Sikap Responden tentang Kesehatan Reproduksi

4.3 Sikap Responden tentang Kesehatan Reproduksi

Sikap merupakan respon tertutup atau penilaian dari responden yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi serta bahayanya perkawinan muda pada kesehatan reproduksi remaja puteri. Sikap responden diukur dengan 10 pernyataan yang terbagi menjadi pernyataan positif dan pernyataan negatif. Kategori untuk sikap responden dibagi menjadi dua yaitu sikap positif dan negatif. Distribusi frekuensi sikap responden dapat dilihat pada tabel 4.3 sebagai berikut: Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Sikap Responden tentang Kesehatan Reproduksi Sikap Responden Jumlah Persentase Positif 51 56,67 Negatif 39 43,33 N 90 100 Sumber: Data Primer terolah, 2013 Tabel 4.3 menunjukkan bahwa distribusi sikap responden sebagian besar adalah memiliki sikap yang positif sebanyak 51 responden dengan persentase sebesar 56,67 dan hanya sebagian kecil responden memiliki sikap yang negatif sebanyak 39 responden dengan persentase sebesar 43,33. Sikap positif artinya responden mempunyai penilaian yang positif dan penerimaan yang baik untuk perlu memberikan penjelasan tentang kesehatan reproduksi kepada para remaja puterinya dan tidak menyetujui perkawinan usia muda remaja yang berarti bahwa responden menganggap perlu meningkatkan usia perkawinan. Sementara itu sikap negatif adalah apabila responden menganggap tidak perlu memberikan penjelasan mengenai kesehatan reproduksi kepada para remaja puterinya dan menyetujui perkawinan usia muda yang berarti bahwa reponden menganggap tidak perlu meningkatkan usia perkawinan. Sikap tersebut diketahui dari kemampuan responden dalam menanggapi 10 buah pernyataan yang bersifat positif maupun negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden sebanyak 51 responden dengan persentase 56,67 memiliki sikap yang positif. Sikap positif ini dapat diartikan bahwa responden menganggap penjelasan tentang kesehatan reproduksi harus diberikan kepada para remaja puterinya. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Atmoko 2004 yang menunjukkan bahwa sikap responden dalam penelitian tersebut tergolong positif karena sebagian besar responden dengan persentase 70,8 berinisiatif memberikan penjelasan mengenai kesehatan reproduksi kepada remaja. Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Suciningrum 2010 yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden remaja puteri dengan persentase 66,7 menyatakan bahwa mereka tidak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari orang tua mereka. Hal ini membuktikan bahwa orang tua dalam penelitian tersebut memiliki sikap yang negatif dimana orang tua tidak memberikan informasi kesehatan reproduksi kepada remaja puteri mereka. Hasil penelitian ini juga berlawanan dengan hasil penelitian Yokantina 2011 yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden orang tua memiliki sikap yang negatif terhadap pemberian pendidikan kesehatan reproduksi. Sikap negatif dalam penelitian tersebut ditunjukkan dengan mereka beranggapan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi tabu untuk diberikan pada anak autis usia balita. Mereka beranggapan bahwa anak akan tahu dengan sendirinya ketika anak sudah mengerti dan memasuki jenjang usia remaja. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap adalah kesediaan responden dalam mendukung atau menerima dan ketidaksediaan mendukung terhadap suatu objek. Menurut Newcomb 1959, sikap merupakan kesiapan dan kesediaan untuk bertindak terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek Notoatmodjo, 2003. Faktor yang menyebabkan seseorang memiliki sikap positif adalah pengetahuan yang tinggi. Menurut Mantra 2003, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi proses belajar. Pendidikan seseorang semakin tinggi maka semakin mudah orang tersebut menerima informasi baik dari orang lain maupun media massa. Informasi yang masuk semakin banyak maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat termasuk pengetahuan tentang kesehatan yang dalam hal ini terkait dengan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi beserta bahayanya perkawinan usia muda pada kesehatan reproduksi remaja puteri. Notoatmodjo 2003 menyatakan bahwa pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan yang penting dalam penentuan sikap yang utuh positif. Akan tetapi, dalam penelitian ini sikap responden yang sebagian besar positif bukan disebabkan oleh pengetahuan yang tinggi pada responden. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan tinggi hanya sebagian kecil saja yaitu sebanyak 10 responden dengan persentase sebesar 10. Hal ini juga serupa dengan penelitian Atmoko 2004 yang menunjukkan bahwa sikap responden yang positif bukan disebabkan oleh pengetahuan yang tinggi karena terbukti pengetahuan responden dalam penelitian tersebut juga tergolong rendah. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki sikap yang positif dikarenakan adanya kesadaran pada diri responden terkait kesehatan reproduksi remaja puterinya. Sebagian responden sadar dan menyatakan bahwa remaja puteri yang menikah pada usia di bawah 20 tahun memiliki tubuh yang belum siap untuk hamil dan dapat lebih mudah mengalami keguguran sehingga responden harus berhati-hati dalam mengijinkan pada usia berapa puterinya akan menikah. Hal ini didukung oleh pernyataan Azwar 2003 yang menyatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan sehingga seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin ia agar melakukannya. Kesadaran responden dalam penelitian ini juga bisa disebabkan oleh adanya pemberian informasi kesehatan reproduksi melalui program BKR sehingga responden paham dan sadar bahwa perkawinan usia remaja dapat membahayakan kesehatan reproduksi remaja puteri. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Newcomb 1959, sikap merupakan kesiapan dan kesediaan untuk bertindak terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek Notoatmodjo, 2003. Sikap positif responden dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden bersedia untuk memberikan penjelasan mengenai kesehatan reproduksi remaja dan bersedia untuk meningkatkan usia perkawinan pada remaja puteri mereka. Hal ini disebabkan responden telah memiliki kesadaran bahwa perkawinan usia muda dapat berdampak buruk pada kesehatan reproduksi remaja puteri mereka. Hal tersebut juga menunjukkan adanya kesesuaian reaksi atau respon responden terhadap suatu stimulus, yang dalam hal ini reaksi responden bersedia memberikan penjelasan kesehatan reproduksi kepada remaja dan bersedia meningkatkan usia perkawinan terhadap stimulus yang berupa adanya kesadaran bahwa perkawinan usia muda dapat berdampak buruk pada kesehatan reproduksi remaja puteri. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian kecil responden juga memiliki sikap negatif yang berarti bahwa responden menganggap bahwa remaja puteri boleh melakukan perkawinan di usia muda dan responden juga menganggap bahwa penjelasan mengenai kesehatan reproduksi tidak perlu diberikan kepada remaja puteri. Hai ini dapat disebabkan sebagian kecil masyarakat belum mendapatkan pemberian informasi kesehatan reproduksi melalui program BKR yang menjelaskan bahwa pemberian informasi kesehatan reproduksi itu perlu diberikan kepada remaja sehingga mereka akhirnya tidak tahu dan menganggap penjelasan kesehatan reproduksi tidak perlu diberikan kepada remaja. Hal ini didukung oleh pernyataan Mitra Inti Foundation 2005 yang menyatakan bahwa orang tua terkadang enggan memberikan informasi kesehatan reproduksi kepada remaja karena mereka tidak tahu cara menyampaikannya atau karena mereka merasa bahwa masalah pendidikan seksual yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi bukan urusan mereka sehingga masalah itu cukup diserahkan kepada guru dan sekolah Foraida, 2008.

4.4 Tindakan Responden Mengawinkan Puterinya di Usia Remaja

Dokumen yang terkait

Hubungan Konsumsi Jenis Makanan Kariogenik fengan Kejadian Karies Gigi pada Anak di Sdn Krandon Kudus

0 2 5

HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI DAN STATUS GIZI Hubungan Konsumsi Makanan Kariogenik dengan Kejadian Karies Gigi dan Status Gizi Anak Tk Pembina Mojosongo Surakarta.

0 4 15

HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI DAN STATUS GIZI ANAK TK Hubungan Konsumsi Makanan Kariogenik dengan Kejadian Karies Gigi dan Status Gizi Anak Tk Pembina Mojosongo Surakarta.

0 3 17

PENDAHULUAN Hubungan Konsumsi Makanan Kariogenik dengan Kejadian Karies Gigi dan Status Gizi Anak Tk Pembina Mojosongo Surakarta.

0 6 6

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN KONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DAN MENGGOSOK GIGI PADA ANAK Hubungan Antara Kebiasaan Konsumsi Makanan Kariogenik Dan Menggosok Gigi Pada Anak Serta Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Karies Gigi Di Paud Taman Ceria Surakarta.

0 5 17

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN KONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DAN MENGGOSOK GIGI PADA ANAK Hubungan Antara Kebiasaan Konsumsi Makanan Kariogenik Dan Menggosok Gigi Pada Anak Serta Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Karies Gigi Di Paud Taman Ceria Surakarta.

0 6 16

PENDAHULUAN Hubungan Antara Kebiasaan Konsumsi Makanan Kariogenik Dan Menggosok Gigi Pada Anak Serta Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Karies Gigi Di Paud Taman Ceria Surakarta.

0 2 7

PENGARUH KONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DAN KEBIASAAN MENYIKAT GIGI TERHADAP KEJADIAN KARIES GIGI MOLAR Pengaruh Konsumsi Makanan Kariogenik dan Kebiasaan Menyikat Gigi Terhadap Kejadian Karies Gigi Molar Pertama Permanen Pada Anak Usia 9-11 Tahun di SDN Bl

0 3 14

PENGARUH KONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DAN KEBIASAAN MENYIKAT GIGI TERHADAP KEJADIAN KARIES GIGI MOLAR Pengaruh Konsumsi Makanan Kariogenik dan Kebiasaan Menyikat Gigi Terhadap Kejadian Karies Gigi Molar Pertama Permanen Pada Anak Usia 9-11 Tahun di SDN Bl

0 5 17

HUBUNGAN PERILAKU MENGGOSOK GIGI DAN KONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI PADA SISWA KELAS SATU DI SD N WIRADADI KECAMATAN SOKARAJA

0 0 16