence T2 weighted sagital dan teknik composing pada masing-masing FOV. Pada citra teknik composing yang diperoleh akan dilakukan pengukuran Region of interest (ROI) untuk semua citra dan dengan hasil pengukuran tersebut di tentukan nilai Signal noise to ratio (SNR). Dari nilai SNR maka dilakukan uji statistik pada masing masing perubahan FOV dan diperoleh hasil citra dengan perubahan FOV 450mm lebih akurat dibandinga 400 mm dan 500 mm, Dari hasil yang diperoleh disimpulkan bahwa penggunaan teknik composing pada MRI whole spine dengan potongan sagital T2 weighted lebih akurat pada perubahan FOV 450 mm.


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radiologi merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang digunakan untuk melakukan pencitraan pada tubuh manusia melalui sinar x, ulatrsonografi dan gelombang elektromagnetik. Pada dasarnya frekuensi yang digunakan berbentuk sinar-x atau x-ray, namun dengan kemajuan teknologi modern juga dengan menggunakan pemindaian atau scanning, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Teori tentang pencitran MRI muncul pertama sekali pada tahun 1938, ketika Isidor Isaac Rabi menemukan metode pengukuran moment magnetik inti atom atau nucleus magnetic moment. Pada tahun 1973 Paul Lauterbur menggunakan gradien medan magnetik untuk pertama kalinya membuat citra dari resonansi magnetik inti atau nuclear magnetic resonance. Pada tahun 1977 MRI digunakan untuk mendiagnosis tubuh manusia. Penggunaan momen magnetik inti atom pertama sekali dipakai dibidang analisis kimia (Pierce,1995) Pada era 1980an mulai dipakai luas untuk bidang medis, setelan ditemukan teknik-teknik Pencitraan Rapid acquisition with relaxation enhancement (RARE) dan Fast Low Angel Short (FLASH) (Pierce, 1995)

Beberapa kelebihan pencitraan dengan Magnetic Resonance Imaging dimana tidak menggunakan sinar-x dan tidak terjadi ionisasi dalam tubuh yang didiagnosa, sensitivitas kontras yang tinggi untuk perbedaan jaringan lunak, mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi, perfusi, dan spektroskopi serta metode proyeksi yang lebih baik dari alat diagnostik CT scan dan alat diagnostik kedokteran nuklir dan ultrasonografi (Bushberg, 2001). Magnetic resonance Imaging (MRI) merupakan pencintraan bagian tubuh dengan menggunakan daya magnet yang berkekuatan tinggi berdasatkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen, radiofrekuensi dan seperangkat alat komputer untuk menghasilkan gambaran dari penampang tubuh manusia yang berbentuk irisan. MRI dapat menunjukkan sifat anatomi dan fisiologis dari objek dan mampu


(19)

membuat potongan coronal, sagital, dan aksial, serta oblik tanpa mengubah posisi tubuh pasien. (Bushberg, 2002).

Teknik pencitraan MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyaknya protokol yang digunakan dapat mempengaruhi hasil citra yang dihasilkan. Protokol MRI yang utama harus diperhatikan yaitu pembobotan �1��������������2. Pembobotan T1 untuk memperlihatkan kelainan pada tulang belakang atau wholespine. Sebuah citra 1 Weighted dimana perbedaan waktu antara jaringan misalnya lemak dan air tergantung dari Time Repetition (TR). Pada MRI umumnya menggunakan pembobotan T2 atau squence T2 weighted yang merupakan sequnce standar pada MRI whole spine. Sequense �2 weighted disebut juga sebagai T2 Weighted Imaging (T2WI) yang merupakan salah satu dari urutan pulsa dasar dalam MRI. Sebuah citra �2 Weighted adalah di mana salah satu kontras ditentukan oleh Time Echo (TE). Pembobotan T2 ini menggunakan waktu relaksasi jaringan parameter time repetition (TR) dan time

echo (TE) panjang. TR mengontrol seberapa jauh setiap vektor dapat memulihkan

sebelum pemberian radiofrekuensi berikutnya sedangkan TE mengontrol jumlah peluruhan yang terjadi sebelum sinyal diterima. Waktu pengulangan antara pulsa sequence yang satu dengan yang berikutnya disebut dengan Time Repetition (TR), sedangkan waktu tengah antara pulsa 900 dan sinyal maksimum (echo) disebut dengan Time Echo (TE). (Bushbreg, 2002).

Pada MRI teknik composing merupakan pemeriksaan secara keseluruhan terhadap tulang belakang mulai dari tulang leher sampai ke tulang ekor untuk menilai anatomi dan patologi tulang belakang, kelainan kongenital vertebra atau sumsum tulang belakang, untuk mendeteksi adanya metastasis atau penyebaran kanker terhadap tulang belakang. Teknik composing yang dilakukan yaitu dengan perubahan Field of View (FOV). Dengan FOV yang lebih besar akan meningkatkan Signal noise to ratio (SNR) dan dengan demikian kualitas gambar akan semakin meningkat.Penelitian pada pengambilan citra whole spine, sebelumnya yang mengkaji tentang MRI tulang belakang untuk evaluasi, penilaian tingkat keparahan, dan tindak lanjut dari penyakit tulang belakang. MRI tulang belakang merupakan salah satu tes diagnostik yang paling sensitif untuk


(20)

3

mendeteksi kelainan anatomi tulang belakang dan strukturnya. Dengan teknik pembobotan T2 cervical-thoracal (tulang leher dan tulang punggung) serta Thoracal-lumbal(tulang punggung dan pinggang) yang dilakukan secara terpisah hasilnya kurang informatif dalam menegakan diagnosa pada whole spine secara keseluruhan, untuk itu supaya diperoleh hasil citra yang lebih informatif maka dibutuhkan suatu teknik yang dalam hal ini akan dikaji oleh penulis dengan judul “PENGGUNAAN TEKNIK COMPOSING PADA PEMERIKSAAN WHOLE SPINE POTONGAN SAGITAL T2 WEIGHTED PADA MRI 1,5 T”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat mengangkat suatu permasalahan yaitu Bagaimana penggunaan teknik composing pada pemeriksaan MRI wholespine potongan Sagital T2 Weighted agar informasi pada citra yang dihasilkan lebih akurat dan informatif.

1.3 Pembatasan Masalah

Skripsi ini hanya membahas tentang penggunaan teknik Composing potongan Sagital 2 Weighted pada pemeriksaan Tulang belakang atau Whole Spine.yang dilakukan pada 3 perubahan FOV yaitu 400mm, 450mm dan 500mm.

1.4 Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk

a. Memperoleh citra whole spine teknik composing yang lebih akurat dan informatif sehingga informasi diagnosis lebih tepat khususnya pada kasus tertentu seperti metastasis, TB tulang.

b. Memperoleh waktu yang efisien karena pergerakan pasien bisa diminimalisasi.


(21)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :

a. Menambah wawasan bagi petugas radiologi tentang teknik composing pada MRI Whole spine

b. Memperoleh citra dari whole spine teknik composing yang lebih akurat dengan waktu yang singkat.


(22)

5 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Magnetic Resonance Imaging

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat diagnostik mutakhir untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi radio yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh / organ manusia dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. MRI Merupakan metode rutin yang dipakai dalam diagnosis medis karena hasilnya yang sangat akurat.

Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti.

Untuk menghasilkan gambaran MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat diagnostik, maka harus memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik penggambaran MRI, antara lain Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang baik, Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaanya. Dengan beberapa faktor kelebihan yang dimilikinya, terutama kemampuannya membuat potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak, terutama otak, sumsum tulang belakang dan susunan saraf pusat dan memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, dibandingkan dengan pemeriksaan CT- scan dan X-ray lainnya sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara detail (Bushberg, 2002). Magnetic Resonance Imaging digunakan untuk mendiagnosis tubuh manusia, MRI mempunyai peningkatan dalam teknik imaging paling serbaguna hingga saat ini, yang pada awalnya merupakan alat imaging mampu menganalisa sebagian besar anatomis


(23)

kemudian meningkat ke suatu fungsional fisiologis system organ tubuh (Bryan, 2010).

2.2 Komponen dari MRI

Komputer pada MRI merupakan otak dan komponen utama yang digunakan untuk memproses sinyal, menyimpan data dan menampilkan gambar yang dihasilkan. Selain sistem komputer komponen utama pada pesawat MRI adalah: pembangkit magnet utama, koil gradien, koil penyelaras (shim’s coils), antena atau koil pemancar dan penerima, serta sistem akuisisi data dalam komputer.

Gambar 2.1 Komponen Mesin MRI (Evert J Blink, 2004) 2.2.1 Magnet Utama

Medan magnet utama dikenal juga sebagai medan magnet statis. Medan magnet ini berguna untuk menyearahkan spin inti atom hidrogen untuk pencitraan resonansi magnetik.

a. Magnet Permanen

Magnet permanen terbuat dari beberapa lapis batang keramik ferromagnetik dan memiliki kuat medan magnet maksimal 0,3 Tesla. Magnet ini di rancang dalam bentuk tertutup maupun terbuka (C shape) dengan arah garis magnetnya adalah antero-posterior.


(24)

7

b. Magnet Resistif

Medan magnet dari jenis resistif dibangkitkan dengan memberikan arus listrik pada kumparan. Kuat medan magnet yang mampu dihasilkan mencapai 0,3 Tesla, lilitan kabel yang mengelilingi sebuah selinder yang didalamnya daliri arus listrik.

c. Magnet Superconductor

Magnet ini mampu menghasilkan medan magnet hingga berkekuatan 0,5 Tesla- 3.0 Tesla, dan sekarang banyak dipakai untuk kepentingan klinik. Helium cair digunakan untuk mempertahankan kondisi superkonduktor agar selalu berada pada temperatur yang diperlukan. (Bushberg, 2002)

2.2.2 Koil Gradien

Seluruh peralatan sistem pencitraan MRI dilengkapi dengan kumparan penghantar yang bersifat resistif yang disebut kumparan Gradien . Kumparan gradien akan membangkitkan kuat medan magnetik yang besarnya berbeda tergantung pada lokasinya dan medan gradien ini akan dibangkitkan nyala mati secara bergantian selama dan antara pulsa eksitasi RF. Fungsi dari medan gradien ini adalah untuk mengkodekan informasi ruang dalam sinyal RF yang dipancarkan oleh proton. Medan gradien magnetik yang nyala mati akan membangkitkan medan yang disebut time varying magnetic field (TVMF). Atau medan magnet yang berubah terhadap waktu. Sebenarnya dalam sistem MRI ada 3 set kumparan gradien yang menghasilkan TVMF dalam arah tiga sumbu ortogonal (X,Y,Z). gradien tersebut.

a. Gradien koil X, untuk membuat citra potongan sagital b. Gradien koil Y, untuk membuat citra potongan koronal c. Gradien koil Z, untuk membuat citra potongan aksial

Untuk melakukan pencitraan potongan arah miring ( oblik ) digunakan kombinasi dari kumparan-kumparan (Evert J Blink, 2004).


(25)

Gambar 2.2 Skema dan tabel menunjukkan Gx, Gy, dan Gz (Evert J Blink, 2004) Gambar diatas menunjukkan skema dan tabel Gx, Gy, dan Gz yang digunakan untuk seleksi bagian slice dan fase frekuensi encoding selama di bidang akuisisi pencitraan.

2.2.3 Koil Radiofrekuensi (RF)

Pada pulsa RF mengubah energi proton sehingga dapat menyebabkan transisi dan pemberian frekuensi radio dengan waktu yang singkat disebut pulsa frekuensi radio yang merupakan gelombang elektromagnetik, pulsa RF yang diberikan sama dengan frekuensi Larmor yang dimiliki proton. Pada keadaan tersebut proton yang sedang berpresisi akan mendapat tambahan energi. Dalam pemberian frekuensi radio proton pada tingkat energi rendah akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi, peristiwa ini disebut resonansi magnetik. Pulsa RF yang menggerakkan magnetisasi (M) dari posisi setimbang ke bidang transversal disebut pulsa 900. Pulsa RF yang menggerakkan M dengan arah yang berlawanan dengan arah asalnya dinamakan pulsa 1800. Kedua pulsa tersebut merupakan pulsa yang mempunyai persamaan yang sangat besar dan penting dalam metode MRI. Beberapa masalah RF dalam gambar MRI tidak disebabkan oleh ganguan luar melainkan oleh masalah dengan komponen internal dari sistem seperti kerusakan dari pemancar RF, sambungan listrik yang buruk, atau kegagalan sirkit terkait dengan kumparan penerima (Blink, 2004).


(26)

9

Koil radio frekuensi (RF) terdiri dari dua tipe koil yaitu koil pemancar (transmitter) dan koil penerima (receiver). Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan gelombang RF pada inti yang terlokalisir dengan frekuensi tertentu sehingga terjadi proses resonansi, sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal output dari sistem. Bentuk dan ukuran koil penerima ini telah dirancang disesuaikan dengan bagian tubuh yang akan diperiksa, misalnya koil untuk Brain, vertebra atau ekstremitas. Beriku adalah jenis-jenis koil :

a. Koil Volume (Volume Coil) Volume coils dapat digunakan secara eksklusif sebagai coils penerima atau kombinasi coils mengirim / menerima. Volume coils ditandai dengan kualitas sinyal homogen. Tipe lain dari coil volume kumparan tubuh, yang merupakan bagian integral dari sebuah scanner MR dan biasanya terletak di dalam lubang magnet itu sendiri.

b. Koil Permukaan (Surface Coil) c. Koil Linier

d. Koil Kuadrat e. Phase Array Coil

2.2.4 Sistem Komputer MRI

Sistem computer MRI ini berfungsi untuk membangkitkan pulse sequence, mengontrol semua komponen alat MRI Dengan kemampuan perangkat lunak yang besar, komputer mampu melakukan tugas-tugas multi (multi tasking), diantaranya adalah operator input, pemilihan slice, kontrol sistem gradien, kontrol sinyal RF dan lain-lain. Komputer juga berfungsi untuk mengolah sinyal hingga menjadi citra MRI yang dapat dilihat pada layar monitor, disimpan ke dalam disk atau CD, atau bisa langsung dicetak.


(27)

Gambar 2.3 Sistem Komputer pada MRI 2.3 Prinsip dasar MRI

2.3.1 Spin Proton

Magnetic resonance (MR) pencitraan menggunakan sinyal dari inti atom hidrogen (H) untuk membuat citra. Sebuah atom hidrogen terdiri dari inti yang mengandung satu proton dan elektron tunggal mengorbit inti (seperti terlihat pada Gambar. 2.4). Proton memiliki muatan positif dan elektron muatan negatif, atom hidrogen secara keseluruhan adalah netral.

Gambar 2.4 Inti dari atom H (Bryan, 2010)

Terlepas dari muatan positif, proton memiliki spin. Spin Proton adalah partikel bermuatan listrik yang berputar pada sumbunya sehingga menimbulkan arus listrik di sekitar sumbu putarnya. Arus listrik ini akan menginduksi medan magnet sehingga inti atom memiliki momen magnetik mikroskopik. Pada unsur yang memiliki nomor atom genap momen magnetik inti akan saling menghilangkan (mengenolkan). Untuk itu, agar tetap diperoleh momen magnetik inti maka diperlukan unsur yang memiliki nomor atom ganjil.


(28)

11

Ini berarti bahwa proton berputar pada porosnya seperti gasing berputar. Proton tersebut memiliki dua sifat penting yaitu Sebagai massa berputar (m), proton memiliki momentum sudut dan berputar untuk mempertahankan orientasi spasial sumbu rotasi. Sebagai massa berputar dengan muatan listrik, sebagai tambahan proton memiliki momen magnetic dan berperilaku seperti magnet kecil. Oleh karena itu, proton dipengaruhi oleh medan magnet eksternal dan gelombang elektromagnetik.

Spin proton selalu memiliki besar yang sama dan tidak akan dapat dipercepat atau melambat, karena itu adalah sifat dasar dari partikel elementer. Hidrogen adalah nucleus aktif yang banyak digunakan dalam pencitraan MRI karena hidrogen dalam tubuh sangat banyak dan protonnya mempunyai moment magnetic yang besar. Dalam kondisi normal moment magnetic inti hydrogen arahnya random. Namun apabila ditempatkan dalam suatu medan magnet yang kuat, moment magnetic inti-inti atom akan menyesuaikan arah dengan medan magnet.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian inti-inti atom hidrogen terhadap medan magnet eksternal adalah kuat lemahnya medan magnet dan energi inti atom, yakni bila energi lebih lemah tidak cukup kuat untuk berlawanan dengan medan magnet (�0), dan bila energi tinggi maka akan cukup untuk anti parallel. Inti yang paling banyak mendominasi jaringan biologi tubuh manusia adalah atom hydrogen. Atom hydrogen sangat banyak terdapat dalam jaringan biologi tubuh manusia dan protonnya mempunyai moment magnetic yang besar. Hal ini menyebabkan sinyal hidrogen yang dihasilkan 1000 kali lebih besar dari pada atom lainnya dalam tubuh, sehingga atom inilah yang digunakan sebagai sumber sinyal dalam pencitraan MRI (Bryan, 2010).

2.3.2 Presesi

Tiap-tiap spin inti hidrogen membentuk Net Magnetisation Vector (NMV) pada sumbu atau porosnya. Pengaruh dari medan magnet eksternal (�0) akan menghasilkan spin sekunder atau gerakan NMV mengelilingi �0. Spin sekunder ini disebut precession dan menyebabkan magnetik moment bergerak secara


(29)

circular mengelilingi �0. Jalur sirkulasi pergerakan itu disebut precessional path dan kecepatan gerakan NMV mengelilingi �0 disebut frekuensi presesi. Satuan frekuensinya MHz, dimana 1 Hz = 1 putaran per-detik. Kecepatan atau frekuensi presesi proton atom hydrogen tergantung pada kuat magnet eksternal yang diberikan pada jaringan. Semakin kuat medan semakin cepat presesi proton dan frekuensi presesi yang tergantung pada kuat medan magnetik disebut dengan frekuensi Larmor yang mengikuti persamaan :

�0= �0 · �0 ... (1)

Dimana:

�0 adalah frekuensi Larmor dalam megahertz (MHz)

�0 rasio gyromagnetic, spesifik yang konstanta untuk inti tertentu

�0 kekuatan medan magnet eksternal dalam satuan tesla (T)

Proton memiliki rasio gyromagnetic dari γ = 42,58 MHz / T, sehingga

frekuensi Larmor dari 63,9 MHz di 1,5 T.


(30)

13

2.3.3 Resonansi

Merupakan sebuah fenomena diamana Radio Frekuensi (RF) dipancarkan dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi larmor atom maka akan terjadi fenomena resonansi. Apabila objek diletakkan dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat, maka inti-inti atomnya akan berada pada arah yang searah atau berlawanan dengan medan magnet eksternal dan inti-inti itu akan mengalami perpindahan dari suatu energi ke tingkat energi yang lain setelah diberikan Radio Frekuensi. Proses perpindahan energi ini seringkali merubah arah dari NMV, akibatnya vektor dapat berubah arah dari arah longitudinal atau parallel medan magnet eksternal, ke arah vektor yang lain (Bushberg, 2002)

Gambar 2.6 pemberian Radiofrekuensi pada atom Hidrogen (Bushberg, 2002)

2.3.4 MR Signal

Akibat resonansi NMV yang mengalami inphase pada bidang transversal. Hukum Faraday menyatakan jika receiver koil ditempatkan pada area medan magnet yang bergerak misalnya NMV yang mengalami presesi pada bidang transversal tadi akan dihasilkan voltage dalam receiver koil. Oleh karena itu NMV yang bergerak menghasilkan medan magnet yang berfluktuasi dalam koil. Saat NMV berpresesi sesuai frekuensi Larmor pada bidang transversal, maka akan terjadi voltage. Voltage ini merupakan MR signal. Frekuensi dari signal adalah sama dengan frekuensi Larmor, besar kecilnya sinyal tergantung pada banyaknya magnetisasi dalam bidang transversal. Bila masih banyak NMV, akan


(31)

menimbulkan sinyal yang kuat dan tampak terang pada gambar, bila NMV lemah akan sedikit menimbulkan sinyal dan akan tampak gelap pada citra MRI.

Pada saat terjadi magnetisasi transversal maka terjadi pula keadaan in phase pada bidang transversal sehingga akan terjadi induksi dari medan magnet terhadap koil penerima yang akan tercatat sebagai sinyal. Kuat dan lemahnya magnetisasi pada bidang transversal ini akan berpengaruh pada kekuatan signal MR dan berpengaruh pada intensitas gelap dan terang pada citra MRI. Bila signal MR kuat maka akan memberikan gambaran citra yang terang atau Hiperintens, sedangkan apabila signal MRI lemah akan memberikan citra MRI gelap atau Hipointens. Bila pulsa RF dihentikan, moment magnetik pada bidang transversal yang dalam keadaan Inphase akan mengalami Dephase kembali sehingga magnetisasi pada bidang transversal akan menurun, akibatnya induksi pada koil penerima juga akan semakin melemah yang dikenal dengan sinyal Free Induction Decay (FID)

2.3.5 Sinyal Free Induction Decay (FID)

Selama melakukan gerakan presesi, vektor magnetisasi dalam koordinat kartesian dapat diuraikan menjadi dua komponen yaitu :

a. Komponen logitudinal � pada sumbu z, yakni arah magnetisasi (M) mula-mula sebelum mengalami simpangan (sama dengan arah medan magnet eksternal).

b. Komponen tranversal ��� pada bidang xy (tegak lurus arah medan magnet ekternal)

Selama berpresesi arah � tetap, sedangkan ��� berputar pada bidang xy, seperti terlihat pada Gambar dibawah ini putaran ��� inilah yang menghasilkan sinyal NMR dimana dipancarkan dari proton yang beresonansi yang sinyalnya disebut sebagai Sinyal Free Induction Decay (FID).


(32)

15

Gambar 2.7 Peluruhan induksi bebas (Bushberg, 2002)

2.3.6 Relaksasi (Relaxation)

Sebuah proses diamana atom hidrogen kembali kepada kesetimbangannya. Selama NMV membuang seluruh energinya yang diserap dan kembali pada �0 disebut sebagai proses Relaksasi. Pada saat NMV kehilangan magnetisasi transversal yang dikarenakan Dephase terjadi proses Relaksasi yang menghasilkan recoveri magnetisasi longitudinal (��) dan decay dari magnetisasi transversal (���).

a. Recoveri dari magnetisasi longitudinal disebabkan oleh proses yang dinamakan �1 recoveri.

b. Decay dari magnetisasi transverse disebabkan oleh proses yang dinamakan �2 decay. (Daniel kertawiguna, 2015)

2.3.7 �� Recoveri (Longitudinal Relaxation)

Disebabkan oleh inti-inti atom yang memberikan energinya pada lingkungan sekitarnya atau lattice, dan disebut spin lattice relaksasi. Energi yang dibebaskan pada sekeliling lattice menyebabkan inti-inti atom untuk recoveri


(33)

kemagnetisasi longitudinal. Rate Recoveri adalah proses eksponensial denganwaktu yang konstan yang disebut �1. �1 adalah waktu pada saat 63% magnetisasi longitudinal (�) untuk Recoveri.

m

Gambar 2.8 Proses terjadianya �1 Recoveri dan Diagram �1 Recoveri (spin lattice relaksasi) (Bushberg, 2002)

2.3.8 �� Decay (Transverse Relaxation)

Disebabkan oleh pertukaran energi inti atom dengan atom yang lain. Pertukaran energi ini disebabkan oleh medan magnet dari tiap-tiap inti atom berinteraksi dengan inti atom lain. Seringkali dinamakan spin-spin relaksasi dan menghasilkan decay atau hilangnya magnetisasi transversal. Rate decay juga merupakan proses eksponensial, sehingga waktu relaksasi �2 dari jaringan soft


(34)

17

tissue konstan. �2 adalah waktu pada saat 37% magnetisasi transversal (���) menghilang (Decay).

Gambar 2.9 Proses terjadianya �2 Decay dan Grafik dari �2 Decay (spin-spin relaksasi)

Besarnya dan proses waktu frekuensi �1 dan �2 sangat berpengaruh pada sinyal keluaran yang akan ditransformasikan sebagai kontras citra MR, sebab kurva �1 akan menentukan magnetisasi transversal (���). Peluruhan �2 (waktu relaksasi �2) adalah efek yang paling berkontribusi pada gambar citra, sebab pada proses dephase proton akan dihasilkan suatu induksi sinyal. Pengulangan pulsa RF terjadi sebelum kurva recovery menjadi maksimal sehingga obyek jaringan dengan �1 pendek (cepat kembali ke kondisi kesetimbangan) akan mempunyai jumlah recovery yang banyak dibandingkan dengan jaringan yang mempunyai waktu yang panjang, sehingga dalam citra MRI akan di dapatkan gambar yang hitam pada pembobotan �1 spin echo. Setelah pulsa RF 90° diberikan pada obyek, magnetisasi longitudinal (��) akan diputar 90° ke bidang transversal (���) dan


(35)

terjadi proses relaksasi �2. Jaringan yang mempunyai nilai �2 pendek, dephase yang terjadi sangat cepat sehingga intensitas sinyal yang dihasilkan sangat besar dan jaringan dengan waktu relaksasi �2 pendek ini akan kelihatan hitam pada pembobotan nilai �2. Proses relaksasi �1 dan �2 adalah suatu kerja yang berlawanan yaitu pada saat proses pertumbuhan kembali magnetisasi longitudinal (��) diimbangi dengan peluruhan yang cepat pada kurva relaksasi �2. Dua efek relaksasi �1 dan �2 terjadi ketika objek diberikan gelombang radio RF yang merupakan bentuk pulsa sequence.

Pulsa sequence dalam pencitraan MRI dibentuk untuk mengetahui bagaimana efek �1 pada pembobotan citra �1 Weighted, efek �2 pada pembobotan citra �2 Weighted. Rangkaian pulsa RF dephasing phase echo dalam mendapatkan citra MRI dilakukan pengulangan untuk satu pemeriksaan. Waktu pengulangan antara pulsa sequence yang satu dengan yang berikutnya disebut dengan Time Repetition (TR), sedangkan waktu tengah antara pulsa 900 dan sinyal maksimum (echo) disebut dengan Time Echo (TE). Parameter 1 dan �2 sebagai sifat intrinsik jaringan, serta TE dan TR sebagai parameter teknis yang digunakan akan mengontrol derajat kehitaman pada citra MRI. Pada �2 Weighted derajat kehitaman gambar akan dikontrol oleh TE dan �2 (Spin spin relaxation), sedangkan untuk �1 Weighted derajat kehitaman akan dikontrol oleh TR dan �1 ((Spin lattice relaxation). Secara umum 1 Weighted akan menunjukkan struktur anatomi, dan �2 Weighted menunjukkan struktur patologi.

2.3.9 Time Repetition (TR), Time Echo (TE), Field of View, Signal noise to Ratio (SNR)

2.3.9.1 Time Repetition(TR) dan Time Echo(TE)

Time Repetition (TR) merupakan parameter yang mengontrol jumlah magnetisasi longitudinal (�) yang recoveri sebelum RF pulse berikutnya. TR yang panjang memungkinkan full recovery sehingga lebih banyak yang akan mengalami magnetisasi transversal (���) pada RF pulse berikutnya. TR yang panjang akan meningkatkan Signal Noise Ratio dan TR yang pendek menurunkan Signal Noise Ratio. Sedangkan Time Echo (TE) merupakan parameter yang


(36)

19

mengontrol jumlah magnetisasi transversal (���) yang akan Decay sebelum echo itu dicatat.

Time Repetition (TR) dan waktu Time Echo (TE) merupakan kunci dari penciptaan kontras citra MRI. Pada Gambar 2.10 menunjukkan simbol yang paling sering digunakan untuk diagram urutan pulsa, termasuk echo dengan penggunaan Spin Echo (SE) dan Gradien Echo (GRE). Hal ini penting untuk mengenali simbol-simbol ini, karena selalu digunakan untuk mewakili TR dan TE.

Gambar 2.10 Definisi simbol yang umum digunakan dalam diagram urutan pulsa.

TR adalah waktu (biasanya diukur dalam milidetik) antara penerapan pulsa RF eksitasi dan awal pulsa RF berikutnya. TE (juga biasanya diukur dalam milidetik) adalah waktu antara penerapan pulsa RF dan puncak gema terdeteksi (seperti terlihat pada Gambar 2.11a). Kedua parameter mempengaruhi kontras gambar MR karena memberikan berbagai tingkat kepekaan terhadap perbedaan waktu relaksasi antara berbagai jaringan. Pada TR pendek, perbedaan waktu relaksasi antara lemak dan air dapat dideteksi (magnetisasi longitudinal pulih lebih cepat dari pada lemak dalam air), di TR panjang, tidak dapat dideteksi. Oleh karena itu, TR berhubungan dengan �1 (seperti terlihat pada Gambar 2.15b) dan mempengaruhi kontras gambar �1 Weighted.

Pada TE singkat, perbedaan sinyal �2 lemak dan air tidak dapat dideteksi dan penggunaan TE panjang dapat dideteksi. Oleh karena itu, TE berhubungan dengan �2 (seperti terlihat pada Gambar 2.11b) dan mempengaruhi kontras gambar �2 Weighted. Ketika TR panjang dan TE pendek, perbedaan dalam pemulihan magnetisasi dan peluruhan sinyal antara lemak dan air yang tidak dapat


(37)

dibedakan (seperti terlihat pada Gambar 2.15b) Oleh karena itu, kontras diamati pada gambar MR dihasilkan adalah terutama karena perbedaan kepadatan proton antara kedua jenis jaringan. Jaringan dengan lebih proton memiliki intensitas sinyal yang lebih tinggi, dan jumlah proton lebih sedikit memiliki intensitas sinyal yang lebih rendah.

Gambar 2.11 (a) Skema representasi dari TR dan TE (b) Grafik TR dan TE panjang, pendek saat pembobotan T2 dan T1

Gambar 2.11 diatas menunjukkan saat panjang dengan TR pendek dan pada saat TE pendek untuk pembobotan T2 lemak dan air. Dan pembobotan T1 lemak dan air

2.3.9.2 Field of View (FOV) dan Signal noise to Ratio (SNR)

Field of view (FOV) merupakan parameter dalam menentukan luas lapangan atau lebih dikenal dengan luas daerah yang akan di scn. Oleh karena itu pengukuan FOV yang optimal akan memepengaruhi nilai SNR dikarenakan pusat data mentah yang diterima berasal dari luas area yang d scan. Semakin kecil FOV yang digunakan makan SNR akan semakin tinggi karena sinyal yang diterima merupakan dari objek yang kita scan saja tetai memiliki kekurangan yaitu organ atau objek yang diterima mengacu hanya organ organ kecil saja. Sehingga bisa menjadi acuan dalam sebuah pemeriksaan, begitu juga apabila FOV besar makan akan menurunkan nilai SNR dimana sinyal yang diterima bukan hanya dari organ yang diperiksa melainkan dari organ yang disekitar organ yang kita scan juga terdeteksi oleh coil.


(38)

21

Signal to Noise Ratio (SNR) merupakan hal yang paling menjadi perhatian pada kualitas MRI. Istilah ini didefinisikan sebagai perbandingan amplitudo dari signal yang diterima oleh coil dengan amplitudo dari noise. Jika signal yang sebenarnya relatif lebih kuat daripada noise maka SNR akan meningkat, dan kualitas gambar akan lebih baik. Nilai nilai Signal noise to ratio (SNR) diperoleh sesuai dengan ketentuan (Brian, 2010) dengan cara nilai intensitas signal pada daerah corpus, discus, CSF dan fat masing masing akan dibagi dengan nilai intensitas signal background Berikut adalah hasil penentuan ROI pada organ corpus, discus, CSF, fat dan background yang telah disebutkan diatas.

2.3.10 Pembobotan 1 atau 1 weighted

Pada pembobotan T1 menggunakan parameter TR yang maka pembobotan T1 akan kelihatan gelap atau hyperintens tetapi untuk jaringan yang mempunyai waktu relaksasi yang cepat maka pembobotan T1 akan kelihatan terang atau hypointens. Sebuah citra �1 Weighted dimana perbedaan waktu antara �1 jaringan misalnya lemak dan air tergantung dari Time Repetition (TR). Karena TR mengontrol seberapa jauh setiap vektor dapat memulihkan sebelum pemberian pulsa RF berikutnya, untuk mencapai bobot �1 TR harus cukup pendek sehingga lemak atau air memiliki waktu yang cukup untuk sepenuhnya kembali ke �0. Jika TR terlalu panjang, baik lemak dan air kembali ke �0 dan memulihkan magnetisasi longitudinal (�) sepenuhnya sehingga sinyal yang diberikan menjadi lemah dan tidak dapat menunjukkan perbedaan antara lemak dan air pada citra yang dihasilkan. Grafik �1 Weighted ditunjukkan pada gambar 2.12 di bawah ini (Pierce, 1995)


(39)

Gambar 2.12 �1 Perbedaan Antara Lemak dan Air (Bushberg, 2002)

2.3.11 Pembobotan �� atau �� weighted

2 weighted disebut juga T2WI atau �2 weighted Imaging yang merupakan salah satu pembobotan untuk MRI whole spine di mana kontrasnya tergantung pada Time echo (TE). ). TE mengontrol jumlah peluruhan �2 yang terjadi sebelum sinyal diterima. Pembobotan T2 cenderung membutuhkan Time

echo (TE) yang lama untuk memberikan jaringan lemak dan air waktu untuk

meluruh atau berdicay. Jika TE terlalu singkat, baik lemak atau air tidak memiliki waktu untuk meluruh dan tidak dapat menunjukkan perbedaan antara lemak dan air pada citra yang dihasilkan. Grafik �2 Weighted ditunjukkan pada gambar 2.13


(40)

23

Gambar 2.13 �2 Perbedaan Antara Lemak dan Air (Bushberg, 2002) 2.4 Pulsa Sequence

2.4.1 Spin Echo (SE)

Spin Echo adalah sequence yang paling banyak digunakan pada pemeriksaan MRI. Pada spin echo standar, segera setelah pulsa RF 900 diberikan, sebuah FID segera terbentuk. Dengan menggunakan kekuatan radiofrekuensi yang sesuai, akan terjadi transfer NMV bersudut 900 kemudian diikuti dengan rephasing pulse bersudut 1800Spin echo menggunakan eksitasi pulsa 900 yang diikuti oleh satu atau lebih rephasing pulsa 1800, untuk menghasilkan Spin Echo. Spin echo (SE) sama dengan urutan Gradien echo dengan pengecualian bahwa ada tambahan refocusing pulsa 1800.

2.4.2 Inversion Time (TI)

Inversion recovery (IR) ialah urutan eksitasi SE (Spin Echo) pulsa 90° dengan tambahan pulsa inversi 180° yang dimana pulsa 180° rephasing dari urutan SE konvensional. Pulsa inversi membalikan magnetisasi longitudinal dari �� positif kedalam �� arah negatif (seperti terlihat pada Gambar. 2.14). Setelah beberapa relaksasi telah terjadi, pulsa 90° urutan SE diterapkan. Waktu antara pulsa RF 180° dan pulsa RF 90 ° adalah Time Inversion (TI).


(41)

Gambar 2.14 Waktu antara pulsa 180 ° dan pulsa RF 90 °

Kontras pada gambar dapat dimanipulasi dengan mengubah waktu inversi. Dengan TI pendek dan pengiriman pulsa eksitasi 90° segera setelah pulsa 180° inversi, semua magnetisasi longitudinal negatif membalik atau flip ke bidang transversal. Jika waktu inversi cukup panjang memungkinkan relaksasi penuh, sinyal kembali menjadi lebih kuat.

Ketika pulsa pembalik dihapus, vektor magnetisasi mulai relaksasi kembali ke �0. Kontras gambar yang dihasilkan sangat tergantung pada panjang TI serta TR dan TE. Kontras dalam gambar terutama tergantung pada besarnya magnet longitudinal yang (seperti pada putaran echo) setelah waktu tunda yang dipilih TI. Kontras didasarkan pada kurva recovery TI setelah inversi pulsa 180º. Inverting pulsa 180º dapat menghasilkan perbedaan kontras besar antara lemak dan air karena saturasi penuh vektor lemak atau air dapat dicapai dengan memanfaatkan TI yang sesuai. (Daniel kertawiguna, 2004)

2.4.3 Short Time Inversion Recovery (STIR)

STIR (Short Time Inversion Recovery) adalah urutan pulsa inversi dengan waktu tertentu sehingga dapat menekan sinyal dari lemak. Urutan pulsa


(42)

25

pemulihan inversi merupakan urutan pulsa Spin Echo didahului oleh pulsa 180° RF. Sequence STIR membalikkan magnetisasi longitudinal baik lemak dan air dengan pengiriman pulsa 180°, yang diikuti oleh TI (Time Inversion) beberapa ratus milidetik. Untuk menekan sinyal lemak, TI disesuaikan sedemikian rupa sehingga pulsa 90° dipancarkan tepat pada saat ketika lemak melewati nol. TI menekan lemak sekitar 150 msec pada kekuatan bidang magnet 1,5 T dan sekitar 100 msec pada bidang magnet 0,5 T.

STIR merupakan urutan pulsa recovery inversi yang menggunakan TI yang sesuai dengan waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari inversi penuh lemak terhadap bidang transversal sehingga tidak ada magnet longitudinal yang sesuai dengan lemak. Ketika pulsa 90º bereksitasi diterapkan setelah waktu tunda TI, sinyal dari lemak batal. STIR digunakan untuk mencapai penekanan sinyal lemak dalam gambar �1 weighted dan 2 weighted. Sebuah TI dari 150-175 msec mencapai penekanan lemak meskipun nilai ini bervariasi pada kekuatan lapangan magnet yang berbeda. (Bushberg, 2002)

2.5 Teknik Composing

Pada perkembangan mesin Magnetik Resonance yang menawarkan kemampuan untuk memeriksa daerah tubuh yang besar tanpa reposisi pasien, MRI sekarang dapat digunakan untuk pencitraan aspek sistemik penyakit misalnya pada bidang onkologi. Tapi dokumentasi patologi yang kompleks membutuhkan penilaian yang mudah dan cepat. Untuk tujuan ini, teknik pencitraan composing dapat membantu. Untuk memperoleh informasi dari daerah tubuh yang besar, Field Of View (FOV) dan multi-channel kumparan harus diterapkan.

Pada system MR yang memiliki medan magnet 1.5T FOV yang besar sering ditandai dengan pencahayaan homogen disebabkan terutama oleh variasi local sensitivitas coil. Akibatnya, penyesuaian manual harus dibentuk termasuk untuk daerah kecil. Teknik Composing merupakan teknik pada Pemeriksan MRI tulang belakang yang dilakukan secara keseluruhan tanpa berulang kali memposisikan pasien. Mengingat pemeriksaan MRI adalah pemeriksaan yang


(43)

memakan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi yang lain seperti x-ray atau ct scan.

Teknik composing pada MRI tulang belakang dilakukan yang mana kegunaannya adalah untuk : Menilai ruas tulang belakang dan kedudukannya, Mendeteksi kelainan tulang belakang dan sumsum tulang belakang, Mendeteksi kelainan syaraf tulang belakang atau hernia nucleic pulpose (HNP), Mendeteksi adanya metastasis/penyebaran kanker ke sumsum tulang belakang, Mendeteksi secara keseluruhan penyebaran TB tulang terhadap ruas tulang belakang.

Gambar 2.15 Tampilan dari menu Composing

2.6 Anatomi Whole Spine

Tulang vertebrae wholespine terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Tulang servikal, torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sacral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakrum dan koksigeus. Diskus intervertebrae merupkan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Fungsi kolumna vertebralis adalah menopang tubuh manusia dalam posisi tegak, yang


(44)

27

secara mekanik sebenarnya melawan pengaruh gaya gravitasi agar tubuh secara seimbang tetap tegak. Vertebra cervical, thoracal, lumbal bila diperhatikan satu dengan yang lainnya ada perbedaan dalam ukuran dan bentuk, tetapi bila ditinjau lebih lanjut tulang tersebut mempunyai bentuk yang sama. Korpus vertebrae merupakan struktur yang terbesar karena mengingat fungsinya sebagai penyangga berat badan. Prosesus transversus terletak pada ke dua sisi korpus vertebra, merupakan tempat melekatnya otot-otot punggung. Sedikit ke arah atas dan bawah dari prosesus transverses terdapat fasies artikularis vertebrae dengan vertebrae yang lainnya. Arah permukaan facet join mencegah/membatasi gerakan yang berlawanan arah dengan permukaan facet join (CAILLIET 1981). Adapun anatomi dari whole spine dapat ditunujukkan seperti pada Gambar 2.16 dan Gambar 2.17


(45)

(46)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif dilakukan di Murni Teguh Memorial Hospital, Jl. Jawa No. 2 (Sp. Jl. Veteran) Medan, 20231- Sumatera Utara, dengan menggunakan Instrumentasi Magnetic Resonance Imaging Siemens Magnetom Avanto A Tim system buatan Germany. Sistem medan magnet yang dipergunakan adalah Superkonduktor yang mampu memberikan medan magnet yang sangat besar yaitu sebesar 1,5 Tesla

3.2 MR Scan System

Dalam penelitian ini menggunakan Siemens Magnetom Avantom A Tim System dengan spesifikasi sebagai berikut :

a. Magnet System

Field strength : 1,5 Tesla

Bore size : 60 cm

Helium Compsumption : Zero Heliu boil-off technology RF Tim : [32x8]1, [76x18],[76x32] b. Gradien system

Gradient strength : Q-engine ( 33mT/m@125T/m/s) : SQ engine (45mT/m@200t/M/S)


(47)

Gambar 3.1 Gantry MRI

3.3 Subjek Penelitian

Jumlah dari subjek yang digunakan untuk penelitian ini sebanyak 15 citra dari 5 orang pasien yang dilakukan selama 6 minggu yaitu dari bulan mei sampai bulai juni, baik laki-laki maupun perempuan dengan umur yang berkisar dari 30 - 50 tahun dimana bebas dari unsur logam seperti pacemaker (alat pacu jantung), implant ataupun gigi palsu. Tata cara penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan citra dari MRI diawali dengan persiapan pesawat MRI persiapan pasien, pengaturan dari teknik penggabungan atau composing vertebra dan analisa data.

Penggunaan teknik composing ini sangat mempengaruhi hasil pencitraan yang lebih informatif atau akurat untuk mendiagnosa kelainan pada pasien terutama untuk kasus yang berhubungan dengan tulang belakang seperti mendeteksi kelainan kongenital columna vertebralis atau sumsum tulang belakang, menilai penyakit sendi intervertebralis atau hernia, menilai kompresi


(48)

31

sumsum tulang belakang atau syaraf tulang belakang serta melihat metastasis atau penyebaran tumor ke sumsum tulang belakang.

3.4 Alur kerja

Persiapan pemeriksaan MRI dilakukan dengan terlebih dahulu yaitu : a. persiapan pasien sebagai berikut:

• Screening pasien yaitu pengisian check list oleh pasien, Memberikan penjelasan dan untuk memastikan boleh tidaknya menjalani pemeriksaan MRI, antara lain apakah menggunakan facemaker (alat pacu jantung), implant operasi, atau logam lainnya yang tidak diperbolehkan dibawa ke dalam ruang pemeriksaan MRI .

• Meminta persetujuan pasien dengan menandatangani surat persetujuan tindakan MRI (Inform concent)

• Memberikan arahan kepada pasien, seperti menganti pakaian dengan pakaian yang telah disediakan, dan melepaskan benda-benda yang mengandung unsur logam seperti jam tangan, aksesoris lainnya.

• Memberikan penjelasan tentang jalannya prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan, serta menginstruksikan pada pasien untuk tidak bergerak selama proses pemeriksaan berlangsung.

b. Setelah screening pasien. pasien diarahkan ke ruang pemeriksaan MRI, mengatur posisi pasien dengan posisi head first supine, objek diatur didalam ganrty dengan mengarahkan center point tepat di cervical (tulang leher).


(49)

Gambar 3.2 Posisi Pasien head first supine

c. Proses MRI dilakukan, citra diawali dengan pembuatan scenogram (foto pendahuluan) pada monitor MRI

Gambar 3.3 Scanogram wl...

d. Scanogram atau foto pendahuluan menjadi acuan untuk melakukan scan MRI objek yang akan diambil dengan menggunakan sequnce yang telah tersedia pada system MRI yaitu T2 weighted.


(50)

33

Gambar 3.4 Proses Composing dari potongan Sagital

e. Kemudian dilakukan teknik composing dengan T2 weihted sagital whole spine.

f. Diperoleh citra dari vertebrae dan akan disimpan dalam media CD atau film kemudian dianalisa.

3.5 Analisis Data

Dalam menganalisis data yang diperoleh dari hasil citra dengan teknik composing perubahan FoV yaitu 400cm, 450cm dan 500cm dianalisa dengan memperoleh nilai SNR (Signal Noise to Ratio) untuk setiap perubahan FoV sehingga diperoleh citra yang lebih akurat dan mempermudah dalam menegakkan diagnosa. Untuk memperoleh nilai SNR dilakukan dengan ketentuan Bryan (2010) yakni perbandingan nilai signal pada jaringan corpus, discus, CSF, fat dengan diluar jaringan atau background, dengan cara menentukan ROI (region of interest) didaerah tersebut. Dari hasil ROI setiap jaringan yang sudah ditentukan akan diperoleh nilai SNR.

Dalam menganalisis data yang diperoleh peneliti menggunakan beberapa uji statistik, antara lain :


(51)

3.5.1 Uji normalitas Data

Untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dari hasil pengukuran berdistribusi normal maka dilakukan pengujian normalitas berdistribusi normal dengan menggunakan Shapiro wilk test. Adapun ketentuan pengujian adalah data SNR pada perubahan FOV 400 mm, 450 mm dan 500 mm dinyatakan berditribusi normal jika nilai signifikan P value >0,05.

3.5.2 Uji Parametrik repeated Anova

Uji statistik parametric yaitu uji repeated anova ini digunakan dengan α < 0,05 dan CI = 95%. Uji repeated anova dilakukan karena pemeriksaan yang dilakukan terhadap 1 jenis pemeriksaan tetapi dengan tiga kali pengulangan, yaitu perubahan FOV 400mm, 450mmdan 500mm. Setelah dilakukan uji normalitas data dan semua variabel berdistribusi dengan normal maka akan dilakukan uji repeated anova yang hasilnya nanti akan dilakukan perbandingan supaya mengetahui citra mana yang lebih akuratdari perubahan FOV yang dilakukan. Hasil yang pertama nanti diperoleh dalam bentuk tabel multivariate test, yaitu hasil dimana variabelnya bernilai α < 0,05, dan hasil multivariate test akan diuji ke tabel perbandingan yaitu table pairwise comparisons, dari hasil table pairwise comparisons akan diperoleh hasil citra MRI whole spine dengan teknik composing pada perubahan FOV.


(52)

35

3.6 Diagram Flow Chart

Gambar 3.5 Diagram flow chart Mulai

Memberikan arahan pasien dan

posisi pasien

Masukkan sequence T2Weighted

Hasil citra dengan (menggunakan teknik Cervikalthoracal-Thoracallumbal

TeknikComposing dengan parameter FoV 300, 450, 500

Analisa hasil citra MRI


(53)

36 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Citra MRI

Hasil citra yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan citra MRI Whole spine potongan sagital T2 weighted dengan perubahan Fiel of View (FOV) atau luas tampilan 400 mm, 450 mm, 500 mm yang dilakukan pada 5 orang pasien dengan umur 30 - 60 tahun yang dimuat pda lampiran 2. Untuk memperoleh citra yang lebih akurat dan informatif pada teknik composing maka dilakukan Region of Interest (ROI) yaitu didaerah corpus, discuc, CSF, fat dan background pada setiap citra dengan perubahan FOV yaitu 400 mm, 450 mm dan 500 mm. Dari hasil ROI akan diperoleh nilai intensitas signal untuk daerah corpus, discus, CSF, fat dan background sehingga akaan diperoleh nilai Signal Noise to Ratio (SNR) sesuai dengan ketentuan (Bryan, 2010) yaitu nilai intensitas signal pada daerah corpus, discus, CSF dan fat dibagi dengan nilai intensitas signal background

Nilai intensitas daerah tertentu Nilai signal background SNR=

Seperti pada gambar berikut

:

Gambar 4.1 Citra Whole spine 1

2

Keterangan : 1. Fat


(54)

37

Gambar 4.1 merupakan Citra dari MRI whole spine potonganT2 sagital Pada citra tersebut telah dilakukan region of interest (ROI) yaitu didaerah corpus, discus, fat. Cerebrospinal fluid (CSF) dan background seperti pada gambar Lampiran 3. Dari hasil ROI akan diperoleh nilai intensitas signal untuk masing masing organ sehingga akan diperoleh nilai Signal noise to ratio (SNR) sesuai dengan ketentuan (Brian,2010) dengan cara nilai intensitas signal pada daerah corpus, discus, CSF dan fat masing masing akan dibagi dengan nilai intensitas signal background. Berikut adalah hasil penentuan ROI pada organ corpus, discus, CSF, fat dan background yang telah disebutkan diatas.

Tabel 4.1 : Nilai ROI pada Citra Data

pasien

Field of View Nilai Intenstas Signal

(FOV) Corpus Discus CSF Fat Background Citra A 400mm 164,1 62,3 209,8 253,7 5,53

450mm 158,8 47,0 232,5 282,8 4,05

500mm 167,4 36,5 435,4 303,7 2,4

Citra B 400mm 280,3 235,8 341,6 574,4 5,6 450mm 267,5 247,2 357,8 543,7 7,3

500mm 273,8 170,7 381,0 567,4 3,8

Citra C 400mm 97,9 174,0 708,0 473,5 11,1 450mm 96,9 186,2 660,0 586,0 4,5

500mm 98,1 184,8 706,2 458,8 4,0

Rata-rata

Citra D 400mm 96,9 186,2 660,0 586,0 4,5

450mm 88,5 316,3 438,8 737,0 9,6

500mm 91,8 291,7 453,1 448,9 4,8

Citra E 400mm 175,4 208,5 392,1 544,1 8,4

450mm 182,0 224,5 359,1 546,0 7,9


(55)

Dari hasil ROI yang dilakukan didaerah corpus, discus, CSF, fat akan diperoleh nilai SNR dari setiap organ dengan perubahan FOV 400mm, 450mm dan 500mm seperti pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Nilai SNR pada perubahan FOV 400mm FOV

(mm) Data Pasien

Nilai SNR (Signal noise to ratio)

400

Corpus Discus CSF Fat

A 29.67 11.26 37.934 45,87

B 50.05 42.1 61 102,57

C 8,58 15.26 62.1 41.53

D 21.53 41.37 146.66 130.22

E 20.88 24.82 46.67 64.77

Tabel 4.2 diatas menunjukkan nilai SNR dari corpus, discus, CSF dan fat dengan FOV 400 mm diperoleh nilai SNR yang tinggi pada fat dan nilai SNR terendah pada corpus, karena corpus merupakan daerah tulang yang lebih sedikit mengandung air daripada daerah lain.

Untuk nilai SNR dengan perubahan FOV 450mm seperti pada tabel 4.3 berikut;

Tabel 4.3 Nilai SNR pada perubahan FOV 450mm FOV

(mm) Data Pasien

Nilai SNR (Signal Noise to Ratio)

450

Corpus Discus CSF Fat

A 39.2 11.6 57.4 69.82

B 36.64 33.86 49.01 13.41

C 21.53 41.37 146.6 130.22

D 9.21 32.94 45.7 76.77


(56)

39

Tabel 4.3 diatas menunjukkan nilai SNR pada saat FOV 450 dari organ corpus, discus, CSF dan fat dapat dilihat pada tabel 4.3 dimana nilai SNR paling tinggi terdapat pada CSF dan nilai SNR terendah terdapat pada corpus.

Untuk nilai SNR dengan perubahan FOV 500mm seperti pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Nilai SNR pada perubahan FOV 500mm FOV

(mm) Data Pasien

Nilai SNR (Signal Noise to Ratio)

500

Corpus Discus CSF Fat

A 69.75 15.2 181.41 126.54

B 72.05 44.92 100.26 149.31

C 24.52 46.2 176.55 114.7

D 19.12 60.77 94.39 93.52

E 35.61 45.67 72.07 102.07

Tabel 4.4 menunjukkan menunjukkan nilai SNR pada saat FOV 500 dari organ corpus, discus, CSF dan fat dapat dilihat pada tabel 4.4 dimana nilai SNR paling tinggi terdapat pada CSF dan nilai SNR terendah terdapat pada discus.

Dari masing- masing tabel diatas diperoleh nilai rata rata SNR untuk setiap daerah corpus, discus, CSF dan fat seperti pada tabel 4.5 dibah ini.

Tabel 4.5 Nilai rata-rata SNR

FOV (mm) Nilai SNR rata-rata

Corpus Discus CSF Fat

400 130.71 134.81 354.36 384.96

450 129.61 148.18 344.16 359.33

500 221.05 212.76 624.68 586.14

Untuk memperoleh nilai dari masing masing FOV yaitu 400 mm, 450mm dan 500mm yang lebih akurat maka akan dicari nilai master data. Master data ini merupakan data penelitian yang sudah diperoleh yaitu nilai SNR yang ditotalkan untuk setiap organ pada masing masing perubahan FOV. Hasil master data dari


(57)

masing masing nilai SNR pada perubahan FOV 400mm, 450mm, dan 500mm dapat dilihat pada lampiran 4.

4.1.2 Analisis Data 4.1.2.1 Uji Normalitas

Berdasarkan hasil uji normalitas data yang telah dilakukan untuk mengetahui apakah data dari perubahan FOV 400mm, FOV 450mm dan FOV 500 mm berdistribusi normal atau tidak. Pada penguji ini menggunakan uji Shapiro Wilk Test. Hasil uji normalitas data dinyatakan bedistribusi normal jika P value >0,05. Sedangkan p<0,05 hasil analisa data tidak berdisttribusi dengan normal.

Tabel 4.6 Uji Normalitas Data Sebelum dilakukan transformasi data Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig.

400 .854 5 .208

450 .737 5 .023

500 .843 5 .174

Tabel 4.7 Nilai mean untuk semua perubahan FOV

N 400 450 500

Valid 5 5 5

Missing 0 0 0

Mean 200.97 196.26 328.93

Std. Error of Mean 42.072 36.635 28.053

Median 157.14 166.00 361.97

Mode 125a 133a 255a

Std. Deviation 94.077 81.918 62.727

Minimum 125 133 255


(58)

41

Gambar 4.2 Histogram dengan perubahan FOV 400 mm

Diagram 4.2 menunjukan bahwa data yang sudah diproses berdistribusi normal dan tidak berdistribusi normal, karena diagramnya menonjol kedaehan kanan.

Gambar 4.3 Detrended Normal Q-Q Plot 400mm

Grafik pada gambar 4.3 diatas menunjukkan Garis yang dimulai dari titik normal yaitu 0.0 tetap menunujukkan normalitas karena semua titik responding berada didaerah yang mendekati garis lurus. Hasilnya sama seperti pada grafik 4.2


(59)

Gambar 4.4 Histogram dengan perubahan FOV 450 mm

Diagram 4.4 menunjukan bahwa data yang sudah diproses tidak berdistribusi normal.

Gambar 4.5 Detrended Normal Q-Q Plot 450mm

Grafik pada gambar 4.5 diatas menunjukkan Garis yang dimulai dari titik normal yaitu 0.0 menunujukkan bahwa data tidak berdistribusi dengan normal, karena ada satu titik responding berada jauh dari garis lurus.


(60)

43

Gambar 4.6 Histogram dengan perubahan FOV 500 mm

Gambar 4.6 juga menunjukkan grafik normal. Diagram masih berada pada daerah batas normal.

Gambar 4.7 Grafik Detrended Normal Q-Q Plot 500 mm

Grafik pada gambar 4.7 diatas menunjukkan data yang berdistribusi normal yang dimulai dari titik normal yaitu dimulai dari titik 0.0.

Berdasarkan tabel Tests of Normality di atas menunjukkan bahwa SNR pada perubahan FoV 450 mm data masih belum berdistribusi normal, karena hasil


(61)

uji normalitas data lebih kecil dari 0,05. Oleh karena itu peril dilakukan transformasi data terhada nilai SNR pada perubahan FOV 450mm.

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Sesudah dilakukan transformasi data Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig.

trasnt_b .817 5 .110

400 .854 5 .208

500 .843 5 .174

Berdasarkan Tabel Test Of Normality di atas menunjukkan bahwa semua variabel berdistribusi normal. setelah dilakukan trasformasi data terhadap variabel SNR450, di dapatkan p value = 0,110. Ini menunjukkan bahwa �> 0,05 (������= 0,110) artinya data berdistribusi normal, SNR400 (p value = 0,208) dan SNR500 (p value = 0,174).


(62)

45

Gambar 4.9 Grafik Detrended Normal Q-Q Plot 450 mm

Grafik pada gambar 4.9 Setelah data di transformasi kemudian dilakukan penelitian kembali dengan repeated anova data kembali berdistribusi normal.

4.1.2.2 Uji Parametrik dengan Repeated Anova

Uji statistic repeated anova dilkukan untuk mengetahui seberapa keakuratan normalitas dari masing masing perubahan FOV yaitu FOV 400mm, FOV 450mm, dan FOV 500mm. Dari hasil repeated anova diperoleh bahwa nilai yang dihasilkan valid.tidak ada kesalahan dari data yang sudah diuji kenormalitasnnya. Berikut adalah hasil dari Multivariate Test.

Tabel 4.9 Multivariate Tests

Value F Hypothesis df Error df Sig. Pillai's trace .985 96.632a 2.000 3.000 .002 Wilks' lambda .015 96.632a 2.000 3.000 .002 Hotelling's trace 64.421 96.632a 2.000 3.000 .002 Roy's largest root 64.421 96.632a 2.000 3.000 .002


(63)

Berdasarkan Tabel Multivariate Test’s di atas menunjukkan bahwa paling tidak terdapat 2 pengukuran yang berbeda yaitu 3 pengukuran FOV 400mm, FOV 450mm dan FOV 500mm. Maka perlu dilakukan pengukuran dari ketiga masing masing untuk mengetahui citra yang lebih akurat dan informative dari masing masing perubahan FOV. Berikut adalah tabel hasil dari Pairwise Comparison

Tabel 4.10 Pairwise Comparisons

(I) SNR (J) SNR Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.a

95% Confidence Interval for Differencea

Lower Bound Upper Bound

1 2 198.700* 42.109 .028 31.914 365.485

3 -127.958 60.067 .301 -365.870 109.954

2 1 -198.700* 42.109 .028 -365.485 -31.914

3 -326.658* 28.037 .001 -437.706 -215.609

3 1 127.958 60.067 .301 -109.954 365.870

2 326.658* 28.037 .001 215.609 437.706

Berdasarkan tabel pairwise comparisons dapat disimpulkan seperti berikut ini bahwa pada:

1. Pengukuran 1 yaitu teknik composing 450mm hasilnya p<0.028 lebih signifikan dari pada teknik composing 500mm hasilnya p<0,301.

2. Pengukura 2 teknik composing 500mm p< 0,001 lebih signfikan dari pada teknik composing 400mm yang hasilnya p<0,028

3. Pengukuran 3 teknik compType equation here.osing 450mm hasilnya p<0,001 lebih signifikan dari pada teknik composing 400mm yang hasilnya p<0,301

Suatu data dinyatakan signifikan bila P<0,05 Ini menunjukkan bahwa hasil teknik composing 450mm lebih akurat dari pada hasil teknik composing FOV400mm dan hasil teknik composing FOV500mm. Dan hasil teknik composing pada perubahan 500 lebih signifikan dengan FOV 400mm.


(64)

47

4.2 Pembahasan

Pemeriksaan MRI whole spine pada potongan sagital T2 weighted dengan menggunakan teknik composing biasanya dilakukan untuk pasien pasien dengan kasus pada tulang belakang seperti syaraf terjepit (HNP), TB tulang, metastasis cancer. MRI whole spine potongan sagital yang dilakukan yaitu dengan menggunakan teknik composing pada 3 perubahan FOV yaitu FOV 400mm, FOV 450mm, dan FOV 500mm. Penelitian dengan teknik composing ini dilakukan pada 5 orang pasien, masing masing pasien dilakukan 3 x perubahan FOV. Hasil citra yang dihasilkan dari 5 orang pasien dengan 3 perubahan FOV adalah 15 citra. Pada citra inilah yang dilakukan Region of Interest (ROI) yaitu pada daerah corpus, discus intervertebralis, CSF, Fat dan Background. Dari Hasil ROI tersebut akan kita peroleh nilai Signal Noise to Ratio (SNR) dengan ketentuan (Bryan, 2010) yaitu nilai intensitas pada daerah tertentu dibagi dengan nilai intnsitas pada signal background. Maka diperoleh lah nilai SNR dari corpus, discus, CSF dan fat utnutk masing masing perubabhan FOV. Hasil SNR tersebut akan diolah dengan mengunnakan uji normalitas data, dengan terlebih dahulu menjumlahkan total nilai SNR dari corpus, discus, CSF dan fat setiap pasien untuk setiap perubahan FOV.

Hasil master data ini diuji dengan uji normalitas data. Jika data dari setiap perubahan berdistribusi dengan normal maka akan dilanjutakan dengan uji Shapiro Wilk test. Namun jika salah 1 dari variable tidak berdistribusi dengan normal maka akan dilakukan transformasi data sampai hasil berdistribusi dengan normal. Jika setelah dilakukan transformasi data ternyata hasil belum berdistribusi dengan normal maka akan dilakukan 2 cara yaitu cara pertama dengan membuang angka ekstrim atau outlier dan cara kedua yaitu dengan mengganti uji yaitu menjadi Comparatif non parametric. Hasil uji normalitas dari 3 perubahan FOV. Terdapat 1 variable yang belum berdistribusi dengan normal yaitu pada perubahan FOV 450mm. Maka dilakukan transformasi data, kemudian dilakukan uji normalitas terhadap data yang sudah ditransformasi dan hasilnya data


(65)

berdistribusi dengan normal. Dilanjutkan dengan Shapiro wilk test. Variabel dinyatakan signifikan bila P value>0,05.

Kemudian pada teknik composing dilakukan Uji statistic parametric yaitu repeated anova. Repeated anova dilakukan karena Objek yang diuji hanya 1 yaitu citra teknik composing whole spine tetapi dengan 3 x pengulangan yaitu 3 perubahan FOV. Hasil penelitian dengan uji repeated anova ini diperoleh dalam bentuk tabel multivariate test dan Pairwise comparisons. Berdasarkan tabel pairwise comparisons bahwa teknik composing FOV 450mm lebih akurat daripada teknik composing FOV 500mm dan teknik composing FOV 400. Teknik composing FOV 500mm lebih akurat dibandingkan dengan teknik composing FOV 400mm.


(66)

49 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Melalui penelitian ini dapat disimpulkaan bahwa citra whole spine potongan sagittal T2 weighted dengan teknik composing dengan nilai SNR yang lebih akurat dan informative diperoleh pada citra dengan perubahan FOV 450 mm dibanding dengan citra whole spine pada composing 400mm dan citrs whole spine FOV500mm.

2. Teknik composing potongan T2 sagital dapat memberikan informasi yang lebih akurat khususnya untuk kasus metastasis tulang dibanding dengan pemeriksaan lain yang umum dilakukan.

5.2 Saran

Dengan adanya hasil penelitian ini semoga teman teman medis khususnya radiologi dapat menggunakan teknik composing dengan FOV 450 mm untuk pemeriksaan whole spine khususnya untuk kasus metastasis, TB tulang.


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Blitar,dkk. 2006. MRI for Technologist second edition, The McGraw-Hill Companies, USA.

Budiarto, Eko.2004 ;Metodologi Penelitian Kedokteran, Jakarta.

Bryan, R.N., 2010, Introduction to the science of medical Imaging, 67-171, University Press, Cambridge New York

Blink, E.J., 2004, MRI Physic

Bushong, S.C. 1996. Radiologic science for technologists: Physics, Biology, and Protection, Seventh edition, 84–173, Mosby Inc, ST. Louis London Philadelphia Sydney Totonto.

Bushbreg, J.T.,J.A. Seibert, E.M. Leidholdt, and J.M. Boone. 2002, The Essensial Physic of medical Imaging second edition, second edition, 377- 462, Lippincott williama and Wilkins, Philadelphia, USA

Bushberg, J.T. dan Seibert, J.A. dan Leidhold, E.M. 2001. The Essential Physic of medical Imaging. California: University of California Hoa,2007.MRI Sequence; Image Quality and Artefact.

Forshult, stig E, 2007, magnetic resonance imaging MRI An Overview, Karlstad University, Swedia.

Pierce, B.J. 1995. MRI For Technologists. San Fransisco,California: Peggy and Associates.

Rahmer, J., Bornert, P., Groen, J., and Bos C., 2006. Three-dimensional radial ultrashort echo- time imaging with T2 adapted sampling, Magnetic Resonance in Medicine, 55, 1075–82

Raul, N. Uppot, MD., and James, L.M.D., 2002 Fast imaging techniques for body magnetic resonance.

Robbie, Mc., Donald, Elizabeth, A., Moore, Martin, J., Graves, and Martin, R.P., 2006, MRI From Picture To Proton, Second Edition. Cambridge University Press, New York.

hhtp//www.applieddradiology.com


(68)

Westbrook, 1998, Handbook of MRI Technique, DP photoseting aylesbury, Bucks Printed and Bound in Great Britain, Cambridge

Westbrook, c dan kuat c, 1999. frekuensi presesi Magnetic Resonance Imaging. Schoarpedia.

[AJR] American Journal Roentgenology. 1996. Nonspecificity of Short Inversion Time Inversion Recovery (STIR) as a Technique of Fat Suppression: Pitfalls in Image Interpretation. American. 166:523-526 0361-803X/96/1663-523. [CAMBRIDGE] CAMBRIDGE UNIVERSITY, 2003. MRI From Picture to

Proton, Second Edition. United States of America by Cambridge University Press, New York.

[RSNA] Radiological society of North America. 1994. Imaging & Therapeutic Technology. Volume 14. North America

[RSNA] Radiological society of North America. 2006. MR Pulse Sequences: What Every Radiologist Wants to Know but Is Afraid to Ask. Volume 26.


(69)

29

HASIL CITRA SEBELUM DILAKUKAN REGION OF INTEREST (ROI)

FOV 450mm FOV500mm


(70)

29 Lanjutan Lampiran 1

FOV400mm FOV 450mm Fov 500MM

FOV 500mm FOV 450mm


(71)

Lanjutan Lampiran 1

FOV 450mm


(72)

LAMPIRAN 2

CITRA WHOLE SPINE SETELAH DILAKUKAN ROI Citra dengan perubahan FOV 400 mm, 450 mm, dan 500 mm untuk 5 pasien. 4.1.1. Citra 1 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

=

4.1.2. Citra 2 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

=

FOV 500mm

FOV 450mm FOV400 mm


(73)

ANJUTAN LAMPIRAN 2

4.1.3. Citra 3 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

4.1.4. Citra 4 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

FOV400 FOV 450 FOV 500 mm

FOV 500mm FOV 450


(74)

LANJUTAN LAMPIRAN 2


(75)

Lampiran 3

HASIL MASTER DATA

Tabel 4.6 Master Data citra MRI Whole spine dengan teknik composing FOV 400mm

No SNR dengan FOV 400mm

Corpus Discus CSF Fat Total 1 29.67 11.26 37.93 45.87 124.73 2 50.05 42.10 61.00 102.57 255.72 3 8.58 15.26 62.10 41.53 127.47 4 21.53 41.37 146.66 130.22 339.78 5 20.88 24.82 46.67 64.77 157.14

Tabel 4.7 Master Data Penelitian Pemeriksaan Whole spine dengan teknik composing perubahan FOV 450mm

No SNR PADA PERUBAHAN 450

Corpus Discus CSF Fat Total 1 39.2 11.6 57.4 69.82 178.02 2 36.64 33.86 49.01 13.41 132.92 3 21.53 41.37 146.6 130.22 339.72 4 9.21 32.94 45.7 76.77 164.62 5 23.03 28.41 45.45 69.11 166

Tabel 4.8 Master Data Penelitian Pemeriksaan Whole spine dengan teknik composing perubahan FOV 500mm

No SNR PADA PERUBAHAN 500

Corpus Discus CSF Fat Total 1 69.75 15.2 181.41 126.54 392.9 2 72.05 44.92 100.26 149.31 366.54 3 24.52 46.2 176.55 114.7 361.97 4 19.12 60.77 94.39 93.52 267.8 5 35.61 45.67 72.07 102.07 255.42


(76)

LAMPIRAN 4

Hasil Uji Normalitas

Tabel 4.7 Uji Normalitas Data Sebelum dilakukan transformasi data

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

400 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

450 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

500 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

400 .279 5 .200* .854 5 .208

450 .388 5 .013 .737 5 .023

500 .301 5 .158 .843 5 .174

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Berdasarkan tabel Tests of Normality di atas menunjukkan bahwa SNR FoV 450 cm masih belum berdistribusi normal


(77)

Lampiran 5

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Sesudah dilakukan transformasi data

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

trasnt_b 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

400 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

500 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

trasnt_b .346 5 .050 .817 5 .110

400 .279 5 .200* .854 5 .208

500 .301 5 .158 .843 5 .174

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Berdasarkan Tabel Test Of Normality di atas menunjukkan bahwa semua variabel berdistribusi normal. setelah dilakukan trasformasi data terhadap variabel SNR FOV 450mm, di dapatkan p value = 0,110. Ini menunjukkan bahwa �>

0,05 (������ = 0,110) artinya ddata berdistribusi normal, SNR FOV 400mm (p value = 0,208) dan SNR FOV500mm (p value = 0,174).


(1)

LAMPIRAN 2

CITRA WHOLE SPINE SETELAH DILAKUKAN ROI

Citra dengan perubahan FOV 400 mm, 450 mm, dan 500 mm untuk 5 pasien.

4.1.1. Citra 1 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

=

4.1.2. Citra 2 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

=

FOV 500mm

FOV 450mm

FOV400 mm


(2)

ANJUTAN LAMPIRAN 2

4.1.3. Citra 3 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

4.1.4. Citra 4 Dengan FOV 400mm , 450mm dan 500mm

FOV400 FOV 450 FOV 500 mm

FOV 500mm FOV 450


(3)

LANJUTAN LAMPIRAN 2


(4)

Lampiran 3

HASIL MASTER DATA

Tabel 4.6 Master Data citra MRI Whole spine dengan teknik composing FOV 400mm

No SNR dengan FOV 400mm

Corpus Discus CSF Fat Total

1

29.67

11.26

37.93

45.87

124.73 2

50.05

42.10

61.00

102.57

255.72 3

8.58

15.26

62.10

41.53

127.47 4

21.53

41.37 146.66 130.22

339.78 5

20.88

24.82

46.67

64.77

157.14

Tabel 4.7 Master Data Penelitian Pemeriksaan Whole spine dengan teknik composing perubahan FOV 450mm

No SNR PADA PERUBAHAN 450

Corpus Discus CSF Fat Total

1 39.2 11.6 57.4 69.82 178.02

2 36.64 33.86 49.01 13.41 132.92

3 21.53 41.37 146.6 130.22 339.72

4 9.21 32.94 45.7 76.77 164.62

5 23.03 28.41 45.45 69.11 166

Tabel 4.8 Master Data Penelitian Pemeriksaan Whole spine dengan teknik composing perubahan FOV 500mm

No SNR PADA PERUBAHAN 500

Corpus Discus CSF Fat Total

1 69.75 15.2 181.41 126.54 392.9

2 72.05 44.92 100.26 149.31 366.54

3 24.52 46.2 176.55 114.7 361.97

4 19.12 60.77 94.39 93.52 267.8


(5)

LAMPIRAN 4

Hasil Uji Normalitas

Tabel 4.7 Uji Normalitas Data Sebelum dilakukan transformasi data

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

400 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

450 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

500 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

400 .279 5 .200* .854 5 .208

450 .388 5 .013 .737 5 .023

500 .301 5 .158 .843 5 .174

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Berdasarkan tabel Tests of Normality di atas menunjukkan bahwa SNR FoV 450

cm masih belum berdistribusi normal


(6)

Lampiran 5

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Sesudah dilakukan transformasi data

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

trasnt_b 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

400 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

500 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

trasnt_b .346 5 .050 .817 5 .110

400 .279 5 .200* .854 5 .208

500 .301 5 .158 .843 5 .174

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Berdasarkan Tabel Test Of Normality di atas menunjukkan bahwa semua variabel

berdistribusi normal. setelah dilakukan trasformasi data terhadap variabel SNR

FOV 450mm, di dapatkan p value = 0,110. Ini menunjukkan bahwa

>

0,05 (

�����

= 0,110) artinya ddata berdistribusi normal, SNR FOV 400mm (p


Dokumen yang terkait

Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

0 0 1

Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

0 1 4

Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

0 0 24

Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

0 0 2

Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

0 0 9

Penggunaan Teknik Composing Pada Pemeriksaan Whole Spine Potongan Sagital T2 Weighted Pada MRI 1.5T

0 0 16

Keywords : image quality, scan time, GRAPPA, MRI Parameters PENDAHULUAN - Perbedaan Kualitas Gambar MRI 0,3 Tesla Antara Metode Grappa dan Metode Perubahan Nilai Parameter dengan Metode Rutin (Studi Pada Pemeriksaan MRI Vertebra Lumbal Potongan Sagital T2

0 3 5

Optimisasi Field of View (FOV) Terhadap Kualitas Citra Pada T2WI FSE MRI Lumbal Sagital

0 1 5

ANALISIS VARIASI TIME REPETITION (TR) TERHADAP SIGNAL TO NOISE RATIO DAN CONTRAST TO NOISE RATIO PADA PEMERIKSAAN MRI CERVICAL T2 WEIGHTED FAST SPIN ECHO (FSE) POTONGAN SAGITAL ANALYSIS OF TIME REPETITION (TR) VARIATION TO SIGNAL TO NOISE RATIO AND CONTRA

1 2 5

ANALISIS INFORMASI CITRA ANTARA SEKUENS T2 FRFSE DENGAN T2 PROPELLERPADA PEMERIKSAAN MRI CERVIKAL POTONGAN AXIAL DENGAN PESAWAT MRI GE SIGNA 1,5 T ANALYSIS IMAGE INFORMATION BETWEEN T2 FRFSE SEQUENCES AND T2 PROPELLER SEQUENCES IN CERVICAL MRI EXAMINATION

0 11 5