Dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah

(1)

KALIMANTAN TENGAH

BETRIXIA BARBARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI

KALIMANTAN TENGAH

BETRIXIA BARBARA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

(4)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

(The Impact of Fiscal Decentralization On Economic Peformance of Districts nad Municipalities in Central Kalimantan)

Betrixia Barbara , Harianto, Nunung Nuryartono

ABSTRACT

Fiscal decentralization is important part of regional autonomy. Fiscal decentralization has caused increasing Original regional income(Pendapatan Asli Daerah) and increase budget equalization in Central Kalimantan Province, then has increased regional government expenditure. That has allocated more to routin expenditure. As a consequently, it reduced allocation of development expenditure. In the future, regional government should reduce the routine expenditure and allocated them to be development expenditure because simulation result show that increasing in development expenditure result in regional fiscal and economic performance positively. eventhough, increasing in routine expenditure result in regional fiscal and economic performance negatively.

Keyword: Fiscal Decentralization, regional government expenditure, economic performance


(5)

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya desentralisasi fiskal yang diimplementasikan pada tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut.

Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:(1) mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal Kalimantan Tengah, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, (3) menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah, dan (4) menganalisis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data seluruh kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan menggabungkan kabupaten pemekaran baru


(6)

ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan.

Model dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah disusun dalam persamaan simultan. Model dikelompokkan dalam tiga blok yaitu: (1) blok perekonomian daerah, (2) blok penerimaan fiskal daerah, dan (3) blok pengeluaran fiskal.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal menyebabkan sumber penerimaan yang berasal dari pendapatan asli daerah dan bagi hasil mengalami peningkatan. Apabila dilihat dari kontribusinya, kontribusi dana perimbangan masih sangat besar terhadap pembentukan penerimaan daerah, artinya ketergantungan Kalimantan Tengah terhadap pusat masih sangat besar.

Desentralisasi fiskal telah meningkatkan penerimaan daerah yang berasal dari pajak daerah dan bagi hasil pajak, meningkatkan pengeluaran rutin dan pengeluaran sektor pertanian, tetapi menurunkan pengeluaran sektor luar pertanian. Selanjutnya, desentralisasi fiskal menyebabkan produk domestik regional bruto (PDRB) menurun dan penyerapan tenaga kerja tidak meningkat signifikan. Penurunan PDRB tersebut diduga karena signifikannya pengurangan pengeluaran sektor luar pertanian, dimana pengeluaran sektor tersebut signifikan dalam meningkatkan PDRB. Selain itu, penurunan pengeluaran sektor luar pertanian juga diduga menyebabkan penyerapan tenaga kerja tidak maksimal sehingga peningkatan tenaga kerja menjadi tidak signifikan.


(7)

tenaga kerja. Hasil simulasi juga menunjukan bahwa peningkatan pengeluaran pembangunan berdampak lebih baik terhadap peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja, dimana peningkatan yang lebih besar dalam pengeluaran sektor luar pertanian memberikan peningkatan kinerja perekonomian yang paling baik. Oleh karena itu penulis menyarankan apabila pengeluaran rutin sudah terpenuhi, sebaiknya pengalokasian pengeluaran di arahkan lebih besar ke pengeluaran pembangunan. Selanjutnya, pengalokasian dana ke pengeluaran pembangunan harus proposional baik terhadap sektor pertanian maupun luar pertanian, mengingat sektor pertanian merupakan sektor penting di Kalimantan Tengah sedangkan sektor luar pertanian memberikan stimulus paling besar terhadap peningkatan PDRB dan penyerapan tenaga kerja.


(8)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(9)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA

PEREKONOMIAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Pebruari 2008

BETRIXIA BARBARA Nrp. A 151050041


(10)

Judul Tesis : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah

Nama Mahasiswa : Betrixia Barbara Nomor Pokok : A151050041

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN)

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Mengetahui,

2.Ketua Program Studi 3.Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro,MS

Tanggal Ujian : 6 Pebruari 2008 Tanggal Lulus : Dr. Ir. Harianto, MS

Ketua

Dr. Ir.Nunung Nuryartono,M.Si Anggota


(11)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnya maka tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini dilatarbelakangi adanya otonomi daerah yang terjadi di Indonesia, dimana Kalimantan Tengah termasuk di dalamnya. Otonomi daerah menyebabkan perlunya desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal menyebabkan dana yang ditransfer ke daerah meningkat. Tapi bagaimana dampak peningkatan penerimaan daerah tersebut terhadap perekonomian daerah harus dilakukan penelitian lebih mendalam, karena itulah penelitian ini dilakukan.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:

1. Staf Administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

4. Dr. Ir. Harianto, MS dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si, selaku ketua dan anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tesis.

5. Kedua Orang Tua, Adik dan Kakak di Palangka Raya

6. Teman-teman Sekerja di Jurusan Sosek Universitas Palangka Raya di Palangka Raya dan teman-teman dosen Pertanian Universitas Palangka Raya yang sedang kuliah di IPB.


(12)

7. Teman-teman EPN, terutama buat Iyur (selalu semangat yur mencapai impian), Ila yang sudah bantu konsumsi saat sidang, Mas Yusuf (terima kasih atas ilmu SAS nya) dan teman-teman angkatan 2005 lainnya.

Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan bagi perbaikkan penulisan berikutnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan semoga hasil penelitian ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Pebruari 2008


(13)

Penulis dilahirkan di Palangka Raya, 25 Januari 1980 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Selwi Lesa dan Ibu Lundiana. Tahun 1998 penulis kuliah di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. Desember 2003, Penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar pada tempat yang sama ketika Penulis kuliah sarjana. Tahun 2005 Penulis melanjutkan S2 di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB dengan biaya dari BPPS. Sebagai tugas akhir, Penulis melakukan penelitian tentang Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 7

II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoritis ... 9

2.1.1. Permintaan Agregat ... 9

2.1.2. Penawaran Agregat ... 11

2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Permintaan Agregat dan Penawaran Agregat ... 12

2.2. Tinjauan Pustaka ... 14

2.2.1. Desentralisasi Fiskal... 14

2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah... 14

2.2.3. Pendapatan Asli Daerah ... 16

2.2.4. Dana Perimbangan ... 24

2.2.5. Lain-Lain Pendapatan yang Sah ... 33

2.2.6. Tinjauan Studi Terdahulu... 34

2.3. Kerangka Konseptual ... 41

III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 44


(15)

3.2.3. Perekonomian Daerah ... 46

3.3. Prosedur Analisis ... 47

3.3.1. Identifikasi dan Metode Estimasi... 47

3.3.2. Validasi Model ... 50

3.3.3. Simulasi Model ... 51

IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH 4.1. Kondisi Penerimaan Pemerintah Daerah ... 53

4.2. Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 62

V. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH 5.1. Penerimaan Fiskal Daerah ... 66

5.2. Pengeluaran Fiskal Daerah... 69

5.3. Kinerja Fiskal Daerah ... 72

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH 6.1. Hasil Validasi Model ... 75

6.2. Simulasi Kebijakan Perubahan Komponen Penerimaan Daerah terhadap Kinerja Perekonomian ... 77

6.3. Simulasi Kebijakan Perubahan Komponen Pengeluaran Daerah terhadap Kinerja Perekonomian ... 81

6.4. Kesimpulan Hasil Simulasi ... 85

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 82

7.2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA... 90


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun

Dasar 1996, Tahun 1995-2005... 4 2. Nama-nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah... 7 3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000

tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah

No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ... 19 4. Jenis Pajak Kabupaten/kota menurut Undang-Undang No 34

Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan

Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ... 20 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang

No. 34 Tahun 2000... 22 6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah

Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ... 26 7. Perbandingan Formula Dana Alokasi Umum Tahun 2001 dan

2002 ... 31 8. Ringkasan Tinjauan Studi Terdahulu... 39 9. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Penerimaan

Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,

Tahun 1995-2005 ... 53 10. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Penerimaan

Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 54 11. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Pendapatan

Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 56 12. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Pendapatan

Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga

Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005... 57 13. Perkembangan Kontribusi Komponen Dana Perimbangan

Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,


(17)

14. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,

Tahun 1995-2005 ... 61 15. Perkembangan Alokasi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan

Kalimantan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,

Tahun 1995-2005 ... 63 16. Perkembangan Pertumbuhan Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran

Pembangunan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 64 17. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Fiskal

Daerah ... 67 18. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran Fiskal

Daerah ... 70 19. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kinerja Fiskal Daerah ... 73 20. Hasil Validasi Model ... 76 21. Hasil Simulasi Berbagai Alternatif Perubahan Komponen

Penerimaan Daerah ... 78 22. Perubahan Nilai Simulasi Terhadap Nilai Dasar dari Berbagai

Alternatif Perubahan Penerimaan Daerah... 79

23. Hasil Simulasi Berbagai Alternatif Perubahan Komponen

Pengeluaran Daerah ... 82 24. Perubahan Nilai Simulasi Terhadap Nilai Dasar dari Berbagai


(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kurva Perpotongan Keynesian... 10 2. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Pendek... 12 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang... 13 4. Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap

Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 42 5. Keterkaitan Antar Blok dan Persamaan dalam Model Dampak

Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Sumber Data Penelitian... 93 2. Keterangan Peubah ... 94 3. Model Sebelum Respesifikasi ... 95 4. Perhitungan Persentase Perubah Berbagai Alternatif Kebijakan

yang Digunakan dalam Simulasi... 97 5. Program Komputer Estimasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal

Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 98 6. Hasil Estimasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 99 7. Program Komputer Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal

Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 106 8. Hasil Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 108 9. Contoh Program Komputer Simulasi Model Dampak Desentralisasi

Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Menurut Said (2004), sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk sektor-sektor penting di daerah.

Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah.

Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut


(21)

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya sendiri (desentralisasi), termasuk menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna mendukung penyerahan wewenang tersebut. Menurut Alm (2001), apabila desentralisasi berhasil diterapkan di Indonesia, maka Indonesia merupakan salah satu negara paling desentralistik yang sebelumnya berasal dari salah satu negara besar paling sentralistik di dunia.

Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan), yaitu berupa: (1) peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, (2) peningkatan dana alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan Instruksi presiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus.

Sistem bagi hasil yang terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak merupakan instrumen untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Sedangkan dana alokasi khusus merupakan dana untuk membantu membiayai kebutuhan khusus pada tiap daerah yang kebutuhannya tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dana alokasi


(22)

3

umum. Peningkatan dana transfer ini menyebabkan penerimaan daerah meningkat signifikan.

Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut (Sidik, 2002).

Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena: (1) pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, dan (3) persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbesar ketiga di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur dengan luas 153 564 km2, atau 1.5 kali luas


(23)

pulau Jawa. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah belum dimanfaatkan secara maksimal di mana 87.87 persen wilayahnya masih berupa hutan dan pertanahan lainnya. Perekonomian Kalimantan Tengah masih bertumpu pada sektor pertanian. PDRB Kalimantan Tengah tahun 2005 (1996=100) sebesar Rp 5.55 triliun, meningkat sebesar 0.6 persen dari tahun sebelumnya dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian sebesar 45.97 persen. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap pada tahun yang sama adalah sebesar 825.4 ribu jiwa meningkat 3.84 persen dengan rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 59.61 persen.

Tabel 1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun Dasar 1996, Tahun 1995-2005

Komponen Penerimaan Penerimaan

PAD Dana Perimbangan Tahun Nominal (Juta Rp) Tumbuh (%) Nominal (Juta Rp) Rasio (%) Nominal (Juta Rp) Rasio (%) Sebelum Desentralisasi Fiskal

1995 268 799.28 10 764.61 4.00 241 159.74 89.72 1996 264 542.38 -1.58 11 817.98 4.47 240 950.67 91.08 1997 256 649.64 -2.98 11614.14 4.53 231 680.75 90.27 1998 252 302.76 -1.69 7 433.98 2.95 238 977.77 94.72 1999 272 895.43 8.16 8 308.50 3.04 251 842.35 92.29 2000 272 037.55 -0.31 17 125.91 6.30 245 685.22 90.31

Setelah Desentralisasi Fiskal

2001 641 877.01 135.95 72 436.99 11.29 543 753.68 84.71 2002 640 040.22 -0.29 42 998.81 6.72 528 762.32 82.61 2003 920 104.06 43.76 41 997.92 4.56 749 164.32 81.42 2004 967 845.80 5.19 42 470.59 4.39 770 669.84 79.63 2005 1 018 351.12 5.22 50 838.69 4.99 823 251.04 80.84 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)

Desentralisasi fiskal menyebabkan Kalimantan Tengah memiliki kesempatan yang besar untuk meningkatkan pendapatan melalui pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Menurut Aswin (2005), Kalimantan Tengah mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat besar, namun baru sebagian


(24)

5

yang dieksploitasi. Selain itu provinsi ini memiliki wilayah yang luas yang masih belum digunakan secara maksimal.

Dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan daerah seperti yang digambarkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Kontribusi terbesar penyusun penerimaan daerah adalah dana perimbangan dimana lebih dari 80 persen pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Semakin besarnya dana perimbangan mengindikasikan bahwa semakin banyak dana dari pusat yang ditransfer ke Kalimantan Tengah. Peningkatan penerimaan daerah ini merupakan instrumen desentralisasi fiskal guna membiayai peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

1.2. Permasalahan

Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan Kalimantan Tengah meningkat signifikan. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti dengan keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian untuk tiap daerah berbeda-beda tergantung dari kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kalimantan Tengah secara


(25)

komprehensif haruslah dilakukan penelitian lebih lanjut. Dari uraian di atas, dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?

3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?

4. Bagaimanakah dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.

3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah.

4. Menganalis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.


(26)

7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan panel data (pooled data) 13 kabupaten dan satu kota tahun 1995-2005. Kinerja perekonomian yang akan diteliti adalah PDRB dan penyerapan tenaga kerja.

Sebelum ada pemekaran wilayah pada tahun 2002, Kalimantan Tengah memiliki lima kabupaten dan satu kota. Setelah terjadi pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002, terjadi penambahan delapan kabupaten baru seperti terlihat pada Tabel 2. Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan menggabungkan kabupaten pemekaran baru ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan.

Tabel 2. Nama-Nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah Kabupaten/kota Induk Kabupaten

pemekaran

Kabupaten/kota Setelah Pemekaran 1. Kota Palangka Raya 1. Kota Palangka Raya

2. Kab. Kotawaringin Barat 3. Kab. Lamandau

2. Kab. Kotawaringin Barat Kab. Lamandau Kab. Sukamara

4. Kab. Sukamara

5. Kab. Kotawaringin Timur

6. Kab. Katingan 3. Kab. Kotawaringin

Timur

Kab. Katingan Kab. Seruyan

7. Kab. Seruyan 8. Kab. Kapuas 9. Kab. Gunung Mas 4. Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas

Kab. Pulang Pisau

10. Kab. Pulang Pisau 11. Kab Barito Utara 5. Kab Barito Utara Kab. Murung Raya

12. Kab. Murung Raya 13. Kab. Barito Selatan 6. Kab. Barito Selatan Kab. Barito Timur

14. Kab. Barito Timur Sumber: Kalimantan Tengah dalam Angka (2006)


(27)

Fokus penelitian ini hanya pada dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, dimana kinerja perekonomian dibatasi pada PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan desentralisasi fiskal tidak lepas dari kinerja pemerintah daerah, tetapi dalam penelitian ini tidak dibahas masalah kinerja pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.


(28)

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teoritis

Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem perekonomian tertutup. Pendekatan teori tersebut diawali dengan dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perpotongan Keynesian yang berlanjut pada terbentuknya keseimbangan di pasar barang/jasa dan keseimbangan di pasar uang. Keseimbangan di kedua pasar tersebut akan berinteraksi dengan keseimbangan di pasar tenaga kerja, sehingga terbentuk kurva permintaan dan penawaran agregat yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah.

2.1.1. Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dan tingkat pendapatan. Kurva permintaan agregat terbentuk bila terjadi keseimbangan di pasar barang dan jasa dan keseimbagan di pasar uang. Kebijakan pemerintah mempengaruhi perekonomian akan terjadi di pasar barang dan jasa, sehingga pada penjelasan selanjutnya akan lebih membicarakan keseimbangan di pasar ini.

Keseimbangan di pasar barang dan jasa dimulai dengan model dasar yang disebut perpotongan Keynesian (Keynesian cross). Model ini adalah interpretasi paling mudah dari teori pendapatan Keynes (Mankiw, 2002). Perpotongan Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian terjadi ketika pengeluaran aktual (AE) sama dengan pengeluaran yang direncanakan (PE). Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian merupakan


(29)

pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB), pada tingkat daerah disebut dengan PDRB) Teori pendapatan nasional Keynesian dalam Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:

Y = C + I + G ...(2.1)

Gambar 1 menunjukan apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah (G) sebesar ΔG, maka AE akan bergeser dari AE1 ke AE2 sehingga output akan meningkat dari Y1 ke Y2. Pengganda pengeluaran pemerintah dalam Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:

d bt b G Y

+ + − = Δ Δ

1 1

...(2.2)

Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 1. Kurva Perpotongan Keynesian

Gambar 1 adalah kurva perpotongan keynesian yang merupakan kerangka dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka akan terbentuk kurva permintaan agregat (AD).


(30)

11

2.1.2. Penawaran Agregat

Menurut Dornbusch dan Fischer (1997), kurva penawaran agregat (AS) menggambarkan kombinasi output dan tingkat harga sedemikian rupa sehingga perusahaan berusaha, pada tingkat harga tertentu, menawarkan jumlah output yang tertentu atau dengan kata lain kurva penawaran agregat mencerminkan berbagai kondisi pada pasar faktor produksi terutama pasar tenaga kerja. Teori penawaran agregat dapat dijelaskan dengan teori klasik dan teori Keynesian.

Pada kasus klasik, kurva penawaran agregat berbetuk vertikal, menunjukan bahwa berapapun tingkat harga yang berlaku, jumlah barang yang bersedia ditawarkan tidak berubah. Kurva penawaran agregat klasik didasarkan atas asumsi bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium dengan penggunaan tenaga kerja penuh dari angkatan kerja. Jika seluruh angkatan kerja yang ada telah digunakan, maka output tidak dapat naik di atas tingkat yang sekarang meskipun tingkat harga naik. Tidak ada lagi tenaga kerja yang bersedia untuk memproduksi output tambahan. Dengan demikian bentuk kurva penawaran agregat akan menjadi vertikal pada tingkat output yang sesuai dengan penggunaan tenaga penuh dari angkatan kerja. Asumsi yang mendasari bentuk skedul yang vertikal ini adalah bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium karena tingkat upah akan menyesuaikan diri secara cepat guna mempertahankan kondisi ekuilibrium.

Pada kasus keynesian, kurva penawaran agregat tidak vertikal karena tenaga kerja lambat menyesuaikan upahnya untuk mempertahankan kondisi ekuilibrium. Pada kasus yang ekstrim, kurva penawaran agregat horisontal, hal ini menunjukan bahwa perusahaan akan bersedia menawarkan (pada tingkat harga


(31)

yang ada), berapapun jumlah barang yang diminta. Gagasan yang mendasari kurva penawaran agregat Keynesian ini adalah karena terdapat pengangguran, perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang mereka perlukan dengan upah yang berlaku sekarang. Karena itu, peningkatan biaya produksi rata-rata mereka tidak berubah meskipun tingkat outputnya berubah.

2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Pemintaan Agregatdan Penawaran Agregat

Kasus klasik terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka panjang. Kasus Keynesian terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka pendek, karena dalam jangka pendek harga-harga bersifat kaku. Apabila terjadi ekspansi fiskal dalam jangka pendek, misalnya pemerintah meningkatkan pengeluarannya atau pemerintah memotong pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dari AD1 menjadi AD2, sehingga akan meningkatkan output dari Y1 ke Y2. Apabila terjadi kontraksi fiskal, misalnya pemerintah mengurangi pengeluarannya atau pemerintah meningkatkan pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kiri dari AD1 menjadi AD0 seperti pada Gambar 2.

Sumber: Mankiw (2002)


(32)

13

Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output (Y) jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva permintaan agregat bergeser ke atas dari AD1 menjadi AD2, dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik D (output berada di atas tingkat alamiah). Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.

Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD1 menjadi AD0, dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik B (output berada di bawah tingkat alamiah). Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari resesi, yang bergerak dari titik B ke C seperti pada Gambar 3.


(33)

2.2. Tinjauan Pustaka 2..2.1. Desentralisasi Fiskal

Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Karena itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ke daerah.

Menurut Boediono (2002), kebijakan fiskal dilaksanakan melalui kebijakan pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dengan demikian tersirat pengertian bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui: (1) kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan, dan (2) kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan belanja.

2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Sebelum terjadi desentralisasi fiskal, hubungan keuangan pusat dan daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1956 kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Sidik (2002), pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama ini khususnya berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari pusat


(34)

15

kepada daerah, terakhir berupa subsidi (untuk belanja rutin daerah) dan bantuan berupa instruksi presiden (untuk belanja pembangunan daerah) sering kurang jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: (1) aspek perencanaan, dominannya peranan pusat dalam menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; (2) aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petujuk teknis dari Pusat; dan (3) aspek pengawasan, banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendral Departemen, Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang), Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling tumpang tindih.

Menurut Boediono (2002), beberapa kelemahan tersebut di atas menjadi bahan untuk pokok-pokok pemikiran tentang pembaharuan di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang hubungan keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara, serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Selanjutnya Boediono (2002) mengungkapkan, pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal (seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal) sering dikelola oleh instansi pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih


(35)

besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah daerah. Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keputusan Presiden, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang mayoritas anggotanya berasal dari pemerintah daerah. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat diketahui semua lapisan masyarakat.

2.2.3. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah terdiri atas: hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Simanjuntak (2001), kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi pada zaman orde lama diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kedua undang-undang ini menyebabkan bermunculannya berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Jenis pajak dan retribusi yang demikian banyak terutama karena daerah melihat potensi untuk meningkatkan penerimaan adalah dari sekian jenis pajak/retribusi yang umumnya kecil-kecil itu. Sebagaimana diketahui celah yang diberikan kepada daerah untuk menggali penerimaannya adalah “lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh negara atau daerah tingkat di atasnya”.


(36)

17

Selanjutnya Simanjuntak (2001) memberikan gambaran bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah mencatat 5 buah jenis pajak provinsi dan tidak kurang 20 jenis pajak kabupaten/kota. Karena undang-undang ini memberi kewenangan kepada daerah untuk “menggali dan mengembangkan jenis pajak baru”, maka dalam praktiknya jumlah pajak daerah yang ada jauh lebih banyak dari itu, yaitu sekitar 40 jenis. Hal sama terjadi untuk retribusi daerah. Peraturan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 terdapat 36 jenis retribusi provinsi dan 58 retribusi daerah kabupaten/kota. Dalam praktiknya, jumlah retribusi daerah di Indonesia saat itu tidak kurang dari 180 jenis. Masalahnya adalah sebagian dari pajak-pajak dan retribusi-retribusi tersebut tidak efisien dan cenderung mendistorsi kegiatan ekonomi sehingga mengganggu para pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatannya di daerah. Prosedur pembayaran dari pungutan yang beraneka ragam itu cenderung rumit, tidak transparan dan kurang memiliki dasar pungutan yang kuat. Itulah sebabnya Undang-Undang No. 18 tahun 1997 dikeluarkan dengan tujuan untuk: (1) menyederhanakan jenis pajak dan retribusi daerah, (2) mengurangi ekonomi biaya tinggi, (3) menata kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak, dan (4) meningkatkan jumlah peneriman daerah (hanya) dari jenis pajak/retribusi daerah yang potensial serta mencerminkan kegiatan ekonomi daerah. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah. Berbagai kebijakan tentang pemungutan pajak dan retribusi daerah telah melalui berbagai


(37)

penyempurnaan dan penyesuaian agar tidak mengganggu perekonomian. Tetapi, tetap saja terjadi pembengkakan jumlah pungutan pajak dan retribusi seperti yang dikemukakan oleh Fitrani, Hofman, and Kaiser (2005) yang mengemukakan bahwa otonomi daerah telah menciptakan banyak pemekaran daerah baru. Setiap daerah pemekaran ternyata juga menciptakan jenis pajak dan retribusi baru yang menambah jumlah daftar pajak dan retribusi baru di Indonesia.

1. Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah merupakan landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Namun demikian peraturan daerah yang akan dikeluarkan pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.

Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, ada empat jenis pajak provinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi terdiri atas: (1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (2) bea balik nama kendaraan


(38)

19

bermotor dan kendaraan di atas air, (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan (4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Rincian jenis pajak provinsi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

(%)

No Jenis Pajak Tarif

Tertinggi

Tarif Final 1. Pajak Kendaraan Bermotor:

- Kendaraan bermotor bukan umum - Kendaraan bermotor umum

- Kendaratan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar

5 1.5

1.0 0.5

2. Pajak Kendaraan di atas air 5 1.5

3. Bea balik nama kendaraan bermotor:

Penyerahan pertama:

a. kendaraan bermotor non umum b.kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat & besar

Penyerahan kedua dan seterusnyat:

a.kendaraan bermotor non umum b.kendaraan bermotor umum c.kendaraan alat-alat berat & besar

Penyerahan karena warisan:

a. kendaraan bermotor non umum b. kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat dan besar

10 10 10 3 1 1 0.3 0.1 0.1 0.03 4. Bea balik nama kendaraan di atas air:

- penyerahan pertama - penyerahan kedua

- penyerahan karena warisan

10

5 1 0.1

5. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5

6. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air

bawah tanah 20

7. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air

pemukaan 10

Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001


(39)

Adapun jenis pajak kabupaten/kota adalah sebagai berikut: (1) pajak hotel, (2) pajak restoran, (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame, (5) pajak penerangan jalan, (6) pajak pengambilan bahan galian golongan C ,dan (7) pajak parkir. Rincian jenis pajak kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 4. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 telah menetapkan tarif pajak maksimal yang bisa dipungut oleh provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pemerintah menetapkan tarif final untuk jenis-jenis pajak provinsi.

Tabel 4. Jenis Pajak Kabupaten/kota menurut Undang-UndangTahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

No Jenis Pajak Tarif Tertinggi

(%)

1. Pajak Hotel 10

2. Pajak Restoran 10

3. Pajak Hiburan 35

4. Pajak Reklame 25

5. Pajak Penerangan Jalan 10

6. Pajak Penggalian Bahan Galian Golongan C 20

7. Pajak Parkir 20

Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001

Selain jenis pajak daerah seperti yang disebutkan di atas, daerah melalui peraturan daerah juga dapat menetapkan jenis pajak kabupaten/kota asalkan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut: (1) bersifat pajak dan bukan retribusi, (2) objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan, (3) objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan


(40)

21

kepentingan umum, (4) objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objek pajak Pusat, (5) potensinya memadai, (6) tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, (7) memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan (8) menjaga kelestarian lingkungan.

Jika suatu jenis pajak tidak mampu memenuhi kriteria di atas maka pemerintah daerah tidak dapat memungut pajak kepada masyarakat. Oleh sebab itu jenis pajak daerah sama pada semua daerah, kecuali retribusi yang bisa tergantung pada banyaknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Menurut Lewis (2006), setelah desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengelola pajak secara tidak efisien. Biaya rata-rata dari administrasi pajak sebagai persentase dari penerimaan pajak tersebut diestimasi lebih dari 50 persen.

2. Retribusi Daerah

Selain pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah juga meliputi retribusi atau perijinan yang diperbolehkan dalam undang-undang. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada mayarakat. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Undang-Undang No. 34 Tahun 2000).

Menurut Saragih (2003), Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi daerah memiliki beberapa kelemahan: (1) hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan penyediaan jasa oleh daerah, (2) biaya pungutannya relatif tinggi, (3) kurang kuatnya prinsip dasar retribusi, terutama


(41)

dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan besar tarif, (4) beberapa retribusi pada hakekatnya bersifat pajak, karena pungutannya tidak dikaitkan secara langsung dengan pelayanan pemda kepada pembayar retribusi, (5) adanya jenis retribusi perijinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan, dan (6) adanya retribusi yang mempunyai dasar pengenaan dan objek yang sama. Adanya kelemahan Undang-Undang No.12 Tahun 1957 menyebabkan perlunya diperbaharui dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.

Tabel 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000

No Objek atau Jenis Retribusi Daerah

Prinsip atau kriteria pengenaan tarif 1. Retribusi Jasa

Umum

•Kebijakan daerah yang bersangkutan

•Besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan

•Kemampuan masyarakat

•Aspek keadilan

2. Retribusi Jasa Usaha Tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak 3. Retribusi Perijinan

tertentu

Tujuan untuk menutup sebagian/seluruh biaya penyelenggaraan ijin yang bersangkutan

Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000

Berdasarkan undang-undang terbaru tersebut, ada tiga jenis retribusi daerah, yaitu: (1) retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, (2) retribusi jasa usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta, dan (3) retribusi perijinan tertentu, adalah retribusi atas kegiatan


(42)

23

tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis-jenis retribusi jasa umum terdiri dari: (1) retribusi pelayanan kesehatan, (2) retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, (3) retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil, (4) retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, (5) retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum, (6) retribusi pelayanan pasar, (7) retribusi pengujian kendaraan bermotor, (8) retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, (9) retribusi penggantian biaya cetak peta, dan (10) retribusi pengujian kapal perikanan. Jenis-jenis retribusi jasa usaha terdiri dari: (1) retribusi pemakaian kekayaan daerah, (2) retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, (3) retribusi tempat pelelangan, (4) retribusi terminal, (5) retribusi tempat khusus parkir, (6) retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa, (7) retribusi penyedotan kakus, (8) retribusi rumah potong hewan, (9) retribusi pelayanan pelabuhan kapal, (10) retribusi tempat rekreasi dan olah raga, (11) retribusi penyeberangan di atas air, (12) retribusi pengolahan limbah cair, dan (13) retribusi penjualan produksi usaha daerah. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu terdiri dari: (1) retribusi izin mendirikan bangunan, (2) retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, (3) retribusi izin gangguan, dan (4) retribusi izin trayek.

Menurut Saragih (2003), penggolongan retribusi berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tersebut memiliki konsekuensi bahwa jumlah dari


(43)

jenis pelayanan yang diberikan pemerintah daerah yang dapat dipungut retribusi menjadi terbatas dan rasional sehingga pada tahap awal pelaksanaan undang-undang ini berdampak pada penurunan penerimaan retribusi daerah. Menurut Damuri et al (2003), undang-undang tersebut juga memberikan peluang pemerintah daerah untuk menetapkan retribusi yang mendistorsi pasar dan berbahaya bagi perdagangan domestik dan mengganggu investasi dan iklim bisnis di daerah. Tetapi dampak negatif ini bisa dikurangi apabila pemerintah pusat melakukan kebijakan pembatasan/seleksi terhadap retribusi daerah yang dapat mengganggu perekonomian tersebut.

3. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Pendapatan daerah yang termasuk kelompok ini adalah pendapatan yang tidak termasuk pajak daerah, retribusi daerah ataupun hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan.

2.2.4. Dana Perimbangan

Dana perimbangan berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 terdiri dari: (1) bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, (2) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, (3) dana alokasi umum, dan (4) dana alokasi khusus. Dimensi ekonomi-politik hubungan keuangan dan daerah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan tentang dana perimbangan. Dana perimbangan yang merupakan instrumen penyeimbang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Saragih (2003) mengemukakan beberapa model hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat dijadikan sebagai alternatif pendekatan antara lain adalah: (1) By Percentage, yakni distribusi penerimaan yang diterapkan pada pajak bumi dan bangunan


(44)

25

(PBB), royalti atau license fee, land rent, dibidang kehutanan dan pertambangan umum serta pertambangan migas yang diberikan sebagian hasilnya kepada daerah dengan persentase tertentu; (2) By Origin, yakni bahwa distribusi penerimaan ke daerah di dasarkan pada atau menurut asal sumber penerimaan; (3) By Formula, yakni distribusi penerimaan ke daerah yang didasarkan kepada suatu formula tertentu atau mempertimbangkan faktor-faktor tertentu; by grant to reimburse: artinya transfer keuangan kepada daerah untuk membiayai satu jenis pengeluaran tertentu; dan (4) By Hoc Grants, yakni transfer keuangan yang didesain oleh pemerintah pusat yang didasarkan pada antara lain alokasi prioritas nasional atau alokasi tambahan yang ditujukan untuk tujuan tertentu untuk satu tahun anggaran tertentu.

Berdasarkan berbagai pendekatan di atas, maka pendekatan dalam merumuskan dana perimbangan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi adalah: by percentage of share sebagai pendekatan dalam menghitung bagi hasil pajak dan non pajak (share taxes dan non taxes), by formula sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi umum (block grant) dan by hoc atau special grant

sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi khusus (special grant) yang sebagian besar didasarkan atas kebutuhan khusus atau yang sifatnya sangat mendesak.

1. Dana Bagi Hasil

Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin). Bagi hasil tersebut meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah


(45)

dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.

Tabel 6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999

( %)

Lama Baru No. Jenis Penerimaan

Pusat Prop Kab/

Kota Pusat Prop

Semua Kab/ Kota Kab/ Kota Penghasil Kab/ Kota Lain I Bagian daerah

1. Pajak bumi & bangunan (PBB)

2. Bea perolehan atas tanah & bangunan (BPHTB) 3. Pajak penghasilan (PPh)

perorangan 4. SDA kehutanan:

- Iuran hasil hutan (IHH) - Provisi sumber daya

hutan (PSDH)

5. SDA pertambangan umum:

- royalti 3.3% dari 13.5% (batu bara + emas) - landrent (iuran tetap) 6. SDA migas:

- royalti migas a. Minyak bumi b. gas alam 7. Agraria

8. Royalti perikanan - pungutan pengusaha

perikanan (PPP) & pungutan hasil perikanan (PHP) 10 20 80 55 30 20 20 100 100 40 - 16.2 16 20 30 70 16 16 - - 40 - 64.8 64 - 15 - 64 64 - - 20 - 10 20 80 20 20 20 20 85 70 100 20 16.2 16 20 16 16 16 16 3 6 - - 64.8 64 - - - - - - - - 80 - - - 64 32 32 64 6 12 - - - - - - 32 32 - 6 12 - -

II (DAU) SDO dan Inpres 75 2.5 22.5 - -

III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan


(46)

27

Bagi hasil dialokasikan kepada daerah dengan persentase tertentu yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru (UU No. 17 Tahun 2000), mulai Tahun Anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Karyawan (Pasal 21) serta Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Pasal 25/29). Ditetapkannya pajak penghasilan Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara.

Dari Tabel 6 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan (IHH), provisi sumber daya hutan (PSDH), royalti dan land rent sumber daya alam pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk beberapa pos.

2. Dana Alokasi Umum

Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber


(47)

daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah & bangunan, dan pajak penghasilan perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah.

Secara umum pada pemerintahan orde baru terdapat tiga jenis transfer uang dari pusat ke daerah yaitu dalam bentuk subsidi daerah otonom, instruksi presiden dan daftar isian proyek (DIP). Kedua jenis pertama merupakan bantuan antar tingkat pemerintah daerah (intergovernmental grant) sebab menjadi anggaran pemerintah daerah. Sementara daftar isian proyek diklasifikasikan sebagai “in-kind” alocation, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam anggaran pemerintah daerah. Subsidi daerah otonom adalah jenis bantuan dari pemerintah pusat untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah untuk membantu menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan. Oleh karena itu sebagian besar dana subsidi daerah otonom (95 persen) untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah. Sementara instruksi presiden adalah bantuan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Ada beberapa instruksi presiden yaitu: Instruksi Presiden Daerah Tingkat I, Instruksi Presiden Daerah Tingkat II, Instruksi Presiden Sekolah Dasar, Instruksi Presiden Kesehatan, Instruksi Presiden Penghijauan dan Reboisasi, Instruksi Presiden Pasar, Instruksi Presiden Peningkatan Jalan Provinsi, Instruksi Presiden untuk Desa Tertinggal atau IDT (Mahi, 2000).


(48)

29

Menjelang otonomi daerah diberlakukan sistem transfer dari pusat ke daerah di Indonesia tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan pola subsidi daerah otonom dan instruksi presiden. Istilah yang digunakan untuk transfer selama tahun anggaran 1999-2000 adalah dana rutin daerah (DRD) untuk pengganti subsidi daerah otonom dan dana pembangunan daerah (DPD) untuk mengganti instruksi presiden. Dana pembangunan daerah tahun 1999/2000 terdiri dari empat bagian yaitu dana pembangunan desa, dana pembangunan kabupaten/kota, dana pembangunan provinsi dan jaring pengaman sosial (JPS).

Setelah otonomi daerah, dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah diganti dengan dana alokasi umum. Nilai dana alokasi umum meningkat signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah dikurangi bagian dari pajak dan sumber daya alam yang diserahkan ke daerah. Jadi tujuannya lebih kepada pemerataan.

Riyanto (2003) menjabarkan dana alokasi umum sebagai berikut. Formula dana alokasi umum tahun 2001 disusun dari tiga komponen yaitu faktor penyeimbang (FP) daerah, faktor formula dan faktor lum-sump. Faktor penyeimbang untuk menghitung dana alokasi umum 2001 menggunakan patokan “minimal sama dengan dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah tahun sebelumnya”. Demi menghindari tidak diterimanya pembagian dana tersebut oleh daerah. Dalam formula, ini merupakan “faktor penyeimbang” untuk menjamin tidak ada daerah yang mendapat transfer lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Untuk faktor formula digunakan pendekatan fiskal gap yaitu selisih antara kebutuhan daerah dengan potensi penerimaan daerah. Daerah yang kebutuhannya


(49)

besar tetapi potensinya kurang akan memperoleh bagian dana alokasi umum yang besar. Untuk menghitung potensi penerimaan daerah digunakan beberapa variabel PDRB sektor sumber daya alam, PDRB sektor industri dan jasa, dan besarnya angkatan kerja sebagai proxy terhadap indeks sumber daya manusia. Sementara kebutuhan daerah didekati dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks harga bangunan, jumlah penduduk miskin. Dari fiskal gap inilah kemudian dirumuskan bobot setiap daerah sebagai faktor formula alokasi dana alokasi umum.

Formula dana alokasi umum tahun 2001 sebagai awal pelaksanaan desentralisasi fiskal menimbulkan kesan bagi daerah bahwa keseimbangan horizontal antar daerah belum sepenuhnya tercermin pada pendistribusian dana alokasi umum tersebut. Oleh karena itu, formula dana alokasi umum tahun 2002 didistribusikan dengan cara yang agak berbeda dengan dana alokasi umum tahun 2001. Walaupun prinsip-prinsip yang digunakan untuk mendistribusikan alokasi dana alokasi umum sama dengan tahun 2001, namun formula dan variabel penentu agak berbeda dan tampaknya formula dana alokasi umumtahun 2002 relatif lebih “ideal” dibandingkan formula dana alokasi umum tahun 2001. Tabel 7 memberikan perbandingan formula dana alokasi umum tahun 2001 dan tahun 2002.

Prinsip dasar dan variabel-variabel yang dipergunakan dalam formula dana alokasi umum tetap mengacu Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. Formula dana alokasi umum harus sederhana (simple) dalam artian dapat dijelaskan dan mudah dipahami serta dimengerti oleh semua pihak yang berkepentingan. Dengan


(50)

31

demikian, diharapkan daerah dapat menghitung sendiri alokasi dana alokasi umum yang akan diterimanya.

Tabel 7. Perbandingan Formula Dana Alokasi Umum Tahun 2001 dan 2002

Keterangan Tahun 2001 Tahun 2002

Formula DAU DAUi = FPi + FF i+ FLi

FPi= 1.3 SDOi + 1.1 Inpresi

Yang merupakan faktor penyeimbang

FFi = Faktor Formula yang

didasarkan atas selisih antara kebutuhan pembiayaan daerah i dengan potensi penerimaan daerah i.

FLi = Faktor Lumsump yang

merupakan mekanisme untuk membagi habis DAU yang tersisa setelah dialokasikan berdasarkan Faktor Penyeimbang (FP) dan Faktor Formula (FF)

DAUi = FPi + (BDi x DAUn)

BDi= bobot daerah ke-i

ditentukan berdasarkan rasio fiskal gap daerah ke-i terhadap total fiskal gap

Fiskal gap daerah ke-i didasarkan atas selisih antara kebutuhan pembiayaan daerah i dengan potensi penerimaan daerah i

Variabel Penentu Potensi

Penerimaan Daerah

1.PDRB

2.PDRB sektor industri dan jasa

3.Besarnya angkatan kerja

1. Pendapatan Asli Daerah 2. PBB dan BPHTB 3. PPh perorangan 4. Bagi hasil SDA Variabel Penentu

Kebutuhan Daerah

1.Jumlah penduduk

2.Luas wilayah

3.Indeks harga bangunan

4.Jumlah penduduk miskin

1. Jumlah penduduk

2. Luas wilayah

3. Indeks harga bangunan

4. Jumlah penduduk miskin

5. Pengeluaran daerah

rata-rata

Sumber: Sidik et al (2002)

Dalam kaitannya dengan belanja pegawai negeri sipil yang telah dilimpahkan ke daerah, maka secara konseptual sebenarnya dana alokasi umum sudah terlepas dari permasalahan belanja pegawai. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, dana alokasi umum merupakan suatu bentuk alokasi grants yang bersifat pure block grants, sehingga penggunaannya


(51)

diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi one to one relation antara dana alokasi umum dengan belanja pegawai.

Meski secara konseptual dana alokasi umum dan belanja pegawai tidak ada kaitannya lagi, namun dalam implementasi formulasi dana alokasi umum (baik tahun 2001 maupun 2002) masih mempertimbangkan besaran belanja pegawai sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi alokasi dana alokasi umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar dampak pengalihan pegawai masih dapat ter-cover dengan alokasi dana alokasi umum ini. Hal inilah yang sering disebut sebagai Faktor Penyeimbang ataupun Alokasi Minimum.

Menurut Boediono (2002), secara garis besar formulasi dana alokasi umum 2002 terdapat 3 (tiga) perbedaan/perubahan utama dari formulasi dana alokasi umum 2001, yaitu:

1. Mengurangi besaran faktor penyeimbang sehingga performa formula dana alokasi umum menjadi lebih menonjol, maka salah satu alternatif yang dilakukan adalah dengan menggunakan “hanya” belanja pegawai sebagai faktor penyeimbang. Namun demikian, telah disadari bahwa belanja pegawai secara teori mempunyai banyak kelemahan apabila dijadikan sebagai tolak ukur pemberian grant namun demikian dalam masa transisi dan jangka pendek hal ini masih dapat dilakukan, dengan catatan bahwa secara gradual harus dikurangi. Sampai saat ini masih terus dikaji apakah belanja pegawai ini akan ditetapkan secara utuh dalam besaran faktor penyeimbang ataukah berdasarkan persentase tertentu yang berlaku secara seragam.

2. Penentuan proxy kebutuhan fiskal sejauh mungkin memberikan fleksibilitas dalam penetapan bobot variabelnya dengan melalui berbagai kajian akademis


(52)

33

sehingga peranan dari masing-masing variabel tersebut menjadi lebih kelihatan.

3. Penetapan besaran potensi fiskal menggunakan besaran fiskal yang riil dan bukan menggunakan proxy, karena besaran riil tersebut telah dapat diukur. 3. Dana Alokasi Khusus

Pada hakikatnya pengertian dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian dana alokasi khusus ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah: (1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (2) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

2.2.5. Lain-Lain Pendapatan yang Sah

Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman tersebut dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya dan dilakukan secara transparan sehingga setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh daerah diumumkan dalam lembaran daerah.


(53)

Pinjaman yang bersumber dari luar negeri harus melalui Pemerintah Pusat. Kemudian daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Dan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah. Pinjaman daerah tersebut harus dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dalam melakukan pinjaman, daerah dilarang melakukan pinjaman daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah pinjaman daerah yang ditetapkan dan melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas keuangan daerah.

2.2.6. Tinjauan Studi Terdahulu

Riyanto dan Siregar (2005) membahas masalah dampak dana perimbangan terhadap perekonomian daerah dan pemerataan antar wilayah. Penelitian tersebut dilakukan dengan membangun model ekonometrika yang menangkap hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuangan daerah. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa pada awal desentralisasi fiskal, belanja rutin meningkat signifikan, sedangkan belanja pembangunan mengalami penurunan. Tetapi apabila dana perimbangan terus ditingkatkan maka akan direspon oleh pemerintah daerah dengan memperbesar pengeluaran pembangunan karena pengeluaran rutin telah terpenuhi. Dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selanjutnya belanja rutin dan belanja pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap perekonomian daerah. Walau begitu, pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara


(54)

35

sebelum dan setelah desentralisasi fiskal diimplementasikan. Artinya, perubahan dalam pengelolaan fiskal, yang ditandai dengan semakin besarnya dana yang mengalir ke daerah belum diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. Akibatnya, pemerataan pembangunan wilayah yang diharapkan belum tercapai.

Lin (2000) menganalis hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di China, dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai dasar analisis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan efisiensi alokasi sumber daya. Disamping itu reformasi pedesaan, akumulasi modal, dan sektor swasta merupakan kunci yang mendorong pertumbuhan ekonomi di China.

Pakasi (2005), meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Kabupaten dan kota di Sulawesi Utara. Model ekonometrika yang digunakan oleh Pakasi (2005) terdiri dari 4 blok yaitu blok fiskal daerah, produksi dan tenaga kerja sektoral, permintaan agregat, serta kinerja perekonomian daerah. Menggunakan pool data 5 kabupaten dan kota tahun 1989-2002.

Hasil dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: (1) penerimaan pajak dan bagi hasil pajak tahun lalu signifikan dalam meningkatkan kedua sumber penerimaan tersebut. Penerimaan pajak dan bagi hasil pajak meningkat signifikan setelah desentralisasi fiskal, (2) setelah desentralisasi, kinerja fiskal daerah dari sisi fiskal available didominasi oleh transfer dana alokasi umum dan sisi fiskal needs oleh anggaran rutin, (2) kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah.


(55)

Sumedi (2005), meneliti dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah dan kinerja perekonomian nasional dan daerah. Model ekonometrika yang digunakan terdiri atas dua jenis model yaitu model Provinsi Jawa Barat dan model seluruh Indonesia. Model Jawa Barat terdiri dari 4 blok yaitu: blok penerimaan pemerintah daerah, blok pengeluaran pemerintah daerah, blok defsit fiskal, dan blok kinerja perekonomian dan pertanian daerah. Model nasional terdiri dari lima blok dengan ditambahannya blok permintaan agregat. Jenis data yang digunakan adalah pool data tahun 1994-2002.

Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa pajak daerah signifikan dipengaruhi oleh PDRB. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah, dan kinerja perekonomian baik pada skala nasional maupun di Jawa Barat. Dampak positif kebijakan desetralisasi fiskal terhadap sektor pertanian diindikasikan dengan meningkatnya PDRB sektor pertanian, baik pangan maupun nonpangan, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, dan peningkatan produksi padi. Peningkatan pendapatan daerah terutama yang bersumber pada transfer dana dari pusat berupa dana alokasi umum yang sangat besar, telah meningkatkan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat, meskipun kapasitas fiskal daerah meningkat. Implementasi kebijakan fiskal berdampak terhadap meningkatnya kesenjangan antar daerah, meskipun pada tahun berikutnya terdapat kecendrungan menurun seiring dengan perbaikan formulasi alokasi dana alokasi umum. Secara umum simulasi kebijakan tidak berdampak besar terhadap kesenjangan antar daerah. Peningkatan transfer dana pusat akan meningkatkan kesenjangan antar daerah. Realokasi anggaran rutin ke anggaran pembangunan meskipun


(56)

37

meningkatan kinerja perekonomian namun berdampak juga pada peningkatan kesenjangan antar daerah di Jawa Barat.

Usman (2006), meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Alat analisis yang digunakan adalah ekonometrika terdiri dari 4 blok, yaitu: blok penerimaan daerah, blok fiskal-pengeluaran daerah, blok permintaan agregat daerah, dan blok distribusi pendapatan dan kemiskinan. Jenis data yang digunakan adalah pool data tahun 1995-2000 dari 26 provinsi di Indonesia.

Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ekonomi pada periode sebelum desentralisasi fiskal tidak menguntungkan kelompok miskin, namun sebaliknya kelompok kaya lebih diuntungkan. Periode sesudah desentralisasi fiskal pada awalnya menguntungkan kelompok kaya, namun tahun berikutnya menguntungkan kelompok miskin. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal sebagian besar tidak berubah. Sektor-sektor yang menjadi determinan kemiskinan adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan perumahan, infrastruktur, dan faktor komunitas atau wilayah.

Hasil dugaan model menunjukkan, desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal juga dapat mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan dengan arah koefisien negatif dan nyata. Hasil simulasi menunjukan dalam jangka pendek pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka panjang, pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan adalah sektor yang paling diprioritaskan.


(1)

TOTEXP = EXPR + EXPP;

EXPP = EXPPA + EXPPNA;

RUN

;

Lampiran 8. Hasil Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah

The SAS Sy s t em The SI MNLI N Pr oc edur e Model Summar y

Model Var i abl es 13

Endogenous 13

Par amet er s 29

Equat i ons 13


(2)

Model Var i abl es PAJ AK BHP EXPR EXPPA EXPPNA PDRB TTK PAD TRANSF BH TOTI NC TOTEXP EXPP

Par amet er s ( Val ue) a0( - 235. 759) a1( 0. 000316) a2( 10. 32535) a3( 0. 494567) a4( 225. 7637)

b0( - 964. 499) b1( 0. 001636) b2( 0. 876616) b3( 2518. 875) c 0( 2811. 731)

c 1( 0. 393777) c 2( 15051. 99) d0( - 283. 921) d1( 0. 018556) d2( 0. 443335)

d3( 1221. 305) e0( 4456. 315) e1( 0. 360555) e2( - 14113. 8) f 0( 19696. 7)

f 1( 10. 31614) f 2( 0. 409443) f 3( 11. 99456) f 4( 12. 71536) f 5( -185052)

g0( 98373. 7) g1( 0. 119929) g2( - 0. 69974) g3( 26993. 19)

Equat i ons PAJ AK BHP EXPR EXPPA EXPPNA PDRB TTK PAD TRANSF BH TOTI NC TOTEXP EXPP The SAS Sy s t em

The SI MNLI N Pr oc edur e Si mul t aneous Si mul at i on Des c r i pt i v e St at i s t i c s

Ac t ual Pr edi c t ed

Var i abl e N Obs N Mean St d Dev Mean St d Dev Label PAJ AK 66 66 678. 7 570. 5 679. 0 508. 4 Paj ak Daer ah

BHP 66 66 10691. 2 5430. 2 10691. 5 4707. 0 Bagi Has i l Paj ak

EXPR 66 66 44111. 7 32313. 5 44112. 0 31173. 3 Pengel uar an Rut i n

EXPPA 66 66 2965. 3 3517. 7 2965. 3 2794. 5 Pengel uar an

pembangunn per t ani an

EXPPNA 66 66 29591. 9 19487. 7 29592. 2 18257. 4 Pengel uar an

pembangunan

nonper t ani an

PDRB 66 66 939199 454085 939203 419327 PDRB TTK 66 66 129336 71440. 7 129337 51069. 9 Tot al Tenaga Ker j a

PAD 66 66 4815. 3 6749. 9 4815. 6 6735. 2 Pendapat an

As l i Daer ah

TRANSF 66 66 73725. 7 48273. 8 73726. 2 48065. 8 Tr ans f er

BH 66 66 14492. 6 6534. 8 14493. 0 5982. 3 Bagi Has i l

TOTI NC 66 66 87506. 7 63941. 9 87507. 6 63725. 2 TOTAL PENERI MAAN

DAERAH TOTEXP 66 66 76669. 0 51559. 6 76669. 6 51000. 8 Tot al Pengel uar an

Daer ah EXPP 66 66 32557. 3 21898. 7 32557. 6 20680. 8 PENGELUARAN

PEMBANGUNAN

St at i s t i c s of f i t

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS Var i abl e N Er r or Er r or Er r or % Er r or Er r or Er r or R- Squar e

PAJ AK 66 0. 3677 13. 7425 164. 9 37. 2105 288. 1 63. 3701 0. 7411

BHP 66 0. 3846 6. 1257 1859. 3 19. 1725 2631. 0 26. 6210 0. 7616

EXPR 66 0. 3314 5. 3065 5960. 1 17. 3688 7740. 2 21. 7603 0. 9417

EXPPA 66 - 0. 0205 65. 8012 1216. 2 84. 7230 2111. 3 218. 5 0. 6342

EXPPNA 66 0. 3495 13. 5459 5790. 4 30. 2523 6999. 0 59. 9490 0. 8690

PDRB 66 4. 1795 5. 8123 160383 21. 0541 201878 30. 8839 0. 7993

TTK 66 1. 1666 13. 1652 33783. 6 29. 5237 44418. 5 39. 1392 0. 6075


(3)

PAD 66 0. 3677 1. 1310 164. 9 6. 1533 288. 1 9. 1762 0. 9982

TRANSF 66 0. 5058 0. 1174 1859. 4 2. 9084 2631. 0 3. 8780 0. 9970

BH 66 0. 3846 3. 1731 1859. 3 13. 4055 2631. 0 17. 5598 0. 8354

TOTI NC 66 0. 8736 0. 1250 1880. 5 2. 6305 2638. 3 3. 5083 0. 9983

TOTEXP 66 0. 5544 1. 3698 4501. 2 6. 3923 6316. 0 8. 0104 0. 9848

EXPP 66 0. 2230 10. 5377 6078. 5 26. 8989 7336. 5 43. 8140 0. 8860


(4)

The SAS Sy s t em The SI MNLI N Pr oc edur e Si mul t aneous Si mul at i on Thei l For ec as t Er r or St at i s t i c s

MSE Dec ompos i t i on Pr opor t i ons

Cor r Bi as Reg Di s t Var Cov ar I nequal i t y Coef

Var i abl e N MSE ( R) ( UM) ( UR) ( UD) ( US) ( UC) U1 U

PAJ AK 66 82999. 3 0. 86 0. 00 0. 00 1. 00 0. 05 0. 95 0. 3260 0. 1665

BHP 66 6921919 0. 87 0. 00 0. 00 1. 00 0. 07 0. 93 0. 2197 0. 1113

EXPR 66 59910198 0. 97 0. 00 0. 00 1. 00 0. 02 0. 98 0. 1419 0. 0714

EXPPA 66 4457663 0. 80 0. 00 0. 00 1. 00 0. 12 0. 88 0. 4609 0. 2444

EXPPNA 66 48986397 0. 93 0. 00 0. 00 1. 00 0. 03 0. 97 0. 1980 0. 0999

PDRB 66 4. 075E10 0. 89 0. 00 0. 00 1. 00 0. 03 0. 97 0. 1938 0. 0976

TTK 66 1. 973E9 0. 78 0. 00 0. 01 0. 99 0. 21 0. 79 0. 3012 0. 1551

PAD 66 82999. 3 1. 00 0. 00 0. 00 1. 00 0. 00 1. 00 0. 0349 0. 0175

TRANSF 66 6922221 1. 00 0. 00 0. 00 1. 00 0. 01 0. 99 0. 0299 0. 0150

BH 66 6921919 0. 91 0. 00 0. 00 1. 00 0. 04 0. 96 0. 1657 0. 0834

TOTI NC 66 6960404 1. 00 0. 00 0. 00 1. 00 0. 01 0. 99 0. 0244 0. 0122

TOTEXP 66 39892195 0. 99 0. 00 0. 00 1. 00 0. 01 0. 99 0. 0685 0. 0343

EXPP 66 53824488 0. 94 0. 00 0. 00 1. 00 0. 03 0. 97 0. 1874 0. 0945

Thei l Rel at i v e Change For ec as t Er r or St at i s t i c s Rel at i v e Change MSE Dec ompos i t i on Pr opor t i ons

Cor r Bi as Reg Di s t Var Cov ar I nequal i t y Coef

Var i abl e N MSE ( R) ( UM) ( UR) ( UD) ( US) ( UC) U1 U

PAJ AK 65 0. 2866 0. 60 0. 00 0. 09 0. 91 0. 03 0. 97 0. 8017 0. 4309

BHP 65 0. 0702 0. 73 0. 00 0. 00 1. 00 0. 13 0. 86 0. 6786 0. 3850

EXPR 65 0. 0569 0. 90 0. 01 0. 08 0. 91 0. 00 0. 99 0. 4385 0. 2148

EXPPA 65 3. 0272 0. 81 0. 01 0. 00 0. 99 0. 09 0. 90 0. 5685 0. 3069

EXPPNA 65 0. 3070 0. 69 0. 03 0. 44 0. 53 0. 13 0. 84 0. 9771 0. 4114

PDRB 65 0. 0914 0. 33 0. 02 0. 74 0. 24 0. 26 0. 71 1. 9265 0. 6370

TTK 65 0. 1815 0. 35 0. 07 0. 52 0. 41 0. 07 0. 85 1. 4522 0. 5867

PAD 65 0. 00761 1. 00 0. 02 0. 01 0. 97 0. 01 0. 98 0. 0439 0. 0219

TRANSF 65 0. 00147 1. 00 0. 00 0. 01 0. 98 0. 02 0. 97 0. 0846 0. 0425

BH 65 0. 0384 0. 85 0. 01 0. 12 0. 87 0. 01 0. 99 0. 5598 0. 2734

TOTI NC 65 0. 00118 1. 00 0. 01 0. 01 0. 99 0. 02 0. 98 0. 0678 0. 0340

TOTEXP 65 0. 00702 0. 98 0. 03 0. 00 0. 97 0. 01 0. 97 0. 1786 0. 0896

EXPP 65 0. 1659 0. 78 0. 03 0. 23 0. 74 0. 03 0. 94 0. 7096 0. 3303


(5)

Lampiran 9. Contoh Program Komputer Simulasi Model Dampak

Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian

Provinsi Kalimantan Tengah

Peningkatan pengeluaran rutin sebesar 14 persen, peningkatan pengeluaran

sektor pertanian sebesar 26 persen, dan peningkatan pengeluaran sektor luar

pertanian sebesar 5 persen

OPTION NODATE NONUMBER;

DATA

tesis;

set analisis;

EXPR=

1.14

*EXPR;

EXPPA =1.26*EXPPA;

EXPPNA =1.05* EXPPNA;

PAD = Retribusi + Pajak + LabaUsaha + PADLain2;

Transf = DAU + DAK + BH;

BH = BHP + BHBP;

TOTINC = PAD + Transf + Pinjam + RevLain + SisaLebih;

TOTEXP = EXPR + EXPP;

LABEL

PAJAK

= 'Pajak Daerah'

BHP

= 'Bagi Hasil Pajak'

EXPR

=

'Pengeluaran

Rutin'

PAD

= 'Pendapatan Asli Daerah'

Transf

= 'Transfer'

BH

= 'Bagi Hasil'

TOTINC

= 'TOTAL PENERIMAAN DAERAH'

EXPP

= 'PENGELUARAN PEMBANGUNAN'

EXPPA

= 'Pengeluaran pembangunn pertanian'

EXPPNA

= 'Pengeluaran pembangunan nonpertanian'

TOTEXP

= 'Total Pengeluaran Daerah'

PDRB

=

'PDRB'

TTK

=

'Total

Tenaga

Kerja'

KPOP

= 'Kepadatan Populasi'

LabaUsaha

= 'Laba Usaha'

PADLain2

= 'PAD Lain2 yang Sah'

DAU

=

'Dana

Alokasi

Umum'

DAK

= 'Dana Alokasi Khusus'

BHBP

= 'Bagi Hasil Bukan Pajak'

PINJAM

= 'Pinjaman'

RevLain

= 'Penerimaan Lainnya'

SisaLebih

= 'SISA LEBIH ANGGARAN TAHUN LALU'

UMR

=

'UPAH

Minimum

Reg'

LPAJAK

= 'LAG PAJAK'

LBHP

= 'Lag Bagi Hasil Pajak'


(6)

DDF

= 'Dummy Des Fiskal';

RUN

;

PROC

SIMNLIN

DATA=tesis SIMULATE STAT OUTPREDICT THEIL;

ENDOGENOUS PAJAK BHP PAD Transf BH TOTINC EXPP TOTEXP PDRB TTK;

INSTRUMENTS EXPR EXPPA EXPPNA KPOP LabaUsaha PADLain2 DAU DAK BHBP

PINJAM RevLain SisaLebih TKA UMR LPAJAK LBHP LEXPPA

DDF ;

PARM a0 -

235.759

a1

0.000316

a2

10.32535

a3

0.494567

a4

225.7637

b0

-

964.499

b1

0.001636

b2

0.876616

b3

2518.875

c0

2811.731

c1

0.393777

c2

15051.99

d0

-

283.921

d1

0.018556

d2

0.443335

d3

1221.305

e0

4456.315

e1

0.360555

e2 -

14113.8

f0

19696.70

f1

10.31614

f2

0.409443

f3

11.99456

f4

12.71536

f5

-

185052

g0

98373.70

g1

0.119929

g2 -

0.69974

g3

26993.19

;

PAJAK = a0 + a1*PDRB + a2*KPOP + a3*LPAJAK + a4*DDF;

BHP = b0 + b1*PDRB + b2*LBHP + b3*DDF;

/*EXPR = c0 + c1*TOTINC + c2*DDF;

EXPPA = d0 + d1*TOTINC + d2*LEXPPA + d3*DDF;

EXPPNA = e0 + e1*TOTINC + e2*DDF; */

PDRB = f0 + f1*TKNA + f2*TKA + f3*EXPPA + f4*EXPPNA + f5*DDF;

TTK = g0 + g1*PDRB + g2*UMR + g3*DDF;

PAD = Retribusi + Pajak + LabaUsaha + PADLain2;

Transf = DAU + DAK + BH;

BH = BHP + BHBP;

TOTINC = PAD + Transf + Pinjam + RevLain + SisaLebih;

TOTEXP = EXPR + EXPP;

EXPP = EXPPA + EXPPNA;

RUN

;