Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu : Suatu Pendekatan Ekonometrika

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN

PEREKONOMIAN DAERAH DI PROVINSI

BENGKULU : SUATU PENDEKATAN

EKONOMETRIKA

UMI PUDJI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN PEREKONOMIAN DAERAH DI PROVINSI BENGKULU : SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2007

UMI PUDJI ASTUTI NRP. A546010111/EPN


(3)

ABSTRAK

UMI PUDJI ASTUTI. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu : Suatu Pendekatan Ekonometrika (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, KUNTJORO dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Pembangunan yang sentralistis selama 25 tahun yang lalu ternyata belum menghasilkan pembangunan yang merata antar daerah sehingga mendorong dilaksanakannya Otonomi Daerah yang didasarkan pada Undang-Undang nomor 22 dan 25 tahun 1999. Dan disempurnakan dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran daerah, kemampuan fiskal dan distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah, dan (3) mengevaluasi serta meramalkan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah.

Penelitian ini menggunakan pool data (data time series tahun 1993 – 2003 dan cross section 3 Kabupaten dan 1 Kota) dengan analisis deskriptif, Indeks Williamson, ekonometrika, simulasi historis dan peramalan dengan berbagai skenario kebijakan. Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu dibangun dalam bentuk persamaan simultan terdiri dari 26 persamaan struktural, 17 persamaan identitas, diestimasi dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) setelah kebijakan desentralisasi fiskal sebagian besar penerimaan daerah bersumber dari DAU sedangkan dari PAD masih sangat kecil, kemampuan fiskal daerah rendah dan ketergantungan pada pusat masih tinggi, distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota semakin tidak merata; (2) aktifitas ekonomi akan mendorong peningkatan investasi, hal sebaliknya akan terjadi bila suku bunga, pajak dan retribusi daerah meningkat; (3) setelah desentralisasi fiskal kebijakan realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektor Pertanian berdampak paling besar terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah di semua Kabupaten, sedangkan di Kota Bengkulu adalah kebijakan peningkatan DAU dan peningkatan pengeluaran Infrastruktur; dan (4) realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektor Pertanian dan Infrastruktur sampai tahun 2010 akan berdampak besar dalam meningkatkan kinerja fiskal, dan perekonomian daerah.

Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dapat dilakukan dengan peningkatan pajak, retribusi dan peningkatan pengeluaran pembangunan. Sedangkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian daerah di semua Kabupaten dan Kota sebaiknya dilakukan efisiensi penggunaan pengeluaran rutin untuk meningkatkan pengeluaran pembangunan khususnya untuk Infrastruktur dan sektor Pertanian.

Kata kunci : Desentralisasi, Kebijakan Fiskal, Perekonomian Daerah Pendekatan Ekonometrika


(4)

ABSTRACT

UMI PUDJI ASTUTI. Impact of Fiscal Decentralization Policy on Regional Economic and Fiscal Performances in Bengkulu Province: An Econometric Approach (BONAR M. SINAGA as Chairman, KUNTJORO and HERMANTO SIDEBAR as Members of Advisory Committee)

The centralized development process during the last period of 25 years, in fact did not lead to equally distributed development results among regions. It has became great consideration to implement regional autonomy in Indonesia based on Law No. 22 and 25 of 1999 after that complemented by Law No.32 of 2004 concerning Regional Government, and Law No.33 of 2004 concerning balanced budget between the central and regional government.

The objectives of this research are : (1) to assess sources of regional incomes, expenditure allocation, fiscal capacity, and income distribution among Districts and Cities in the region, (2) to analyze factors influencing regional economic and fiscal performance, and (3) to evaluate and to forecast impacts of fiscal decentralization policy on regional economic and fiscal performances.

This study is using pool data (time series data of 1993-2003 and cross section data of three Districts and one City). The descriptive analysis, Williamson Index, econometric model, and historical simulation using various policy scenarios and forecast were used to analyze the data. The Bengkulu Province Regional Economic model was developed into a simultaneous equations consisting of 26 structural equations, 17 identity equations, and estimated by using Two Stage Least Squares (2SLS) method.

The result shows that : (1) after implementation of the fiscal decentralization policy, the main sources of regional revenue is derived from the General Allocation Fund (DAU) whereas the Regional Own Income (PAD) were very less, the fiscal capacity were low, dependency on the central government were high, and improper income distribution among Districts and Cities; (2) the economic activities (PDRBS) will increase investment, however, if the interest rate, tax, and retribution increase on the contrary, investment will decrease; (3) after fiscal decentralization, the regional economic and fiscal performances in all Districts is most affected by reallocation of routine expenditure to agricultural sector expenditure, whereas in City an expansion of the DAU and infrastructure expenditure; and (4) the reallocation of routine expenditure into development expenditure on agriculture and infrastructure until 2010 will have much greater impact on regional economic and fiscal performances.

To increase the fiscal capacity, regional tax and retribution, and development expenditure expansion should be implementing. Whereas to increase the regional economic performances are efficiency of routine expenditure in order to increase the development expenditure especially aimed for infrastructure and agriculture sectors.

Key words: Decentralization, Fiscal Policy, Regional Economy, Econometric Approach


(5)

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN PEREKONOMIAN DAERAH

DI PROVINSI BENGKULU : SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA

UMI PUDJI ASTUTI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Disertasi : Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah

di Provinsi Bengkulu : Suatu Pendekatan Ekonometrika

Nama Mahasiswa : Umi Pudji Astuti Nomor Pokok : A.546010111

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua

Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodipuro, MS


(7)

Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan,

Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulutNya datang pengetahuan dan kepandaian (Ams.1:7a ; Ams.2:6)

Terpujilah Tuhan karena Ia telah mendengar permohohanku, Tuhan adalah kekuatannku dan perisaiku, aku tertolong sehingga

bersuka cita hatiku dan dengan nyanyian aku hendak bersyukur (Maz.28:7-8)

Pujilah Tuhan yang dapat dan mau melakukan jauh melebihi doamu dan yang kaurindukan. Ingat teguh : Ia berkuasa penuh!

KasihNya trus kau temukan

Pujilah Tuhan! Hai jiwaku, mari bernyanyi! Semua makhluk bernafas, iringilah kami! Puji terus nama yang Maha Kudus!


(8)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga yang telah memberikan karunia besar dan perkenanNya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa karunia besar ini tersalur melalui bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang dengan kasih dan kesabaran beliau, telah banyak memberikan arahan akademik dalam proses belajar, dan secara khusus bimbingan dalam penyusunan disertasi.

2. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang dengan kasih dan kesabaran beliau selama mengajar dan membimbing penyusunan disertasi.

3. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan akademik selama perkuliahan dan tambahan wawasan yang lebih luas dalam penyusunan disertasi.

4. Dr. Ir. Harianto, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini. 5. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc dan Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS

selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan tambahan wawasan untuk penyempurnaan disertasi ini.


(9)

6. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan seluruh dosen, serta teman-teman pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

7. Kepala Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian Bengkulu yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Sekolah Pascasarjana-IPB.

8. Kepala Badan LITBANG dan pimpinan Proyek PAATP yang telah memberikan kesempatan dan biaya pendidikan kepada penulis.

9. Rekan-rekan sejawat di BPTP Bengkulu, teman-teman PS Ekonomi Pertanian-IPB khususnya bu Reni, bu Atin, bu Grace, bu Poer, bu Wiwik, bu Atih, pak Adolf, pak Yundi, serta Pdt.Dwi Djanarto, STh, yang dengan penuh kasih memberikan dukungan, semangat, kerja sama dan bantuan dalam penyusunan disertasi ini.

10.Secara khusus kepada kedua orang tuaku besarta keluarga besar R. Soewijadi dan Soerjo Hadi yang senantiasa memberikan dukungan doa dan dukungan materi selama penulis mengikuti pendidikan.

11.Dengan penuh cinta kasih kepada suamiku Sumaryono Hadi, ketiga putri dan putraku Dias Sihivana Inggita Agriputri, Dianti Sihkathara Inggita Agriputri, dan Dimas Sihnugroho Agri Widianto yang telah dengan penuh kesabaran dan cintanya merelakan kehilangan waktu bersama keluarga dan senantiasa berdoa dan memberikan dukungan selama penulis melaksanakan proses belajar di Sekolah Pascasarjana IPB hingga selesainya penyusunan disertasi ini.


(10)

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang berguna dalam menambah wawasan tulisan ini dan karya ilmiah secara umum. Walaupun demikian, penulis berharap agar penelitian ini merupakan awal dari pengetahuan di bidang keuangan daerah khususnya di Provinsi Bengkulu dan akan selalu dikembangkan oleh peneliti lain maupun penulis sendiri. Akhirnya, kiranya penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Maret 2007


(11)

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN

PEREKONOMIAN DAERAH DI PROVINSI

BENGKULU : SUATU PENDEKATAN

EKONOMETRIKA

UMI PUDJI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN PEREKONOMIAN DAERAH DI PROVINSI BENGKULU : SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2007

UMI PUDJI ASTUTI NRP. A546010111/EPN


(13)

ABSTRAK

UMI PUDJI ASTUTI. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu : Suatu Pendekatan Ekonometrika (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, KUNTJORO dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Pembangunan yang sentralistis selama 25 tahun yang lalu ternyata belum menghasilkan pembangunan yang merata antar daerah sehingga mendorong dilaksanakannya Otonomi Daerah yang didasarkan pada Undang-Undang nomor 22 dan 25 tahun 1999. Dan disempurnakan dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran daerah, kemampuan fiskal dan distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah, dan (3) mengevaluasi serta meramalkan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah.

Penelitian ini menggunakan pool data (data time series tahun 1993 – 2003 dan cross section 3 Kabupaten dan 1 Kota) dengan analisis deskriptif, Indeks Williamson, ekonometrika, simulasi historis dan peramalan dengan berbagai skenario kebijakan. Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu dibangun dalam bentuk persamaan simultan terdiri dari 26 persamaan struktural, 17 persamaan identitas, diestimasi dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) setelah kebijakan desentralisasi fiskal sebagian besar penerimaan daerah bersumber dari DAU sedangkan dari PAD masih sangat kecil, kemampuan fiskal daerah rendah dan ketergantungan pada pusat masih tinggi, distribusi pendapatan antar Kabupaten dan Kota semakin tidak merata; (2) aktifitas ekonomi akan mendorong peningkatan investasi, hal sebaliknya akan terjadi bila suku bunga, pajak dan retribusi daerah meningkat; (3) setelah desentralisasi fiskal kebijakan realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektor Pertanian berdampak paling besar terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah di semua Kabupaten, sedangkan di Kota Bengkulu adalah kebijakan peningkatan DAU dan peningkatan pengeluaran Infrastruktur; dan (4) realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektor Pertanian dan Infrastruktur sampai tahun 2010 akan berdampak besar dalam meningkatkan kinerja fiskal, dan perekonomian daerah.

Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dapat dilakukan dengan peningkatan pajak, retribusi dan peningkatan pengeluaran pembangunan. Sedangkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian daerah di semua Kabupaten dan Kota sebaiknya dilakukan efisiensi penggunaan pengeluaran rutin untuk meningkatkan pengeluaran pembangunan khususnya untuk Infrastruktur dan sektor Pertanian.

Kata kunci : Desentralisasi, Kebijakan Fiskal, Perekonomian Daerah Pendekatan Ekonometrika


(14)

ABSTRACT

UMI PUDJI ASTUTI. Impact of Fiscal Decentralization Policy on Regional Economic and Fiscal Performances in Bengkulu Province: An Econometric Approach (BONAR M. SINAGA as Chairman, KUNTJORO and HERMANTO SIDEBAR as Members of Advisory Committee)

The centralized development process during the last period of 25 years, in fact did not lead to equally distributed development results among regions. It has became great consideration to implement regional autonomy in Indonesia based on Law No. 22 and 25 of 1999 after that complemented by Law No.32 of 2004 concerning Regional Government, and Law No.33 of 2004 concerning balanced budget between the central and regional government.

The objectives of this research are : (1) to assess sources of regional incomes, expenditure allocation, fiscal capacity, and income distribution among Districts and Cities in the region, (2) to analyze factors influencing regional economic and fiscal performance, and (3) to evaluate and to forecast impacts of fiscal decentralization policy on regional economic and fiscal performances.

This study is using pool data (time series data of 1993-2003 and cross section data of three Districts and one City). The descriptive analysis, Williamson Index, econometric model, and historical simulation using various policy scenarios and forecast were used to analyze the data. The Bengkulu Province Regional Economic model was developed into a simultaneous equations consisting of 26 structural equations, 17 identity equations, and estimated by using Two Stage Least Squares (2SLS) method.

The result shows that : (1) after implementation of the fiscal decentralization policy, the main sources of regional revenue is derived from the General Allocation Fund (DAU) whereas the Regional Own Income (PAD) were very less, the fiscal capacity were low, dependency on the central government were high, and improper income distribution among Districts and Cities; (2) the economic activities (PDRBS) will increase investment, however, if the interest rate, tax, and retribution increase on the contrary, investment will decrease; (3) after fiscal decentralization, the regional economic and fiscal performances in all Districts is most affected by reallocation of routine expenditure to agricultural sector expenditure, whereas in City an expansion of the DAU and infrastructure expenditure; and (4) the reallocation of routine expenditure into development expenditure on agriculture and infrastructure until 2010 will have much greater impact on regional economic and fiscal performances.

To increase the fiscal capacity, regional tax and retribution, and development expenditure expansion should be implementing. Whereas to increase the regional economic performances are efficiency of routine expenditure in order to increase the development expenditure especially aimed for infrastructure and agriculture sectors.

Key words: Decentralization, Fiscal Policy, Regional Economy, Econometric Approach


(15)

DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAN PEREKONOMIAN DAERAH

DI PROVINSI BENGKULU : SUATU PENDEKATAN EKONOMETRIKA

UMI PUDJI ASTUTI

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

Judul Disertasi : Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan dan Perekonomian Daerah

di Provinsi Bengkulu : Suatu Pendekatan Ekonometrika

Nama Mahasiswa : Umi Pudji Astuti Nomor Pokok : A.546010111

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua

Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodipuro, MS


(17)

Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan,

Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulutNya datang pengetahuan dan kepandaian (Ams.1:7a ; Ams.2:6)

Terpujilah Tuhan karena Ia telah mendengar permohohanku, Tuhan adalah kekuatannku dan perisaiku, aku tertolong sehingga

bersuka cita hatiku dan dengan nyanyian aku hendak bersyukur (Maz.28:7-8)

Pujilah Tuhan yang dapat dan mau melakukan jauh melebihi doamu dan yang kaurindukan. Ingat teguh : Ia berkuasa penuh!

KasihNya trus kau temukan

Pujilah Tuhan! Hai jiwaku, mari bernyanyi! Semua makhluk bernafas, iringilah kami! Puji terus nama yang Maha Kudus!


(18)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa di Surga yang telah memberikan karunia besar dan perkenanNya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa karunia besar ini tersalur melalui bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang dengan kasih dan kesabaran beliau, telah banyak memberikan arahan akademik dalam proses belajar, dan secara khusus bimbingan dalam penyusunan disertasi.

2. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang dengan kasih dan kesabaran beliau selama mengajar dan membimbing penyusunan disertasi.

3. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan akademik selama perkuliahan dan tambahan wawasan yang lebih luas dalam penyusunan disertasi.

4. Dr. Ir. Harianto, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan disertasi ini. 5. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc dan Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, MS

selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan tambahan wawasan untuk penyempurnaan disertasi ini.


(19)

6. Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, dan seluruh dosen, serta teman-teman pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

7. Kepala Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian Bengkulu yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Sekolah Pascasarjana-IPB.

8. Kepala Badan LITBANG dan pimpinan Proyek PAATP yang telah memberikan kesempatan dan biaya pendidikan kepada penulis.

9. Rekan-rekan sejawat di BPTP Bengkulu, teman-teman PS Ekonomi Pertanian-IPB khususnya bu Reni, bu Atin, bu Grace, bu Poer, bu Wiwik, bu Atih, pak Adolf, pak Yundi, serta Pdt.Dwi Djanarto, STh, yang dengan penuh kasih memberikan dukungan, semangat, kerja sama dan bantuan dalam penyusunan disertasi ini.

10.Secara khusus kepada kedua orang tuaku besarta keluarga besar R. Soewijadi dan Soerjo Hadi yang senantiasa memberikan dukungan doa dan dukungan materi selama penulis mengikuti pendidikan.

11.Dengan penuh cinta kasih kepada suamiku Sumaryono Hadi, ketiga putri dan putraku Dias Sihivana Inggita Agriputri, Dianti Sihkathara Inggita Agriputri, dan Dimas Sihnugroho Agri Widianto yang telah dengan penuh kesabaran dan cintanya merelakan kehilangan waktu bersama keluarga dan senantiasa berdoa dan memberikan dukungan selama penulis melaksanakan proses belajar di Sekolah Pascasarjana IPB hingga selesainya penyusunan disertasi ini.


(20)

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik yang berguna dalam menambah wawasan tulisan ini dan karya ilmiah secara umum. Walaupun demikian, penulis berharap agar penelitian ini merupakan awal dari pengetahuan di bidang keuangan daerah khususnya di Provinsi Bengkulu dan akan selalu dikembangkan oleh peneliti lain maupun penulis sendiri. Akhirnya, kiranya penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Maret 2007


(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogjakarta, pada tanggal 31 Mei 1961 dari ayah R.Soewijadi Poespo Hadiwinoto (alm) dan ibu Sri Sudwesti. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara, menyelesaikan pendidikan SD, SMP, SMA, S1, dan S2 di kota kelahiran Yogjakarta. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1986 di Jurusan Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogjakarta, pada tahun 1998 penulis mendapat kesempatan tugas belajar di Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dan selesai tahun 2000. Pada tahun 2001 kembali mendapat kesempatan tugas belajar S3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

Penulis bekerja sebagai Penyuluh Pertanian di Balai Informasi Pertanian Bengkulu sejak tahun 1987 sampai tahun 1994, dan mulai tahun 1994 sampai sekarang pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu, Badan Litbang Pertanian.


(22)

DAFTAR ISI Halaman I. II. DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN ...

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Kegunaan Penelitian ... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 1.6. Keterbatasan Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1.Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ... 2.2.Desentralisasi Fiskal ... 2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal ... 2.2.2. Manfaat Desentralisasi Fiskal ... 2.2.3. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia ... 2.2.4. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal ...

2.3.Pembangunan ... 2.4.Tinjauan Studi Terdahulu ...

2.4.1. Aspek Tujuan dan Metodologi Penelitian ... 2.4.2. Aspek Hasil-hasil Penelitian ... 2.4.3. Penelitian Desentralisasi Fiskal di Negara Lain ... 2.4.4. Penelitian yang Berkaitan dengan Aspek

Metodologi dan Tujuan Penelitian ...

xv xx xxi 1 1 5 7 8 8 9 11 11 14 14 17 19 25 26 29 29 35 42 44


(23)

III.

IV.

KERANGKA PEMIKIRAN ...

3.1.Kerangka Teori ... 1.1.1. Produk Domestik Regional Bruto ... 1.1.2. Fungsi Penawaran Agregat ... 1.1.3. Investasi ... 3.2.Kinerja Fiskal Daerah ...

3.2.1. Penerimaan Fiskal Daerah ... 3.2.2. Pengeluaran Fiskal Daerah ... 3.3.Kinerja Perekonomian Daerah ...

3.3.1. Pertumbuhan Ekonomi ... 3.3.2. Penyerapan Tenaga Kerja ... 3.3.3. Pendapatan per Kapita ... 3.3.4. Inflasi ... 3.4.Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Perekonomian Daerah.. 3.5.Kerangka Konseptual ...

METODE PENELITIAN ...

4.1.Lokasi dan Waktu ... 4.2.Jenis dan Sumber Data ... 4.3.Metode Analisis Data ... 4.3.1. Indeks Williamson ... 4.3.2. Tahapan Membangun Model ... 4.3.3. Kerangka Model Perekonomian Daerah ... 4.4.Spesifikasi Model Ekonometrika ... 4.4.1. Blok Fiskal Daerah ... 4.4.2. Blok Produksi dan Tenaga Kerja Daerah ... 4.4.3. Blok Investasi ... 4.4.4. Blok Kinerja Perekonomian Daerah ... 4.5.Identifikasi dan Metoda Estimasi Model ... 4.6.Validasi Model ... 4.7.Simulasi Kebijakan ...

47 47 47 49 51 52 52 56 57 58 62 64 65 66 69 73 73 73 75 75 76 79 84 84 88 90 91 91 94 95


(24)

V.

VI.

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN, KINERJA

FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ...

5.1.Potensi Provinsi Bengkulu ... 5.2.Kinerja Fiskal Daerah ...

5.2.1. Kinerja Penerimaan Daerah ... 5.2.2. Kinerja Pengeluaran Daerah ... 5.2.3. Tingkat Kemampuan Fiskal Daerah ... 5.3.Kinerja Perekonomian Daerah ...

5.3.1. Produksi Sektoral ... 5.3.2. Penyerapan Tenaga Kerja ... 5.3.3. Distribusi Pendapatan ...

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN

DAERAH ...

6.1.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Fiskal Daerah … 6.1.1. Penerimaan Pajak Daerah ... 6.1.2. Retribusi Daerah ... 6.1.3. Dana Alokasi Umum ... 6.1.4. Bagi Hasil Pajak ... 6.1.5. Bagi Hasil Bukan Pajak ... 6.1.6. Pengeluaran Rutin ... 6.1.7. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ... 6.1.8. Pengeluaran Pembangunan Sektor Industri ... 6.1.9. Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertambangan …. 6.1.10.Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur ... 6.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perekonomian Daerah …...

6.2.1. Produksi Subsektor Tanaman pangan ... 6.2.2. Produksi Subsektor Perkebunan ... 6.2.3. Produksi Subsektor Peternakan ... 6.2.4. Produksi Subsektor Perikanan ... 6.2.5. Produksi Sektor Pertambangan ...

103 103 106 106 109 117 121 121 124 127 129 129 129 131 133 135 136 137 138 140 151 142 143 144 145 146 147 149


(25)

VII.

VIII.

6.2.6. Produksi Sektor Perindustrian ... 6.2.7. Produksi Sektor Pariwisata ... 6.2.8. Produksi Sektor Jasa ... 6.2.9. Tenaga Kerja Sektor Pertanian ... 6.2.10.Tenaga Kerja Sektor Pertambangan ... 6.2.11.Tenaga Kerja Sektor Perindustrian ... 6.2.12.Kredit Investasi ... 6.2.13.Investasi di Sektor Industri ...

EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN

PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 1998 – 2003 ...

7.1. Kebijakan Peningkatan Penerimaan DAU ... 7.2. Kebijakan Peningkatan Penerimaan Pajak, Retribusi

dan Peningkatan PengeluaranPembangunan ... 7.3. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan

Infrastruktur ... 7.4. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor

Pertanian ……….. 7.5. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran

Pembangunan Sektor Pertanian ... 7.6. Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Desentralisasi

Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian

Daerah Tahun 1998 – 2003 ...

RAMALAN DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA FISKAL DAN

PEREKONOMIAN DAERAH TAHUN 2007 – 2010 ………..

8.1. Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif

Skenario Kebijakan ... 8.1.1. Kabupaten Bengkulu Selatan ... 8.1.2. Kabupaten Rejang Lebong ... 8.1.3. Kabupaten Bengkulu Utara ... 8.1.4. Kota Bengkulu ... 8.2. Ramalan Variabel Endogen dengan Alternatif

Skenario Kebijakan ... 8.2.1. Kebijakan Peningkatan DAU ...

150 151 152 154 155 155 157 158 160 160 164 167 170 173 175 180 180 180 184 187 190 192 193


(26)

IX.

8.2.2. Kebijakan Peningkatan Penerimaan Pajak, Retribusi dan Peningkatan Pengeluaran

Pembangunan ... 8.2.3. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur ………. 8.2.4. Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ... 8.2.5. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian ... 8.2.6. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke

Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur ... 8.2.7. Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke

Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian dan Infrastruktur .………... 8.3. Rekapitulasi Ramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Tahun 2007 – 2010 ………..………...

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .…………....

9.1. Ringkasan Hasil ... 9.2. Simpulan ... 9.3. Implikasi Kebijakan ... 9.4. Saran Penelitian Lanjutan ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ...

195

198 200

202

205

207

210

214 214 218 220 221 223 230


(27)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Pembagian Blok Persamaan Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu ...………... Rata-rata Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten

dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998– 2003 ...……….... Rata-rata Pengeluaran Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten

dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun1998–2003 ...……... Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Daerah

Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998 –2003 ... Rata-rata Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu

Tahun 1998–2003 ...

Rata-rata Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998–2003 ... Rata-rata Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun1998–2003 ... Rasio Kapasitas Fiskal dan Kebutuhan Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998–2003 ... Rata-rata Pengeluaran Daerah, Kapasitas dan Kesenjangan Fiskal Derah terhadap Rata-rata PDRB Kabupaten dan Kota di

Provinsi Bengkulu Tahun 1998–2003 .…... Rata-rata PDRB Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi

Bengkulu Tahun 1998 – 2003 ...

Rata-rata PDRB Sektor Pertanian Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998 – 2003 ………..……...

Rata-rata Tenaga Kerja Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1998 – 2003 ...………...

Nilai Indeks Williamson Provinsi Bengkulu Tahun 1993 – 2003 .... 82 108 110 112 114 116 118 120 121 123 125 126 127


(28)

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dana Alokasi Umum Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...………

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil Pajak Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ………...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil bukan Pajak Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Sektor Industri di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertambangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ……….……

Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Tanaman pangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ///...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Perkebunan Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 .…. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Peternakan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Subsektor Perikanan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Sektor Pertambangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Sektor Perindustrian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...

130 132 134 135 136 137 138 140 141 142 144 146 147 148 149 151


(29)

30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Sektor Pariwisata di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB Sektor Jasa di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ....………...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor

Pertambangan di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tenaga Kerja Sektor

Perindustrian di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kredit Investasi

di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Industri

di Provinsi Bengkulu Tahun 1993-2003 ... Dampak Peningkatan DAU 10% (S1) terhadap Kinerja

Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...

Dampak Peningkatan DAU 10% (S1) terhadap Kinerja

Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu .. Dampak Peningkatan Pajak, Retribusi, dan Pengeluaran

Pembangunan (S2) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …... Dampak Peningkatan Pajak, Retribusi, dan Pengeluaran

Pembangunan (S2) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah

Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ……….. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur (S3) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...

Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur (S3) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ……...

Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (S4) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …...

152 153 154 155 156 157 159 161 163 164 166 167 169 170


(30)

44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.

Dampak Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (S4) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ………...

Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian (S5) terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …...

Dampak Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian (S5) terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...

Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota Tahun 1998-2000 …... Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kabupaten Bengkulu Selatan Tahun 2007 – 2010 ...…………...

Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kabupaten Rejang Lebong Tahun 2007 – 2010 ...………

Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2007 – 2010 ...

Hasil Ramalan Variabel Endogen tanpa Alternatif Kebijakan Kota Bengkulu Tahun 2007 – 2010 ...

Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan DAU terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di

Provinsi Bengkulu ...

Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan DAU terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di

Provinsi Bengkulu ...

Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pajak,Retribusi, dan Pengeluaran Pembangunan terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...

Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pajak, Retribusi, dan Pengeluaran Pembangunan terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu …... Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran

Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ...

172 173 174 176 181 185 188 191 193 195 196 197 198


(31)

57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66.

Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ... Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian terhadap Kinerja Fiskal

Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ... Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Pengeluaran Pembangunan Pertanian terhadap Kinerja Perekonomian

Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ... Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian terhadap Kinerja Fiskal

Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ... Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan Sektor Pertanian terhadap Kinerja

Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu . Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja

Fiskal Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ... Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu

Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan sektor Pertanian terhadap Kinerja Fiskal

Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ... Hasil Ramalan Dampak Kebijakan Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pembangunan sektor Pertanian terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu ... Rekapitulasi Ramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Kabupaten dan Kota Tahun 2007-2010 …...

199 200 201 203 204 206 207 208 209 211


(32)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. 2. 3.

4. 5.

6.

7.

Alur Pikir dalam Perumusan Masalah ... Kurva Penawaran Agregat ... Hubungan Permintaan Tenaga Kerja dan Pengangguran

Pada Pasar Tenaga Kerja ...…………...…….. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian ... Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal

terhadap Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu ... Tahapan Membangun Model Perekonomian Daerah

Provinsi Bengkulu ...…….………... Keterkaitan antar Blok dalam Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu ...

6 50

63 68

70

78


(33)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Program Komputer Estimasi Parameter Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metode 2SLS ... Hasil Estimasi Parameter Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metode 2SLS ...………... Program Komputer Validasi Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 1998-2000 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... Hasil Validasi Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu sebelum dan setelah Desentralisasi Fiskal Tahun 1998-2003 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ...

Program Komputer Simulasi Skenario Realokasi Pengeluaran Rutin ke Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Kabupaten Bengkulu Selatan sebelum Desentralisasi Fiskal Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... Hasil Simulai Skenario Realokasi Pengeluaran Rutin ke

Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian Kabupaten Bengkulu Selatan Sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 1998-2000 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... Program Komputer Ramalan Variabel Eksogen Model

Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur FORECAST Metode STEPAR ...

Hasil Ramalan Variabel Eksogen Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur FORECAST Metode STEPAR …... Program Komputer Ramalan Variabel Endogen Model

Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton ... 231 235 245 248 256 259 261 265 279


(34)

10.

11.

12.

Hasil Ramalan Variabel Endogen Model Perekonomian Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2007-2010 Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton …... Rekapitulasi Evaluasi Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu sebelum dan setelah Desentralisasi Fiskal

Tahun 1998 – 2003 ... Rekapitulasi Ramalan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Provinsi Bengkulu Tahun 2007 – 2010 ...

282

295


(35)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hampir 25 tahun pelaksanaan pembangunan yang sentralisasi ternyata belum dapat menghasilkan pemerataan pembangunan baik di tingkat pusat maupun di tingkat Provinsi sehingga mendorong dilaksanakannya otonomi daerah. Demikian halnya dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah berjalan lama, namun dalam pelaksanaannya belum sesuai harapan, sehingga desentralisasi fiskal yang dilaksanakan tahun 2001 sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah merupakan penyempurnaan yang sudah pernah berjalan.

Secara administratif, Provinsi Bengkulu berada memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi Lampung. Luas wilayah lebih kurang 1 978 870 hektar dengan jumlah penduduk sampai tahun 2003 sebanyak 1 632 212 jiwa. Seiring berjalannya otonomi daerah di Provinsi Bengkulu tahun 2003 pertumbuhan ekonomi mencapai 1.99 dan terjadi di semua sektor ekonomi, secara khusus sektor yang memberikan pertumbuhan di atas 5 % terjadi pada sektor Perdagangan, hotel dan restoran sebesar 6.04%, sektor Industri pengolahan sebesar 6.03%, sektor Pertanian sebesar 5.77%, sektor Listrik – gas – air minum sebesar 5.57%. Sedangkan sektor lainnya seperti sektor Pertambangan, sektor Bangunan, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Jasa-jasa lainnya tumbuh berkisar 2-4 % (BPS, 2005).

Pada tahun 2003 kesejahteraan penduduk Provinsi Bengkulu yang diindikasikan dengan nilai PDRB per kapita mengalami peningkatan sebesar 13.97% (riil). Peningkatan ini terjadi karena pemerintah Provinsi Bengkulu berupaya untuk meningkatkan perekonomian melalui berbagai cara. Namun


(36)

2

dilihat dari PDRB (pendapatan) perkapita sebesar Rp 2.29 juta/tahun, tingkat kesejahteraan penduduk Provinsi Bengkulu masih jauh berada di bawah rata-rata tingkat kesejahteraan nasional sebesar Rp3.35juta/kapita/tahun. Jumlah penduduk miskin sebanyak 355 200 atau 21.76% dari jumlah penduduk, dan jumlah pengangguran sebanyak 53 836 orang atau 7.18% dari jumlah tenaga kerja yang tersedia.

Kondisi di atas menjadi perhatian besar pemerintah daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang dituangkan dalam rencana strategis pemerintah daerah tahun 2001-2005. Dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi pemerintah Provinsi Bengkulu pada tahun 2003 didukung dengan keuangan daerah yaitu penerimaan daerah berasal dari subsidi pemerintah pusat melalui komponen DAU 80.8%, sementara itu kontribusi PAD baru sebesar 2.72%. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam hal pembiayaan daerah, Provinsi Bengkulu masih sangat tergantung dari pemerintah pusat. Potensi daerah untuk peningkatan PAD khususnya dari komponen pajak dan retribusi yang dilakukan saat ini adalah mengintensifkan sumber-sumber penerimaan pajak yang ada diantaranya : (1) pelaksanaan pemutihan pajak kendaraan bermotor dengan tujuan agar jumlah wajib pajak meningkat, (2) pajak PLN, Telepon, PDAM, (3) penertiban reklame / iklan, (4) pendataan ulang ijin usaha, (5) pengelolaan lokasi parkir.

Hal yang menarik bahwa setelah desentralisasi fiskal, peningkatan DAU sebesar 53.37% berdampak pada meningkatnya pengeluaran rutin secara nominal sampai 60%, dan untuk pengeluaran pembangunan secara nominal hanya meningkat sebesar 28% saja. Peningkatan pengeluaran rutin digunakan untuk pembiayaan pemerintah daerah seperti gaji pegawai sebagai akibat otonomi administrasi antara lain pelimpahan pegawai pusat ke daerah serta besarnya


(37)

3

pembiayaan untuk penyelenggaraan pemerintahan termasuk pembiayaan untuk legeslatif dan eksekutif. Yang menjadi perhatian selanjutnya adalah apakah pemerintah daerah akan berkonsentrasi pada pembenahan administrasi yang akan menyedot anggaran belanja rutin, ataukah akan mendukung pembiayaan pembangunan yang dalam jangka panjang akan berpengaruh pada perekonomian daerah dan kesenjangan pendapatan di daerah.

Tahun 2003 terlihat bahwa prosentase pengeluaran rutin dan pembangunan masing-masing sebesar 354 809.02 juta rupiah atau 78.32% dari total pengeluaran daerah, dan pengeluaran pembangunan sebesar 98 244.68 juta rupiah atau 21.68%. Dari 21.68% dana pembangunan digunakan untuk membiayai 21 sektor antara lain 41.92% untuk pembangunan Infrastruktur, 10.87% untuk Pendidikan, olah raga dan pembinaan wanita, 5.73% untuk pembangunan Pertanian, 4.92% untuk Kesehatan dan Kesejahteraan sosial, 0.77% untuk pembangunan Industri, dan Pariwisata sebesar 0.96%.

Pelaksanaan otonomi daerah membuka cakrawala baru bagi pemerintah daerah untuk lebih leluasa mengembangkan daerahnya untuk mempercepat pencapaian pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah mengubah sistem pengambilan keputusan pembangunan daerah dari konsep top down menjadi

bottom up. Babak baru manajemen pemerintahan dan keuangan daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi kembali ditegaskan dalam Undang-Undang nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Pemerintahan daerah. Pada intinya undang-undang nomor 32 tahun 2004 menegaskan kembali pelaksanaan otonomi dengan menitikberatkan daerah (Kabupaten dan Kota) untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan


(38)

4

pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing daerah, serta peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, kekhususan, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global (Citraumbara, 2004).

Kebijakan desentralisasi fiskal telah memberi keleluasaan daerah untuk menentukan prioritas pembiayaan pembangunan dan peluang peningkatan jumlah dana pembangunan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Dalam hal peningkatan penerimaan, pemerintah daerah mempunyai keleluasaan untuk membelanjakan dana alokasi yang diterima dan kewenangan untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan mampu membuka peluang pemerintah daerah untuk meningkatkan efektifitas pencapaian kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan, selanjutnya diharapkan akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian, perbedaan potensi sumberdaya daerah dan potensi penerimaan fiskal yang dibagihasilkan diperkirakan berdampak negatif terhadap pemerataan pendapataan antar daerah (Bagchi, 1995 ).

Implementasi perimbangan keuangan pusat-daerah (desentralisasi fiskal) yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah menempatkan pemerintah daerah Kabupaten dan Kota pada posisi yang sulit karena pemerintah daerah dihadapkan pada keterbatasan keuangan, sumberdaya manusia (SDM), dan lingkungan usaha yang semakin dinamis sebagai akibat gelombang globalisasi ekonomi. Salah satu kunci utama penentu keberhasilan Pemda terhadap desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dalam implementasi otonomi daerah. Dua hal penting tersebut adalah : (1) apakah Pemda memusatkan perhatiannya untuk memperbesar peranan PAD dalam struktur penerimaan daerah guna meningkatkan kemandirian


(39)

5

keuangannya, dan (2) pemerintah mementingkan peningkatan efektivitas pengeluarannya (expenditure policy) untuk pembangunan yang lebih baik bagi daerahnya.

Apabila kita melihat kondisi keuangan daerah (istilah keuangan daerah selanjutnya menggunakan fiskal daerah) yang diindikasikan oleh penerimaan daerah dan pengeluaran daerah, perkembangan perekonomian yang diindikasikan oleh PDRB dan PDRB per kapita, serta tujuan pemerintah daerah Provinsi Bengkulu maka sungguh ironis bahwa upaya untuk mempercepat pencapaian pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerah hanya didukung oleh penerimaan PAD yang relatif kecil serta kurang didukung pembiayaan pada sektor-sektor yang menghasilkan produksi barang dan jasa. Kondisi daerah dengan pembiayaan yang tergantung dari pemerintah pusat dan belum berjalannya konsep money follows function dalam rangka otonomi daerah merupakan topik yang menarik dan diperlukan untuk diteliti lebih lanjut.

1.2. Perumusan Masalah

Alur Perumusan masalah pada Gambar 1 menggambarkan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan serta keuangan daerah sesuai amanat otonomi daerah, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah khususnya PAD sehingga penerimaan dari pusat khususnya DAU semakin kecil. Di sisi pengeluaran daerah diharapkan ada keseimbangan antara pengeluaran rutin dan pembangunan sehingga aktifitas ekonomi semakin meningkat, pendapatan masyarakat (PDRB per kapita ) semakin besar, serta terjadi pemerataan pendapatan di daerah. Namun demikian dari kondisi daerah serta potensi daerah yang tersedia, muncul beberapa isu yang menarik diteliti dalam rangka desentralisasi fiskal yaitu :


(40)

6

Permasalahan

Bagaimana tingkat kemampuan fiskal daerah khususnya peningkatan PAD dan upaya pemerataan pendapatan, bagaimana kinerja fiskal dan perekonomian daerah setelah desentralisasi, bagaimana dampak pengelolaan pengeluaran daerah setelah desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian daerah, serta kebijakan apa yang berperan meningkatkan kinerja fiskal, perekonomian daerah, dan distribusi pendapatan.

Pemecahan Masalah

Perlu mengkaji sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran daerah, kemampuan fiskal daerah dan distribuís pendapatan antar daerah. Perlu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah.

Perlu mengevaluasi dan meramalkan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah

Sasaran

Peningkatan kemampuan fiskal (kapasitas fiskal) daerah, alokasi pengeluaran daerah sesuai prioritas pembangunan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, mengurangi jumlah pengangguran, dan distribusi pendapatan lebih baik

Fenomena

Kondisi Provinsi Bengkulu UU no.32 dan 33 tahun 2004

Kinerja Perekonomian Daerah :

• Pertumbuhan ekonomi 1.99, PDRB per kapita jauh di bawah rata-rata PDRBK nasional • Distribusi pendapatan semakin tidak merata • Jumlah pengangguran cukup besar (7% dari tenaga kerja yang tersedia), jumlah penduduk miskin 22%

Kinerja Fiskal Daerah :

• Kemampuan fiskal daerah (Rasio kapasitas dan kebutuhan fiskal) rendah, ketergantungan dengan pemerintah pusat sangat tinggi • Kesenjangan fiskal semakin besar/semakin

buruk

• Pengeluaran rutin menjadi prioritas daerah (78% dari total pengeluaran daerah)sementara pembangunan daerah tertunda (22%)

• Mempercepat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat

• Peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan dengan memperhatikan potensi daerah, domokrasi, pemerataan, dan keadilan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat

• PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai potensi sumberdaya daerah • DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan

keuangan antar-daerah melalui penerapan formula dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah dengan demikian DAU berfungsi sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal • Dana perimbangan (DAU,DAK,Dana bagi hasil)

bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah dan antar-pemerintah daerah

• Kewenangan menggunakan anggaran untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal


(41)

7

1. Bagaimanakah kapasitas fiskal daerah khususnya PAD dan pemerataan pendapatan setelah desentralisasi fiskal ?

2. Bagaimanakah kinerja fiskal dan perekonomian daerah di Kabupaten dan Kota setelah desentralisasi fiskal?

3. Bagaimana dampak pengelolaan pengeluaran daerah setelah desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian daerah ?

4. Kebijakan apa yang berperan meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta distribusi pendapatan di Kabupaten dan Kota?

1.3.Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk manganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah Kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengakaji sumber-sumber penerimaan, alokasi pengeluaran, dan kapasitas fiskal daerah, serta distribusi pendapatan di Kabupaten dan Kota sebelum dan setelah desentralisasi fiskal.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal dan perekonomian daerah.

3. Mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah sebelum desentralisasi fiskal tahun 1998 - 2000 dan setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 - 2003 .

4. Meramalkan dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta distribusi pendapatan tahun 2007 - 2010.


(42)

8

1.4. Kegunaan Penelitian

Bagi pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi alternatif kebijakan pemerintah daerah dalam mendorong kinerja fiskal dan perekonomian di daerah, serta menjadi bahan informasi dasar dalam penyusunan rencana strategi pembangunan dan penyempurnaan kebijakan desentralisasi fiskal khususnya serta kebijakan ekonomi daerah pada umumnya.

Bagi peneliti lain dan masyarakat, hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi dasar penelitian lanjutan, serta menjadi bahan kajian mengenai kondisi pertanian dan perekonomian daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terfokus pada implementasi kebijakan desentralisasi fiskal sebagai konsekuensi otonomi daerah, selanjutnya akan dianalisis dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan perekonomian (termasuk sektor pertanian) di daerah Kabupaten dan Kota. Indikator kinerja keuangan daerah (penerimaan dan pengeluaran daerah) selanjutnya dalam tulisan ini digunakan istilah kinerja fiskal daerah. Sedangkan indikator perekonomian daerah meliputi PDRB dari sisi produksi beberapa sektor yaitu sektor Pertanian, sektor Industri, sektor Pertambangan, sektor Pariwisata, sektor Jasa, dan sektor lainnya. Indikator perekonomian lainnya adalah tenaga kerja yang terdiri dari tenaga kerja sektor Pertanian, Industri, Pertambangan, dan tenaga kerja lainnya.

Investasi di daerah hanya terbatas pada investasi Industri sedangkan Investasi swasta merupakan gambaran dari posisi kredit yang digunakan untuk


(43)

9

investasi di bidang pertanian, konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, dan jasa.

1.6. Keterbatasan Penelitian

Kebijakan desentralisasi fiskal menyangkut aspek yang sangat luas baik aspek ekonomi, sosial, politik, maupun administratif termasuk transparansi, korupsi, dan sebagainya. Namun pada penelitian ini aspek penelitian desentralisasi fiskal hanya dibatasi pada aspek ekonomi dengan pertimbangan bahwa ketersediaan informasi pada aspek lainnya masih terbatas. Dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal juga menyangkut semua sektor perekonomian baik sektor Pertanian, Industri, Jasa, dan sektor lainnya serta Investasi.

Cakupan sektoral juga dititik beratkan pada sektor pertanian dengan alasan bahwa : (1) basis ekonomi daerah Kabupaten dan Kota sebagian besar masih bertumpu pada sektor pertanian, (2) sektor pertanian memberikan sumbangan cukup besar dalam PDRB Provinsi Bengkulu yaitu sebesar 42.02% dari 9 sektor terhadap PDRB tahun 2003, (3) sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja cukup besar di daerah yaitu sebesar 69.2%, dan (4) sektor pertanian sampai tahun 2003 masih mendominasi struktur perekonomian di Provinsi Bengkulu.

Data tenaga kerja sektor Pertanian masing-masing subsektor tidak tersaji selengkap pada data produksi maupun pengeluaran pembangunan, sehingga pada model yang berkaitan dengan tenaga kerja subsektor Pertanian digunakan data tenaga kerja sektor pertanian.

Deret waktu yang diambil sebagai bahan penelitian dimulai tahun 1993 mengingat keterbatasan data yang tersedia karena tahun-tahun sebelumnya banyak sektor-sektor produktif yang kantor wilayahnya masih tergabung dengan


(44)

10

Palembang. Sebagai contoh kantor wilayah perbendaharaan negara (KPKN) di Bengkulu baru berdiri sendiri tahun 2000.

Mengingat data dana dekonsentrasi sebelum tahun 2000 tidak dapat dihimpun, maka keuangan daerah hanya terbatas pada anggaran APBD sehingga pada penelitian ini belum mampu melihat pengaruh dana dekonsentrasi terhadap perekonomian di Propinsi Bengkulu.

Akhir penelitian hanya sampai tahun 2003 karena sejak tahun 2004 komponen APBD telah berubah sehingga perlu waktu tersendiri untuk menyesuaikan dengan komponen-komponen pengeluaran pada tahun sebelumnya.

Terbatasnya data permodalan yang dimiliki, sehingga pada penelitian ini dilakukan pendekatan-pendekatan. Sebagai contoh kredit investasi digunakan untuk pendekatan modal yang digunakan dalam model produksi.

Model yang dibangun merupakan model ekonomi tertutup karena ketiadaan data ekspor impor di tingkat Kabupaten dan Kota. Selain itu model perekonomian yang dibangun hanya dari sisi Produksi/Agregat Supply saja sedangkan dari sisi Permintaan Agregat/Agregat Demand tidak dapat disajikan karena data yang berkaitan dengan investasi, ekspor dan impor sangat terbatas.

Investasi pada penelitian ini hanya mampu menggambarkan investasi sektor Industri dan kredit investasi yang merupakan proksi dari investasi swasta, sehingga prilaku investasi daerah tidak dapat disajikan secara lengkap.

Penelitian ini terbatas pada studi Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu sehingga tidak dapat melihat dampak perekonomian daerah terhadap perekonomian nasional, model perekonomian yang dibangun merupakan model perekonomian Provinsi Bengkulu yang diharapkan dapat menggambarkan prilaku fiskal dan perekonomian daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu.


(45)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Selama hampir 32 tahun negara Indonesia dipimpin dengan struktur pemerintah pusat dan daerah melalui sistem sentralisasi baik kewenangan maupun sentralisasi fiskal. Konsep Otonomi Daerah sebenarnya merupakan konsep lama yang pelaksanaannya terus mengalami perubahan sesuai dengan perubahan Undang-Undang yang ditetapkan. Sebelum ditetapkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi beberapa kali perubahan konsep otonomi. Diawali dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1945 menetapkan tiga jenis daerah otonom yaitu Karesidenan, Kabupaten, dan Kota. Otonomi pada rezim ini berupa kewenangan pangkal dan sangat terbatas, dan tidak ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah otonom.

Undang-Undang nomor 22 tahun 1948, terfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Pada rezim ini terdapat dua jenis daerah otonom yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, disamping itu juga terdapat tiga tingkatan daerah otonom yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota besar, dan Desa/Kota kecil. Dalam undang-undang ini pemerintah mulai memperhatikan penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah dengan menerbitkan 33 peraturan pemerintah.

Undang-Undang nomor 1 tahun 1957 merupakan pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia yang meletakkan titik berat


(46)

12

pengaturan pada aspek otonomi yang seluas-luasnya. Dalam undang-undang ini ditetapkan tiga tingkatan daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Kewenangan pemerintahan diatur dengan sekitar 10 peraturan pemerintah.

Undang-Undang nomor 18 tahun 1965 menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya seperti undang-undang sebelumnya. Namun dalam pelaksanaan peraturan pemerintah tidak terdapat aturan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan (desentralisasi) kepada daerah. Dalam undang-undang ini terdapat tiga daerah otonom yaitu Provinsi sebagai Daerah Tingkat I, Kabupaten /Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.

Undang-Undang nomor 6 tahun 1969 yang mengatur tentang pokok-pokok Pemerinrahan Daerah. Sejak terbitnya undang-undang ini maka undang-undang sebelumnya dianggap tidak berlaku lagi. Pemerintah menugaskan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk meninjau kembali undang-undang ini, namun baru terwujud 9 tahun kemudian yaitu terbitnya Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 yang mengatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat ke daerah. Dalam undang-undang ini secara prinsip tidak lagi menerapkan “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi menerapkan “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”, dengan alasan bahwa otonomi yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan ketidakutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam undang-undang ini juga terdapat aturan tentang pentingnya azas dekonsentrasi yang dilaksanakan bersamaan dengan desentralisasi.


(47)

13

Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tuntutan Reformasi tahun 1998 mendorong MPR untuk menetapkan Ketetapan MPR nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Ketetapan ini juga menegaskan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah akan diatur kembali dalam undang-undang. Tujuan perubahan kewenangan pada undang-undang ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi serta keragaman antar daerah.

Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan daerah. Pada undang-undang ini akan mengatur tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pemerintahan daerah. Dengan ditetapkannya undang-undang yang baru ini maka setiap daerah di wilayah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota diberi kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pemerintahannya sehingga memberikan peluang pada daerah untuk leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya sesuai dengan prakarsa dan potensi daerah masing-masing.

Berdasarkan undang-undang ini maka pemerintah daerah sebagai daerah otonom akan menyusun dan membuat berbagai peraturan daerah untuk mengatur


(48)

14

dan sekaligus dijadikan pedoman dalam memajukan daerahnya dan mensejahterakan masyarakatnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa daerah dipersiapkan untuk dapat mandiri dari sisi pemerintahan (yaitu menjadi efektif dan efisien dalam pelayanan kepadaa masyarakatnya) dan mandiri dari sisi perekonomiannya yaitu mampu mengatur dan mengalokasikan keuangan daerah sesuai dengan prioritas daerahnya.

Salah satu aspek penting dari pelaksanaan otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal yaitu pemerintah daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahannya termasuk di bidang keuangan yaitu penerimaan dan pengeluaran daerah. Dari sisi penerimaan, daerah diberi keleluasaan dalam menggali berbagai potensi daerah untuk meningkatkan pendapatan daerahnya, sedangkan di sisi pengeluaran diberikan keleluasaan untuk mengatur alokasi anggaran pembelanjaan untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan daerahnya.

2.2. Desentralisasi Fiskal

2.2.1. Pengertian Desentralisasi Fiskal

Secara umum desentralisasi diartikan sebagai suatu penyerahan (difusi) pendelegasian kekuasaan dan wewenang, dan pendelegasian tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membuat keputusan. Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat ke pemerintah bawahan. Setiap tipe desentralisasi-politik, administratif, fiskal, dan pasar memiliki perbedaan karakteristik, implikasi kebijakan, dan syarat-syarat kesuksesannya. Desentralisasi


(49)

15

mencakup tiga bentuk utama, yaitu delegasi, dekonsentrasi, dan devolusi (Ebel, 1999 ; Rondinelli, 1997).

Delegasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau pemerintah daerah. Delegasi berhubungan dengan suatu situasi di mana daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Dekosentrasi merupakan suatu desentralisasi administratif dari suatu kementerian pemerintah. Devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan di daerah, termasuk kebebasan daerah untuk memungut pajak dan retribusi atas pelayanan yang diberikan. Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang paling ekstensif (Bird, 2000).

Desentralisasi fiskal diartikan sebagai suatu penyerahan, pendelegasian kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab di bidang keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal berfungsi untuk : (1) mengurangi peran dan tanggung jawab pemerintah pada semua tingkat, (2) memperhitungkan bantuan dan transfer antar pemerintahan, (3) memperkuat sistem penerimaan daerah/lokal, (4) memprivatisasi BUMD, dan (5) menyediakan suatu jaring pengaman bagi fungsi redistribusi. Tujuan utama desentralisasi fiskal adalah untuk mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap subsidi dari pemerintah pusat sebagai sumber utama dana pembangunan.

Desentralisasi fiskal dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dapat pula mendorong pertumbuhan melalui efisiensi alokasi sumberdaya pada level daerah. Maksudnya jika investasi infrastruktur lebih banyak atau alokasi sumberdaya lebih efisien untuk


(50)

sektor-16

sektor yang memiliki produktivitas tinggi, maka desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Lin and Liu, 2000).

Davey (1988), mengungkapkan bahwa syarat desentralisasi fiskal sebagai kerangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah : Pertama, sistem fiskal harus memberikan suatu distribusi kekuasaan di antara berbagai tingkat pemerintahan mengenai pemungutan dan pengeluaran sumberdaya pemerintahan (public resources). Walaupun antar pemerintahan tidak bisa disamaratakan tentang banyaknya kewenangan yang diberikan, namun sistem keuangan seharusnya menjamin bahwa penyerahan kewenangan (devolution of descretion) atas sumberdaya keuangan konsisten dengan pelimpahan tanggung jawab pada umumnya.

Kedua, sistem tersebut seharusnya menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumberdaya-sumberdaya masyarakat secara keseluruhan, bagi fungsi-fungsi pemerintahan (pelayanan rutin dan pembangunan) yang diselenggarakan oleh pemerintah regional. Ketiga, sistem tersebut seharusnya sejauh mungkin mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara merata di antara daerah-daerah. Keempat, pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi beban pengeluaran pemerintah pada masyarakat sebagai keseluruhan. Jadi, tampak bahwa tanggung jawab pembiayaan (keuangan) merupakan komponen pokok dari desentralisasi. Pemerintah daerah dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi desentralisasi secara efektif, jika mempunyai penerimaan keuangan yang cukup, baik yang berasal dari sumber lokal maupun dari transfer pemerintah pusat sebagaimana kekuasaan untuk membuat keputusan pengeluaran.


(51)

17

Adapun wujud desentralisasi fiskal berupa : (1) pembagian peran dan tanggung jawab antar pemerintah, (2) transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke daerah, (3) penguatan sistem penerimaan dan sistem pelayanan publik pemerintah lokal, (4) privatisasi badan usaha milik negara yang kadang-kadang merupakan tanggung jawab lokal, (5) penyediaan jaring pengaman (sefety net), dan (6) ekspansi penerimaan lokal melalui pajak (Ebel, 1999 ; Rondinelli, 1997).

2.2.2. Manfaat Desentalisasi Fiskal

Pentingnya desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang berbeda argumentasi. Pertama, desentralisasi fiskal itu penting karena dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas, dan peningkatan mobilisasi dana. Kelompok kedua : tak satupun dari manfaat tersebut akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah dan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mendekati nihil. Dari perspektif ini desentralisasi nampaknya cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan mungkin menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan makroekonomi (Prud’ Homme, 1994 ).

Beberapa dampak langsung terhadap pemerintah daerah seperti yang ditulis Sinaga, et al (2004) adalah :

1. Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti : Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA), Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU, dan DAK


(52)

18

3. Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk pusat

4. Kewenangan menerbitkan perda dalam kepentingan pembangunan daerah 5. Kewenangan melakukan pinjaman

Kapasitas pemerintah lokal untuk pembangunan ekonomi daerahnya sangat ditentukan oleh seberapa besar peranan pemerintah lokal, pengusaha lokal dan sektor-sektor swasta mensikapi desentralisasi. Dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten / Kota se Jawa dan Bali dilakukan oleh Adi (2005), hasil temuannya antara lain menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, dan daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini sejalan dengan Lin and Liu (2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari beberapa daerah, ternyata tidak semua daerah siap melakukan desentralisasi fiskal, data awal menunjukkan bahwa 46% daerah pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapitanya berada di bawah rata-rata. Faktor ini yang diindikasikan sebagai alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah.

Dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja makroekonomi antara lain adalah : Pengeluaran pemerintah merupakan instrumen fiskal yang diyakini memberikan multiplier effect bagi perekonomian sehingga mampu menutupi sifat penarikan dari pajak sebagai komponen penerimaan. Oleh karena itu, pengeluaran pemerintah memiliki peran cukup penting untuk menstimulir permintaan agregat dan output. Dengan tehnik regresi, Yudhoyono (2004) menyimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan GDP.


(53)

19

Hasil lain menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan yang dialokasikan untuk sektor pertanian memiliki pengaruh terhadap output (GDP) pertanian yang relatif tinggi. Disimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran pembangunan meningkatkan GDP pertanian, hal ini mengindikasikan bahwa tambahan dari pemerintah berupa dana pembangunan bagi sektor pertanian berperan positif untuk menstimulir pertumbuhan output pertanian. Namun untuk sektor industri terjadi hal sebaliknya yaitu pengeluaran pemerintah di sektor industri harus dikurangi. Pada indikator lain, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan secara umum diharapkan dapat mengurangi laju pengangguran dan jumlah penduduk miskin (Yudhoyono, 2004).

2.2.3. Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Desentralisasi fiskal di Indonesia sudah berjalan lama, namun dalam pelaksanaannya belum sesuai harapan, sehingga desentralisasi fiskal yang dilaksanakan tahun 2001 sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah merupakan penyempurnaan yang sudah pernah berjalan. Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah berisi pedoman resmi tentang distribusi tanggung jawab di antara berbagai jenjang pemerintahan. Undang-undang ini telah meletakkan sistem hubungan pusat dan daerah dalam tiga prinsip. Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti pengkoordinasian prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi


(54)

20

oleh Kepala daerah yang memiliki fungsi ganda sebagai pemerintahan tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah (SETNEG, 1999).

Undang-Undang nomor 5 tahun 1974, juga mengatur sumber-sumber penerimaan keuangan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bantuan pemerintah pusat, dan bagi hasil pajak. Aspek keuangan ini merupakan salah satu indikator untuk melihat implementasi desentralisasi. Berdasarkan kondisi keuangan daerah, memperlihatkan perkembangan desentralisasi sangat lamban dan masih berada dalam kerangka sentralisasi. Hal ini dapat dilihat dari realitas hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah. Proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah sangat rendah dibandingkan dengan besarnya bantuan yang ditransfer dari pemerintah pusat.

Rendahnya PAD di satu sisi, dan dominannya transfer dari pemerintah pusat menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah masih sangat tinggi sehingga kurang leluasa mengatur diri sendiri. Hal ini memberi kesan bahwa pelaksanaan dekonsentrasi masih jauh lebih kuat daripada desentralisasi. Fenomena campur tangan pusat dan ketergantungan daerah yang tinggi melahirkan banyak kritik. Sebagai respon terhadap berbagai kritik, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1992 untuk mengatur lebih jelas mengenai proses desentralisasi. Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk mentransfer beberapa tanggung jawab pemerintah pusat dan Provinsi kepada pemerintah daerah Kabupaten / Kota. Penegasan kembali komitmen desentralisasi juga tertuang dalam GBHN tahun 1994 (SETNEG, 1999).


(55)

21

Implementasi Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dimulai tahun 2005, di mana pada APBN mulai dicantumkan dana perimbangan daerah yang meliputi dana bagi hasil (DBH) atas penerimaan pajak dan sumber daya alam (SDA), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). DAU merupakan transfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat block grant yang kewenangan pengaturan penggunaannya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tujuan pemberian otonomi daerah. Besarnya DAU sesuai pasal 27 undang-undang nomor 33 tahun 2004 ditetapkan minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri dalam konsep neto. Konsep neto yang dimaksud yaitu penerimaan dalam negeri bruto dikurangi penerimaan yang telah dibagihasilkan. Sedangkan DAK sesuai dengan pasal 38 Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dengan menggunakan rumus DAU, serta pembiayaan proyek yang merupakan komitmen atau prioritas nasional (Wijaya, 2002 ; Citraumbara, 2004).

Transfer intrapemerintahan digunakan untuk memenuhi berbagai tujuan dan kerangka skema transfer, tergantung pada tujuan pemberian transfer itu sendiri. Dalam literatur keuangan negara, transfer federal direkomendasikan untuk menutupi kesenjangan fiskal, pemerataan, eksternalitas, dan penggalangan penyediaan barang berkualitas (Davey, 1988).

Salah satu alasan penting untuk melakukan transfer adalah untuk memberdayakan pemerintah bawahan dalam melaksanakan fungsi-fungsi mereka secara memuaskan, yaitu jika penerimaan mereka tidak mencukupi. Hal ini dapat terjadi karena pemerintah pusat memiliki keuntungan komparatif dalam


(56)

22

mengumpulkan penerimaan-penerimaan, sedangkan pemerintah lokal/daerah memiliki keuntungan komparatif dalam pengeluaran. Fane (2003) menyebutkan bahwa ketimpangan fiskal secara vertikal yang terjadi harus diimbangi oleh suatu sistem transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bertujuan : 1. Untuk pemerataan. Kesenjangan antara kapasitas penerimaan dan kebutuhan

pengeluaran yang bervariasi antar daerah tergantung pada jenis dan basis pajak mereka, jumlah dan komposisi penduduk, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi biaya penyediaan pelayanan-pelayanan pemerintah. Daerah-daerah yang memiliki kapasitas penerimaan fiskal yang lebih tinggi, dapat menyediakan standar-standar pelayanan umum yang lebih baik. Sebaliknya, daerah-daerah yang penerimaan fiskal lebih rendah tidak dapat menyediakan pelayanan umum yang lebih baik. Untuk mengimbangi sisi lemah dari perbedaan fiskal ini diperlukan transfer dengan tujuan pemerataan. Konsep transfer pemerataan didasari landasan-landasan keadilan horisontal. Untuk melaksanakan amanat konsep keadilan, pemerintah pusat wajib memberikan transfer sehingga setiap pemerintah daerah berdaya untuk menyediakan pelayanan-pelayanan umum dengan standar relatif sama dengan tingkat pajak tertentu. Sebaliknya, dalam cakrawala sempit keadilan horisontal, dengan menjadikan standar pendapatan riil yang diperoleh masing-masing orang dari aktivitas-aktivitas anggaran lokal sebagai titik awal dan kegiatan fiskal pusat yang akan diarahkan untuk menjamin keadilan horisontal.

2. Untuk mengatasi dampak eksternalitas (spillover effect). Penyediaan pelayanan umum oleh pemerintah regional dapat merembes ke luar wilayah, dan eksternalitas yang demikian dapat menyebabkan penyediaan


(57)

pelayanan-23

pelayanan umum yang tidak optimal. Untuk mencapai biaya yang tepat, transfer dengan tujuan khusus yang disediakan bagi daerah untuk menjamin pelayanan-pelayanan yang optimal menghendaki adanya dana pendamping dari daerah yang bersangkutan.

Secara umum, transfer dari pemerintah pusat ke daerah dibedakan ke dalam dua jenis yaitu : (1) bantuan blok (block grants) atau disebut juga bantuan umum (general grants) atau bantuan tak bersyarat (unconditional grants), dan (2) bantuan khusus (specific grants) atau disebut juga bantuan bersyarat (conditional grants). Bantuan blok adalah jenis transfer antar pemerintahan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu. Tujuan utamanya adalah untuk menyediakan dana yang cukup bagi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Selain itu, bantuan ini dapat dipandang sebagai mekanisme transfer daya beli dari satu tingkat pemerintah kepada tingkat yang lain. Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal sekaligus mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah (Sinaga dan Siregar, 2003).

Dengan perkataan lain, pemerintah daerah memiliki kebebasan dalam mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran yang sesuai dengan pilihan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Sedangkan bantuan khusus adalah jenis bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam hal jenis bantuan yang bersifat khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam


(58)

24

pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat(Mahi, 2000).

Di samping transfer antar pemerintahan, bagi hasil pajak dan non pajak merupakan salah satu bentuk lain dari alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pajak-pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat dibagikan sebagian atau seluruhnya kepada pemerintah regional (daerah). Masing-masing daerah dapat memperoleh bagian sesuai dari jumlah pajak atau penerimaan yang dikumpulkan dari dalam batas wilayahnya, hasil pajak dan non pajak dibagikan menurut asal perolehannya. Pilihan lainnya, bagian regional (daerah) dapat dihimpun dan didistribusikan menurut suatu kriteria yang tidak berhubungan langsung dengan asal pajaknya (Bagchi, 1995 ; Davey, 1988).

Beberapa penjelasan umum mengenai bagi hasil pajak dan non pajak adalah 1. Pemberian bagi hasil pajak dalam teori, mungkin bersifat kebijakan seperti halnya perhitungan bantuan. Pemerintah tidak akan mengubah suatu pemberian yang merugikan pemerintah daerah tanpa konsultasi dan persetujuan.

2. Devolusi dari suatu sumber pajak mungkin bukanlah suatu alternatif yang dapat dilaksanakan baik karena kendala administratif regionalisasi pajak maupun kerena ketidaksediaan secara politis oleh pemerintah pusat.

3. Apabila pajak yang dibagihasilkan itu punya potensi besar, pemerintah regional dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota akan menerima pertumbuhan penerimaan secara otomatis (Bagchi, 1995 ; Davey, 1988).

Pendapatan asli daerah (regional own revenue) adalah pendapatan daerah yang berasal dari sumber-sumber daerah itu sendiri. Pendapatan asli daerah meliputi pajak-pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari badan usaha milik


(59)

25

daerah, dan jenis pendapatan lainnya yang sah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh penggalian sumber-sumber pendapatan asli daerah serta pengalokasianya tanpa pengaturan pemerintah pusat yang ketat.

Pajak dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang terbesar. Pajak merupakan pungutan yang merupakan hak prerogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dan tidak ada balas jasa langsung yang dapat ditunjukkan penggunaannya. Jenis pajak dapat dikategorikan ke dalam pajak langsung (seperti pajak penghasilan, pajak kekayaan), dan pajak tidak langsung (seperti pajak ekspor, pajak impor, pajak pertambahan nilai, cukai, royalti, pajak penjualan, dan sebagainya). Sedangkan pungutan pemerintah karena pembayar menerima jasa tertentu secara langsung dari pemerintah disebut retribusi (Mangkusubroto, 1998).

2.2.4. Permasalahan dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal

Implementasi otonomi daerah termasuk desentralisasi fiskal sejak tahun 2001 mulai ditemukan beberapa permasalahan antara lain kesiapan berbagai pihak seperti pemerintah, birokrasi pemerintah daerah, partisipasi masyarakat, dan sumberdaya manusia (Tanjung, 2001). Temuan lain dari Raharjo (2001) antara lain adalah pemerintah daerah yang menginginkan sumber pendapatan baru dapat memperluas pajak dan pungutan retribusi. Kondisi ini harus diimbangi dengan insentif kepada masyarakat. Masalah pajak dan retribusi di era desentralisasi fiskal memang menjadi topik utama dalam rangka kewenangan pemerintah daerah dalam menggali potensi daerahnya.


(60)

26

Kekawatiran lain adalah adanya dana perimbangan yang berasal dari bagi hasil sumberdaya alam akan berpotensi meningkatkan ketimpangan ekonomi antar daerah yang kaya sumberdaya alam dan daerah yang miskin sumberdaya alam. Simanjuntak1 menyatakan bahwa dari 444 Kabupaten dan Kota di Indonesia sekitar 80% merupakan daerah rural /pedesaan yang potensi penerimaan PAD rendah dan 20% merupakan daerah urban / perkotaan yang potensi PAD cukup besar. Kondisi ini juga berpotensi menimbulkan kesenjangan pendapatan antar daerah. Di sisi lain desentralisasi fiskal juga akan berdampak meningkatnya biaya perekonomian /high cost economy di daerah akibat berbagai pungutan dalam bentuk perda-perda baru.

Canaleta (2002) dalam Abdullah (2005) menyatakan bahwa hasil desentralisasi adalah sebuah ketidakseimbangan distribusi sumber-sumber antar daerah yang akhirnya akan menimbulkan disparitas ekonomi. Senada dengan itu, Azfar et al (1999) dalam Abdullah (2005) juga berpendapat bahwa desentralisasi dapat memperlebar desparitas daerah dalam pengeluaran sosial jika pemerintah daerah bertanggung jawab dalam pendanaan dan implementasinya. Sebagai contoh desentralisasi di Cina meningkatkan lokal desparitas dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dalam hal pengalokasian anggaran juga menjadi masalah dalam keuangan daerah sehingga dibutuhkan efektifitas dan efisiensi anggaran pengeluaran.

2.3. Pembangunan

Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk sesuatu masyarakat meningkat

1


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)