PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN AFEKTIF PEMBELAJARAN SAINS BERMUATAN NILAI KETUHANAN DAN KECINTAAN LINGKUNGAN

(1)

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN AFEKTIF PEMBELAJARAN SAINS BERMUATAN NILAI

KETUHANAN DAN KECINTAAN LINGKUNGAN

(Skripsi)

Oleh: MARISA ULFA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(2)

ABSTRAK

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN AFEKTIF PEMBELAJARAN SAINS BERMUATAN NILAI

KETUHANAN DAN KECINTAAN LINGKUNGAN

Oleh MARISA ULFA

Mayoritas guru sains, berdasarkan penelitian pendahuluan di SMPN 2 dan SMPN 8 Bandar Lampung, belum melaksanakan penilaian afektif yang otentik. Hal tersebut ditunjukkan dengan preferensi negatif (unfavorable) pada setiap butir pernyataan angket yang menanyakan detail sistematika pengambilan penilaian afektif secara otentik. Ketimpangan yang terjadi antara tuntutan kurikulum dan realisasi di sekolah alasan dikembangkannya instrumen penilaian afektif yang valid, mengacu pada kompetensi inti satu (KI-1) mengenai sikap spiritual (nilai ketuhanan) dan kompetensi inti dua (KI-2) mengenai nilai sosial (kecintaan lingkungan) pada pembelajaran sains di SMP.

Model pengembangan yang digunakan mengacu pada Borg dan Gall, yaitu: penelitian pendahuluan, perencanaan dan pengembangan produk awal, uji coba awal (uji ahli oleh dosen dan uji kualitas oleh guru), revisi produk utama, uji lapangan utama, analisis hasil, revisi produk akhir, penafsiran, serta diseminasi dan implementasi produk. Produk akhir yang diperoleh berupa instrumen penilaian afektif yaitu penilaian diri, teman sejawat, dan observasi yang valid beserta rubriknya.

Subjek uji coba dalam penelitian ini siswa kelas VII akselerasi dan VII.8 SMPN 2 Bandar Lampung. Hasil uji ahli mendapatkan kategori baik (skor 3,54) dan layak digunakan. Hasil uji kualitas instrumen mendapat skor 3,25 kategori baik. Hasil analisis validitas dan reliabilitas pada uji lapangan utama diukur dengan acuan nilai alpha cronbach > 0,70menggunakan software R-Commander, didapatkan penilaian diri dan teman sejawat 0,92, sedangkan penilaian observasi 0,86 dengan


(3)

Marisa Ulfa

iii

kualitas valid dan reliabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan instrumen penilaian afektif ini dapat digunakan sebagai acuan guru di sekolah. Kata kunci: instrumen penilaian afektif, ketuhanan, lingkungan


(4)

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN AFEKTIF PEMBELAJARAN SAINS BERMUATAN NILAI

KETUHANAN DAN KECINTAAN LINGKUNGAN

Oleh MARISA ULFA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Fisika

Jurusan Pendidikan Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(5)

?OO

I

gOs66I f/OOIZ96I JIN

'IS'H'v;pusu3

'rq

trO

Ydll^l uE{lHpuad upsrunr En}ay

'z

MTnIgIf,IgIC

uu{lppuad

nlull

uep uenrnBay Ydll^I uE{lplpuad

sltlslJ us{lplpuad

ZTOZZO9TBO

D[frbusr4d)6

TIVDNNYDNI"I NYYINICflN NY(I

NVNVIIrufl}I

TY'IIN NYIYNI{USS

SNIITS

HYu

TY.IflgIdgJ

JUJNSJY

NUIVIINflJ

NSIdNUJ,SNI IIVDNVSIdSDNSA

SE?IruIEJ uEsrunr

pryS

uBr6ord e1v\slsPr{E[^l Yolod JoLuoN EmsIsPt{EI^l BLUEN

zoor

goq66r

0rz1896r

90986r

1090096r

1sdtrys 1npnt '.1:i

t..

|:,: :.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi, Lampung Utara pada tanggal 4 Maret 1990, anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Amrin dan Ibu Halimah.

Penulis mengawalipendidikan formal di SD Negeri 1 Tanjung Aman, Kotabumi yang diselesaikan pada tahun 2002, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Kotabumi yang diselesaikan pada tahun 2005, lalu penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 3 Kotabumi yang diselesaikan pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.

Penulis melaksanakan KKN Tematik di Pekon Sinar Jaya kecamatan Air Hitam Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2011, PPL di SMP Negeri 1 Air Hitam, Lampung Barat pada tahun yang sama, dan melaksanakan penelitian di SMP Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2014. Selama menyelesaikan studi, penulis memiliki pengalaman organisasi sebagai anggota UKM English Society (ESo) Unila pada tahun 2009/2010, staff eksternal BEM FKIP Unila pada tahun 2009/2010, sekretaris divisi litbang HIMASAKTA FKIP Unila pada tahun 2009/2010, ketua bidang administrasi UKM Penelitian Unila tahun 2010/2011. Penulis juga memiliki pengalaman menjadi asisten tutorial maupun praktikum mata kuliah fisika dasar (I dan II) dari tahun 2009 sampai 2012.


(7)

gl:oz

roqueao:lJ

LZ:

Isdlrqs uEIh snln

I

IPDSueI

goo

r

90986r

9190096r dlN

3'ls'H

'uuruqug EuPlhg

'

"::""""""""

'!S'I{'uu1ur{ng

sn6y'r(I

'Jor;

: Sulqrulqruad

us{ng

1!'nBuag

'IS'Id'utuqpttnPqtrrq

:

'pJ'I{

'utplso1

6uePug'rq

:

slJ4ar{as

Enlay

1['nBuaa

tutJ'I

hII.lIHVSSDNgH

,..,'.

.; r,]:,:

I tr,. I

l, r:.'1, .


(8)

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga

mereka merubah keadaan mereka sendiri.”

(Q.S. Ar-R

a’d : 11

)

Life is full of questions. Idiots are full of answers.

(Socrates)

Be The First or Be The Last,

but when you know how world reacts

with the last one you’ll never want it

in the first place, EVER!

(Marisa Ulfa)

MOTO


(9)

3-III} ESIJEIAI zt0ze0tl80 htdN

S I0Z raqrueseg Z '8undtue1 repueg

'e1u1snd rugep uielep lnqosrp uep

Iul qe)lseu Luulep ncBrp sllnUet Eue,( rluncal 'ute1 8ue;o rJolo uullrq.retrp nule sllnllp qeu;acl Brre.( ledepuecl nule e,(.re11edep::t luptl e8nl-e,(es uenqele8uod Euut-uedss uep r33uq uemnS:ed nlens rp uueueliesa:1

re1a3 qel0redrueu rnlun uelnleIp qeu-rsd 8uu( e,fte11rzdap.re1

r€pll reueq-reu:q

''lS'N 'eu1e.{ng sn8y

'rq

.}ord ''ls'J,\tr 'ueruqullnpqv 'rC ''pd'}^l 'urprso6 Euupu,1

'rC qalo ue{n{Blrp 8ue,{ ..uu8un>18ur1 ueeJr.rroe) u€p ueueqnlax

lullN rre}enuuag su ru g uete [e I equred Jrt{eJv u€r€l lued uer.uru}su1 ue8ueqrua8ue4,. prpn ft aq 8uu,( uerlrleued uep uer8eq q€lep€ rur rsdu>1s e,\\qeq ueleledueur iur rie8uaq

uelelas Sundurel .;e1e51

'tg-c

Iolg

ruuusd e,{e[r,ttu5 no,&\nN u€1!\pun3 uepeu .lf l2llslg uelrprpusd

vdIW uulrprpuedldl).{ at0eeOil 80

€JIn esLret\

:L{€lepe

Iq

q€.\\eq rp ue8uer

lsuBlv ryqg uru.€or4

uesrunt/sE}IruPd WdN "rrrBN Bpueueq Euefedug

NYYIYANU'dd J,YUflS

--l


(10)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala yang selalu memberikan

limpahan rahmat dan karunia-Nya dan semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Penulis mempersembahkan karya sederhana ini sebagai tanda bakti dan kasih cinta yang tulus dan mendalam kepada:

1. My lovely Parents, My Daddy Amrin dan My Mom Halimah yang telah

sepenuh hati membesarkan, mendidik, dan mendo’akan kebaikan. Semoga Allah memberikan kesempatan untuk dapat selalu membahagiakan kalian. 2. My little Brothers, Edi Dermawan yang selalu membantu dan memberi

semangat dalam proses penyelesaian skripsi, dan Rudi Gunawan yang selalu menginspirasi untuk terus menjadi yang terbaik.

3. Para Pendidik yang telah mengajarkan banyak hal, baik ilmu pengetahuan, ilmu agama, maupun ilmu untuk bertahan hidup.

4. All of My Friends yang selalu menginspirasi, menyemangati dan memberikan bantuan dengan tulus.


(11)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat dan hidayah-Nya, penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif Pembelajaran Sains Bermuatan Nilai Ketuhanan dan Kecintaan Lingkungan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA; 3. Bapak Drs. Eko Suyanto, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Fisika;

4. Bapak Dr. Undang Rosidin, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik sekaligus Pembimbing I atas kesediaan dan keikhlasannya memberikan bimbingan, arahan dan motivasi yang diberikan selama penyusunan skripsi ini; 5. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si. selaku Pembimbing II atas kesediaan dan

keikhlasannya memberikan bimbingan dan arahan yang diberikan selama penyusunan skripsi ini;


(12)

xiii

6. Bapak Prof. Dr. Agus Suyatna, M.Si., selaku Pembahas atas kesediaan

memberikan saran dan kritik kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi; 7. Bapak Dr. Edy Purnomo, M.Pd. selaku evaluator untuk uji validitas instrumen

penelitian, terima kasih atas waktu dan sarannya.

8. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Program Studi Pendidikan Fisika dan Jurusan Pendidikan MIPA;

9. Ibu Euis Tati Darnati, M.Pd., selaku Kepala SMPN 2 Bandar Lampung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian; 10.Guru-guru SMPN 2 Bandar Lampung, Bapak Agus Budi Utomo, M.Pd.,

Bapak Armadi Arfan, S.Pd., dan Ibu Amrina Hirnanti, M.Pd.yang menjadi evaluator instrumen penelitian, terima kasih atas waktu dan sarannya. 11.Siswa-siswi SMPN 2 Bandar Lampung khususnya kelas VII8 dan VII aksel

atas bantuan dan kerja samanya selama penelitian berlangsung; 12.Sahabat Pendidikan Fisika 2008, Jilkonoha dan TaTuCinCa;

13.Rekan-rekan KKN-PPL Tahun 2011 Kecamatan Air Hitam Lampung Barat; 14.Kakak-kakak tingkat angkatan 2005-2007 serta adik-adik tingkat angkatan

2009-2015 yang tidak bisa disebutkan satu persatu;

15.Serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah melimpahkan nikmat-Nya serta berkenan membalas kebaikan yang diberikan kepada Penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Desember 2015 Penulis,


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Contoh Kisi-Kisi Instrumen ... 34

2.2. Sikap terhadap Pelajaran Sains (Contoh Skala Likert) ... 37

2.3. Kriteria Butir Pernyataan... 41

2.4. Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Instrumen ... 42

2.5. Kriteria Kategori Penilaian Siswa ... 44

3.1. Kisi-Kisi Instrumen Berdasarkan KI-1 dan KI-2 ... 48

3.2. Sikap Terhadap Pelajaran Sains ... 48

3.3. Kategori Analisis Pendahuluan ... 52

3.4. Kriteria Penilaian untuk Validasi Ahli dan Guru ... 53

3.5. Kriteria Pemberian Skor pada Uji Coba Lapangan ... 53

3.6. Kriteria Nilai Berdasarkan Instrumen Skala Sikap ... 56

4.1. Kriteria Kategori Penilaian Instrumen ... 63

4.2. Perbaikan Uji Ahli Instrumen Penilaian Diri ... 64

4.3. Rangkuman Pernyataan Tidak Valid Pada Penilaian Diri ... 71

4.4. Rangkuman Pernyataan Tidak Valid Pada Teman Sejawat ... 72


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Metode Ilmiah ... 11 2.2 Keterkaitan antara komponen moral dalam rangka pembentukan

karakter yang baik menurut Lickona ... 15 2.3. Nilai-nilai karakter berlandaskan budaya bangsa ... 18 3.1 Model Resesarch and Development Borg dan Gall ... 46


(15)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat Keterangan Penelitian ... 86

2. Angket Penelitian Pendahuluan ... 87

3. Daftar Responden Penelitian Pendahuluan ... 89

4. Tabulasi Data Angket Penelitian Pendahuluan ... 90

5. Konversi Skor Angket Penelitian Pendahuluan ... 92

6. Daftar Nama Ahli ... 94

7. Surat Keterangan Validasi... 95

8. Penelaahan Karakter Siswa (Instrumen Penilaian Ahli) ... 96

9. Tabulasi Data Penilaian Ahli ... 109

10. Konversi Nilai Kualitas Instrumen oleh Ahli ... 117

11. Daftar Nama Guru Penilai Kualitas ... 119

12. Lembar Saran dan Kritik (Penilai Kualitas 1) ... 120

13. Lembar Saran dan Kritik (Penilai Kualitas 2) ... 121

14. Lembar Saran dan Kritik (Penilai Kualitas 3) ... 122

15. Penelaahan Kualitas (Instrumen Penilaian Kualitas Oleh Guru) ... 123

16. Hasil Analisis Penelaahan Kualitas ... 127

17. Konversi Nilai Penelaahan Kualitas... 131

18. Presensi Siswa ... 133

19. Skor Siswa pada Instrumen Penilaian Diri ... 134

20. Skor Rata-rata Penilaian Teman Sebaya ... 136

21. Skor Siswa pada Instrumen Penilaian Observasi ... 137

22. Tabel Nilai Kritis r Pearson Product Moment... 138

23. Hasil Analisis R-Commander Instrumen Penilaian Diri ... 139

24. Hasil Analisis R-Commander Instrumen Penilaian Teman Sebaya ... 140


(16)

xviii

26. Validitas Butir pada Instrumen Penilaian Diri ... 142

27. Validitas Butir pada Instrumen Penilaian Teman Sebaya ... 143

28. Validitas Butir pada Instrumen Penilaian Observasi ... 144

29. Skor Siswa pada Instrumen Penilaian Diri (Revisi) ... 145

30. Skor Siswa pada Instrumen Penilaian Teman Sebaya (Revisi) ... 147

31. Hasil Analisis R-Commander Instrumen Penilaian Diri (Revisi) ... 148

32. Hasil Analisis R-Commander Inst. Penilaian Teman Sebaya (Revisi) ... 149

33. Rangkuman Hasil Revisi Nilai Validitas dan Reliabilitas Penilaian Diri .. 150

34. Rangkuman Hasil Revisi Nilai Validitas dan Reliabilitas Penilaian Teman Sebaya ... 151

35. Konversi Nilai Afektif Siswa pada Instrumen Penilaian Diri ... 152

36. Konversi Nilai Afektif Siswa pada Instrumen Penilaian Teman Sebaya ... 154

37. Konversi Nilai Afektif Siswa pada Penilaian Observasi... 156


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pembelajaran Sains ... 10

B. Pendidikan Karakter ... 12

B.1 Hakikat Pendidikan Karakter ... 13

B.2 Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter ... 18

B.3 Implementasi Pendidikan Karakter di Lingkup Satuan Pendidikan ... 19

B.4 Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter ... 21

C. Muatan Nilai Ketuhanan ... 21


(18)

xiv

E. Penilaian Afektif ... 26

E.1 Karakteristik Ranah Afektif ... 29

E.2 Pengukuran Ranah Afektif ... 30

E.3 Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 45

B. Prosedur Pengembangan Produk ... 45

C. Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 51

D. Teknik Analisis Data ... 52

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 57

B. Pembahasan ... 74

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 80

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) pada hakikatnya meliputi empat unsur utama yaitu: sikap, proses, produk, dan aplikasi. Keempat unsur utama tersebut saling berkaitan membentuk suatu kesatuan yang utuh berdasarkan prinsip pemikiran ilmiah dan sikap yang melatarbelakanginya yang bertujuan agar siswa memiliki tiga kemampuan dasar, yaitu: (1) kemampuan untuk

mengetahui apa yang diamati, (2) kemampuan untuk memprediksi apa yang belum terjadi, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil eksperimen, (3) dikembangkannya sikap ilmiah. Sehingga secara garis besar pembelajaran sains adalah proses pemberian pengalaman langsung kepada siswa untuk mengembangkan kompetensi agar mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara sistematis melalui proses ilmiah dengan melibatkan seluruh panca indera sehingga berkembangnya sikap ilmiah dalam proses penemuan kembali kemudian penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pengembangan sikap ilmiah berkaitan dengan sebuah proses dalam jangka waktu panjang untuk menanamkan nilai-nilai ilmiah terhadap siswa, sehingga siswa mampu mengerti, berperan aktif, dan meyakini nilai tersebut yang nantinya dapat menjadi kebiasaan, berkembang menjadi sikap dan kemudian


(20)

2 karakter. Sikap dan karakter ilmiah dalam pembelajaran sains berkaitan erat dengan kesadaran siswa akan keindahan dan keteraturan alam, yang

meningkatkan keyakinan siswa terhadap Tuhan dan kecintaannya terhadap lingkungan. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan sains menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 68 tahun 2013 tentang kurikulum, yang menyatakan bahwasanya tujuan pendidikan sains menekankan pada pemahaman tentang lingkungan dan alam sekitar beserta kekayaan yang dimilikinya yang perlu dilestarikan dan dijaga dalam perspektif biologi, fisika, dan kimia. Integrasi berbagai konsep dalam mata pelajaran sains tersebut menggunakan pendekatan connected, yakni pembelajaran yang dilakukan pada konten bidang tertentu yang kemudian konten bidang lain yang relevan ikut dibahas. Pembelajaran integrasi ketiga mata pelajaran tersebut yang dikategorikan sebagai sains, mencakup tidak hanya ranah pengetahuan (kognitif) namun juga mencakup ranah keterampilan (psikomotor) dan ranah sikap (afektif). Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 65 tahun 2013 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah, ranah kognitif diperoleh melalui aktivitas mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Ranah psikomotor diperoleh melalui aktivitas mengamati,

menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Sedangkan ranah afektif diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan.

Sikap dan karakter ilmiah pada pembelajaran sains merupakan ranah afektif yang melakukan aktivitas berkelanjutan yang konsisten sehingga nilai yang


(21)

3 ditanamkan selama proses pembelajaran dapat mengubah sikap negatif siswa menjadi sikap positif yang kemudian dapat menjadi karakter positif. Hal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan utama pendidikan nasional, yang termaktub dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab.”

Menjadi manusia beriman beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab merupakan sikap dan karakter yang menjadi tujuan diadakannya pendidikan nasional. Sikap dan karakter tersebut yang kemudian menjadikan acuan pendidikan nasional sebagai pendidikan yang bermuatan karakter (pendidikan karakter).

Pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran sains adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku siswa sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, yang dirancang dan dilakukan menjadikan siswa menguasai kompetensi secara utuh yaitu tidak hanya menguasai pengetahuan tetapi juga mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan perilaku menjadikannya sebagai karakter bangsa.


(22)

4 Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 64 Tahun 2013 tentang standar isi nilai dan sikap ilmiah yang disarikan diantaranya

mencakup sikap spiritual (nilai ketuhanan) pada kompetensi inti satu (KI-1) dan nilai sosial (kecintaan lingkungan) pada kompetensi inti dua (KI-2). Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui dari perwujudan indikator Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam pribadi siswa secara utuh. Keberhasilan pendidikan tersebut dapat dilihat dalam setiap rumusan SKL. Adapun SKL SMP/MTs untuk dimensi sikap (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 54 Tahun 2013), adalah: (1) memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang yang beriman; (2) berakhlak mulia; (3) berilmu; (4) percaya diri; (5) bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

Penambahan nilai karakter pada pembelajaran sains tidak hanya mengubah sudut pandang para guru namun juga mempengaruhi seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Termasuk didalamnya pengubahan instrumen penilaian. Instrumen penilaian dijelaskan dalam

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 66 tahun 2013 tentang standar penilaian pendidikan yang menyatakan bahwa:

Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan penilaian otentik yang menilai kesiapan siswa, mencakup penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah.


(23)

5

Lebih jauh, dinyatakan bahwa instrumen penilaian yang digunakan mencakup kompetensi secara keseluruhan (otentik), mulai dari pengetahuan, keterampilan hingga sikap yang harus dilakukan secara komprehensif (masukan, proses dan keluaran pembelajaran) sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap siswa terhadap standar yang telah ditetapkan. Instrumen penilaian yang berkaitan dengan sikap dan karakter tercakup dalam ranah afektif yang dalam proses pengumpulan informasi tersebut dibutuhkan penilaian otentik dengan instrumen penilaian berupa instrument penilaian diri dan instrumen penilaian teman sebaya yang dilakukan oleh siswa serta instrumen penilaian observasi yang dilakukan oleh guru.

Tuntutan pendidikan nasional yang mengedepankan aspek pendidikan karakter yang terintegrasi dalam semua pelajaran termasuk pembelajaran sains, maka hal tersebut sudah pasti menjadi perhatian utama bagi para guru sains di tingkat Satuan Menengah Pertama (SMP) dimanapun di negeri ini. Perubahan kurikulum jelas mempengaruhi seluruh perangkat pembelajaran termasuk penyusunan instrumen penilaian yang sesuai dengan standar yang nasional pendidikan. Keterbatasan pengetahuan guru dan rendahnya sosialisasi dan pelatihan mungkin menjadi salah satu penyebab ketidakharmonisan antara tuntutan dan kenyataan di lapangan. Hal tersebut didukung dengan data hasil penelitian pendahuluan yang telah dilaksanakan oleh pengembang di SMP Negeri 2 Bandar Lampung dan SMP Negeri 8 Bandar Lampung untuk menyelidiki sejauh mana penerapan

penilaian otentik pada ranah kognitif, psikomotor, terlebih pada ranah afektif

yang telah dilakukan oleh guru-guru di sekolah dan bagaimana kesesuaiannya dengan tuntutan kurikulum 2013, untuk menyelidiki sejauh mana penggunaan instrumen penilaian afektif (instrumen penilaian diri, instrumen penilaian


(24)

6 teman sebaya, dan instrumen penilaian observasi) yang dilaksanakan oleh guru dalam melakukan penilaian afektif secara otentik di sekolah.

Berdasarkan hasil analisis didapatkan kesimpulan bahwa hanya sebagian kecil guru yang telah melakukan penilaian pembelajaran terhadap aspek kognitif, psikomotor dan afektif secara otentik, khususnya pada pengambilan penilaian afektif, seluruh guru belum menggunakan pengolahan penilaian otentik yang sistematis. Hal tersebut ditunjukkan dengan preferensi negatif (unfavorable) pada setiap butir pernyataan angket yang menanyakan detail mengenai sistematika pengambilan penilaian afektif secara otentik. Dalam praktik pembelajaran di Sekolah, guru mendasarkan pengambilan keputusan penilaian afektif pada pengamatan (observasi) siswa secara umum, guru membuat persepsi yang mendasarkan nilai afektif siswa sama dengan nilai kognitif siswa tersebut. Sehingga, siswa dengan nilai kognitif tinggi cenderung memiliki nilai afektif yang tinggi pula pada penilaian akhir pembelajaran yang kemudian tertuang dalam rapor siswa. Oleh karena ketimpangan yang terjadi antara tuntutan kurikulum dalam standar penilaian dengan realisasi pelaksanaan penilaian di sekolah, akhirnya dikembangkan instrumen penilaian afektif yang valid, mengacu pada kompetensi inti satu (KI-1) mengenai sikap spiritual (nilai ketuhanan) dan kompetensi inti dua (KI-2) mengenai nilai sosial (kecintaan terhadap lingkungan) pada


(25)

7 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian pengembangan ini adalah diperlukannya instrumen penilaian afektif bermuatan nilai ketuhanan dan kecintaan terhadap lingkungan pada pembelajaran sains materi wujud zat (zat padat, cair, dan gas).

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian pengembangan ini adalah untuk menghasilkan instrumen penilaian afektif yang valid bermuatan nilai ketuhanan dan kecintaan terhadap lingkungan pada pembelajaran sains/IPA materi wujud zat (zat padat, cair, dan gas).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh melalui penelitian pengembangan ini adalah : a. Menjadi acuan (referensi) dalam pembuatan instrumen penilaian afektif

yang valid bermuatan nilai ketuhanan dan kecintaan terhadap lingkungan pada pembelajaran sains SMP materi wujud zat (zat padat, cair, dan gas). b. Memberikan pengetahuan bagi para guru dan siswa terhadap proses

pembelajaran sains yang bermuatan karakter berdasarkan kurikulum 2013 dan bagaimana teknik serta cara pembuatan instrumen penilaian afektif yang valid.

c. Membantu guru menyusun perangkat pembelajaran terutama perangkat instrumen yang dituntut oleh kurikulum terbaru, kurikulum 2013 mengenai integrasi pendidikan karakter pada semua mata pelajaran,


(26)

8 termasuk pembelajaran sains sehingga tujuan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan menengah pertama mampu tercapai.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian pengembangan ini dibatasi dalam ruang lingkup berikut:

a. Pengembangan merupakan proses pengujian keefektifan suatu instrumen b. Pengembangan yang dimaksud adalah proses mengembangkan instrumen

penilaian afektif berdasarkan aturan standar penilaian pendidikan (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 66 tahun 2013). c. Metode pengembangan yang digunakan mengacu pada model

pengembangan oleh Borg dan Gall, yaitu 1) penelitian dan pengumpulan data pendahuluan, 2) perencanaan dan pengembangan produk awal, 3) uji coba awal (uji ahli oleh dosen dan uji kualitas oleh guru), 4) revisi produk utama, 5) uji lapangan utama, 6) analisis hasil 7) revisi produk akhir, 8) penafsiran, serta 9) diseminasi dan implementasi produk.

d. Penilaian yang digunakan pada penelitian adalah penilaian afektif sebagai bagian dari penilaian otentik.

e. Penilaian afektif adalah penilaian yang mencakup watak perilaku seperti sikap

dan nilai/karakter siswa.

f. Spesifikasi instrumen yang dikembangkan adalah self assessment (instrumen

penilaian diri), peer assessment (instrumen teman sebaya), dan observation

assessment (instrumen penilaian observasi) beserta rubriknya.


(27)

9

h. Pembelajaran sains adalah proses pemberian pengalaman langsung kepada

siswa untuk mengembangkan kompetensi agar mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara sistematis dengan menggunakan

kemampuan dasar sains melalui proses ilmiah yang melibatkan seluruh panca indera yang merujuk pada proses penemuan kembali (inkuiri) kemudian penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

i. Sikap dan karakter siswa yang diteliti adalah Sikap dan karakter yang sesuai dengan indikator KI-1 (keyakinan siswa terhadap nilai-nilai Ketuhanan) dan KI-2 (sikap teliti, cermat, tekun hati-hati, objektif, jujur, tanggung jawab, terbuka, dan kritis didasarkan pada pemikiran kreatif dan inovatif dalam melakukan percobaan, serta sikap dan tindakan siswa yang peduli dan menghargai orang lain maupun terhadap lingkungan sekitar). j. Uji coba produk penelitian pengembangan dilakukan pada siswa kelas VII


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Pembelajaran Sains

Sains pada hakikatnya berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga sains tentu saja bukan hanya penguasaan

kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Proses

pembelajaran sains ditekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. (Pusat Kurikulum Balitbang, 2006: 377).

Di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), pembelajaran sains dilakukan secara terpadu. Keterpaduan tersebut mengarahkan siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar dalam merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep sains dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. Selain keterpaduan, pembelajaran sains menerapkan prinsip inkuiri ilmiah artinya mencari tahu sebab terjadinya sesuatu dengan metode ilmiah yang mampu menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, bersikap serta mengomunikasikan informasi secara ilmiah.


(29)

11 Tiga komponen keilmuan meliputi metode ilmiah, sikap ilmiah, dan produk ilmiah, sedangkan sains adalah produk ilmiah yang mengandung fakta, konsep dan prosedur (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 1-2). Metode ilmiah dapat dijelaskan pada gambar 2.1:

Gambar 2.1. Metode Ilmiah

Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional, 2010

Dalam metode ilmiah, siswa dituntut untuk selalu berpikir deduktif. Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, (2010: 1) :

Berpikir deduktif adalah berpikir dari hal-hal yang umum ke khusus, dari abstrak ke konkrit dan biasanya menggunakan logika, sedangkan berpikir induktif adalah berpikir dari hal-hal yang khusus ke umum, dari konkrit ke abstrak dan biasanya menggunakan statistika.

Trianto (2012: 138) menyatakan bahwa sikap dan karakter ilmiah dalam tiga komponen keilmuwan antara lain:

1. Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan YME.

2. Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sentitif, obyektif, jujur, terbuka, benar dan dapat bekerja sama

deduktif deduktif

Khasanah Ilmu

Ditolak Pengujian Hipotesis Perumusan

Hipotesis

Penyusunan Kerangka Berpikir Permasalahan


(30)

12 3. Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis, induktif dan

deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam

4. Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah dan melakukan observasi

Sedangkan produk ilmiah,yaitu pembelajaran sains untuk tingkat SMP/MTs bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 tahun 2006).

1. Meningkatkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaanNya

2. Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip sains yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat

4. Melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah serta berkomunikasi

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan

7. Meningkatkan pengetahuan, konsep, dan keterampilan sains sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

B. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Hal ini termaktub dalam Pasal 3 UU Sisdiknas (2003) yang menyebutkan:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.


(31)

13 Hal tersebut yang kemudian mendasari pemberlakuan kurikulum baru 2013 yang merupakan pengembangan dari kurikulum sebelumnya KTSP.

Kurikulum ini tidak hanya memberikan kompetensi namun juga

mengintegrasikan pendidikan karakter pada semua mata pelajaran di setiap tingkat satuan pendidikan.

B.1 Hakikat Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan mengenai

kebaikan dalam kehidupan, hal ini berkaitan dengan pengertian karakter yang merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa, sehingga upaya mengembangkan karakter hanya terjadi melalui pengembangan karakter individu seseorang.

Wynne (1991) dalam Mulyasa (2012: 3) mengemukakan :

karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.

Oleh sebab itu, orang yang berperilaku tidak jujur, curang, kejam, dan rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter buruk, sedangkan yang


(32)

14 berkarakter baik, jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter baik/mulia.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Dirjen Pendidikan Agama Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia dalam Mulyasa (2012: 4) mengemukakan bahwa:

karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi pada perilaku individu yang bersifat unik, dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan lainnya. Oleh karena ciri-ciri karakter tersebut dapat diidentidikasi pada perilaku individu dan bersifat unik, maka karakter sangat dekat dengan kepribadian individu.

Dalam proses pendidikan, Khan (2010: 2) menjelaskan terdapat empat jenis karakter yang selama ini dilaksanakan, yaitu sebagai berikut. 1. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara yang merupakan

kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral)

2. Pendidikan karakter berbasis budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan)

3. Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan) 4. Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil

proses kesadaran pemberdayaan potensi dari yang darahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis).

Lebih lanjut, Lickona dalam Mulyasa (2012: 4) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (konsep moral), moral felling (sikap moral), dan moral behavior (perilaku moral). Konsep moralberkaitan dengan moral awareness, knowing moral values,

perspective taking, moral reasoning, decision making, dan self knowledge. Sikap moral berkaitan dengan conscience, self-esteem, empathy, loving the good, self-control, dan humility. Sedangkan perilaku


(33)

15 moral merupakan perpaduan dari moral knowing dan moral feeling yang diwujudkan dalam bentuk competence (kompetensi), will (keinginan), dan habit (kebiasaan). Hal tersebut digambarkan seperti pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Keterkaitan antara komponen moral dalam rangka pembentukan karakter yang baik menurut Lickona

Sumber: Lickona dalam Mulyasa, 2012

Melengkapi uraian tersebut, Megawangi dalam Mulyasa (2012: 5), pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun 9 pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut.

(1) Cinta Allah dan kebenaran;

(2) Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri; (3) Amanah;

(4) Hormat dan santun;

(5) Kasih sayang, peduli, dan kerja sama; (6) Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah; (7) Adil dan berjiwa kepemimpinan;

(8) Baik dan rendah hati; dan (9) Toleran dan cinta damai.

Mengacu pada pernyataan Megawangi tersebut, nilai-nilai yang kemudian dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.

Konsep moral

Sikap mental

Perilaku moral


(34)

16 1. Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

2. Pancasila: negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

3. Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan


(35)

17 masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam

pendidikan budaya dan karakter bangsa.

4. Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Berdasarkan keempat sumber nilai itulah, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebanyak 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat

kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.

Lebih jelas tentang nilai-nilai pendidikan karakter dapat dilihat pada gambar berikut:


(36)

18

Gambar 2.3 Nilai-nilai karakter berlandaskan budaya bangsa Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas, 2010

B.2 Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 yang memiliki tujuan untuk :

membina dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,

berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pemerintah Republik Indonesia, 2010 : 4)

Dari kebijakan nasional tersebut, diharapkan pendidikan karakter mampu meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui pendidika karakter siswa mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan

menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.


(37)

19

Adapun fungsi dari Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa tersebut adalah sebagai berikut : (1) Pengembangan potensi dasar, agar

“berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik”, (2) Perbaikan

perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik, (3) Penyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Ruang lingkupnya meliputi : keluarga, satuan pendidikan, pemerintahan, masayarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha dan industri, dan media massa. Ini menunjukkan bahwa semua elemen masayrakat diminta berpartisipasi dalam gerakan pembangunan bangsa. Dalam hal ini, satuan pendidikan, terutama pendidikan formal sangat sentral posisi dan

perannya (Pemerintah Republik Indonesia, 2010: 5-7).

B.3 Implementasi Pendidikan Karakter di Lingkup Satuan Pendidikan Mengacu pada Kebijakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa(2010), Kementerian Pendidikan Nasional telah menyusun Desain Induk

Pendidikan Karakter (2010). Isinya mencakup antara lain kerangka dasar, pendekatan, dan strategi implementasi pendidikan karakter. Konfigurasi karakter ditetapkan berdasarkan empat proses psikososial, yaitu olah pikir, olah hati, olah raga, olah rasa/karsa. Nilai-nilai yang berasal dari olah pikir: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi ipteks, reflektif. Yang berasal dari olah hati: jujur, beriman dan bertakwa, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, mengambil reaiko, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Selanjutnya yang berasal dari olah raga : tangguh, bersih dan sehat,


(38)

20 disiplin, sportif, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, kompetetif, ceria. Yang terakhir yang berasal dari olah rasa/karsa: peduli, ramah, santun, rapi, nyaman, saling menghargai, toleran, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamik, kerja keras, beretos kerja, dan gigih (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010: 9).

Implementasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran sains harus dilakukan dengan pendekatan komprehensif. Ada empat metode yang dapat dilakukan (Zuchdi dan Masruri, 2013: 87) :

1. Inkulkasi (penanaman) nilai 2. Keteladanan

3. Fasilitasi nilai

4. Pengembangan keterampilan hidup (soft skill)

Secara umum, penanaman nilai dalam diri siswa dapat dilakukan melalui bentuk integrasi nilai dalam setiap mata pelajaran, termasuk sains. Keteladanan dapat diterapkan melalui ucapan dan perilaku guru yang sesuai dengan nilai-nilai target yang ditanamkan. Teladan juga dapat dimunculkan secara tidak langsung dengan menggunakan tokoh-tokoh bidang sains yang telah menghasilkan karya-karya monemental yang sangat berguna bagi kesejahteraan manusia. Fasilitasi nilai dalam pembelajaran sains dapat melalui suatu perangkat pembelajaran yang berisi silabus, rpp, buku siswa, lembar kegiatan siswa, dan instrumen penilaian siswa. Perangkat tersebut disusun oleh guru dengan

mempertimbangkan kemungkinan bagi siswa untuk berlatih membuat keputusan dalam menghadapi masalah kehidupan. Pengembangan soft


(39)

21 skill melalui pembelajaran sains dapat dilakukan dengan melatih siswa berpikir kritis, kreatif, dan berkomunikasi secara jelas dalam

menyampaikan pendapat.

B.4 Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui dari

perwujudan indikator SKL dalam pribadi siswa secara utuh. Keberhasilan pendidikan tersebut dapat dilihat dalam setiap rumusan SKL. Sebagai contoh SKL SMP/MTs untuk dimensi sikap (Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan No. 54 Tahun 2013), adalah sebagai berikut. 1. Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang yang beriman. 2. Berakhlak mulia.

3. Berilmu 4. Percaya diri

5. Bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

C. Muatan Nilai Ketuhanan

Setiap agama di Indonesia mengakui akan Keesaan Tuhan sesuai dengan sila pertama Pancasila. Islam menjelaskannya dalam Alquran (Al Baqarah: 163)

Tuhanmu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Begitupun dalam agama lainnya seperti Budha yang menghayati dan

memahami ketuhanan dengan sempurna seperti sabda dalam Udana VIII ayat 3 berikut.

Ada yang tidak terlahir, yang tidak terjelma, yang tidak tercipta, yang mutlak


(40)

22 Hindu pada Weda I.164.46 dalam (Sukarma: 2014)

Ekam Sat Viprah bahudha vadanti” (hanya terdapat satu kebenaran yang Mutlak)

Protestan pada Mazmur 121: 1-2 dalam (Web Hoster: 2012)

Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Maha Penolong, Tuhan Khalik Langit dan Bumi beserta isinya”

Katolik pada 1Tim 6: 15-16 dalam (Siringoringo: 2013)

“Penguasa satu-satunya, yang penuh bahagia, Raja segala raja dan Tuan segala tuan; satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri, yang tak pernah dilihat seorang manusia dan juga tidak dapat dilihat”

Keimanan pada Keesaan Tuhan diimplementasikan dalam perilaku dan perbuatan dalam kehidupan berbangsa, termasuk dalam pendidikan nasional Indonesia. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (amandemen) yang

menjelaskan bahwa pengembangan pendidikan nasional diorientasikan

“… untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepadan Tuhan yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa.” (Pasal 31 Ayat 3).

Pada Pasal 31 Ayat 3 diatas, menjelaskan bahwa kecerdasan harus didasari pada keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Sehingga untuk membangun manusia dengan karakter dan kompetensi dibutuhkan, maka proses pembelajaran sains meski integral dengan agama yang dilakukan secara holistik.

Keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dapat dicerminkan dalam berbagai perwujudan. Dalam Islam, diimani bahwasanya sifat Tuhan


(41)

23 Yang Maha Esa tidak sama dengan sifat yang dimiliki oleh manusia ataupun makhluk lainnya. Di dalam Al-Qur’an surat Al A’raf ayat 54 dijelaskan bahwa:

“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.“

Ayat tersebut menjelaskan mengenai sifat wajib Allah SWT, yaitu wujud (ada). Keberadaan-Nya dapat diamati dari berbagai ciptaan di alam semesta. Adanya Allah itu bukan karena ada yang mengadakan atau menciptakan, tetapi Allah itu ada dengan zat-Nya sendiri. Allah SWT itu qidam (terdahulu), mustahil Allah SWT itu huduts (baru). Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al Hadiid ayat 3:

“Dialah Yang Awal …”

Sifat-sifat Allah penting diberikan dalam pembelajaran dalam rangka penanaman karakter ketuhanan pada diri setiap siswa. Selain itu, Al-Qur’an juga antara lain menganjurkan untuk mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan menggunakan akal untuk memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan persamaannya dengan para ilmuan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang sangat berarti antara pandangan atau penerapan keduanya. Dibalik alam raya ini ada Tuhan yang wujud-Nya dirasakan di dalam diri manusia, dan bahwa tanda-tanda wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan penelitian manusia, sebagai bukti kebenaran Al-Qur’an. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan


(42)

24 bagaimana Al-Qur’an selalu rnengaitkan perintah-perintah-Nya yang

berhubungan dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan pengakuan atas kebesaran dan kekuasaan-Nya (Hadi, 2010).

D. Muatan Nilai Kecintaan lingkungan

Lingkungan merupakan suatu yang amat penting dalam kehidupan manusia. Kerusakan terhadap lingkungan hidup membawa dampak yang amat besar terhadap kehidupan manusia. Pemanasan global, banjir, tanah longsor

merupakan sebagian kecil dari dampak kerusakan lingkungan hidup terhadap tata kehidupan umat manusia. Semakin rusaknya lingkungan hidup yang ada mengancam eksistensi keanekaragaman hayati yang kita miliki. Kondisi itu akan berakibat terancamnya kesejahteraan hidup umat manusia.

Untuk Indonesia, pertama kali hak atas lingkungan yang sehat dan baik diakui dalam sebuah UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tentang Lingkungan Hidup yang diganti dengan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian juga hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik di Indonesia diakui sebagai HAM melalui

ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dalam (Kotijah: 2009). Pada salah satu pasal pada Dekrasi Nasional tentang HAM menetapkan bahwa,

” setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik.” Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dasarnya pada Pasal 28H UUD 1945, dengan ditempatkan hak lingkungan ini diharapkan semua lapisan masyarakat semakin menjaga kualitas lingkungan hidup dengan perlu


(43)

25 dilakukan suatu perlindungan dan pengelolaan yang terpadu, intragrasi dan seksama untuk mengantisipasi penurunan akibat pemanasan global.

Dari sudut pandang pendidikan, lingkungan merupakan bagian yang

terintegrasi dalam proses pembelajaran. Sudrajat (2008) menyatakan bahwa: Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang sangat penting dan memiliki nilai-nilai yang sangat berharga dalam rangka proses pembelajaran siswa, lingkungan dapat memperkaya bahan dan kegiatan belajar siswa, lingkungan juga mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan konsep karena peranan sikap dan pengembangan keterampilan siswa dapat juga terjadi karena interaksi dengan lingkungan, yang akan membawa siswa pada situasi yang lebih konkret dan akan memberikan dampak peningkatan apresiasi siswa terhadap konsep-konsep sains dan lingkungannya.

Menurut Hamalik (2011: 195) lingkungan sebagai dasar pengajaran adalah kondisional yang mempengaruhi tingkah laku individu dan merupakan faktor belajar yang penting. Hamalik menjelaskan bahwa lingkungan

belajar/pembelajaran/pendidikan terdiri dari berikut ini:

(1) Lingkungan sosial adalah lingkungan masyarakat baik kelompok besar atau kelompok kecil; (2) Lingkungan personal meliputi individu-individu sebagai suatu pribadi berpengaruh terhadap individu pribadi lainnya; (3) Lingkungan alam (fisik) meliputi semua sumber daya alam yang dapat diberdayakan sebagai sumber belajar; (4) Lingkungan kultural mencakup hasil budaya dan teknologi yang dapat dijadikan sumber belajar dan yang dapat menjadi faktor pendukung pengajaran. Dalam konteks ini termasuk sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan.

Lingkungan memiliki fungsi yang penting dalam proses pembelajaran. Pengajaran berdasarkan alam sekitar akan membantu anak didik menyesuaikan dirinya dengan keadaan sekitarnya.

Ketika kita berinteraksi dengan alam, Islam juga mengajarkan bahwa hak kita dalam memanfaatkan alam juga dibatasi oleh hak alam dan isinya itu sendiri.


(44)

26 Manusia tidak boleh berlebih-lebihan dalam memanfaatkan alam karena hal yang berlebihan tersebut akan dapat menimbulkan kerusakan. Sebagaimana

tercantum dalam Al Quran surat Al An’am (6: 141) yang artinya:

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Masalah lingkungan adalah berbicara tentang kelangsungan hidup (manusia dan alam). Melestarikan lingkungan sama maknanya dengan menjamin kelangsungan hidup manusia dan segala yang ada di alam dan sekitarnya. Sebaliknya, merusak lingkungan hidup, apapun bentuknya, merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hidup alam dan segala isinya.

E. Penilaian Afektif

Menurut Gronlund & Linn dalam Kusaeri dan Suprananto (2012: 8), penilaian sebagai suatu proses yang sistematis dan mencakup kegiatan mengumpulkan, menganalisis, serta menginterpretasikan informasi untuk menentukan seberapa jauh seorang siswa atau sekelompok siswa mencapai tujuan pembelajan yang telah ditetapkan, baik aspek pengetahuan, sikap maupun keterampilan.

Beberapa hal menjadi prinsip dalam penilaian adalah: (1) proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not a part from


(45)

27 instruction); (2) penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world problem), bukan dunia sekolah (school work-kind of problems); (3) penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metode, dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar; dan (4) penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik) (Pusat Kurikulum Balitbang, 2009: 3).

Penilaian afektif (sikap) berangkat dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan bertindak seseorang dalam merespon

sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki seseorang.

Dalam pembelajaran sains, didalamnya ada komponen sikap, yaitu sikap ilmiah. Sikap ilmiah adalah komponen afektif. Menurut Krathwol (1961) dalam Mushlich (2010:165) :

taksonomi tingkatan ranah afektif ada lima, yaitu receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization.

Penjelasan mengenai tingkatan ranah afektif tersebut, yaitu sebagai berikut. 1. Tingkatan Receiving

Pada tingkat receiving, siswa memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik misalnya mengarahkan siswa agar senang membaca buku, senang bekerjasama, yang membuat kesenangan tersebut menjadi kebiasaan.


(46)

28

2. Tingkat Responding

Responding merupakan partisipasi aktif siswa, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini, siswa tidak hanya memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini

menekankan pada pemerolehan respon, berkeinginan memberi respon, atau kepuasan memberi respons. Misalnya senang membaca buku, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihann dan kerapian.

3. Tingkat Valuing

Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang

menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, misalnya keinginan untuk meningkatkan keterampilan, sampai pada tingkat komitmen. Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal secara jelas. Penilaian diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi. 4. Tingkat Organization

Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten. Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai, misalnya pengembangan filsafat hidup.

5. Tingkat Characterization

Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini siswa memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada


(47)

29 waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran ini

berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.

Bentuk penilaian afektif menurut Sunarti dan Rahmawati (2014: 46) mencakup empat ranah, yaitu sebagai berikut:

1. Sikap, 2. Minat, 3. Nilai, dan 4. Konsep diri.

(1) Penilaian sikap, digunakan untuk mengukur kecenderungan siswa merespon suatu objek, situasi, konsep, atau orang, baik menyukai atau tidak menyukai. Penilaian sikap siswa dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen sikap. (2) Penilaian minat, digunakan untuk mengukur

keingintahuan siswa terhadap keadaan suatu objek yang terorganisasi melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek,

pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Penilaian minat dapat berupa kuesioner. (3) Penilaian Nilai, digunakan untuk mengukur suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu yang menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Penilaian terhadap nilai dapat dilakukan dengan membuat instrumen nilai berupa kuesioner. (4) Penilaian konsep diri, digunakan untuk mengukur dirinya sendiri menyangkut

keunggulan dan kelemahannya. Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen konsep diri berupa kuesioner.

E.1 Karakteristik Ranah Afektif

Tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap dan nilai. 1. Sikap


(48)

30 Sikap merupakan suatu kecendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek.

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Muslich (2010:166):

Sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap pelajaran.

Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran menurut Hamid (2011: 174) adalah sebagai berikut:

a. Sikap terhadap materi pelajaran. b. Sikap terhadap guru pengajar. c. Sikap terhadap proses pembelajaran.

d. Sikap terhadap kasus tertentu yang berkaitan dengan pelajaran (contoh isu lingkungan).

e. Sikap yang berkaitan dengan nilai-nilai tertentu (contoh nilai Ketuhanan).

f. Sikap yang berkaitan dengan kompetensi afektif.

2. Nilai

Nilai menurut Rokeach dalam Muslich (2011: 168) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.

E.2 Pengukuran Ranah Afektif

Dalam memilih karakteristik afektif untuk pengukuran, para pengelola pendidikan (khususnya guru) harus mempertimbangkan rasional teoritis dan program sekolah. Masalah yang timbul adalah bagaimana ranah


(49)

31 afektif diukur. Isi dan validitas konstruk ranah afektif tergantung pada definisi operasional yang secara langsung mengikuti definisi konseptual.

Menurut Andersen dalam Muslich (2010:170) :

ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode pelaporan diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karakteristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan dan atau reaksi psikologi. Metode pelaporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri.

E.3 Pengembangan Instrumen Penilaian Afektif

Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Menurut Muslich (2010:171), langkah-langkah dalam mengembangkan instrumen penilaian afektif yaitu : 1. Menentukan spesifikasi instrumen

2. Menulis instrumen

3. Menentukan skala instrumen 4. Menentukan pedoman penskoran 5. Menelaah instrumen

6. Merakit instrumen 7. Melakukan uji coba

8. Menganalisis hasil uji coba 9. Memperbaiki instrumen 10. Melaksanakan pengukuran 11. Menafsirkan hasil pengukuran

1. Menentukan Spesifikasi Instrumen a. Instrumen Sikap

Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik, dan sebagainaya.


(50)

32 b. Instrumen Nilai

Instrumen nilai/karakter bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan siswa. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.

Dalam menyusun aplikasi instrumen perlu memperhatikan empat hal yaitu 1) tujuan pengukuran, 2) kisi-kisi instrumen, 3) bentuk dan format instrumen, dan 4) panjang instrumen.

Setelah menetapkan tujuan pengukuran afektif, kegiatan berikutnya adalah menyusun kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi merupakan matrik yang berisi spesifikasi yang akan ditulis. Langkah pertama dalam menentukan kisi-kisi adalah menentukan definisi konseptual yang berasal dari teori-teori yang diambil dari buku teks. Selanjutnya mengembangkan definisi operasional berdasarkan kompetensi dasar, yaitu kompetensi yang dapat diukur. Definisi operasional ini

kemudian dijabarkan menjadi sejumlah indikator. Indikator

merupakan pedoman dalam menulis instrumen. Tiap indikator bisa dikembangkan dua atau lebih instrumen.

Dalam penetapan indikator, sama dengan cara perumusan indikator ranah kognitif, pada ranah afektif ini indikator dapat dirumuskan sebagai berikut :


(51)

33 B.Behavior : tingkah laku yang diharapkan (sikap) dapat diminati, C.Condition : kondisi pembelajaran/ pengukuran,

D.Degree : derajatkeberhasilan; karena derajat keberhasilan dalam ranah afektif ini sulit diukur, maka dinyatakan secara lebih luwes dibandingkan rumusan dalam ranah kognetif. Dalam ranah afektif

dapat dinyatakan misalnya “atas kemauannya sendiri”, “tanpa ada yang menyuruh”, “dengan senang hati”, “dengan suka rela”.

2. Penulisan Instrumen

Sebelum instrumen afektif ditulis, harus ditentukan terlebih dahulu kisi-kisinya, yaitu kisi-kisi instrumen afektif. Kisi-kisi ini diarahkan pada indikator-indikator yang akan dinilai, jumlah butirnya, tipe instumennya (pertanyaan atau pernyataan), dan skala nilainya.

Menurut Bloom dalam Uno dan Koni (2012: 62) domain afektif tersusun dalam urutan hierarkis dimulai dari sederhana hingga kompleks. Ada lima tingkatan afeksi dimulai dari yang sederhana, yaitu kemauan menerima, kemauan menanggapi, berkeyakinan, mengorganisasi, membentuk pola. Sehingga dalam membuat pernyataan perlu pengetahuan mengenai kata kerja operasional berdasarkan tingkatan tersebut. Berikut daftar kata kerja operasional dalam domain afektif (Uno dan Koni 2012: 84):

1. Indikator Penerimaan (Menerima)

Menerima, menanggapi, mendengar, menanyakan, memilih, mengikuti, menjawab, melanjutkan, memberi, menyatakan, dan menempatkan.


(52)

34 Mempertahankan, memperdebatkan, bergabung, melaksanakan, membantu, menawarkan diri, menyambut, mendatangi,

melaporkan, menyumbangkan, menyesuaikan diri, menampilkan, membawakan, mendiskusikan, menyelesaikan, menyatakan persetujuan, mempraktikkan.

3. Indikator Penentuan Sikap (Berkeyakinan)

Menunjukkan, melaksanakan, menyatakan pendapat, mengikuti, mengambil prakarsa, memilih, ikut serta, menggabungkan diri, mengundang, mengusulkan, membela, menuntun, membenarkan, menolak, mengajak.

4. Indikator Organisasi (Mengorganisasikan)

Merumuskan, berpegang pada, mengintegrasikan, menghubungkan, mengaitkan, menyusun, mengubah, memperbandingkan, mempertahankan, memodifikasikan. 5. Indikator Pembentukan Pola (Membentuk Pola)

Bertindak, menyatakan, memperlihatkan, mempraktikkan, melayani, mengundurkan diri, membuktikan, menunjukkan, bertahan, mempertimbangkan, mempersoalkan.

Berdasarkan kata kerja operasional tersebut kemudian disesuaikan dengan indikator pencapaian pada kompetensi inti kurikulum 2013 yang dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan No. 64 th 2013 tentang standar isi. Berikut contoh kisi-kisi instrumen penilaian.

Tabel 2.1 Contoh Kisi-Kisi Instrumen Afektif Indikator Jumlah

Soal

Pertanyaan/ Pernyataan

Skala Positif/Negatif Nilai Jujur 1 Saya tidak

menyontek pada saat

mengerjakan ujian

Positif

Toleransi 1 Saya berteman tanpa membeda-bedakan agama

Positif

Cinta Damai

1 Saya selalu memukul teman saya bila dia menghina saya

Positif


(53)

35 Selanjutnya, penilaian ranah afektif siswa dilakukan dengan

menggunakan instrumen, menurut Muslich (2011:172) sebagai berikut.

1) Instrumen Sikap

Sikap merupakan kecenderungan merespon secara konsisten baik menyukai atau tidak menyukai suatu objek. Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap suatu objek. Definisi operasional : sikap adalah perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek. Objek bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran. Cara yang mudah untuk mengetahui sikap siswa adalah dengan kuesioner.

Pertanyaan tentang sikap meminta responden menunjukkan perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek, atau suatu kebijakan. Kata-kata yang sering digunakan pada pertanyaan sikap menyatakan arah perasaan seseorang; menerima-menolak, menyenangi-tidak menyenangi, baik-buruk, diingini-tidak

diingini. Contoh : Saya senang belajar sains, saya sering bertanya pada guru mengenai pelajaran sains.

2) Instrumen Nilai (Karakter)

Nilai adalah keyakinan terhadap suatu pendapat, kegiatan, atau objek. Definisi operasional nilai adalah keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Misalnya keyakinan akan kemampuan siswa dan kinerja guru.


(54)

36

Nilai merupakan konsep penting dalam pembentukan kompetensi siswa. Kegiatan yang disenangi siswa di sekolah dipengaruhi oleh nilai siswa terhadap kegiatan tersebut. Nilai seseorang pada dasarnya terungkap melalui bagaimana ia berbuat atau keinginan berbuat. Nilai berkaitan dengan keyakinan, sikap dan aktivitas atau tindakan seseorang. Tindakan seseorang terhadap sesuatu merupakan refleksi dari nilai yang dianutnya.

Instrumen nilai bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan individu. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Contoh indikator nilai adalah :

1. Memiliki keyakinan akan peran sekolah dan kemampuan guru

2. Memiliki keyakinan bahwa belajar merupakan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan

3. Memiliki keyakinan bahwa kejujuran dalam belajar dan beraktivitas adalah hal yang harus dipegang teguh. 4. Mempertahankan keyakinan akan harapan masyarakat

Contoh pernyataan untuk kuesioner tentang nilai siswa : 1. Saya berkeyakinan bahwa prestasi siswa sulit untuk

ditingkatkan

2. Saya berkeyakinan bahwa belajar merupakan hal yang sulit dan tidak membawa pengaruh apapun dalam kehidupan sehari-hari


(55)

37 3. Saya berkeyakinan bahwa kejujuran akan membawa hidup

yang lebih baik

4. Saya berkeyakinan bahwa kinerja pendidik sudah maksimal

Selain melakukan kuesioner ranah afektif siswa, sikap, minat, konsep diri, dan nilai dapat digali melalui pengamatan. Pengamatan karakteristik siswa dilakukan ditempat

dilaksanakannya kegiatan pembelajaran. Untuk mengetahui keadaan ranah afektif siswa, perlu ditentukan terlebih dahulu indikator substansi yang akan diukur, dan siswa harus menacatat setiap perilaku yang muncul dari siswa yang berkaitan dengan indikator tersebut.

3. Skala Instrumen Penilaian Afektif

Skala yang digunakan dalam instrumen penelitian afektif adalah Skala Likert.

Tabel 2.2 Sikap terhadap Pelajaran Sains (Contoh Skala Likert)

No Aspek Penilaian SS S R TS STS

1 Sains terlalu banyak rumus 2 Tidak semua harus belajar sains 3 Sains harus dibuat mudah 4 Sains menajamkan imajinasi 5 Saya menyukai sains

Sumber: Sunarti dan Rahmawati (2014: 85) Keterangan :

SS : Sangat setuju S : Setuju

R : Ragu

TS : Tidak setuju


(56)

38 4. Sistem Penskoran

Sistem penskoran yang digunakan tergantung pada skala

pengukuran. Apabila digunakan skala Likert, pada awalnya skor tertinggi tiap butir 4 dan terendah 0. Skor perolehan perlu dianalisis untuk tingkat siswa dan tingkat kelas, yaitu dengan mencari rerata (mean) dan simpangan baku skor. Selanjutnya ditafsirkan hasilnya untuk mengetahui minat masing-masing siswa dan minat kelas terhadap suatu mata pelajaran.

5. Telaah Instrumen

Kegiatan pada tahap ini adalah menelaah apakah (a) butir pernyataan sesuai dengan indikator, (b) bahasa yang digunakan komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, (c) butir pernyataan tidak bias, (d) format instrumen menarik untuk dibaca, (e) pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas, dan (f) jumlah butir dan atau panjang kalimat pernyataan sudah tepat sehingga tidak menjemukan untuk dibaca/dijawab.

Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila ada pakar penilaian. Telaah juga dapat dilakukan oleh teman sebaya bila yang diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang digunakan adalah yang sesuai dengan tingkat pendidikan responden. Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen.


(57)

39 Panjang instrumen berhubungan dengan masalah kebosanan, yaitu tingkat kejenuhan dalam mengisi instrumen. Lama pengisian instrumen sebaiknya tidak lebih dari 30 menit. Langkah pertama dalam menulis suatu pernyataan adalah informasi apa yang ingin diperoleh, struktur pertanyaan, dan pemilihan kata-kata. Pernyataan yang diajukan jangan sampai bias, yaitu mengarahkan jawaban responden pada arah tertentu, positif atau negatif.

Contoh pertanyaan yang bias :

Sebagian besar pendidik setuju semua siswa yang menempuh ujian akhir lulus.

Contoh pertanyaan yang tidak bias:

Sebagian pendidik setuju bahwa tidak semua siswa harus lulus, namun sebagian lain tidak setuju.

Menurut Mushlich (2010:178) beberapa hal yang haris diperhatikan dalam menggunakan kata-kata untuk suatu kuesioner adalah sebagai berikut.

a. Gunakan kata-kata yang sederhana sesuai dengan tingkat pendidikan responden.

b. Pertanyaan jangan samar-samar. c. Hindari pertanyaan yang bias.

d. Hindari pertanyaan hipotetikal atau pengandaian.

6. Merakit Instrumen

Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan format tata letak instrumen dan urutan pernyataan.


(58)

40 Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk membaca dan mengisinya. Urutan pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab atau mengisinya.

7. Uji Coba Instrumen

Uji Coba Instrumen dibagi menjadi dua, yaitu: 7.1 Uji Coba Awal

Uji coba awal dibagi menjadi dua tahap, yaitu uji validasi ahli yang ditujukan pada ahli penilaian, yaitu dosen, dan uji kualitas oleh guru mata pelajaran, dalam hal ini guru sains. Uji ahli dilakukan untuk mengetahui ketidaksesuaian atau kesalahan pada produk yang dibuat baik dari komponen konstruksi,

komponen substansi maupun komponen tata bahasa. Sedangkan uji kualitas dilakukan untuk mengetahui kesesuaian dan

kemanfaatan instrumen untuk dapat diaplikasikan di sekolah. 7.2 Uji Lapangan

Uji lapangan dilakukan guna mengetahui apakah produk yang dikembangkan telah memenuhi tujuan, yaitu dilihat dari tingkat keefektifan instrumen (validitas dan reliabilitas) dalam

menentukan preferensi sikap dan karakter siswa. Sampel yang diperlukan minimal 30 siswa, bisa berasal dari satu sekolah atau lebih. Pada saat uji coba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden atas kejelasan pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang digunakan, dan waktu yang diperlukan


(59)

41 untuk mengisi instrumen. Waktu yang diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau kurang.

8. Analisis Hasil Uji Coba

Analisis hasil uji coba ddiarahkan pada variasi jawaban tiap butir pertanyaan/pernyataan. Jika menggunakan skala instrumen 0 sampai 4, dan jawaban responden bervariasi dari 0 sampai 4, maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat dikatakan “baik”. Namun apabila jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong

“tidak baik”. Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda.

Kriteria baik tidaknya butir pernyataan menurut Ebel dan Frisbie dalam Sunarti adalah seperti pada tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Kriteria Butir Pernyataan No Nilai Korelasi

Point Biserial (Indeks Daya Beda)

Keterangan

1 > 0,40 Butir pernyataan sangat baik 2 0,30 – 0,39 Pernyataan baik tapi perlu

perbaikan

3 0,20 – 0,29 Soal dengan beberapa catatan, biasanya diperlukan perbaikan 4 < 0,19 Soal jelek, dibuang, atau

diperbaiki melalui revisi

Sumber: Sunarti dan Rahmawati (2014: 146)

Bila daya beda butir instrumen lebih dari 0,30 butir instrumen tergolong baik. Namun untuk lebih tepat dapat digunakan acuan r-tabel.


(60)

42 Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan indeks reliabilitas. Menurut Mardapi (2008: 119), instrumen mempunyai indeks reliabilitas yang baik jika koefisien reliabilitasnya minimum 0,70. Arikunto (2002) mengklarifikasikan tingkat reliabilitas berdasarkan interpretasi indeks reliabilitas berikut.

Tabel 2.4 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas Instrumen

No Koefisien Reliabilitas Tingkat Reliabilitas

1 0,80 – 1,00 Sangat Tinggi

2 0,60 – 0,79 Tinggi

3 0,40 – 0,59 Cukup

4 0,20 – 0,39 Rendah

5 0,00 – 0,19 Sangat Rendah

Sumber: Arikunto (2002: 75)

9. Perbaikan Instrumen

Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pernyataan yang tidak baik, berdasarkan analisis hasil uji coba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik namun hasil uji coba empirik tidak baik. Untuk itu butir pernyataan instrumen harus diperbaiki. Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden uji coba.

10. Pelaksanaan Pengukuran

Pelaksanaan pengukuran perlu memerhatikan waktu dan ruangan yang digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah lelah. Ruang untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya penerangan yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan agar responden tidak saling bertanya pada responden


(61)

43 yang lain agar jawaban kuesioner tidak sama. Pengisian instrumen dimulai dengan penjelasan tenatang tujuan pengisian, manfaat bagi responden, dan pedoman pengisian instrumen.

11. Penafsiran Hasil Pengukuran

Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan jumlah butir pernyataan yang digunakan. Skor untuk butir pernyataan bisa positif dan negatif. Berikut skor butir pernyataan pada skala Likert.

1. Contoh butir pertanyaan/pernyataan yang sifatnya favorable: SS – S – R – TS – STS

(4) (3) (2) (1) (0)

2. Contoh butir pertanyaan/pernyataan yang sifatnya unfavorable : SS – S – R – TS – STS

(0) (1) (2) (3) (4)

Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 = 40, dan skor terendah 10 butir x 0 = 0. Skor ini dikualifikasikan misalnya menjadi empat kategori sikap dan nilai, yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik), rendah (kurang) dan sangat rendah (sangat kurang). Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan sikap dan nilai siswa. Selanjutnya dapat dicari sikap dan minat kelas terhadap mata pelajaran tertentu. Penentuan kategori hasil pengukuran sikap dan nilai dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut.


(62)

44 Tabel 2.5 Kriteria Kategori Penilaian Siswa

Rentang Skor Kategori Keterangan

Mi + 1,5 SDi ≤ X ≤ Mi + 3,0 SDi SB Sangat Baik

Mi + 0 SDi ≤ X ≤ Mi + 1,5 SDi B Baik

Mi –1,5 SDi ≤ X ≤ Mi + 0 SDi C Cukup

Mi –3,0 SDi ≤ X ≤ Mi – 1,5 SDi K Kurang

Sumber: Direktorat Pembinaan SMP (2010: 60) Keterangan :

Mean Ideal (Mi) = (skor maksimum + skor minimum)

Simpangan Baku Ideal (SBi) = (skor maksimum - skor minimum) X = Skor Peserta didik

Penilaian afektif siswa selain menggunakan kuesioner juga bisa melalui observasi atau pengamatan. Prosedurnya sama, yaitu dimulai dengan penentuan definisi konseptual dan definisi operasional. Dari definisi konseptual tersebut kemudian diturunkan menjadi sejumlah indikator. Indikator inilah yang menjadi pedoman observasi, misalnya indikator siswa yang berminat pada mata pelajaran matematika adalah kehadiran di kelas, kerajinan dalam mengerjakan tugas-tugas, banyaknya bertanya, kerapihan dan kelengkapan catatan.


(63)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian ini, yaitu research and development atau penelitian pengembangan. Pada penelitian pengembangan ini telah dikembangkan instrumen penilaian afektif bermuatan nilai ketuhanan dan kecintaan lingkungan pada pembelajaran sains SMP.

B. Prosedur Pengembangan Produk

Metode penelitian didasarkan pada prosedur research and developtment menurut Borg dan Gall (1989: 784-785). Mengacu pada hal tersebut, ada beberapa tahapan penting dalam melakukan pengembangan instrumen afektif bermuatan nilai (nilai ketuhanan dan kecintaan lingkungan) pada

pembelajaran sains SMP, yaitu:

1. Penelitian dan pengumpulan data pendahuluan. 2. Perencanaan dan Pengembangan produk awal. 3. Uji coba awal.

4. Revisi produk utama 5. Uji lapangan utama 6. Analisis hasil 7. Revisi produk akhir 8. Penafsiran

9. Diseminasi dan implementasi produk


(1)

56 keseluruhan siswa dan simpangan bakunya. Kategori hasil pengukuran untuk skala Likert menggunakan ketentuan seperti pada tabel 3.6 berikut.

Tabel 3.6 Kriteria Nilai Berdasarkan Instrumen Skala Sikap

Rentang Skor Kategori

Mi + 1,5 SBi < X ≤ Mi + 3,0 SBi Sangat Baik Mi + 0 SBi < X ≤ Mi + 1,5 SBi Baik Mi – 1,5 SBi < X ≤ Mi + 0 SBi Cukup Mi – 3,0 SBi ≤ X ≤ Mi – 1,5 SBi Kurang

Sumber: Direktorat Pembinaan SMP (2010: 60) Keterangan:

Mean Ideal (Mi) = (skor maksimum + skor minimum)

Simpangan Baku Ideal (SBi) = (skor maksimum - skor minimum) X = Skor Peserta didik


(2)

80

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan:

1. Dihasilkan instrumen penilaian afektif bermuatan nilai ketuhanan (KI-1) dan nilai kecintaan lingkungan (KI-2) pada kurikulum 2013 yang valid, berupa instrumen penilaian diri, penilaian teman sebaya, dan penilaian observasi beserta rubrik.

2. Pengujian validitas dan reliabilitas instrumen menggunakan bantuan R-Commander dengan nilai alpha cronbach pada instrumen penilaian diri sebesar 0,92, instrumen penilaian teman sebaya sebesar 0,92 dan

instrumen penilaian observasi sebesar 0,86. Nilai alpha cronbach > 0,70 menunjukkan instrumen valid dan reliabel.

B. Saran

Berdasarkan simpulan, maka disarankan:

1. Produk hasil pengembangan berupa instrumen penilaian afektif beserta rubrik dapat dimanfaatkan sebagai acuan pembuatan instrumen oleh para guru dalam melakukan penilaian afektif di sekolah.


(3)

81 2. Produk hasil pengembangan berupa instrumen penilaian afektif beserta

rubrik dapat dimanfaatkan oleh para pengamat dan pengambil penilaian, maupun peneliti yang akan mengkaji instrumen penilaian sebagai referensi yang memperkaya informasi dan pengetahuan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an. 2009. Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahannya Special for Women. Bandung: Syaamil Al-Qur’an.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Borg, W.R. & Gall, M.D. 1989. Educational Research: An Introduction, Fifth Edition. New York: Longman.

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. 2010. Jakarta: Depdiknas. Hadi, Syamsul. 2010. Perkembangan Ilmu Biologi, Fisika dan Kimia Perspektif

Islam. (Online), (http://hadirukiyah2.blogspot.com/2010/01/perkembangan-ilmu-biologi-fisika-dan.html), diakses 23 Maret 2013.

Hariyanto. 2012. Pengertian Pendidikan Karakter. (Online),

(http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/), diakses 23 Maret 2013.

Hamalik, Umar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamid, Moh. Sholeh. 2011. Standar Mutu Penilaian dalam Kelas. Yogyakarta: DIVA Press.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemdiknas.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemko Kesra.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayan. 2012. Dokumen Kurikulum 2013. (Online), (http://kangmartho.com), diakses 8 April 2013.

Khan, Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi Publishing.

Kotijah, Siti. 2009. Analisis Filosofi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. (Online),


(5)

83

(http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/19/analisis-filosofi-uu-nomor-32-tahun-2009/), diakses 11 November 2013.

Kusaeri dan Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mardapi, Djemari. 2008. Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia.

Mulyasa, E. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Mushlich, Masnur. 2011. Authentic Assessment: Penilaian Berbasis Kelas dan

Kompetensi. Bandung: Refika Aditama.

Nurhadi. 2014. Pengembangan Instrumen Penilaian Sikap Spiritual dan Sosial Pada Pembelajaran IPA Terpadu. Jurnal Pembelajaran Fisika Universitas Lampung. 2 (4): 107-118.

Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tentang Standar Isi untuk IPA SD/MI dan SMP/MTs. 2006. Jakarta: Depdiknas.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 54 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 64 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 65 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 66 tentang Standar Penilaian Pendidikan. 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 68 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah

Tsanawiyah. 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81A tentang Implementasi Kurikulum. 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Pusat Kurikulum Balitbang. 2006. Model Pembelajaran Terpadu IPA SMP/MTS/SMPLB. Jakarta: Depdiknas.


(6)

84 Pusat Kurikulum Balitbang. 2009. Pedoman Penilaian di kelas. Jakarta:

Depdiknas.

Pusat Kurikulum Balitbang. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas.

Siringoringo, Martua. 2013. Sifat-sifat Allah. (Online),

(http://pendalamanimankatolik.com/sifat-sifat-Allah/), diakses 4 September 2014.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Konsep Sumber Belajar. (Online),

(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/0415/sumber-sumber-belajar-untuk-mengefektifkan-pembelajaran-siswa/), diakses 23 Maret 2013. Sukarma, I Wayan. 2014. Konsep Ketuhanan dalam Bhagawadgita. (Online),

(http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/8-konsep-ketuhanan-dalam-bhagawadgita.html), diakses 4 September 2014.

Sunarti, dan Selly Rahmawati. 2014. Penilaian dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan

Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.

Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen. 2013. Yogyakarta: Gradien Mediatama.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). 2003. Jakarta: Sinar Grafika.

Uno, Hamzah B., dan Satria Koni. 2012. Assessment Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Web Hoster. 2012. Hubungan Kristen Protestan dengan Pancasila di Indonesia. (Online), (http://www.seowaps.com/2012/03/hubungan-kristen-protestan-dengan.html), diakses 4 September 2014.

Widyoko, Eko Putro. 2013. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zuchdi, Damiyati, Zuhdan Kun Prasetya dan Muhsinatun Siasah Masruri. 2013. Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pengembangan Kultur Sekolah. Yogyakarta: Multi Presindo.