HUKUM ADAT 013
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian dan Istilah Adat
Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.
Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut :
“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.
Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”.
Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangundangan Belanda.
1.2 Pengertian Hukum Adat
Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut :
(2)
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
3. Dr. Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
4. Mr. J.H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
5. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan peraturan.
6. Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
7. Soeroyo Wignyodipuro, S.H.
Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).
(3)
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Hukum Adat dalah Hukum Non-statutair
Maksudnya dimana hukum adat pada umum belum / tidak tertulis, oleh karenanya dilihat dari kacamata orang-orang ahli hukum barat yang memegang teguh kitab-kitab Undang-undang, berkesimpulan bahwa keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak sempurna dan tidak tegas. Namun demikian hukum adat itu berurat-urat pada kebudayaan tradisional.
Cornelius Van Vollenhoven ; mengungkapkan tidak semua adat
istiadat merupakan hukum, namun hanya adat hanya bersanksi mempunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat adapun sanksinya merupakan reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan.
1.3 Unsur - unsur Hukum Adat
Menurut Surujo Wignjodipuro, SH. Hukum Adat mempunyai dua unsur yakni :
a. Unsur Kenyataan : maksudnya bahwa adat itu dalam kenyataan keadaan yang sama selalu di indahkan oleh Rakyat.
b. Unsur Psikologis : maksudnya bahwa pada rakyat terdapat adany
keyakinan bahwa adat dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Unsur inilah yang menimbulkan adanya kewajiban hukum
menurut Prof. Iman Sudiyat, SH. Unsur - unsur hukum adat adalah :
(4)
2. Unsur Keagamaan, pengaruh dari Agama Hindu, Islam dan Kristen.
Karena negeri kita ini didatangi oleh kebudayaan Hindu, kebudayaan islam dan kebudayaan Kristen, yang masing-masing turut mempengaruhi kebudayaan (kultur) asli (melayu Polinesia ). Hingga menurut kenyataan nya hukum adat yang hidup pada masyarakat dalam keadaan sekarang sudah merupakan hasil Akulturasi (percampuran).
1.4 Theori Receptio In Complexu
Teori ini dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg. Menurut teori Reception in Coplexu :
Kalau suatu masyarakat itu memeluk adama tertentu maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adlah hukum agama yang dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.
Teori Reception in Comlexu ini sebenarnya bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum adat terdiri atas hukum asli (Melayu Polenesia) dengan ditambah dari ketentuan-ketentuan dari hukum Agama demikian dikatakan oleh Van Vollen Hoven.
Memang diakui sulit mengdiskripsikan bidang-bidang hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum agama hal ini disebabkan : 1. Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat bervariasi dan tidak sama terhadap suatu masyarakat.
2. Tebal dan tipisnya bidang yang dipengaruhi hukum agama juga bervariasi.
3. Hukum adat ini bersifat lokal.
4. Dalam suatu masyarakat terdiri atas warga-warga masyarakat yang agamanya berlainan.
(5)
Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka
hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam berkehidupan dimasyarakat,dengan demikian hukumadat merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia
Proses perkembangan masyarakat manusia berlangsung terus
menerus sepanjang sejarah, mengikuti mobilitas dan perpindahan yang terjadi karena berbagai sebab.
Penyelidikan Van Vollen Hoven dan sarjana-sarjana lain
membuktikan bahwa wilayah Hukum Adat Indonesia itu tidak hanya terbatas pada daerah-daerah hukum Republik Indonesia yaitu terbatas pada daerah kepulauan Nusantara kita.
Von Savigny mengajarkan bahwa hukum adat mengikuti
“Volksgeist” (jiwa / semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena Volksgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka juga hukum masyarakat itu berlainan pula.
Cara Berpikir Masyarakat Indonesia
Menurut Prof. Soepomo dilihat dari aspek struktur kejiwaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia mewujudkan corak-corak atau pola tertentu dalam hukum adat yaitu : a. Mempuyai Sifat Kebersamaan (Communal)
Manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan, meliputi segala lapangan hukum adat. b. Mempunyai Corak Magis-Religius
Corak Magis-Religius yang berhubungan dengan aspek kehidupan didalam masyarakat Indonesia.
(6)
c. Sistem Hukum Adat diliputi oleh Pikiran Penataan Serba Konkret
Misalnya : Perhubungan perkawinan antara dua suku yang eksogam, perhubungan jual (pemindahan) pada perjanjian tentang tanah dan sebagainya.
d. Hukum Adat mempunyai Sifat yang Sangat Visual
Hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dalam ikatan yang dapat dilihat.
Sifat-sifat Umum Hukum Adat
F.D. Holleman di dalam pidato inaugurasinya yang berjudul de commune trek in het indonesische rechtsleven (corak kegotongroyongan di dalam kehidupan hukum indonesia) menyimpulkan bahwa ada 4 sifat umum Hukum Adat Indonesia yaitu
a. Sifat Religio-magis.
Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar biasa, binatang yang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa.
Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis, menyebabkan timhulnya berbagai macam bahaya yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.
Prof. Bushar Muhammad mengatakan orang Indonesia pada dasarnya berpikir dan bertindak didorong oleh kepercayaan kepada tenaga-tenaga gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta.
b. Sifat komunal.
Merupakan salah satu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup terpencil dan kehidupannya sehari-hari sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat
(7)
semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan dan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.
c. Sifat Kontan.
Mengandung pengertian bahwa dengan sesuatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, perbuatan/tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga. Dengan demikian segela sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah perbuatan simbolis itu adalah di luar akibat-akibat hukum dan dianggap tidak ada sangkut pautnya atau sebab akibatnya menurut hukum.
d. Sifat Nyata
Untuk sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan akan ditransformasikan atau diwujudkan dengan sesuatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung (sesungguhnya) maupun hanya menyerupai obyek yang dikehendaki.
1.6 Sejarah Hukum Adat
Ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara tentang sejarah hukum adat, yaitu:
a. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri. peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra hindu. b. Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari
tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
c. Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam system perundang-undangan di Indonesia pada periode ini.
(8)
Peraturan adat istiadat kita ini merupakan adat-adat
melayu-polinesia yang sudah terdapat pada zaman pra-hindu.
Dapat di jelaskan bahwa hukum adat terdiri atas dua bagian yaitu :
a. hukum yang tidak tertulis ( jus non scriptum ) : merupakan bagian yang terbesar yang bersumber pada hukum asli penduduk.
b. hukum yang di tulis ( jus scriptum ) : merupakan bagian kecil saja yang bersumber dari ketentuan hukum agama.
Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari yang tidak
dikenal hingga dikenal dalam ilmu pengetahuan dapat di bagi atas empat periodesasi waktu di antaranya adalah ;
a. Sebelum Zaman kompeni.
b. Pada zaman kompeni (1602-1800). c. Pada zaman Daendels (1808- 1811). d. Pada zaman Raffles (1811-1816).
Orang - orang yang merintis penyelidikan dan pelajaran hukum
adar oleh orang - orang berasal dari dunia barat ( Inggris ) antara lain seperti :
1. William Marsden
Menurut Cornelis Van Vollenhoven, dan sesuai dengan penjelasan William Marsden diberi nama dengan istilah History itu yakni berisikan keterangan - keterangan tentang :
- Kebiasaan - Pemerintahan
- Hukum dan adat istiadat dari penduduk Bumi Putera orang ( Eire ).
2. Thomas Stamford Raffles ,Maka tentang mengenai hukum adat dan hukum agama di campur, Al'quran di pandang sebagai sumber hukum di pulau Jawa. bahan hukum yang didapat Thomas Stamford Raffles tidak mencatat hukum rakyat yang hidup karena terdesak oleh hukum Raja- raja.
(9)
3. John Crawfurd, Menurutnya adat tidak identik dengan hukum agama, maka wajarlah John Crawfurd dipandang sebagai pengarang pertama yang tidak melakukan kesalahan identifikasi.
Orang - orang barat sebagai penemu hukum adat. Ketiga orang
Barat kebangsaan Belanda, mereka ini merupakan Trio Penemu Hukum adat.
1. Wilken, anak seorang pendeta, di Indonesia sebagai pegawai pamong praja belanda. Wilken mula-mula bekerja di pulau Buru, kemudian pindah ke Gorontalo dan Minahasa Barat, selanjutnya pindah ke Sipirok dan mandailing ( Sumatera ). Karya wilken adalah untuk pertama-kalinya Hukum adat mendapat tempat tersendiri dalam lingkungan luas bahan-bahan sifatnya etnologie, Wilken memandang bahwa hukum adat itu merupakan suatu bahan yang mandiri, walaupun Wilken tetap memilihara hubungsn hukum adat dengan kebiasaan dan religi rakyat.
2. Albert Fredrik Liefrinck, Penyelidikan Liefrinck terbatas pada satu lapangan saja yakni Hukum Adat, meskipun tentang nama Adat-Recht di zaman (Liefrinck) belum dissebut-sebut. Menurut Hukum Adat Liefrinck adalah yang berkenaan :
- Hukum Tanah
- Pajak Bumi Raja-raja dan - Susunan Desa
3. Prof. DR. Christian Snouck Hurgronye, tinggal di Indonesia selama 17 (tujuh belas) tahun dan mengintegrasikan diri ke dalam masyaraklat bumi putra. Karya Christian Snouck Hurgronye ini cukup mengagumkan dunia ilmu, karena di karang hanya berdasarkan percakapan belaka dengan orang- orang pedalaman, padahal daerah yang dimaksud belum pernah di kunjungi oleh Christian Snouck Horgronye. Penyelidikannya terkonsentrasi pada satu lingkungan hukum. Christian Snouck Hurgronye lah untuk pertama kali memakai istilah hukum adat ( Adat - Recht ).
(10)
Struktur persekutuan hukum
Faktor-faktor teritorial Genelogis dalam timbulnya persekutuan - persekutuan tersebut.
a. Faktor Teritorial
faktor teriakat pada suatu daerah tertentu dan merupoakan faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap timbulnya suatu persekutuan hukum b. Faktor Genealogis
faktor yang melandaskan kepada pertalian darah/ pertalian suatu keturunan. Sekarang ini dalam peranan begitu penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.
Persekutuan Teritorial terbagi dalam 3 bagian : a. Persekutuan desa
b. Persekutuan daerah
c. Perserikatan beberapa kampung.
Persekutuan Genealogis, ada 3 macam dasar pertalian
keturuna yakni seperti berikut ini :
a. Pertalian darah menurut garis bapak ( partrilineal ) seperti : batak, Nias, dan Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis ibu ( matrilineal ) Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak ( parental ) suku jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan lainnya.
1.7 Dasar Perundangan - undangan berlakunya Hukum Adat
Undang - undang Dasar 1945, yang berlaku kembali
berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. ternyata tidak ada satu pasal pun memuat tentang / dasar berlakunya hukum adat itu sendiri.
(11)
Undang undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan
-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, bahwa pasal-pasal penting yang merupakan landasan berlakunya hukum adat adalah :
a. Pasal 23 ayat (1) yang isinya hampir sama dengan pasal 17 Undang-undang Nomor 19 tahun 1964
b. Pasal 27 ayat (1) yang isinya hampir sama dengan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 tahun 1964
Perundang - undangan berlakunya hukum adat sebagai hukum
tidak tertulis adalah : dengan lengkap : 1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
2. Pasal 24 Undang - undang Dasar 1945
3. Pasal 23 ayat (1) No. 14 tahun 1970, UU tantang ketentuan - ketentuan pokook kekuasaan kehakiman.
1.8 Perkawinan menurut Hukum Adat
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.
Berikut ini akan dikemukakan definisi perkawinan menurut hukum adat yang dikemukakan oleh para ahli:
1. Hazairin
Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.
(12)
Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua mempelai. Peralihan terdiri dari tiga tahap:
• Rites de separation • Rites de merge
• Rites de aggregation 3. Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya sebagai suatu ketunggalan.
Pertunangan adalah suatu fase sebelum perkawinan, dimana pihak laki-laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga perempuan dan telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mengadakan perkawinan.
Pertunagan juga bisa diartikan sebagai suatu persetujuan antara pihak keluarga laki-laki dengan keluarga pihak wanita sebelum dilangsungkan suatu perkawinan dan ditandai dengan: a. Adanya lamaran/ meminag yang biasanya dilakukan
oleh utusan pihak laki-laki.
b. Adanya tanda pengikat yang kelihatan, seperti peningset (Jawa), payangcang (Sunda), biasanya dengan pertukaran cincin.
Alasan-alasan Dilakukannya Perkawinan
a. Ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki dapat berlangsung dalam waktu dekat.
b. Untuk membatasi pergaulan pihak yang telah diikat pertunangan.
c. Memberi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk saling mengenal.
Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat
dari pada susunan kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu:
(13)
1. Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilinier:
a. Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.
b. Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
c. Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
d. Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
2. Perkawinan dalam keluarg matrilinier:
a. Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput. b. Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap
dapat keluarganya sendiri.
c. Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3. Perkawinan dalam keluarga parental:
a. Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri.
Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.
1.9 Sistem Perkawinan
Pada daerah-daerah di kepulauan Indonesia mengenal 3 (tiga)
macam sistem perkawinan yakni: - Endogami
- Exogami - Eleuthrogami
(14)
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku keluarganya sendiri, tetapi dalam waktu dekat sistem ini akan punah / lenyap dengan sendirinya, dikarenakan:
1. Hubungan satu daerah dengan daerah lainnya terbuka dan lebih mudah
2. Tingakat pergaulan masyarakat semakin menunjukan kebersamaan yang satu dengan yang lainnya
3. Sistem Perkawinan edogami memang tidak sesuai dengan sususan kekeluargaan yang parental.
b. Sistem Exogami
Menurut Sistem exogami ini, bahwa keharusan orang kawin dengan orang dari luar sukunya sendiri, karena perkembangan zaman ternyata bahwa sistem exogami ini lambat laun mengalami proses pelunakan sedemikian rupa, maksudnya semula larangan kawin didalam suku kekeluargaan sendiri berubah menjadi sangat kecil (berlaku bagi lingkungan keluarga yang sangat kecil) saja. Diberbagai daerah semula menganut sistem ini seperti: Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, dan Sumatera Selatan, Buru, dan Seram, karena perkembangan masa lebih mendekati kepada sistem Eleuthrogami.
c. Sistem Eleuthrogami
Suatu perkawinan dalam sistem ini tidak mengenal suatu larangan ataupun suatu keharusan, seperti dikenal sistem perkawinan pada endogamy dan exogami. Larangankawin pada sistem eleuthrogami ini hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan terlalu dekat, seperti; - Kawin dengan saudara kandung
- kawin dengan paman / tante (saudara ibu / bapak ) - Kawin dengan ibu tiri, menantu, anak tiri.
Khususnya di Indonesia upacara perkawinan adat berlangsung secara bermacam-macam cara seuai adat yang dimiliki, Oleh karena itu perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Kristen membuka jalan selebar-lebarnya terhadap siapa saja
(15)
untuk menghindari kekuasaan dan wewenang kerabat dan persekutuan seperti dalam hal;
Memilih Istri atau Suami yang bersangkutan; Keharusan Endogami, dan keharusan Exogami.
(1)
Struktur persekutuan hukum
Faktor-faktor teritorial Genelogis dalam timbulnya persekutuan - persekutuan tersebut.
a. Faktor Teritorial
faktor teriakat pada suatu daerah tertentu dan merupoakan faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam setiap timbulnya suatu persekutuan hukum b. Faktor Genealogis
faktor yang melandaskan kepada pertalian darah/ pertalian suatu keturunan. Sekarang ini dalam peranan begitu penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.
Persekutuan Teritorial terbagi dalam 3 bagian : a. Persekutuan desa
b. Persekutuan daerah
c. Perserikatan beberapa kampung.
Persekutuan Genealogis, ada 3 macam dasar pertalian keturuna yakni seperti berikut ini :
a. Pertalian darah menurut garis bapak ( partrilineal ) seperti : batak, Nias, dan Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis ibu ( matrilineal ) Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak ( parental ) suku jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan lainnya.
1.7 Dasar Perundangan - undangan berlakunya Hukum Adat
Undang - undang Dasar 1945, yang berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. ternyata tidak ada satu pasal pun memuat tentang / dasar berlakunya hukum adat itu sendiri.
(2)
Undang undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan -ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, bahwa pasal-pasal penting yang merupakan landasan berlakunya hukum adat adalah :
a. Pasal 23 ayat (1) yang isinya hampir sama dengan pasal 17 Undang-undang Nomor 19 tahun 1964
b. Pasal 27 ayat (1) yang isinya hampir sama dengan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 tahun 1964
Perundang - undangan berlakunya hukum adat sebagai hukum tidak tertulis adalah : dengan lengkap :
1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
2. Pasal 24 Undang - undang Dasar 1945
3. Pasal 23 ayat (1) No. 14 tahun 1970, UU tantang ketentuan - ketentuan pokook kekuasaan kehakiman.
1.8 Perkawinan menurut Hukum Adat
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.
Berikut ini akan dikemukakan definisi perkawinan menurut hukum adat yang dikemukakan oleh para ahli:
1. Hazairin
Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.
(3)
Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua mempelai. Peralihan terdiri dari tiga tahap:
• Rites de separation • Rites de merge
• Rites de aggregation 3. Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya sebagai suatu ketunggalan.
Pertunangan adalah suatu fase sebelum perkawinan, dimana pihak laki-laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga perempuan dan telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mengadakan perkawinan.
Pertunagan juga bisa diartikan sebagai suatu persetujuan antara pihak keluarga laki-laki dengan keluarga pihak wanita sebelum dilangsungkan suatu perkawinan dan ditandai dengan: a. Adanya lamaran/ meminag yang biasanya dilakukan
oleh utusan pihak laki-laki.
b. Adanya tanda pengikat yang kelihatan, seperti peningset (Jawa), payangcang (Sunda), biasanya dengan pertukaran cincin.
Alasan-alasan Dilakukannya Perkawinan
a. Ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki dapat berlangsung dalam waktu dekat.
b. Untuk membatasi pergaulan pihak yang telah diikat pertunangan.
c. Memberi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk saling mengenal.
Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal
(4)
1. Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilinier:
a. Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.
b. Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
c. Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
d. Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
2. Perkawinan dalam keluarg matrilinier:
a. Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput. b. Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap
dapat keluarganya sendiri.
c. Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
3. Perkawinan dalam keluarga parental:
a. Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri.
Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.
1.9 Sistem Perkawinan
Pada daerah-daerah di kepulauan Indonesia mengenal 3 (tiga) macam sistem perkawinan yakni:
- Endogami - Exogami - Eleuthrogami
(5)
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku keluarganya sendiri, tetapi dalam waktu dekat sistem ini akan punah / lenyap dengan sendirinya, dikarenakan:
1. Hubungan satu daerah dengan daerah lainnya terbuka dan lebih mudah
2. Tingakat pergaulan masyarakat semakin menunjukan kebersamaan yang satu dengan yang lainnya
3. Sistem Perkawinan edogami memang tidak sesuai dengan sususan kekeluargaan yang parental.
b. Sistem Exogami
Menurut Sistem exogami ini, bahwa keharusan orang kawin dengan orang dari luar sukunya sendiri, karena perkembangan zaman ternyata bahwa sistem exogami ini lambat laun mengalami proses pelunakan sedemikian rupa, maksudnya semula larangan kawin didalam suku kekeluargaan sendiri berubah menjadi sangat kecil (berlaku bagi lingkungan keluarga yang sangat kecil) saja. Diberbagai daerah semula menganut sistem ini seperti: Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, dan Sumatera Selatan, Buru, dan Seram, karena perkembangan masa lebih mendekati kepada sistem Eleuthrogami.
c. Sistem Eleuthrogami
Suatu perkawinan dalam sistem ini tidak mengenal suatu larangan ataupun suatu keharusan, seperti dikenal sistem perkawinan pada endogamy dan exogami. Larangankawin pada sistem eleuthrogami ini hanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ikatan kekeluargaan terlalu dekat, seperti; - Kawin dengan saudara kandung
- kawin dengan paman / tante (saudara ibu / bapak ) - Kawin dengan ibu tiri, menantu, anak tiri.
Khususnya di Indonesia upacara perkawinan adat berlangsung secara bermacam-macam cara seuai adat yang dimiliki, Oleh karena itu perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Kristen membuka jalan selebar-lebarnya terhadap siapa saja
(6)
untuk menghindari kekuasaan dan wewenang kerabat dan persekutuan seperti dalam hal;
Memilih Istri atau Suami yang bersangkutan; Keharusan Endogami, dan keharusan Exogami.