Analisis Dampak Penerapan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kota Magelang

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berupaya meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih baik dan merata. Pembangunan nasional merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan nasional ini lebih di dominasi oleh pemerintah pusat sehingga bersifat sentralistik. Hal ini berarti bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang sangat besar.

Pembangunan yang sentralistik mengakibatkan pembangunan daerah menjadi tidak optimal dan terjadi ketimpangan antar wilayah. Ketimpangan antar wilayah yang terjadi baik dari segi pendapatan daerah maupun pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga, penyelenggaran pemerintahan yang terpusat menyebabkan kurangnya keterlibatan dan peran serta pemerintah daerah dalam mengambil keputusan untuk pembangunan daerah sehingga menimbulkan ketergantungan pemerintah daerah pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah menjadi tidak memiliki kemandirian lagi karena pemerintah daerah harus menunggu setiap keputusan dari pemerintah pusat.

Pada tahun 2001, kerangka pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia mulai diarahkan untuk mendorong terjadinya pembangunan daerah secara merata melalui desentralisasi fiskal. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat memacu terjadinya pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan peran serta masyarakat dalam


(2)

pembangunan daerah, meningkatkan potensi keuangan daerah serta kinerja ekonomi daerah secara optimal. Pemberlakuan peraturan desentralisasi fiskal yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah. Setelah diamandemen berubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, menegaskan mengenai konsekuensi otonomi daerah yang menyebabkan pelaksanaan wewenang pemerintahan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Pada masa desentralisasi fiskal, proses pembangunan daerah disesuaikan dengan potensi daerah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan daerah tersebut. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang leluasa bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah secara optimal. Sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan pendapatan daerah lainnya yang sah. Sumber-sumber pendapatan tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan daerah. Terciptanya potensi keuangan daerah yang optimal dengan pengelolaan daerah yang efektif dan efisien, sehingga pembangunan daerah menjadi lebih merata.

Kota Magelang merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang wilayahnya cukup strategis karena posisinya terletak tepat di tengah-tengah Pulau Jawa dan berada di tengah-tengah Provinsi Jawa Tengah menurut Rencana Tata Ruang Nasional, serta sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) kawasan Purwomanggung (Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten


(3)

Temanggung, Kota Magelang dan Kabupaten Magelang). Kondisi ini sangat menguntungkan Kota Magelang karena memudahkan jalur perhubungan dengan kota-kota sekitarnya, seperti Yogyakarta, Semarang dan Solo. Selain itu juga, Kota Magelang terletak pada jalur transportasi perekonomian Pulau Jawa sehingga Kota Magelang mempunyai peran penting bagi perekonomian untuk meningkatkan pendapatan daerah yang berpotensi untuk diteliti lebih lanjut.

Keberhasilan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah seharusnya diimbangi oleh peningkatan kinerja ekonomi daerah untuk membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal dan bermatapencaharian di Kota Magelang. Upaya peningkatan potensi keuangan daerah merupakan amanat UU Otonomi Daerah yang sangat terkait dengan kinerja ekonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Berdasarkan pemaparan diatas, maka akan dilakukan penelitian yang lebih jauh mengenai “Dampak Penerapan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kota Magelang”.

1.2. Perumusan Masalah

Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal seharusnya memberikan perubahan dalam struktur keuangan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal seharusnya dimanfaatkan oleh pemerintah Kota Magelang untuk meningkatkan pendapatan daerah. Setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal, pendapatan daerah Kota Magelang mengalami fluktuasi. Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa


(4)

total pendapatan daerah Kota Magelang mengalami fluktuasi dan paling rendah apabila dibandingkan dengan Kota Semarang, Kota Surakarta dan Kota Tegal. Tabel 1.1. Pendapatan Daerah Kota Magelang, Kota Semarang, Kota Surakarta

dan Kota Tegal Tahun 2001-2010 ( jutaan rupiah)

Tahun Kota Magelang Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal 2001 130.926,32 448.627,50 216.027,25 228.508,78 2002 167.952,41 544.904,64 266.940,39 318.324,43 2003 178.643,72 637.999,64 356.483,58 245.408,38 2004 178.861,46 699.321,49 365.405,61 255.045,40 2005 192.088,70 790.214,16 373.629,93 261.568,92 2006 290.801,40 1.055.716,85 510.880,03 262.623,56 2007 325.829,69 1.164.934,58 601.429,87 262.907,68 2008 329.850,97 1.237.782,72 621.718,59 263.191,81

2009 375.119 1.369.671 772.784 390.650

2010 372.364 1.378.070 828.635 398.091

Sumber : BPS Pusat, 2001-2010

Berdasarkan Tabel 1.1, pendapatan daerah Kota Magelang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sejak tahun 2001 pendapatan daerah Kota Magelang mengalami peningkatan sebesar 130.926,32 juta rupiah hingga tahun 2009 375.119 juta rupiah. Pendapatan daerah Kota Magelang mengalami penurunan pada tahun 2010 sebesar 372.364 juta rupiah. Pendapatan daerah Kota Magelang paling rendah apabila dibandingkan dengan kota-kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang mempunyai pendapatan daerah paling tinggi yaitu sebesar 448.627,50 juta rupiah tahun 2001 yang terus meningkat hingga sebesar 1.378.070 juta rupiah tahun 2010. Setelah itu pendapatan daerah yang tinggi selain Kota Semarang yaitu Kota Surakarta dan Kota Tegal. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah Kota Maeglang belum bisa mengelola potensi keuangan daerah secara optmial.

Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Kinerja ekonomi daerah Kota Magelang dicerminkan oleh PDRB yang


(5)

terlihat pada PDRB perkapita. Tabel 1.2 menyajikan PDRB perkapita Kota Magelang dengan kota-kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah, yaitu: Kota Semarang, Kota Surakarta dan Kota Tegal.

Tabel 1.2. PDRB Perkapita Kota Magelang, Kota Semarang, Kota Surakarta dan Kota Tegal Tahun 2001-2010 (rupiah)

Tahun Kota Magelang Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal 2001 6.189.546,51 9.934.529,18 5.690.706,35 3.177.538,12 2002 6.513.975,82 10.343.145,04 6.172.731,31 3.414.780,64 2003 7.049.757,23 10.826.285,84 7.093.055,05 3.727.893,76 2004 7.218.573,07 11.085.412,96 7.152.440,14 3.912.200,67 2005 7.488.622,11 11.503.021,77 7.220.682,75 4.087.745,14 2006 7.612.207,32 12.053.338,15 7.930.485,11 4.291.327,99 2007 7.828.477,85 12.516.956,47 8.351.806,79 4.502.553,60 2008 8.389.556,01 12.617.054,36 9.114.819,14 4.873.453,79 2009 8.827.159,92 13.121.875,16 9.650.133,95 5.115.163,45 2010 9.376.907,94 13.731.386,57 10.221.325,98 5.348.637,52 Sumber : BPS Jawa Tengah dan BPS Kota Magelang, 2001-2010

Berdasarkan Tabel 1.2, PDRB perkapita Kota Magelang mengalami peningkatan setiap tahunnya, yaitu sebesar 6.189.546,51 rupiah pada tahun 2001 dan meningkat terus hingga tahun 2010 sebesar 9.376.907,94 rupiah, tetapi PDRB perkapita Kota Magelang perkembangannya relatif lebih rendah dan kecil dibandingkan Kota Semarang dan Kota Surakarta.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka relevan dilakukan penelitian mengenai “Dampak Penerapan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kota Magelang”. Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Bagaimana dampak desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja perekonomian Kota Magelang?

2) Bagaimana dampak desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap potensi keuangan daerah Kota Magelang?


(6)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam perumusan masalah diatas, yaitu :

1) Menganalisis dampak penerapan desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja perekonomian Kota Magelang.

2) Menganalisis dampak penerapan desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap potensi keuangan daerah Kota Magelang.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi para akademisi, lembaga pemerintahan maupun bagi masyarakat Kota Magelang pada khususnya. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian sebagai berikut : 1) Bagi peneliti sendiri, penelitian ini menjadi jawaban atas permasalahan yang

ingin diketahui dan menjadi tambahan pengetahuan.

2) Bagi pemerintah daerah Kota Magelang, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi tambahan dalam mengambil kebijakan menyangkut keuangan daerah serta kinerja ekonomi dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal di Kota Magelang.

3) Bagi masyarakat, mahasiswa dan peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi, tambahan pengetahuan, dan sumber rujukan bagi penelitian terkait selanjutnya bagi peneliti yang berminat di keuangan daerah.


(7)

1.5. Ruang Lingkup

1) Penelitian ini memaparkan dampak desentralisasi fiskal yang hanya dilihat dari kondisi sebelum dan sesudah penerapan desentralisasi fiskal, yaitu melalui penggunaan variabel dummy.

2) Perekonomian daerah dalam penelitian ini diasumsikan dalam kondisi sistem ekonomi tertutup, tidak memasukkan pengaruh kegiatan ekspor impor. Pada kenyataannya dalam perekonomian regional, tenaga kerja, modal, barang, dan jasa bersifat dinamis antar wilayah.

3) Kinerja perekonomian dalam penelitian ini diperlihatkan oleh variabel konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah, sebagai komponen dari PDRB.

4) Potensi keuangan daerah dalam penelitian ini digambarkan sebagai komponen-komponen penerimaan daerah yang mempunyai peluang untuk ditingkatkan kontribusinya terhadap APBD Kota Magelang apabila faktor-faktor pendukungnya juga dioptimalkan. Komponen- komponen tersebut meliputi pajak, retribusi, laba perusahaan daerah dan dana bagi hasil.

5) Penelitian ini hanya fokus pada penerimaan yang terdiri dari anggaran komponen pendapatan daerah dan pengeluaran hanya membahas belanja pemerintah daerah saja.

6) Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1995-2011. Penelitian ini menggunakan metode two stage least square. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SAS 9.1.3 dan Minitab.


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Konsep dan Teori

2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi

Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan mengenai pengertian desentralisasi. Desentralisasi (otonomi daerah) adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya dijelaskan bahwa daerah tersebut disebut daerah dengan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.

Menurut Saragih (2003), UU Otonomi Daerah telah ditegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi rmasyarakat. Wewenang daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom sudah diatur secara tegas, disebutkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja.

Pada hakekatnya, pelaksanaan otonomi daerah menurut Ritonga (2001) merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah untuk mengelola potensi yang ada di daerah, yang diikuti dengan penyerahan personil,


(9)

prasarana, pembiayaan dan dokumen. Selain itu, hubungan keuangan antara pusat dan daerah menyangkut masalah keadilan diwujudkan dengan alokasi dana bagi hasil, sedangkan pemerataan diimplementasikan dengan alokasi umum dan pembagian sumberdaya yang ada. Hubungan tersebut menyangkut pembagian kekuasaan dan pemerintahan. Hak untuk mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan. Elmi (2002) menyatakan bahwa pada garis besarnya konsep desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu : desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal. Ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain, dan seharusnya dilaksanakan bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti peningkatan kualitas layanan publik tidak terbengkalai.

Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah di satu pihak dalam rangka mendukung kebijakan makro nasional yang bersifat strategis dan di lain pihak dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Selain itu otonomi daerah bertujuan untuk :

1) Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah.

2) Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam.


(10)

3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah melalui penyediaan anggaran pendidikan yang memadai.

4) Meningkatkan pembangunan di seluruh daerah berlandaskan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.

2.1.2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan mengarah pada kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemahaman lain dari kebijakan fiskal adalah kebijakan penggunaan pajak, pinjaman masyarakat dan pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi dan pembangunan. Kebijakan fiskal ini merupakan sarana untuk menggalakkan pembangunan ekonomi yang bertujuan: (1) meningkatkan laju investasi, (2) mendorong investasi optimal secara sosial, (3) meningkatkan kesempatan kerja, (4) meningkatkan stabilitas ekonomi di tengah ketidakstabilan internasional, (5) menanggulangi inflasi, (6) meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional (Jhingan, 2000).

Instrumen kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah dan pembayaran transfer. Artinya, dalam melaksanakan kebijakan fiskal maka variabel-variabel tersebut bisa diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan. Jika pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal diusahakan kontraktif. Hal itu ditandai dengan penurunan pengeluaran pemerintah atau peningkatan pajak. Dengan demikian permintaan agregat di dalam perekonomian


(11)

akan turun dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga. Sebaliknya, jika pemerintah ingin meningkatkan tingkat lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran, maka kebijakan fiskal yang ditempuh adalah bersifat ekspansif. Dimana pengeluaran pemerintah dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian sehingga terjadi ekspansi dalam perekonomian.

2.1.3. Desentralisasi Fiskal

Menurut Elmi (2002), desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Setidaknya terdapat empat agen yang berperan penting dalam desentralisasi fiskal, yaitu : pemerintah pusat, unit-unit administratif lokal, pemerintah daerah dan penduduk setempat atau entitas politik.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitannya dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Desentralisasi juga merupakan suatu bentuk pemindahan tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang dari tingkat pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Keputusan untuk melakukan desentralisasi dikarenakan faktor pemerintah daerah yang lebih dekat


(12)

dengan masyarakat di daerahnya. Sebab disatu sisi apabila desentralisasi dilakukan akan berpengaruh secara langsung dan nyata terhadap masyarakat itu sendiri.

Desentralisasi fiskal menjadi salah satu “pilar” dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah. Desentralisasi fiskal dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dapat pula mendorong pertumbuhan melalui efisiensi alokasi sumberdaya pada level daerah. Wujud desentralisasi fiskal berupa : (1) pembagian peran dan tanggung jawab antar pemerintah, (2) transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke daerah, (3) penguatan sistem penerimaan dan sistem pelayanan publik pemerintah lokal, (4) privatisasi badan usaha milik negara, yang terkadang merupakan tanggung jawab lokal, (5) penyediaan jaring pengaman (safety net), dan (6) ekspansi penerimaan lokal melalui pajak (Ebel, 1999; Rondinelli, 1997 dalam Yuliyati, 2002).

2.1.4. Manfaat dan Kerugian Desentralisasi Fiskal

Menurut Prud’Homme (1994) dalam Yuliyati (2002), pentingnya desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang berbeda argumentasi. Pertama: desentralisasi fiskal itu penting karena dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Kelompok kedua : tak satupun dari manfaat tersebut yang akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah dan kapasitas kelembagaan pemerintah


(13)

daerah mendekati nihil. Dari perspektif ini, desentralisasi fiskal nampaknya cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah dan mungkin bisa menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan makroekonomi.

Beberapa dampak langsung terhadap pemerintah daerah seperti yang ditulis oleh Sinaga, et al (2005) adalah :

1) Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti : Bagi hasil Sumber Daya Alam (BHSDA), Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU dan DAK.

2) Kewenangan menarik pajak dan retribusi.

3) Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk dari pusat.

4) Kewenangan menerbitkan peraturan daerah (perda) dalam kepentingan pembangunan daerah.

5) Kewenangan melakukan pinjaman.

Sedangkan menurut Kaho (2003) dalam Hermani (2007), ada beberapa kerugian yang bisa ditimbulkan akibat desentralisasi fiskal yaitu :

1) Karena besarnya organ-organ pemerintah maka struktur pemerintahan menjadi kompleks sehingga mempersulit koordinasi.

2) Keseimbangan dan keserasian antar kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.

3) Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat menimbulkan apa yang disebut daerahisme.


(14)

5) Dalam menyelenggarakan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak.

2.1.5. Konsep Kinerja Perekonomian Daerah

Kinerja perekonomian daerah menggambarkan kondisi perekonomian daerah yang tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan analisis makroekonomi dalam sistem ekonomi tertutup untuk melihat hubungan ekonomi regional dengan keuangan daerah. Kondisi perekonomian suatu daerah tercermin dalam PDRB. Asumsi perekonomian tertutup yaitu suatu negara atau daerah tidak melakukan perdagangan dengan negara atau daerah lain yang memiliki tiga penggunaan untuk barang dan jasa yang dihasilkannya. Menurut Mankiw (2003), tiga komponen PDRB ditunjukkan dengan identitas pos pendapatan, sebagai berikut :

Y = C + I + G ...(2.1) Y = PDRB = C + I + G ...(2.2) dimana :

C : Pengeluaran untuk konsumsi I : Pengeluaran untuk investasi G : Pengeluaran pemerintah

Berdasarkan model di atas, rumah tangga memiliki arti sebagai output perekonomian. Perusahaan dan rumah tangga menggunakan sebagai output untuk investasi dan pemerintah membeli sebagian output untuk kepentingan publik.


(15)

Oleh sebab itu, di dalam perekonomian tertutup PDRB dialokasikan di antara ketiga penggunaan tersebut.

2.1.5.1. Konsumsi Rumah Tangga

Menurut Mankiw (2003) menyatakan bahwa konsumsi agregat merupakan salah satu komponen penentu tingkat kegiatan ekonomi dari pengeluaran agregat yang mendorong kenaikan pendapatan nasional/daerah. Tingkat konsumsi masyarakat ditentukan oleh pendapatan rumah tangga dan besarnya permintaan konsumsi tergantung pada kecenderungan untuk memgkonsumsi atau Marginal Propensity to Consume (MPC) yang dirumuskan sebagai berikut :

MPC = ∆C /∆Yd ...(2.3) dimana :

C : Konsumsi

Yd : Pendapatan Disposable

Antara pendapatan dan konsumsi ada investasi, dimana apabila tingkat investasi yang dibutuhkan relatif sedikit dan turun, maka tingkat permintaan agregat akan menurun (Mankiw, 2003). Investasi menurun mengakibatkan kesempatan kerja menurun, sehingga penduduk kehilangan sebagian pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang di dalam perekonomian. Demikian juga sebaliknya, konsumsi akan meningkat pada tingkat investasi yang tinggi, karena kesempatan kerja akan meningkat dan menambah pendapatan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif. Selain pendapatan, faktor lain


(16)

yang menentukan jumlah konsumsi adalah jumlah kekayaan, tingkat suku bunga, kondisi perekonomian dan distribusi pendapatan.

Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh daya beli yang dimiliki oleh rumah tangga, yaitu jumlah pendapatan yang siap untuk dibelanjakan (disposable income). Disposable income adalah pendapatan kotor dikurangi dengan pajak pendapatan.

Yd = Y – Tx ...(2.4) dimana :

Yd : Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) Y : Pendapatan nasional

Tx : Pajak

Rumah tangga dalam menggunakan pendapatannya memiliki pilihan yaitu antara konsumsi saat ini atau menabung. Penentuan pilihan antara konsumsi dan menabung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat suku bunga, nilai aset, ketidapastian dan lain-lain. Namun dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang sederhana dimana :

C = a + b Yd ...(2.5) S = Yd – C ...(2.6) S = Yd – a – b Yd ...(2.7) S = -a + (1 – b) Yd ...(2.8) dimana :

C : Nilai Konsumsi

Yd : Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) S : Tabungan


(17)

A : Autonomous consumption

Model (2.5) di atas menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari

disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut fungsi konsumsi. Apabila nilai MPC berkisar antara nol dan satu, sehingga jika terjadi kenaikan pendapatan disposable income sebesar satu rupiah, maka akan meningkatkan konsumsi kurang dari satu rupiah dan sisanya akan digunakan untuk menabung. Nilai penjumlahan MPC dan MPS (magrinal propensity to save) adalah satu. Oleh sebab itu, tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi disposable income, tetapi juga dipengaruhi oleh suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mendorong masyarakat untuk menabung dan mengurangi tingkat konsumsinya.

2.1.5.2. Investasi

Investasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan merupakan unsur yang paling penting dalam meningkatkan perekonomian. Ada beberapa faktor yang menyebabkan besar kecilnya suatu investasi, faktor-faktor tersebut adalah tingkat suku bunga, penyusutan, kebijakan perpajakan dan perkiraan/peramalan tentang penjualan serta kebijakan ekonom (Nopirin, 1996)

Menurut Mankiw (2003) menyatakan bahwa fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil. Model yang mengaitkan investasi pada tingkat suku bunga riil adalah sebagai berikut :

I = I (r) ...(2.9) Tingkat suku bunga riil adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi, sedangkan tingkat suku bunga nominal adalah tingkat bunga


(18)

yang biasa dilaporkan atau tingkat bunga yang investor bayar untuk meminjam uang. Jika tingkat suku bunga nominal adalah 8 persen dan tingkat inflasi 3 persen, maka tingkat suku bunga riil adalah 5 persen. Dengan demikian investasi tergantung pada tingkat suku bunga riil, karena tingkat suku bunga riil merupakan biaya pinjaman. Kurva fungsi investasi miring ke bawah, artinya ketika tingkat suku bunga riil (r) naik, maka semakin sedikit investasi (I) yang menguntungkan.

Tingkat bunga riil (r)

I = I (r)

Investasi (I) Gambar 2.1. Fungsi investasi pada tingkat bunga riil

Sumber : Mankiw, 2003

2.1.5.3. Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah adalah komponen ketiga dari permintaan terhadap barang dan jasa. Menurut Dornbusch (2008) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan belanja pemerintah untuk barang dan jasa. Komponen ini termasuk beberapa hal seperti pengeluaran pertahanan nasional, biaya pemeliharaan jalan oleh pemerintah negara bagian dan lokal, serta gaji pegawai pemerintah. Jumlah pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh proyeksi jumlah pajak yang diterima, tujuan ekonomi yang ingin dicapai dan pertimbangan politik dan keamanan.


(19)

2.1.6. Potensi Keuangan Daerah

Menurut Saragih (2003), keuangan daerah merupakan bagian penting dalam pelaksanaan kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Ada tiga bentuk pertanggungjawaban pengelolaan (manajemen) keuangan (daerah) jika dilihat dari aspek kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam hal keuangan daerah, yaitu sebagai berikut :

1) Pertanggungjawaban dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. 2) Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas pembantuan.

3) Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas dekosentrasi.

Potensi keuangan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Di dalam PP Nomor 105 Tahun 2000, pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.

Komponen-komponen penerimaan daerah yang mempunyai peluang untuk ditingkatkan kontribusinya terhadap APBD Kota Magelang apabila faktor-faktor pendukungnya juga dioptimalkan. Jadi, istilah potensi dalam penelitian ini sangat erat dengan sumber-sumber penerimaan APBD yang memiliki peluang untuk dioptimalkan. Keberhasilan kinerja keuangan daerah dapat tercermin dari pos-pos penerimaan. Semakin besar porsi penerimaan daerah dari PAD, maka semakin kecil juga ketergantungan daerah terhadap APBN. Kinerja keuangan yang efisien dapat dilihat dari rasio penerimaan terhadap pengeluaran, apabila rasio


(20)

penerimaan terhadap pengeluaran lebih besar dari tahun sebelumnya maka semakin efisien pengeluarannya.

2.1.7. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah

Pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan sendiri yang digali dari potensi daerah. Menurut Saragih (2003), sebelum dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, sumber keuangan daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai berikut : (1) Penerimaan asli daerah (PAD) ; (2) Bagi hasil pajak dan non-pajak; (3) Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II; (4) Pinjaman daerah; (5) Sisa lebih anggaran tahun lalu; (6) Lain-lain penerimaan daerah yang sah.

Setelah berlakunya undang-undang otonomi daerah sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 Tahun 1999 serta pasal 5 dan 6 UU Nomor 25Tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut : (1) Pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri dari : pajak daerah, retribusi daerah, bagian pemerintah daerah dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD) dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; (2) Dana perimbangan, yang terdiri atas : dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus; (3) Pinjaman daerah; (4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Salah satu perbedaan yang signifikan di antara sebelum dan sesudah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah adalah, bahwa ketentuan lama menyebutkan adanya bantuan pusat kepada daerah baik provinsi dan daerah


(21)

kabupaten maupun kota melalui kebijakan dana instruksi Presiden (inpres) dan subsidi daerah otonom (SDO) serta desa tertinggal (IDT) (1994-1995). Sedangkan ketentuan dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru, bantuan pusat dihapuskan dan digantikan dengan dana perimbangan yang intinya bahwa daerah otonom yang menerima dana perimbangan memiliki kewenangan penuh untuk mengelola dan menggunakannya.

2.1.7.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Bratakusumah dan Solihin (2004) menyatakan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan asli daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan dinas-dinas, laba bersih perusahaan daerah, dan penerimaan lain-lain.

2.1.7.1.1. Pajak Daerah

Menurut UU Nomor 34 Tahun 2000, pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Artinya bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dipaksakan kepada setiap orang (wajib


(22)

pajak) tanpa kecuali dan diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Pajak daerah dibagi menjadi dua, yaitu pajak daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten atau kota. Jenis pajak daerah provinsi terdiri atas pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Sedangkan jenis pajak daerah kabupaten atau kota terdiri dari : pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak hiburan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Menurut Jhingan (2000), dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi suatu negara pajak dapat dipergunakan untuk : (1) membatasi konsumsi, dengan mentransfer sumber konsumsi ke investasi, (2) meningkatkan dorongan untuk menabung dan menanam modal, (3) mentransfer sumber dari masyarakat ke pemerintah sehingga memungkinkan adanya investasi, (4) memodifikasi pola investasi, (5) mengurangi ketimpangan ekonomi dan (6) memobilisasi surplus ekonomi.

2.1.7.1.2. Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sebagaimana halnya pajak, retribusi daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejateraan


(23)

masyarakat. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Menurut Saragih (2003), perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu, tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jenis retribusi daerah menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 terdiri atas retribusi jasa umum, retrubusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu.

Jenis retribusi yang semakin banyak dikenakan kepada masyarakat merupakan beban bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu, kebijakan retribusi daerah sering menimbulkan kontroversi di daerah, baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Hal ini disebabkan pemerintah daerah memungut retribusi tanpa ada imbalan langsung yang dirasakan masyarakat.

2.1.7.1.3. Bagian Laba Perusahaan Daerah

Laba bersih perusahaan daerah merupakan keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan daerah atau BUMD atas jasa dan layanan yang telah diberikan oleh perusahaan tersebut. Posisi perusahaan daerah di era otonomi


(24)

daerah sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD.

Pembinaan dana pengembangan BUMD merupakan wewenang pemerintah daerah atas restu DPRD. Memang dalam tahap awal otonomi daerah, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas daerah selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemda sewenang-wenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termausk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah dan dilakukan secara professional sebagaiman perusahaan swasta lainnya (Saragih, 2003).

2.1.7.2. Dana Transfer

Dana transfer merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama penigkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana transfer terdiri dari dana otonomi khusus, dana penyesuaian dan dana perimbangan. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dijelaskan bahwa dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.


(25)

2.1.7.2.1. Dana Bagi Hasil

Dana bagi hasil merupakan merupakan bagian dari dana perimbangan dimana sumber penerimaannya berasal dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang diperoleh pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat dan propinsi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pemerintah pusat terdiri dari atas : pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan sumber daya alam. Selain itu, dana bagi hasil yang berasal dari propinsi terdiri atas : pajak kendaraan bermotor (PKB) atau bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan pajak pemanfaatan air permukaan.

2.1.7.2.2. Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Bratakusumah dan Solihin, 2004). Dana alokasi umum berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkecil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah.

2.1.7.2.3. Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu dan bertujuan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Dana alokasi khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau


(26)

peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang.

Pengelolaan dana alokasi khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan selama memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Derah, Menteri teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. Pemeriksaan atas penggunaan dana alokasi khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah dan Solihin, 2004).

2.1.7.3. Pinjaman Daerah

Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang bersifat meningkatkan penerimaan yang dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.

2.2. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian telah dilakukan lebih jauh tentang keuangan daerah, serta dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Yuliati (2002) melakukan penelitian tentang Potensi Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Data yang digunakan


(27)

berupa data time series dari tahun 1982 hingga tahun 1999. Alat analisis yang digunakan adalah SAS 6.0 menunjukkan bahwa kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi daripada investasi. Kebijakan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan mempengaruhi kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah, dan jika dibarengi dengan kebijakan peningkatan pengeluaran berdampak positif terhadap total penerimaan keuangan pemerintah daerah dan perekonomian. Peluang untuk meningkatkan penerimaan daerah dipengaruhi oleh elastisitas pendapatan perkapita, kesesuaian basis pajak dengan basis ekonomi, elastisitas permintaan jasa publik, elastisitas harga publik, dan tingkat kebutuhan pengeluaran daerah.

Yudhoyono (2004) melakukan penelitian tentang dampak penerapan kebijakan fiskal (pengeluaran dan penerimaan) terhadap pengangguran dan kemiskinan. Data yang digunakan berupa data time series dari tahun 1984 hingga tahun 2003. Alat analisis yang digunakan adalah persamaan simultan dan SAS 6.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rejim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian. Pemerintahan orde baru cenderung menurunkan PDB dan mengakibatkan kemiskinan meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.

Hasugian (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemandirian fiskal, kinerja fiskal dan profil kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di


(28)

Jawa Barat. Data yang digunakan berupa data sekunder dari tahun 1998-2004. Alat analisis yang digunakan adalah panel data dan eviews. Hasilnya menunjukan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin rendah sesudah implementasi desentralisasi fiskal. Kontribusi DAU selama periode analisis (2001-2004) masih sangat tinggi, secara umum kontribusi DAU sangat tinggi dengan menyumbang rata-rata 60-90 persen dari penerimaan daerah.

Hermani (2007) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja fiskal, kinerja keuangan dan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1998 sampai tahun 2003. Alat analisis yang digunakan adalah persamaan simultan dan SAS 6.0 adalah kebijakan desentralisasi fiskal di kedua kota tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja fiskal daerah. Kebijakan peningkatan DAU, PAD, dan dana bagi hasil menunjukkan dampak yang besar terhadap peningkatan kinerja fiskal dan perekonomian daerah tersebut serta bisa mengurangi tingkat kemiskinan.

Irdhania (2009) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap potensi keuangan dan kinerja perekonomian. Data yang digunakan adalah data time series

dari tahun 1997 hingga tahun 2007. Alat analisis yang digunakan persamaan simultan dan eviews serta hasilnya menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi


(29)

secara positif dan nyata. Penerapan desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan.

Penulis melakukan penelitian mengenai dampak penerapan desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan Kota Magelang dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian akan memberikan hasil yang berbeda. Pada penelitian ini, penulis hanya membahas dari sisi penerimaan saja yang berasal dari komponen pendapatan daerah yaitu pendapatan asli dan dana bagi hasil. Penulis hanya membahas dana alokasi secara umum dan tidak secara khusus. Periode penelitian ini dari tahun 1995 hingga tahun 2011.

2.3. Kerangka Pemikiran

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat daerah, yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan sumber keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian daerah. Hal ini menjadi acuan dalam mengembangkan kerangka pemikiran yang digunakan dalam melakukan analisis potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerah Kota Magelang. Analisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah dilakukan secara deskriptif dan permodelan persamaaan simultan. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi kinerja ekonomi daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, untuk mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen APBD terhadap total pendapatan daerah serta untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah.


(30)

Indikasi dari kemajuan perekonomian daerah adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kinerja ekonomi Kota Magelang dinilai berdasarkan PDRB yang ditinjau dari konsumsi rumah tangga masyarakat Kota Magelang, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Identifikasi potensi keuangan daerah yang baik tercermin oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Potensi keuangan daerah tercermin dari PAD dan dana perimbangan. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha daerah, sedangkan dana perimbangan yaitu dana bagi hasil.

Otonomi Daerah Kota Magelang

Desentralisasi Fiskal

Kinerja Perekonomian (PDRB) : C, I, G

Potensi Keuangan Daerah :

Komponen PAD, Bagi Hasil

Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi

Keuangan Kota Magelang

Analisis Ekonometrika: Model

Persamaan Simultan (Metode 2SLS)

Analisis Deskriptif Kualitatif


(31)

PDRB I

PDRBC

PRFT

C G LTR

SHR

NTAX

TAX VEH

REC

HTL

PRS Ir

WTR

LOR OTH

TRS LTR OTHER

POP

INF

INT

D

: Variabel eksogen : Variabel endogen Gambar 2.3. Bagan Alir Model Kinerja Keuangan dan Potensi Keuangan


(32)

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang pertama dapat dihipotesiskan bahwa :

1) Penerapan desentralisasi fiskal diharapkan memberikan dampak positif pada kinerja perekonomian Kota Magelang. Kinerja perekonomian dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang terdiri atas oleh konsumsi rumah tangga, investasi dan pengeluaran konsumsi pemerintah.

a. Variabel PDRB, jumlah populasi dan dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga, sedangkan inflasi mempengaruhi konsumsi secara negatif.

b. Variabel PDRB dan dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat investasi daerah. Sedangkan variabel suku bunga rill berpengaruh negatif terhadap investasi daerah.

c. Variabel PDRB, total penerimaan daerah dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah. Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah.

2) Penerapan desentralisasi fiskal juga diharapkan membawa perubahan yang positif pada potensi keuangan daerah. Potensi keuangan daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi, laba bersih perusahaan daerah dan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak.

a. Variabel PDRB perkapita, jumlah penduduk, jumlah kamar hotel, jumlah perusahaan, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap tingkat penerimaan pajak daerah.


(33)

b. Variabel PDRB perkapita, jumlah pertumbuhan pengunjung tempat rekreasi, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi daerah.

c. Variabel PDRB perkapita, jumlah penduduk, jumlah konsumsi air minum, tingkat suku bunga dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan laba bersih perusahaan daerah.

d. Variabel PDRB perkapita, jumlah kendaraan bermotor, inflasi dan

dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan bagi hasil pajak bukan pajak daerah.


(34)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa time series dari tahun 1995 sampai tahun 2011. Data time series

merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu. Pemilihan tahun analisis yang berkisar antara tahun 1995 sampai 2011 karena ingin melihat sebelum desentralisasi fiskal yaitu tahun 1995 hingga 2000 dan sesudah adanya kebijakan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga 2011.

Data yang berhubungan dengan harga menggunakan data berdasarkan harga konstan untuk melihat perkembangan kinerja perekonomian karena produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan lebih mencerminkan kenaikan produk secara nyata. PDRB atas dasar harga berlaku masih terkandung faktor inflasi (fluktuasi harga) yang mempengaruhi daya beli masyarakat secara umum. Data yang digunakan berasal dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, BPS Kota Magelang, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Magelang, Dinas Pariwisata Kota Magelang, Kantor Samsat UPP Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah, Bappeda Kota Magelang dan instansi terkait lainnya.

3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis, yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pengolahan data yang dilakukan menggunakan bantuan softwareMicrosoft Excel, Minitab dan SAS 9.1.3.


(35)

3.2.1 Analisis Deskriptif

Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menginterpretasikan data-data kuantitatif secara ringkas dan sederhana. Proses analisis deskriptif dalam penelitian ini menggunakan alat bantuan berupa software yaitu Microsoft Excel

2007. Metode deskriptif dilakukan untuk mengetahui kinerja ekonomi daerah, mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen pendapatan daerah dan mengetahui perkembangan kondisi perekonomian Kota Magelang, sedangkan potensi keuangan Kota Magelang tercermin dari komponen pendapatan daerah yang terdiri dari PAD, dana bagi hasil dan dana transfer. Masing-masing komponen tersebut memiliki kontribusi yang berbeda terhadap total pendapatan daerah.

Tingkat kemampuan keuangan daerah menggambarkan besarnya presentase kontribusi pendapatan daerah sendiri (PAD dan dana bagi hasil) terhadap total pendapatan daerah. Indikator tersebut menggunakan data time series 1995 sampai 2011 untuk mengetahui perkembangan kontribusinya dari segi besaran dan persentasinya. Tingkat kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu indikator dari tingkat keberhasilan suatu daerah melakukan kewenangan desentralisasi fiskal pada masa desentralisasi fiskal ini. Kemampuan daerah merupakan kemampuan kabupaten/kota dalam membiayai urusan-urusan rumah tangganya khususnya yang berasal dari pendapatan daerahnya sendiri.


(36)

3.2.2. Model Ekonometrika

3.2.2.1. Kerangka Model Desentralisasi Fiskal

Model desentralisasi fiskal dibangun atas dasar kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan yang diharapkan mampu untuk menunjukkan kinerja perekonomian dan keuangan secara sederhana dan jelas. Untuk menganalisis hubungan antara kinerja ekonomi dan keuangan daerah maka digunakan model ekonometrik karena model ini lebih fleksibel dalam membangun hubungan antara peubah-peubahnya. Kelebihan dari model ekonometrik adalah dapat memasukkan persamaan-persamaan untuk mengestimasi perubahan peubah-peubah lain, model dapat dimodifikasi dan jika terdapat permasalahan yang tidak dapat diantisipasi maka persamaan baru dapat ditambahkan kedalam model inti.

Menurut Gujarati (2004) analisis dengan menggunakan model ekonometrika ini diawali dengan spesifikasi model, identifikasi dan metode estimasi model, serta validasi model. Keterbatasan model ekonometrika dalam memecahkan permasalahan kebijakan adalah kesalahan pengukuran dan kesalahan spesifikasi. Kesalahan pengukuran disebabkan oleh penggunaan nilai parameter yang berdasarkan hasil pengamatan masa lalu dan juga karena adanya keterbatasan data yang tersedia, sehingga sering digunakan variabel (proxy) yang tentu saja memang tidak seakurat variabel yang sebenarnya. Kesalahan spesifikasi muncul dari kesalahpahaman terhadap teori ekonomi sehingga terjadi kesalahan dalam penyederhanaan model dan sebagai akibatnya model menjadi tidak spesifik.

Model persamaan simultan sangat baik untuk mengestimasi variabel yang diduga saling mempengaruhi satu sama lain. Ciri yang paling menonjol dalam persamaan simultan adalah bahwa variabel tak bebas dalam satu persamaan


(37)

mungkin muncul sebagai variabel yang menjelaskan dalam persamaan lain dalam sistem.

3.2.2.2. Spesifikasi Model

Model merupakan penjelasan sederhana dari dunia nyata, dimana setiap kegiatan ekonomi yang akan dianalisis terangkum dalam model tersebut. Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang dimodifikasi dari penelitian terdahulu yaitu penelitian Yuliyati (2002).

Model dugaan yang digunakan untuk menganalisis kinerja ekonomi Kota Magelang antara lain model dugaan konsumsi rumah tangga, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Sedangkan model-model dugaan yang digunakan untuk menganalisis potensi keuangan Kota Magelang, antara lain model dugaan pajak daerah, retribusi daerah, laba bersih perusahaan daerah serta dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. Model dugaan digunakan dengan variabel-variabel yang dirubah ke dalam bentuk logaritma natural (LN) agar dapat melihat hubungan antar variabel yang berbeda satuan dengan lebih tepat, selain itu bisa digunakan untuk melihat elastisitasnya. Perumusan model ekonomi dan potensi keuangan pemerintah daerah di Kota Magelang yang diuji secara empiris dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(a) Kinerja Ekonomi

(1) Model Dugaan Konsumsi Rumah Tangga

LN_Ct = a0 + a1 LN_PDRBt + a2 LN_POPt + a3 INFt + a4 D +

µ1t...(3.1)


(38)

(2) Model Dugaan Investasi Daerah

LN_It = b0 + b1 LN_PDRBt + b2 irt + b3 D + u2t

...(3.2)

Parameter estimasi yang diharapkan : b1 , b3 > 0 ; b2 < 0

(3) Model Dugaan Pengeluaran Pemerintah

LN_Gt=c0 +c1 LN_PDRBt + c2 INFt + c3 LN_LTRt + c4 D +

u3t...(3.3)

Parameter estimasi yang diharapkan : c1 , c3, c4 > 0 ; c2 < 0

(b) Potensi Keuangan Daerah (1) Model Dugan Pajak Daerah

LN_TAXt = d0 + d1 LN_PDRBCt + d2 LN_POPt + d3 LN_HTLt + d4

INFt + d5 LN_PRSt + d6 D+ µ4t

...(3.4)

Parameter estimasi yang diharapkan : d1, d2, d3, d4, d5 > 0

(2) Model Dugaan Retribusi Daerah

LN_NTAXt = e0 + e1 LN_PDRBCt + e2 INFt + e3 LN_RECt + e4 D+

µ5t...(3.5)

Parameter estimasi yang diharapkan : e1, e2, e3, e4, e5 > 0

(3) Model Dugaan Laba Bersih Perusahaan Daerah

LN_PRFTt = f0 + f1 LN_PDRBCt + f2 LN_POPt + f3 LN_WTRt + f4

INTt + f5 D +

µ6t...(3.6)

Parameter estimasi yang diharapkan : f1, f2,f3 ,f4 > 0


(39)

LN_SHRt = g0 + g1 LN_PDRBCt + g2 LN_VEHt + g3 INFt + g4 D +

µ7t...(3.7)

Parameter estimasi yang diharapkan : g1, g2,g3, g4 > 0

(c) Persamaan-persamaan Identitas

(1) Persamaan Pendapatan Asli Daerah

LN_LORt = LN(TAXt + NTAXt + PRFTt + OTHt

)...(3.8)

(2) Persamaan Total Penerimaan Daerah

LN_LTRt = LN(LORt + SHRt + TRSFt + LTROTHERSt

)...(3.9)

(3) Persamaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

LN_PDRBt = LN(Ct + It +

Gt)...(3.10)

(4) Pendapatan Per Kapita

LN_PDRBCt = LN(PDRBt / POPt

)...(3.11) Keterangan variabel dalam model :

C : Konsumsi rumah tangga (juta rupiah) D : Dummy desentralisasi fiskal

G : Pengeluaran konsumsi pemerintah (juta rupiah) HTL : Jumlah kamar hotel (unit)

I : Investasi Daerah (juta rupiah) INF : Inflasi (persen)


(40)

INT : suku bunga (persen) Ir : Suku bunga riil (persen)

LOR : Pedapatan asli daerah (juta rupiah) LTE : Pengeluaran APBD (juta rupiah) LTR : Penerimaan APBD (juta rupiah)

LTR Others : Penerimaan APBD lain-lain (juta rupiah) NTAX : Retribusi (juta rupiah)

OTH : Penerimaan PAD lain-lain (juta rupiah)

PDRB : Produk Domestik Regional Bruto (juta rupiah) PDRBC : PDRB perkapita (juta rupiah/orang)

POP : Populasi ( juta orang)

PRFT : Laba Bersih perusahaan daerah (juta rupiah) PRS : Jumlah Perusahaan (unit)

PYS : Sisa lebih perhitungan tahun lalu (juta rupiah) REC : Jumlah pengunjung tempat wisata (orang) SHR : Dana bagi hasil (juta rupiah)

TAX : Pajak daerah (juta rupiah)

TRSF : Dana transfer, yaitu DAU dan DAK (juta rupiah) VEH : Jumlah kendaraan bermotor (unit)


(41)

3.2.2.3. Identifikasi Model dan Metode Estimasi Model

Model yang digunakan dalam model ini adalah model persamaan simultan. Peubah-peubah yang ada dalam model persamaan simultan dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu :

1) Endogenous variable, yaitu peubah-peubah yang nilainya ditentukan dalam model,

2) Predetermined variable, yaitu peubah yang nilainya ditentukan di luar model. Predetermined variable digolongkan lagi menjadi dua, yaitu

endogenous variable (peubah eksogen) dan lagged endogenous variable. Menurut Koutsoyiannis (1978) agar dapat dilakukan pendugaan parameter, suatu persamaan di dalam model persamaan simultan harus teridentifikasi. Kondisi yang harus dipenuhi agar suatu model dapat diidentifikasi adalah :

(K-M) ≥ (G-1)...(3.12) dimana :

K : Total Peubah dalam model (peubah endogen dan peubah

predetermined)

M : Jumlah peubah endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi

G : Total persamaan dalam model (jumlah peubah endogen dalam model)

Apabila suatu persamaan menunjukkan K-M sama dengan G-1 maka suatu persamaan di dalam model dikatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified); jika K-M lebih kecil dari G-1, maka persamaan dikatakan tidak teridentifikasi (underidentified); sedangkan jika K-M lebih besar dari G-1 maka


(42)

persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi berlebih (overidentified). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi exactly identified, maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Apabila suatu persamaan simultan dalam kondisi overidentified,maka metode pendugaan yang tepat digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Sedangkan jika persamaan simultan tidak teridentifikasi maka tidak dapat diduga.

Dalam 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah eksogen dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga diterapkan pada kasus exactly identified. Jika metode OLS dipaksakan untuk menduga sistem model simultan, maka akan menghasilkan nilai pendugaan yang bias dan tidak konsisten.

Tabel 3.1. Identifikasi Model Persamaan Simultan

Nama Model K M G K-M G-1 Kategori

Konsumsi Rumah

Tangga 24 6 11 18 10

Over identified

Investasi Daerah 24 4 11 20 10

Over identified

Pengeluaran Pemerintah

Daerah 24 5 11 19 10

Over identified

Pajak Daerah 24 7 11 17 10

Over identified

Retribusi Daerah 24 5 11 19 10

Over identified

Laba Bersih Perusahaan

Daerah 24 6 11 18 10

Over identified

Dana Bagi Hasil 24 5 11 19 10

Over identified

Dalam penelitian ini setelah didentifikasi, tampak bahwa model persamaan simultan berada dalam kondisi over identified sehingga dianalisis dengan metode


(43)

Terkecil Dua Tahap (2SLS) merupakan prosedur untuk menduga parameter model struktural yang overidentified. Metode ini menggunakan informasi yang tersedia dari spesifikasi model sistem model simultan untuk memperoleh dugaan yang unik untuk masing-masing parameter struktural. Tahapan-tahapan metode 2SLS adalah sebagai berikut :

1) Lakukan pendugaan koefisien bentuk tereduksi untuk semua peubah endogen yang berada disebelah kanan dengan menggunakan metode OLS.

2) Menduga koefisien strukturalnya dengan menggunakan dugaan peubah endogen yang diperoleh pada langkah pertama.

Dalam 2SLS, peubah endogen diganti dengan nilai dugaannya sendiri dengan memperhitungkan seluruh peubah-peubah eksogen, sehingga metode ini mengasumsikan bahwa peubah-peubah dalam model telah diketahui secara lengkap. Metode 2SLS dapat juga diterapkan pada kasus exactly identified. Jika metode OLS dipaksakan untuk menduga sistem persamaan simultan, maka akan menghasilkan nilai penduga yang bias dan tidak konsisten.

3.2.2.4. Pengujian Model (a) Uji Kesesuaian Model

1) Uji Koefisien Determinasi (R2)

Untuk menjelaskan presentase variasi total peubah tidak bebas yang disebabkan oleh peubah bebas yang digunakan pengujian R2. Nilai R2 berkisar

dari nol sampai satu ( 0 ≤ R2

1 ). Jika nilainya 0 maka tidak ada hubungan antara peubah bebas dengan tidak bebas. Namun jika nilainya mendekati 1, maka terdapat hubungan yang erat antara peubah bebas dengan peubah tidak bebas.


(44)

2) P-Value

Untuk melihat pengaruh masing-masing peubah bebas terhadap peubah tidak bebas digunakan nilai P-Value. Tingkat kesalahan yang ditolelir adalah 15

persen (α=0,15). Jika P-Value lebih kecil dari nilai α, maka peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya. Namun jika nilai P-Value

lebih besar dari nilai α ( P-Value > α ) , maka peubah bebas tidak berpengaruh terhadap peubah tidak bebas.

(b) Pengujian Autokorelasi

Autokorelasi adalah korelasi sosial yang terjadi antara anggota serangkaian observasi yang diurut menurut waktu (time series) atau ruang (cross section). Autokorelasi mempunyai potensi untuk menimbulkan masalah yang serius, sehingga menyebabkan varians residual yang diperoleh lebih rendah, sehingga nilai R2 terlalu tinggi dan pengujian hipotesis t statistik dan F statistik menjadi tidak meyakinkan. Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi apakah pada data yang diamati terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Durbin-Watson. Uji ini juga dapat digunakan untuk data dengan jumlah pengamatan yang kecil. Hipotesis yang digunakan dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut :

H0 : tidak terdapat autokorelasi

H1 : terdapat autokorelasi

Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi, dapat dilihat dari nilai statistik Dubrin-Watson (DW) dengan perhitungan sebagai berikut :

DW = Ʃ ( et−et− )


(45)

Aturan penggunaan statistik Durbin-Watson adalah sebagai berikut : 1) 4-dL< DW< 4, artinya tolak H0; ada autokorelasi negatif

2) 4-dU< DW< 4-dl, artinya tidak terdeteksi autokorelasi, coba uji yang

lain

3) du< DW< 4-du,artinya terima H0; tidak terdapat autokorelasi

4) dL < DW< dU, artinya tidak terdeteksi autokorelasi, coba uji yang lain


(46)

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Lokasi dan Geografi Kota Magelang

Kota Magelang merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota Magelang secara Geografis terletak pada posisi 70 26’ 18” – 70 30’ 9” Lintang Selatan dan 1100 12’ 30” – 1100 12’ 52” Bujur Timur. Posisi ini apabila dilihat dari letak Pulau Jawa sangat menguntungkan karena memposisikan Kota Magelang berada hampir di tengah-tengah pulau Jawa. Kondisi ini akan sangat memudahkan jalur perhubungan dengan kota-kota di sekitarnya, seperti dengan Kota Semarang berjarak 75 km, jarak dengan Kota Yogyakarta 42 km, dengan Kota Surakarta berjarak 109 km. Selain itu, Kota Magelang juga terletak pada jalur transportasi Semarang – Yogyakarta, Semarang – Purwokerto, Wonosobo – Salatiga, dan kota-kota di sekitarnya.

Sebagai Kota Jasa Kota Magelang juga menjadi daerah tujuan bagi penduduk sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti dari Kabupaten Temanggung yang berjarak 22 km, Kabupaten Purworejo berjarak 43 km, Kabupaten Wonosobo berjarak 62 km. Jarak yang relatif dekat ini juga didukung dengan kondisi prasarana jalan yang sangat memadai dalam kemudahan untuk mengaksesnya.

Secara umum Kota Magelang berada pada ketinggian 380 m di atas permukaan laut dengan titik ketinggian tertinggi pada Gunung Tidar yaitu 503 m di atas permukaan laut. Keberadaan Gunung Tidar ini selain sebagai kawasan hutan lindung juga berfungsi sebagai paru-paru Kota Magelang yang menjadikan iklimnya sejuk.


(47)

Secara administrasi Kota Magelang dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Magelang, dengan batas-batas :

• Sebelah Utara : Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang

• Sebelah Timur : Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang

• Sebelah Selatan : Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang

• Sebelah Barat : Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang. Selain berbatasan dengan wilayah di atas, Kota Magelang dibatasi dengan batas alam berupa Sungai Elo di sebelah Timur dan Sungai Progo untuk batas di sebelah Barat.

Kota Magelang mempunyai luas wilayah 18,12 km2 yang merupakan kota terkecil di Jawa Tengah yang hanya 0,06 persen dari keseluruhan luas Provinsi Jawa Tengah. Dari luas tersebut, Kota Magelang terbagi dalam 3 kecamatan 17 kelurahan dan 190 RW dan 1.014 RT. Seluruh kelurahan yang ada di Kota Magelang sudah termasuk desa swasembada.

4.2. Penduduk

Proses pembangunan ekonomi suatu daerah tidak berjalan dengan baik jika tidak didukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, jumlah penduduk yang besar sebagai salah satu aset yang dimiliki oleh suatu daerah dalam rangka pembangunan ekonomi. Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi tersebut diperlukan peran aktif dari pemerintah dan masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Pertumbuhan jumlah penduduk yang besar tanpa diiringi dengan kualitas yang memadai justru akan menimbulkan permasalahan dalam pembangunan ekonomi di suatu daerah.


(48)

Perkembangan penduduk Kota Magelang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa jumlah penduduk Kota Magelang tahun 2001 mencapai 115.863 jiwa dan mengalami peningkatan hingga 126.443 jiwa pada tahun 2010. Perkembangan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk Kota Magelang selama tahun 2001-2010 disajikan pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Magelang Tahun 2001-2010 Tahun Jumlah Penduduk

(jiwa)

Laju Pertumbuhan Penduduk (persen)

2001 115.863 -

2002 116.033 0,15

2003 116.307 0,15

2004 116.839 0,46

2005 117.744 0,77

2006 118.646 0,77

2007 121.010 1,99

2008 124.627 2,99

2009 125.604 0,78

2010 126.443 0,67

Sumber : BPS Kota Magelang, 2001-2010 (diolah)

4.3. Sosial

Pembangunan sosial merupakan aspek yang penting pada proses pembangunan disamping bidang ekonomi yang sebagai titik berat selama kegiatan pembangunan. Peningkatan sumber daya manusia sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas manusia dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Tersedianya sarana dan prasaran pendidikan di Kota Magelang merupakan salah satu wujud nyata dalam bidang pendidikan. Pada tahun 2010, jumlah SD ada 77 dengan jumlah guru 947 orang dan jumlah murid 15.732 orang. Dan jumlah jenjang SLTP ada 22 dengan jumlah guru 825 orang dan jumlah murid 10.966 orang. Sedangkan jumlah SLTA ada 15 dengan jumlah guru 591 orang dan jumlah murid 5.679 orang.


(49)

Salah satu peran pemerintah dalam pembangunan kesehatan adalah menyediakan sarana kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas dengan mudah dan biaya yang relatif murah. Sarana kesehatan tersebut antara lain berupa rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, dan tenaga kesehatan. Pada tahun 2010 di Kota Magelang terdapat 10 rumah sakit yang terdiri-dari 6 rumah sakit umum, 1 rumah sakit jiwa, 1 rumah sakit paru-paru, dan 2 rumah sakit bersalin. Sedangkan jumlah puskesmas sebanyak 5 dan terdapat 12 puskesmas pembantu. Fasilitas tersebut ditunjang dengan jumlah dokter yang memadai, yaitu ada 31 dokter dan 90 bidan serta perawat.

Penyediaan tempat ibadah bagi kalangan umat beragama merupakan salah satu media komunikasi antara hamba-Nya dengan sang pencipta untuk meningkatkan keimanan seseorang. Pada tahun 2010 terdapat 145 mesji, 192 mushola, 30 gereja, dan 1 vihara. Jumlah penduduk pemeluk agama islam sebanyak 105.239 orang, katholik sebanyak 8.039 orang, kristen sebanyak 12.345 orang, budha sebanyak 541orang, hindu sebanyak 249orang, dan lain-lainnya sebanyak 30 orang.

4.4 Tinjauan Perekonomian

Salah satu indikator untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu wilayah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sendiri menurut pengertian produksi adalah jumlah nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah pada suatu jangka waktu tertentu.


(50)

Di Kota Magelang PDRB disajikan atas harga dasar kosntan dan atas dasar harga berlaku tahun 2000. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan PDRB dapat dibandungkan sebelum dan sesudah memperhitungkan pengaruh harga. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga tiap tahun dan menunjukkan pendapatan yang mungkin dapat dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Sedangkan PDRB atas dasar harga kosntan merupakan PDRB yang dinilai atas dasar harga tetap suatu tahun tertentu dan dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke tahun.

4.4.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Magelang

Tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah dicerminkan oleh PDRB. Perkembangan PDRB Kota Magelang selama tahun 2005-2010 mengalami peningkatan setiap tahunnya, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 4.2, nilai perolehan PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha pada tahun 2006 mencapai Rp 1.364.013,17 juta dan mengalami perkembangan sebesar Rp 2.105.226,13 juta pada tahun 2010. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang berdasarkan atas harga berlaku mengalami peningkatan mulai dari 5,54 persen pada tahun 2006 sampai dengan 13,01 persen pada tahun 2010.

Perolehan PDRB Kota Magelang atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha berdasarkan Tabel 4.2 mengalami peningkatan dari Rp 898.191,12 juta pada tahun 2006 menjadi Rp 1.108.603,69 juta pada tahun 2010. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang berdasarkan atas dasar harga konstan


(51)

mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2006 laju pertumbuhan ekonomi sebesar 2,44 persen dan meningkat terus hingga 6,12 persen pada tahun 2010.

Tabel 4.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Magelang Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010

Tahun

Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan PDRB

(jutaan rupiah)

Laju Pertumbuhan

(persen)

PDRB (jutaan rupiah)

Laju Pertumbuhan

(persen)

2006 1.364.013,17 5,54 898.191,12 2,44

2007 1.492.024,85 9,71 946.098,16 5,17

2008 1.679.040,98 12,53 993.835,20 5,05

2009 1.862.811,29 10,94 1.044.650,24 5,11

2010 2.105.226,13 13,01 1.108.603,69 6,12

Sumber : BPS Kota Magelang, 2006-2010

4.4.2 Pendapatan Perkapita Kota Magelang

Salah satu indikator makro yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum. Nilai pendapatan perkapita diperoleh dari nilai PDRB dibagi jumlah penduduk pada pertengahan tahun. Nilai ini menunjukkan rata-rata banyaknya pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk tersebut. Semakin besar jumlah penduduk di daerah tersebut maka semakin kecil nilai pendapatan perkapita yang diperoleh. Sebaliknya, semakin kecil jumlah penduduk daerah tersebut, maka semakin besar nilai pendapatan perkapita yang diperoleh.

Pendapatan perkapita Kota Magelang baik berdasarkan atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan terlihat pada Tabel 4.3 mengalami peningkatan sepanjang tahun 2002-2010. Pada tahun 2002 nilai pendapatan perkapita Kota Magelang atas dasar harga berlaku mencapai Rp 6.821.824,39 dan


(52)

terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2010 sebesar Rp 16.688.409,18. Sedangkan atas dasar harga konstan, terlihat bahwa pendapatan perkapita Kota Magelang atas dasar harga konstan terus mengalami peningkatan, yaitu dari Rp 5.640.356,50 pada tahun 2002 menjadi Rp 8.788.049,81 pada tahun 2010.

Tabel 4.3. Pendapatan Perkapita Kota Magelang Tahun 2002-2010 Tahun

Pendapatan Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku

(rupiah)

Atas Dasar Harga Konstan (rupiah)

2002 6.821.824,39 5.640.356,50

2003 7.675.530,23 5.906.008,22

2004 8.239.533,73 6.075.938,84

2005 10.988.319,18 7.488.622,10

2006 11.508.428,16 7.612.207,20

2007 12.346.191,09 7.828.762,84

2008 13.516.345,47 8.000.412,12

2009 14.868.352,59 8.338.057,75

2010 16.688.409,18 8.788.049,81


(53)

V. PEMBAHASAN

5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang

Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan perekonomian daerah berdasarkan karakteristik daerahnya. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah merupakan alat indikator makro yang menggambarkan derajat kesejahteraan masyarakat dan memperlihatkan kondisi perekonomian masyarakat. PDRB Kota Magelang tercermin pada gambar di bawah ini :

Sumber : BPS Kota Magelang, 1995-2011 (diolah)

Gambar 5.1. Produk Domestik Regional Bruto Kota Magelang Tahun 1995-2011 Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa PDRB Kota Magelang berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1995 hingga 2011 mengalami peningkatan. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal yaitu tahun 1995, PDRB Kota Magelang berkisar antara 102.289 juta rupiah hingga 318.423,23 juta rupiah pada tahun 2000. Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 terlihat bahwa terjadi peningkatan mencapai dua kali lipat dan berlangsung seterusnya hingga tahun 2011. Peningkatan pada tahun 2002 terjadi


(54)

dua kali lipat yaitu sebesar 782.362,46 juta rupiah dari tahun 2001 sebesar 328.142,05 juta rupiah. Setelah tahun 2002 hanya terjadi sedikit peningkatan setiap tahun dan tergolong stabil.

Laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang sepanjang tahun 1995 hingga 2011 mengalami fluktuasi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 1,38 persen dan laju pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998 sebesar -0,07 persen. Sepanjang tahun 2003 hingga tahun 2011 laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang relatif stabil dan mengalami sedikit peningkatan setiap tahunnya, yaitu berkisar antara 0,04 persen hingga 0,11 persen. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebelum desentralisasi fiskal sebesar 0,26 persen sedangkan selama desentralisasi fiskal rata-rata laju pertumbuhan ekonominya sebesar 0,17 persen. Untuk melihat sejauh mana desentralisasi fiskal dan faktor lainnya mempengaruhi kinerja perekonomian Kota Magelang, maka dapat dilihat dari dampaknya terhadap komponen-komponen PDRB berdasarkan pengeluaran konsumsi rumah tangga, investasi dan pengeluaran pemerintah.

5.1.1. Konsumsi Rumah Tangga

Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan komponen yang paling dominan nilainya dalam PDRB dan output ekonomi yang dibelanjakan oleh rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung. Konsumsi rumah tangga berdasarkan harga konstan tahun 2000, sepanjang tahun 1995 hingga 2011 relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sejak tahun 2001, konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan mencapai dua kali lipat yaitu pada tahun


(55)

2002 sebesar 430.481,09 juta rupiah. Konsumsi rumah tangga Kota Magelang setelah tahun 2002 terus mengalami peningkatan hingga tahun 2011 sebesar 659.638,38 juta rupiah. Pada tahun 2005, konsumsi rumah tangga sempat mengalami sedikit penurunan tetapi cenderung rata-rata naik hingga tahun 2011 (lihat Gambar 5.2)

Sumber : BPS Kota Magelang, 1995-2011 (diolah)

Gambar 5.2. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga Kota Magelang Tahun 1995-2011

Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 1995 hingga 2011 mengalami fluktuasi. Pada masa sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 1995, pertumbuhan konsumsi relatif stabil, yaitu berkisar antara 2,94 persen hingga 4,98 persen pada tahun 2000. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 9,28 persen dan mengalami pertumbuhan terendah sebesar -4,24 persen pada tahun 2005. Sepanjang tahun 2001 hingga 2011 pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung rata-rata naik meskipuan mengalami penurunan. Rata-rata pertumbuhan konsumsi ruamh tangga sebelum desentralisasi fiskal sebesar 3,48 persen sedangkan selama desentralisasi fiskal relatif lebih besar, yaitu sebesar 4,11 persen.


(56)

Pendugaan model konsumsi rumah tangga didasarkan pada hipotesis bahwa tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh PDRB, jumlah populasi, tingkat inflasi dan dummy desentralisasi fiskal. Variabel PDRB, jumlah populasi dan dummy desentralisasi berpengaruh positif sedangkan variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumah tangga.

Tabel 5.1. Persamaan Dugaan Konsumsi Rumah Tangga Kota Magelang

Variable Parameter Estimate

Standard

Error t Value Pr > t

Intercept -5,06710 11,88516 -0,43 0,6774

LN PDRB 0,987000 0,131364 7,51 <,0001*

LN Populasi 0,357033 1,134819 0,31 0,7585

Inflasi 0,004750 0,002334 2,03 0,0646**

Dummy desentralisasi Fiskal 0,066841 0,084958 0,79 0,4467 R-Square = 0.97603 Adj R-Sq = 0.96804 Durbin-Watson = 1,91025 Keterangan : *) nyata pada taraf 5 persen

**) nyata pada taraf 10 persen

Berdasarkan hasil pengolahan pada Tabel 5.1, nilai R2 dari model dugaan konsumsi rumah tangga ini sebesar 0,98. Artinya, model dugaan konsumsi rumah tangga ini dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya dengan baik. Variabel PDRB berpengaruh nyata pada taraf 5 persen secara positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga Kota Magelang. Hal ini berarti bahwa peningkatan PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan konsumsi rumah tangga sebesar 0,99 persen (ceteris paribus). Semakin bertambahnya PDRB maka konsumsi rumah tangga Kota Magelang semakin meningkat hubungan ini cenderung positif. Pernyataan ini didukung oleh pola hubungan konsumsi rumah tangga dengan PDRB yang cenderung positif pada scatter plot pada Gambar 5.3.


(57)

Sumber : BPS Kota Magelang, 1995-2011 (diolah)

Gambar 5.3. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan PDRB (PDRBT)

Variabel jumlah populasi diduga berpengaruh positif dan nyata pada taraf 5 persen. Berdasarkan hasil pengolahan jumlah populasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap konsumsi rumah tangga dan cenderung berhubungan positif. Jumlah populasi tidak berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga dikarenakan keputusan konsumsi lebih dipengaruhi oleh jumlah uang sehingga semakin banyaknya jumlah populasi tidak berhubungan dengan konsumsi rumah tangga. Pola hubungan antara konsumsi rumah tangga dengan jumlah populasi, seperti ditampilkan dalam gambar scatter plot berikut ini :

Sumber : BPS Kota Magelang, 1995-2011 (diolah)

Gambar 5.4. Pola Hubungan Konsumsi Rumah Tangga (CT) dengan Populasi (POPT). CT PD R B T 1200000 1100000 1000000 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000

Scatte rplot of PDRB T vs CT

CT PO PT 1200000 1100000 1000000 900000 800000 700000 600000 500000 400000 300000 127500 125000 122500 120000 117500 115000


(1)

Lampiran 4. Hasil Persamaan Dugaan Model Pajak Daerah The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model LNTAX

Dependent Variable LNTAX

Root MSE 0.75046 R-Square 0.82310 Dependent Mean 14.44563 Adj R-Sq 0.71696

Coeff Var 5.19509

Parameter Estimates Variable DF Parameter

Estimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 154.5946 133.1990 1.16 0.2728

LNPDRBC 1 1.365891 1.564486 0.87 0.4031

LNHTL 1 -6.58324 4.346185 -1.51 0.1608

INF 1 -0.00607 0.043995 -0.14 0.8929

LNPRS 1 1.374700 0.738798 1.86 0.0924

LNPOP 1 -9.29835 10.71488 -0.87 0.4058

d 1 -0.54791 0.880011 -0.62 0.5475

Durbin-Watson 2.083157

Number of Observations 17

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 6 26.20518 4.367530 7.75 0.0026

Error 10 5.631954 0.563195


(2)

101

First-Order Autocorrelation -0.0547

Lampiran 5. Hasil Persamaan Dugaan Model Retribusi Daerah The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model LNNTAX

Dependent Variable LNNTAX

Root MSE 0.85069 R-Square 0.52528 Dependent Mean 16.18588 Adj R-Sq 0.36704

Coeff Var 5.25577

Durbin-Watson 1.844531

Number of Observations 17 First-Order Autocorrelation 0.011803

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 4 9.609081 2.402270 3.32 0.0475

Error 12 8.684119 0.723677

Corrected Total 16 18.29320

Parameter Estimates Variable DF Parameter

Estimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 13.50170 4.808071 2.81 0.0158 LNPDRBC 1 -3.03423 1.122452 -2.70 0.0192 INF 1 -0.00830 0.032347 -0.26 0.8019

LNREC 1 0.791498 0.402091 1.97 0.0726


(3)

Lampiran 6. Hasil Persamaan Dugaan Model Laba Perusahaan Daerah The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model LNPRFT

Dependent Variable LNPRFT

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 5 14.27745 2.855491 4.74 0.0149

Error 11 6.628771 0.602616

Corrected Total 16 20.90622

Root MSE 0.77628 R-Square 0.68293 Dependent Mean 13.80795 Adj R-Sq 0.53880

Coeff Var 5.62200

Parameter Estimates Variable DF Parameter

Estimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 -356.868 166.4570 -2.14 0.0552 LNPDRBC 1 -0.59784 2.957863 -0.20 0.8435

LNWTR 1 9.382000 6.274550 1.50 0.1630

INT 1 -0.04144 0.101967 -0.41 0.6922

LNPOP 1 18.88426 10.64955 1.77 0.1038

d 1 3.294708 1.500047 2.20 0.0504

Durbin-Watson 1.586555

Number of Observations 17 First-Order Autocorrelation 0.197012


(4)

103

Lampiran 7. Hasil Persamaan Dugaan Model Dana Bagi Hasil The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model LNSHR

Dependent Variable LNSHR

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 4 1.580048 0.395012 6.56 0.0049

Error 12 0.722977 0.060248

Corrected Total 16 2.303025

Root MSE 0.24545 R-Square 0.68608 Dependent Mean 16.39245 Adj R-Sq 0.58143

Coeff Var 1.49736

Parameter Estimates Variable DF Parameter

Estimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Intercept 1 12.62611 0.880815 14.33 <.0001 LNPDRBC 1 1.532070 0.345451 4.43 0.0008 LNVEH 1 -0.03659 0.074877 -0.49 0.6339 INF 1 -0.01482 0.008506 -1.74 0.1071 d 1 -0.10575 0.268369 -0.39 0.7005

Durbin-Watson 2.493727

Number of Observations 17 First-Order Autocorrelation -0.25023


(5)

ERMA TRISTANTI. Analisis Dampak Penerapan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kota Magelang (dibimbing oleh DEWI ULFAH WARDANI).

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berupaya meningkatkan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih baik dan merata. Pembangunan nasional ini lebih di dominasi oleh pemerintah pusat sehingga bersifat sentralistik dan ternyata tidak menghasilkan pembangunan yang merata. Pada tahun 2001, kerangka pembangunan nasional yang dilaksanakan di Indonesia mulai diarahkan untuk mendorong terjadinya pembangunan daerah secara merata melalui desentralisasi fiskal. Pemberlakuan peraturan desentralisasi fiskal tertuang dalam Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Derah. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang leluasa bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah secara optimal sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Terciptanya potensi keuangan daerah yang optimal dengan pengelolaan daerah yang efektif dan efisien, sehingga pembangunan daerah menjadi lebih merata. Keberhasilan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah seharusnya diimbangi oleh peningkatan kinerja ekonomi daerah. Kota Magelang merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang wilayahnya cukup strategis karena posisinya terletak tepat di tengah-tengah Pulau Jawa dan berada di tengah-tengah-tengah-tengah Provinsi Jawa Tengah. Kota Magelang terletak pada jalur transportasi perekonomian Pulau Jawa sehingga Kota Magelang mempunyai peran penting bagi perekonomian untuk meningkatkan pendapatan daerah yang berpotensi untuk diteliti lebih lanjut.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak penerapan desentralisasi fiskal dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan Kota Magelang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series dari tahun 1995 hingga tahun 2011, yang dianalisis dalam persamaan simultan dengan menggunakan metode 2SLS (two step least square) dan alat analisis yang digunakan adalah SAS 9.1.3.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB Kota Magelang mengalami peningkatan pada masa desentralisasi fiskal. Setelah penerapan desentralisasi fiskal kinerja perekonomian Kota Magelang mengalami peningkatan yang signifikan, yang dipengaruhi oleh variabel PDRB, inflasi dan total penerimaan keuangan pemerintah daerah. Pendapatan daerah selama desentralisasi fiskal mengalami peningkatan dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif terhadap laba perusahaan daerah hanya laba perusahaan daerah menempati posisi paling rendah dalam memberikan kontribusinya terhadap penerimaan PAD. Potensi keuangan daerah Kota Magelang setelah pelaksanaan desentralisai fiskal semakin meningkat, yang


(6)

dipengaruhi oleh variabel pendapatan perkapita, jumlah perusahaan dan jumlah wisatawan.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah sebagai bahan pertimbangan adalah meningkatkan pendapatan daerah karena hasil kerja pemerintah daerah Kota Magelang berasal dari pendapatan daerah. Selain itu, Pemerintah Kota Magelang untuk lebih meningkatkan laba perusahaan daerah agar memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah sehingga pendapatan daerah lebih meningkat.