Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah Pada Majalah Tempo dan Sabili)

(1)

BERITA PENYERANGAN JAMAAH AHMADIYAH

(Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah

Pada Majalah Tempo dan Sabili)

Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh:

AHMAD ROSADI RANGKUTI 070904073

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

Kupersembahkan goresan pena ini untuk sang perempuan

bergamis baja, ibunda tercinta Roslina Nasution binti

Muhammad Syarif Nasution.

“Terimakasih atas semua

pengorbanan Bunda. Aku tidak pernah bermimpi terlahir di


(3)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah Pada Majalah Tempo dan Sabili). Tujuan peneliti untuk meneliti ini, yang pertama, untuk mengetahui bagaimana Tempo dan Sabili memandang kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah ini. Kemudian untuk mengetahui siapa yang dianggap

Tempo dan Sabili menjadi penyebab kerusuhan ini. Selanjutnya peneliti ingin mengetahui evaluasi moral apa yang diberikan kepada kelompok Ahmadiyah maupun Ormas Islam. Dan yang terakhir peneliti ingin mengetahui rekomendasi apa yang diberikan Tempo dan Sabili

terhadap masalah ini. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian analisis isi media kualitatif. Pendekatan dalam penelitian ini memakai paradigma konstruktivis. Pisau analisis yang digunakan peneliti adalah teknik analisis framing yang dibuat Robert N. Entman. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana konstruksi berita pada majalah Tempo dan

Sabili dalam membingkai berita terkait penyerangan Ahmadiyah.

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan empat perangkat unit analisis untuk melihat bagaimana sebuah media membingkai suatu masalah: Pendefenisian masalah (define problem), memperkirakan sumber masalah (diagnoses causes), membuat keputusan moral (make moral judgement), dan menekankan penyelesaian (treatment recommendation)

Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang diambil peneliti adalah majalah Tempo dan Sabili. Adapun objek penelitian yang diambil adalah pemberitaan yang berhubungan dengan kasus penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Setelah dikumpulkan, terdapat tiga edisi majalah Tempo dan Sabili yang memuat berita terkait kasus ini. Adapun majalah yang peneliti teliti adalah Tempo edisi 14-20 Februari 2011 yang dimuat di rubrik Laporan Utama. Selanjutnya Tempo edisi 21-27 Februari dalam rubrik laporan utama. Dan Tempo edisi 7-13 Maret 2011 dalam rubrik Hukum. Sabili edisi 14 Tahun XVIII 3 Maret 2011 yang diangkat di rubrik Telaah Utama. Kemudian Sabili edisi 15 Tahun XVIII 17 Maret 2011pada rubrik Indonesia Kita. Terakhir Sabili edisi 16 Tahun XVIII 7 April 2011 yang ditempatkan di rubrik yang sama dengan edisi sebelumnya, Indonesia Kita.

Hasil penelitian yang penulis dapat adalah, pemberitaan majalah Tempo cenderung lebih memihak kepada pihak Jamaah Ahmadiyah. Sedangkan majalah Sabili lebih berpihak kepada ormas Islam. Hal ini terlihat dari pemilihan nasrasumber dan pendefenisian masalah yang dikedepankan masing-masing media massa yang menjadi objek penelitian ini. Majalah Tempo

menganggap kasus ini sebagai masalah hukum atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan ormas Islam terhadap Jamaah Ahmadiyah. Oleh sebab itu Tempo

merekomendasikan agar pemerintah menghukum pelaku pelanggaran HAM tersebut. Demikian halnya dengan majalah Sabili, majalah ini juga menganggap kasus ini sebagai masalah hukum. Hanya saja Sabili menilai pelanggaran hukum tersebut atas dasar penodaan ideologi atau penistaan agama yang dilakukan Ahmadiyah terhadap agama Islam. Sabili pun merekomendasikan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah dan menindak pelaku penistaan agama sesuai hukum yang berlaku.


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Skripsi ini berangkat dari rasa penasaran penulis terhadap framing media. Selanjutnya didukung dengan kasus yang melibatkan Jamaah Ahmadiyah dan Ormas Islam. Berbagai pihak memberikan opini-nya terhadap Ahmadiyah dan juga memberikan penilaian kepada organisasi-organisasi Islam. Dari sinilah ketertarikan itu muncul, untuk melihat lebih jauh bagaimana media menempatkan isu dan aktor-aktor terkait dalam setiap pemberitaannya.

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam dihadiahkan kepada kanjeng nabi Muhammad wa Rasulullah SAW beserta kepada pengikutnya, semoga kita senantiasa termasuk golongan hamba-hambanya yang berjalan di bawah sunnahnya dan kelak mendapat syafa’atnya di akhirat. Amin.

Dalam penyelesaiaan skripsi ini penulis dibantu oleh banyak pihak, baik yang mendukung secara moril maupun materil. Karena itu penulis merasa penting untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua yang telah memberikan kasih sayang, do’a, dukungan, perhatian tanpa batas mulai dari penulis lahir hingga saat ini.

2. Prof. Drs. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU


(5)

4. Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU 5. Bapak Amir Purba, M.A., Ph. D selaku dosen pembimbing penulis yang dengan sabar

dan tulus meluangkan waktu untuk membimbing dan mengayomi penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

6. Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku dosen wali penulis yang selalu memotivasi penulis untuk terus menyelesaikan studi di FISIP USU.

7. Segenap staf dosen pendidik dan administrasi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah berjasa dalam mengajarkan ilmunya kepada penulis serta membantu penulis dalam segala urusan akademik.

8. Abangda tercinta Surbein Rangkuti dan kakanda Karimah Rangkuti yang sangat berjasa hingga penulis bisa menyelesaikan bangku kuliah ini.

9. Abangda dan kakanda-kakanda saya Ikrom Rangkuti, Hamidah Rangkuti, Abdul Hafiz Rangkuti, Nur Ainun Rangkuti, Fatimah Rangkuti, Rosni Rangkuti, Samliah Rangkuti, dan Parwis Rangkuti. Terima kasih atas segalanya, kalian benar-benar guru bagi saya, dari kalian saya belajar dan mengerti segala hal.

10.Kepada cucu-cucu Bunda, keponakan-keponakan penulis yang sangat penulis cintai: Nila, Lili, Ardian, Harlan, Zackia, Nita, May, Amin, Sanah, Nisa, Rayhan, dan Fadhillah. Kalian adalah penawar hati yang rapuh, menjadi bara pembakar semangatku.

11.Seluruh famili dan kerabat di kampung halaman.

12.Untuk Bang Rinaldi Kom ’03, terimakasih atas semua masukan dan saran serta waktu luang yang diberikan untuk berdiskusi.


(6)

13.Teman-teman di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan 2007, Muhammad Iqbal Damanik, Fannisa Utami, Farrah Tania P, Harry Syahputra, Nindy, Ririn-Dwi, Nur Delima, Iier, Eli, Tri, Mila-Kiki, Firdha, Hanan, Fauzi, Dery, Yudhistira dll. Selalu ada nama kalian di setiap kenangan indah di bangku kuliah. 14.Buat kakak-kakak senior yang penulis banggakan: Mikhael Hasudungan Siahaan,

Huda Perdana Sitepu, Arief Nurcahyo, Kak Ola, Kak Puput. Juga untuk junior yang selalu ingin maju: si reporter Febrian dan sang fotografer Andika Bakti.

15.Untuk keluarga besar Nurul ‘Ilmi tempat penulis ‘dibesarkan’ beserta Alumni Keluarga Madrasah Nurul ‘Ilmi (ALKAMIL) tercinta.

16.Keluarga besar Pers Mahasiswa Suara USU, kampus kedua penulis.

17.Seluruh staf dan kawan-kawan seperjuangan di Banquet Departement of Asean International Hotel Medan. Mr. Agus, Mr. Suwardi, Bang Dika & Bang Theo, Katy, Sarah, Nita, Arsita, Dedek, Riana, Rika, Sugi, Roy, Budi, Evelyn, Yusfa, Syifa, Nurul, Hendra, Fadly, Arbye, Tati, Ary, Wie-Wie, Desy, Ajeng, Debora, dan semua anggota Kitchen Departement dan yang baik hati.

18.Semua kawan-kawan kos; Dedi Supriadi, Dedi Suprianto, Azis, Hakim, Partahian, Bang Hery, Bang Hendra, Rinaldy, Syamsul, syaiful, Hadi, Azir, Nawir, Aril, dll. 19.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi dan studi

hingga sarjana.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini bermanfaat, khususnya untuk penulis sendiri maupun untuk Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dalam mengkaji media melalui pendekatan kualitatif. Tak lupa juga kepada pembaca yang akan membaca skripsi ini nantinya.


(7)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis tidak akan menutup diri untuk semua masukan yang membangun. Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Serta mendapat ridha dan keberkahan atas segala usaha dan do’a yang telah kita lakukan, khususnya dalam menuntut ilmu. Amin.

Medan, Juli 2011


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Pembatasan Masalah ... 8

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Paradigma Konstruktivis ... 10

II.2. Analisis Framing ... 21

II.2.1. Seleksi Isu ... 28

II.2.2. Penonjolan Aspek Tertentu Dari Suatu Isu ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Kerangka ... 36

III.2. Operasional Konsep ... 36

III.3. Deskripsi Subjek Penelitian ... 37

III.4. Metode Penelitian ... 43

III.4.1. Tipe Penelitian ... 43


(9)

III.4.3. Teknik Pengumpulan Data ... 45 III.4.4. Unit dan Tingkat Analisis ... 46 III.4.5. Metode Analisis Data ... 46

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

IV.1. Analisis Berita Majalah Tempo ... 51 IV.2. Analisis Berita Majalah Sabili ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan ... 79 V.2. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(10)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1: Aspek Penting Dalam Framing ... 46

2. Tabel 2: Perangkat Analisis Framing Robert N. Entman ... 46

3. Tabel 3: Daftar Berita Tempo Edisi 14-20 Februari 2011... 52

4. Tabel 4: Framing Berita Tempo Edisi 14-20 Februari 2011... 55

5. Tabel 5: Daftar Berita Tempo Edisi 21-27 Februari 2011... 56

6. Tabel 6: Framing Berita Tempo Edisi 21-27 Februari 2011 ... 58

7. Tabel 7: Daftar Berita Tempo Edisi 7-13 Maret 2011 ... 60

8. Tabel 8: Framing Berita Tempo Edisi 7-13 Maret 2011 ... 62

9. Tabel 9: Daftar Berita Sabili Edisi 14 Tahun XVIII 3 Maret 2011 ... 65

10.Tabel 10: Framing Berita Sabili Edisi 14 Tahun XVIII 3 Maret 2011 ... 68

11.Tabel 11: Daftar Berita Sabili Edisi 15 Tahun XVIII 17 Maret 2011 ... 70

12.Tabel 12: Framing Berita Sabili Edisi 15 Tahun XVIII 17 Maret 2011 ... 72

13.Tabel 13: Daftar Berita Sabili Edisi 16 Tahun XVIII 7 April 2011 ... 74


(11)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Berita Penyerangan Jamaah Ahmadiyah (Analisis Framing Tentang Pemberitaan Penyerangan Jamaah Ahmadiyah Pada Majalah Tempo dan Sabili). Tujuan peneliti untuk meneliti ini, yang pertama, untuk mengetahui bagaimana Tempo dan Sabili memandang kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah ini. Kemudian untuk mengetahui siapa yang dianggap

Tempo dan Sabili menjadi penyebab kerusuhan ini. Selanjutnya peneliti ingin mengetahui evaluasi moral apa yang diberikan kepada kelompok Ahmadiyah maupun Ormas Islam. Dan yang terakhir peneliti ingin mengetahui rekomendasi apa yang diberikan Tempo dan Sabili

terhadap masalah ini. Penelitian ini memfokuskan pada penelitian analisis isi media kualitatif. Pendekatan dalam penelitian ini memakai paradigma konstruktivis. Pisau analisis yang digunakan peneliti adalah teknik analisis framing yang dibuat Robert N. Entman. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha meneliti bagaimana konstruksi berita pada majalah Tempo dan

Sabili dalam membingkai berita terkait penyerangan Ahmadiyah.

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan empat perangkat unit analisis untuk melihat bagaimana sebuah media membingkai suatu masalah: Pendefenisian masalah (define problem), memperkirakan sumber masalah (diagnoses causes), membuat keputusan moral (make moral judgement), dan menekankan penyelesaian (treatment recommendation)

Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang diambil peneliti adalah majalah Tempo dan Sabili. Adapun objek penelitian yang diambil adalah pemberitaan yang berhubungan dengan kasus penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Setelah dikumpulkan, terdapat tiga edisi majalah Tempo dan Sabili yang memuat berita terkait kasus ini. Adapun majalah yang peneliti teliti adalah Tempo edisi 14-20 Februari 2011 yang dimuat di rubrik Laporan Utama. Selanjutnya Tempo edisi 21-27 Februari dalam rubrik laporan utama. Dan Tempo edisi 7-13 Maret 2011 dalam rubrik Hukum. Sabili edisi 14 Tahun XVIII 3 Maret 2011 yang diangkat di rubrik Telaah Utama. Kemudian Sabili edisi 15 Tahun XVIII 17 Maret 2011pada rubrik Indonesia Kita. Terakhir Sabili edisi 16 Tahun XVIII 7 April 2011 yang ditempatkan di rubrik yang sama dengan edisi sebelumnya, Indonesia Kita.

Hasil penelitian yang penulis dapat adalah, pemberitaan majalah Tempo cenderung lebih memihak kepada pihak Jamaah Ahmadiyah. Sedangkan majalah Sabili lebih berpihak kepada ormas Islam. Hal ini terlihat dari pemilihan nasrasumber dan pendefenisian masalah yang dikedepankan masing-masing media massa yang menjadi objek penelitian ini. Majalah Tempo

menganggap kasus ini sebagai masalah hukum atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan ormas Islam terhadap Jamaah Ahmadiyah. Oleh sebab itu Tempo

merekomendasikan agar pemerintah menghukum pelaku pelanggaran HAM tersebut. Demikian halnya dengan majalah Sabili, majalah ini juga menganggap kasus ini sebagai masalah hukum. Hanya saja Sabili menilai pelanggaran hukum tersebut atas dasar penodaan ideologi atau penistaan agama yang dilakukan Ahmadiyah terhadap agama Islam. Sabili pun merekomendasikan agar pemerintah membubarkan Ahmadiyah dan menindak pelaku penistaan agama sesuai hukum yang berlaku.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Di awal tahun baru 2011, berita seputar konflik antar pemeluk agama menjadi topik yang cukup hangat yang dihidangkan media massa ke hadapan khalayak, terutama berita seputar Jamaah Ahmadiyah.

Ahmadiyyah atau sering pula ditulis Ahmadiyah, adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan ole kecil yang bernama sebagai

Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah "Ahmadiyya Muslim Jama'at" (atau Ahmadiyah Qadian). Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Kelompok kedua ialah "Ahmadiyya Anjuman Isha'at-e-Islam Lahore" (atau Ahmadiyah Lahore). Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35. (www.id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah)


(13)

Pengusiran dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah dimulai tahun 1999 dengan pembakaran masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat. Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, daerah Lombok Timur, basis Nahdlatul Wathan, organisasi Islam terbesar di Pulau Lombok. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah, diserang dan dibakar di Pancor. Ironisnya, pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: warga Ahmadiyah boleh tetap di Pancor tapi keluar dari Ahmadiyah atau tetap di Ahmadiyah dan keluar dari Pancor. Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung mula-mula di Transito, sebuah bangunan pemerintah di Mataram. Lalu ada yang menyewa rumah, sekitar 300 orang. Biaya dibantu sebagian oleh organisasi Ahmadiyah. Dalam setahun, mereka mulai menata kehidupan. Ada yang tak berhasil, ada yang terlunta-lunta. Pada tahun 2004, organisasi Ahmadiyah membeli sebuah perumahan BTN di Gegerung, Ketapang, total 1.6 hektar, lalu dijual murah kepada anggota yang diusir dari Bayan, Pancor dan Praya.

Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa di Jakarta. Isinya, Ahmadiyah ditegaskan “... berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan ....” MUI minta pemerintah Indonesia “… melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.” Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985, yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad, dan pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, menerima wahyu dari Allah.

Selanjutnya, atas nama Pemerintah Indonesia, dan


(14)

Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.

Fatwa MUI itu dinilai kian memicu penyerangan terhadap berbagai masjid dan rumah Ahmadiyah di Parung, dekat Bogor; Manis Lor, Kuningan; Tasikmalaya; Garut; Ciaruteun; dan Sadasari. Mayoritas warga Ahmadiyah di Indonesia adalah orang Sunda. Mereka punya jumlah cukup besar di beberapa desa di Bogor, Tangerang, Tasikmalaya dan Garut.

Kepedulian pemerintah untuk mengakhiri kontroversi keberadaan Ahmadiyah di Indonesia diwujudkan dengan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang berlaku sejak 9 Juni 2008, – seminggu setelah terjadinya tragedi Monas 1 Juni 2008. SKB tersebut memuat tujuh poin, dua diantaranya adalah peringatan dan perintah kepada seluruh penganut/pengurus Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya serta peringatan dan perintah agar semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa dua item tersebut cukup adil sehingga diharapkan dapat menghentikan kekerasan demi kekerasan terhadap JAI. Namun sejumlah pihak, terutama dari kalangan pemerhati hak-hak asasi manusia menganggap SKB itu tidak adil, disamping melanggar hak-hak asasi manusia kaum Ahmadiyah, bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia dan tidak realistis sehingga tidak akan mengakhiri masalah.

Setelah dua tahun berlalu, SKB tiga menteri itu tidak berhasil. Konflik dan tindak kekerasan tetap terjadi sebagaimana sebelumnya. Pada tanggal 6 Februari 2011 ribuan warga


(15)

menyerang kelompok Jema’ah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang-Banten, tiga orang tewas dan puluhan menderita luka-luka. Peristiwa ini menambah catatan panjang tentang aksi kekerasan yang dialami oleh kelompok Ahmadiyah. Berdasarkan laporan Tempointeraktif sejak tanggal 14 Juli 2010, kekarasan terhadap kelompok ini sudah terjadi 14 kali di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini mencerminkan bahwa kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah seperti sebelum penetapan SKB itu relatif tidak berubah.

Paska pecahnya aksi kekerasan di Cikeusik, debat mengenai keberadaan Ahmadiyah kembali menjadi hangat. Beragam komentar bermunculan. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Amidan, dan beberapa tokoh lain tetap memberi dua opsi bagi Ahmadiyah; bubar atau mendeklarasikan diri sebagai penganut agama baru. Abdul Kadir Karding menilai bahwa masalahnya bukan pada muatan SKB, melainkan pada sosialisasi yang tidak berjalan. Sementara Azumardi Azra menilai bahwa perulangan kekerasan pasca penetapan SKB tidak terlepas dari keberadaan pemahaman Islam radikal di Indonesia, suatu kelompok yang melihat pemahaman non-mainstream salah dan membenarkan aksi-aksi kekerasan. Dalam sebuah tulisannya, Syaiful Mujani membenarkan hal tersebut dan menilai kondisinya diperburuk oleh ketakutan pemerintah, DPR dan para penegak hukum karena beragam alasan yang bernuansa kepentingan politik. Ulil Abshar Abdallah melihat bahwa muatan SKB itu memang tidak realistis karena keyakinan adalah sesuatu yang tidak mungkin dilarang, dan sejatinya bertentangan dengan undang-undang yang menegaskan bahwa Negara menjamin kemerdekaan setiap agama untuk menganut kepercayaan dan keyakinan.

Jika dilihat dari akar permasalahannya, protes terhadap Ahmadiyah bukanlah karena namanya Ahamadiyah, melainkan karena anggapan penyimpangan akidah, yakni pengakuan atas kenabian Mirza Gulam Ahmad dan al-Tazkirah sebagai kitab suci. Disamping itu, mereka juga


(16)

dianggap eksklusif dengan indikator tidak mau menjadi makmum selain kepada sesamanya Ahmadiyah dan cenderung menutup diri dalam pergaulan sehari-hari.

Hanya saja, gambaran di atas tidak bersumber dari penuturan Ahmadiyah sendiri sehingga kemungkinan terjadi distorsi. Pengikut Ahmadiyah sesungguhnya tetap mengakui Muhammad sebagai Nabi terakhir (nabi tasyri’), atau yang secara popular dikenal dengan khatam an-nabiyyin. Perbedaan konsep dalam hal ini hanya pandangan Ahmadiyah tentang posisi Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dzilli (nabi bayangan) yang bertugas untuk mengembangkan ajaran Muhammad. Kemudian dari segi sumber ajaran, seperti dikemukakan seorang da’i Ahmadiyah di NTB, Saiful Uyun, Ahmadiyah juga menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber pokok ajarannya. Mereka tidak memosisikan al-tadzkirah sebagai kitab suci dan menyadarinya sebagai karya seorang Mirza Ghulam Ahmad.

Fenomena keberagamaan di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik dan unik. Di negeri ini hidup dan berkembang berbagai agama. Keberadaan Ahmadiyah yang disebut-sebut sebagai aliran dalam Islam melahirkan opini bagi dua media, Tempo dan Sabili.

Perhatian Tempo dan Sabili tentang Ahmadiyah diawali ketika terjadinya penyerbuan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten tanggal 6 Februari 2011 lalu. Tempo mengangkat kasus ini pertama kali sebagai laporan utama pada edisi 14-20 Februari 20011. Pada edisi ini, Tempo mengupas tuntas kronologi penyerbuan terhadap Jamaah Ahmadiyah dan reaksi pemerintah terhadap kasus ini.

Selanjutnya pada edisi 21-27 Februari Tempo kembali mengangkat berita seputar Ahmadiyah ini dalam rubrik laporan utama. Sedikit berbeda dari edisi sebelumnya, dalam edisi ini titik sasaran pemberitaan Tempo adalah tentang Front Pembela Islam (FPI). Namun demikian,


(17)

Tempo masih mengaitkan kasus yang terjadi di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang tanggal 6 Februari silam dengan FPI. Menurut Tempo, organisasi massa ini terlibat dalam kasusus yang menewaskan tiga anggota Ahmadiyah ini.

Berita tentang Jamaah Ahmadiyah kembali diangkat Tempo pada edisi 7-13 Maret 2011. Dalam edisi kali ini Tempo tertarik untuk membahas seputar aksi sejumlah kepala daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah di wilayah mereka. Dijelaskan kepala-kepala daerah yang turun tangan tersebut antara lain gubernur Jawa Timur, walikota Samarinda, dan gubernur Jawa Barat.

Demikian halnya dengan majalah Sabili, majalah yang terbit sekali dua minggu ini juga menempatkan berita tentang Jamaah Ahmadiyah ini dalam Telaah Utama-nya (laporan utama) pada edisi 14 Tahun XVIII 3 Maret 2011. Dalam edisi ini, Sabili memaparkan kronologi kerusuhan yang terjadi di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten menurut “kacamata” wartawannya.

Berita tentang Ahmadiyah kembali diangkat Sabili pada edisi berikutnya, edisi 15 Tahun XVIII 17 Maret 2011. Kali ini Sabili menempatkan berita tentang Ahmadiyah ini pada rubrik Indonesia Kita dengan inti sari berita seputar aksi unjuk rasa menuntut pembubaran Ahmadiyah di tanah air. Sabili mengangkat wacana Ahmadiyah bukan Islam, sebab itu harus dibubarkan.

Selanjutnya, Sabili edisi 16 Tahun XVIII 7 April 2011 yang memuat tentang keberhasilan unjuk rasa menuntut pembubaran Ahmadiyah yang dilakukan organisasi-organisasi massa Islam. Ditempatkan di rubrik yang sama dengan edisi sebelumnya, Indonesia Kita membahas reaksi-reaksi beberapa kepala daerah terhadap keberadaan Ahmadiyah ini.

Media dan berita yang diproduksi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Kaum pluralis melihat media sebagai saluran yang bebas dan netral, semua pihak dapat menyampaikan


(18)

pandangannya secara bebas. Sedangkan kaum kritis berpandangan sebaliknya. Media bukanlah saluran yang bebas, tetapi dimiliki oleh kelompok yang dominan, untuk memproduksi ideologi yang dominan pula. (Eriyanto, 2009:36)

Antonio Gramsci memandang media sebagai ruang di mana berbagai ideologi dipresentasikan. Ini berarti media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun, di sisi lain media juga dapat menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media dapat menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga dapat menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. (Sobur, 2009:30)

Setiap media massa memiliki karakter dan latar belakang tersendiri, baik dalam isi dan pengemasan beritanya, maupun dalam tampilan serta tujuan dasarnya. Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh kepentingan yang berbeda dari masing-masing media massa. Baik yang bermotif politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Bambang Harimukti bahwa media masa merupakan kumpulan banyak organisasi dan manusia dengan segala kepentingannya yang beragam, bahkan termasuk yang saling bertentangan. (Septiawan, 2005)

Keanekaragaman kepentingan pada media massa adalah hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwasanya media massa ada yang memiliki kepentingan politik, karena ia didanai dan didukung oleh kekuatan politik tertentu, dan media massa juga ada yang bermotifkan ekonomi, dimana keuntungan secara materil adalah satu-satunya target dari media tersebut. Begitupun yang bermotifkan agama, dimana media massa didirikan oleh kelompok agama tertentu untuk menyampaikan ajaran agamanya.


(19)

Adanya kepentingan dari media massa turut mempengaruhi berita yang disampaikan kepada khalayak. Dan dari sini maka munculah sebuah anggapan bahwa fakta yang disampaikan bukanlah fakta yang objektif, melainkan fakta yang telah dikonstruksi oleh media atau penulisnya/wartawan dengan latar belakang kepentingan tertentu.

Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses konstruksi, mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak. (Eriyanto, 2011:26)

Artinya berita yang diproduksi tidak dihasilkan dalam sebuah ruang hampa. Akan tetapi ada orang-orang atau pihak yang terlibat dalam proses melahirkan sebuah berita, beserta apek kepentingan dan konflik yang menyertainya.

Dari penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana teks atau isi berita untuk melihat ideologi, makna yang terkandung, serta proses pembingkaian dalam pemberitaan tentang Ahmadiyah pada majalah Tempo dan Sabili.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimana majalah Tempo dan Sabili membingkai berita tentang Ahmadiyah melalui analisis framing versi Robert N. Entman.”


(20)

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan agar jelas terarah sehingga tidak akan mengaburkan makna penelitian, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut:

1. Penelitian hanya dilakukan pada majalah Tempo dan Sabili

2. Penelitian hanya dilakukan pada pemberitaan mengenai Ahmadiyah

3. Penelitian dilakukan pada majalah Tempo dan Sabili yang terbit pada bulan Februari sampai dengan April 2011

Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian:

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pandangan dan posisi majalah Tempo dan Sabili terkait pemberitaan tentang Ahmadiyah.

2. Untuk melihat penilaian moral yang diberikan majalah Tempo dan Sabili terhadap Ahmadiyah.

3. Untuk mengetahui rekomendasi apa yang diberikan majalah Tempo dan Sabili terhadap Ahmadiyah.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya khasanah penelitian yang menggunakan teori komunikasi dan memperluas cakrawala penelitian tentang pemberitaan di media cetak.


(21)

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian khususnya dalam bidang ilmu komunikasi.

3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan.


(22)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Paradigma Konstruktivis

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. (Eriyanto, 2011:43)

Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Disini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat dan diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima. (Eriyanto, 2011: 46)

Paradigma konstruksionis ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger. Bersama Thomas Luckman, ia banyak mengembangkan


(23)

utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal dalam masyaraktnya.

Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger dalam Eriyanto (2011: 16-17) menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mngeti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi –kebudayaan-itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa.

Baik alat maupun bahasa tadi adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “disana” bagi setiap orang. Realitas


(24)

objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

ketiga, eksternalisasi. Proses internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagi gejala realitas di luar kesadrannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.

Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, namun tidak juga turun karena campur tangan Tuhan. Tapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi (Eriyanto, 2011: 18-21) dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda atau plural. Oleh sebab itu realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh setiap orang. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau kehidupan sosial tertentu, dimana kesemua itu suatu saat akan digunakan untuk menafsirkan realitas sosial yang ada disekelilingnya dengan konstruksinya masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis.

Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan juga mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan hal itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bila merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.


(25)

Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. (Eriyanto, 2011: 17)

Demikian halnya ketika seseorang melakukan wawancara. Ketika seseorang mewawancarai narasumber, disana terjadi interaksi antara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan ditulis sedemikian rupa kedalam berita. Disana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan juga sudut penggambaran yang dibuat oleh pewawancara yang membatasi pandangan narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilkan wawancara yang kita baca disurat kabar atau kita lihat di televisi.

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan dipaparkan dengan uraian berikut.

Fakta/ Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas itu berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukan sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta atau realitas pada dasarnya dikonstruksi.


(26)

Media Adalah Agen Konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan.

Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu difahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas (copy of reality). Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita dianggap tidak salah, tetapi difahami sebagai suatu kewajaran. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaedah baku jurnalistik. Sumber proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.


(27)

Berita Bersifat Subjektif/ Konstruksi Atas Realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang baku. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai.

Jika terdapat perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas. Penempatan sumber berita yang menonojol dibandingkan dengan sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain; liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok; kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Konstruksi wartawan dalam memaknai realitas yang secara strategis menghasilkan laporan yang semacam itu.

Wartawan Bukan Pelapor. Ia agen Konstruksi Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan abaian dari intrinsik dalam pembentukan berita. Berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Wartawan juga dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefenisikan apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pandangan mereka.


(28)

Etika, Pilihan Moral dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita. Pendekatan konstruksionis menilai aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, seperti apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu- umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan sbubjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebaggai penjelas, tapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.

Subjektivitas wartawan tidak bisa dihilangkan. Karena pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif-bukan hanya melibatkan fakta, tetapi juga keinginan dan motivasi yang berbau subjektif.

Nilai, Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral Dalam Penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. campur tangan penelitian yang dalam banyak hal bisa berupa keberpihakan atau pilihan moral, sedikit-banyak akan mempengaruhi bagaimana realitas itu dimaknai dan dipahami. Objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilan temuan yang berbeda pula.


(29)

Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Pandangan konstruksionis menganggap khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/ berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi.

Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunanan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksi (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.

Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi atau alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media baik media cetak maupun elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal seperti kata-kata tertulis atau lisan maupun menggunakan bahasa non-verbal berupa gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka dan tabel.


(30)

Paradigma konstruksionis ingin menjelaskan adanya sesuatu di balik hal itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang media itu sendiri. Sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan proses pembentukan isi media tersebut.

Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di balik hasil konstruksi tersebut. Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar pengelolaan media. Faktor-faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak diarahkan.

Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches). Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan organisasi mengatakan bahwa pihak pengelola media yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Terdapat mekanisme pemilihan nilai-nilai berita di dalamnya.

Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach). Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi-politik dengan pendekatan organisasi. Proses pembentukan berita merupakan mekanisme yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal media. Media yang memiliki pola aturannya sendiri tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi-politik di luar media. Hanya pengaruh eksternal media terhadap internal media pada pendekatan kulturalis berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan-pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh eksternal pada pendekatan kulturalis tidaklah secara langsung (pengaruhnya seperti tidak disadari oleh media).


(31)

Sedangkan pada pendekatan ekonomi-politik, pengaruh eksternalnya langsung dan koersif. Sehingga produk media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (dalam Agus Sudibyo, 2001:7) juga meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa sedikit banyak mempengaruhi apa yang akan ditampilkan oleh media. Selain itu, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik atau organisasi massa sedikit banyak juga dapat mempengaruhi pemberitaan.

Kedua, level rutinitas media (media riutine). Rutinitas media berhubungan dengan

mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media tentu memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria berita yang baik. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa yang hendak diliput, akan ditentukan bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang akan menjadi penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Ini semua akan mempengaruhi bagaimana bentuk akhir sebuah berita.

Ketiga, level organisasi. Level ini berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang


(32)

ada di dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Dalam organisasi media terdapat, selain redaksi, ada bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Bagian-bagian ini tidak selalu sejalan satu sama lain karena mempunyai tujuan dan target masing-masing. Sekaligus strategi yang berbeda-beda pula dalam mewujudkan target itu ketika bagian redaksi menginginkan agar berita tertentu yang menjadi headline belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain menginginkan berita yang sama.

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan

media. Ada beberapa faktor pula yang termasuk ke dalam level ini, yaitu:

1. Sumber berita, sumber berita bukan sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber berita melakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang baik baginya dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan mereka sering tidak disadari oleh media. Lalu, media secara tidak sadar pula, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber tersebut.

2. Sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/ pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup.” Kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan mengesampingkan untuk meliput peristiwa buruk (kasus) yang berkaitan dengan pihak pengiklan mereka. Pihak pengiklan sendiri pun dapat memaksakan versinya (tentang kasus) kepada media. Media juga


(33)

tidak akan menyia-nyiakan untuk meliput peristiwa yang disenangi banyak khalayak. Walaupun terkadang tidak masuk dalam kriteria kelayakan berita media tersebut. 3. Pihak eksternal (pemerintah atau lingkungan bisnis). Pengaruh ini sangat bergantung

pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media-media yang tumbuh di dalam negara otoriter, akan merasakan pengaruh pemerintah yang sangat dominan dalam menentukan berita yang disajikan. Negara akan menentukan mana yang boleh diberitakan dan mana yang tidak boleh diberitakan. Media harus mengikuti berbagai lisensi yang dikeluarkan pemerintah, jika masih ingin terbit. Hal ini berbeda pada media yang tumbuh di dalam negara yang demokratis ataupun liberal. Campur tangan pemerintah sangat minim, bahkan tidak ada. Pengaruh yang besar malah datang dari lingkungan bisnis/pasar. Akan muncul persaingan-persaingan anatar media untuk menjadi yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.

4. Ideologi. Ideologi dalam hal ini diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini merupakan hal yang abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dapat dilihat kepada yang berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi dengan ideologi yang sudah ada di dalam masyarakat.

Hal-hal inilah yang selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari bentukan media-media massa. Hal-hal yang dipaparkan oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese serta yang diungkapkan dari studi media di atas yang akan dianalisis teks berparadigma konstruksionis ini.


(34)

II.2 Analisis Framing

Analisis framing merupakan versi yang paling baru dari pendekatan analisis wacana untuk menganalisa teks media. Gagasan mengenai anlisis framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955. Frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Lebih jauh, konsep tersebut dikembangkan oleh Goffman pada tahun 1974. Goffman mengatakan frame merupakan kepingan perilaku-perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Analisis framing merupakan sebuah model analisis (yang berasal dari paradigma konstruktivisme), mengungkap rahasia di balik semua perbedaan (bahkan pertentangan) media yang dapat digunakan untuk menguak fakta yang tersembunyi. Model analisis yang dapat membantu dalam mengetahui bagaimana realitas di lapangan dibingkai oleh media. Sebab media yang berada di tengah-tengah realitas sosial, terlebih dahulu akan memahami realitas tersebut, memaknainya, dan akan mengkonstruksinya dengan bentukan dan makna tertentu.

Kita keliru jika menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kita lah yang memberi makna pada kata-kata tersebut. Dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, tergantung pada konteks ruang dan waktu. (Dedy Mulyana, 2005:255)

Analisis framing, analisis yang digunakan untuk melihat konteks sosial budaya suatu wacana. Khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Untuk menganalisa siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si penindas dan si


(35)

tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang di-inkonstitusional, kebijakan publik mana yang harus didukung dan tidak boleh didukung, dan sebagainya.

Analisis inilah yang dipakai untuk melihat bagaimana upaya media menyajikan sebuah

event yang mengesankan objektivitas, keseimbangan, dan non-partisipan dan mengemasnya sedemikian rupa sehingga khalayak mudah tergiring ke dalam kerangka pendefenisian realitas tertentu yang dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol dan sistem logika tertentu.

Bidang komunikasi sendiri memandang analisis framing sebagai alat yang dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan peraturan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk mengiring interpretasi khalayak sesuai sudut pandang yang dimilikinya. Dengan kata lain analisis ini merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui bagaimana seorang wartawan dalam memandang dan memahami suatu masalah, menyeleksinya, dan membuatnya menjadi sebuah berita. Dan pada akhirnya, caranya memandang sebuah masalah itulah yang menentukan fakta mana yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan, atau dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut nantinya.

Makna sebuah peristiwa yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa sebenarnya adalah suatu konstruksi makna yang temporer, rentan, dan terkadang muskil. Peristiwa-peristiwa yang dilaporkan tersebut, berita sekalipun, bukanlah peristiwa yang sebenarnya terjadi. Proses persepsi selektif yang diperankan oleh wartawan dan para editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul berita, ukuran huruf untuk judul, penempatan tiap-tiap berita (halaman depan, tengah, atau belakang-untuk media cetak),


(36)

pengulangan-pengulangan, pemakaian grafis, pemberian label kepada orang atau peristiwa yang diberitakan, pertanda penting atau tidaknya berita itu, panjang atau tidaknya laporan, komentar siapa dan komentar mana yang akan dibuang, yang setidaknya akan menunjukkan keberpihakan media itu. Dengan begitu, berita-berita yang mereka sampaikan merupakan realitas yang diciptakan, yang diinginkan mengenai peristiwa atau kelompok orang yang dilaporkan.

Berita sebenarnya merupakan laporan peristiwa yang artifisial setelah melewati beberapa proses seleksi dan reproduksi. Tetapi dapat diklaim sebagai objek oleh media itu untuk mencapai tujuan ideologis dan mungkin juga bisnis. Dengan kata lain, media massa bukan sekedar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna.

Pippa Noris, Montague Kern, dan Marion Just dalam buku Framing Terrorism (Pippa Noris et al, 2003:11) pun menyimpulkan framing; “The essence of framing is selection to proriotize some facts, images, or develovments over others, there by unconsciously promoting one particular interpretation of events.” Mereka menyatakan bahwa esensi framing itu adalah sebuah penyeleksian yang bertujuan untuk memprioritaskan beberapa fakta, gambaran, atau perkembangan-perkembangan di atas hal-hal lainnya, oleh karena itu secara tidak sadar akan menonjolkan penafsiran yang sebahagian (bukan pemahaman secara menyeluruh) dari kejadian-kejadian.

Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta/ realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi karena wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinann, yaitu pada apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain,


(37)

memberikan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengangn kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentual foto dan gambar apa dan sebagainya. Pemakaian kata, kalimat atau foto merupakan implikasi dari memilih aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi benar-benar menonjol, lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan dipengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. (Eriyanto, 2011:79-81)

Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hati pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita. Apa yang dilaporkan oleh media seringkali merupakan hasil dari pandangan mereka (predisposisi perseptuil) wartawan ketika melihat dan meliput peristiwa. Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita secara radikal berbeda. (Eriyanto, 2011:97-99)

Framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan) melainkan juga berhubungan dengan proses produksi berita, kerangka kerja dan rutinitas organisasi media. Bagaimana peristiwa dibingkai, kenapa peristiwa dipahami dalam kerangka tertentu atau bingkai


(38)

tertentu, tidak bingkai orang lain, bukan semata-mata disebabkan skema struktur wartawan, melainkan juga rutinitas kerja dan institusi media yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemaknaan media.

Wartawan hidup dalam institusi media dengan seperangkat aturan, pola kerja dan aktivitas masing-masing, maka yang terjadi adalah institusi media itu yang mengontrol dalam pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa dalam kemasan tertentu. Atau bisa juga terjadi wartawan sebagai bagian dari anggota komunitas menyerap nilai-nilai yang ada dalam komunitasnya. Wartawan hidup dan bekerja dalam suatu intitusi yang mempunyai pola kerja, kebiasaan, aturan, norma, etika, dan rutinitas tersendiri. Semua elemen proses produksi berita tersebut mempengaruhi bagaimana peristiwa dipahami. Secara umum sebagai bagian dari komunitas tertentu, wartawan akan menyerap nilai-nilai kelompok dalam pandangannya secara pribadi.

Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Dari defenisi yang sederhana ini saja sudah tergambar apa efek framing. Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas begitu kompleks, penuh dengan dimensi, maka ketika dimuat dalam berita bisa jadi menjadi akan menjadi realitas satu dimensi.

Framing berhubungan dengan penafsiran realitas. Bagaimana peristiwa dipahami dan siapa sumber yang diwawancarai. Semua elemen tersebut tidak dimaknai semata sebagai masalah teknis jurnalistik, tetapi sebuah praktik. Berbagai praktik tersebut bisa mengakibatkan pendefenisian tertentu atas realitas. Peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita yang berbeda,


(39)

dan pada akhirnya menghasilkan realitas yang berbeda pula ketika peristiwa itu dibingkai dengan cara yang berbeda.

Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dengan dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi logika tertentu. Framing menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses informasi ke dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu.

Ada tiga ciri utama dari sebuah frame. Yang pertama yaitu menonjolkan aspek tertentu-mengaburkan aspek lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam penulisan sering disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lain yang tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari persfektif politik misalnya, mengabaikan aspek lain seperti ekonomi, sosial, dan sebagainya. Misalnya, pemberitaan media dalam skandal sebuah bank. Pemberitaan banyak memberitakan kasus ini dalam aspek ekonomi. Masalah teknis ekonomi, berapa kerugian ekonomi dari skandal bank tersebut dan seterusnya, sering menjadi berita utama. Pemberitaan yang terus menerus dari aspek ekonomi ini mengaburkan masalah tersebut sebagai masalah politik.

Yang kedua yaitu menampilkan sisi tertentu-melupakan sisi lain. Sebut misalnya pemberitaan media mengenai aksi mahasiswa. Berita misalnya banyak menampilkan bagaimana demonstrasi itu akhirnya diwarnai dengan bentrokan. Berita secara panjang dan lebar menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekad menembus barikade dan akhirnya


(40)

diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang luka-luka. Dengan menampilkan sisi yang seperti ini saja dalam berita, mengakibatkan ada sisi lain yang dilupakan. Yakni, apa tuntutan dari mahasiswa tersebut? Seolah dengan menggambarkan berita seperti itu, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud mencari sensasi dan berusaha membuat keributan saja di tengah masyarakat. Berita misalnya, ditandai dengan gerutukan supir angkot yang tidak suka dengan demonstrasi karena menyebabkan kemacetan. Disini menampilkan aspek tertentu menyebabkan aspek lain yang lebih penting dalam memahami realitas tidak mendapatkan liputan yang memadai dalam berita.

Ciri yang ketiga adalah menampilkan aktor tertentu-menyembunyikan aktor lain. Berita seringkali juga mempfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Ini tentu saja tidak salah. Tetapi efek yang segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan menjadi tersembunyi. (Eriyanto, 2011: 165-168)

Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari lapangan psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat dalam dua tradisi, yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh pemikiran Ervinm Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklarifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari


(41)

Robert N. Entman mengelompokkan konsep framing ke dalam dua dimensi. Pertama,

seleksi isu, dan kedua penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/ isu tertentu dan dapat mengabaikan isu-isu lainnya yang anggap media tersebut tidak penting. Penekanan ataupun seleksi yang dilakukan dapat diartikan: membuat informasi terlihat jelas, lebih bermakna atau mudah diingat oleh khalayak. Pada akhirnya isu yang dipilih tersebut dikonstruksi sedemikian rupa sehingga memiliki makna.

II.2.1 Seleksi Isu

Aspek ini berkaitan dengan pemilihan fakta. Bagaimana yang akan diliput oleh wartawan dari suatu isu/peristiwa? Aspek memilih fakta tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fakta itu difahami oleh media. Ketika melihat sebuah peristiwa, wartawan harus memakai kerangka konsep dan abstraksi dalam menggambarkan realitas. Misalnya sebuah berita tentang tindakan petani tebu yang membakar perkebunan tebu dianggap sebagai tindakan anarkis, maka realitas yang akan dibentuk wartawan tidak menguntungkan petani. Sebaliknya jika tindakan tersebut dimaknai sebagai bentuk perlawanan para petani, maka realitas yang dibentuk menguntungkan petani.

Entman menyebut ada empat cara yang sering dilakukan media dalam proses pendefenisian peristiwa. Keempat cara itu merupakan strategi media, dan membawa konsekuensi tertentu atas realitas yang terbentuk oleh media. Pertama pendefenisian masalah (problem

identification) adalah yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini

merupakan bingkai yang paling utama. Elemen ini menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Sewaktu timbul permasalahan atau peristiwa, bagaimana permasalahan atau peristiwa itu dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Bingkai yang


(42)

berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda pula, maka tidak jarang orang bingung terhadap berita-berita yang dimunculkan media karena adanya perbedaan tadi.

Kedua, memperkirakan penyebab masalah (causal interpretation), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap aktor dari sebuah peristiwa. Penyebabnya dapat berupa apa (what) ataupun siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Oleh sebab itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain, pendefenisian sumber masalah ini menyertakan secara lebih luas siapa yang dianggap sebagai pelaku dan siapa yang dianggap sebagai korban.

Ketiga, membuat pilihan moral (moral evaluation), yaitu elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/ memberi argumentasi pada pendefenisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefenisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip adalah yang berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh masyarakat.

Keempat, menekankan penyelesaian (treatment recommendation), adalah elemen yang dipakai untuk melihat apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan seperti apa yang disajikan oleh wartawan untuk menyelesaikan masalah. Dimana penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa dipandang sebagai penyebab masalah.

II.2.2. Penonjolan Aspek Tertentu dari Suatu Isu

Penonjolan sebuah aspek yang tertentu ini sangat berkaitan dengan penulisan fakta. Proses tersebut sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk


(43)

melainkan sebagi politik bahasa. Bagaimana sebuah bahasa-yang dalam hal ini umumnya pilihan kata-kata yang dipilih, dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu, namun juga membatasi persepsi dan mengarahkannya pada cara berfikir dan keyakinan tertentu. Dengan kata lain, kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang dalam melihat dari sudut pandang lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan mengarahkannya untuk memahami suatu peristiwa. Hilang sudah kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya terjadi.

II.3. Teori Gatekeeper

Salah satu konsep penting untuk memahami cara kerja komunikasi massa adalah konsep “penjaga gawang” (gatekeeper). Seorang yang disebut sebagai gatekeeper adalah orang-orang yang--dengan memilih, mengubah, dan menolak pesan—dapat mempengaruhi aliran informasi kepada seseorang atau sekelompok penerima. Meskipun konsep “penjaga gawang” ini dapat diterapkan pada konteks-konteks komunikasi lainnya, konsep ini khususnya sangat relevan bagi komuniksi massa. (Tubbs, 2005:202)

Pada dasarnya komunikasi massa adalah komuniksi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Komunikasi massa berasal dari perkembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa adalah media atau saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern. Jadi, media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa. (Nurudin, 2004:2-3)

Dalam komunikasi massa kita membutuhkan gatekeeper (penapis informasi atau palang pintu) yakni beberapa individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirim


(44)

informasi dari individu atau kelompok yang bertugas menyampaikan atau mengirim informasi dari individu ke individu yang lain melalui media massa (surat kabar, majalah, televisi, radio, video, tape, compact disk, buku). Defenisi yang dikemukakan Bittner di atas menekankan akan arti pentingnya gatekeeper dalam proses komunikasi massa.

Gatekeeper atau yang sering disebut panapis informasi/ palang pintu atau penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa.

Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas, agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami.

Istilah gatekeepers pertama kali digunakan oleh Kurt Lewin dalam bukunya Human Relation (1974). Istilah ini mengacu pada proses: (1) suatu pesan berjalan melalui berbagai pintu, selain juga pada (2) orang atau kelompok yang memungkinkan pesan lewat. Gatekeepers dapat berupa seseorang atau satu kelompok yang dilalui suatu pesan dalam perjalannya dari sumber kepada penerima. (Ardianto, 2004:42)

Gatekeeper itu sedemikian penting sehingga menjadi ciri dalam komunikasi massa karena-sebagaimana kita ketahui, bahan-bahan, peristiwa atau data yang menjadi bahan mentah pesan yang akan disiarkan media massa itu beragam dan sangat banyak. Tentu tidak semua akan disiarkan media massa itu. Disnilah perlu ada pemilahan, pemilihan dan penyesuaian dengan media yang bersangkutan. Misalnya, televisi sangat berkepentingan untuk melihat gerak isyarat dari para kandidat calon presiden ketika melakukan kampanye. Sementara pihak media cetak hanya bisa menceritakannya, atau didukung oleh foto, tetapi tidak semua bisa diambil. Media cetak perlu memilih mana gerak yang paling menarik. Perbedaan demikian akan mempengaruhi pesan-pesan yang disebarkan.


(45)

Fungsi utama gatekeeper adalah menyaring pesan yang akan diterima seseorang. Ketika menyampaikan pesan tersebut, gatekeeper mungkin memodifikasinya dengan berbagai cara dan alasan. Gatekeeper membatasi pesan yang diterima komunikan. Editor surat kabar, majalah, penerbitan juga disebut gatekeeper. Mereka melewatkan sebagian informasi dan menahan yang lainnya. Seorang gatekeeper dapat memilih, mengubah, bahkan menolak pesan yang akan disampaikan kepada penerima. (Ardianto: 2004:43)

Untuk membahas lebih jauh tentang gatekeeper ini, berikut diilustrasikan skema fungsi

gatekeeper.

Skema 1. Fungsi Gatekeeper

Pesan-pesan (M1, M2, M3) diterima oleh gatekeeper dari berbagai sumber yang berbeda (S1, S2, S3). Dalam hal ini pesan diseleksi oleh getekeeper. Selanjutnya getekeeper selektif menyampaikan pesan-pesan tersebut (MA, MB, MC) kepada komunikan yang berbeda (R1, R2, R3). Aspek terpenting yang harus diperhatikan melelui proses ini adalah bahwa pesan-pesan

G A T E K E E P E R MA MB MC S1 S2 S3 M1 M2 M3 R1 R2 R3


(46)

yang diterima getekeepers (M1, M2, M3) tidak sama dengan pesan-pesan yang dikirim oleh

getekeepers (MA, MB, MC).

Keputusan penjaga gawang mengenai informasi mana yang harus dipilih dan ditolak dipengaruhi oleh banyak variabel. Bittner (1985) dalam Tubbs (2005: 204-205) mengidentifikasikan variabel-variabel berikut.

Pertama, ekonomi. Kebanyakan media massa di negeri ini mencari keuntungan, atau sangat peduli dengan bagaimana uang diperoleh dan dibelanjakan. Maka, para pemasang iklan, sponsor dan kontributor dapat mempengaruhi seleksi berita dan editorial.

Kedua, pembatasan legal. Yang dimaksud dengan pembatasan legal adalah semacam hukum atau peraturan baik yang bersifat lokal maupun nasional yang dapat mempengaruhi seleksi dan penyajian berita. Contohnya seperti peraturan tentang film yang dikategorikan untuk orang dewasa di televisi harus ditayangkan pada jam-jam tertentu, hukum mengenai pencemaran nama baik dan sebagainya.

Ketiga, batas waktu (deadline). Batas waktu juga mempengaruhi kedalaman dan waktu yang tersedia untuk menentukan kecermatan berita yang dipilih. Batas waktu juga mempengaruhi apa yang akan disiarkan. Bila hanya sedikit waktu yang tersedia, penjaga gawang membuat pilihan-pilihan mengenai tingkat pentingnya berita. Bila penjaga gawang harus memilih antara dua berita yang bernilai sama, biasanya berita yang dilengkapi vidio-lah yang terpilih.

Keempat, etika pribadi dan profesional penjaga gawang juga mempengaruhi berita yang akan dipilih. Etika pribadi dan tingkat kesadaran penjaga gawang akan kepercayaannya


(47)

mempengaruhi seleksi berita, Misalnya, seorang kolumnis keuangan dapat mempengaruhi saham suatu perusahaan lewat tulisannya dan memperbolehkan teman-temannya memperoleh informasi dalam pracetak tulisan itu.

Faktor kelima adalah kompetisi diantara media. Dalam sebuah pasar dengan beberapa sumber, kompetisi demikian cenderung meningkatkan semua tingkat profesionalisme sehingga menjamin penyajian informasi yang lebih objektif. Dipihak lain, suatu kota dengan hanya terdapat sebuah surat kabar biasanya memperoleh satu pandangan redaksi surat kabar.

Keenam, nilai berita (intensitas suatu berita dibandingkan dengan berita-berita lainnya yang tersedia) dan lubang berita (jumlah ruang dan waktu yang diperlukan untuk menyajikan berita), harus diseimbangkan. Selain menyeimbangkan kedua hal ini, penjaga gawang harus menilai pandangan-pandangan lokal dan pandangan-pandangan nasional, Misalnya, berapa banyak waktu yang dialokasikan untuk suatu kampanye nasional yang baru untuk mengkonservasi air ketika presiden baru saja menyampaikan pengumuman penting mengenai kebijakan luar negeri.

Faktor lain yang mempengaruhi penjaga gawang untuk memilih atau menolak berita adalah reaksi terhadap umpan balik, meskipun umpan balik itu tertunda. Misalnya, bila sebuah kartun politis menyinggung sebuah kelompok etnik, dan kelompok tersebut memiliki wakil yang menulis surat keberatan atau menuntut permohonan maaf terbuka, maka seorang editor majalah mungkin akan berpikir matang sebelum memuat kartun seperti itu lagi.

Gatekeeper yang dimaksud antara lain reporter, editor film/surat kabar/buku, manajer pemberitaan, penjaga rubrik, kameramen, sutradara dan lembaga sensor film yang semuanya mempengaruhi bahan-bahan yang akan dikemas dalam sebuah pesan-pesan dari media massa masing-masing.


(48)

Gatekeeper juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah data dan mengurangi pesan-pesannya. Intinya, adalah pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa, semakin kompleks sistem media yang dipunyai semakin banyak pula gatekeeping (pemalangan pintu atau pentapisan informasi) yang dilakukan. Bahkan bisa dikatan, gatekeeper sangat menentukan berkualitas tidaknya informasi yang akan disebarkan. Baik buruknya dampak pesan yang disebarkan pun tergantung pada fungsi pentapisan informasi atau pemalangan pintu ini (Nurudin, 2004:24).

Demikian halnya dengan Majalah Kompas dan Sabili dalam menciptakan berita mengenai Ahmadiyah. Kedua majalah ini pasti memiliki gatekeeper yang menyeleksi informasi-informasi yang telah didapatkan sebelumnya di lapangan. Gatekeepers tersebutlah yang menjadi penentu akhir apakah sebuah fakta layak untuk dijadikan sebuah berita atau tidak. Maka seorang

gatekeeper bertanggung jawab penuh terhadap apa yang telah diberikannya.

Dalam pola komunikasi tatap muka atau komunikasi kelompok jelas tidak harus dibutuhkan gatekeeper. Tetapi dalam komunikasi massa, hal demikian tidak bisa dihindari.

Gatekeeper keberadaannya sama pentingnya dengan peralatan mekanis yang harus dipunyai media dalam komunikasi massa. Oleh karena itu, gatekeeper menjadi keniscayaan keberadaannya dalam media massa dan menjadi salah satu cirinya.


(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hasil pemikiaran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan analisis framing oleh Robert N. Entman. Pendekatan ini menggunakan empat perangkat unit analisis untuk melihat bagaimana sebuah media membingkai suatu masalah: pendefenisian masalah (define problem), memperkirakan sumber masalah (diagnoses causes), membuat keputusan moral (make moral judgement), dan menekankan penyelesaian (treartment recommendation). (Eriyanto, 2011:188-193)

3.2. Operasional Konsep

Operasional konsep berguna untuk memudahkan kerangka konsep dalam operasionl: Pendefenisian masalah (define problem): penyerangan Ahmadiyah itu dilihat sebagai apa. Memperkirakan sumber masalah (diagnoses causes): siapa yang menyebabkan penyerangan itu terjadi, dan pernyerangan itu disebabkan oleh apa. Membuat keputusan moral (make moral judgement): nilai moral apa yang disajikan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menekankan penyelesaian (treartment recommendation): jalan yang ditawarkan untuk mengatasi masalah jamaah Ahmadiyah itu.


(50)

3.3. Deskripsi Subjek Penelitian

3.3.1. Sejarah Majalah Tempo

Majalah Tempo mulai terbit pada tanggal 6 Maret 1971. Goenawan Muhammad, Fikri Jufri dan Christianto Wibisono adalah beberapa orang dari wartawan yang memotori terbitnya

Tempo untuk pertama kali. Sebelumnya mereka tergabung sebagai wartawan di majalah Ekspress

yang terbit tahun 1969. Penerbitan ini berawal dari keinginan wartawan ini untuk membuat sebuah majalah dengan gaya jurnalistik yang berbeda.

Tempo muncul pertama kali dengan sampul pebulutangkis Minarni yang tengah beraksi di Asian Games Bangkok. Tampilan sampul terbitan perdana ini masih hitam putih yang dibagi secara gratis. Setelah itu edisi kedua Tempo mulai dijual kepada khalayak. Sepanjang tahun 1971, penjualan Tempo mampu mencapai sepuluh ribu eksemplar. Hal ini dikarenakan gaya penulisan majalah Tempo yang berbeda dengan majalah lain, dan para wartawan yang mengolahnya memang sudah berpengalaman.

Alasan pemberian nama Tempo untuk majalah ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, kata Tempo itu sendiri mudah diucapkan oleh lidah orang Indonesia. Kedua, nama ini dinilai cukup netral. Dan ketiga, kata Tempo bisa juga diartikan waktu, sebuah pengertian yang dengan segala variasinya banyak digunakan oleh penerbitan jurnalistik di seluruh dunia. Namun demikian, penggunaan kata Tempo yang juga dimaknai sebagai waktu ini pulalah yang agaknya membuat majalah Time yang didirikan Hendry Luce melakukan guatan terhadap majalah Tempo

pada tahun 1973. Majalah Time saat itu menganggap majalah Tempo telah meniru bentuk dan gaya penerbitannya. Namun, tuntutan hukum ini pada akhirnya dibatalkan pihak majalah Time


(1)

Ahmadiyah termasuk kerusuhan massa di Cikeusik, pada dasarnya Tempo dan Sabili memandang kasus ini sebagai masalah hukum. Hanya saja Tempo memandang kasus ini sebagai masalah hukum atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sedangkan majalah Sabili melihat permasalahna hukum ini ini atas dasar penodaan ideologi. Dalam setiap pemberitaan, Tempo lebih berpihak terhadap Ahmadiyah. Ahmadiyah di mata Tempo adalah warga negara yang hak asasinya dicabut, padahal Ahmadiyah juga mempunyai hak untuk memilih dan menjalankan kepercayaannya sebagaimana dijamin dalam undang-undang. Sebaliknya penilaiaan yang dilakukan terhadap ormas Islam, terutama Front Pembela Islam dan ormas Islam lainnya yang menentang keberadaan Ahmadiyah dinilai sebagai ormas radikal dan melakukan banyak pelanggaran HAM. Sedangkan Sabili lebih berpihak kepada ormas Islam. Dalam paradigma Sabili, Ahmadiyah dengan ajaran sesatnya telah melakukan penistaan terhadap agama Islam. Sedangkan ormas Islam sendiri melakukan tindakan yang wajar dalam membela kesucian agama Islam tersebut.

2. Tempo memandang penyebab dari tragedi pengusiran Ahmadiyah ini adalah kehadiran ormas Islam radikal. Dengan gaya penulisan jurnalisme investigasi yang diusung Tempo, Tempo mencoba mengungkap kasus ini secara lebih mendalam lagi. Tapi sayang dalam penulisannya ada fakta-fakta di lapangan yang coba dikaburkan oleh Tempo. Sebagai contoh pemaparan pemicu tragedi Cikeusik yang terkesan kabur. Sabili sendiri menganggap keberadaan Jamaah Ahmadiyah di tengah masyarakat lah yang menjadi penyebab keresahan warga. Singkatnya Sabili menegaskan warga akan selalu damai dan tidak akan


(2)

terjadi perkelahian massa seandainya Ahmadiyah tidak menyebarkan ajarannya di masyarakat.

3. Tempo menilai perbuatan yang dilakukan ormas Islam adalah tindakan menantang HAM dan melanggar hukum. Jamaah Ahmadiyah dinilai korban dari tindakan ormas Islam ini. Walaupun dalam pemberitaannya terkadang Tempo tidak menyebutkan narasumber. Tempo terkadang menyebutkan “menurut salah seorang saksi mata” tanpa menyebutkan identitas lengkapnya. Hal ini tentu akan mengurangi tingkat kepercayaan pembaca terhadap berita tersebut. Sabili sendiri menganggap keberadaan Jamaah Ahmadiyah ini telah menodai dan menistakan ajaran Islam dan melanggar aturan yang ada.

4. Rekomendasi yang diberikan Tempo adalah menyerahkan kasus ini kepada penegak hukum untuk ditindaklanjuti pelaku kekerasan tersebut dan pemerintah harus segera menghentikan ormas Islam radikal. Sedangkan Sabili merekomendasikan pembubaran Ahmadiyah dan mengusut tuntas pemicu atau pemancing awal terjadinya kekerasan massa di masyarakat.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa butir pemikiran yang penulis sampaikan sebagai saran kepada majalah Tempo dan Sabili. Kiranya apa yang penulis sampaikan ini dapat dijadikan referensi untuk mencapai pemberitaan yang lebih baik. Selain itu diharapkan Tempo dan Sabili dalam setiap pemberitaannya selainberimbang juga lebih kritis dalam menghadirkan aktor-aktor yang terlibat, dengan demikian tidak ada suatu kelompok yang dirugikan dalam setiap pemberitaan.


(3)

1. Media massa, dalam hal ini majalah Tempo dan Sabili, memiliki fungsi informatif dan edukatif. Bagi pembaca, apa yang disampaikan oleh media massa mengenai Ahmadiyah akan menambah pemahaman tentang siapa dan bagaimana sebenarnya Ahmadiyah itu. Oleh karena itu diharapkan penyampaiannya tanpa ada misi tertentu agar pembaca mendapatkan informasi yang benar tentang Ahmadiyah. Karena melalui media massa seseorang bisa mengetahui kejadian di tempat lain.

2. Dalam menuliskan pernyataan dari narasumber, hendaklah identitas narasumber disebutkan agar kekuatan berita bisa dipertanggungjawabkan. Cobalah untuk meminimalkan masuknya pernyataan narasumber yang anonim, kecuali narasumber yang bersangkutan memang tidak mau identitasnya disebutkan, tentunya harus dihormati.

3. Media massa seharusnya menempatkan dirinya secara hati-hati dalam menyikapi masalah Ahmadiyah. Jangan sampai secara tidak sadar media massa menjadi “kendaraan” bagi objek berita untuk menyampaikan pemikirannya. Sebaliknya media juga jangan sampai dimanfaatkan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Dengan membawa isu Hak Asasi Manusia, orang-orang yang punya kepentingan dengan leluasa masuk ke tengah-tengah masyarakat dalam suatu negara.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anto, J. 2001. Limbah Pers Danau Toba. Medan: LP3Y dan Yayasan KIPPAS

Ardianto, Elvinaro. 2004. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Ardianto, Elvinaro & Lukiati Komala. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung:

Simbiosa Rekatama Media.

Effendy, Onong Uchjana. 1990. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS

_______. 2011. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta:LKIS Junaedhie, Kurniawan. 1995. Rahasia Dapur Majalah di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Norris, Pippa, at all. 2003. Framing Terrorism: The News Media The Government, and The

Public. Routledge: New York

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Yogyakarta: Cespur

Purba, Amir. Dkk. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Medan: Pustaka Bangsa Press

Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Septiawan, Santana K. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Yayasan Obor Indonesia : Jakarta

Siahaan, Hotman dkk. 2001. Pers yang Gamang Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor-Timur. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 2008. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya


(5)

Sudibyo, A Hamad dan I Qadari M. Kabar Kabur Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa. Jakarta: ISAI

Titscher, Stefan. Dkk. 2009. Metode Analisis Teks & Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Tubbs, Stewart L. 2005. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi (Buku

Kedua). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim. 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru.Bandung: Mizan

Majalah

Majalah Kajian Media Dictum Vol. 1 No. 2 September 2007 Majalah Sabili edisi 14 Tahun XVIII 3 Maret 2011

Majalah Sabili edisi 15 Tahun XVIII 17 Maret 2011 Majalah Sabili edisi 16 Tahun XVIII 7 April 2011 Majalah Tempo edisi 14-20 Februari 2011

Majalah Tempo edisi 21-27 Februari 2011 Majalah Tempo edisi 7-13 Maret 2011

Website

(diakses tanggal 10 Maret 2011)


(6)

BIODATA PENULIS

AHMAD ROSADI RANGKUTI, itulah nama lengkap untuk berbagai kartu identitas penulis. Tangisan pertama penulis terdengar pada heningnya malam ke-19 bulan September 1988 silam, di sebuah desa kecil di kaki puncak Sorik Marapi, Desa Hutalombang. Penulis adalah lentera kesebelas sebagai penerang hati Ayahanda Fakhri Rangkuti dan penyejuk jiwa Ibunda Roslina Nasution.

Detik waktu begitu indah dan terasa cepat di saat-saat masa kecil dulu. Tanpa disadari, penulis sudah harus memasuki lembar kehidupan yang baru. Usia penulis yang sudah genap tujuh tahun menghantarkan penulis ke bangku sekolah dasar. Ibunda tercinta pun menyekolahkan penulis di Sekolah Dasar Negeri 145614 Desa Hutalombang, sekitar 25KM dari pusat Kota Panyabungan, Mandailing Natal.

Selepas SD, Ibunda tercinta mendaftarkan penulis ke SMP Nurul ‘Ilmi Padangsidempuan. Setelah melalui semua test dan persaingan yang begitu ketat, akhirnya penulis lulus. Hingga SMA, penulis menuntut ilmu di Nurul ‘Ilmi. Penulis merasa bersyukur bisa menuntut ilmu disana, that’s really best islamic boarding school ever I know. Setelah lulus SMA, penulis menempuh pendidikan sarjana di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU Medan. Walau tidak suka, penulis jalani apa adanya. Apa daya, orang tua hanya memperbolehkan kuliah di Medan atau Padang.

Semasa kuliah, penulis mencoba mencintai dunia pendidikan baru penulis. Menyibukkan diri di organisasi Pers Mahasiswa Suara USU menjadi salah satu jalan untuk membuka mata penulis di bidang jurnalistik. Semasa aktif di Suara USU, penulis kerap mengikuti berbagai kegiatan jurnalistik. Kegiatan selama magang di harian Sumut Pos Medan dan Diklatnas Jurnalisme Investigasi di Universitas Negeri Padang menjadi pengalaman yang tak terlupakan ketika di Suara USU. Namun di tahun ketiga, penulis harus berhenti dari Suara USU yang kucintai atas permintaan orang tua. Aktivitas terakhir penulis di dunia jurnalistik adalah kegiatan magang di Metro TV Jakarta awal tahun ini. Bagi pembaca yang ingin menjalin silaturrahim dengan penulis, akun facebook penulis terbuka untuk Anda. Silahkan diakses lewat alamat email berikut:


Dokumen yang terkait

Hirarki Pengaruh Pada Pemberitaan Ahmadiyah Di Majalah Tempo

3 23 130

Konstruksi Pemberitaan Tentang Ahmadiyah (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Ahmadiyah Pada Majalah Gatra Edisi Bulan Juli s/d Agustus 2005)

7 59 101

PENDAHULUAN JURNALISME DAMAI DALAM PEMBERITAAN SKH KEDAULATAN RAKYAT MENGENAI KASUS AHMADIYAH PERIODE FEBRUARI-MARET 2011 (Analisis Isi Berita Mengenai Jamaah Ahmadiyah Setelah Penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik).

0 5 30

KESIMPULAN DAN SARAN JURNALISME DAMAI DALAM PEMBERITAAN SKH KEDAULATAN RAKYAT MENGENAI KASUS AHMADIYAH PERIODE FEBRUARI-MARET 2011 (Analisis Isi Berita Mengenai Jamaah Ahmadiyah Setelah Penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik).

0 4 49

KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Gerakan Ahmadiyah di Republika Online dan Tempointeraktif.com Periode Februari-Maret 2011).

0 2 14

KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET KONSTRUKSI PEMBERITAAN GERAKAN AHMADIYAH DI MEDIA INTERNET (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Gerakan Ahmadiyah di Republika Online dan Tempointeraktif.com Periode Februari-Maret 2011).

0 0 17

PEMBINGKAIAN BERITA KERUSUHAN WARGA DENGAN JAMAAH AHMADIYAH DI PANDEGLANG, BANTEN (Studi Analisis Framing Kerusuhan Warga Dengan Jamaah Ahmadiyah Pada Situs Berita Vivanews.com dan Okezone.com Periode 06 Februari s.d 09 Februari 2011).

0 1 102

Analisis Wacana Kritis Kasus Penyerangan Terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik

0 0 8

PEMBINGKAIAN BERITA KERUSUHAN WARGA DENGAN JAMAAH AHMADIYAH DI PANDEGLANG, BANTEN (Studi Analisis Framing Kerusuhan Warga Dengan Jamaah Ahmadiyah Pada Situs Berita Vivanews.com dan Okezone.com Periode 06 Februari s.d 09 Februari 2011)

0 0 20

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN BUDI GUNAWAN DALAM MAJALAH BERITA MINGGUAN TEMPO

0 1 17