Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tobaccum L.) dengan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.)

(1)

PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT PADA

PERSEMAIAN TANAMAN TEMBAKAU DELI

(Nicotiana tobaccum

L.

)

DENGAN PEMANFAATAN

ZAT EKSTRAKTIF DAUN MINDI

(Melia azedarach

Linn.

)

SKRIPSI

Oleh :

Merry Dwi Afsari 051203020

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

Judul Penelitian : Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tobaccum L.) dengan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.)

Nama : Merry Dwi Afsari NIM : 051203020 Program Studi : Teknologi Hasil Hutan Departemen : Kehutanan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing :

Ketua, Anggota,

Ridwanti Batubara, S.Hut, MP Afifuddin Dalimunthe, SP, MP

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Ketua Departemen Kehutanan


(3)

ABSTRACT

MERRY DWI AFSARI: Plant pest prevention and process raising seedling of deli tobacco (Nicotiana tabaccum L) with mint leaves profitable essence (Melia

azedarach Linn). Under the supervision of RIDWANTI BATUBARA and

AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Indonesia is one of the main tobacco with high quality. Deli tobacco is one of famous in global market. Productivity reduction of deli tobacco couse of plant pest and plant disease whwn process raising seedling. This research have a purpose to find mint leaves chemistry contains and to covered mint leaves essent concerning by S. litura (ulat grayak) and stumble along seedling cause of Phytium sp when process raising seedling. This research use random complete program with two factor, that is solvent factor (acetone, methanol and aquadest) and concentrate of 0%, 1%, 2%, 3% and 4%.

Crop research from this chemistry experiment is mint leaves extract have with in compound by alkaloida, flavonoida, triterpenoida and saponin. Kind of concentration from extractive essence of mint leave’s with interaction between both of essence have significant about S. litura extinction and pressing of

Phytium sp growth. Acetone solvent with 4% effective concentration about S. litura extinction and methanol solvent with 3% effective concentration about Phytium sp pressing growth.


(4)

ABSTRAK

MERRY DWI AFSARI: Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabaccum L.) dengan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.). Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Indonesia merupakan salah satu penghasil tembakau dengan mutu yang terbaik. Salah satu tembakau yang terkenal di pasar global adalah tembakau deli. Rendahnya produktivitas tembakau deli disebabkan oleh serangan hama dan penyakit pada persemaian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia daun mindi dan menguji zat ekstraktif daun mindi terhadap hama S. litura (ulat grayak) dan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Phytium sp pada persemaian tembakau deli. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap 2 faktorial yaitu faktor pelarut (aseton, metanol dan akuades) dan konsentrasi (0%,1%, 2%, 3% dan 4%).

Hasil penelitian uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun mindi mengandung senyawa alkaloida, flavonoida, triterpenoida dan saponin. Jenis pelarut dan konsentrasi zat ekstraktif daun mindi serta interaksi antara keduanya berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura dan penekanan pertumbuhan

Phytium sp. Pelarut aseton dengan konsentrasi 4% efektif terhadap mortalitas

larva S. litura dan pelarut metanol dengan konsentrasi 3% efektif terhadap penekanan pertumbuhan Phytium sp.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 16 Mei 1987 dari ayah H. Suwardjono dan ibu Hj. Sri Arnaini. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.

Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 15 Medan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis melaksanakan Praktik Pengenalan dan Pengelolahan Hutan (P3H) di Hutan Mangrove Desa Mesjid Lama Kabupaten Asahan dan Hutan Pegunungan Lau Kawar Kabupaten Karo pada tanggal 05-14 Juni 2007. penulis juga melaksanakan PKL di HPHTI PT. Sumatera Riang Lestari Estate Sei Kebaro, Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara dari tanggal 2 Februari-02 April 2009.

Penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tobaccum L.) dengan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.) dibawah bimbingan Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP dan Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP. MP


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tobaccum L.) dengan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.)

Pada kesempatan ini penulis menghanturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP dan Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP. MP selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.

Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan pegawai di Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.


(7)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L) ... 4

Hama dan Penyakit Tanaman Tembakau Deli (N. tabacum) ... 6

Biologi Hama S. litura F ... 7

Gejala Serangan S. litura ... 9

Biologi Phytium sp ... 10

Gejala serangan Phytium sp ... 11

Pestisida Alami ... 12

Ekstraktif Daun Mindi (M. azedarach Linn.) ... 13

Fitokimia Tumbuhan ... 15

Triterpenoida ... 15

Saponin ... 15

Flavonoid ... 16

Alkoloida ... 17

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

Bahan dan Alat Penelitian ... 18

Metode Penelitian ... 19

Persiapan Bahan Baku ... 19

Ekstraksi Daun Mindi ... 19

Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Penyemprotan ... 20

Penyemprotan Pada Larva (S. Litura) ... 21

Perhitungan Larva S. litura yang Mati ... 22

Penyediaan Biakan Fungi Phytium sp ... 23

Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA) ... 24

Isolasi Fungi ... 24

Identifikasi Fungi ... 24


(8)

Pengukuran Penekanan Pertumbuhan Fungi ... 25

Perhitungan Penekanan Pertumbuhan Fungi ... 25

Uji Fitokimia ... 26

Analisa Data ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Ekstraksi Daun Mindi ... 31

Uji Fitokimia ... 32

Perkembangan Mortalitas Larva ulat Grayak (S. Litura) Selama 12 Hari ... 36

a. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aseton ... 36

b. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Metanol ... 38

c. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Akuades ... 40

Uji Statistika Mortalitas Larva ... 42

Penekanan Pertumbuhan Phytium sp Selama 5 Hari ... 44

a. Rata-rata Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Aseton ... 44

b. Rata-rata %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Metanol .. 46

c. Rata-rata %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Akuades . 47 Uji statistik Penekanan Pertumbuhan Phytium sp ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(9)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kandungan Zat Ekstraktif Daun Kayu Mindi (M. azedarach) ... 31

2. Hasil Uji Alkoloida ... 33

3. Hasil Uji Flavonoida ... 34

4. Hasil Uji Triterpenoida ... 34

5. Hasil Uji Saponin ... 35

6. Uji Statistik Mortalitas Larva S. litura ... 42

7. Rata-rata Penekanan Pertumbuhan Phytium sp Ekstraktif Daun Mindi ... 44


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Siklus Hidup S. litura ... 9

2. Bentuk Oospora Phytium sp ... 11

3. Daun Mindi ... 14

4. Serbuk Daun Mindi ... 20

5. Proses Evaporasi ... 20

6. Hasil Evaporasi Ekstrak Daun Mindi ... 21

7. Ekstrak Aseton pada Beberapa Konsentrasi ... 22

8. Ekstrak Metanol pada Beberapa Konsentrasi ... 22

9. Ekstrak Akuades pada Beberapa Konsentrasi ... 22

10. Wadah Pengujian S. litura ... 23

11. Biakan Murni Phytium sp... 25

12. Cawan Petri yang Berisi Isolat Murni ... 26

13. Pereaksi-pereaksi dalam Pengujian Fitokimia ... 27

14. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aseton pada Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 36

15. Kondisi Larva S. litura Setelah Perlakuan ... 38

16. Kondisi Larva S.litura Setelah Disemprot dengan Pelarut Aseton ... 38

17. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Metanol pada Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 39

18. Kondisi Larva S.litura Setelah Disemprot dengan Pelarut Metanol ... 40

19. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Metanol pada Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 40

20. Kondisi Larva S. litura setelah Disemprot dengan Pelarut Akuades ... 41

21. Pupa S. litura ... 42

22. Rata-rata %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Aseton pada Pengujian dengan Ekstrak Daun Mindi ... 45

23. Pertumbuhan Phytium sp dengan Pelarut Aseton ... 46

24. Rata-rata %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Metanol pada Pengujian dengan Ekstrak Daun Mindi ... 46


(11)

25.Pertumbuhan Phytium sp pada Kontrol ... 47 26. Pertumbuhan Phytium sp dengan Pelarut Metanol ... 47 27. Rata-rata %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Akuades pada Pengujian dengan Ekstrak Daun Mindi ... 48 28. Pertumbuhan Phytium sp dengan Pelarut Akuades ... 48


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Kadar Air Serbuk Daun Mindi ... 54 2. Rata-rata Jumlah Ulat yang Mati Selama Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi yang Larut pada Pelarut Aseton ... 54 3. Rata-rata Jumlah Ulat yang Mati Selama Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi yang Larut pada Pelarut Metanol ... 54 4. Rata-rata Jumlah Ulat yang Mati Selama Pengujian dengan Ekstraktif

Daun Mindi yang Larut pada Pelarut Akuades ... 54 5. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-2 Setelah Aplikasi

dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 55 6. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-4 Setelah Aplikasi

dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 56 7. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-6 Setelah Aplikasi

dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 57 8. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-8 Setelah Aplikasi

dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 58 9. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-10 Setelah Aplikasi

dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 59 10. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-12 Setelah Aplikasi

dengan Ekstraktif Daun Mindi ... 60 11. Data %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp Setelah Aplikasi dengan

Ekstraktif Daun Mindi ... 61 12. Data Uji Statistik %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp Setelah


(13)

ABSTRACT

MERRY DWI AFSARI: Plant pest prevention and process raising seedling of deli tobacco (Nicotiana tabaccum L) with mint leaves profitable essence (Melia

azedarach Linn). Under the supervision of RIDWANTI BATUBARA and

AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Indonesia is one of the main tobacco with high quality. Deli tobacco is one of famous in global market. Productivity reduction of deli tobacco couse of plant pest and plant disease whwn process raising seedling. This research have a purpose to find mint leaves chemistry contains and to covered mint leaves essent concerning by S. litura (ulat grayak) and stumble along seedling cause of Phytium sp when process raising seedling. This research use random complete program with two factor, that is solvent factor (acetone, methanol and aquadest) and concentrate of 0%, 1%, 2%, 3% and 4%.

Crop research from this chemistry experiment is mint leaves extract have with in compound by alkaloida, flavonoida, triterpenoida and saponin. Kind of concentration from extractive essence of mint leave’s with interaction between both of essence have significant about S. litura extinction and pressing of

Phytium sp growth. Acetone solvent with 4% effective concentration about S. litura extinction and methanol solvent with 3% effective concentration about Phytium sp pressing growth.


(14)

ABSTRAK

MERRY DWI AFSARI: Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabaccum L.) dengan Pemanfaatan Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.). Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan AFIFUDDIN DALIMUNTHE.

Indonesia merupakan salah satu penghasil tembakau dengan mutu yang terbaik. Salah satu tembakau yang terkenal di pasar global adalah tembakau deli. Rendahnya produktivitas tembakau deli disebabkan oleh serangan hama dan penyakit pada persemaian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia daun mindi dan menguji zat ekstraktif daun mindi terhadap hama S. litura (ulat grayak) dan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Phytium sp pada persemaian tembakau deli. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap 2 faktorial yaitu faktor pelarut (aseton, metanol dan akuades) dan konsentrasi (0%,1%, 2%, 3% dan 4%).

Hasil penelitian uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun mindi mengandung senyawa alkaloida, flavonoida, triterpenoida dan saponin. Jenis pelarut dan konsentrasi zat ekstraktif daun mindi serta interaksi antara keduanya berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura dan penekanan pertumbuhan

Phytium sp. Pelarut aseton dengan konsentrasi 4% efektif terhadap mortalitas

larva S. litura dan pelarut metanol dengan konsentrasi 3% efektif terhadap penekanan pertumbuhan Phytium sp.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tembakau merupakan hasil pertanian yang cukup penting di Indonesia dan merupakan bahan eksport yang cukup mempunyai potensi dalam devisa negara dan dalam usaha meningkatkan produksi rakyat. Indonesia merupakan salah satu penghasil tembakau dengan mutu yang terbaik. Salah satu tembakau yang terkenal di pasar global adalah tembakau deli yang merupakan komoditas daerah Sumatera Utara.

Permasalahan yang sangat dirasakan pada beberapa tahun belakangan ini adalah rendahnya produktivitas tanaman tembakau deli meskipun beberapa usaha telah dilakukan, penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan pasar tersebut sangat kompleks antara lain akibat serangan hama dan penyakit. Salah satu hama dan penyakit pada persemaian tembakau deli adalah hama Spodoptera litura (ulat grayak) dan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh fungi Phytium sp (Semangun, 2000).

Hama S. litura (ulat grayak) dan penyakit Phytium sp merupakan salah satu hama yang paling dominan ditemukan di persemaian tembakau. Serangan yang ditimbulkan cukup berat, bagian yang diserang yaitu daunnya sehingga menyebabkan menurunnya produktivitas tembakau yang dihasilkan (Erwin, 2000). Tanpa perhatian yang serius dari berbagai pihak, keberadaan tembakau deli akan menurun sehingga Indonesia akan kehilangan salah satu produk kebanggannya. Hal ini dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida yang ramah lingkungan.


(16)

Timbulnya masalah akibat penggunaan pestisida kimia merangsang penggunaan pestisida non kimia sebagai pestisida yang aman bagi lingkungan dengan memanfaatkan senyawa beracun dari tumbuhan. Pestisida kimia sering digunakan oleh petani untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Selain harganya yang mahal, pestisida kimia juga banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari pengunaan pestisida kimia antara lain yaitu hama menjadi kebal (resisten), peledakan hama baru (resurjensi), penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia dan kecelakaan bagi pengguna (Gapoktan, 2009).

Pengurangan penggunaan pestisida di areal pertanian menuntut tersedianya cara pengendalian lain yang aman dan ramah lingkungan, diantaranya dengan memanfaatkan musuh alami dan pestisida alami. Pestisida alami diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang serta relatif aman bagi lingkungan dan manusia. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida alami yaitu daun mindi. Biji dan daun mindi mengandung senyawa glokosida flavonoid dengan aglikon quersetin yang bersifat sebagai insektisida botanis. Daun dan biji mindi juga telah dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati yang berpotensi sebagai bahan alami pengendali nematoda sista kentang (Hardiansyah, 2006). Penelitian Febrina (2009) melaporkan bahwa ekstrak kulit mindi bersifat racun terhadap ulat grayak.


(17)

Berdasarkan penelitian diatas maka dirasa perlu untuk mengendalikan

hama dan penyakit pada persemaian tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.) dengan memanfaatkan zat ekstraktif daun mindi (Melia azedarach Linn.). Mengingat serangannya pada tanaman khas Sumatera Utara (tembakau deli) sangat merugikan.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kandungan kimia daun mindi (M. azedarach)

2. Untuk menguji zat ekstraktif daun mindi (M. azedarach) terhadap hama

S. litura (ulat grayak) dan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Phytium sp pada persemaian tembakau deli.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah tersedianya informasi tentang pemanfaatan daun mindi sebagai bahan pestisida alami terhadap hama

S. litura (ulat grayak) dan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Phytium sp

pada persemaian tembakau deli.

Hipotesis Penelitian

Jenis pelarut dan konsentrasi zat ekstraktif daun mindi serta interaksi antara keduanya berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura (ulat grayak) dan penekanan pertumbuhan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Phytium sp pada persemaian tembakau deli.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L)

Tembakau deli saat ini masih merupakan primadona tembakau cerutu dimana kegunaannya lebih diutamakan untuk pembungkus cerutu, bahkan daun tembakau deli lebih dikenal sebagai pembalut cerutu nomor satu di dunia, sehingga tetap dibutuhkan oleh pabrik penghasil cerutu kwalitas tinggi. Tembakau deli termasuk tembakau kelas elite serta mempunyai keistimewaan antara lain memiliki ciri, rasa dan aroma khas yang tidak dapat digantikan posisinya dengan tembakau jenis lain (Erwin, 2000).

Menurut Matnawi (1997), tembakau dapat diklasifikasikan sebagai berikut Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Solanales Suku : Solanaceae Marga : Nicotiana

Jenis : Nicotiana tabacum L.

Tanaman tembakau memiliki akar tunggang, jika tanaman tumbuh bebas pada tanah yang subur dan bukan berasal dari bibit cabutan. Jenis akar tunggang pada tanaman tembakau yang tumbuh subur, terkadang dapat tumbuh sepanjang 0,75 m, selain akar tunggang, terdapat pula akar-akar serabut dan bulu-bulu akar. Pertumbuhan perakaran ada yang lurus, berlekuk, baik pada akar tunggang maupun pada akar yang serabut (Matnawi, 1997).


(19)

Bunga tembakau termasuk bunga majemuk yang berbentuk seperti terompet. Benang sari sejumlah lima buah, warna bunga dalam satu malai ada yang kemerah-merahan dan putih. Bakal buah terdapat pada bagian dasar bunga. Biji-bijinya sangat kecil, sehingga untuk kebutuhan pembibitan tidak kesulitan (Matnawi, 1997).

Buah tembakau berbentuk bulat lonjong dan berukuran kecil, di dalamnya banyak berisi biji yang bobotnya sangat ringan. Biji tembakau yang belum melewati masa dorman tidak dapat berkecambah apabila disemaikan. Untuk dapat memperoleh kecambah yang baik sekitar 95% biji yang dipetik harus sudah masak dan telah disimpan baik dengan suhu yang kering (Cahyono, 1998).

Daun tembakau sangat bervariasi ada yang berbentuk ovalis, oblongus, orbicularis dan ovatus. Daun-daun tersebut mempunyai tangkai yang menempel langsung pada bagian batang. Jumlah daun yang dapat dimanfaatkan dalam setiap batangnya dapat mencapai 32 helai daun. Ukuran (besar kecilnya) daun tebal tipisnya juga berbeda-beda, tergantung jenis daun, varietas yang ditanam, kesuburan tanah dan pengelolaan (Matnawi, 1997).

Daun N. tabacum mengandung alkaloida, saponin, flavonoida dan politenol (Departemen Kesehatan, 2006). Tembakau mengandung zat alkaloid nikotin, sejenis neurotoxin yang sangat ampuh jika digunakan pada serangga. Zat ini sering digunakan sebagai bahan utama insektisida.

Batang pada pertumbuhan tanaman yang normal, dapat tumbuh tegak dengan bantuan ajir (lanjaran). Tembakau bawah naungan dapat mencapai ketinggian 4 m karena tanaman mempunyai sifat eteolasi. Batang ada yang bercabang, meskipun kebanyakan tidak bercabang. Biasanya tanaman tembakau


(20)

akan bercabang apabila bagian titik tumbuhnya terputus, sehingga merangsang pertumbuhan tunas-tunas baru (Cahyono, 1998).

Hama dan Penyakit Tanaman Tembakau Deli(N. tabacum)

Permasalahan yang sangat dirasakan pada beberapa tahun belakangan ini adalah rendahnya produktifitas tanaman Tembakau deli meskipun berbagai usaha telah dilakukan. Penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan pasar tersebut sangat komplek antara lain akibat serangan hama dan penyakit (PTPN II, 2007).

Hama yang paling dominan menyerang tanaman tembakau adalah:

1. Larva grayak (S. litura), gejala serangan: Berupa lubang-lubang tidak beraturan dan berwarna putih bekas gigitan

2. Larva tanah (Agrotis ipsylon), gejala serangan: Daun terserang berlubang-lubang terutama daun muda sehingga tangkai daun rebah

3. Larva penggerek pucuk (Heliothis sp), gejala serangan: Daun pucuk tanaman terserang berlubang-lubang dan habis

4. Nematoda (Meloydogyne sp), gejala serangan: Bagian akar tanaman tampak bisul-bisul blarva, tanaman kerdil, layu, daun berguguran dan akhirnya mati

5. Kutu-kutuan (Aphis sp., Thrips sp., Bemisia sp) pembawa penyakit yang disebabkan virus. Pengendaliannya dengan predator Coccinellidae

6. Hama lainnya gangsir (Gryllus mitratus), jangkrik (Brachytrypes

portentosus), orong-orong (Gryllotalpa africana), semut geni (Solenopsis geminata) dan belalang banci (Engytarus tenuis) (Prabowo, 2007).


(21)

Penyakit yang sering menyerang tanaman tembakau pada umumnya disebabkan oleh:

1. Cendawan, misalnya penyakit rebah semai (phytium sp), penyakit lanas (phytopthora nicotinae), penyakit patik (Cercospora nicotinae), penyakit karat daun (Altenaria longipes), penyakit embun tepung (Oidium tabaci) 2. Virus, misalnya penyakit mozaik (Marmor tabacci), penyakit kerupuk

(Ruga tabacci)

3. Bakteri, misalnya Penyakit layu (Bakterium solanacearum), penyakit busuk tangkai (Bacillus aroidae) (Matnawi, 1997).

Hama dan penyakit tersebut di atas dapat menyerang tanaman tembakau mulai dari persemaian hingga saat petik daun. Salah satu hama dan penyakit pada persemaian tembakau deli adalah hama S. litura (ulat grayak) dan penyakit rebah semai yang disebabkan oleh Phytium sp. Apabila tidak ditangani secara baik dan benar maka serangan itu akan menurunkan kualitas hasil daun tembakau. (Matnawi, 1997).

Biologi Hama S. litura

Menurut Erwin (2000) hama ini diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum : Atrhropoda

Kelas : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Noctudae Genus : Spodoptera


(22)

Imago dewasa adalah nocturnal. Pada siang hari tinggal di tempat-tempat yang terlindung dan umumnya diam ditempat gelap. Imago hidup sekitar 5-9 hari dan populasi terjadi segera setelah menjadi imago. Imago betina mulai meletakkan telur 2-3 hari setelah menjadi imago. Panjang tubuh imago betina kurang lebih 17 mm, sedangkan imago jantannya kira-kira 14 mm. Warna imago abu-abu dengan tanda bintik-bintik pada bagian sayapnya (Natawigena, 1990).

Telur S. litura berwarna putih merata dan berbentuk bulat dengan diameter 0,5 mm. Telur berkelompok dan seperti diselimuti kain woll. Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 2000 butir. Telur diletakkan secara berkelompok sebanyak 30-400 butir/ kelompok pada permukaan bawah daun. Telur berbentuk bulat dan berwarna merah kecoklatan. Stadium telur berlangsung 10-14 hari (Sumadi, 1997).

Larva yang baru keluar dari telur berwarna kehijau-hijauan dengan sisi samping berwarna coklat hitam. Kepala larva yang baru keluar dari telur berwarna kemerahan, tubuhnya putih transparan, tetapi ruas abdomen pertama dan kedelapan berwarna kehitaman. Larva yang keluar dari telur akan memakan epidermis daun bagian bawah sehingga daun kering (Sudarmo, 1987).

Pada siang hari larva bersembunyi dekat permukaan atau didalam tanah dan ditempat-tempat yang lembab, lalu kering pada malam hari. Stadium larva berlangsung sekitar 6-13 hari. Larva yang lebih tua berwarna keabu-abuan, pada tiap ruas abdomennya terdapat bentuk seperti bulan sabit. Pada abdomen ruas pertama bentuk tersebut besar dan kadang-kadang bersatu. Panjang larva instar terakhir dapat mencapai 50 mm (Sumadi, 1997).


(23)

Imago 5-9 hari

Telur 10-14 hari Pupa

10-14 hari

Larva (5-6 instar)

6-13 hari

Pupa berwarna coklat kemerahan berukuran 1,8-2 cm. Pupa terbentuk di dalam tanah atau pasir dengan lama stadium 10-14 hari. Larva dewasa menjelang pupa berada di dalam tanah atau lapisan bahan organik tanah dan menuju lubang kemudian berubah menjadi pupa. Pada abdomen pupa jantan, segmen terakhir dijumpai dua titik yang agak berjauhan. Titik yang ada disebelah atas adalah calon alat kelamin jantan sedangkan titik dibawahnya calon anus. Pupa betina mempunyai dua titik yang saling berdekatan (Sudarmo, 1987).

Gambar 1. Siklus Hidup S. Litura

Gejala Serangan S. litura

Gejala serangan S. litura adalah timbulnya lubang-lubang tidak beraturan dan transparan pada bekas luka gigitan. Ulat yang baru keluar dari telur hidup bergerombol di permukaan bawah daun dan menggerogoti epidermis daun setelah beberapa hari mereka berpencar. Kemampuan merusak hama ini tergantung pada pertumbuhan instarnya. Pada larva instar ke-2 dan ke-3 hanya memakan helai daun dan meninggalkan batang daun. Namun pada instar ke-4 dan ke-5 larva dapat memakan seluruh daun sampai ketulang-tulang daunnya (Sakti, 1994).


(24)

Sesaat setelah telur menetas ulat hidup bergerombol disekitar kelompok telur sampai pada instar ketiga dan fase ini ulat memakan daun dengan gejala transparan. Pada instar keempat ulat mulai menyebar kebagian tanaman atau tanaman disekitarnya. Biasanya serangan ini muncul 20-30 hari setelah tanam (Subandrijo, 1992).

Biologi Phytium sp

Menurut Erwin (2000) jamur ini diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio : Mastigomycota

Kelas : Oomycetes Ordo : Peronosporales Famili : Phythiaceae Genus : Phytium Species : Phytium sp

Penyakit rebah semai pada tembakau disebabkan oleh jamur phytium sp umumnya hanya dijumpai di pembibitan dan jarang dijumpai di pertanaman. Bila menyerang dipertanaman biasanya terjadi pada tanaman muda yang baru ditanam dan menyebabkan penyakit busuk pada pangkal batang. Jamur Phytium adalah organisme yang kecil, bersifat filamen yang kurangan klorofil. Oleh karena itu organisme ini mendapatkan makanannya dari tanaman ataupun binatang yang mengandung bahan organik, apakah sebagai saprophyl ataupun sebagai parasit ataupun patogen (Erwin, 2000).

Jamur Phytium sp mempunyai miselium yang kasar, lebarnya kadang-kadang sampai 7 µm. Selain membentuk sporangium yang biasa, (berbentuk bulat atau lonjong), jamur juga membentuk sporangium yang bentuknya tidak teratur


(25)

seperti batang atau bercabang-cabang, yang dipisahkan dari ujung hifa. Bagian ini sering disebut presporangium dan ukurannya dapat mencapai 800 x 20 µm, sedangkan oospora memiliki dinding yang agak tebal dan halus, diameter 17-19 µm (Gambar 2).

Gambar 2. Bentuk Oospora Phytium sp

Sporangia panjangnya bervariasi dari 50-1000 µm dan umumnya memiliki cabang multi. Sporangia hanya berkecambah dengan produksi vexicle yang membebaskan zoospora. Oorgonia adalah berbentuk spherical dan terminal dengan diameter 22-27 µm (Semangun, 2000).

Gejala serangan Phytium sp

Penyakit rebah semai terlihat di pembibitan pada tahap pertumbuhannya. Bibit yang terserang pangkal batangnya membusuk sehingga layu dan terkulai. Infeksi terjadi pada akar atau pangkal batang, kadang-kadang perakaran yang muda juga terserang sehingga membusuk, bila menyerang daun maka daun menjadi busuk basah. Akar tanaman yang terinfeksi berwarna coklat muda dan berair (Erwin 2000).


(26)

Gejala khas yang disebabkan penyakit rebah kecambah dapat terlihat pada pagi hari, dimana disekitar tanaman sakit tampak terdapat benamg-benang seperti rumah labah-labah dengan tetes-tetes embun yang tergantung. Sering menyerang tanaman yang masih muda dan dekat tanah yang menyebabkan hawar daun atau bercak daun yang lebar (Semangun, 1996).

Tanaman yang sakit busuk batang ini biasanya tidak menunjukkan gejala kelayuan yang jelas. Kulit batang sama sekali tidak rusak dan empelur batang berlubang, kalau batang belum berkayu tanaman akan rebah, karena batang yang terserang mudah sekali patah dan akhirnya tanaman busuk basah dan menjadi berwarna gelap atau hitam. Akar tanaman yang terinfeksi akan berwarna coklat muda dan akan terlihat berair. Pengamatan mikroskopis dari jaringan korteks umumnya menunjukkan adanya jamur oospora dan beberapa tanaman akan mengalami penggulungan (Erwin 2000).

Pestisida Alami

Pestisida alami merupakan pestisida yang berasal dari tanaman. Lebih dari 2400 jenis tanaman yang masuk dalam 235 famili telah dilaporkan mengandung bahan pestisida. Khususnya tanaman yang memiliki kandungan kimia seperti zat ekstraktif. Sifat racun zat ekstraktif ini memiliki potensi sebagai pestisida alami. Ekstraktif dapat dibagi menjadi fraksi lipofilik, dan fraksi hidrofilik, walaupun batasnya kurang jelas. yang termasuk fraksi lipofilik ialah lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alfatik tinggi. Cara pemisahannya ialah diekstrak dengan pelarut non polar seperti etil eter, atau diklorometana. Fraksi hidrofilik meliputi senyawa fenolik (tannin, lignan, stilbena) karbohidrat terlarut, protein, vitamin dan garam anorganik (Achmadi, 1990).


(27)

Pestisida alami memiliki beberapa fungsi, antara lain: repelan yaitu menolak kehadiran serangga, misalnya dengan bau yang menyengat. Antifeedan yaitu mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot, merusak perkembangan telur, larva dan pupa, menghambat reproduksi serangga betina, racun syaraf, mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga. Atraktan yaitu pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga serta mengendalikan pertumbuhan jamur/ bakteri (Gapoktan, 2009).

Pestisida alami diartikan sebagai pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan karena terbuat dari bahan-bahan alami maka jenis pestisida ini mudah terurai di alam sehingga residunya mudah hilang sehingga relatif aman bagi manusia. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida alami atau botani antara lain mindi, tembakau, mimba, srikaya, mahoni, sirsak, tuba dan juga berbagai jenis gulma seperti babadotan (Samsudin, 2008).

Ekstraktif Daun Mindi (M. azedarach Linn.)

Mindi termasuk tanaman tahunan tergolong kedalam famili Meliaceae, berwarna hitam, baunya tidak sedap serta rasanya pahit sekali. Biji dan daun mindi mengandung senyawa glokosida flavonoid dengan aglikon quersetin yang bersifat sebagai insektisida botanis. Pada umumnya bahan aktif yang terkandung pada tumbuhan mindi berfungsi sebagai antifeedan terhadap serangga dan menghambat perkembangan serangga. Daun dan biji mindi telah dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Ekstrak daun mindi dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk belalang. Cara pemanfaatan tanaman ini sebagai pestisida nabati dapat dilakukan sebagai berikut yaitu daun mindi dikupas, ditumbuk lalu direndam dalam air dengan konsentrasi 25-50 g/I


(28)

selama 24 jam. Larutan yang dihasilkan disaring agar didapat larutan yang siap diaplikasikan dengan cara disemprotkan (Wijayanti, 2006)

Daunnya majemuk, menyirip ganda, tumbuh berseling dengan panjang 20-80 cm. Anak daun bentuknya bulat telur sampai lanset, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal membulat atau tumpul, permukaan atas daun berwarna hijau tua, bagian bawah hijau muda, panjang 3-7 cm, lebar 1,5-3 cm. Bunga majemuk dalam malai yang panjangnya 10-20 cm, keluar dari ketiak daun. Daun mahkota berjumlah 5, panjangnya sekitar 1 cm, warnanya ungu pucat, dan berbau harum. Buahnya buah batu, bulat, diameter sekitar 1,5 cm. Jika masak warnanya cokelat kekuningan, dan berbiji satu. Perbanyakan dengan biji. Biji sangat beracun dan biasa digunakan untuk meracuni ikan atau serangga (Kartasapoetra, 1987).

Gambar 3. Daun Mindi

Tanaman mindi merupakan tanaman serbaguna karena dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Seluruh bagian tanaman mulai dari akar, batang yang berkayu, kulit batang, daun, buah dan bijinya dapat dimanfaatkan. Kayu mindi dapat digunakan dalam bentuk kayu utuh misalnya sebagi komponen rumah, komponen mebel dan barang kerajinan. Kayu mindi dapat juga digunakan dalam bentuk panel misalnya sebagai kayu lapis indah dan vinir lamina indah. Daun dan biji mindi digunakan sebagi pestisida alami dan kulitnya digunakan sebagai obat (Martawijaya dkk, 1989).


(29)

Fitokimia Tumbuhan Triterpenoida

Triterpenoid diturunkan dari isoprenoid asiklik skualen (C30H50), komponen utuh dari minyak ikan, minyak vegetable, jamur. Pentasiklik triterpenoid : komponen tumbuhan tingkat tinggi bertipe oleanan, ursan dan lupan serta komponen bakteri berupa tipe hopan. Berbagai triterpenoid organisme merupakan prekursor langsung hidrokarbon dalam fosil sedimen dan minyak bumi. Pentasiklik triterpenoid dengan cincin-E bersisi enam, hanya terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi dan yang bersisi lima hanya terdapat pada bakteri (disebut bakteriohopanoid) (Harborne, 1987).

Saponin

Saponin merupakaan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul tinggi yang dihasilkan terutama oleh tanaman, hewan laut tingkat rendah dan beberapa bakteri. Istilah saponin diturunkan dari bahasa Latin ‘SAPO’ yang berarti sabun, diambil dari kata saponaria vaccaria, suatu tanaman yang mengandung saponin digunakan sebagai sabun untuk mencuci. Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik (sapogenin) berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Aglikon dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C tak jenuh. Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3 (monodesmosidic), tetapi beberapa saponin mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28 (bidesmosidic). struktur saponin yang sangat kompleks terjadi akibat bervariasinya struktur aglikon, sifat dasar rantai dan posisi penempelan gugus gula pada aglikon. (Suparjo, 2005)


(30)

Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman, baik tanaman liar maupun tanaman budidaya. Pada tanaman budidaya, saponin triterpenoid merupakan jenis yang utama, sedangkan saponin steroid umum terdapat pada tanaman yang digunakan sebagai tanaman obat. Saponin triterpenoid selain ditemukan pada beberapa kacang-kacangan seperti kedelai, buncis, kacang polong, lucerne, juga pada teh, bayam, gula bit, bunga matahari dan ginseng. Saponin steroid ditemukan pada biji tomat, asparagus, umbi rambat dan ginseng. Beberapa faktor seperti umur fisiologis, kondisi agronomi dan lingkungan dapat mempengaruhi kandungan saponin dalam tanaman. Tanaman muda dalam suatu spesies mempunyai kandungan saponin lebih tinggi dibanding dengan tananam dewasa (Suparjo, 2005).

Flavonoid

Senyawa flavonoida adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan dialam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru serta sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana 2 cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6 (Lenny, 2006)

Flavonoid menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula, dan semua mempunyai sejumlah sifat yang sama. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavanoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau


(31)

ammonia, jadi senyawa tersebut mudah terdeteksi pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne, 1987).

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak, flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang manapun mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan pada beberapa bentuk kombinasi glikosida. Karena alasan itu maka dalam menganalisis flavonoid biasanya lebih baik bila kita memeriksa aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis (Harborne, 1987).

Alkoloida

Senyawa alkaloida merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Secara organoleptik, daun-daunan yang berasa sepat dan pahit, biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Selain daun-daunan, senyawa alkaloid dapat ditemukan pada akar, biji, ranting, dan kulit kayu. Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Lenny, 2006).

Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Dari segi biogenetik, alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol (Lenny, 2006)


(32)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Polimer FMIPA USU, di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, di laboratorium Bioteknologi Departemen Kehutanan, di Areal Perkebunan Tembakau PTPN II, dan untuk melakukan uji Fitokimia dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Alam Universitas Sumatera Utara. Waktu pelaksanaan dilaksanakan pada bulan Mei 2009 sampai bulan Agustus 2009.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk daun mindi (M. azedarach), ulat grayak (S. litura), daun tanaman tembakau deli (N. tobacco),

Phytium sp, pelarut aseton, metanol, akuades, kain kasa, kertas saring, kentang,

agar-agar, dekstrosa, kertas transparansi, kantungan plastik, pena transparansi, kapas steril, aluminium foil, tissue steril, chlorox 1%.

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah blender untuk menghaluskan serbuk, saringan dengan ukuran 40 mesh, batang pengaduk untuk mengaduk larutan, labu erlenmeyer, alat suntik (injeksi), tabung reaksi, mangkok jaring-jaring, autoclave, cawan petri, rotary evaporator, timbangan, oven, camera, mikroskop, sprayer.


(33)

Metode Penelitian Persiapan Bahan Baku

Diambil daun mindi yang segar kemudian bahan dikeringkan hingga mencapai kadar air 15%, kemudian bahan dihaluskan atau ditumbuk dengan menggunakan tumbukan atau blender, kemudian bahan disaring dengan ukuran 40-60 mesh dan dimasukkan masing-masing bahan kedalam kantungan plastik yang berukuran besar.

Gambar 4. Serbuk Daun Mindi

Ekstraksi Daun Mindi

Gambar 5. Proses Evaporasi

Serbuk daun mindi yang telah kering diambil sebanyak 500 gram, masing-masing diekstrak dengan pelarut aseton, metanol dan akuades dengan metode perendaman pada suhu ruangan selama 2 hari dengan perbandingan tinggi serbuk


(34)

dan pelarut 1:3 dalam stoples, campuran ini diaduk dengan selang waktu 2 jam dengan menggunakan spatula, hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring, hasil saringan tersebut di masukkan ke dalam botol residunya direndam kembali selama 2 hari. Kegiatan perendaman dan penyaringan ini diulang sebanyak 3 kali. Hasil masing-masing ekstraksi tersebut kemudian dievaporasi sampai volumenya 100 mililiter. Dari ekstraksi diambil 10 mililiter, kemudian dievaporasi sampai kering setelah itu baru dioven untuk mengetahui kadar ekstraknya.

Kadar Ekastrak = X100% Eksraksi

Sebelum Serbuk

Kering Bobot

Ekstrak Kering

obot B

Gambar 6. Hasil Evaporasi Ekstrak Daun Mindi

Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Penyemprotan

Tahap selanjutnya setelah melakukan ekstraksi bertahap dan diperoleh padatan ekstraktif yang dilakukan dengan pengeringan oven pada suhu 35oC adalah pembuatan konsentrasi larutan zat ekstraktif dengan menggunakan pelarut aseton, metanol dan akuades. Masing-masing hasil ekstraksi (aseton, metanol, dan akuades) dibuat 5 taraf konsentrasi larutan bahan penyemprotan ekstraktif, yaitu : 0, 1, 2, 3, 4%. Penentuan konsentarsi larutan berdasarkan volume semprot.


(35)

Gambar 7. Ekstrak Aseton pada Beberapa Konsentrasi

Gambar 8. Ekstrak Metanol pada Beberapa Konsentrasi

Gambar 9. Ekstrak Akuades pada Beberapa Konsentrasi

Penyemprotan Pada Larva (S. litura)

Pada tahap penyemprotan ini sebelum dilakukan aplikasi penyemprotan pada larva (S. litura), disiapkan larva ulat grayak terlebih dahulu sebanyak 15 ekor. Untuk setiap botol pengujian diletakkan ± 5 helai daun muda tembakau dan ditambah 1 pucuk tembakau. Daun kemudian disemprot dengan ekstrak mindi


(36)

sesuai dengan konsentrasi perlakuan. Larva ulat grayak dimasukkan ke dalam wadah pengujian sebanyak 15 ekor per wadah dan disemprot lagi dengan ekstrak mindi. Sebelumnya bagian dasar wadah telah diberi tanah setinggi ± 1 cm. Untuk menjaga kesegaran daun maka pada pangkal daun ditutup dengan kapas basah.

Gambar 10. Wadah Pengujian S. litura

Perhitungan Larva S. litura yang Mati

Perhitungan larva ulat grayak yang mati dilakukan setiap dua hari setelah dilakukan penyemprotan, dan diamati selama 12 hari. Perhitungan nilai mortaslitas dilakukan setiap dua hari setelah penyemprotan dengan menggunakan rumus Schneider- Orelli yaitu :

Ki = 15

Mi

X 100 % (Hennarti, 1996)

Keterangan:

Ki = Persen kematian ulat grayak pada contoh uji Mi = Jumlah mortalitas ulat grayak pada contoh uji.

Penyediaan Biakan Fungi Phytium sp a. Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)

Kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong dengan ukuran 3


(37)

empuk. Hal ini dapat diketahui dengan menusuk kentang dengan garpu jika ditusuk terasa mudah berarti kentang telah mengeluarkan sarinya. Kemudian 15 gram agar-agar dimasak dengan menggunakan air steril sebanyak 500 ml sampai agar-agar larut, selanjutnya dekstrosa (dapat diganti dengan gula pasir) sebanyak 15 gram dimasukkan ke dalamnya. Air ekstrak kentang selanjutnya dituangkan ke dalam larutan agar-agar. Larutan ini kemudian disaring dengan kain katun yang tipis. Larutan ditambahkan air steril sampai volumenya menjadi 1000 ml.

Setelah dididihkan, larutan PDA dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian ditutup dengan kapas steril dan ditutup lagi dengan menggunakan alumunium foil. Kemudian disterilkan di dalam autoclave selama lebih kurang 15 menit dengan suhu 121-124 oC pada tekanan 1,25 atm. Setelah itu, PDA dikeluarkan dan dibiarkan hingga dingin (10-20 oC), kemudian dituangkan ke dalam cawan petri.

b. Isolasi Fungi

Bagian batang atau daun tembakau yang terinfeksi Phytium sp diambil dari persemaian tembakau deli PTPN II, kemudian dibersihkan dengan menggunakan air steril, dipotong persegi 0,5 x 0,5 x 0,2 cm3 lalu disterilkan dengan chlorox 1 % selama 15 – 30 detik lalu potongan tersebut diambil dengan menggunakan pinset dan dicuci dengan air dan dikeringkan di atas kertas tissue steril. Selanjutnya bagian tersebut ditanam dalam media PDA, dimana tiap cawan petri ditanam secara tiga ulangan dan dibiarkan sampai miselium fungi tumbuh pada media biakan tersebut. Lalu diisolasi kembali sampai didapat biakan murni dari tiap warna biakan. Hal ini dilakukan berkali-kali sampai diperoleh biakan yang benar-benar murni.


(38)

Gambar 11. Biakan Murni Phytium sp

c. Identifikasi Fungi

Biakan murni fungi yang tumbuh pada media biakan diisolasi dan diletakkan di atas gelas benda yang telah steril lalu ditutup dengan gelas penutup kemudian diamati di bawah mikroskop untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan hama dan penyakit tembakau deli.

Perlakuan Fungi Phytium spdengan Ekstraktif Daun Mindi

Media PDA yang berada di dalam cawan petri diinokulasi dengan cendawan yang telah tumbuh aktif, dengan cara meletakan satu isolat seukuran 12 mm2. Sebelumnya pada media tersebut diteteskan 1 tetes ekstraktif daun mindi (0,5 ml) sesuai konsentrasinya dan digoyang-goyang supaya merata pada seluruh media cawan petri tersebut. Sedangkan kontrol ditetesi pelarut (aseton, metanol, akuades) untuk mengetahui pengaruh murni dari fungisida terhadap pertumbuhan fungi. Masing-masing perlakuan terdiri dari 3 cawan petri sebagai ulangan.


(39)

Gambar 12. Cawan Petri yang Berisi Biakan Murni Phytium sp

Pengukuran Penekanan Pertumbuhan Fungi

Pengamatan pertumbuhan fungi dilakukan setiap hari dengan mengukur luasan pertumbuhan miselium fungi. Pengukuran dilakukan sampai dengan hari ke-5.

Perhitungan Penekanan Pertumbuhan Fungi

Perhitungan penekanan pertumbuhan fungi didasarkan pada rumus :

Penekanan Pertumbuhan = X100 %

MK MP MK

MK = Luas pertumbuhan miselium fungi dari perlakuan kontrol (mm2) MP = Luas pertumbuhan miselium fungi dari perlakuan fungisida (mm2)

Tingkatan penekanan pertumbuhan fungi untuk mengetahui yang paling berpengaruh terhdap pertumbuhan fungi ditentukan sebagai berikut :

a. Sehat, bila pertumbuhan fungi tidak tertekan sama sekali b. Tertekan ringan, bila penekanan pertumbuhan fungi 0-25% c. Tertekan sedang, bila penekanan pertumbuhan fungi 25-50% d. Tertekan berat, bila penekanan pertumbuhan fungi 50-75% e. Tertekan sangat berat, bila penekanan pertumbuhan fungi 75-99% f. Mati, bila tidak ada tanda-tanda pertumbuhan fungi.


(40)

Uji Fitokimia

Gambar 13. Pereaksi-pereaksi dalam Pengujian Fitokimia Adapun prosedur pengujian fitokimia yang dilakukan adalah : a. Pengujian Triterpenoida

Sebelum melakukan uji triterpenoida terlebih dahulu disiapkan larutan pereaksi Salkowsky, CeSO4 1%, Liebermann-Burchard. Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat, setelah selesai melakukan pelarutan maka kita melakukan pengujian triterpenoida yaitu :

Sebanyak 1 gr serbuk dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, kemudian disaring, lalu filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan 2 tetes peraksi Salkowsky, CeSO4 1%, Liebermann-Burchard. Apabila terbentuk warna merah kecoklatan, orange dan biru kehijauan adanya triterpenoida.

Jika langsung terjadi perubahan warna setelah dilakukan 3 tetes pereaksi maka menghasilkan banyak (+++) senyawa triterpenoida, dan apabila belum terjadi perubahan warna dapat ditambah 3 tetes pereaksi kembali baru terjadi perubahan warna maka menghasilkan sedang (++) senyawa triterpenoida, serta apabila belum juga terjadi perubahan warna setelah ditetes kembali sebanyak 3 tetes pereaksi maka menghasilkan sedikit (+) senyawa triterpenoida.


(41)

b. Pengujian Saponin

Sebanyak 0,5 gr serbuk dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian tambahkan air panas 10 ml kemudian didinginkan. Kocok kuat-kuat selama 10 detik bila terdapat senyawa saponin akan terbentuk buih stabil kurang lebih 10 menit, dengan ketinggian buih 1-10 cm dan buih tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2N. Jika ketinggian buih mencapai 1-10 cm maka menghasilkan senyawa saponin yang banyak (+++), pada ketinggian buih 1-7 menghasilkan senyawa saponin sedang (++), dan ketinggian buih 1-4 menghasilkan senyawa saponin sedikit (+).

c. Pengujian Flavonoida

Sebanyak 0,5 gr serbuk disaring dengan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, kemudian disaring, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambahkan 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40oC. sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, kemudian disaring. Filtrat digunakan untuk uji flavonoida dengan cara :

1. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 95% lalu ditambahkan 0,5 gr serbuk seng dan 2 ml asam klorida 2N. Didiamkan selama 1 menit, kemudian ditambahkan 10 tetes asam klorida pekat, jika dalam 2-5 menit terjadi perubahan warna merah intensif menunjukan adanya flavonoida.

2. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan sampai kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 95% lalu ditambah 0,1 gr magnesium dan 10


(42)

tetes asam kolorida pekat. Jika terjadi perubahan warna jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida.

Jika langsung terjadi perubahan warna setelah dilakukan 3 tetes pereaksi maka menghasilkan banyak (+++) senyawa flavonoida, dan apabila belum terjadi perubahan warna dapat ditambah 3 tetes pereaksi kembali baru terjadi perubahan warna maka menghasilkan sedang (++) senyawa flavonoida, serta apabila belum juga terjadi perubahan warna setelah ditetes kembali sebanyak 3 tetes pereaksi maka menghasilkan sedikit (+) senyawa flavonoida.

d. Pengujian Alkaloida

Serbuk ditimbang sebanyak 0,5 gr, kemudian ditambah 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut :

1. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih / kuning.

2. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendoff, akan terbentuk warna merah / jingga.

3. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat dan Wagner akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam. Jika langsung terjadi perubahan warna setelah dilakukan 3 tetes pereaksi maka menghasilkan banyak (+++) senyawa alkaloida, dan apabila belum terjadi perubahan warna dapat ditambah 3 tetes pereaksi kembali baru terjadi perubahan warna maka menghasilkan sedang (++) senyawa alkaloida, serta apabila belum juga terjadi perubahan warna setelah ditetes kembali sebanyak 3 tetes pereaksi maka menghasilkan sedikit (+) senyawa alkaloida.


(43)

Analisa Data

Analisa data dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelarut ekstraktif daun mindi dengan perbedaan perlakuan pelarut dan konsentrasi dengan menggunakan statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan menggunakan 2 faktor yaitu :

Faktor 1 : jenis pelarut (P) yang digunakan terdiri dari : P1 = aseton

P2 = metanol P3 = akuades

Faktor 2 : Konsentrasi (K) bahan pelarut yang dibuat menjadi 5 taraf terdiri dari :

K1 = 0% K4 = 3%

K2 = 1% K5 = 4%

K3 = 2%

Dengan ulangan sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 45 satuan percobaan. Kombinasi perlakuan yang dibuat adalah sebagai berikut :

P1K1 P1K2 P1K3 P1K4 P1K5 P2K1 P2K2 P2K3 P2K4 P2K5 P3K1 P3K2 P3K3 P3K4 P3K5

Model analisa yang digunakan dalam percobaan ini adalah :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + Σijk

Yijk = nilai pengamatan bahan pelarut ke-i, dengan konsentrasi ke-j, dan pada ulangan ke-k

μ = rata-rata umum

αi = pengaruh jenis pelarut ke-i

βj = pengaruh konsentrasi larutan ke-j


(44)

Σijk = pengaruh acak (galad) percobaan pelarut ke-i dan konsentrasi larutan ke-j serta pada ulangan ke-k

Untuk mengetahui pengaruh dari faktor perlakuan yang dicoba, dilakukan analisis keragaman dengan kriteria uji jika F hitung  F tabel maka H0 diterima dan jika F hitung  F tabel maka H0 ditolak. Untuk mengetahui taraf perlakuan mana yang berpengaruh diantara faktor perlakuan maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan Multi Range Test). Hipotesis yang digunakan adalah:

Pengaruh utama jenis pelarut

H0 :Jenis pelarut tidak berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura (ulat grayak) dan penekanan pertumbuhan fungi Phytium sp

H1 :Jenis pelarut berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura dan penekanan pertumbuhan fungi Phytium sp

Pengaruh utama variasi konsentrasi

H0 :Variasi konsentrasi tidak berpengaruh terhadap mortalitas hama

S. litura (ulat grayak) dan penekanan pertumbuhan fungi Phytium sp

H1 :Variasi konsentrasi berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura (ulat grayak) dan penekanan pertumbuhan fungi Phytium sp

Pengaruh interaksi jenis pelarut dan variasi konsentrasi

H0 :Interaksi jenis pelarut dan variasi konsentrasi tidak berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura (ulat grayak) dan penekanan pertumbuhan fungi Phytium sp


(45)

H1 :Interaksi jenis pelarut dan variasi konsentrasi berpengaruh terhadap mortalitas hama S. litura (ulat grayak) dan penekanan pertumbuhan fungi Phytium sp

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Zat Ekstraktif Daun Mindi

Serbuk daun mindi sebelum diekstrak memiliki kadar air rata-rata sebesar 11,11 % (Lampiran 1). Zat ekstraktif dari serbuk daun mindi yang direndam dengan pelarut aseton, metanol dan akuades menghasilkan ekstrak yang berwarna coklat kehitaman. Kandungan zat ekstraktif daun mindi pada pelarut aseton sebesar 24,8%, metanol sebesar 20,2% sedangkan akuades sebesar 18,6%. Kandungan zat ekstraktif tertinggi diperoleh dari pelarut aseton dan yang terendah diperoleh dari jenis pelarut akuades. Secara lengkap kandungan zat ekstratif daun mindi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Zat Ekstraktif Daun Mindi (M. azedarach)

Jenis Pelarut Berat padatan ekstrak (gram)

Persentase kadar zat ekstrak (%)

Aseton Metanol Akuades

124 101 93

24,8 20,2 18,6

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah zat ekstraktif yang didapat dari proses ekstraksi, karena kandungan zat ekstraktif tidak terlepas dari beberapa faktor yaitu: jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksinya dan ukuran dari serbuk yang digunakan. Guenther (1987) dalam Batubara (2006) menyatakan banyaknya zat ekstraktif yang dapat larut tidak terlepas dari faktor pemilihan


(46)

syarat-syarat yaitu dapat melarutkan zat ekstraktif, pelarut harus bersifat inert (tidak bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi) dan mempunyai titik didih yang rendah agar pelarut mudah diuapkan tanpa menggunakan suhu yang tinggi.

Ekstraktif terdiri atas sejumlah besar dari senyawa-senyawa tinggal tipe lipofil maupun hidrofil. Kandungan total kedua ekstraktif lipofil dan hidrofil biasanya lebih tinggi dalam kulit dibandingkan dalam kayu, dan bervariasi diantara spesies-spesies yang berbeda, sekitar 20-40% dari berat kering kulit. Ekstraktif dapat dipandang sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekulnya yang rendah, meskipun ada kesamaan terdapatnya zat ekstraktif kayu di dalam suatu famili, namun ada perbedaan-perbedaan yang jelas dalam komposisinya bahkan diantara spesies-spesies kayu yang sangat dekat (Sjöström, 1998)

Menurut Browning (1967) dalam Mariyati (2000) kadar ekstraktif yang diperoleh tergantung pada pengeringan dan pengkondisian serbuk kayu sebelum diekstrak. Kadar air serbuk mempengaruhi proses ekstraksi. Banyaknya zat ekstraktif yang dapat larut dalam pelarut polar biasanya lebih sedikit, namun adanya pengeringan serbuk sebelum proses ekstraksi, jumlah bahan yang akan terlarut lebih banyak. Zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu bisa bersifat sebagai fungisida atau insektisida. Sifat ini membantu dalam membentuk keawetan alami kayu. Zat yang berperan antara lain zat fenol, terpentene, saponin, flavonoid dan tanin.

Uji Fitokimia

Hasil pengujian fitokimia yang dilakukan dengan beberapa pengujian dengan ekstrak daun mindi (M. azedarach) mengandung senyawa alkoloida,


(47)

flavanoida, triterpenoida dan saponin pada ekstrak metanol, aseton, dan akuades. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 2, 3, 4 dan 5.

Uji Alkaloida

Pengujian fitokimia dilakukan pada beberapa pengujian diantaranya yaitu uji alkaloida, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan adanya senyawa alkaloida yang terkandung pada ekstrak daun mindi (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil Uji Alkaloida

Pereaksi Perubahan Warna Estrak Metanol Ekstrak Aseton Ekstrak Akuades

Bouchardat Endapan coklat +++ ++ +++

Meyer Endapan putih

kekuningan

++ ++ ++

Wagner Endapan coklat + ++ +

Dragendroff Endapan merah kecoklatan

++ +++ ++ Keterangan: + = ada sedikit

++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil uji alkoloida dengan menggunakan pereaksi Bouchardat terjadi perubahan warna menjadi endapan coklat dan menghasilkan banyak senyawa alkaloida pada ekstrak metanol dan akuades, sedangkan ekstrak aseton sedang. Pada pereaksi Meyer terjadi perubahan warna menjadi endapan putih kekuningan dan menghasilkan sedang senyawa alkaloida pada ekstrak aseton, metanol dan akuades. Pada pereaksi Wagner terjadi perubahan warna menjadi endapan coklat dan menghasilkan sedikit senyawa alkaloida pada ekstrak metanol dan akuades sedangkan ekstrak aseton sedang. Pada pereaksi Dragendroff terjadi perubahan warna menjadi endapan merah kecoklatan dan menghasilkan sedang senyawa alkaloida pada ekstrak metanol dan akuades, sedangkan ekstrak aseton banyak. Uji Flavonoida


(48)

Pengujian fitokimia dilakukan pada beberapa pengujian diantaranya yaitu uji flavonoida, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan adanya senyawa flavonoida yang terkandung pada ekstrak daun mindi (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Uji Flavonoida

Pereaksi Perubahan Warna Estrak Metanol Ekstrak Aseton Ekstrak Akuades

FeCl3 1% Endapan hitam +++ +++ +++

NaOH 1% Merah jambu + + +

H2SO4 (p) Orange kekuningan

++ ++ ++

MgHCl Merah jambu + + +

Keterangan: + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

Hasil uji flavonoida dengan menggunakan pereaksi FeCl3 1% terjadi perubahan warna menjadi endapan hitam dan menghasilkan banyak senyawa flavonoida pada ekstrak metanol, aseton dan akuades. Pada pereaksi NaOH 1% terjadi perubahan warna menjadi merah jambu dan menghasilkan sedikit senyawa flavonoida pada ekstrak metanol, aseton dan akuades. Pada pereaksi H2SO4 (p) terjadi perubahan warna menjadi orange kekuningan dan menghasilkan sedang senyawa flavonoida pada ekstrak metanol, aseton dan akuades. Pada pereaksi MgHCl terjadi perubahan warna menjadi merah jambu dan menghasilkan sedikit senyawa flavonoida pada ekstrak metanol, aseton dan akuades.

Uji Triterpenoida

Pengujian fitokimia dilakukan pada beberapa pengujian diantaranya yaitu uji triterpenoida, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan senyawa triterpenoida yang terkandung pada ekstrak daun mindi tidak begitu banyak (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil Uji Triterpenoida


(49)

CeSO4 1% Merah kecoklatan - - - Lieberman

Bouchard

Biru kehijauan ++ - ++

Keterangan: + = ada sedikit ++ = ada sedang +++ = ada banyak

= Tidak ada

Hasil uji triterpenoida dengan menggunakan pereaksi Salkowsky terjadi perubahan warna menjadi orange kekuningan dan menghasilkan sedang senyawa triterpenoida pada ekstrak metanol, aseton dan akuades. Pada pereaksi CeSO4 1% terjadi perubahan warna menjadi merah kecoklatan dan tidak ada senyawa triterpenoida pada ekstrak metanol, aseton dan akuades. Pada pereaksi Lieberman Bouchard mengalami perubahan warna menjadi biru kehijauan dan menghasilkan sedang senyawa triterpenoida pada ekstrak metanol dan akuades sedangkan ekstrak aseton tidak ada mengandung senyawa triterpenoida. Kesimpulannya bahwa pada uji triterpenoida tidak begitu dominan ditemukannya senyawa-senyawa triterpenoid dilihat dari pereaksi-pereaksi yang digunakan walaupun pada pereaksi Salkowsky dan Lieberman Bouchard ada sedang tetapi pada pereaksi CeSO4 1% sama sekali tidak ditemukan senyawa triterpenoida.

Uji Saponin

Pengujian fitokimia dilakukan pada beberapa pengujian diantaranya yaitu uji saponin, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan adanya senyawa saponin yang terkandung pada ekstrak daun mindi (Tabel 5).

Tabel 5. Hasil Uji Saponin

Pereaksi Ekstrak Metanol Estrak Aseton Ekstrak Akuades Dengan penambahan

Akuades, dikocok menghasilkan busa, ditambah

HCl busa stabil

++ ++ ++

Keterangan: + = ada sedikit ++ = ada sedang


(50)

Hasil uji saponin dengan penambahan akuades, dikocok menghasilkan busa, ditambah HCl busa stabil menghasilkan senyawa saponin pada ekstrak metanol, aseton dan akuades dalam jumlah sedang.

Perkembangan Mortalitas Larva Ulat Grayak (S. litura) Selama 12 Hari a. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aseton

Perkembangan mortalitas larva setelah penyemprotan dengan ekstrak aseton dari hari ke-2 sampai hari ke-12 dengan konsentrasi 0% sampai konsentrasi 4% mortalitas larva semakin tinggi dari hari ke-2 sampai hari ke-6 dan kematian larva mencapai 100% dengan konsentrasi 3% sampai 4% sudah terjadi pada hari ke-6. Untuk konsentrasi 2% kematian larva mencapai 100% pada hari ke-8 sedangkan untuk konsentrasi 1% kematian larva mencapai 100% pada hari ke-10 (Gambar 14). Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak daun mindi makin cepatnya bioktifnya pada larva S. litura yang menyebabkan kematian larva lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutoyo dan Wirioadmodjo (1997) bahwa semakin tinggi konsentrasi, maka jumlah racun yang mengenai kutikula serangga semakin banyak, sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan kematian serangga lebih banyak.


(51)

6, 6 7 13 ,3 3 46, 67 64

,45 80 80

20 53, 33 80 93 ,3 3 100 0 26, 67 60 93 ,3 3 100 0 0 33, 33 66 ,6 7 100

0 0 0

40

73,

33

100

0 0 0

0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12

Hari Ke-M o rt al it as L a rva (% ) Konsentrasi 0 Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 Konsentrasi 4

Gambar 14. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Aseton pada Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi

Hasil pengamatan yang dilakukan pada larva S. litura mengalami perubahan warna tubuh larva menjadi hitam seperti terbakar dan tidak adanya kemampuan larva melepas kutikulanya yang mengakibatkan terganggunya pertumbuhan larva, matinya tidak seragam dan ukuran tubuhnya cenderung mengecil. Seperti yang dinyatakan oleh Wijayanti (2006) bahwa fungsi senyawa-senyawa yang terdapat pada daun mindi yaitu senyawa-senyawa alkoloid, triterpenoid, azedirachtin dan Glikosida flovoroid dapat menghambat daya makan larva (antifeedant) senyawa tersebut bertindak sebagai racun perut pada larva sehingga menghambat pertumbuhan larva. Dapat dilihat pada Gambar 15 perbandingan antara larva yang sehat dengan larva yang mati setelah disemprot dengan ekstrak daun mindi.


(52)

Gambar 15. Kondisi Larva S. Litura Setelah Perlakuan (15 A. Larva S.litura yang Sehat 15 B. Larva S. Litura yang Mati setelah disemprot

dengan Pelarut Aseton)

Ekstrak daun mindi dengan pelarut aseton lebih cepat memberikan efektifitas peracunan terhadap mortalitas larva, karena pelarut aseton mengandung senyawa yang bersifat racun bagi serangga dan jamur yaitu senyawa alkoloida, flavanoida, triterpenoida dan saponin pada ekstrak daun mindi, sehingga larva yang telah disemprot dengan ekstrak daun mindi (M. azedarach) pada pelarut aseton nafsu makan larva menjadi berkurang dan daun mengalami perubahan warna menjadi coklat kehitaman dan daunnya tidak dimakan oleh larva (Gambar 16).

Gambar 16. Kondisi Larva S.litura Setelah Disemprot dengan Pelarut Aseton


(53)

Perkembangan mortalitas larva setelah penyemprotan dengan ekstrak metanol dari hari ke-2 sampai hari ke-12 dengan konsentrasi 0% sampai konsentrasi 4% mortalitas larva semakin tinggi dari hari ke-2 sampai dengan hari ke-8 dan kematian larva mencapai 100% dengan konsentrasi 3% dan 4% sudah terjadi pada hari ke-8, pada konsentrasi 2% kematian larva mencapai 100% pada hari ke-10 dan pada hari ke-12 dengan konsentrasi 1% kematian larva mencapai 100% (Gambar 17). Hal ini terjadi karena senyawa yang terdapat pada ekstrak daun mindi dengan pelarut metanol mampu mengurangi daya makan larva, aktifitas larva terhambat, yang ditandai dengan gerakan larva lamban, tidak memiliki respon gerak, nafsu makan kurang dan akhirnya mati.

6,67 13,33 46, 67 64,45 80 80 26,67 46, 67 60 73, 33 93,33 100 33, 33 53, 33 66, 67 86, 67 100 0 40 53, 33 80 100 0 0 40 60 86, 67 100 0 0 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12

Hari Ke-Mo rt al it as L ar va ( % ) Konsentrasi 0 Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 Konsentrasi 4

Gambar 17. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Metanol pada Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi

Hasil pengamatan yang dilakukan pada larva S. litura tidak mengalami perubahan warna setelah disemprot dengan pelarut metanol, tetapi pada bagian perut dan alat pencernaannya yang mengalami perubahan warna hitam. Hal ini terjadi karena ekstrak metanol mengandung senyawa- senyawa yang bersifat


(54)

racun terhadap S. litura serta dapat menghambat pertumbuhan larva. Sesuai dengan pernyataan Endah dan Heri (2000) yang menyatakan bahwa senyawa alkoloida, triterpenoid, flavonoid pada daun mindi dapat menghambat daya makan larva serta cara kerja senyawa-senyawa tersebut bertindak sebagai racun perut dengan masuk dalam tubuh larva sehingga alat pencernaannya akan terganggu (Gambar 18).

Gambar 18. Kondisi Larva S.litura Setelah Disemprot dengan Pelarut Metanol

c. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Akuades

Perkembangan mortalitas larva setelah penyemprotan dengan ekstrak akuades dari hari ke-2 sampai hari ke-12 dengan konsentrasi 0% sampai konsentrasi 4% mortalitas larva semakin tinggi dan kematian larva mencapai 100% dengan konsentrasi 3% dan 4% sudah terjadi pada hari ke-10, pada konsentrasi1% dan 2% kematian larva mencapai 100% pada hari ke-12 (Gambar 19). Hal ini terjadi karena pelarut akuades mengandung zat-zat karbohidrat bagi larva yang menyebabkan larva menjadi semakin aktif.


(55)

6. 67 13. 33 46. 67 64 .4

5 80 80

6. 67 26. 67 46. 67 73 .3 3 80 100 6. 67 26. 67 46. 67 86 .6 7 86 .6 7 100 13. 33 33. 3 3 40 100 100 0 26. 67 53. 33 73 .3 3 100 100 0 0 20 40 60 80 100 120

2 4 6 8 10 12

Hari Ke-M o rt al it as L ar va (% ) Konsentrasi 0 Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 Konsentrasi 4

Gambar 19. Perkembangan Mortalitas Larva pada Pelarut Metanol pada Pengujian dengan Ekstraktif Daun Mindi

Pengamatan yang dilakukan setelah disemprot dengan pelarut akuades, daunnya habis dimakan oleh larva sehingga pada selang waktu 2 hari daun harus diganti dengan daun yang segar (Gambar 20).

Gambar 20. Kondisi Larva S. litura setelah Disemprot dengan Pelarut Akuades

Hasil pengamatan yang dilakukan larva S. litura mengalami perubahan bentuk menjadi pupa tetapi pupa tersebut tidak normal. Hal ini terjadi karena pupa terbentuk sebelum larva selesai mengalami pergantian instar. Biasanya larva mengalami 5-6 instar dengan lama stadia 6-13 hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Desmier de Chenon (1982) dalam Hennarti (1996) yang menyatakan


(56)

bahwa lingkungan sekitarnya tidak mendukung bagi pergantian instar sehingga larva terpaksa mempercepat perubahan bentuknya menjadi pupa, sehingga ukuran tubuh pupa yang terbentuk menjadi tidak sesuai dengan ukuran normalnya (Gambar 21).

Gambar 21. Pupa S. litura

Uji Statistika Mortalitas Larva

Hasil uji statistika, diperoleh bahwa perlakuan dengan menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda yaitu aseton, metanol dan akuades pada hari ke-2 sampai hari ke-12 berpengaruh nyata pada mortalitas larva. Konsentrasi yang digunakan yaitu konsentrasi 0%, 1%, 2%, 3% dan 4% memberikan pengaruh yang nyata. Sedangkan interaksi antara keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mortalitas larva S. litura (Lampiran 6 sampai 11).

Analisis sidik ragam pada hari ke-2 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun mindi pada berbegai pelarut, konsentrasi dan interaksi antar pelarut serta konsentrasi berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. litura. Hasil pengujian duncan pemberian ekstrak daun mindi pada pelarut aseton dan metanol


(57)

berbeda nyata dengan pelarut akuades, perlakuan konsentrasi 0% dan 4% berbeda nyata dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%. Sedangkan interaksi antara pelarut dan konsentrasi berbeda sangat nyata terhadap mortalitas larva S. litura. Pada pelarut metanol dan aseton dengan konsentrasi 4% efektif terhadap mortalitas larva

S. litura.

Tabel 6. Uji Statistik Mortalitas Larva S. litura

Pelarut

Konsentrasi

0 1 2 3 4 Aseton 6,67a 17,77bc 28,89de 35,55ef 40,00f Metanol 6,67a 28,89de 35,55ef 37,77ef 42,22f Akuades 6,67a 13,33 8,88 11,11ab 24,44cd

Analisis sidik ragam pada hari ke-12 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun mindi pada berbagai taraf konsentrasi (0%, 1%, 2%, 3% dan 4%) berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. litura. Sedangkan pelarut dan interaksi antara pelarut dan konsentrasi tidak berpengaruh nyata. Hasil pengujian duncan (Lampiran 11) pemberian ekstrak daun mindi pada berbagai taraf konsentrasi menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0% berbeda nyata dengan konsentrasi 1%, 2%, 3% dan 4%.

Hasil pegujian yang dilakukan dengan menggunakan ekstrak daun mindi mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap S. litura yang dapat menghambat pertumbuhan larva dan sebagai racun perut dengan masuk dalam tubuh larva sehingga alat pencernaannya akan terganggu. Hal ini didukung dengan


(58)

dilakukannya pengujian fitokimia yang menunjukkan adanya kandungan senyawa alkoloida, flavanoida, triterpenoida dan saponin pada ekstrak daun mindi dengan pelarut metanol, aseton, dan akuades.

Penekanan Pertumbuhan Phytium sp Selama 5 Hari

Penekanan pertumbuhan Phytium sp yang telah disemprot dengan ekstrak

daun mindi selama 5 hari setelah aplikasi penyemprotan, dimana tingkatan ataupun kriteria penekanan yang diperoleh dapat ditingkatkan dari fungi tersebut tergolong kedalam keadaan sehat, tertekan ringan, tertekan sedang, tertekan berat, tertekan sangat berat dan sampai mati (bila tidak ada tanda-tanda pertumbuhan fungi). Rata-rata penekanan pertumbuhan Phytium sp selama 5 hari dapat dihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-rata Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Ekstraktif Daun Mindi

Pelarut Konsentrasi

Luas Pertumbuhan Hari Ke-(mm2)

Penekanan Pertumbuhan

(%) Keterangan

Aseton 0 0 0 Sehat

1 4269 32.9 Tertekan Sedang

2 3330 47.65 Tertekan Sedang

3 1546 75.69 Tertekan Sangat Berat

4 193 96.96 Tertekan Sangat Berat

Metanol 0 0 0 Sehat

1 469 92.63 Tertekan Sangat Berat

2 226 96.44 Tertekan Sangat Berat

3 55 98.66 Tertekan Sangat Berat

4 148 97.67 Tertekan Sangat Berat

Akuades 0 0 0 Sehat

1 3888 38.87 Tertekan Sedang

2 4659 26.76 Tertekan Sedang

3 2612 59.1 Tertekan Sedang

4 2390 62.32 Tertekan Sedang


(59)

Pada hari ke-5 pertumbuhan Phytium sp pada perlakuan kontrol memenuhi cawan petri dengan luas pertumbuhan sebesar 6362 mm2. Sedangkan untuk konsentrasi 1% terlihat bahwa pertumbuhan Phytium sp sebesar 4269 mm2. Sedangkan untuk konsentrasi 2% pertumbuhan Phytium sp pada hari ke-5 luas pertumbuhannya sebesar 3330 mm2, untuk konsentrasi 3% pertumbuhannya sebesar 1546 mm2 sedangkan konsentrasi 4% pertumbuhan Phytium sp sebesar 193 mm2 (Gambar 22).

27 12 03 3852 590 5 6362

31 90 124 131

4269 104 60 7 1022 227 8 3330 240 1263 24 83 24 83 154 6 40 202 628 10 69 193 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

1 2 3 4 5

Hari Ke-P e rt um buha n H a ri K e - ( m m 2 ) Konsentrasi 0 Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 Konsentrasi 4

Gambar 22. Rata-rata Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Aseton pada Pengujian dengan Ekstrak Daun Mindi

Hasil rata-rata penekanan pertumbuhan Phytium sp pada ekstrak daun mindi dengan pelarut aseton pada konsentrasi 1% dan 2% tertekan sedang sedangkan untuk konsentrasi 3% dan 4% tertekan sangat berat (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa pada pelarut aseton mengandung senyawa-senyawa yang memiliki sifat bioaktif atau zat racun terhadap penekanan pertumbuhan


(60)

Gambar 23. Pertumbuhan Phytium sp dengan Pelarut Aseton

b. Rata-rata Penekanan Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Metanol

Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut metanol menunjukkan bahwa

perbedaan yang sangat kontras antara konsentrasi 0% dengan konsentrasi 1% sampai 4% pada pertumbuhan Phytium sp pada ekstrak daun mindi dengan pelarut metanol. (Gambar 24). Pada hari ke-5 untuk konsentrasi 0% pertumbuhannya telah mencapai 6362 mm2 (Gambar 25). Sedangkan untuk konsentrasi 1%, 2%, 3% dan 4% pertumbuhan Phytium sp sangat rendah (Gambar 26).

27 120 3 385 2 5 905 636 2

29 41 44 63

127

8

28 72 14

3

18

8

22

6

30 24 32 48 40 10 49 55

0 12 7 14 8 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

1 2 3 4 5

Hari Ke-P e rt u m bu ha n H a ri K e - ( m m 2 ) Konsentrasi 0 Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 Konsentrasi 4

Gambar 24. Rata-rata Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Metanol pada Pengujian dengan Ekstrak Daun Mindi


(61)

Gambar. 25. Pertumbuhan Phytium sp pada Kontrol

Gambar 26. Pertumbuhan Phytium sp dengan Pelarut Metanol

Hasil rata-rata penekanan pertumbuhan Phytium sp pada ekstrak daun mindi dengan pelarut metanol pada konsentrasi 1%, 2%, 3% dan 4% tertekan sangat berat (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa pada pelarut metanol tersebut mengandung senyawa-senyawa yang memiliki sifat bioaktif terhadap penekanan pertumbuhan Phytium sp. Hal ini didukung dengan dilakukannya uji fitokimia, yaitu pada ekstrak daun mindi dengan pelarut metanol mengandung senyawa alkoloida, flavanoid, triterpenoida dan saponin yang cukup banyak. Menurut Vikery (1981) dalam Br. Sitepu (2005) mengemukakan bahwa senyawa-senyawa triterpenoid dan turunannya termasuk saponin dan steroid pada tumbuhan berfungsi sebagai racun serangga, bakteri dan jamur.


(62)

Penekanan pertumbuhan Phytium sp pada pelarut akuades menunjukkan

bahwa pertumbuhan Phytium sp pada konsentrasi 0% sampai konsentrasi 4% sudah mengalami pertumbuhan yang tampak dari hari ke-1 sampai hari ke-5. Pada konsentrasi 0% pertumbuhan Phytium sp sudah tampak penuh pada hari ke-5, sedangkan pada konsentrasi 2% tampak lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan dengan konsentrasi 1%, 3% dan 4% (Gambar 27).

27 1203 3852 59 05 6362 1079 2029 2988 3643 3888 1040 3387

4188 4538 4659

332

1174

2189 2555 2612

417

1302

2318 2318 2390

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

1 2 3 4 5

Hari Ke-P e rt u m bu ha n H a ri K e - ( m m 2 ) Konsentrasi 0 Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3 Konsentrasi 4

Gambar 27. Rata-rata Pertumbuhan Phytium sp pada Pelarut Akuades pada Pengujian dengan Ekstrak Daun Mindi

Hasil rata-rata penekanan pertumbuhan Phytium sp pada ekstrak daun mindi dengan pelarut akuades pada konsentrasi 1%, 2%, 3% dan 4% tertekan sedang (Tabel 6).


(1)

Source DF SS MS F P Pelarut 2 9803,4 4901,72 45,53 0,000 Konsentrasi 4 5757,9 1439,49 13,37 0,000 Interaction 8 3421,3 427,66 3,97 0,003 Error 30 3229,5 107,65

Total 44 22212,1

S = 10,38 R-Sq = 85,46% R-Sq(adj) = 78,68% F Hitung > F Tabel = Berpengaruh nyata (*)

F Hitung < F Tabel = Tidak berpengaruh nyata (tn) Hasil Uji Lanjut Duncan

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Pelarut Mean ---+---+---+---+--- 1 82,2227 (----*---) 2 67,1113 (----*---)

3 46,2227 (----*---)

---+---+---+---+--- 48 60 72 84 Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Konsentrasi Mean ---+---+---+---+-- 0 46,6667 (---*---)

1 59,2611 (---*---)

2 68,1478 (---*---) 3 72,5922 (----*---)

4 79,2600 (---*---) ---+---+---+---+-- 48 60 72 84 Interaksi antara Pelarut dengan Konsentrasi

Perlakuan Rata-rata Notasi Aq3 40,00 a Aq1 44,44 ab

A0 46,67 ab M0 46,67 ab Aq0 46,67 ab Aq2 46,67 ab Aq4 53,33 ab M1 60,00 bc

M2 64,44 bcd

A1 73,33 cde

M3 80,00 def M4 84,44 efg A2 93,33 fg A3 97,77 fg A4 100,00 g


(2)

Lampiran 8. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-8 Setelah Aplikasi dengan Ekstraktif Daun Mindi

Two-way ANOVA: % Mortalitas versus Pelarut; Konsentrasi Source DF SS MS F P Pelarut 2 2210,3 1105,15 21,52 0,000 Konsentrasi 4 7798,0 1949,51 37,96 0,000 Interaction 8 1552,6 194,08 3,78 0,004 Error 30 1540,7 51,36

Total 44 13101,7

S = 7,166 R-Sq = 88,24% R-Sq(adj) = 82,75% F Hitung > F Tabel = Berpengaruh nyata (*)

F Hitung < F Tabel = Tidak berpengaruh nyata (tn) Hasil Uji Lanjut Duncan

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Pelarut Mean -+---+---+---+--- 1 90,2227 (---*----) 2 84,4447 (---*----)

3 73,3340 (---*----)

-+---+---+---+--- 70,0 77,0 84,0 91,0

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Konsentrasi Mean +---+---+---+--- 0 64,4467 (---*---)

1 71,8511 (---*---)

2 82,9633 (---*---)

3 95,5556 (---*---) 4 98,5189 (---*---) +---+---+---+--- 60 72 84 96

Interaksi antara Pelarut dengan Konsentrasi Perlakuan Rata-rata Notasi

Aq1 55,55 a M0 64,44 ab Aq0 64,44 ab

A0 64,47 ab Aq2 64,47 ab

M1 73,33 bc M2 84,44 c A1 86,67 cd Aq3 86,67 cd Aq4 95,55 cd A2 100,00 d A3 100,00 d A4 100,00 d M3 100,00 d M4 100,00 d


(3)

Source DF SS MS F P Pelarut 2 298,25 149,126 5,80 0,007 Konsentrasi 4 2670,65 667,662 25,99 0,000 Interaction 8 511,57 63,947 2,49 0,033 Error 30 770,70 25,690

Total 44 4251,17

S = 5,069 R-Sq = 81,87% R-Sq(adj) = 73,41% F Hitung > F Tabel = Berpengaruh nyata (*)

F Hitung < F Tabel = Tidak berpengaruh nyata (tn) Hasil Uji Lanjut Duncan

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Pelarut Mean -+---+---+---+--- 1 95,5553 (---*---) 2 93,3333 (---*---)

3 89,3333 (---*---)

-+---+---+---+--- 87,0 90,0 93,0 96,0

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Konsentrasi Mean -+---+---+---+--- 0 80,000 (----*----)

1 88,148 (----*----)

2 95,556 (----*---)

3 100,000 (----*----) 4 100,000 (----*----) -+---+---+---+--- 77,0 84,0 91,0 98,0

Interaksi antara Pelarut dengan Konsentrasi Perlakuan Rata-rata Notasi

Aq1 77,77 a A0 80,00 a M0 80,00 a Aq0 80,00 ab M1 88,89 bc Aq2 88,89 bc

A1 97,77 cd M2 97,77 cd A2 100,00 d A3 100,00 d A4 100,00 d M3 100,00 d M4 100,00 d Aq3 100,00 d Aq4 100,00 d


(4)

Lampiran 10. Data Uji Statistik Mortalitas Ulat Pada Hari ke-12 Setelah Aplikasi dengan Ekstraktif Daun Mindi

Two-way ANOVA: % Mortalitas versus Pelarut; Konsentrasi Source DF SS MS F P Pelarut 2 17,78 8,889 0,50 0,612 Konsentrasi 4 2755,56 688,889 38,73 0,000 Interaction 8 71,11 8,889 0,50 0,847 Error 30 533,60 17,787

Total 44 3378,04

S = 4,217 R-Sq = 84,20% R-Sq(adj) = 76,83% F Hitung > F Tabel = Berpengaruh nyata (*)

F Hitung < F Tabel = Tidak berpengaruh nyata (tn) Hasil Uji Lanjut Duncan

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Pelarut Mean ----+---+---+---+--- 1 96,0000 (---*---) 2 94,6667 (---*---)

3 96,0000 (---*---) ----+---+---+---+--- 93,0 94,5 96,0 97,5 Individual 95% CIs For Mean Based on

Pooled StDev

Konsentrasi Mean +---+---+---+--- 0 80,000 (---*---)

1 97,778 (---*---) 2 100,000 (---*---) 3 100,000 (---*---) 4 100,000 (---*---) +---+---+---+--- 77,0 84,0 91,0 98,0

Interaksi antara Pelarut dengan Konsentrasi Perlakuan Rata-rata Notasi

A0 80,00 a

M0 80,00 a Aq0 80,00 a

A1 100,00 b

A2 100,00 b

A3 100,00 b

A4 100,00 b

M1 100,00 b M2 100,00 b M3 100,00 b M4 100,00 b Aq1 100,00 b Aq2 100,00 b Aq3 100,00 b Aq4 100,00 b


(5)

3 0 0 Sehat

1 1 3728 41,40 Tertekan sedang

2 4936 22,41 Tertekan ringan

3 4142 34,89 Tertekan sedang

2 1 64 98,99 Tertekan sangat berat

2 5195 18,34 Tertekan ringan

3 4731 25,64 Tertekan sedang

3 1 57 99,10 Tertekan berat

2 4529 28,81 Tertekan sedang

3 52 99,18 Tertekan sangat berat

4 1 74 98,83 Tertekan sangat berat

2 437 93,13 Tertekan sangat berat

3 68 98,93 Tertekan sangat berat

Metanol 0 1 0 0 Sehat

2 0 0 Sehat

3 0 0 Sehat

1 1 1278 79,91 Tertekan sangat berat

2 67 98,94 Tertekan sangat berat

3 61 99,04 Tertekan sangat berat

2 1 92 98,55 Tertekan sangat berat

2 441 93,06 Tertekan sangat berat

3 145 97,72 Tertekan sangat berat

3 1 52 99,18 Tertekan sangat berat

2 58 99,08 Tertekan sangat berat

3 55 99,13 Tertekan sangat berat

4 1 81 98,72 Tertekan sangat berat

2 63 99,00 Tertekan sangat berat

3 299 95,30 Tertekan sangat berat

Akuades 0 1 0 0 Sehat

2 0 0 Sehat

3 0 0 Sehat

1 1 3818 39,98 Tertekan sedang

2 3327 47,70 Tertekan sedang

3 4520 28,95 Tertekan sedang

2 1 4513 29,06 Tertekan sedang

2 3972 37,56 Tertekan sedang

3 5492 13,67 Tertekan ringan

3 1 3038 52,24 Tertekan berat

2 4127 35,13 Tertekan sedang

3 671 89,95 Tertekan sangat berat

4 1 1043 83,30 Tertekan sangat berat

2 4110 35,39 Tertekan sedang


(6)

Lampiran 12. Data Uji Statistik %Penekanan Pertumbuhan Phytium sp Setelah Aplikasi dengan Ekstraktif Daun Mindi

Two-way ANOVA: % Penekanan versus Pelarut; Konsentrasi Source DF SS MS F P Pelarut 2 12299,6 6149,81 16,77 0,000 Konsentrasi 4 36968,2 9242,06 25,21 0,000 Interaction 8 10241,1 1280,14 3,49 0,006 Error 30 10999,0 366,63

Total 44 70508,0

S = 19,15 R-Sq = 84,40% R-Sq(adj) = 77,12% F Hitung > F Tabel = Berpengaruh nyata (*)

F Hitung < F Tabel = Tidak berpengaruh nyata (tn) Hasil Uji Lanjut Duncan

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Pelarut Mean --+---+---+---+--- 1 50,6433 (---*---)

2 77,1753 (---*---) 3 37,4140 (---*---)

--+---+---+---+--- 30 45 60 75

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev

Konsentrasi Mean ----+---+---+---+--- 0 0,0000 (---*---)

1 76,1567 (---*----) 2 56,9544 (---*---)

3 63,7122 (---*----) 4 78,5644 (---*----) ----+---+---+---+--- 0 30 60 90 Interaksi antara Pelarut dengan Konsentrasi

Perlakuan Rata-rata Notasi

A0 0 a

M0 0 a Aq0 0 a

Aq2 26,76 ab

A3 32,90 bc

Aq1 38,87 bc

A2 47,65 bcd

Aq3 59,10 bcde

Aq4 62,32 cdef

A4 75,69 def

M1 92,63 ef

M2 96,44 f A1 96,96 f M4 97,67 f M3 99,13 f