PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PARENKIM PARU TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) JANTAN GALUR Sprague dawley
ABSTRACT
EFFECT OF SMOKE EXPOSURE DURATION TO LUNG PARENCHYMAL IN MALE RATS SPRAGUE DAWLEY STRAIN
By
TIARA ANGGRAINI
There are much organic material in the nature especially in the forest. In Indonesia, forest fire is not a new phenomenon because the frequency and prevalency are increasing every year. Smoke of the forest fires contain some of the free radical substances such as carbon monoxide, particulate matter, nitrogen dioxide, sulfur dioxide and volatile organic compounds that influence to many organs such as heart, blood, nerve, eyes and lung. In lung, it damages lung parenchym. The purpose of this study is to determine effect of different duration from organic material by smoke exposure duration to lung parenchymal histopathology in male rats Sprague dawley strain. In this study, 25 male rats about 8–10 weeks are divided randomly into 5 groups and treated for 7 days. K(–) is not given any exposure, P1, P2, P3 and P4 are exposure by smoke in 1 hour/day, 2 hours/day, 3 hours/day, 4 hours/day. The result showed that the average score of parenchymal lung damage are K(–): 0, P1: 2.6, P2: 4.6, P3: 6.6, P4: 8.0. With Kruskal Wallis test, there is a significant difference with p=0.00 (p<0.05). There is an effect of different duration from organic material by smoke burning exposure to lung parenchymal histopathology in male rats Sprague dawley strain.
(2)
ABSTRAK
PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PARENKIM PARU TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) JANTAN GALUR
Sprague dawley
Oleh
TIARA ANGGRAINI
Bahan organik terdapat banyak di alam khususnya hutan. Kebakaran hutan di Indonesia bukan suatu fenomena baru karena frekuensi dan prevalensi terjadinya semakin meningkat setiap tahun. Asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan mengandung beberapa zat yang bersifat radikal bebas seperti karbon monoksida, materi partikulat, nitrogen dioksida, sulfur dioksida dan volatile organic compounds yang apabila terpapar dapat berpengaruh pada beberapa organ tubuh seperti jantung, darah, saraf, mata dan paru. Pada organ paru dapat menyebabkan kerusakan pada parenkim paru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran hisopatologi parenkim paru tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley. Pada penelitian ini, 25 ekor tikus putih berumur 8– 10 minggu dibagi menjadi 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 7 hari. K(–) tidak diberi paparan, P1 dipapar asap selama 1 jam/hari, P2 diapapar asap selama 2 jam/hari, P3 dipapar asap selama 3 jam/hari dan P4 dipapar asap selama 4 jam/hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skoring kerusakan parenkim paru pada K(–): 0, P1: 2,6, P2: 4,6, P3: 6,6 dan P4: 8,0. Data yang diperoleh diuji dengan Uji Kruskal Wallis didapatkan perbedaan bermakna dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Terdapat pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi parenkim paru tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley.
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera Selatan pada tanggal 9 Juli 1993, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak Letda Suyono dan Ibu Aryati, S.PdI.
Pendidikan penulis dimulai dari pendidikan TK Aisyiah Bustanul Alfath diselesaikan pada tahun 1998, Sekolah Dasar diselesaikan di SDN 8 OKU pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di SMPN 2 OKU pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di SMA Plus N 17 Palembang pada tahun 2010.
Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif dalam lembaga kemahasiswaan, Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina FK Unila sebagai Kardiak pada tahun 2011/2012 dan sebagai anggota biro dana dan usaha pada tahun 2012/2013. Penulis juga aktif dalam lembaga kemahasiswaan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FK Unila sebagai Sekretaris Komisi B pada tahun 2013/2014. Selain itu penulis pernah menjadi Asisten Dosen Patologi Anatomi pada tahun 2013/2014.
(8)
Fabiayyi ala irobbikuma
tukadziban
“ I
was not born to
suffer, failed and die.
I will fight and
(9)
Dengan Bismillah aku
memulainya, dengan
Alhamdulillah aku
mengakhirinya.
Untuk orang tersayang
yang selalu memberikan
do’a, dukungan,
semangat, masukan,
motivasi, ketulusan,
kasih sayang dengan
segala keikhlasan dan
kesabaran.
Ku persembahkan karya
ini untuk mu....
Bunda, Ayah, Acek dan
Adik beserta keluarga
besar Yasih (Alm.) dan
(10)
SANWACANA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa terhaturkan kepada junjungan kita, Rasulullah SAW.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Perbedaan Durasi Paparan Asap Pembakaran Bahan Organik Terhadap Gambaran Histopatologi Parenkim Paru Tikus Putih (Rattus novergicus) Jantan Galur Sprague dawley” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedoketran Universitas Lampung;
3. dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
(11)
4. dr. Indri Windarti, Sp.PA., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses pelaksanaan program kreatifitas mahasiswa dan penyelesaian skripsi ini;
5. dr. Susianti, M.Sc., selaku Penguji Utama. Terima kasih atas waktu, ilmu serta saran-saran yang telah diberikan;
6. dr. Susianti, M.Sc dan dr. Handayani Dwi Utami, Sp.F selaku Pembimbing Akademik atas segala do’a, motivasi, perhatian, kesabaran dan bantuan dalam membimbing penulis selama ini;
7. Mbak Lisa Kurniasari dan Mbak Lutfianawati yang sudah memudahkan jalan saya bertemu dr. Muhartono untuk bimbingan penelitian;
8. Mas Bayu selaku Asisten Laboratorium yang sudah sangat membantu dalam pelaksanaan penelitian;
9. Seluruh staf dosen dan staf karyawan FK Unila;
10. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibunda tercinta guru sepanjang hidupku (Aryati S.PdI), atas kiriman do’anya setiap saat dan setiap sholat, kesabaran, keikhlasan, kasih sayang, perhatian, solusi dan segala sesuatu yang telah dan akan selalu diberikan kepada penulis. Ayahanda (Letda Suyono) komandanku yang selalu memberikan do’a, semangat berpendidikan tinggi, pelajaran hidup, perencanaan masa depan, motivasi yang kuat, dan semangat berjuang yang tinggi. Kakakku tersayang Aji Surya dan Risky Damayanti, Adikku Puspa Melati, Keponakan tersayang M. Arfa Ar-Rasyid, serta keluarga besar lainnya, terimakasih atas do’a, dan motivasi kuat yang telah diberikan;
(12)
12. Terima kasih kepada saudara seiman dan seperjuangan: Diah Septia Liantari, Ferina Dwi Marinda, Sakinah dan Yolanda Fratiwi yang telah membantu, menemani, berbagi dalam banyak hal dan lain-lain disaat suka dan duka; 13. Terima kasih kepada sahabat seperjuangan dan satu tim penelitian skripsi
Fadia Nadila dan Rizky Bayu Ajie atas kebersamaan, keluh kesah, canda tawa, bantuan, serta kerjasamanya sebelum, selama, dan setelah penelitian ini; 14. Terima kasih kepada sahabat, saudara seperjuangan, dan teman dekat: I Gede Eka Widayana, Felicya Rosari, Ririn Rahayu, Robby Pardiansyah, Wayan Ferly Aryana, Agatha Rhana, Putu Filla, Pradila Desty Sari, Bela Riski Dinanti, Diah Anis Naomi, Rifka Humaida, Desta Eko Indrawan, Gulbuddin Hikmatyar, Asih Sulistyani, Selvia Farahdina yang telah membantu, menemani, berbagi dalam banyak hal dan lain-lain disaat suka dan duka; 15. Terima kasih kepada sahabat yang nun jauh di sana Aisyah Luthfi, Feri
Damayanti, Lisa Oktaria, Vekky Ariani, Fitriyana, Debby Prima, Robiokta Alfimona, Ayumas Widya Sari, Juwita Dwinda Sari, Tetha Deliana Putri, Nadia Anggraini, Nurul Ramadhani Umareta dan Nopriansyah Kenamon yang meskipun terpisahkan oleh jarak tetap selalu memberi semangat, masukan, dukungan, dan berbagi dalam banyak hal;
16. Terima kasih kepada Nekrosista: Diah Septia Liantari, Yolanda Fratiwi, Fadia Nadila, Rizky Bayu Ajie, I Gede Eka Widayana, Muflikha Sofiana Putri dan Yuda Ayu Kusuma Wardani atas kerjasamanya selama ini di Laboratorium Patologi Anatomi;
(13)
17. Terima kasih kepada teman kelompok KKN: Fadia Nadila, Karina Widya Pratiwi, Trio Utomo dan Tiwi Metasari atas canda, tawa, dukungan, dan masukan yang diberikan;
18. Terima kasih kepada keluarga mahasiswa dalam FSI Ibnu Sina FK Unila dan DPM FK Unila;
19. Terima kasih kepada seluruh keluarga mahasiswa angkatan 2011 “Chitose” yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas canda, tawa, masalah, bahagia, kemudahan, konflik dan lain-lain. selama 3,5 tahun, semoga semua cerita itu dapat menjadi warna tersendiri dan dapat memberikan makna atas kebersamaan yang terjalin baik sekarang maupun kedepan nanti;
20. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002–2014), yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala perhatian, kebaikan dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan dari Allah SWT. Terima kasih.
Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis
(14)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
1.5 Kerangka Teori... 4
1.6 Kerangka Konsep ... 7
1.7 Hipotesis ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan ... 8
2.2 Asap Kebakaran Hutan ... 10
2.2.1 Karbon Monoksida ... 11
2.2.2 Sulfur Dioksida ... 17
(15)
2.2.4 Materi Partikulat ... 19
2.2.5 Volatile Organic Compounds ... 20
2.2.6 Kerusakan Paru ... 21
2.3 Paru ... 23
2.3.1 Anatomi Paru ... 23
2.3.2 Fisiologi Paru ... 25
2.3.3 Histologi Paru ... 26
2.3.3.1 Bronkiolus Respiratorius ... 27
2.3.3.2 Duktus Alveolaris ... 28
2.3.3.3 Dinding Alveolus dan Sel Alveolus ... 28
2.3.3.4 Mekanisme Pertahanan Paru ... 29
2.3.4 Patologi Paru ... 30
2.4 Tikus Putih (Rattus novergicus) Galur Sprague dawley ... 31
2.4.1 Klasifikasi ... 32
2.4.2 Jenis ... 32
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 34
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34
3.3 Populasi dan Sampel ... 35
3.4 Bahan dan Alat Penelitian ... 36
3.4.1 Bahan Penelitian ... 36
3.4.2 Alat Penelitian ... 37
3.5 Prosedur Penelitian... 37
(16)
3.9 Ethical Clearance... 49
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 50
4.1.1 Tingkat Kerusakan Parenkim Paru Tikus ... 50
4.1.2 Gambaran Histopatologi Paru Tikus ... 54
4.2 Pembahasan ... 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 62
5.2 Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA
(17)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Tanda dan Gejala Klinis Keracunan CO ... 15
2. Definisi Operasional... 47
3. Hasil Pengamatan Kerusakan Parenkim Paru Tikus ... 51
(18)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori... 6
2. Kerangka Konsep ... 7
3. Jumlah Hotspot Berdasarkan Provinsi Periode 1997–2006 ... 9
4. Luas Areal Hutan Indonesia yang Terbakar Dalam Kurun Tahun 1997–2006 ... 9
5. Anatomi Paru ... 24
6. Histologi Saluran Pernapasan ... 27
7. Dinding Alveolus dan Sel Alveolus ... 28
8. Diagram Alur Penelitian ... 45
9. Gambaran Histopatologi Paru Tikus Kelompok K(–) ... 54
10. Gambaran Histopatologi Paru Tikus Kelompok P1 ... 55
11. Gambaran Histopatologi Paru Tikus Kelompok P2 ... 56
12. Gambaran Histopatologi Paru Tikus Kelompok P3 ... 57
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Analisis Statistik ... 71 2. Dokumentasi Penelitian ... 75
(20)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebakaran hutan di Indonesia telah terjadi sejak tahun 1982. Hingga saat ini kebakaran telah menghanguskan lebih dari 165.000 hektar hutan di beberapa provinsi antara lain Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan, Maluku dan Papua (Faisal et al., 2012). Meskipun bukan fenomena baru, frekuensi dan prevalensi terjadinya kebakaran hutan semakin meningkat setiap tahun sehingga menjadi masalah utama di Indonesia karena asap yang dihasilkan dari kebakaran tersebut meluas hingga ke beberapa bagian provinsi di Indonesia serta negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Harrison, 2009).
Asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan sejumlah besar mengandung karbon monoksida (CO), particulate matter (PM), nitrogen dioksida (NO2) dan volatile organic compounds (VOCs) seperti benzena, formaldehid dan akrelein yang dilepaskan ke atmosfer (CDC, 2014). Selain itu juga terdapat komponen gas seperti sulfur dioksida (SO2) dan ozon (O3) yang dihasilkan dari asap kebakaran hutan (Perwitasari, 2012). Ditambah dengan unsur-unsur yang telah ada di udara seperti N2, O2, CO2 dan H2O (Sudoyo et al., 2009).
(21)
2
Dampak yang ditimbulkan dari paparan asap kebakaran hutan dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan seperti gangguan pada sistem kardiologi, hematologi, neurologi, oftalmologi dan respirologi (Naeher et al., 2007).
Kelainan yang muncul pada sistem respirologi antara lain cedera termal pada saluran napas bagian atas yang melibatkan mulut, orofaring dan laring serta cedera parenkim pada saluran napas bawah yang disebabkan oleh bahan kimia dan partikel yang berasal dari asap (Antonio, 2013). Cedera parenkim secara histologis dapat berupa emfisema paru yang ditandai dengan pelebaran dari alveolus dan duktus alveolus, selain itu juga dapat terjadi destruksi dari septum intra alveolar dan infiltrat radang berupa neutrofil (Renne et al., 2003).
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut sejauh mana kerusakan yang terjadi pada parenkim paru akibat paparan asap pembakaran bahan organik.
1.2 Perumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi parenkim paru tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley?
(22)
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi parenkim paru tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu kedokteran khususnya di bidang Patologi Anatomi.
Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti dapat mengembangkan ide dan menambah pengetahuan tentang saluran pernafasan khususnya di bidang Patologi Anatomi.
2. Bagi pembaca dan masyarakat dapat mengetahui bahaya dan dampak dari asap pembakaran bahan organik terhadap parenkim paru pada saluran pernafasan.
3. Bagi peneliti lain agar dapat meneruskan penelitian yang berkaitan dengan saluran pernafasan.
4. Bagi pemerintah dapat mengambil tindakan lebih lanjut agar dapat menghentikan kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia untuk menurunkan angka kejadian gangguan kesehatan khususnya gangguan padsa saluran pernafasan.
(23)
4
1.5 Kerangka Teori
Asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan sejumlah besar mengandung CO, PM, NO2, dan VOCs yang dilepaskan ke atmosfer (CDC, 2014). Selain itu juga terdapat komponen gas lain seperti SO2 dan O3 (Perwitasari, 2012).
Inhalasi berlebih dari gas yang dihasilkan oleh asap kebakaran hutan dapat menyebabkan gangguan kesehatan terutama pada organ. Salah satu ogan yang dapat mengalami kerusakan yaitu paru karena partikel berbagai macam gas tersebut yang sukar larut akan terinhalasi kedalam paru dan mengendap terlebih dahulu dibeberapa bagian paru (Sudoyo et al., 2009).
Di zona pernapasan yaitu alveolus, yang merupakan bagian paling superfisial yang efektif untuk transfer gas, difusi ke dalam interstitium paru akan lengkap. Karena massa total jaringan paru-paru agak kecil dibandingkan dengan kompartemen gas lainnya, jumlah yang relatif kecil dari gas tersebut akan didistribusikan dalam struktur paru-paru terutama alveolus (WHO, 2004).
Gas yang dihasilkan dari asap kebakaran hutan memiliki ukuran partikel 0,5– 1 µm. Sebagian gas akan berdifusi melalui kapiler, sebagian lagi akan terdeposit di alveolus. Adanya akumulasi berlebih dari partikel gas tersebut di alveolus akan menyebabkan pertukaran gas yang buruk (Miller & Chang, 2003).
(24)
Berdifusi nya gas dari asap kebakaran hutan dalam jumlah berlebih akan menyebabkan peningkatan sintesis IL–8, suatu zat penarik dan pengaktif neutrofil yang poten, oleh makrofag paru. Pengeluaran senyawa serupa seperti IL–1 dan TNFα menyebabkan skuesterasi dan pengaktifan neutrofil. Neutrofil yang aktif akan mengeluarkan beragam produk seperti oksidan, protease, platelet activating factor dan leukotrein yang menyebabkan gangguan pada mikrosirkulasi paru sehingga terjadi peningkatan permiabilitas alveolar-capillary barrier. Sehingga menyebabkan kerusakan pada alveolus paru (Kumar et al., 2007).
Selain itu respon pertama pada inflamasi akut dari adanya inhalasi gas toksik berupa akumulasi makrofag yang akan melepaskan neutrofil dan memicu terjadinya inflamasi, infiltrat neutrofil akan tetap berada pada alveoli yang disebut dengan infiltrat radang. Gas toksik dapat menginduksi terjadinya inflamasi pulmo tikus. Salah satu kelainan pada pulmo adalah emfisema, yang didefinisikan sebagai suatu pelebaran dari alveolus, duktus alveolus serta hilangnya batas antara alveolus dengan duktus alveolus yang disebut dengan septum intra alveolar (Okpitasari, 2014). Hal tersebut terjadi karena adanya pelepasan elastase dengan mekanisme kerja menginaktifasi protein dan khususnya mendegrasasi matriks (Renne et al., 2003). Kerangka teori dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
(25)
6
Gambar 1. Kerangka Teori Terjadinya Emfisema, Destruksi Septum Alveolar & Infiltrat Radang Pada Paru Akibat Asap Kebakaran Hutan
Asap kebakaran hutan
CO
Inhalasi radikal bebas
Difusi lalu berikatan dengan
Hb Partikel 0,5–1µm,
terperangkap dalam alveoli
Partikel terdeposit Menyebabkan peningkatan sintesis IL-8 Peningkatan permeabilitas barier alveolar-kapiler Pelepasan elastase Aktifkan neutrofil
Pelepasan sitokin lain (IL-1 dan TNFα)
Pengeluaran Oksidan, protease, platelet activating
factor dan leukotrein Sekuesterasi atau penyebaran neutrofil NO2
SO2 VOCs PM
Infiltrat radang Emfisema Destruksi
septum alveolar Inaktivasi antiprotease
(defisiensi α1 -antitripsin)
(26)
1.6 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian tentang pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi parenkim paru tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley, disajikan pada gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
1.7 Hipotesis
Terdapat pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi parenkim paru tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague dawley
K (–)
P 1
P 2
P 3
P 4
Tidak diberi paparan,
Paparan asap selama 1 jam/hari
Paparan asap selama 2 jam/hari
Paparan asap selama 3 jam/hari
Paparan asap selama 4 jam/hari
Perubahan pada gambaran parenkim paru tikus berupa:
emfisema destruksi septum alveolar infiltrat radang.
(27)
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan
Hutan merupakan lahan dengan luas minimum 0,05–1,0 hektar yang terdiri dari 10–30% pohon dengan ketinggian minimum 2–5 meter. Hutan mempunyai permasalah yang cukup banyak, salah satu permasalahan hutan yang paling besar adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan adalah keadaan api yang tidak terkontrol di kawasan hutan yang menyebabkan terbakarnya vegetasi hutan seperti pohon, gambut dan rumput (FAO, 2006).
Berdasatkan data yang diperoleh World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, mulai dari tahun 1997 sampai tahun 2006, kebakaran di hutan Indonesia terjadi di lima provinsi yang mempunyai jumlah hotspot tertinggi secara bertutut-turut pada kurun tahun 1997–2006 adalah Kalimantan Tengah, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (Rahmayanti, 2007). Jumlah hotspot yang ada di setiap provinsi tersebut disajikan pada gambar 3. Sementara luas hutan Indonesia yang terbakar setiap tahunnya dapat dilihat pada gambar 4.
(28)
Gambar 3. Jumlah hotspot berdasarkan provinsi dalam kurun waktu 1997–2006 (Sumber: Rahmayanti, 2007).
Gambar 4. Luas areal hutan Indonesia yang terbakar dalam kurun tahun 1997–2006 (Sumber: Rahmayanti, 2007).
Pada tahun 1997–2006, areal hutan terbakar paling luas terdapat pada tahun 1998, hal ini menggambarkan kebakaran hebat pada tahun tersebut. Sementara, kebakaran pada tahun 2006 menempati urutan kedua selama kurun waktu tersebut. Meskipun setelah tahun 1997–1998 jumlah areal yang terbakar turun, kenaikan kembali terjadi pada tahun 2006 bahkan hampir
(29)
10
sama dengan kebakaran yang terjadi pada tahun 2008. Terjadinya kebakaran yang selalu berulang setiap tahunnya dalam kurun tahun 1997–2006 menunjukkan bahwa kebakaran hutan adalah kejadian tahunan yang tidak pernah berhenti. Jumlah total areal hutan yang terbakar kurun waktu tersebut adalah sekitar 1,43 juta hektar (Rahmayanti, 2007).
Di beberapa daerah, orang membakar habis suatu lahan perhutanan agar menjadi subur dengan cara lebih mudah dan murah. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab yang paling sering mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan. Selain itu juga terdapat penyebab alami yang dapat menyebabkan kebakaran hutan antara lain petir, erupsi vulkanik dan percikan api dari reruntuhan batu. Di Amerika, Kanada dan Cina Utara petir menjadi penyebab utama, sedangkan di negara lain seperti Meksiko, Amerika Tengah, Afrika, Asia Tenggara, Fiji, Selandia Baru dan Indonesia kesalahan manusia menjadi penyebab utama terjadinya kebakaran hutan (Faisal et al., 2012).
2.2 Asap Kebakaran Hutan
Asap merupakan campuran antara karbon dioksida, air, zat yang terdifusi di udara, zat partikulat, hidrokarbon, zat kimia organik, nitrogen oksida dan mineral. Komposisi asap tergantung dari banyak faktor yaitu jenis bahan pembakar, kelembaban, temperatur api, kondisi angin dan hal lain yang mempengaruhi cuaca, baik asap tersebut baru atau lama. Selain itu terdapat beberapa jenis kayu dan tumbuhan lain yang bila terbakar akan membentuk campuran yang berbeda, tumbuhan tersebut memiliki komponen antara lain
(30)
selulosa, lignin, tanin, polifenol, minyak, lemak, resin, lilin dan tepung (Faisal et al., 2012).
Asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan sejumlah besar mengandung CO, PM, NO2 dan VOCs seperti benzene, formaldehid dan akrelein yang dilepaskan ke atmosfer (CDC, 2014). Selain itu juga terdapat komponen gas seperti SO2 dan ozon O3 yang dihasilkan dari asap kebakaran hutan (Perwitasari, 2012).
2.2.1 Karbon monoksida
Gas CO dihasilkan dari penggabungan antara karbon dan oksigen sebagai hasil dari pembakaran tidak sempurna. CO dapat dihasilkan secara buatan misalnya dari knalpot kendaraan bermotor dan secara alami dilepaskan dari pembakaran kayu dan hutan. Total emisi CO pertahun diperkirakan mencapai 2600 juta ton (WHO, 2004). CO merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa, pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna serta memiliki sifat potensif racun terhadap tubuh (Depkes, 2011). Satuan konsentrasi CO di udara adalah ppm atau parts per million. Gas analyzer dengan satuan persen volume digunakan untuk mengukur kadar CO dimana 1 ppm setara dengan 10-4 % (Anggraeni, 2009).
Berdasarkan data dari The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), Lc50 CO pada tikus yaitu 1807 ppm selama 4 jam inhalasi.
(31)
12
Sehingga apabila paparan melebihi kadar dan waktu tersebut dapat menimbulkan gangguan dan kerusakan pada sistem organ (WHO, 2004).
Mahluk hidup akan dengan mudah terpapar dengan CO yang ada di udara melalui inhalasi dan kontak pada permukaan kulit. Tetapi penyerapan CO pada kulit memiliki kontribusi yang lebih kecil dibandingkan dengan penyerapan yang melalui jalur inhalasi dikarenakan adanya tekanan parsial CO yang berbeda pada setiap organ. CO yang terinhalasi dengan cepat akan masuk hingga ke alveolus lalu berdifusi melalui pembuluh darah dan akan berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksihemoglobin (COHb).
Ikatan COHb bersifat reversibel dan stabil. COHb dengan kadar >60% didalam tubuh akan berakibat fatal. Tetapi jika orang yang telah mengabsorbsi CO dipindahkan ke udara bersih dan berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50% dalam waktu 4,5 jam dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8–10% setiap jamnya. Sehingga dalam 6–8 jam darah tidak lagi mengandung COHb. Selain itu eritrosit tidak mengalami kerusakan setelah Hb dilepaskan dari ikatan COHb (ATSDR, 2012).
Dari beberapa komponen gas yang terkandung dalam asap kebakaran, terdapat gas yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan yaitu CO. Selain sifat gas tersebut yang potensif racun juga memiliki ukuran partikel 0,5–1µm yang apabila terinhalasi dapat masuk sampai ke saluran napas bawah (Depkes, 2011).
(32)
Setelah masuk ke saluran napas dan berdifusi melalui membran alveolus, gas CO akan masuk ke sirkulasi dan bereaksi dengan Fe dari porfirin, oleh karena itu CO bersifat kompetitif dengan O2 dalam mengikat protein heme antara lain hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase yaitu sitokrom dan a3, sitokrom P–450, peroksidase dan katalase. Ikatan CO dengan Hb menjadi COHb mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga kemampuan eritrosit untuk mengangkut oksigen menjadi berkurang. Selain itu adanya COHb dalam darah akan menghambat disosiasi HbO2. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia. Selain itu reaksi CO dengan sitokrom a3 yang merupakan link yang penting dalam sistem enzim pernafasan sel yang juga dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Konsentrasi CO dalam darah dapat dihitung menggunakan rumus Henderson dan Haggard yaitu dengan mengalikan antara lama paparan dalam jam dan konsentrasi CO di udara dalam satuan ppm. Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi/paparan menentukan kecepatan timbulnya gejala-gejala atau kematian (Anggraeni, 2009).
Menurut WHO, paparan CO dengan konsentrasi 100 mg/m3 (87,3 ppm), 60 mg/m3 (52,38 ppm), 30 mg/m3 (26,19 ppm), 10 mg/m3 (8,73 ppm) memiliki durasi batas normal paparan secara berturut-turut hanya selama 15 menit, 10 menit, 1 jam dan 8 jam. Efek yang ditimbulkan dari paparan CO dengan konsentrasi dan durasi paparan yang melebihi konsentrasi normal dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan yaitu gangguan pada sistem kardiologi, hematologi, neurologi dan respirologi (WHO, 2004).
(33)
14
Pada sistem kardiologi dapat terjadi aritmia karena gangguan konduksi, fibrilasi atrium dan ventrikel dalam keadaan keracunan akut dari CO. Pada keadaan keracunan kronik umumnya berhubungan dengan manifestasi yang berat karena dengan konsentrasi yang rendah pada pasien dengan penyakit jantung koroner dapat menyebabkan terjadinya iskemik hingga infark miokardium akut (Wellenius et al., 2004).
Gejala yang muncul pada individu yang mengalami keracunan ringan dari CO terkadang sulit dibedakan dengan penyakit lain dan hampir tidak dikenali. Berat ringannya gejala tergantung pada konsentrasi COHb dalam darah karena CO bersifat kompetitif dengan O2 untuk berikatan dengan Hb pada eritrosit sehingga menyebabkan rendahnya O2 yang didistribusikan ke seluruh tubuh yang akhirnya terjadi hipoksia jaringan. Konsentrasi COHb <25% menimbulkan gejala yang paling sering berupa sakit kepala yang dapat disertai dengan malaise, mual dan pusing. Pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi yaitu antara 25–50% dapat menyebabkan terjadinya perubahan status mental yaitu kebingungan, selain itu juga dapat terjadi dispneu dan sinkop atau koma. Pada konsentrasi yang lebih tinggi lagi yaitu >50% dapat mengakibatkan terjadinya iskemik pada otot jantung, aritmia ventikular, edema paru, asidosis laktat, hipotensi, koma, kejang dan pada akhirnya dapat menyebakan kematian (Quinn et al., 2009). Tanda dan gejala klinis dari keracunan CO terdapat pada tabel 1.
(34)
Tabel 1. Tanda dan Gejala Klinis Keracunan CO
Derajat Kadar COHb Tanda dan Gejala
Ringan <15–20% Sakit kepala, mual, muntah,
pusing, dan penglihatan terganggu
Sedang 21–40% Kebingungan, pingsan,
chest pain, dispneu, takikardia,
Takipneu, rhabdomiolisis
Berat 41–59% Palpitasi, disritmia,
hipotensi, iskemik miokardium, cardiac arrest, respiratory arrest, edema pulmonal, kejang, koma
Fatal ≥60% Kematian
(Sumber: WHO, 2004)
Gangguan neurologi terjadi akibat adanya hipoksia di otak. Gejala yang paling sering muncul berupa kebingungan dan depresi. Selain itu juga ingatan jangka pendek dapat terganggu. Beberapa penelitian melaporkan bahwa paparan CO pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi pelepasan neuron spesific enolase (NSE) yaitu suatu enzim glukolitik yang terdapat pada sitoplasma neuron pada sistem saraf pusat dan S100B yaitu calcium binding protein yang terdapat pada sel astroglial. Kedua mediator tersebut dilepaskan sesaat setelah terjadinya hipoksia yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian neuron dan sel astroglial serta infark pada ganglia basalis (Chiew & Buckley, 2014).
(35)
16
Pada sistem respirologi, cedera inhalasi menggambarkan kerusakan yang disebabkan oleh terinhalasinya bahan iritan berupa iritan termal ataupun kimia. Secara anatomi, cedera inhalasi diklasifikasikan berdasarkan penyebab dan saluran napas yang mengalami kerusakan yaitu cedera termal yang terjadi pada saluran napas bagian atas, iritasi bahan kimia lokal yang terjadi di saluran napas bawah, dan keracunan sistemik yang di akibatkan inhalasi zat toksik yaitu CO (Dries & Endorf, 2013).
Di saluran napas atas, dalam beberapa jam setelah terkena paparan CO tetapi kerusakan yang terjadi masih minimal. Setelah 8–48 jam, akan terjadi edema, membran menjadi mukopurulen dan bronchorrhea. Dalam 48–72 jam, mukosa saluran napas terkelupas dan terbentuk trakeobronkitis membranosa. Sedangkan di saluran napas yang lebih bawah CO yang berukuran 0,5–1 µm akan terdeposit pada parenkim paru yaitu alveolus. Hal tersebut menyebabkan dilepaskannya neutrofil sebagai mediator inflamasi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada epitel dan endotel akhirnya terjadi peningkatan permiabilitas yang menyebabkan edema pada alveoli pada kurun waktu 24– 48 jam setelah paparan CO (Miller & Chang, 2003).
Lesi pada parenkim paru yang disebabkan oleh inhalasi CO paling sering didistribusikan dalam bentuk yang tetap ke asinus paru yang terdiri dari bronkiolus terminalis, duktus alveolaris dan alveolus. Pada inflamasi akut, respon pertama dari adanya inhalasi CO berupa akumulasi makrofag yang akan melepaskan neutrofil dan memicu terjadinya inflamasi, infiltrat neutrofil
(36)
akan tetap berada pada alveoli yang disebut dengan infiltrat radang. CO dapat menginduksi terjadinya inflamasi pada paru tikus. Salah satu kelainan pada paru adalah emfisema, yang didefinisikan sebagai suatu pelebaran dari alveoli, duktus alveoli serta hilangnya batas antara alveoli dengan duktus alveoli yang disebut dengan septum intra alveolar. Hal tersebut terjadi karena adanya pelepasan elastase dengan mekanisme kerja menginaktifasi protein dan khususnya mendegradasi matriks. Pada inflamasi kronik terjadi fibrosis pada septum dan jaringan intersitium, infiltrasi sel radang limfosit pada perivaskular dan peribronkial, serta hiperplasia pada bronchus assosiated limfoid tissue (BALT) (Renne et al., 2003).
2.2.2 Sulfur Dioksida
Gas SO2 berasal dari pembakaran terutama bahan bakar yang dapat ditemukan pada industri, lalu lintas dan dapat pula ditemukan pada asap kebakaran hutan dengan jumlah sedikit. Gas SO2 terbukti menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) didalam paru, tetapi efek yang ditimbulkan dari SO2 memerlukan konsentrasi yang tinggi. Efek yang ditimbulkan dalam waktu cepat berupa bronkokonstriksi (Olivieri & Scoditti, 2005).
Di saluran pernapasan, adanya SO2 terinhalasi akan menghasilkan ROS yang menginaktivasi enzim alfa 1 antitripsin yang merupakan agen antiproteolitik, dengan adanya hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan pada dinding alveolus. Inhalasi SO2 dapat menginduksi respon inflamasi dengan dilepaskannya beberapa sitokin seperti IL–1, IL–8 dan TNFα yang
(37)
18
menimbulkan respon dari sel radang neutrofil dan hipersekresi mukus pada saluran napas karena sifat dari SO2 yang bersifat iritan (Kodavanti et al., 2006).
Selain pada sistem pernapasan, SO2 dapat menimbulkan gangguan pada sistem kardiovaskular. Pada penelitian yang pernah dilakukan dengan memaparkan SO2 sebanyak 5 ppm kepada tikus betina yang sedang hamil selama 1 jam pada masa gestasi dan lima hari setelah melahirkan kemudian diamati perubahan denyut jantung dengan menggunakan elektrokardiogram. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan peningkatan denyut jantung tikus yang dipapar SO2, hal tersebut dikarenakan mekanisme dari SO2 yang menghambat GABAergic dan mengubah neurotransmisi glisinergik ke nervus vagus yang menyebabkan terjadinya peningkatan denyut jantung (Woerman & Mendelowitz, 2013).
2.2.3 Nitrogen Dioksida
Gas NO2 merupakan radikal bebas yang terdapat pada polusi udara dalam ruangan maupun luar ruangan yang dihasilkan dari proses pembakaran seperti kendaraan bermotor ataupun kebakaran hutan. Pada manusia, NO2 dengan konsentrasi diatas 5 ppm dapat menyebabkan gangguan pada paru berupa Acute Lung Injury dan memicu terjadinya asma pada sebagian besar anak. Adanya NO2 terinhalasi memicu respon tubuh untuk mengeluarkan sitokin pro inflamasi yang menyebabkan kerusakan pada alveolar berupa kerusakan dinding alveolar, adanya hipersekresi mukus dan infiltrasi sel radang. Selain
(38)
itu adanya NO2 memicu terjadinya sensitisasi pada penderita dengan alergi dan menimbulkan respon Ig A dan Ig E (Poynter, 2012).
Pada sirkulasi darah, NO2 menyebabkan aktivasi dari sitokin nuclear factor kappa beta (NF–κβ) sehingga terjadi disfungsi endotel. Selain itu adanya NO2 yang bersirkulasi akan menyebabkan pelepasan mediator pro–inflamasi seperti IL–8. Adanya hal tersebut memicu terbentuknya lesi aterosklerosis dan menjadi prekursor untuk terjadinya infark miokardium (Channell et al., 2012).
2.2.4 Materi Partikulat
Materi partikulat yang berasal dari asap kebakaran merupakan bagian penting untuk pajanan jangka pendek yaitu dalam hitungan jam atau minggu. Materi partikulat merupakan campuran partikel solid dan droplet cair atau disebut juga dengan partikel tersuspensi (Ammann et al., 2008). Ukuran dan komposisi partikel merupakan faktor penting yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (CDC, 2014). Partikel dalam asap kayu yang terbakar
hampir seluruhnya berukuran <1 μm, sebagian besar antara 0,15 sampai 0,4
μm (Faisal et al., 2012).
Materi partikulat dibagi menjadi:
a. Partikel yang berukuran 2,5–10 µm disebut partikel kasar, jika terinhalasi tidak dapat mencapai paru melainkan menimbulkan dampak seperti iritasi mata,hidung dan tenggorokan.
(39)
20
b. Partikel yang berukuran kurang dari 2,5 µm disebut partikel halus, jika terinhalasi dapat mencapai paru (Gindo & Budi, 2007).
Pada sistem respirologi, partikulat meter yang masuk ke tubuh melalui inhalasi memiliki kemampuan untuk menghasilkan radikal bebas atau ROS dalam sistem biologis dan untuk mengaktifkan jalur stres oksidatif di dalam sel epitel paru. Pelepasan ROS menyebabkan inaktivasi myeloperoxidase alfa 1-antitripsin, yang merupakan enzim antiprotease paling penting didalam tubuh manusia yang berfungsi untuk mencegah proteolitik yang dapat menyebabkan kerusakan paru dan emfisema (Domej et al., 2006).
Pada sistem kardiovaskular, banyaknya partikulat meter yang bersirkulasi didalam darah menyebabkan peningkatan kadar protein C-reaktif yang merupakan penanda inflamasi sistemik dan prediktor independen dari penyakit kardiovaskular, disfungsi endotel, vasokonstriksi arteri brachialis dan memicu terjadinya infark miokardium (Pope et al., 2004).
2.2.5 Volatile Organic Compounds
Substansi VOCs merupakan salah satu substansi penting yang terdapat di udara karena VOCs terdapat dimana-mana dan dikaitkan dengan peningkatan masalah kesehatan (Tanyanont & Vadakan, 2012). Beberapa jenis VOCs yaitu benzena, toluena, etilbenzena, akrelein, formaldehid dan aldehid (Ismail & Hameed, 2013).
(40)
Paparan dari VOCs dalam jangka pendek dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, hidung dan tenggorokan. Sakit kepala, pusing, lelah dan pernafasan yang pendek mungkin dapat ditemukan pada paparan jangka pendek. Pada paparan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan ginjal, serta menimbulkan efek pada sistem lain seperti sistem respirasi, saraf, reproduksi, muskular, gangguan mental dan kanker (Tanyanont & Vadakan, 2012).
Pada beberapa penelitian secara in vitro didapatkan bahwa VOC dapat meningkatkan produksi dari sitokin pro–inflamasi pada sel epitel paru yang diinduksi oleh stres oksidatif. Pada penelitian dengan menggunakan sampel darah orang yang sering terpapar VOC di lingkungan kerja didapatkan peningkatan kadar IL–6 dan TNFα. Pada penelitian dengan menggunakan tikus menunjukan bahwa gas formaldehid dengan berat molekul rendah menyebabkan sensitisasi pada saluran napas yang ditandai dengan peningkatan IgE atau IL–4 (Bonisch et al., 2012).
2.2.6 Kerusakan Paru
Gas yang dihasilkan dari asap kebakaran karena sifat fisik dan kimianya, keberadaannya dalam tubuh menyebabkan gangguan kesehatan. Pengendapan partikel seluruh gas yang terinhalasi di dalam paru tidak seragam. Partikel toksik yang masuk dapat menembus atau diretensi oleh mukosa saluran napas. Hal tersebut tergantung pada kelarutannya, konsentrasi gas dalam udara inspirasi, kecepatan dan dalamnya ventilasi
(41)
22
serta reaktivasi gas. Gas yang mudah larut sesudah masuk saluran napas hampir lengkap diserap oleh mukosa saluran napas bagian atas saat terjadi paparan. Bagi gas yang kurang larut sesudah masuk di saluran napas atas akan diteruskan hingga ke saluran napas bawah yang pada akhirnya akan menembus alveoli. Sifat dari gas yang dihasilkan dalam asap kebakaran yang kurang larut dalam air menyebabkan gas ini tidak dapat dihilangkan di saluran napas atas. Sehingga setelah sampai di alveoli akan terjadi difusi melalui membran alveolus kapiler dan masuk ke sirkulasi (Sudoyo et al., 2009).
Ada bagian tertentu dari paru yang kadang terdapat endapan melebihi kapasitas paru sendiri. Tingginya pengendapan lokal dalam paru, dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau terjadinya permulaan proses kerusakan paru. Kerusakan pada paru yang disebabkan oleh inhalasi asap tergantung durasi paparan, jumlah dan pengendapan partikel yang terinhalasi dalam paru merupakan kunci determinan dalam perkiraan resiko kesehatan karena polusi partikel. Penetrasi dan toksisitasnya tergantung pada tekanan parsial dalam campuran seperti difusibilitasnya, kelarutannya dan afinitasnya terhadap hemoglobin. Aksi dari beberapa partikel berpengaruh terhadap sel endotelial pulmo dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi karena adanya perubahan daya rekat eritrosit. Inhalasi asap akan mempengaruhi anatomi komponen utama epithelium saluran pernafasan. Terjadinya perubahan pada epitelium saluran pernafasan ini mengakibatkan sistem respirasi tidak dapat berfungsi secara normal (Anindyajati, 2007).
(42)
Meskipun paru dalam fungsinya sebagai sistem transportasi gas yang akan terus menerus dilalui oleh berbagai macam gas, tetapi sebenarnya gas yang berdifusi dan tersimpan dalam jaringan paru-paru itu sendiri sangat sedikit, kecuali pada bagian alveolus. Epitel dari zona konduktif memiliki hambatan yang signifikan untuk difusi. Oleh karena itu, difusi dan serapan gas dengan jaringan pada konsentrasi gas yang lebih tinggi akan menjadi sangat lambat. Sebagian dari gas yang dihasilkan oleh asap pembakaran akan dilarutkan dalam mukosa saluran napas. Difusi ke dalam lapisan submukosa dan interstitium akan tergantung pada konsentrasi dan durasi paparan (WHO, 2004).
2.3 Paru
2.3.1 Anatomi Paru
Paru merupakan organ yang berbentuk piramid dengan konsistensi seperti spons dan berisi udara yang terletak di rongga toraks. Paru merupakan jalinan atau susunan bronkus, bronkiolus, bronkiolus respiratorius, alveoli, sirkulasi paru, saraf dan sistem limfatik. Paru adalah alat pernafasan utama yang merupakan organ berbentuk kerucut dengan apeks diatas dan sedikit lebih tinggi dari klavikula di dalam dasar leher (Sloane, 2003).
Paru masing-masing diliputi oleh sebuah kantong pleura yang terdiri dari dua selaput serosa yang disebut pleura, yakni pleura parietal melapisi dinding toraks dan pleura viseralis yang meliputi paru termasuk permukaan nya dalam fisura. Paru-paru normal bersifat ringan, lunak dan menyerupai
(43)
24
spons. Paru juga kenyal dan dapat mengisut sampai sekitar sepertiga besarnya, jika kavum torak dibuka (Moore, 2009).
Gambar 5. Anatomi Paru (Sumber: Faiz & Moffat, 2011).
Paru kanan dan kiri terpisah oleh jantung dan pembuluh besar dalam mediastinum medius. Paru kanan di bagi oleh dua fisura kedalam tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior, sedangkan paru kiri dibagi oleh sebuah fisura menjadi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Paru berhubungan dengan jantung dan trakea melalui struktur dalam radiks pulmonis. Radiks pulmonis adalah daerah peralihan pleura viseralis ke pleura parietalis yang menghubungkan fascies mediastinalis paru-paru dengan jantung dan trakea. Hilus pulmonis berisi bronkus prinsipalis, pembuluh pulmonal, pembuluh brokial, pembuluh limfe dan saraf yang menuju ke paru atau sebaliknya (Moore, 2009).
(44)
2.3.2 Fisiologi Paru
Sistem pernafasan terdiri atas dua paru sebagai organ utama beserta sistem saluran yang menghubungkan jaringan paru dengan lingkungan luar. Sistem respirasi secara umum dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian konduksi yaitu saluran napas solid baik diluar maupun didalam paru yang menghantar udara keadalam paru untuk respirasi, yang terdiri dari rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus sampai bronkiolus terminalis dan bagian respiratorius adalah saluran napas di dalam paru tempat berlangsungnya respirasi atau pertukaran gas, dimulai dari bronkiolus respiratorius sampai alveolus. Udara didistribusikan ke dalam paru melalui trakea, bronkus dan bronkiolus. Trakea disebut cabang pertama saluran napas. Dan kedua bronkiolus kiri dan kanan adalah cabang kedua, masing-masing bagian sesudah itu disebut cabang tambahan. Terdapat 20–25 cabang sebelum udara akhirnya mencapai alveolus (Guyton & Hall, 2007).
Fungsi utama paru adalah untuk pertukaran gas antara udara atmosfer dan darah. Dalam menjalankan fungsinya, paru ibarat sebuah pompa mekanik yang berfungsi ganda, yakni menghisap udara atmosfer ke dalam paru atau disebut sebagai mekanisme inspirasi dan mengeluarkan udara alveolus dari dalam tubuh atau disebut dengan mekanisme ekspirasi. Untuk melakukan fungsi ventilasi, paru mempunyai beberapa komponen penting antara lain: a. Dinding dada yang terdiri dari tulang, otot dan saraf perifer.
b. Parenkim paru yang terdiri dari saluran napas, alveolus, dan pembuluh darah.
(45)
26
c. Dua lapisan pleura yaitu pleura viseralis yang membungkus erat jaringan parenkim paru dan pleura parietalis yang menempel erat ke dinding toraks bagian dalam. Di antara kedua lapisan pleura terdapat rongga tipis yang normalnya tidak berisi apapun.
d. Beberapa reseptor yang berada di pembuluh darah arteri utama (Guyton & Hall, 2007).
2.3.3 Histologi Paru
Lobus primerus merupakan unit fungsional dalam paru yang terdiri dari semua struktur mulai bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium, sakus alveolaris dan alveolus bersama sama dengan pembuluh darah, limfe, serabut saraf dan jaringan pengikat. Lobulus di daerah perifer paru-paru berbentuk piramidal atau kerucut di dasar perifer, sedangkan untuk mengisi celah-celah diantaranya terdapat lobuli berbentuk tidak teratur dengan dasar menuju ke sentral. Bronkiolus terminalis adalah cabang terakhir dari bronkiolus di dalam paru. Kesatuan paru yang diatur oleh bronkiolus terminalis disebut asinus (Junquiera et al., 2007).
(46)
Gambar 6. Histologi Paru (Sumber: Eroschenko, 2010).
2.3.3.1 Bronkiolus Respiratorius
Bronkiolus repiratorius merupakan zona transisi antara bagian konduksi dan respiratori sistem pernapasan. Dinding bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel selapis kuboid yang setiap dindingnya terdapat saccus alveolus. Silia mungkin dijumpai pada bagian proksimal saluran ini namun menghilang pada bagian distal. Epitel dikelilingi oleh selapis tipis otot polos. Setiap bronkiolus respiratorius membentuk duktus alveolaris dengan alveoli bermuara kedalamnya. Di dalam lamina propria yang mengelilingi deretan alveoli di duktus alveolaris yaitu berkas otot polos. Berkas otot polos tersebut tampak berupa tombol di antara alveoli yang berdekatan (Eroschenko, 2010).
(47)
28
2.3.3.2 Duktus Alveolaris
Bronkiolus respiratorius bercabang menjadi 2–11 saluran yang disebut duktus alveolaris. Saluran ini dikelilingi oleh alveolus sekitarnya. Saluran ini tampak seperti pipa kecil yang panjang dan bercabang-cabang dengan dinding yang terputus-putus karena penonjolan sepanjang dindingnya sebagai duktus alveolaris. Dinding duktus alveolaris diperkuat dengan adanya serabut kolagen elastis dan otot polos sehingga merupakan penebalan muara sakus alveolaris (Junquiera et al., 2007).
2.3.3.3 Dinding alveolus dan Sel alveolus
Alveolus merupakan evaginasi atau kantung luar bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakus alveolaris, ujung terminal duktus alveolaris. Alveolus dilapisi oleh selapis tipis sel alveolus gepeng atau sel pneumosit tipe I. Alveoli yang berdekatan dipisahkan oleh septum interalveolar atau dinding alveolus. Septum interalveolar terdiri dari sel alveolus selapis gepeng, serat jaringan ikat halus dan fibroblas dan banyak kapiler yang terletak di septum interalveolar tipis. Selain itu alveolus juga mengandung makrofag alveolaris atau sel debu. Dalam keadaan normal, makrofag alveolaris mengandung beberapa partikel karbon atau debu di sitoplasmanya. Di alveolus juga ditemukan sel alveolus besar atau pneumosit tipe II yang terletak diantara sel alveolus selapis gepeng di alveolus (Eroschenko, 2010).
(48)
Gambar 7. Dinding alveolus dan sel alveolus (Sumber: Eroschenko, 2010).
2.3.3.4 Mekanisme Pertahanan Paru
Permukaan paru yang luas yang hanya dipisahkan oleh membran tipis dari sistem sirkulasi, secara teoritis mengakibatkan seorang rentan terhadap invasi benda asing dan bakteri yang masuk bersama udara inspirasi, tetapi saluran respirasi bagian bawah dalam keadaan normal adalah steril. Terdapat beberapa mekanisme pertahanan yang mempertahankan sterilitas ini. Telah diketahui bahwa refleks menelan atau refleks muntah yang mencegah masuknya makanan atau cairan ke dalam trakea, juga kerja eksalator mukosiliaris yang menjebak debu dan bakteri kemudian memindahkannya ke kerongkongan. Lebih lanjut, lapisan mukus mengandung faktor-faktor yang mungkin efektif sebagai pertahanan yaitu imunoglobulin terutama Ig A, PMN dan interferon. Makrofag alveolar merupakan pertahanan terakhir dan terpenting untuk melawan invasi benda
(49)
30
asing kedalam paru. Partikel debu atau mikroorganisme akan diangkut oleh makrofag ke pembuluh limfe atau ke bronkiolus tempat mereka akan dibuang oleh eksalator mukosiliaris (Price & Wilson, 2005).
2.3.4 Patologi Paru
Disaluran napas, karakteristik dari partikel yang berkontribusi dalam meningkatkan toksisitas tergantung dari ukuran, densitas dan bentuk dari patikel tersebut. Partikel yang berukuran lebih dari 10 µm akan difiltrasi oleh nasofaring atau terdeposit pada laring. Partikel yang berukuran 3–10 µm akan terdeposit pada saluran napas bagian konduksi. Sedangkan partikel yang berukuran kurang dari 3 µm akan terdeposit pada saluran napas bagian bawah dan alveoli. Gas yang dihasilkan dari asap kebakaran hutan memiliki ukuran partikel 0,5–1 µm. Sebagian gas akan berdifusi melalui kapiler, sebagian lagi akan terdeposit di alveolus. Adanya akumulasi berlebih dari partikel gas tersebut di alveolus akan menyebabkan pertukaran gas yang buruk (Miller & Chang, 2003).
Pertukaran gas yang buruk yang disebabkan oleh inhalasi zat beracun dapat meningkatkan sintesis IL–8 yaitu suatu zat penarik dan pengaktif neutrofil yang poten yang dilepaskan oleh makrofag paru. Pengeluaran senyawa serupa seperti IL–1 dan TNFα menyebabkan skuesterasi dan pengaktifan neutrofil. Neutrofil yang aktif akan mengeluarkan beragam produk seperti oksidan, protease, platelet activating factor dan leukotrein yang
(50)
menyebabkan kerusakan jaringan dan berlanjut ke jenjang peradangan (Kumar et al., 2007).
Mediator yang dikeluarkan menyebabkan inflamasi yang terjadi pada mikrosirkulasi paru yang sehingga terjadi peningkatan permiabilitas alveolar-capillary barrier. Dampak dari masuknya cairan kedalam alveolus adalah atelektasis. Proses inflamasi ini menyebabkan kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis (Pranggono, 2011).
Secara mikroskopis, pada fase eksudatif yang terjadi pada hari ke–0 sampai ke–7 hari ditandai dengan kongesti kapiler, nekrosis sel epitel alveolus, edema dan perdarahan pada intersitium dan intraalveolar serta penumpukan infiltrat radang neutrofil. Duktus alveolaris melebar dan alveolus cenderung kolaps. Fase proliferatif terjadi pada minggu pertama sampai minggu ke–3 ditandai dengan proliferasi dan hiperplasia pneumosit tipe II, sel ini menggantikan pneumosit tipe I yang terkelupas dan kemudian berdiferensiasi menjadi sel epitel tipe I jika kerusakan telah selesai. Juga terjadi ekspansi septum alveolus oleh proliferasi fibroblas dan jaringan ikat intersitium (Kumar et al., 2007).
2.4 Tikus Putih (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley
Tikus putih (Rattus novergicus) adalah hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian, dikarenakan tikus
(51)
32
merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ, keutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Spague dawley yang berjenis kelamin jantan berumur 8–10 minggu. Tikus Sprague dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil dari penelitian (Kesenja, 2005).
2.4.1 Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia Ordo : Rodentai Subordo : Odontoceti Familia : Muridae Genus : Rattus
Species : Rattus novergicus (Narendra, 2007).
2.4.2 Jenis
Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague dawley, Wistar, dan galur Long evans.
(52)
Tikus galur Sprague dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur Long evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan Tikus putih (Rattus novergicus) galur Sprague dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki tempramen yang tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata seukuran berat badan tikus galur Sprague dawley adalah 100–150 gram. Tikus ini jarang hidup lebih dari 3 tahun (Putra, 2009)
(53)
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. Menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norveicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8–10 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi 5 kelompok.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pemeliharaan tikus dan pemberian intevensi akan dilakukan di Pet House Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pembuatan preparat dan pengamatan akan dilakukan di Laboratorium Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Waktu penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu periode Oktober–November tahun 2014.
(54)
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sparague dawley berumur 8–10 minggu yang diperoleh dari Unit Pengelola Hewan Laboratorium FKH IPB. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara acak yang dibagi dalam 5 kelompok, sesuai dengan rumus Federer (Arkemann, 2006).
Rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah :
(n−1)(t−1)≥15
Dengam t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:
(n−1)(5−1)≥15
(n−1)4≥15
(n−1)≥15/4
(n−1)≥3,75
n≥3,75+1
n = 4,75 (dibulatkan menjadi 5)
Berdasarkan perhitungan diatas maka jumlah sampel yang digunakan pada setiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor (n≥5) dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi yang ada.
(55)
36
Kriteria inklusi:
a) Terdapat penampakaan keadaan rambut tidak kusam, rontok, atau botak, serta bergerak aktif.
b) Memiliki berat badan 100−150 gram. c) Berjenis kelamin jantan.
d) Tikus dewasa yang berusia sekitar 8−10 minggu.
Kriteria eksklusi:
a) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium.
b) Terdapat penampakan rambut kusam, rontok, botak, aktivitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus dan genital setelah masa adaptasi.
c) Mati selama masa pemberian perlakuan.
3.4 Bahan dan Alat Penelitian 3.4.1 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian yaitu bahan organik yang terdiri dari ranting, batang poho, kayu, rumput dan sekam kayu.
(56)
3.4.2 Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah:
a) Neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 gram untuk menimbang berat badan tikus.
b) Tungku untuk membakar bahan organik c) Pipa
d) Kotak plastik sebagai tempat pengumpul asap e) Korek api
f) Kapas alkohol g) Minor set h) Mikroskop
3.5 Prosedur Penelitian
1. Adaptasi Tikus
Tikus dengan jumlah 25 ekor dibagi menjadi lima kelompok yang terdiri dari lima ekor pada masing-masing kelompok dan diletakkan pada lima kandang yang berbeda. Tikus akan melalui masa adaptasi selama satu minggu sebelum perlakuan dimulai. Selama masa adaptasi tikus diperlakukan dengan baik, diberi makan berupa pelet dan air minum serta dilakukan pengukuran berat badan tikus sebelum perlakuan.
(57)
38
2. Persiapan Asap
Bakar bahan organik seperti ranting, batang pohon dam kayu dibakar dengan menggunakan tungku, dengan menggunakan pipa alirkan asap yang sudah terkumpul pada alat pengumpul yang didalamnya terdapat tungku yang berisi bakaran bahan organik. Asap tersebut dialirkan melalui pipa sampai masuk ke kotak plastik yang didalamnya sudah terdapat tikus sebagai sampel percobaan.
3. Prosedur Pemberian Intervensi
Pemberian intervensi dilakukan berdasarkan kelompok perlakuan. Kelompok I (K−) sebagai kontrol negatif tidak diberi paparan asap. Kelompok II (P1) sebagai kelompok perlakuan yang akan diberi paparan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam/hari. Kelompok III (P2) sebagai kelompok perlakuan yang akan diberi paparan asap pembakaran bahan organik selama 2 jam/hari. Kelompom IV (P3) sebagai kelompok perlakuan yang akan diberi paparan asap pembakaran bahan organik selama 3 jam/hari. Kelompok V (P4) sebagai kelompok kontrol yang akan diberi paparan asap pembakaran bahan organik selama 4 jam/hari.
Pemaparan asap pembakaran organik dilakukan dengan cara membakar bahan organik didalam alat pengumpul asap yang didalamnya terdapat tungku untuk tempat membakar. Pemaparan dilakukan pada kandang tikus yang telah ditempatkan pada kotak plastik pengumpul asap yang terhubung dengan tungku pembakaran kedap udara melalui sebuah pipa
(58)
panjang. Paparan asap untuk P1 diberikan selama 1 jam/hari, P2 selama 2 jam/hari, P3 selama 3 jam/hari dan P4 selama 4 jam/hari. Perlakuan tersebut dilakukan selama 7 hari, setelah itu kelompok tikus tersebut diterminasi.
4. Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian
Sebelum dilakukan pembedahan untuk mengambil organ pada tikus, di akhir perlakuan terlebih dahulu tikus akan dianastesi dengan menggunakan ketamine-xylazine dengan dosis 75−100mg/kg+5−10mg/kg secara intraperitoneal dengan selama 10−30 menit. Setelah dianastesi, tikus diterminasi dengan cara melakukan dislokasi servikal (AVMA, 2013).
5. Prosedur Pengambilan Bagian Paru
Dilakukan pembedahan toraks, paru tikus diambil untuk pembuatan sediaan mikroskopis. Setelah itu sample paru difiksasi dengan formalin 10% selama 3 jam. Lalu sampel tersebut dibuat dalam bentuk sedian mikroskopis dengan menggunakan metode parrafin dan pewarnaan Hematoksiklin Eosin (HE).
6. Prosedur Operasional Pembuatan Slide
Metode pembuatan preparat Histopatologi Bagian Patologi Anatomi Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (Mahesya, 2014):
(59)
40
a) Fixation
1. Spesimen berupa potongan organ paru yang telah dipotong secara representatif kemudian segera difiksasi dengan formalin 10% selama 3 jam.
2. Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali.
b) Trimming
1. Organ dikecilkan hingga ukuran ±3 mm.
2. Potongan organ paru tersebut lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette.
c) Dehidrasi
1. Mengeringkan air dengan meletakkan tissue cassette pada kertas tisu.
2. Dehidrasi dengan:
Alkohol 70% selama 0,5 jam Alkohol 96% selama 0,5 jam Alkohol 96% selama 0,5 jam Alkohol 96% selama 0,5 jam Alkohol absolut selama 1 jam Alkohol absolut selama 1 jam Alkohol absolut selama 1 jam Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam.
(60)
d) Clearing
Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xylol I
dan II, masing−masing selama 1 jam.
e) Impregnasi
Impregnasi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama 1 jam dalam oven suhu 650 C.
f) Embedding
1. Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas.
2. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke dalam cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas 580C.
3. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan.
4. Dipindahkan satu persatu dari tissue cassette ke dasar pan dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya.
5. Pan dimasukkan ke dalam air.
6. Paraffin yang berisi potongan paru dilepaskan dari pan dengan
dimasukkan ke dalam suhu 4−60
C beberapa saat.
7. Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan menggunakan skalpel atau pisau hangat.
8. Lalu diletakkan pada balok kayu, diratakan pinggirnya, dan dibuat ujungnya sedikit meruncing.
(61)
42
9. Memblok paraffin, siap dipotong dengan mikrotom.
g) Cutting
1. Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin.
2. Sebelum memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari es.
3. Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan
pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron. Pemotongan
dilakukan menggunakan rotary microtome dengan disposable knife.
4. Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada air, dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yan lain ditarik menggunakan kuas runcing.
5. Lembaran jaringan dipindahkan ke dalam water bath suhu 600C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.
6. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah.
7. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.
(62)
Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik, selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia dibawah ini dengan waktu sebagai berikut.
1. Dilakukan deparafinisasi dalam: 1. Larutan xylol I selama 5 menit. 2. Larutan xylol II selama 5 menit. 3. Ethanol absolut selama 1 jam. 2. Hydrasi dalam:
a. Alkohol 96% selama 2 menit b. Alkohol 70% selama 2 menit, c. Air selama 10 menit.
3. Pulasan inti dibuat dengan menggunakan: a. Harris Hematoksilin selama 15 menit. b. Dibilas dengan air mengalir.
c.Diwarnai dengan eosin selama maksimal 1 menit. 4. Selanjutnya, didehidrasi dengan menggunakan:
a. alkohol 70% selama 2 menit. b. alkohol 96% selama 2 menit. c. alkohol absolut selama 2 menit. 5. Penjernihan dengan:
a. xylol I selama 2 menit. b. xylol II selama 2 menit.
(63)
44
i) Mounting dengan entelan dan tutup dengan deck glass
Setelah pewarnaan selesai, slide ditempatkan di atas kertas tisu pada tempat datar, ditetesi dengan bahan mounting, yaitu entelan, dan ditutup dengan deck glass, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.
j) Slide dibaca dengan mikroskop
Slide diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x. Preparat histopatologi dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi untuk dikonsultasikan dengan ahli patologi anatomi. Pengamatan mikroskopis dilakukan oleh peneliti sendiri. Alur pada penelitian ini disajikan pada gambar 8.
(64)
Gambar 8. Diagram Alur Penelitian Timbang berat badan tikus
Dibagi menjadi lima kekelompok, masing-masing 5 ekor
K (−) P 1 P 2 P 3 P 4
Tikus melalui masa adaptasi selama 7 hari
Tikus diberi perlakuan selama 7 hari
Tidak diberi perlakuan Dipapar asap selama 1 jam/hari Dipapar asap selama 2 jam/hari Dipapar asap selama 3 jam/hari Dipapar asap selama 4 jam/hari
Tikus di anastesi kemudian di euthanasia dengan melakukan cervical dislocation
dilakukan pembedahan toraks untuk mengambil organ paru tikus
Sampel paru difiksasi dengan formalin 10%
Sampel paru dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop
(65)
46
3.6 Identifikasi Variabel Penelitian
Adapun variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Variabel Bebas adalah perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan
organik.
b. Variabel Terikat adalah gambaran kerusakan parenkim paru.
3.7 Definisi Operasional
Definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini berupa perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik menggunakan skala kategorik.
b. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini berupa gambaran kerusakan parenkim paru dengan melihat emfisema, destruksi septum alveolar dan infiltrat radang masing-masing memiliki skala pengukuran yang pada akhirnya disatukan menggunakan skala numerik. Definisi operasional dari penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2.
(66)
Tabel 2. Definisi Operasional
Variabel Definisi operasional Skala
Durasi Paparan Asap Pembakaran Bahan Organik
Perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik
K (−) = tanpa paparan P 1 = 1 jam/hari P 2 = 2 jam/hari P 3 = 3 jam/hari P 4 = 4 jam/hari
Kategorik
Gambaran kerusakan parenkim paru tikus
Gambaran kerusakan parenkim tikus dilihat dengan melakukan pengamatan pada sediaan histopatologi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x pada 5 lapang pandang dimana setiap lapang pandang diamati berupa emfisema, destruksi septum alveolar dan infiltrat sel radang yang terjadi pada alveolus.
Numerik
Gambaran kerusakan parenkim paru dilihat dari adanya emfisema, destruksi septum alveolus dan infiltrat radang dengan skor sebagai berikut: 1) Emfisema
Dengan skor sebagai berikut:
0= tidak terjadi perubahan pada struktur histologis. 1= emfisema pada <1/3 dari 5 lapang pandang.
2= emfisema pada 1/3 hingga 2/3 dari 5 lapang pandang. 3= emfisema pada >2/3 dari 5 lapang pandang.
2) Destruksi septum alveolar Dengan skor sebagai berikut:
0= tidak terjadi perubahan struktur histologis.
(67)
48
2= destruksi septum alveolar pada 1/3 hingga 2/3 dari 5 lapang pandang.
3= destruksi septum alveolar pada >2/3 dari 5 lapang pandang.
3) Infiltrasi sel radang
Dengan skor sebagai berikut:
0= tidak terjadi perubahan struktur histologis
1= infiltrasi sel radang pada <1/3 dari 5 lapang pandang
2= infiltrasi sel radang pada 1/3 hingga 2/3 dari 5 lapang pandang 3= infiltrasi sel radang pada >2/3 dari 5 lapang pandang
4) Kriteria penilaian derajat kerusakan alveolus paru
Penilaian kerusakan alveolus paru dihitung dari total kerusakan yang terjadi pada alveolus yang terdiri dari emfisema, destruksi septum alveolar dan infiltrat radang.
3.8 Analisi Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop diuji analisis statistik menggunakan software analisis statistik. Hasil penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-wilkkarena jumlah sampel ≤50.
Kemudian dilakukan uji Levene’s untuk mengetahui apakah dua atau lebih
kelompok data memiliki varians data yang sama (p>0,05) atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan metode uji
(68)
parametrik, digunakan uji One Way ANOVA. Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis. Hipotesis dianggap bermakna bila nilai p<0,05. Jika pada uji One Way ANOVA menghasilkan nilai p<0,05 maka dilanjutkan dengan melakukan analisi Post Hoc LSD, dan jika pada uji non parametrik Kruskal Wallis menghasilkan nilai p<0,05 maka akan dilanjutkan dengan melakukan analisis Post Hoc Mann-Whitney (Dahlan, 2011)
3.9 Ethical Clearance
Penelitian ini diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan telah mendapatkan persetujuan etik penelitian. Ethical clearance menerapkan beberapa prinsip yaitu Replacement merupakan etika memanfaatkan hewan percobaan yang telah diperhitungkan secara seksama, yang tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Reduction yang merupakan pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Refinement merupakan etika memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi. Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian telah dijelaskan dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anesthesia serta euthanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba (Ridwan, 2013).
(69)
63
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi parenkim paru tikus. Semakin lama durasi paparan asap menyebabkan kerusakan yang semakin berat pada parenkim paru.
5.2 Saran
1. Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai zat aktif yang terkandung dalam asap pembakaran bahan organik yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel atau organ, khususnya paru.
2. Peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap kerusakan organ lain seperti kulit, saraf, otak dan lain-lain.
3. Peneliti lain disarankan untuk melihat kemungkinan terjadinya keganasan pada paru dengan melakukan paparan jangka panjang.
4. Masyarakat yang tinggal di daerah kebakaran hutan disarankan untuk menggunakan alat pelindung diri berupa masker untuk mencegah timbulnya gangguan pada paru.
(70)
DAFTAR PUSTAKA
AVMA. 2013. Guidelines for the Euthanasia of Animals. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.
Ammann H. 2008. Wildfire smoke a guide for public health officials. Tersedia dari: http://www.arb.ca.gov/. Diakses tanggal 14 september 2014.
Anggraeni NIS. 2009. Pengaruh lama paparan asap knalpot dengan kadar CO 1800 ppm terhadap gambaran histopatologi jantung pada tikus wistar [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Anindyajati EA. 2007. Pengaruh asap pelelehan lilin batik (malam) terhadap struktur histologis trakea dan alveoli pulmo, jumlah eritrosit serta kadar hemoglobin mencit (Mus musculus L.) [skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Antonio ACP, Castro PSC, Freire LO. 2013. Smoke inhalation injury during enclosed space fires: an update. J Bras Pneumol. 39(3):373–381.
Arkeman H, David. 2006. Efek vitamin C dan E terhadap sel goblet saluran nafas pada tikus akibat pajanan asap rokok. Universa Medicina. 25(2):61–6.
ATSDR. 2012. Toxicological profile for carbon monoxide. Georgia: Agency for Toxic Substances and Disease Registry
Bonisch U, Bohme A, Kohadja T, Mogel I, Schutze N, Bergen MV et al. 2012. Volatile organic compounds enhance allergic airway inflammation in an experimental mouse model. PLoS ONE. 7(7):1–14.
(71)
65
Brito MVH, Yasojiman EY, Silveiram EL, Yamaki NV, Kleber R, Teixeira C. 2013. New experimental model of exposure to environmental tobacco smoke. Acta Cirúrgica Brasileira. 28(12):815–9.
CDC. 2014. Evidence Review: Wildfire smoke and public health risk. United State: Centre for Disease Control.
Channell MM, Paffett ML, Devlin RB, Madden MC, Campen MJ. 2012. Circulating factors induce coronary endothelial cell activation following exposure to inhaled diesel exhaust and nitrogen dioxide in humans: evidence from a novel translational in vitro model. Toxicological sciences. 127(1):179–86.
Chiew AL, Buckley NA. 2014. Carbon monoxide poisoning in the 21st century. Critical care. 18(2):1–8.
Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan.Edisi ke–5. Jakarta: Salemba Empat.
Depkes. 2011. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Jakarta: Depatemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dogan OT, Elagoz S, Ozsahim SL, Epozturk K, Tuncer E, Akkurt I. 2011. Pulmonary toxicity of chronic exposure to tobacco and biomass smoke in rats. CLINICS. 66(6):1081–7.
Domej W, Paff ZF, Flogel E, Haditsch B. 2006. Chronic obstructive pulmonary disease and oxidative stress. Current Pharmaceutical Biotechnology. 7(0):1–7.
Dries DJ, Endorf FW. 2013. Inhalation injury: epidemiology, pathology, treatment strategies. Scandinavian Journal. 21(31):1–15.
D’hulst AL, Vermaelen KY, Brusselle GG, Joss GF, Pauwels RA. 2005. Time
course of cigarette smoke-induced pulmonary inflammation in mice. Eur Respir J. 26:204–13.
(1)
Brito MVH, Yasojiman EY, Silveiram EL, Yamaki NV, Kleber R, Teixeira C. 2013. New experimental model of exposure to environmental tobacco smoke. Acta Cirúrgica Brasileira. 28(12):815–9.
CDC. 2014. Evidence Review: Wildfire smoke and public health risk. United State: Centre for Disease Control.
Channell MM, Paffett ML, Devlin RB, Madden MC, Campen MJ. 2012. Circulating factors induce coronary endothelial cell activation following exposure to inhaled diesel exhaust and nitrogen dioxide in humans: evidence from a novel translational in vitro model. Toxicological sciences. 127(1):179–86.
Chiew AL, Buckley NA. 2014. Carbon monoxide poisoning in the 21st century. Critical care. 18(2):1–8.
Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi ke–5. Jakarta: Salemba Empat.
Depkes. 2011. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Jakarta: Depatemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dogan OT, Elagoz S, Ozsahim SL, Epozturk K, Tuncer E, Akkurt I. 2011. Pulmonary toxicity of chronic exposure to tobacco and biomass smoke in rats. CLINICS. 66(6):1081–7.
Domej W, Paff ZF, Flogel E, Haditsch B. 2006. Chronic obstructive pulmonary disease and oxidative stress. Current Pharmaceutical Biotechnology. 7(0):1–7.
Dries DJ, Endorf FW. 2013. Inhalation injury: epidemiology, pathology, treatment strategies. Scandinavian Journal. 21(31):1–15.
D’hulst AL, Vermaelen KY, Brusselle GG, Joss GF, Pauwels RA. 2005. Time course of cigarette smoke-induced pulmonary inflammation in mice. Eur Respir J. 26:204–13.
(2)
Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi difiore dengan korelasi fungsional. Jakarta: EGC.
Faisal F, Faisal Y, Fachrial H. 2012. Dampak asap kebakaran hutan pada pernapasan. Cermin Dunia Kedokteran. 39(1):31–4.
Faiz O, Moffat D. 2011. At a glance anatomi. Edisi ke–3. Jakarta: Erlangga.
FAO. 2006. Forests and Climate Change Working Paper 4. Rome: Food and Agriculture Organization.
Gindo AS, Budi HH. 2007. Pengukuran partikel udara ambien (TSP, PM10, PM2,5) di sekitar calon lokasi PLTN Semenanjung Lemahabang. Tersedia pada: http://www.batan.go.id/. Diakses tanggal 14 september 2014.
Guyton C, Hall E. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC.
Harrison ME, Susan E, Limin SH. 2009. The global impact of Indonesian forest fires. Biologist. 56(3):156–63.
Ismail OMS, Hameed RSA. 2013. Environmental effects of volatile organic compounds on ozone layer. Adv. Appl. Sci. Res. 4(1):264–8.
Junquiera L, Carneiro J, Kelley O. 2007. Teks dan atlas histologi dasar. Edisi ke-10. Jakarta: EGC.
Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia l.) Untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi. Edisi ke–7. Jakarta: EGC.
Kurimoto E, Miyahara N, Kanehiro A, Waseda K, Taniguchi A, Ikeda G et al. 2013. IL–17A is essential to the development of elastase–induced pulmonary inflammation and emphysema in mice . Respiratory Research. 14(5):1–10.
(3)
Kodavanti UP, Schladweiler MC, Ledbetter AD, Ortuno RV, Suffia M, Evansky P et al. 2006. The spontaneously hypertensive rat: an experimental model of sulfur dioxide–induced airways disease. Toxicological sciences. 94(1):193– 205.
Larasati SA. 2010. Pengaruh pemberian jus pepaya (carica papaya) terhadap kerusakan histologis alveolus paru mencit yang dipapar asap rokok [skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Lauretta M, Muhartono, Wahyuni A. 2014. The effect of phaleria macrocarpa (scheff.) Boerl. Fruit against 7,12-dimethylbenz[α]anthracene(dmba) -induced on lung histopathology appearance in rat. Medical Journal of Lampung University. 3(3): 114–23.
MacNee W. 2005. Pulmonary and systemic oxidant/antioxidant imbalance in chronic obstructive pulmonary disease. Proc Am Thorac Soc. 2:50–60.
Mahesya AP. 2014. Pengaruh pemberian minyak goreng bekas yang dimurnikan dengan buah mengkudu (morinda citrifolia) terhadap gambaran hepatosit tikus wistar jantan [skripsi]. Bandarlampung: Universitas Lampung.
Miller K, Chang A. 2003. Acute inhalation injury. Emergency Medicine Clinics of North America. 21(1):533–57.
Mohan M, Dutt TS, Ranganath R. 2012. Tobacco smoking related interstitial lung diseases. The Indian Journal of Chest Diseases & Allied Sciences. 54:243– 9.
Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. 2009. Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipokrates.
Naeher LP, Brauer M, Lipsett M, Zelikoff JT, Simpson CD, Koenig JQ et al. 2007. Woodsmoke health effects: a review. Inhalation Toxicology. 19:67– 106.
Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) [skripsi]. Bogor: Institut pertanian Bogor.
(4)
Okpitasari D. 2014. The chronic obstructive pulmonary disease on passive smokers. Journal Agromedicine Unila. 1(2):180–4.
Olivieri D, Scoditti E. 2005. Impact of environmental factors on lung defences. Eur Respir Rev. 14(95):51–6,
Perwitasari D, Bambang S. 2008. Gambaran kebakaran hutan dengan kejadian penyakit ISPA dan pneumonia di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi tahun 2008.Jurnal Ekologi Kesehatan. 11(2):148–58.
Petta AD. 2014. Histopathological characteristics of pulmonary emphysema in experimental model. Einstein. 12(3):382–3.
Pranggono EH. 2011. Basic and advances in the management of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Tersedia pada: http://pustaka.unpad.ac.id/. Diakses tanggal 16 september 2014.
Pope CA, Burnett RT, Thurston GD, Thun MJ, Calle EE, Krewski E et al. 2004. Cardiovascular mortality and long-term exposure to particulate air pollution. Circulation. 6(13):71–9.
Poynter ME. 2012. Airway Epithelial Regulation of Allergic Sensitization in Asthma. Pulm Pharmacol Ther. 25(6):438–46.
Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: konsep kinis proses-proses penyakit. Edisi ke–6. Jakarta: EGC.
Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Quinn DK et al. 2009. Complications of Carbon Monoxide Poisoning: A Case Discussion and Review of the Literature. Journal of Clinical Psychiatry. 11(2):74–9.
Rahmayanti M. 2007. Kontribusi kebakaran lahan gambut terhadap pemanasan global. Jurnal Kaunia. 3(2):102–15.
(5)
Renne RA, Dungworth DL, Keenan CM, Morgan KT, Hahn FF, Schwartz LW. 2003. Non proliferative lesion of the respiratory tract in rats. Tersedia pada: https://www.toxpath.org/. Diakses tanggal 14 september 2014.
Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam Penelitian kesehatan. Journal Indonesia Medical Association. 63(3):112–6.
Sato A, Hirai T, Imura A, Kita N, Iwano A, Muro S, Nabeshima Y et al. 2007. Morphological mechanism of the development of pulmonary emphysema in klotho mice. PNAS. 104(7):2361–5.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke–5. Jakarta: Interna Publishing.
Sloane E. 2003. Anatomy and physiology: an easy learner. Philadelphia: Mcdraw Hill.
Tayanont W, Vadakan NV. 2012. Exposure to volatile organic compounds and health risks among residents in an area affected by a petrochemical complex in rayong, thailand. Southeast Asian J TropMed Public Health. 43(1):201– 11.
Tuder RM, Yoshida T, Arap W, Pasqualini R, Petrache I. 2006. Cellular and molecular mechanisms of alveolar destruction in emphysema. Proc Am Thorac Soc. 3:503–11.
Wellenius GA et al. 2004. Cardiac effects of carbon monoxide and ambient particles in a rat model of myocardial infarction. Toxicological sciences. 80(2):367–76.
WHO. 2004. Carbon monoxide environmental health criteria 213. 2nd ed. Geneva: World Health Organization.
Wibowo MA, Widodo MA, Purnomo BB, Aulanni’am. 2013. Ekstrak daun kesum (Polygonum minus) memperbaiki kerusakan paru melalui ditekannya produksi Reactive Oxygen Species (ROS). Jurnal Kedokteran Hewan. 7(2):160–2.
(6)
Woerman AL, Mendelowitz D. 2013. Perinatal sulfur dioxide exposure alters brainstem parasympathetic control of heart rate. Cardiovascular Research. 99:16–23.