Parenting Dimensi- Dimensi Parenting Krisis Keluarga dan Kemampuan Adaptasi

4 keluarga, status sosial ekonomi, dan budaya setempat Papalia, Olds, dan Feldman, 2004.

B. Parenting

Parenting menjadi orang tua adalah proses meningkatkan dan mendorong perkembangan fisik, sosial, emosional, dan intelektual anak dari masa bayi hingga dewasa. Parenting menunjuk pada aktivitas mengasuh anak daripada hubungan biologikal http:en.wikipedia.orgwikiParenting. Menjadi orang tua merupakan suatu titik penting dalam perkembangan hidup. Ketergantungan anak yang baru lahir mampu mengubah individu dan mengubah hubungan relasional. Dalam proses ini, anak berkembang dan orang tua pun berkembang Papalia, Olds, dan Feldman, 2004. Kualitas interaksi antara orang tua dan anak akan menentukan kualitas anak baik secara fisik, sosial, dan emosional anak; sekaligus juga berpengaruh pada kepuasan pernikahan suami dan istri.

C. Dimensi- Dimensi Parenting

Dimensi pola asuh menurut Baumrind dalam Santrock, 2002 terdiri dari 2 dimensi yaitu responsiveness dan demandingness. Dimensi responsiveness mengacu pada derajat atau kadar orangtua dalam memperhatikan kebutuhan dalam suatu bentuk atau cara penerimaan, dukungan, kehangatan dan dorongan. Adapun dimensi demandingness mengacu pada pola orangtua dalam mengontrol perilaku anak untuk mencapai perilaku yang diharapkan, kematangan dan perilaku tanggung jawab. Keseimbangan antara dua dimensi tersebut menghasilkan pengaruh positif terhadap perkembangan anak hingga dewasa.

D. Aspek Perkembangan Anak

Aspek perkembangan pada anak meliputi perkembangan fisik, perkembangan emosi, perkembangan kognitif intelektual dan perkembangan psikososial.

1. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang 5 anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak. Perkembangan fisik meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik halus, keduanya berkembang sesuai usia anak. Kemampuan anak untuk duduk, berlari, dan melompat termasuk contoh perkembangan motorik kasar. Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan oleh anak untuk melakukan gerakan tubuh. Perkembangan motorik kasar dipengaruhi oleh proses kematangan anak. Karena proses kematangan setiap anak berbeda, maka laju perkembangan seorang anak bisa saja berbeda dengan anak lainnya. Adapun perkembangan motorik halus merupakan perkembangan gerakan anak yang menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu. Perkembangan pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar dan berlatih. Kemampuan menulis, menggunting, dan menyusun balok termasuk contoh gerakan motorik halus.

2. Perkembangan Emosi

Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk mencintai; merasa nyaman, berani, gembira, takut, dan marah; serta bentuk-bentuk emosi lainnya. Pada aspek ini, anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan orangtua dan orang-orang di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan sesuai dengan impuls emosi yang diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih sayang, mereka akan belajar untuk menyayangi.

3. Perkembangan Kognitif

Pada aspek koginitif, perkembangan anak nampak pada kemampuannya dalam menerima, mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya. Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan berbahasa bahasa lisan maupun isyarat, memahami kata, dan berbicara.

4. Perkembangan Sosial

Aspek psikososial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Misalnya, kemampuan anak untuk menyapa dan bermain bersama teman-teman sebayanya. 6 Dengan mengetahui aspek-aspek perkembangan anak, orangtua dapat memberikan rangsangan serta latihan agar keempat aspek tersebut berkembang secara seimbang. Rangsangan atau latihan tidak bisa terfokus hanya pada satu atau sebagian aspek. Tentunya, rangsangan dan latihan tersebut diberikan dengan tetap memerhatikan kesiapan anak, bukan dengan paksaan.

E. Krisis Keluarga dan Kemampuan Adaptasi

Berkeluarga tentu tidak lepas dari permasalahan dan keterbatasan. Berbagai jenis masalah ini menimbulkan krisis bagi keluarga. Di Indonesia, semakin banyaknya jumah orang miskin mengindikasikan semakin banyak pula keluarga yang menghadapi persoalan. Sumber stress dan kesulitan hidup menuntut orang tua dan anggota keluarga untuk mengatasinya. Keluarga yang memandang masalah sebagai akibat kesalahan mereka sendiri akan merasa lebih menderita daripada keluarga yang berpandangan bahwa masalah yang terjadi berasal dari luar dirinya. Keterbatasan pendidikan orang tua merupakan salah satu sumber krisis potensial keluarga. Yang terpenting adalah reaksi orang tua terhadap krisis yang terjadi dan bagaimana orang tua mampu beradaptasi. Keluarga yang mampu mengatasi masalah yang dihadapi adalah keluarga yang kuat, di mana satu anggota saling memberi dukungan dengan anggota yang lain. Sebaliknya keluarga yang lemah akan lebih rentan terhadap akibat yang tidak menguntungkan jika menghadapi kejadian pemicu krisis Lamanna dan Riedmann, 1994. Orang tua pada keluarga lemah ini memiliki potensi menerapkan pola asuh yang keliru. Jika perlakuan orang tua pada anak keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak Ramadhan dalam http:tarmizi.wordpress.com2009.

F. Parenting pada Orang Tua Berpendidikan Rendah