yang dieksploitasi. Selain itu provinsi ini memiliki wilayah yang luas yang masih belum digunakan secara maksimal.
Dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan daerah seperti yang digambarkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun
2001 penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Kontribusi terbesar penyusun
penerimaan daerah adalah dana perimbangan dimana lebih dari 80 persen pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Semakin besarnya dana
perimbangan mengindikasikan bahwa semakin banyak dana dari pusat yang ditransfer ke Kalimantan Tengah. Peningkatan penerimaan daerah ini merupakan
instrumen desentralisasi fiskal guna membiayai peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya penyerahan sebagian wewenang
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
1.2. Permasalahan
Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan Kalimantan Tengah meningkat signifikan. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan
diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti dengan
keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut.
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian untuk tiap daerah berbeda-beda tergantung dari
kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kalimantan Tengah secara
komprehensif haruslah dilakukan penelitian lebih lanjut. Dari uraian di atas, dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?
3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?
4. Bagaimanakah dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah
Kalimantan Tengah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran
pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.
3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah.
4. Menganalis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan panel data pooled data 13 kabupaten dan satu kota tahun 1995-2005. Kinerja
perekonomian yang akan diteliti adalah PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Sebelum ada pemekaran wilayah pada tahun 2002, Kalimantan Tengah
memiliki lima kabupaten dan satu kota. Setelah terjadi pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002, terjadi penambahan delapan
kabupaten baru seperti terlihat pada Tabel 2. Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan
menggabungkan kabupaten pemekaran baru ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota
Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan.
Tabel 2. Nama-Nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah Kabupatenkota Induk
Kabupaten pemekaran
Kabupatenkota Setelah Pemekaran
1. Kota Palangka Raya 1. Kota Palangka Raya
2. Kab. Kotawaringin Barat 3. Kab. Lamandau
2. Kab. Kotawaringin Barat Kab. Lamandau
Kab. Sukamara 4. Kab. Sukamara
5.
Kab. Kotawaringin Timur
6. Kab. Katingan 3. Kab. Kotawaringin
Timur Kab. Katingan
Kab. Seruyan 7. Kab. Seruyan
8. Kab. Kapuas 9. Kab. Gunung Mas
4. Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas
Kab. Pulang Pisau 10. Kab. Pulang Pisau
11. Kab Barito Utara 5. Kab Barito Utara
Kab. Murung Raya 12. Kab. Murung Raya
13. Kab. Barito Selatan 6. Kab. Barito Selatan
Kab. Barito Timur 14. Kab. Barito Timur
Sumber: Kalimantan Tengah dalam Angka 2006
Fokus penelitian ini hanya pada dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, dimana kinerja perekonomian
dibatasi pada PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan desentralisasi fiskal tidak lepas dari kinerja pemerintah daerah, tetapi dalam penelitian ini tidak
dibahas masalah kinerja pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teoritis Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
perekonomian tertutup. Pendekatan teori tersebut diawali dengan dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perpotongan Keynesian yang
berlanjut pada terbentuknya keseimbangan di pasar barangjasa dan keseimbangan di pasar uang. Keseimbangan di kedua pasar tersebut akan berinteraksi dengan
keseimbangan di pasar tenaga kerja, sehingga terbentuk kurva permintaan dan penawaran agregat yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah.
2.1.1. Permintaan Agregat
Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dan tingkat pendapatan. Kurva permintaan agregat terbentuk bila terjadi
keseimbangan di pasar barang dan jasa dan keseimbagan di pasar uang. Kebijakan pemerintah mempengaruhi perekonomian akan terjadi di pasar barang dan jasa,
sehingga pada penjelasan selanjutnya akan lebih membicarakan keseimbangan di pasar ini.
Keseimbangan di pasar barang dan jasa dimulai dengan model dasar yang disebut perpotongan Keynesian Keynesian cross. Model ini adalah interpretasi
paling mudah dari teori pendapatan Keynes Mankiw, 2002. Perpotongan Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan pengeluaran
pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian terjadi ketika pengeluaran aktual AE sama dengan pengeluaran yang
direncanakan PE. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian merupakan
pendapatan nasional atau produk domestik bruto PDB, pada tingkat daerah disebut dengan PDRB Teori pendapatan nasional Keynesian dalam Mankiw
2002 dituliskan kembali sebagai berikut: Y = C + I + G ........................................................................................2.1
Gambar 1 menunjukan apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah G sebesar G
Δ , maka AE akan bergeser dari AE
1
ke AE
2
sehingga output akan meningkat dari Y
1
ke Y
2
. Pengganda pengeluaran pemerintah dalam Mankiw 2002 dituliskan kembali sebagai berikut:
d bt
b G
Y +
+ −
= Δ
Δ 1
1 ...............................................................................2.2
Sumber: Mankiw 2002
Gambar 1. Kurva Perpotongan Keynesian
Gambar 1 adalah kurva perpotongan keynesian yang merupakan kerangka dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan
di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka akan terbentuk kurva permintaan agregat AD.
2.1.2. Penawaran Agregat
Menurut Dornbusch dan Fischer 1997, kurva penawaran agregat AS menggambarkan kombinasi output dan tingkat harga sedemikian rupa sehingga
perusahaan berusaha, pada tingkat harga tertentu, menawarkan jumlah output yang tertentu atau dengan kata lain kurva penawaran agregat mencerminkan
berbagai kondisi pada pasar faktor produksi terutama pasar tenaga kerja. Teori penawaran agregat dapat dijelaskan dengan teori klasik dan teori Keynesian.
Pada kasus klasik, kurva penawaran agregat berbetuk vertikal, menunjukan bahwa berapapun tingkat harga yang berlaku, jumlah barang yang
bersedia ditawarkan tidak berubah. Kurva penawaran agregat klasik didasarkan atas asumsi bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium
dengan penggunaan tenaga kerja penuh dari angkatan kerja. Jika seluruh angkatan kerja yang ada telah digunakan, maka output tidak dapat naik di atas tingkat yang
sekarang meskipun tingkat harga naik. Tidak ada lagi tenaga kerja yang bersedia untuk memproduksi output tambahan. Dengan demikian bentuk kurva penawaran
agregat akan menjadi vertikal pada tingkat output yang sesuai dengan penggunaan tenaga penuh dari angkatan kerja. Asumsi yang mendasari bentuk
skedul yang vertikal ini adalah bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium karena tingkat upah akan menyesuaikan diri secara cepat guna
mempertahankan kondisi ekuilibrium.
Pada kasus keynesian, kurva penawaran agregat tidak vertikal karena tenaga kerja lambat menyesuaikan upahnya untuk mempertahankan kondisi
ekuilibrium. Pada kasus yang ekstrim, kurva penawaran agregat horisontal, hal ini menunjukan bahwa perusahaan akan bersedia menawarkan pada tingkat harga
yang ada, berapapun jumlah barang yang diminta. Gagasan yang mendasari kurva penawaran agregat Keynesian ini adalah karena terdapat pengangguran,
perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang mereka perlukan dengan upah yang berlaku sekarang. Karena itu, peningkatan biaya produksi rata-
rata mereka tidak berubah meskipun tingkat outputnya berubah.
2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Pemintaan
Agregat dan Penawaran Agregat
Kasus klasik terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka panjang. Kasus Keynesian terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka pendek,
karena dalam jangka pendek harga-harga bersifat kaku. Apabila terjadi ekspansi fiskal dalam jangka pendek, misalnya pemerintah meningkatkan pengeluarannya
atau pemerintah memotong pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dari AD
1
menjadi AD
2
, sehingga akan meningkatkan output dari Y
1
ke Y
2
. Apabila terjadi kontraksi fiskal, misalnya pemerintah mengurangi pengeluarannya atau pemerintah meningkatkan pajak
maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kiri dari AD
1
menjadi AD seperti pada Gambar 2.
Sumber: Mankiw 2002 Gambar 2. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Pendek
Sumber: Mankiw 2002 Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output Y
jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva
permintaan agregat bergeser ke atas dari AD
1
menjadi AD
2
, dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik D output berada di atas tingkat
alamiah. Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.
Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD
1
menjadi AD , dimana
perekonomian bergeser dari titik A ke titik B output berada di bawah tingkat alamiah. Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari
resesi, yang bergerak dari titik B ke C seperti pada Gambar 3.
Sumber: Mankiw 2002 Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output Y
jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva
permintaan agregat bergeser ke atas dari AD
1
menjadi AD
2
, dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik D output berada di atas tingkat
alamiah. Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.
Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD
1
menjadi AD , dimana
perekonomian bergeser dari titik A ke titik B output berada di bawah tingkat alamiah. Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari
resesi, yang bergerak dari titik B ke C seperti pada Gambar 3.
2.2. Tinjauan Pustaka 2..2.1. Desentralisasi Fiskal
Implikasi langsung dari kewenanganfungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Karena itu, perlu diatur perimbangan
keuangan hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari sisi
keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar.
Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara APBN ke daerah.
Menurut Boediono 2002, kebijakan fiskal dilaksanakan melalui kebijakan pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara APBN
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD. Dengan demikian tersirat pengertian bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah melalui: 1 kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan, dan 2 kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan
belanja.
2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Sebelum terjadi desentralisasi fiskal, hubungan keuangan pusat dan daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1956 kemudian diperbaharui oleh
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Sidik 2002, pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang
mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama ini khususnya berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari pusat
kepada daerah, terakhir berupa subsidi untuk belanja rutin daerah dan bantuan berupa instruksi presiden untuk belanja pembangunan daerah sering kurang
jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: 1 aspek perencanaan, dominannya peranan pusat dalam menetapkan prioritas
pembangunan top down di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; 2 aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk
pelaksanaan maupun petujuk teknis dari Pusat; dan 3 aspek pengawasan, banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan BPKP, Inspektorat Jendral Departemen, Inspektur Jenderal Pembangunan Irjenbang, Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling
tumpang tindih. Menurut Boediono 2002, beberapa kelemahan tersebut di atas menjadi
bahan untuk pokok-pokok pemikiran tentang pembaharuan di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang hubungan
keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara,
serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Selanjutnya Boediono 2002 mengungkapkan, pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari
sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal seperti
pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal sering dikelola oleh instansi pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih
besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah daerah. Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui
Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah
melibatkan pihak universitaspakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keputusan Presiden, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD yang mayoritas anggotanya berasal dari
pemerintah daerah. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat diketahui semua lapisan masyarakat.
2.2.3. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah terdiri atas: hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Simanjuntak 2001, kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi
pada zaman orde lama diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang
Peraturan Umum Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kedua undang-undang ini menyebabkan
bermunculannya berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Jenis pajak dan retribusi yang demikian banyak terutama karena daerah melihat potensi untuk
meningkatkan penerimaan adalah dari sekian jenis pajakretribusi yang umumnya kecil-kecil itu. Sebagaimana diketahui celah yang diberikan kepada daerah untuk
menggali penerimaannya adalah “lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh negara atau daerah tingkat di atasnya”.
Selanjutnya Simanjuntak 2001 memberikan gambaran bahwa Undang- Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah mencatat 5
buah jenis pajak provinsi dan tidak kurang 20 jenis pajak kabupatenkota. Karena undang-undang ini memberi kewenangan kepada daerah untuk “menggali dan
mengembangkan jenis pajak baru”, maka dalam praktiknya jumlah pajak daerah yang ada jauh lebih banyak dari itu, yaitu sekitar 40 jenis. Hal sama terjadi untuk
retribusi daerah. Peraturan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 terdapat 36 jenis retribusi provinsi dan 58 retribusi daerah kabupatenkota.
Dalam praktiknya, jumlah retribusi daerah di Indonesia saat itu tidak kurang dari 180 jenis. Masalahnya adalah sebagian dari pajak-pajak dan retribusi-retribusi
tersebut tidak efisien dan cenderung mendistorsi kegiatan ekonomi sehingga mengganggu para pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatannya di
daerah. Prosedur pembayaran dari pungutan yang beraneka ragam itu cenderung rumit, tidak transparan dan kurang memiliki dasar pungutan yang kuat. Itulah
sebabnya Undang-Undang No. 18 tahun 1997 dikeluarkan dengan tujuan untuk: 1 menyederhanakan jenis pajak dan retribusi daerah, 2 mengurangi ekonomi
biaya tinggi, 3 menata kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak, dan 4 meningkatkan jumlah peneriman daerah hanya dari jenis
pajakretribusi daerah yang potensial serta mencerminkan kegiatan ekonomi daerah. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 kemudian disempurnakan dengan
Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan
Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah. Berbagai kebijakan tentang pemungutan pajak dan retribusi daerah telah melalui berbagai
penyempurnaan dan penyesuaian agar tidak mengganggu perekonomian. Tetapi, tetap saja terjadi pembengkakan jumlah pungutan pajak dan retribusi seperti yang
dikemukakan oleh Fitrani, Hofman, and Kaiser 2005 yang mengemukakan bahwa otonomi daerah telah menciptakan banyak pemekaran daerah baru. Setiap
daerah pemekaran ternyata juga menciptakan jenis pajak dan retribusi baru yang menambah jumlah daftar pajak dan retribusi baru di Indonesia.
1. Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud
dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah.
Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah merupakan landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam
mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Namun demikian peraturan daerah yang akan dikeluarkan
pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 1997
yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, ada empat jenis pajak
provinsi dan tujuh jenis pajak kabupatenkota. Pajak provinsi terdiri atas: 1 pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, 2 bea balik nama kendaraan
bermotor dan kendaraan di atas air, 3 pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan 4 pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Rincian jenis pajak provinsi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No.
65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
No Jenis Pajak
Tarif Tertinggi
Tarif Final
1. Pajak Kendaraan Bermotor
: - Kendaraan bermotor bukan umum
- Kendaraan bermotor umum - Kendaratan bermotor alat-alat berat dan
alat-alat besar 5
1.5 1.0
0.5
2.
Pajak Kendaraan di atas air
5 1.5 3.
Bea balik nama kendaraan bermotor:
Penyerahan pertama: a. kendaraan bermotor non umum
b.kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat besar
Penyerahan kedua dan seterusnyat: a.kendaraan bermotor non umum
b.kendaraan bermotor umum c.kendaraan alat-alat berat besar
Penyerahan karena warisan: a. kendaraan bermotor non umum
b. kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat dan besar
10 10
10 3
1 1
0.3 0.1
0.1 0.03
4. Bea balik nama kendaraan di atas air:
- penyerahan pertama - penyerahan kedua
- penyerahan karena warisan 10
5 1
0.1 5.
Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
5 6.
Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah
20 7.
Pajak pengambilan dan pemanfaatan air pemukaan
10 Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001
Adapun jenis pajak kabupatenkota adalah sebagai berikut: 1 pajak hotel, 2 pajak restoran, 3 pajak hiburan, 4 pajak reklame, 5 pajak penerangan
jalan, 6 pajak pengambilan bahan galian golongan C ,dan 7 pajak parkir. Rincian jenis pajak kabupatenkota dapat dilihat pada Tabel 4. Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000 telah menetapkan tarif pajak maksimal yang bisa dipungut oleh provinsi dan kabupatenkota. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No.
65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pemerintah menetapkan tarif final untuk jenis-jenis pajak provinsi.
Tabel 4. Jenis Pajak Kabupatenkota menurut Undang-UndangTahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No.
65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
No Jenis Pajak
Tarif Tertinggi
1. Pajak Hotel
10 2. Pajak
Restoran 10
3. Pajak Hiburan
35 4. Pajak
Reklame 25
5. Pajak Penerangan Jalan
10 6.
Pajak Penggalian Bahan Galian Golongan C 20
7. Pajak Parkir
20 Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Selain jenis pajak daerah seperti yang disebutkan di atas, daerah melalui
peraturan daerah juga dapat menetapkan jenis pajak kabupatenkota asalkan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus
dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut: 1 bersifat pajak dan bukan retribusi, 2 objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah
kabupatenkota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupatenkota yang
bersangkutan, 3 objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, 4 objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi danatau objek pajak Pusat, 5 potensinya memadai, 6 tidak memberikan
dampak ekonomi yang negatif, 7 memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan 8 menjaga kelestarian lingkungan.
Jika suatu jenis pajak tidak mampu memenuhi kriteria di atas maka pemerintah daerah tidak dapat memungut pajak kepada masyarakat. Oleh sebab
itu jenis pajak daerah sama pada semua daerah, kecuali retribusi yang bisa tergantung pada banyaknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Menurut Lewis 2006, setelah desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengelola pajak secara tidak efisien. Biaya rata-rata dari administrasi pajak sebagai
persentase dari penerimaan pajak tersebut diestimasi lebih dari 50 persen.
2. Retribusi Daerah
Selain pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah juga meliputi retribusi atau perijinan yang diperbolehkan dalam undang-undang. Retribusi daerah
merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah
kepada mayarakat. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.
Menurut Saragih 2003, Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi daerah memiliki beberapa kelemahan: 1 hasilnya
kurang memadai jika dibandingkan dengan penyediaan jasa oleh daerah, 2 biaya pungutannya relatif tinggi, 3 kurang kuatnya prinsip dasar retribusi, terutama
dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan besar tarif, 4 beberapa retribusi pada hakekatnya bersifat pajak, karena pungutannya tidak dikaitkan secara
langsung dengan pelayanan pemda kepada pembayar retribusi, 5 adanya jenis retribusi perijinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan
umum dan kelestarian lingkungan, dan 6 adanya retribusi yang mempunyai dasar pengenaan dan objek yang sama. Adanya kelemahan Undang-Undang
No.12 Tahun 1957 menyebabkan perlunya diperbaharui dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 34
Tahun 2000.
Tabel 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
No Objek atau
Jenis Retribusi Daerah
Prinsip atau kriteria pengenaan tarif
1. Retribusi Jasa
Umum
•
Kebijakan daerah yang bersangkutan
•
Besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan
•
Kemampuan masyarakat
•
Aspek keadilan 2.
Retribusi Jasa Usaha Tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak 3. Retribusi Perijinan
tertentu Tujuan untuk menutup sebagianseluruh biaya
penyelenggaraan ijin yang bersangkutan Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
Berdasarkan undang-undang terbaru tersebut, ada tiga jenis retribusi daerah, yaitu: 1 retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan
atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, 2 retribusi jasa
usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh
sektor swasta, dan 3 retribusi perijinan tertentu, adalah retribusi atas kegiatan
tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis-jenis retribusi jasa umum terdiri dari: 1 retribusi pelayanan
kesehatan, 2 retribusi pelayanan persampahankebersihan, 3 retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil, 4 retribusi
pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, 5 retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum, 6 retribusi pelayanan pasar, 7 retribusi pengujian kendaraan
bermotor, 8 retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, 9 retribusi penggantian biaya cetak peta, dan 10 retribusi pengujian kapal perikanan. Jenis-
jenis retribusi jasa usaha terdiri dari: 1 retribusi pemakaian kekayaan daerah, 2 retribusi pasar grosir danatau pertokoan, 3 retribusi tempat pelelangan, 4
retribusi terminal, 5 retribusi tempat khusus parkir, 6 retribusi tempat penginapanpesanggrahanvilla, 7 retribusi penyedotan kakus, 8 retribusi
rumah potong hewan, 9 retribusi pelayanan pelabuhan kapal, 10 retribusi tempat rekreasi dan olah raga, 11 retribusi penyeberangan di atas air, 12
retribusi pengolahan limbah cair, dan 13 retribusi penjualan produksi usaha daerah. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu terdiri dari: 1 retribusi izin
mendirikan bangunan, 2 retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, 3 retribusi izin gangguan, dan 4 retribusi izin trayek.
Menurut Saragih 2003, penggolongan retribusi berdasarkan Undang- Undang No. 34 Tahun 2000 tersebut memiliki konsekuensi bahwa jumlah dari
jenis pelayanan yang diberikan pemerintah daerah yang dapat dipungut retribusi menjadi terbatas dan rasional sehingga pada tahap awal pelaksanaan undang-
undang ini berdampak pada penurunan penerimaan retribusi daerah. Menurut Damuri et al 2003, undang-undang tersebut juga memberikan peluang
pemerintah daerah untuk menetapkan retribusi yang mendistorsi pasar dan berbahaya bagi perdagangan domestik dan mengganggu investasi dan iklim bisnis
di daerah. Tetapi dampak negatif ini bisa dikurangi apabila pemerintah pusat melakukan kebijakan pembatasanseleksi terhadap retribusi daerah yang dapat
mengganggu perekonomian tersebut.
3. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Pendapatan daerah yang termasuk kelompok ini adalah pendapatan yang tidak termasuk pajak daerah, retribusi daerah ataupun hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan.
2.2.4. Dana Perimbangan
Dana perimbangan berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 terdiri dari: 1 bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, 2 bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, 3 dana alokasi umum, dan 4 dana alokasi khusus. Dimensi ekonomi-politik
hubungan keuangan dan daerah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan tentang dana perimbangan. Dana perimbangan yang merupakan instrumen
penyeimbang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Saragih 2003 mengemukakan beberapa model hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat
dijadikan sebagai alternatif pendekatan antara lain adalah: 1 By Percentage, yakni distribusi penerimaan yang diterapkan pada pajak bumi dan bangunan
PBB, royalti atau license fee, land rent, dibidang kehutanan dan pertambangan umum serta pertambangan migas yang diberikan sebagian hasilnya kepada daerah
dengan persentase tertentu; 2 By Origin, yakni bahwa distribusi penerimaan ke daerah di dasarkan pada atau menurut asal sumber penerimaan; 3 By Formula,
yakni distribusi penerimaan ke daerah yang didasarkan kepada suatu formula tertentu atau mempertimbangkan faktor-faktor tertentu; by grant to reimburse:
artinya transfer keuangan kepada daerah untuk membiayai satu jenis pengeluaran tertentu; dan 4 By Hoc Grants, yakni transfer keuangan yang didesain oleh
pemerintah pusat yang didasarkan pada antara lain alokasi prioritas nasional atau alokasi tambahan yang ditujukan untuk tujuan tertentu untuk satu tahun anggaran
tertentu. Berdasarkan berbagai pendekatan di atas, maka pendekatan dalam
merumuskan dana perimbangan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi adalah: by percentage of share sebagai pendekatan dalam menghitung bagi hasil
pajak dan non pajak share taxes dan non taxes, by formula sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi umum block grant dan by hoc atau special grant
sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi khusus special grant yang sebagian besar didasarkan atas kebutuhan khusus atau yang sifatnya sangat
mendesak.
1. Dana Bagi Hasil
Untuk mengurangi ketimpangan vertikal vertical imbalance antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan
persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil by origin. Bagi hasil tersebut meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.
Tabel 6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
Lama Baru No. Jenis
Penerimaan Pusat
Prop Kab
Kota Pusat
Prop Semua
Kab Kota
Kab Kota
Penghasil Kab
Kota Lain
I Bagian daerah
1. Pajak bumi bangunan PBB
2. Bea perolehan atas tanah bangunan BPHTB
3. Pajak penghasilan PPh perorangan
4. SDA kehutanan: - Iuran hasil hutan IHH
- Provisi sumber daya hutan PSDH
5. SDA pertambangan
umum: - royalti 3.3 dari 13.5
batu bara + emas - landrent iuran tetap
6. SDA migas: - royalti migas
a. Minyak bumi b.
gas alam
7. Agraria 8. Royalti perikanan
- pungutan pengusaha perikanan PPP
pungutan hasil perikanan PHP
10 20
80 55
30
20 20
100 100
40
- 16.2
16 20
30 70
16 16
- -
40
- 64.8
64 -
15 -
64 64
- -
20
- 10
20 80
20 20
20 20
85 70
100
20 16.2
16 20
16 16
16 16
3 6
-
- 64.8
64 -
- -
- -
- -
-
80 -
- -
64 32
32 64
6 12
-
- -
- -
- 32
32 -
6 12
-
- II DAU
SDO dan Inpres 75
2.5 22.5
- -
III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan
Sumber: Tambunan 2001
Bagi hasil dialokasikan kepada daerah dengan persentase tertentu yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.
104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001. Selanjutnya berdasarkan Undang-
Undang PPh yang baru UU No. 17 Tahun 2000, mulai Tahun Anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan PPh orang pribadi
personal income tax, yaitu Pajak Penghasilan PPh Karyawan Pasal 21 serta Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pasal 2529. Ditetapkannya pajak penghasilan
Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam tetapi
memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara. Dari Tabel 6 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal
telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan IHH, provisi sumber daya hutan PSDH, royalti dan land rent sumber daya alam
pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan
persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk beberapa pos.
2. Dana Alokasi Umum
Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk
mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal horizontal imbalance antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini
disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber
daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak
bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah bangunan, dan pajak penghasilan perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa
daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah.
Secara umum pada pemerintahan orde baru terdapat tiga jenis transfer uang dari pusat ke daerah yaitu dalam bentuk subsidi daerah otonom, instruksi
presiden dan daftar isian proyek DIP. Kedua jenis pertama merupakan bantuan antar tingkat pemerintah daerah intergovernmental grant sebab menjadi
anggaran pemerintah daerah. Sementara daftar isian proyek diklasifikasikan sebagai “in-kind” alocation, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun
tidak termasuk ke dalam anggaran pemerintah daerah. Subsidi daerah otonom adalah jenis bantuan dari pemerintah pusat untuk mendukung anggaran rutin
pemerintah daerah untuk membantu menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan. Oleh karena itu sebagian besar dana subsidi daerah otonom
95 persen untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah. Sementara instruksi presiden adalah bantuan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Ada beberapa
instruksi presiden yaitu: Instruksi Presiden Daerah Tingkat I, Instruksi Presiden Daerah Tingkat II, Instruksi Presiden Sekolah Dasar, Instruksi Presiden
Kesehatan, Instruksi Presiden Penghijauan dan Reboisasi, Instruksi Presiden Pasar, Instruksi Presiden Peningkatan Jalan Provinsi, Instruksi Presiden untuk
Desa Tertinggal atau IDT Mahi, 2000.
Menjelang otonomi daerah diberlakukan sistem transfer dari pusat ke daerah di Indonesia tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan pola subsidi
daerah otonom dan instruksi presiden. Istilah yang digunakan untuk transfer selama tahun anggaran 1999-2000 adalah dana rutin daerah DRD untuk
pengganti subsidi daerah otonom dan dana pembangunan daerah DPD untuk mengganti instruksi presiden. Dana pembangunan daerah tahun 19992000 terdiri
dari empat bagian yaitu dana pembangunan desa, dana pembangunan kabupatenkota, dana pembangunan provinsi dan jaring pengaman sosial JPS.
Setelah otonomi daerah, dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah diganti dengan dana alokasi umum. Nilai dana alokasi umum meningkat
signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah dikurangi bagian dari pajak dan
sumber daya alam yang diserahkan ke daerah. Jadi tujuannya lebih kepada pemerataan.
Riyanto 2003 menjabarkan dana alokasi umum sebagai berikut. Formula dana alokasi umum tahun 2001 disusun dari tiga komponen yaitu faktor
penyeimbang FP daerah, faktor formula dan faktor lum-sump. Faktor penyeimbang untuk menghitung dana alokasi umum 2001 menggunakan patokan
“minimal sama dengan dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah tahun sebelumnya”. Demi menghindari tidak diterimanya pembagian dana tersebut oleh
daerah. Dalam formula, ini merupakan “faktor penyeimbang” untuk menjamin tidak ada daerah yang mendapat transfer lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Untuk faktor formula digunakan pendekatan fiskal gap yaitu selisih antara kebutuhan daerah dengan potensi penerimaan daerah. Daerah yang kebutuhannya
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder
yang digunakan berasal dari: Badan Pusat Statistik Pusat Jakarta, Badan Pusat Statistik Kalimantan Tengah, dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan
Tengah. Jenis dan sumber data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2. Spesifikasi Model