STABILITAS EKSTRAK KASAR ETANOL DARI PLIEK U TERHADAP PEMANASAN, PENYIMPANAN DAN pH SERTA

V. STABILITAS EKSTRAK KASAR ETANOL DARI PLIEK U TERHADAP PEMANASAN, PENYIMPANAN DAN pH SERTA

AKTIVITASNYA DI DALAM SUSU The Stability of Crude Ethanol Extract of Pliek u toward Heating, Storage, pH and its Antimicrobial Activity in Milk Abstract Crude ethanol extract of pliek u a traditional spice of Aceh has been reported to exert antimicrobial activity against bacteria and fungi. The objective of this study was to investigate the stability of crude ethanol extract of pliek u EEP toward heating, storage, pH and its ability in milk as antimastitis in vitro. The antimicrobial activity was detected by using paper disc method. The antibacterial effect of crude EEP as antimastitis agent was assayed by inoculation of bacteria S. aureus or E. coli in milk then measured the bacterial reduction. The crude EEP was still active at 100ºC, 121ºC for 15-60 menit, 28ºC room storage, 10ºC refrigerator temperature, both for 1-6 months and at pH from 3-11. The effect of 3.36 mgml of crude EEP reduced the number of S. aureus and E. coli at 2.8 cfuml log and 2.52 cfuml log in two hours compared to the control or at 10.03 cfuml log and 10.41 cfuml log in 12 hours respectively. Because of the stability of crude EEP and the antibacterial activity in milk, thus needed further investigation of EEP in order to clinical applications in vivo, especially in controlling of clinical mastitis. Keyword: pliek u, stability, antimastitis. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan beragam makanan fermentasi, diantaranya adalah pliek u makanan fermentasi asal Aceh. Pliek u diperoleh dari daging buah kelapa yang difermentasi tanpa disengaja selama beberapa hari untuk mendapatkan minyak pliek u Bakar et al. 1985. Pliek u atau patarana dimanfaatkan secara turun menurun oleh masyarakat Aceh sebagai bumbu masak dan sambal Hurgronje 1985 serta sebagai pakan unggas. Sampai sekarang makanan ini tidak pernah lepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh. Kelapa Cocos nucifera L sudah lama dimanfaatkan daging buah dan minyaknya sebagai makanan dan obat untuk mengobati penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin dan influenza Fife 2005. Asam-asam lemak bebas dan monogliserida yang terdapat dalam daging buah dan minyak kelapa mempunyai aktivitas antimikrob, tidak toksik dan tidak menimbulkan resistensi Nair et al. 2005 dan Kabara 2000. Ada beberapa syarat jaminan yang diperlukan untuk mengembangkan bahan obat baru agar efektivitasnya tetap baik stabil. Syarat jaminan yang diperlukan adalah stabilitas bahan obat terhadap berbagai faktor luar dan dalam, seperti faktor penyimpanan, suhu penyimpanan dan faktor fisika-kimia serta bahan pelarut yang digunakan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi kandungan bahan aktif, sifat sensorik, toksikologis dan aktivitasnya sebagai bahan obat efek terapi atau aplikasinya sebagai bahan pengawet Voigt 1994. Sesuai dengan keputusan International Dairy Federation IDF, bahwa penelitian yang mengarah kepada tujuan terapi terhadap kasus-kasus mastitis diprioritaskan pada memaksimalkan daya tahan inang dan efektifitas metode-metode terapeutik Hillerton 1998. Sampai saat ini pencegahan dan pengobatan mastitis tetap menjadi perhatian terutama terhadap jenis dan bentuk terapi yang diberikan. Terbatasnya kemampuan antibiotik karena adanya faktor resistensi dan besarnya resiko pemakaian antimikrob sintetis, menyebabkan para peneliti mencari mekanisme pertahanan secara alami untuk mengontrol mastitis Pfaller et al. 1998; Reimer et al. 1997; O’Brien et al. 2001; Nair et al. 2005; Pappas 2006. Sejumlah cara pengendalian dan pengobatan mastitis telah dilakukan seperti terapi alternatif telah banyak dilakukan, dan sebagian besar menunjukkan hasil positif. Beberapa diantaranya lebih ditujukan dengan menggunakan bahan-bahan alami, yang tidak menimbulkan efek samping. Bahan-bahan alami tersebut dapat meningkatkan daya tahan inang dan mematikan mikrob penyebab mastitis, sehingga penelitian- penelitian kearah penggunaan terapi alternatif semakin dikembangkan. Proses pengujian terlebih dahulu dilakukan sebelum suatu bahan terapi diaplikasikan melalui pengujian secara in vitro. Tujuannya adalah untuk melihat kemampuannya dalam mereduksi mikroorganisme dan tanpa menimbulkan efek toksik secara langsung pada inang Nair et al. 2005. Oleh sebab itu untuk mendukung manfaat pliek u sebagai makanan kesehatan dan peluangnya sebagai sumber antimikrob, perlu dilakukan pengujian aktivitas senyawa antimikrob ekstrak kasar etanol dari pliek u terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitasnya sebagai antimikrob. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi informasi terhadap karakterisasi ekstrak kasar etanol dari pliek u yang memberikan aktivitas terbaik sebagai antimikrob. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi PPSHB-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sejak Januari 2006 sampai September 2007. Tahap pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Pliek u Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Kultur Mikrob Kultur mikrob terdiri dari Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, isolat klinik berasal dari Laboratorium Bakteriologi FKH IPB, Bogor. Candida albicans, isolat klinik dari Laboratorium Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. 2006 dan Sudirman 2005a. Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96 Bratachem. Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 New Branswick scientific, Edison, USA dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28 o C, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24 jam dipekatkan menggunakan evaporator putar Bütchi, Switzerland pada suhu 40- 50 o C dengan tekanan 175 mBAR. Ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP. Stabilitas Ekstrak Kasar dari Pliek u EEP terhadap Suhu dan Lama Pemanasan, Suhu dan Lama Penyimpanan, serta pH Aktivitas antimikrob EEP diuji stabilitasnya terhadap suhu dan lama pemanasan menggunakan autoklaf pada suhu 100ºC dan 121ºC selama 15, 30, 45 dan 60 menit. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan dilakukan dengan menyimpan EEP pada suhu kamar 25-28ºC, suhu refrigerator 10ºC dan suhu freezer -20ºC selama 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 bulan. Pengaruh pH dilakukan dengan mengatur pH media menjadi 3, 5, 7, 9 dan 11, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Untuk pH asam digunakan HCl 0.1 N, sedangkan pH basa digunakan NaOH 0.1 N. Masing-masing pengujian di uji dengan metode difusi agar cakram kertas, sesuai dengan prosedur yang dikerjakan oleh Sudirman 2005a. EEP sebanyak 100 μl diteteskan di atas cakram kertas, kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering rambut pada suhu 40-42°C. Selanjutnya disterilisasi dengan sinar UV 254 nm selama 30 menit di dalam laminar airflow cabinet. Cakram kertas diletakkan di atas media agar yang mengandung mikrob uji, dilakukan preinkubasi pada suhu 10°C selama 3 jam, lalu inkubasi pada suhu optimal bagi masing-masing mikrob uji. Suhu inkubasi untuk bakteri 37°C selama 24 jam, sedangkan untuk C. albicans pada suhu kamar 26-28°C selama 2-3 hari. Pengujian menggunakan metode cakram kertas dilakukan pengulangan tiga kali. Kriteria aktivitas antimikrob berdasarkan Ela et al. 1996, diacu dalam Elgayyar et al. 2001, yaitu antimikrob aktif dan sangat aktif: ++ zona hambatan 11 mm, aktif sedang: + 6 mm zona hambatan 11 mm dan tidak aktif: - zona hambatan 6 mm. Aktivitas Ekstrak Kasar dari Pliek u EEP di dalam Susu Pengujian aktivitas ekstrak kasar dari pliek u EEP dalam susu dilakukan berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Nair et al. 1995 yang telah dimodifikasi. Susu segar berasal dari Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Sebelum perlakuan susu disteril dengan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Penetapan konsentrasi EEP ditetapkan sesuai dengan nilai konsentrasi LC 50 3.36 mgml. EEP sebanyak 67.2 mg ditambahkan ke dalam masing-masing botol yang mengandung 20 ml susu. Semua sampel susu masing- masing diinokulasi dengan 20 μl S. aureus dan E. coli untuk mendapatkan jumlah sel 10 7 -10 8 cfuml. Sampel kontrol tidak ditambahkan EEP. Sampel untuk masing-masing mikrob uji dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu kontrol dan penambahan EEP. Setiap perlakuan disimpan pada suhu 39ºC disesuaikan dengan suhu tubuh sapi, kecuali pengamatan jam ke 0. Pengamatan terhadap laju pertumbuhan masing- masing bakteri dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12. Jumlah bakteri dihitung berdasarkan metode hitung cawan Swanson et al. 1992. Analisis Data Data dari hasil masing-masing pengujian dianalisis secara deskriptif. Data dari hasil uji aktivitas EEP dalam susu ditansformasikan terlebih dahulu menjadi log cfuml. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi SD, disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Hasil dan Pembahasan Stabilitas Ekstrak Kasar etanol dari Pliek u EEP terhadap Suhu dan Lama Pemanasan, Suhu dan Lama Penyimpanan serta pH Hasil uji stabilitas ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP terhadap suhu dan lama pemanasan berdasarkan zona hambatan yang terbentuk dibandingkan dengan aktivitas antimikrob EEP sebelum dipanaskan yaitu E. coli 15.33±0.47, S. aureus 19.33±0.47 dan C. albicans 10.67±0.47. Selain itu aktivitas antimikrob EEP juga berpedoman pada kriteria aktivitas berdasarkan Ela et al. 1969, diacu dalam Elgayyar et al. 2001. Hasil penelitian menunjukkan adanya zona hambatan yang bervariasi dan juga terjadi penurunan zona hambatan. EEP tetap aktif dan stabil pada pemanasan 100 o C selama 15, 30, 45 dan 60 menit dan 121 o C selama 15, 30 dan 45 menit, namun EEP tergolong aktif sedang pada suhu 121 o C selama 60 menit Tabel 6 dan Lampiran 8. Tabel 6 Pengaruh suhu dan lama pemanasan EEP terhadap zona hambatan E. coli, S. aureus dan C. albicans Pemanasan Rata-rata Zona Hambatan mm Suhu menit Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans 100 o C 15 16.67±0.57 ++ 19.33±0.57 ++ 11.00±0 ++ 30 15.33±2.88 ++ 18.33±0.57 ++ 10.33±1.15 + 45 15.67±1.53 ++ 18.33±0.57 ++ 10.00±1.73 + 60 15.33±0.57 ++ 17.67±0.57 ++ 9.33±1.53 + 121 o C 15 12.67±1.15 ++ 16.67±1.53 ++ 10.33±0.58 + 30 12.67±1.53 ++ 14.33±2.31 ++ 7.67±0.57 + 45 13.33±2.31 ++ 13.00±2.67 ++ 5.67±0.58 + 60 9.33±0.58 + 10.33±1.15 + 6.00±0 + Keterangan : ++ sangat aktif atau aktif; + aktif sedang dan - tidak aktif Ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP yang dipanaskan pada suhu 121 o C dari 15-60 menit masih sangat aktif sebagai antibakteri, namun pemanasan pada suhu 121 o C dari 30-60 menit menyebabkan penurunan aktivitas EEP terhadap C. albicans. Menurut Martindale 1982, minyak kelapa dapat disteril dengan mempertahankannya pada suhu 150 o C selama satu jam tanpa mempengaruhi komponen di dalam minyak. Pengujian yang dilakukan dengan memanaskan EEP pada suhu 100 o C dan 121 o C selama 15, 30, 45 dan 60 menit menunjukkan adanya perbedaan zona hambatan yang terbentuk pada masing-masing mikrob uji. Perbedaan zona hambatan tersebut disebabkan sensitivitas masing-masing mikrob uji berbeda terhadap EEP. Walaupun terjadi penurunan aktivitas antimikroba pada suhu 121 o C, namun EEP tetap aktif zona hambatan antara 6-10.33 mm. Agar aktivitasnya tetap baik, sebaiknya EEP tidak dipanaskan pada suhu 121 o C lebih dari 60 menit. Stabilitas EEP terhadap aktivitas antimikrobanya berdasarkan suhu dan lama penyimpanan disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 9. Pengujian pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap aktivitas antimikrob EEP berdasarkan metode cakram kertas menghasilkan zona hambatan yang bervariasi pada masing-masing mikrob uji terjadi penurunan aktivitas apabila disimpan pada suhu freezer Tabel 7. Tabel 7 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan EEP terhadap zona hambatan E. coli, S. aureus dan C. albicans Penyimpanan Rata-rata Zona hambatan mm Suhu Lama Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans Suhu Kamar 1 bulan 15.67±2.89 ++ 14.67±2.31++ 9.33±1.53 + 25-28ºC 2 bulan 12.00±1.73 ++ 17.00±0 ++ 10.67±0.58 + 3 bulan 11.67±2.08 ++ 16.00±0 ++ 10.67±1.53 + 4 bulan 11.33±0.58 ++ 15.67±0.58 ++ 8.67±0.58 + 5 bulan 8.67±1.53 + 15.00±0 ++ 10.00±0 + 6 bulan 7.67±2.52 + 15.30±30.58 ++ 9.33±2.31+ Suhu Refrigerator 1 bulan 8.33±2.31 + 13.00±1.73 ++ 8.33±0.58 + 10ºC 2 bulan 9.67±1.53 + 12.00±0++ 9.00±0 + 3 bulan 5.67±0.58 + 10.67±1.15 ++ 7.33±0.58 + 4 bulan 5.67±1.15 + 11.33±1.15 ++ 3.67±0.58 - 5 bulan 5.67±0.58 + 8.67±0.58 + 3.00±0 - 6 bulan 5.33±0.58 - 7.67±1.15 + 3.33±0.58 - Suhu Frezeer 1 bulan 4.67±1.15 - 8.67±0.58 + 4.67±0.58 - -20ºC 2 bulan 4.67±0.58 - 8.00±0 + 5.00±0 - 3 bulan 4.00±0 - 5.67±0.58 + 3.67±0.58 - 4 bulan 3.00±0 - 6.00±0 + 4.00±0 - 5 bulan 3.00±0 - 4.33±1.15 - 3.67±0.58 - 6 bulan 3.00±0 - 4.00±0 - 3.67±0.58 - Keterangan : ++ sangat aktif atau aktif, + aktif sedang dan - tidak aktif Apabila dibandingkan dengan aktivitas antimikrob EEP sebelum perlakuan yaitu E. coli 15.33±0.47, S. aureus 19.33±0.47 dan C. albicans 10.67±0.47 maka secara umum penyimpanan pada suhu kamar 28ºC sampai 6 bulan dan suhu refrigerator 10ºC selama 2-4 bulan tidak menurunkan aktivitas antimikrob dari EEP, namun penyimpanan pada suhu freezer -20ºC sampai 6 bulan menurunkan aktivitas antimikrob EEP. Minyak kelapa sebaiknya disimpan pada suhu 25ºC di dalam kemasan kedap udara berwarna gelap dan tertutup rapat serta terlindung dari cahaya Martindale 1982. Kriteria stabilitas bahan obat baru ditetapkan berdasarkan daya simpan dan faktor fisika-kimianya. Pengujian masa simpan dan suhu merupakan penentuan wajib terhadap stabilitas suatu bahan obat Voigt 1994. Hal utama yang mempengaruhi stabilitas bahan obat, adalah 1 labilitas bahan itu sendiri dan bahan pembantunya, 2 faktor luar, seperti suhu, kelembaban udara dan cahaya. Sering terjadi pada suatu bahan obat memiliki efektivitas yang baik namun bahan tersebut tidak stabil sehingga kualitasnya tidak baik mengalami berbagai perubahan sehingga terjadi penyimpangan. Faktor lain yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu bahan obat selain suhu dan daya simpan adalah pH. Stabilitas EEP terhadap pH disajikan pada Tabel 8 dan Lampiran 10. Aktivitas antimikrob EEP masih sangat aktif pada pH 3-11. pH EEP sebelum diuji adalah 4,6. Selain pemanasan dan penyimpanan, pH juga berperan terhadap kestabilan bahan obat. Pengujian pH erat kaitannya dengan aplikasi secara oral atau kontak dengan komponen-komponen lain dalam suatu media bahan pembantu. Toleransi terhadap pH biasanya berkaitan dengan sifat fisika-kimia antimikrob. Tabel 8 Pengaruh pH terhadap aktivitas ekstrak etanol dari pliek u EEP pH Rata-rata Zona Hambatan mm Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans 3 15.67±0.58 ++ 20.33±0.58 ++ 9.00±0.00 + 5 16.67±0.58 ++ 19.33±0.58 ++ 9.67±1.15 + 7 16.67±1.15 ++ 19.00±0.00 ++ 10.33±1.15 + 9 16.33±1.15 ++ 19.33±1.15 ++ 11.00±0.00 + 11 15.33±0.58 ++ 18.67±0.58 ++ 8.67±0.58 + Keterangan : ++ sangat aktif atau aktif, + aktif sedang dan - tidak aktif Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antimikrob EEP tidak dipengaruhi oleh pH. Aktivitas EEP stabil pada rentang pH mulai dari 3-11. Monogliserida dan asam lemak bebas masih bersifat bakterisida setelah diinkubasi selama 15 menit pada pH asam dan netral Kabara 2000. Senyawa antimikrob dengan daya larut lemak sangat tinggi mempunyai aktivitas lebih besar dan aktif pada rentang pH yang luas Branen 1993. Aktivitas Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u EEP terhadap S. aureus dan E. coli di dalam Susu Hasil pengujian aktivitas antimikrob EEP pada nilai konsentrasi LC 50 3.36 mgml terhadap S. aureus dan E. coli dalam susu dapat dilihat pada Tabel 9. Pengamatan terhadap jumlah S. aureus dan E. coli dalam susu yang diinkubasi pada suhu 39ºC sampai masa inkubasi 12 jam menunjukkan adanya penurunan jumlah kedua bakteri tersebut dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan setiap pengamatan menunjukkan bahwa jumlah S. aureus dan E. coli menurun dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada 0 jam penyimpanan Tabel 9. Tabel 9 Pengaruh penambahan ekstrak etanol dari pliek u EEP terhadap pertumbuhan S. aureus dan E. coli dalam susu pada penyimpanan 39ºC Pengamatan jam ke Jumlah bakteri dalam susu pada penyimpanan 39ºC S. aureus log cfuml E. coli log cfuml Kontrol EEP kontrol EEP 0 8.23 8.23 8.47 8.47 2 8.57 5.77 8.83 6.31 4 10.36 3.29 10.39 5.75 6 11.38 3.29 11.01 3.46 8 11.58 2.95 11.96 3.24 10 12.17 2.90 12.33 2.54 12 12.59 2.86 12.86 2.45 Keterangan : EEP 3.36 mgml Penambahan EEP pada konsentrasi 3.36 mgml sangat cepat menurunkan jumlah S. aureus pada penyimpanan 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam dengan selisih penurunan masing-masing menjadi 2.8, 7.03, 8.09, 8.63, 9.27 dan 9.73 log cfuml dibandingkan dengan kontrol Tabel 9. EEP mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan S. aureus dalam susu yang disimpan pada suhu 39ºC Gambar 10. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa penambahan EEP pada konsentrasi 3.36 mgml dalam susu terhadap penurunan jumlah S. aureus ternyata tidak berbeda antara penyimpanan 6 dengan 8 jam, begitu juga pada penyimpanan 10 dengan 12 jam. Adanya sedikit selisih penurunan jumlah S. aureus setelah penambahan EEP pada penyimpanan 4, 6, 8, 10 dan 12 jam mungkin dapat disebabkan pola pertumbuhan bakteri dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Sensitifitas mikrob bisa sangat dipengaruhi oleh jenis mikrob strain yang berbeda, jumlah awal dan bahan antimikrob yang digunakan serta fase pertumbuhan mikrob Entani et al. 1998. Gambar 10 Aktivitas EEP terhadap S. aureus dalam susu Senyawa antimikrob mempunyai pengaruh yang kecil pada saat proses sintesis sel selama fase stasioner, sehingga mikrob mungkin tidak akan menurun dengan cepat jumlahnya dibandingkan pada lag. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh komponen- komponen yang terkandung didalamnya dan interaksinya dengan dinding sel dan membran mikrob. Pertumbuhan sel pada fase log atau fase eksponensial lebih sensitif dan lebih mudah dibunuh dibandingkan pada fase stasioner Corre et al. 1990, diacu dalam Carson et al. 2002. Kemampuan EEP dengan konsentrasi 3.36 mgml dalam susu yang disimpan pada suhu 39ºC dapat menurunkan jumlah E. coli sangat besar yaitu 10.41 log cfuml dibandingkan dengan kontrol dalam 12 jam penyimpanan Tabel 9 dan Gambar 11. Gambar 11 Aktivitas EEP terhadap E. coli dalam susu 8.23 8.57 10.36 11.38 11.58 12.17 12.59 2.86 2.9 2.95 3.29 3.29 5.77 8.23 2 4 6 8 10 12 14 2 4 6 8 10 12 Waktu pengamatan jam Ju m la h S. a ur e us l o g c fu ml Kontrol EEP 8.47 8.83 10.39 11.01 11.96 12.33 12.86 8.47 6.31 5.75 3.46 3.24 2.54 2.45 2 4 6 8 10 12 14 2 4 6 8 10 12 Waktu pengamatan jam Ju m lah

E. co

li log c fu m l Kontrol EEP Jumlah E. coli menurun lebih sedikit 2.5 dan 4.64 log cfuml dibandingkan dengan penurunan pada S. aureus 2.8 dan 7.03 log cfuml selama penyimpanan 2 dan 4 jam, namun pada 10 dan 12 jam penyimpanan menunjukkan penurunan jumlah yang hampir sama dari kedua bakteri tersebut 9.79 dan 10.41 log cfuml. Penelitian yang dilakukan oleh Nair et al. 2005 menunjukkan aktivitas asam lemak dan monogliserida asam kaprilat dan monokaprilin mampu menurunkan pertumbuhan lima patogen penyebab mastitis 5.0 log cfuml setelah 6 jam inkubasi dalam susu, namun E. coli sedikit lebih toleran kepada kedua antimikroba tersebut. Apabila jumlah mikrob menurun 1 log menunjukkan bahwa senyawa antimikrob tersebut aktif di dalam media pertumbuhannya. Beberapa penelitian terhadap aktivitas asam lemak sebagai antimikrob memperlihatkan aktivitas yang bervariasi terhadap mikroba uji, dimana bakteri Gram positif lebih sensitif dibandingkan bakteri Gram negatif Quattara et al.1997. Pada penelitian ini tidak ada perbedaan aktivitas antimikrob dari EEP antara bakteri Gram positif dengan bakteri Gram negatif. Oleh karena EEP bukan ekstrak murni, kemungkinan komponen-komponen yang terkandung di dalam EEP bersifat sinergisme sehingga campuran beberapa komponen dapat menghambat mikrob uji. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wang et al. 1993 menunjukkan bahwa gabungan beberapa monogliserida yang berasal dari minyak kelapa lebih efektif sebagai anti-listeria dibandingkan hanya dengan menambahkan monolaurin saja di dalam susu pasteurisasi. Kombinasi beberapa monogliserida terutama monokaprin dan monolaurin memperlihatkan aktivitas sinergisme lebih besar menghambat L. monocytogenes dalam susu pasteurisasi dibandingkan dengan menambahkan monolaurin. Wang dan Johnson 1992, menyatakan bahwa monolaurin tidak mampu menghambat Listeria monocytogenes dalam susu dengan kandungan lemak yang tinggi. Aktivitas asam lemak sebagai antibakteri di dalam susu juga dipengaruhi oleh kandungan lemak susu dan suhu. Antibakteri asam lemak dalam susu skim pasteurisasi yang disimpan pada suhu 4ºC lebih aktif dibandingkan bila disimpan pada suhu 13ºC atau 23ºC Wang et al.1993. Aktivitas menghambat yang disebabkan asam lemak dan monogliserida juga dipengaruhi oleh komposisi media, karena komponen dalam makanan mampu berinteraksi dengan asam lemak sehingga ketersediaan antimikroba tersebut dapat menurun Wang dan Johnson 1992 dan Quattara et al. 1997. Kemampuan senyawa antibakteri dalam media pertumbuhan dipengaruhi oleh pH, suhu, protein, lemak, karbohidrat dan aktivitas air Nychas dan Tassou 2000. pH EEP sebelum perlakuan adalah 4.6 maka dengan penambahan EEP dapat menurunkan pH susu menjadi 5.7-5.9, yang mungkin mempengaruhi jumlah bakteri dalam susu. Aktivitas asam lemak sebagai antimikrob juga sangat dipengaruhi oleh struktur asam lemak dan sifat polaritasnya, selain itu dipengaruhi juga oleh gabungan beberapa senyawa antimikrob, pH dan suhu penyimpanan media Řiháková et al. 2001; Yuste dan Fung 2004. Kim dan Fung 2004 menambahkan bahwa penggunaan ekstrak alami asal tumbuh-tumbuhan tanpa dicampur dengan antimikrob lain memerlukan dosis yang lebih besar sehingga akan berpengaruh pada organoleptik makanan. Tekanan terhadap pemakaian antibiotik yang terbatas dalam pangan asal hewan menjadi tantangan dalam industri susu, walaupun antibiotik masih digunakan untuk melawan mastitis Bradley 2002. Hal tersebut menyebabkan banyak penelitian dilakukan untuk mendapatkan strategi alternatif untuk pengobatan mastitis. Adanya sinergisme dari mekanisme aktivitas antimikrob asam lemak dan monogliserida terhadap membran mikrob memungkinkan aktivitasnya baik terhadap mikrob yang sudah resisten terhadap antimikrob lain Bergsson et al. 1999, diacu dalam Nair et al. 2005. Simpulan Ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP stabil dan tetap aktif sebagai antimikrob pada suhu dan lama pemanasan 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, suhu dan lama penyimpanan pada suhu 28ºC suhu kamar dan 10ºC suhu refrigerator selama 1-6 bulan serta pH dari 3-11, namun tidak stabil pada suhu dan lama penyimpanan -20ºC suhu freezer 1-6 bulan. Konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP pada 3.36 mgml susu yang diinkubasi pada suhu 39ºC suhu tubuh sapi selama 12 jam mampu menurunkan jumlah S. aureus dan E. coli. Ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP bisa dikembangkan sebagai antimastitis dan pengawet makanan melalui beberapa penelitian lanjutan. VI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U TERHADAP JUMLAH MIKROB FESES, HATI DAN GINJAL MENCIT The effects of crude ethanol extract of pliek u on the number of microbes of faeces, liver and kidney of mice Abstract Acute treatments of crude ethanol extract of pliek u EEP, Aceh traditional fermented food was evaluated in mice. In the present study, the effects of a single oral dose of crude EEP from each concentration at 370 and 733 mgkg body weight were detected to their effect on the number of microbes in faeces, the liver and the kidney structure of mice at the fourth day, hence the most toxic of crude EEP doses can also be screened. The average of mice body weight were 26-29 g. The number of microbes of faeces was measured by Total Plate Count method. The preparation of liver and kidney were made by using paraffin method and hematoxyllin-eosin staining. There were not significantly differ of EEP treatments on the microbes in faeces P0.05, but there was an inclined reduction of microbes count at 1.1 log cfug after EEP treatment at 733 mgkg body weight of mice. The results showed that there were not significantly differ of the change of the liver and the kidney weight P0.05. Histopathological results revealed minor damage in liver and kidney tissue of mice, but no significantly differ of EEP treatments on the damage of liver and kidney compared to control P0.05. Based on the number of microbes of faeces and parameters of liver and kidney, crude EEP was not toxic as antimicrobial compound in single oral dose acute treatment. It is suggested that needed further detection of chronic treatment of EEP at 370 and 733 mgkg body weight of mice. Keywords: toxicity, pliek u, microbial in faeces, liver, kidney, mice Pendahuluan Kelapa telah digunakan baik sebagai makanan maupun obat selama berabad- abad di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Minyak kelapa telah digunakan untuk mengatasi beragam masalah kesehatan, mulai dari pengobatan penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza Fife 2005. Telah diketahui bahwa minyak kelapa tidak memberi pengaruh yang buruk terhadap tubuh karena kandungan asam lemak jenuhnya sangat baik untuk tubuh. Kandungan asam laurat yang tinggi 40-60 dalam daging buah dan minyak kelapa menyebabkan minyak kelapa mempunyai aktivitas antimikrob dan sekaligus dapat meningkatkan sistem imun Kabara 2000; Shilhavy 2004. Pada umumnya antimikrob yang berasal dari tumbuhan, hewan dan mikroorganisme dalam bentuk bahan asal atau hasil ekstraknya dapat berperan pada mekanisme pertahanan tubuh Hsieh et al. 2001; Lopez-Malo et al. 2000, diacu dalam Kim dan Fung 2004. Beberapa ekstrak asal tumbuhan mampu melindungi organ tubuh terhadap bahan-bahan kimia yang berbahaya Manna et al. 2006 dan Rajesh dan Latha 2004. Sebaliknya ekstrak asal tumbuh-tumbuhan dapat merusak hati dan ginjal apabila diberikan dalam dosis yang tinggi dan pemberian waktu yang lama chronic treatment sampai tiga bulan Al-Ashban et al. 2005. Masyarakat Aceh secara turun menurun menggunakan minyak kelapa hasil fermentasi minyeuk pliek u sebagai minyak goreng, selain itu juga digunakan sebagai obat untuk menurunkan panas, sakit persendian, luka, sakit kepala dan sakit perut informasi dari lapangan. Pliek u merupakan residu yang diperoleh dari proses pemeraman daging buah kelapa setelah diambil minyaknya Bakar et al. 1985, komunikasi langsung. Pliek u tidak pernah lepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh sebagai bumbu, dan juga digunakan sebagai pakan ayam. Sampai sekarang tidak ada laporan sakit karena mengkonsumsi pliek u dan olahannya dan tidak ada informasi yang berkaitan dengan keamanan mengkonsumsi pliek u. Untuk melengkapi data mengenai pliek u dan ekstraknya, maka karakterisasi toksisitasnya perlu dilakukan apabila diaplikasikan untuk kesehatan dengan pemberian secara oral. Salah satu cara masuknya bahan-bahan berbahaya ke dalam tubuh adalah melalui saluran pencernaan Omaye 2004. Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah flora dalam usus diantaranya adalah kondisi fisik inang, kekebalan inang, makanan, interaksi antar flora bakteri, antibiotik dan makanan yang terkontaminasi dengan mikrob Mitsuoka 1978. Pemberian antibiotik dapat menurunkan bakteri normal dalam usus sehingga dapat meningkatkan infeksi yang disebabkan bakteri lain. Pemberian antibiotik juga menyebabkan patogenitas suatu bakteri yang pada awalnya digolongkan patogenitas rendah menjadi tinggi. Pemberian antibiotik secara rutin selama 7-10 hari akan membunuh sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan Linder 1992. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP sebagai antimikrob terhadap flora saluran pencernaan, perubahan hati dan ginjal mencit. Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan informasi ilmiah mengenai toksisitas ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi PPSHB-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan preparat dan pengamatan histopatologi dilakukan di Laboratorium Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tahap penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Pliek u Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Hewan Uji Mencit jantan Mus musculus dijadikan sebagai hewan uji, berjumlah 9 ekor diperoleh dari ruang hewan percobaan Laboratorium Patologi FKH-IPB. Mencit berumur 7-8 minggu dengan berat badan 26-29 g. Mencit ditempatkan dalam bak plastik yang beralas sekam dengan tutup jeruji. Ditempatkan dalam ruang yang bersuhu 25-28ºC dan cahaya yang diatur 12 jam terang dan 12 jam gelap serta diberi makan pakan ikan SPA 5 dan minum ad libitum. Pemilihan hewan coba berdasarkan prosedur yang dilakukan Holzh űtter et al. 2003, diacu dalam Luo et al. 2004; Al- Ashban et al. 2005. Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. 2006 dan Sudirman 2005a. Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96 Bratachem. Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 New Branswick scientific, Edison, USA dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28 o C, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24 jam dipekatkan menggunakan evaporator putar Bütchi, Switzerland pada suhu 40- 50 o C dengan tekanan 175 mBAR untuk etanol 96. Ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP. Tahap ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 4. Penentuan Dosis dan Cara Pemberian EEP Penentuan dosis dilakukan berdasarkan Supartinah-Noer et al. 2003 yang telah dimodifikasi. Dosis EEP perlakuan akut yang digunakan berdasarkan konsentrasi nilai LC 50 pada uji toksisitas awal ekstrak kasar etanol dari pliek u yang menggunakan larva udang-udangan Artemia salina L, yaitu 3.36 mgml. Dosis LC 50 dikalikan tiga dan enam, sehingga diperoleh dosis perlakuan masing-masing 10.08 mgmencit 370 mgkg bb dan 20.16 mgmencit 733 mgkg bb. Mencit berjumlah 9 ekor dibagi dalam tiga kelompok perlakuan, yaitu kontrol hanya diberikan akuades steril, sedangkan dua kelompok perlakuan yang lain masing-masing diberikan EEP dosis tunggal 370 mgkg bb EEP I dan 733 mgkg bb EEP II mencit. Pemberian bahan uji dilakukan per oral menggunakan sonde lambung. Sebelum perlakuan, mencit dipuasakan selama 12 jam dan ditimbang berat badannya. Pengamatan terhadap Jumlah Mikrob Feses Mencit Setelah perlakuan pemberian akut dosis EEP I dan EEP II, tingkah laku dan keadaan mencit diamati Shah et al. 1998. Jumlah mikrob feses dan histopatologi hati dan ginjal diamati pada hari keempat. Pengamatan terhadap jumlah mikrob feses dilakukan berdasarkan metode hitung cawan Swanson et al. 1992. Feses dari setiap mencit langsung diambil dari usus dan rektum. Pengujian dilakukan secara duplo untuk masing-masing pengenceran. Jumlah mikrob dihitung berdasarkan jumlah koloni yaitu colony forming unit per gram feses cfug. Pengamatan terhadap Kerusakan Hati dan Ginjal Mencit Pengaruh ekstrak kasar EEP terhadap organ hati dan ginjal diamati pada hari keempat. Sebelum dinekropsi berat badan mencit ditimbang, kemudian dibius menggunakan eter berlebih. Organ hati dan ginjal juga ditimbang dan dilihat perubahan patologinya. Organ dimasukkan dalam larutan formalin 10, dilanjutkan dengan membuat preparat sayatan dengan metode parafin dan pewarnaan hematoksilin-eosin. Sayatan histologis hati dan ginjal diamati di bawah mikroskop cahaya pembesaran 10 dan 100x Shah et al. 1997, diacu dalam Al-Ashban et al. 2005. Penilaian kerusakan organ hati dilakukan di Laboratorium Bagian Patologi FKH-IPB berdasarkan komunikasi langsung dengan Dr. drh. Sri Estuningsih. Pengukuran parameter histopatologi organ hati dan ginjal berdasarkan pengamatan 10 lapang pandang dengan memberi skor pada parameter sitoplasma, inti sel dan pembuluh darah, yang disajikan pada Tabel 10. Pemeriksaan sitologi ginjal meliputi glomuerulus,ruang Bowman dan sel-sel tubulus, selain itu diamati juga perdarahan yang terjadi pada jaringan. Pemberian skor secara kualitatif ditetapkan hanya pada glomerulus dan tubulus berdasarkan 10 lapang pandang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 10 Parameter dan tingkat kerusakan hati Skor Parameter Sitoplasma Inti sel Pembuluh darah 0 Normal homogen Normal Normal 1 Degenerasi parenkim; atau Degenerasi hidrofik Ada yang normal; Piknosis sangat sedikit Radang sangat sedikit 2 Degenerasi parenkim; Degenerasi hidrofik; Degenerasi lemak sangat sedikit ; Ada yang normal; Piknosis sedang Radang sedang 3 Degenerasi parenkim;atau Degenerasi hidrofik; Degenerasi lemak sedikit Ada yang normal; Piknosis sedang- banyak Radang banyak 4 Degenerasi parenkim; Degenerasi lemak sangat banyak ; nekrosis Nekrosis nekrosis Keterangan: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah Tabel 11 Parameter dan tingkat kerusakan ginjal Skor Parameter Glomerulus Tubulus Normal homogen N normal N 1 Edema E Degenerasi parenkimberbutirgranul sel tubulus DP 2 Nekrosa inti menghilang sebagian Ns degenerasi hidrofik sel membengkak, berisi air DH 3 Radang di sekitar glomerulus R degenerasi lemak vakuolisasi sel tubulus DL 4 Atrofi inti hilang, pengecilan glomerulus, ada protein di ruang bowman A nekrosa, ada protein dalam lumen tubulus Ns,P Keterangan: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah Analisis Data Data jumlah mikrob feses, berat hati dan ginjal dianalisis dengan Anova, apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Data jumlah mikrob ditansformasikan menjadi log cfug feses. Data parameter tingkat kerusakan hati dan ginjal dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, apabila hasil berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji multiple comparison. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 13 for windows. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi SD dan disajikan dalam bentuk Tabel dan Gambar. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u EEP terhadap Jumlah Mikrob Feses Mencit Pengujian terdahulu secara in vitro tidak bisa memprediksikan efek antimikrob terhadap inang, sehingga uji toksisitas lanjutan secara in vivo. Uji ini perlu dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP sebagai antimikrob dan efeknya pada flora normal saluran pencernaan, serta toksisitasnya pada hati dan ginjal mencit. Pengaruh pemberian EEP pemberian akut dengan dosis 370 EEP I dan 733 mgkg bb EEP II terhadap jumlah mikrob feses mencit disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 11. Tabel 12 Jumlah mikrob feses mencit setelah diberi EEP Perlakuan Rata-rata jumlah mikrob feses log cfug EEP 0 kontrol 7.63 ±0.17 EEP I 370 mgkg bb 7.53 ±0.04 EEP II 733 mgkg bb 6.54±0.08 Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian EEP dengan dosis yang berbeda tidak mempengaruhi jumlah mikrob feses mencit P0.05 dibandingkan dengan kontrol Tabel 12. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis 370 dan 733 mgkg berat badan mencit tidak menurunkan jumlah mikrob feses mencit. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata, tetapi jumlah mikrob cenderung turun setelah pemberian EEP 6 x dosis LC 50 . Penurunan jumlah mikrob adalah 1.1 log cfug feses mencit dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pemberian EEP 3 x dosis LC 50 hanya menurunkan 0.1 log cfug feses mencit. Penurunan jumlah mikrob 1 log menunjukkan adanya aktivitas antimikrob, walaupun tidak diberikan secara rutin. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian akut EEP sebanyak 733 mgkg berat badan atau 6 x dosis LC50 tidak baik bila diberikan secara rutin. Pemberian antibiotik secara rutin selama 7-10 hari akan membunuh sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan Linder 1992. Jumlah mikrob bakteri yang terdapat dalam feses mencit pada penelitian ini masih berada dalam kisaran jumlah normal bakteri feses saluran pencernaan bila dibandingkan dengan jumlah bakteri saluran pencernaan manusia. Jumlah bakteri dalam usus kecil manusia yang sehat berkisar antara 10 5 -10 8 g atau 10 3 -10 9 g, sedangkan dalam usus besar mencapai lebih dari 10 11 -10 12 g Mitsuoka 1978; Hao dan Lee 2004. Ada lebih dari 400 spesies dan subspesies bakteri dalam saluran pencernaan. Bakteri yang lazim ditemukan dalam usus mencit, tikus, tupai dan marmut adalah lactobacilli dan bakteri anaerobik. Bakteri golongan koli lebih tinggi jumlahnya pada tikus dan tupai dibandingkan pada mencit Mitsuoka 1978. Secara umum jumlah mikrob normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan dipengaruhi oleh sekresi lambung. Mikroorganisme sudah ada dipermukaan tubuh manusia dan hewan sejak lahir dan menjadikannya sebagai tempat yang sesuai untuk pertumbuhan hidupnya Hao et al. 2004. Hasil penelitian terhadap jumlah bakteri pada mencit yang telah dilakukan oleh Bergonzelli et al. 2003, menunjukkan bahwa pemberian beberapa minyak essensial dapat menghilangkan infeksi Helicobacter pylori 20-30, walaupun tidak mampu menurunkan jumlah Helicobacter pylori secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Bergonzelli et al 2003 juga menyarankan agar minyak essensial tidak digunakan sebagai anti-Helicobacter, namun dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan pasien untuk menunjang pengobatan terhadap infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori. Pada penelitian ini tidak menunjukkan penurunan jumlah bakteri normal feses mencit secara signifikan P0.05, namun untuk menjaga flora normal saluran percernaan maka dapat dipertimbangkan pemberian EEP dengan dosis tunggal tidak lebih dari 733 mgkg berat badan. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kasar EEP terhadap Hati dan Ginjal Mencit Pengaruh pemberian EEP peroral terhadap hati dan ginjal diawali dengan menimbang berat hati dan ginjal yang dinyatakan dalam persen terhadap berat badan mencit disajikan pada Tabel 13 dan Lampiran 12. Pemberian EEP dengan satu kali pemberian pada dosis rendah maupun tinggi tidak mempengaruhi P0.05 berat hati dan ginjal. Persentase berat hati dan berat ginjal per berat badan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata P0.05 dibandingkan dengan dengan kontrol. Berdasarkan pengukuran berat hati dan ginjal mencit yang diberi EEP 733 mgkg bb cenderung memperlihat sedikit peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol Tabel 13. Perubahan berat hati dan organ mungkin hanya bersifat sementara. Perubahan berat organ merupakan petunjuk awal efek toksik pada organ sasaran Lu 1995. Berat organ yang lebih besar menunjukkan terjadinya steatosis, yaitu perlemakan dalam sel hati yang dipandang sebagai gejala efek toksik secara langsung Vandenberghe 1996; Al-Ashban et al. 2005. Berat organ yang lebih rendah dapat disebabkan oleh banyaknya sel hati yang mengalami nekrosis, dimana nekrosis merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya. Perubahan berat hati tidak selalu berakibat fatal kritis, karena hati merupakan organ yang mempunyai kapasitas pertumbuhan yang luar biasa reversible Lu 1995. Tabel 13 Persentase berat hati dan ginjal per berat badan mencit setelah diberi EEP Perlakuan Rataan berat organberat badan hati ginjal EEP 0 kontrol 6.05±1.36 1.79±0.19 EEP I 370 mgkg bb 6.96±0.69 1.89±0.10 EEP II 733 mgkg bb 7.72±0.72 2.01±0.09 Berdasarkan pengamatan secara histopatologi pada beberapa parameter organ hati menunjukkan bahwa secara umum struktur jaringan hati terlihat normal, kerusakan ringan hingga kerusakan sedang Tabel 14 dan Gambar 12. Berdasarkan 10 lapang pandang hanya sekitar 1-2 lapang pandang yang mengalami kerusakan ringan pada struktur hati, baik pada kontrol maupun yang diberi EEP I dan EEP II Lampiran 13. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa struktur hati tidak berbeda nyata P0.05 antar perlakuan. Pengamatan terhadap rata-rata parameter hati pada perlakuan kontrol, pemberian EEPI dan EEP II menyebabkan kerusakan ringan pada hati mencit. Berdasarkan komunikasi langsung dengan Dr. drh. Sri Estuningsih dan pengamatan hasil penelitian menunjukkan bahwa organ hati mengalami kongesti, namun vena sentralis terlihat normal dan susunan sel masih teratur. Inti sel yang tidak normal hanya sedikit dan sitoplasma yang tidak homogen ditemukan dalam jumlah sedang Gambar 12. Tabel 14 Tingkat kerusakan hati mencit Perlakuan No Mencit Parameter Sitoplasma nukleus P. darah EEP 0 1 1.4 0 1.4 2 2.2 0.9 0.7 3 1.9 1 1.2 Rataan 1.83±0.40 0.83±0.55 1.1±0.36 EEP I EEP 370 mgkg bb 1 1.8 0.8 0.7 2 1.4 1.4 2.2 3 2.6 1 0.7 Rataan 1.93±0.81 1.07±0.30 1.2±0.87 EEP II EEP 733 mgkg bb 1 1 1 0.3 2 2.7 1.3 2.1 3 1 0.7 0.7 Rataan 1.57±0.98 1.00±0.30 1.03±0.95 Parameter: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah Struktur hati normal pada mencit ditandai dengan pembuluh darah lebar, inti sel normal, susunan sel normal, sinusoid utuh, sitoplasma homogen Gambar 12A. Kerusakan ringan pada jaringan hati ditandai dengan pembuluh darah masih lebar, inti sel masih normal, tapi ada sedikit tidak normal piknosis, kemudian sitoplasma sebagian tidak homogen ada sedikit degenerasi parenkim atau degenerasi hidrofik, susunan sel masih normal dan tidak ada radang Gambar 12B, 12C dan 12D. Menurut Supartinah-Noer et al. 2003, kerusakan ringan ditandai dengan vena sentralis melebar, susunan sel tidak teratur, inti sel tidak normal, sinusoid tidak utuh dan sitoplasma homogen. Kerusakan yang ringan pada hati semua mencit pada penelitian ini bila dibandingkan dengan kontrol mungkin tidak disebabkan oleh pemberian EEP, namun dapat disebabkan ada faktor lain yang mempengaruhi organ hati, seperti pakan dan lingkungan. Menurut Manna et al. 2006, senyawa-senyawa organik kimia termasuk obat dan toksikan yang berasal dari makanan dan lingkungan dapat menyebabkan kerusakan sel-sel organ hingga terjadi peningkatan aktivitas metabolik tubuh. Adanya perubahan jaringan organ hati dapat dipengaruhi oleh jenis tumbuhan dan komponen toksik yang terkandung di dalam ekstrak. Mencit yang diberi ekstrak tumbuhan Apocynaceae jenis tumbuhan alamanda, ginje dan kamboja memberi kerusakan yang bervariasi pada jaringan hati mulai dari kerusakan ringan hingga parah dan dipengaruhi oleh jenis tumbuhannya dan zat toksik seperti glikosida Supartinah-Noer et al. 2003. Gambar 12 Histologi jaringan hati mencit. Hati normal pembesaran 10x A dan tingkat kerusakan ringan pada kontrol pembesaran 100x B, kerusakan ringan pada hati mencit kelompok EEP 370 mgkg pembesaran 100x C, kerusakan ringan pada hati mencit kelompok EEP 733 mgkg pembesaran 100x D. vena sentralis VS, susunan sel SS, sinusoid SI, kongesti K, degenerasi parenkim DP, degenerasi hidrofik DH, sel mengalami piknosis P. Pewarnaan HE Berdasarkan pengamatan secara histologi pada jaringan ginjal menunjukkan secara umum struktur jaringan ginjal terlihat normal hingga mengalami kerusakan yang tidak berarti kerusakan ringan Tabel 15 dan Gambar 13. Pengamatan pada struktur jaringan ginjal yang diberikan EEP 370 dan 733 mgkg berat badan mencit VS SS VS K SI A VS DP B DH C P DP DH D 50 μm 50 μm 50 μm 50 μm pemberian satu kali menunjukkan tidak berbeda nyata P0.05 dibandingkan dengan kontrol Tabel 15. Berdasarkan pengamatan dari 10 lapang pandang pada jaringan ginjal terlihat normal hingga mengalami kerusakan ringan Lampiran 14. Kongesti juga terjadi pada semua ginjal mencit Gambar 13. Pengamatan terhadap kerusakan ginjal meliputi perubahan pada glomerulus, ruang Bowman, tubulus sel-sel tubulus proksimalis atau sekitar glomerulus dan perdarahan dalam jaringan ruang Bowman dan di dalam serta antara tubulus. Tabel 15 Tingkat kerusakan ginjal mencit Perlakuan Ulangan Parameter Glomerulus Tubulus EEP 0 kontrol 1 0.7 2.3 2 0.6 1.3 3 0.7 1.4 Rataan 0.67±0.05 1.67±0.55 EEP I EEP 370 mgkg bb 1 1.5 1 2 1 1 3 1.3 1.9 Rataan 1.27±0.25 1.3±0.51 EEP II EEP 733 mgkg bb 1 1 1.1 2 1 1 3 1 1.1 Rataan 1±0 1.07±0.05 Parameter : 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang, 3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah Pemberian ekstrak kasar EEP dengan satu kali pemberian acute treatment baik dosis rendah maupun dosis tinggi tidak bersifat toksik pada ginjal. Perubahan organ ginjal yang terjadi secara histopatologik pada mencit kontrol dan yang diberi EEP hanya degenerasi parenkim dan degenerasi hidrofik sel yang membengkak Gambar 13. Reaksi toksik pada ginjal terhadap toksikan ditandai adanya pendarahan, ditemukannya eritrosit di antara dan dalam tubulus serta sekitar glomerulus dan ruang Bowman. Pada penelitian ini tidak ditemukan pendarahan di ruang Bowman, namun pendarahan ada terjadi di dalam pembuluh darah dan sedikit antara tubulus ginjal. Diduga adanya kongesti tidak disebabkan oleh ekstrak kasar EEP, namun faktor lain seperti cara pembiusan terhadap mencit atau karena sebelumnya sudah terpajan terpapar dengan toksikan. Adanya perubahan sel tubulus degenerasi parenkim dan hidrofik pada semua mencit diduga sudah ada sebelum perlakuan Gambar 13B, 13C dan 13D. Gambar 13 Histologi jaringan ginjal mencit. Ginjal normal pembesaran 10x A dan tingkat kerusakan ringan pada kontrol, pembesaran 100x B, kerusakan ringan pada ginjal mencit kelompok EEP 370 mgkg, pembesaran 100x C, kerusakan ringan pada ginjal mencit kelompok EEP 733 mgkg, pembesaran 100x D. glomerulus G, TP: tubulus proksimal, TD: tubulus distal, RB: Ruang Bowman, K: kongesti, DP: degenerasi parenkim, DH: degenerasi hidrofik. Pewarnaan HE . K TD TP G A DP B DP RB DH C DH DP D 50 μm 50 μm 50 μm 50 μm Parameter kerusakan ginjal akibat zat toksik adalah perubahan struktur glomerulus dan ruang Bowman diameternya berubah serta kematian sel tubulus. Selain perubahan struktur ginjal, pengaruh zat toksik juga ditandai dengan peningkatan nitrogen urea dan kreatinin dalam serum darah Manna et al. 2006. Selain pengaruh toksikan, kerusakan ginjal juga dipengaruhi oleh faktor luar ginjal yang dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, sehingga sulit untuk memastikan bahwa kerusakan yang timbul disebabkan oleh toksikan. Kerusakan yang terjadi pada hati dan ginjal merupakan kerusakan yang cenderung menjadi pulih kembali reversible. Hal tersebut terjadi bila tubuh terpapar dengan zat toksik pada kadar yang rendah atau dalam waktu yang singkat dan sifat toksikan serta keadaan hewan coba Lu 1995. Pertahanan permukaan tubuh terhadap bahan-bahan kimia antimikrob seperti asam-asam lemak, polipeptida dan enzim dapat terjadi karena adanya hubungan yang erat antara mukosa dan epitel terutama sel-sel epitel, perpindahan cairan dan pergerakan mukus oleh silia Janeway et al. 2001. Pemberian EEP secara oral memberi pengaruh yang tidak nyata terhadap flora usus, hati dan ginjal. Hal tersebut mungkin disebabkan peran pertahanan permukaan saluran pencernaan terutama sel-sel epitel saluran pencernaan atau kemungkinan komponen yang terdapat di dalam EEP tidak toksik. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis satu kali acute treatment EEP pada mencit dengan dosis 370 dan 733 mgkg tidak mempengaruhi jumlah mikrob saluran pencernaan. Mencit perlakuan dan kontrol hanya mengalami kerusakan ringan pada hati dan ginjal. EEP tidak toksik bila diberikan satu kali pemberian pada dosis 370-733 mgkg berat badan. VII. DETEKSI DAN KARAKTERISASI AWAL SENYAWA ANTIMIKROB DARI EKSTRAK ETANOL PLIEK U, MAKANAN TRADISIONAL ACEH Detection and preliminary characterization of antimicrobial compounds of ethanol extracts of pliek u, Aceh traditional food Abstract Pliek u obtained by traditionally fermentation of coconut meat is a potential source of antimicrobial compounds. This research was aimed to detect their active compounds by bioautographic method and to analyze their chemical composition by GC-MS. For this purposes, pliek u was extracted with ethanol 96 to get crude ethanol extract of pliek u EEP and to get ethanol extract of residual pliek u EERP which was previously extracted by hexane. Crude EEP separated into four bioautographic spots with different R f s 0.93, 0.71, 0.19, and 0.10 which were all shown to be active against Staphyloccoccus aureus. Similar result was shown by EERP, but only three bioautographic spots R f s 0.77, 0.63, and 0.4. Crude EEP consisted of 22 components representing 99.98 with fatty acids, ester, and alcohol as major constituents and aliphatic hydrocarbon. EERP consisted of 9 components representing 99.80 with alcohol as major constituents and fatty acids, ester, 4- Dibenzofuramine and amine as minor constituents. The present of many active compounds in pliek u supports the use of pliek u as spice to improve the quality of food and encourages further studies to determine those active compounds. Keyword: Antimicrobe detection; chemical composition; pliek u Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan beragam makanan fermentasi tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Produk-produk fermentasi tradisional tersebut banyak ditemukan dalam bentuk minuman, saos, bumbu dan makanan berprotein tinggi. Pliek u adalah salah satu produk fermentasi tradisional dari Aceh, yang diperoleh dari fermentasi daging buah kelapa tanpa disengaja selama beberapa hari. Produk ini merupakan hasil dari fermentasi terakhir yang diperoleh setelah melewati fermentasi tahap 1 dan fermentasi tahap 2 dan tahap 3 untuk mendapatkan minyak pliek u komunikasi langsung dengan masyarakat, Bakar et al. 1985. Pliek u sudah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu dan meluas penggunaannya di NAD secara tradisional sebagai bumbu masak untuk membuat berbagai menu makanan tradisional Aceh. Makanan fermentasi tradisional diperoleh dari fermentasi bahan dasar yang masih mentah atau hanya dipanaskan, sehingga menghasilkan produk yang memiliki sifat-sifat karakteristik yang khas. Makanan fermentasi tradisional mempunyai nilai nutrisi yang tinggi karena dapat menurunkan senyawa toksik, mudah dicerna serta menghasilkan vitamin dan antibiotik Wolf 1997; Campbell-Platt 2000. Masyarakat mempercayai bahwa mengkonsumsi makanan fermentasi tradisional dapat melindungi mereka dari berbagai penyakit. Beberapa negara menghasilkan makanan fermentasi tradisional yang digunakan sebagai anti infeksi, seperti Koumiss dari Rusia yang diberikan untuk mengobati tubercolusis, pulque dari Meksiko dan bubur fermentasi dari Tanzania, Sudan dan Kenya yang diberikan kepada anak-anak sebagai antidiare serta tempe dari Indonesia yang juga menghasilkan senyawa antimikrob Dirar 1992; Watson et al. 1996; Svanberg 1992; Gandjar 2000; Farnworth 2003. Fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan makanan tertua di dunia, yang sejak lama ratusan tahun secara turun temurun sudah dilakukan dan produknya dikonsumsi lebih banyak oleh masyarakat pedalaman atau pedesaan berdasarkan adat dan tradisi mereka Battcock dan Azam-Ali 1998; Prajapati dan Nair 2003. Produk- produk fermentasi dihasilkan dari proses biokimia atau proses dekomposisi lambat yang disebabkan oleh mikroorganisme atau enzim Walker 1988. Proses fermentasi sangat tergantung pada jenis, jumlah dan aktivitas mikroorganisme, komposisi kimia bahan dasar dan lingkungan, sehingga produk yang dihasilkan bisa menjadi lebih baik dibandingkan bahan asal Djien 1982; Battock dan Azam-Ali 1998; Chisti 2000. Makanan fermentasi mengandung asam organik, bakteriosin, alkohol, asam- asam lemak dan enzim yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen. Hal tersebut menyebabkan senyawa-senyawa alami yang dihasilkan dari fermentasi kultur dapat diekstrak dan dipurifikasi, yang digunakan sebagai pengawet makanan atau antimikrob Hammes dan Tichazek 1994; Ottogali dan Galli 1997; Mortajemi et al. 1996; Hoover 2000. Akhir-akhir ini makanan fermentasi menjadi populer karena dapat memperpanjang masa simpan tanpa penambahan bahan pengawet. Secara tradisional, minyak kelapa digunakan untuk beragam masalah kesehatan, seperti pengobatan penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza Fife 2005. Minyak kelapa juga digunakan sebagai bahan campuran obat yang diberikan melalui oral Mahran 1991. Berdasarkan beberapa laporan, daging buah dan minyak kelapa mengandung berbagai bahan aktif yang berpengaruh sebagai bahan terapi. Kandungan lemak dalam kelapa seperti asam-asam lemak dan derivatnya merupakan komponen fungsional yang sangat bermanfaat secara fisiologis, terutama sebagai antimikrob Kabara 2000; Enig 2002. Asam-asam lemak bebas jenuh rantai sedang dan monogliseridanya terbukti memiliki aktivitas antimikroba terhadap berbagai mikroba seperti bakteri, jamur dan virus serta tidak menimbulkan resistensi Kabara 1978; Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993; Nair et al. 2005. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak kasar etanol EEP mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif serta fungi C. albicans, sedangkan ekstrak etanol EERP hanya mampu menghambat bakteri Gram positif dan Gram negatif. Oleh sebab itu untuk mengetahui perbedaan aktivitas kedua ekstrak tersebut maka perlu dideteksi kandungan senyawa aktif di dalam ekstrak EEP dan EERP untuk mengetahui jumlah dan karakter komponennya berdasarkan mentode bioautografik dan analisis GC-MS. Penelitian ini dilakukan juga untuk mendukung makanan fermentasi tradisional Aceh pliek u sebagai makanan kesehatan. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi PPSHB-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pemeriksaan komposisi kimia ekstrak EEP dan EERP dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat Daerah Propinsi DKI, Jakarta. Pliek u Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, yang diperoleh dari tempat produksi rumah tangga, berlokasi di desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Ekstraksi Pliek u Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. 2006 dan Sudirman 2005a. Ekstraksi pertama dilakukan terhadap pliek u untuk mendapat esktrak etanol residu pliek u EERP, yang diawali mengekstrak pliek u dengan heksan, kemudian residunya diekstrak dengan etanol. Ekstraksi ini dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml heksan. Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 New Branswick scientific, Edison, USA dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28 o C, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar Bütchi, Switzerland pada suhu 40-50 o C pada tekanan 335 mBAR untuk heksan, menghasilkan ekstrak kasar heksan EHP. Residu yang diperoleh setelah diekstrak dengan heksan diekstrak lagi dengan etanol 96 dengan cara yang sama, filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar Bütchi, Switzerland pada suhu 40-50 o C pada tekanan 175 mBAR. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk mendapatkan ekstrak etanol residu EERP. Ekstraksi yang kedua dilakukan hanya mengekstrak pliek u dengan etanol 96 untuk mendapatkan ekstrak etanol EEP. Ekstraksi ini dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96. Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 New Branswick scientific, Edison, USA dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28 o C, kemudian di saring menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar Bütchi, Switzerland pada suhu 40-50 o C pada tekanan 175 mBAR untuk etanol, menghasilkan ekstrak. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk mendapatkan ekstrak kasar etanol EEP. Deteksi Senyawa Antimikrob dengan Metode Bioautografi Pengujian aktivitas senyawa antimikrob EEP dan EERP dilakukan berdasarkan prosedur yang dikemukan oleh Sudirman 2005b menggunakan kromatografi lapis tipis yaitu lempengan dengan gel silika 60 F-254 ref.5714, Merck, ketebalan 0.1 mm 20 x 5 cm. Bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus berdasarkan Nakamura et al. 1999. S. aureus diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi, FKH IPB, Bogor. Inokulum S. aureus yang berasal satu ose dari koloni yang berwarna hitam pada media Vogel Johnson Agar diinokulasi ke dalam 10 ml Mueller Hinton broth dan diikubasi pada suhu 37°C selama 24 jam yang akan digunakan untuk uji bioautografi. Pengujian dengan metode bioautografi dilakukan untuk melihat bercak yang menunjukkan aktivitas senyawa antimikrob. Ekstrak etanol EEP dan EERP masing- masing sebanyak 10 µl diteteskan diatas lempengan gel silika ukuran 20 x 5 cm dengan jarak tetesan dari pinggir bawah lempengan 2,5 cm. Lempengan dimasukkan dalam bejana pengembang yang sudah mengandung campuran larutan butanol: asam asetat: air pada perbandingan 3:1:1 vv yang sebelumnya campuran larutan tersebut dijenuhkan selama 1-2 jam dalam bejana pengembang. Jarak campuran larutan kira- kira 1 cm dari pinggir bawah lempengan. Lempengan di uji secara duplikat, satu lempengan digunakan sebagai referensi khromatogram yang divisualisasi dengan sinar UV 366 nm, sedangkan satu lempengan yang lain diuji bioautografi. Lempengan TLC ditempatkan dalam wadah bertutup steril yang bagian bawahnya ada kertas saring yang dituang dengan akuades steril secukupnya, semua dikerjakan dalam laminar yang telah di UV. Sebelumnya lempengan dihilangkan pelarutnya dengan membiarkan lempengan dalam lemari asam selama 24 jam. Selanjutnya lempengan dilapisi dengan agar Vogel Johnson yang mengandung S. aureus 10 6 -10 7 cfuml sampai menyebar merata diatas lempengan uji. Setelah mengeras lempengan dipreinkubasi selama 2-3 jam pada suhu 10ºC, kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Zona hambatan yang terbentuk menunjukkan adanya spot-spot senyawa yang aktif sebagai antibakteri. Pertumbuhan koloni S. aureus pada media agar VJA berwarna hitam dan zona kuning dipinggir koloni. Semua lempengan TLC didokumentasikan. Nilai R f pada bioautogram dihitung dengan membagi jarak bercak zona hambatan yang terbentuk dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan campuran larutan. Data dianalisis secara deskriptif. Karakterisasi Senyawa Antimikrob Prosedur dikerjakan berdasarkan Simonsen et al. 2006, yang dilaksanakan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Komponen yang terdapat dalam bahan uji diidentifikasi dengan metode FAMES 1 M menggunakan alat Gas Chromatography-Mass Spectrometry GC-MS. Bahan uji dipreparasi terlebih dahulu berdasarkan AOAC 1995. Bahan uji 100 mg dilarutkan dengan 4 ml NaOH 0,5 N dibawah gas Nitrogen, ditutup rapat, dikocok dan dipanaskan pada suhu 100ºC selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan Boran triflorioit BF3 7 dalam 5 ml metanol, ditutup rapat, dikocok dan dipanaskan pada suhu 100ºC selama 45 menit, kemudian ditambahkan 5 ml heksan, diinkubasi selama 5 menit, ditutup rapat dan dikocok selama 30 detik. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan NaCl jenuh, ditutup dan dikocok selama 10 menit, lalu didiamkan 10 menit dan dikocok 10 menit, kemudian disentrifus selama 10 menit. Fase organik supernatan diambil dan ditambahkan Na 2 SO 4 anhidrat serta didiamkan selama 10 menit kemudian dipekatkan dengan heksan menjadi ± 150 µg. Alat Gas Chromatograph Agilent Technologies 6890 dihubungkan dengan auto sampler dan Mass Selective Detector 5973 serta data system Chemstation yang dihubungkan dengan kolom kapiler Innowax panjang 30m x diameter 0.25mm, film thickness 0.25 μm. Suhu oven diprogram pada 250ºC, dengan suhu awal 130ºC selama 2 menit, kemudian dinaikkan 6ºCmenit menjadi 170ºC dipertahankan selama 2 menit, kemudian ditingkatkan lagi 3ºCmenit sampai mencapai 215ºC dipertahankan selama 1 menit, lalu ditingkatkan lagi 40ºCmenit menjadi 250ºC dan dipertahankan selama 10 menit. Suhu injeksi adalah 250ºC, suhu sumber ion 230ºC, suhu interface 280ºC dan suhu quadropole 140ºC serta , dan voltase ionisasi Electron Impact 70 eV. Gas pembawa yang digunakan adalah Helium dengan aliran konstan 1.5 µlmenit. Volume injeksi adalah 5 µl mode split pada perbandingan 100:1. Analisa kuantitas ditampilkan sebagai persentase puncak area. Puncak yang muncul pada layar GC- MS diidentifikasi dengan pencarian komputer pada referensi pada kepustakaan spektra massa database Wiley 275.L. Data yang dihasilkan dikelompokkan berdasarkan Fessenden dan Fessenden 1997. Hasil dan Pembahasan Deteksi Senyawa Antimikrob Ekstrak Etanol dari Pliek u EEP dan EERP berdasarkan Metode Bioautografi Deteksi senyawa antimikrob EEP dan EERP pada kromatografi lapis tipis KLT masing-masing menghasilkan empat dan tiga bercak zona hambatan Gambar 14. Zona hambatan yang terbentuk berwarna merah jambu yang dikelilingi oleh S. aureus koloni berwarna hitam pada media VJA. Nilai R f dari zona hambatan EEP adalah R f1 : 0.10; R f2 : 0.19; R f3 : 0.71; R f4 :0.93 Gambar 14b, sedangkan EERP memberikan tiga zona hambatan dengan nilai R f , yaitu R f1 : 0.40; R f2 : 0.63; R f3 : 0.77 Gambar 20d. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa zona hambatan yang terbesar dihasilkan oleh R f3 : 0.71 dari EEP, mempunyai nilai R f yang hampir sama dengan zona hambatan dari nilai R f3 : 0.77 dari EERP, walaupun zona hambatannya kecil di bawah sinar UV 366 nm Gambar 14a dan 14c. Pengujian dengan metode bioautografi merupakan metode yang sangat menguntungkan dan lebih efisien untuk mendeteksi senyawa antimikrob. Metode ini hanya memerlukan sedikit sampel uji dibandingkan dengan metode cakram kertas. Pada penelitian ini hanya memerlukan sampel uji EEP dan EERP masing-masing 10 µl dibandingkan dengan metode difusi kertas cakram memerlukan sampel uji 100 µl. Metode bioautografi merupakan gabungan dua metode yaitu metode kimia kromatogram dan mikrobiologi yang dapat menghasilkan zona hambatan yang terpisah karena aktivitas senyawa yang terpisah pada kromatogram dan lebih sensitif dibandingkan metode difusi cakram kertas Rahalison et al. 1991, diacu dalam Runyoro et al. 2006; Rosner dan Aviv 1980, diacu dalam Sudirman 2005b. Pada saat kromatogram dari hasil bioautografi belum dikeringkan memperlihatkan zona hambatan masih berwarna merah jambu yang dikelilingi oleh koloni berwarna hitam dan media berwarna kuning, sehingga kromatogram terlihat kontras karena aktivitas penghambat yang disebabkan senyawa dari EEP dan EERP. Metode bioautografi dalam penelitian ini sudah dimodifikasi dengan menggunakan media agar spesifik untuk S. aureus, yaitu agar Vogel Johnson Agar yang ditambah dengan larutan tellurite 1. Media ini merupakan media spesifik untuk menumbuhkan S. aureus dengan ciri khas koloni berwarna hitam yang dikelilingi zona berwarna kuning. Koloni yang tidak tumbuh menandakan adanya aktivitas senyawa antibakteri dari EEP dan EERP Gambar 14. Gambar 14 Kromatogram dan bioautogram ekstrak etanol EEP dan EERP Kromatogram setelah disinar dengan UV 366 nm, EEP a dan EERP c; Bioautogram setelah uji bioautografi, EEP b dan EERP d Bercak zona hambatan yang terbentuk pada bioautogram menunjukkan adanya perbedaan senyawa aktif antara EEP dengan EERP. Bercak-bercak yang terbentuk bisa dideteksi dengan pewarnaan revelasi kimia seperti yang dikerjakan oleh Sudirman 1994. Penyemprotan menggunakan reagen vanillin dalam asam sulfat berdasarkan Stahl 1969 terhadap EEP dan EERP memberikan warna ungu hingga R f 1 : 0.10 R f 4 : 0.93 R f 2 : 0.19 R f 3 : 0.71 a R f 1 : 0.40 R f 2 : 0.63 R f 3 : 0.77 b d c EERP EEP hitam data tidak diperlihatkan. Hasil penyemprotan tidak bisa dibandingkan dengan bercak zona hambatan yang terbentuk, sedangkan deteksi menggunakan sinar UV masih bisa dibandingkan dengan bercak zona hambatan yang dihasilkan Gambar 14. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan jumlah ekstrak yang ditetes di atas lempeng TLC masih terlalu besar 10 μl. Deteksi menggunakan metode bioautografi pada kromatogram TLC menunjukkan bahwa EEP dan EERP masing-masing mengandung 4 dan 3 senyawa antimikrob yang aktif terhadap S. aureus. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh proses ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak EERP. EERP diperoleh dengan mengekstrak pliek u terlebih dahulu dengan heksan, kemudian residunya diekstrak dengan etanol, sehingga ada komponen aktif yang mungkin terekstrak terlebih dahulu. Hasil ini juga menguatkan penelitian terdahulu, dimana EEP aktif terhadap bakteri dan jamur. Komponen yang tidak terdeteksi pada EERP namun terdeteksi pada EEP mungkin aktif terhadap bakteri dan jamur. Walaupun zona hambatan terbesar pada penelitian ini diperlihatkan oleh nilai R f 0.71, namun dengan terdeteksinya tiga zona hambatan lainnya pada EEP menunjukkan bahwa adanya sinergisme antar komponen sehingga memiliki aktivitas terbaik terhadap bakteri dan jamur. Pelarut etanol dan metanol yang digunakan pada proses ekstraksi menyebabkan banyak komponen aktif bersifat polar yang terlarut, sehingga memperlihatkan aktivitas antimikrob yang berspektrum luas terhadap bakteri dan fungi seperti yang telah dikerjakan oleh Okeke et al. 2001; Barbour et al. 2004; Voravuthikunchai et al. 2004; Shah et al. 2004; Nkere dan Iroegbu 2005; Runyoro et al. 2006; Duraipandiyan et al. 2006; Gupta et al. 2006; Rojas et al. 2006. Identifikasi Komponen Ekstrak Etanol dari Pliek u Hasil identifikasi senyawa kimia pada EEP dan EERP menggunakan GC-MS disajikan pada Tabel 16, Gambar 15, Gambar 16 dan Lampiran 15. Berdasarkan hasil uji GC-MS dapat diidentifikasi 22 komponen dari 99.89 EEP, sedangkan dari 99.80 EERP diidentifikasi hanya 9 komponen, namun jenis dan jumlah komponennya ada yang berbeda. Hampir sebagian besar senyawa yang terkandung dalam EEP adalah asam lemak dan derivatnya, seperti asam kaprilat, asam kaprat, asam laurat, asam miristat, asam palmitat,asam palmitoleat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat, 7,10,13-asam heksadekatienoat, 9,12,15-asam oktadekatrienoat dan asam tetradekanedioat serta ester dan alkohol. Masing-masing secara berurutan memberikan area sebesar 43.64, 30.99, 2.81 dan terdapat komponen lain dalam jumlah yang kecil yaitu hidrokarbon alifatik 22.45 Tabel 16. Tabel 16 Komposisi kimia EEP dan EERP berdasarkan GC-MS No Komponen Golongan Area EEP EERP 1 Decanoic acid asam kaprat C10:0 Asam karboksilat 0.91 2 Decanoic acid methyl ester Ester 0.49 3 Dodecanoic acid asam laurat C12:0 Asam karboksilat 10.76 0.85 4 Dodecanoic acid, methyl ester Ester 8.05 5 Dodecanoic acid, 2 hydroxy-1 Alkohol 31.47 6 Tetradecanoic acid asam miristat C14:0 Asam karboksilat 5.24 0.55 7 Tetradecanoic acid methyl ester Ester 7.34 8 Hexadecanoic acid asam palmitat C16:0 Asam karboksilat 10.24 0.01 9 Hexadecanoic acid methyl ester Ester 6.15 10 Hexadecanoic acid 2,3-dihydroxy Alkohol 13.66 11 Hexadecanoic acid, 2 hydroxy-1 Alkohol 2.81 12 9-Hexadecenoic acid asam palmitoleat C16:1 Asam karboksilat 2.39 13 Octadecanoic acid asam stearat C18:0 Asam karboksilat 1.55 14 Octadecanoic acid methyl ester Ester 3.70 14.89 15 9-Octadecenoic acid asam oleat C18:1 Asam karboksilat 9.69 2.84 16 9-Octadecenoic acid methyl ester Ester 4.57 17 9,12-Octadecadienoic acid asam linoleat C18:2 Asam karboksilat 0.74 18 9,12-Octadecadienoic acid methyl ester Ester 0.69 19 7,10,13-hexadecatienoic acid Asam karboksilat 1.06 20 9,12,15-octadecatrienoic acid Asam karboksilat 0.23 21 3-Dodecendiena Hidrokarbon alifatik 19.36 22 1,4-cyclononadiena Hidrokarbon alifatik 3.09 23 Tetradecanedioic acid C14:2 Asam karboksilat 0.51 24 Octanoic acid asam kaprilat C8:0 Asam karboksilat 0.32 25 4-Dibenzofuramine 22.82 26 Etyl-2,2-difluoro-2-4-propen-3’piperadine Amina 12.71 Total 99.89 99.80 EEP Ekstrak kasar etanol dari pliek u, EERP Ekstrak etanol dari residu Kandungan utama EERP adalah asam lemak dalam jumlah yang sedikit asam laurat, asam miristat dan asam oleat dan derivatnya ester dan alkohol dengan area masing-masing 4.25, 14.89 dan 45.13, serta komponen lain seperti 4- Dibenzofuramine 22.82 dan etyl-2,2-difluoro-2-4-propen-3piperadine 12.71 Tabel 16. Pengelompokkan asam lemak dan derivatnya menjadi asam karboksilat, ester dan alkohol berdasarkan Fessenden dan Fessenden 1997. Gambar 15 Kromatogram komponen dalam ekstrak kasar EEP Gambar 16 Kromatogram komponen dalam ekstrak EERP Berdasarkan hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa komponen yang terdapat di dalam ekstrak kasar EEP lebih banyak asam lemak jenuh dengan panjang rantai karbon C8, C10, C12, C14, C16 dan C18 sebesar 29.02, sedangkan derivat esternya sebesar 25.73. Secara keseluruhan memberikan area paling besar yaitu 54.75 pada EEP, sedangkan EERP hanya mengandung asam lemak jenuh sebesar 1.41 dengan panjang rantai karbon C12, C14 dan C16 dan hanya mengandung komponen golongan ester sebesar 14.89, dengan jumlah secara keseluruhan 16.3 Tabel 16 dan Lampiran 15. Berbagai asam lemak bebas terutama derivatnya telah dilaporkan mempunyai aktivitas antimikrob dengan rentang yang luas terhadap berbagai mikrob bakteri, jamur dan virus dan aktivitas lebih besar apabila adanya kombinasi atau gabungan senyawa antimikrob Wang dan Johnson 1992; Kabara 2000; Řiháková et al. 2001; Nair et al. 2005. Tidak semua asam lemak memberikan aktivitas yang sama sebagai antimikrob, asam lemak seperti C12, C14, C16, C16:1, C18, C18:1, C18:2 dan C18:3 tidak aktif terhadap bakteri Gram negatif dan hanya C12 dan C16:1 yang aktif terhadap bakteri Gram positif Quattara et al. 1997. Monogliserida dari asam lemak dengan panjang rantai sedang, terutama monogliserida dari asam laurat lebih aktif sebagai antibakteri dibandingkan asam lemak bebasnya, namun ada beberapa derivat asam lemak lainnya juga mempunyai aktivitas antimikrob dengan spektrum luas Kabara 1978; Nair et al. 2005. Monogliserida seperti monolaurat MC12 mempunyai aktivitas antimikrob yang paling baik, selain itu monokaprilat MC8, monokaprat MC10 dan monomiristat MC14 ternyata juga mempunyai aktivitas antimikrob, sedangkan monopalmitat MC16, monostearat MC18, monooleat MC18:1 dan monolinoleat MC18:2 tidak mempunyai aktivitas antimikrob Kabara 1978; Wang et al. 1993; Wang dan Johnson 1992. Asam karboksilat dan komponen hidroksil yang terdapat di dalam EEP dan EERP mungkin menyebabkan kedua ekstrak tersebut mempunyai aktivitas antibakteri. Aktivitas tersebut mungkin dapat disebabkan besarnya golongan hidroksil di dalam ekstrak. Menurut Cowan 1999 banyaknya komponen hidroksil dalam ekstrak tumbuh-tumbuhan menyebabkan aktivitas antimikrob menjadi lebih besar. Begitu juga dengan ekstrak herbal, bumbu dan tumbuh-tumbuhan obat yang didalamnya mengandung asam karboksilat ternyata mempunyai aktivitas antimikrob yang baik Chen Xie et al. 2004; Paraschos et al. 2007. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ternyata EEP mempunyai aktivitas yang paling baik dibandingkan EERP. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan komponen aktif sebagai antimikrob di dalam ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP dapat disebabkan senyawa golongan asam karboksilat sebesar 43.64, sedangkan asam karboksilat di dalam EERP hanya 4.25. Secara umum, polaritas antimikrob erat kaitannya dengan komponen yang terkandung didalamnya. Penggunaan etanol untuk ekstraksi secara sendiri untuk mengekstrak pliek u tanpa didahulukan dengan ekstraksi menggunakan heksan dapat menyebabkan komponen yang mengarah non polar juga bisa ikut larut, sehingga menyebabkan adanya sinergisme antar komponen gabungan komponen non polar dan polar yang menyebabkan mikrob menjadi lebih sensitif. Lain halnya dengan EERP yang mungkin lebih banyak mengandung komponen yang mengarah ke polar dan sangat aktif sebagai antibakteri. Daya kelarutan asam lemak lebih besar di dalam pelarut non polar dan agak polar dibandingkan dengan komponen gliseridanya. Semakin panjang rantai karbon maka semakin sukar untuk larut. Asam lemak tidak jenuh lebih mudah larut dalam pelarut non polar dibandingkan asam lemak jenuh dengan panjang rantai karbon yang sama. Asam lemak yang bermolekul besar sangat mudah larut dalam pelarut non polar dan dapat melindungi bakteri dari senyawa antibakteri, namun asam-asam lemak tersebut dapat sangat aktif sebagai antikandida. Terdeteksinya beberapa komponen aktif di dalam ekstrak pliek u mendukung penggunaannya dalam makanan, terutama sebagai bumbu. Banyak bumbu yang mengandung berbagai senyawa antimikrob yang sifatnya sinergisme dan menghasilkan aktivitas antimikrob lebih baik. Oleh sebab itu penggunaan bumbu- bumbu dalam makanan dapat mencegah infeksi oleh kuman patogen penyebab penyakit. Salah satu bumbu yang menghasilkan berbagai senyawa antimikrob adalah bawang putih, mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam amino dan sejumlah senyawa lain. Ekstrak bawang putih aktif terhadap S. aureus dan C. albicans Elnima et al. 1983; Block 1985. Simpulan Deteksi aktivitas antibakteri terhadap S. aureus berdasarkan bioautografi terhadap EEP menghasilkan empat bercak zona hambatan pada R f 0.93, 0.71, 0.19 dan 0.10 dan bioautografi terhadap EERP menghasilkan tiga bercak zona hambatan pada R f 0.77, 0.63 dan 0.4. Identifkasi ekstrak kasar etanol dari pliek u EEP menghasilkan 22 komponen sebanyak 99.89 sedangkan esktrak etanol dari residu heksan EERP menghasilkan 9 komponen sebanyak 99.80. EEP lebih banyak mengandung asam lemak dan derivat ester 50 dibanding EERP hanya mengandung 20.

VIII. PEMBAHASAN UMUM