31
2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa. 3.
Mufti, Orang yang memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan. 4.
Mustafti Fih, masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya.
5. Fatwa, Jawaban atau hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang
ditanyakan.
29
C. Kekuatankedudukan Fatwa
Kehidupan sehari-hari tidak pernah mudah bagi individu yang sungguh- sungguh berpedoman pada wahyu, kesulitan-kesulitannya berlipat ganda dengan
adanya akomodasi Islam yang setengah hati. Fatwa merupakan suatu yang krusial karena merupakan respon internal terhadap pelbagai persoalan di mana
angota-anggota umat sendiri memandangnya sebagai hal yang sangat penting dalam rangka menunaikan kewajiban yang diberikan Tuhan dengan benar.
Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai amar ma’ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang
harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya
ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas
29
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: elsas, 2008 h.21.
32
mufti tersebut menjadi fardhu a’in. Namum, bila ada mujtahid lain yang
kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum
berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifâyah.
30
Lahirnya suatu fatwa berpengaruh terhadap pensosialisasinya di masyarakat. Fatwa harus dikeluarkan oleh mufti yang memahami, mengerti dan
mendalami akan hukum syari’at, mufti berkedudukan sebagai pemberi
penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat.
Oleh karena itu, umat akan selamat apabila ia berfatwa dengan benar dan akan sesat apabila ia salah dalam berfatwa.
Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah
peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi
bagi yang menghianatinya. Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya
telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu : 1.
Apa hukum atas masalah yang dimaksud. 2.
Apakah dalilnya 3.
Apa wajh dalalah-nya.
30
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: PT Logos Wacanan Ilmu, 2001, Cet. Ke-2, h. 434-435
33
4. Apa saja jawaban-jawabanfatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang
dimaksud. Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti
itu harus ahli ijtihad mujtahid. Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang
muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as- Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia
ahli di dalam agama Islam.
31
Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari
psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi
bahan tertawaan dan permainan. Lebih lanjut seperti yang telah di yakini Imam Malik, bahwa ia tidak akan memberi fatwa suatu masalah sebelum ada
pengakuan dari tujuh puluh ulama yang menyatakan bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut.
32
Hal ini dijaga demi menjaga kehati-hatian keluarnya hukum.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan
nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami
31
Ibid, h.435
32
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam Jakarta:elsas,2008, h. 29
34
proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat. Kehati- hatian para salaf as shaleh dalam menjawab suatu masalah yang diajukan
merupakan cerminan keluasan ilmu dan kehati-hatian mereka dalam mengeluarkan fatwa, karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi
orang yang mengeluarkan fatwan tanpa yakin akan dalil-dalilnya. Ancaman bagi orang atau pihak yang dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa pertimbangan
yang matang adalah neraka.
33
Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, baik mengenai pengertian fatwa maupun sejarah fatwa di masa Rasulullah atau sahabat,
ditambah dengan beberapa karakteristik yang melekat pada pemberian suatu fatwa, maka dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai kedudukan yang tidak
mengikat. Fatwa yang dikeluarkan oleh pemberi fatwa, tidak serta merta harus diikuti atau dijalankan oleh kaum muslimin. Hal ini karena sifat fatwa yang lebih
kepada anjuran atau saran, sehingga memberikan pilihan kepada kaum muslimin untuk mengikutinya atau tidak.
33
Ibid
35
BAB III MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH