Istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang pengharaman rokok

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)

Oleh : SYIFAUDIN NIM: 208044100025

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

TENTANG PENGHARAMAN ROKOK

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah(S.Sy) Oleh :

SYIFAUDIN NIM: 208044100025

Dibawah bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

DR. H. M. Nurul Irfan, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH 1973 0802 2003 1210 01 1972 2402 1998 0310 03

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Skripsi berjudul Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada

Senin, 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy) pada Program Studi Ahwal Asyakhsiyyah.

Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. HM. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12

PANITIA UJIAN

1.Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12

2.Sekretaris : Mufidah, SH. I.

3.Pembimbing I: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA NIP. 1973 0802 2003 1210 01

4.Pembimbing II: Kamarusdiana, S. Ag., MH NIP. 1972 2402 1998 0310 03

5.Penguji I : Dr. H. M. Taufiki, M. Ag NIP. 1965 1119 1998 0320 02

6.Penguji II : Nahrowi, SH., MH NIP. 1973 0215 1999 0310 02


(4)

i

ميحرلا نمح رلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridha dan rahmat-Nya-lah skripsi ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam Nabi Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, Sahabat, dan juga umatnya. Yang InsyaAllah kita termasuk di dalamnya.

Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis sangat menyadari bahwa dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, dan Rosdiana, MA, masing-masing sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, Koordinator Teknis Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag dan Kamarusdiana, S. Ag., MH yang keduanya adalah Dosen pembimbing Penulis, terimakasih yang tak terhingga untuk waktu


(5)

ii

5. Kedua orang tua tercinta yang terhormat Abah dan Ibu yang telah mendidik, membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak ternilai harganya, semangat serta doanya kepada penulis.

6. Saudara-saudaraku tercinta Teteh-teteh, Aa’ serta keponakan penulis yang selalu memberikan senyuman sehingga penulis termotivasi dan tersemangati ketika penulis mulai mengalami kejenuhan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. kepada seluruh staff pengajar Fakultas Syariah, yang telah banyak memberikan

banyak ilmu, wawasan, serta kesabarannya dalam mendidik penulis selama bangku perkulihan. Semoga akan menjadi manfaat dan berkah untuk penulis. 8. Segenap staff perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama

yang telah memberi fasilitas penulis untuk melengkapi referensi dalam penulisan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku di konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2008 yang telah banyak mencurahkan waktu dan tenaganya untuk membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

10.Serta rekan-rekan dan semua pihak yang mungkin tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dalam skripsi ini.

Besar harapan skripsi ini dapat memberikan konstribusi yang positif bagi pihak-pihak yang memberikan bantuan kepada penulis terutama bagi rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhsiyyah konsentrasi Peradilan Agama.


(6)

iii

Penulis sangat sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Demikian sedikit pengantar dan ucapan terima kasih. Atas semua perhatian yang diberikan, penulis sampaikan ucapan terima kasih.

Jakarta, 09 Juni 2011

Penulis


(7)

iv

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

PEDOMAN TRANSLITERASI iv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah

ROKOK

...….………..

7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

E. Review Study Terdahulu 9

F. Metode Penelitian 12

G. Sistematika Penulisan 14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA

A.Definisi Fatwa 16

B.Mekanisme Fatwa 22

C.Kekuatan atau Kedudukan Fatwa 31

BAB III : MAJELIS TARJIH DAN TARJIH MUHAMMADIYAH

A. Pengertian Majelis Tarjih 35

B. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah 43


(8)

v

BAB IV : ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan 50

B. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Fatwa Rokok

55

C. Analisis Penulis 63

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan 69

B. Saran 70

DAFTAR PUSTAKA 72


(9)

1

A.Latar Belakang Masalah

Kondisi Obyektif yang berkaitan dengan permasalahan (problematika) terhadap realita memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash al- Quran dan as- Sunnah yang belum tercover secara eksplisit, hal ini mewajibakan seseorang yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan Ijtihad (usaha sungguh-sungguh untuk pengalian hukum). Al- Quran sengaja didisain untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hukum secara global dan tidak diperinci agar tidak kehilangan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. 1

Di sisi lain Allah SWT juga menganugrahkan akal serta fikiran kepada manusia menjadikannya makhluk yang berkembang, berinovasi, dan berkeingintahuan tinggi terhadap suatu permasalahan, olehnya melalui pranata inilah manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk melakukan ijtihad dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan.

Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang yang telah memenuhi persyaratan saja, dengan demikian ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang akan tetapi orang yang ahli dibidangnya (Ulama)

1Ma’ruf A i ,


(10)

2

ini salah satu pranata yang disiapkan agama bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad untuk bertanya atau memohon penjelasan kepada orang yang mempuyai kompetensi dalam menjawab permasalahan tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah dengan memohon penjelasan tentang status hukum (fatwa) suatu masalah atau perbuatan yang belum ada ketetapan hukumnya. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat, sekalipun fatwa juga dianggap tidak punya kekuatan hukum yang mengikat (Ghair Mulzimah)2.

Aktivitas yang berkembang dewasa ini khususnya di Indonesia adalah perilaku merokok. Kegiatan merokok dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang biasa, hal ini karena banyaknya masyarakat yang melakukan kegiatan merokok. Fenomena yang ada merokok tidak hanya menjadi komoditi kaum pria dewasa bahkan dintaranya adalah kaum hawa dan yang lebih miris lagi, tidak sedikit jumlah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah konsumtif terhadap rokok. Berdasarkan pengamatan komisi perlindungan Anak Indonesia, ditemukan fakta bahwa setidaknya 60% anak-anak di bawah umur sudah mengenal rokok.3

2 Ma’ruf A i ,

Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), dalam kata pengantar.

3


(11)

Rokok sudah menjadi konsumsi harian masyarakat. Rokok bebas dijual di warung, di jajakan di jalan raya, di jual di toko-toko, bahkan koperasi kampus pun tidak lewat ikut memasarkannya. Rokok adalah makhluk beracun yang terus-menerus menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Peraturan pemerintah, fatwa majelis ulama, penelitian ilmiah, bahkan ancaman kesehatan serta kematian pun tetap tidak menjadikan masyarakat untuk meninggalkan rokok. Bahkan beragam alasan mereka pertahankan untuk mereduksi hukum agar rokok tetap diperbolehkan, walaupun pada kenyataannya banyak data yang mempresentasikan mengenai bahaya rokok bagi kesehatan.

Tidak hanya WHO (World Health Organization) bahkan lebih dari 70.0004 artikel ilmiah mengemukakan bahwa dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, 43 diantaranya bersifat Karsinogenik yakni merangsang tumbuhnya kanker, berbagai zat yang terkandung diantaranya adalah Tar, Karbon Monoksida (CO) serta Nikotin.

Dari hasil penelitian yang dilakukan United Satate Surgeon General

Amerika Serikat menyatakan ada 10 tipe kanker yang disebabkan oleh rokok5 yaitu kanker mulut, tenggorokan, pita suara, esofagus, kanker paru-paru, lambung, kanker pankreas, kantung kemih, leher rahim, leukimia bahkan kanker darah.

4Ah ad Rifa’i Rif’a ,

Merokok Haram, (Jakarta: Republika, 2010), h. 7

5


(12)

4

Prof. Dr. Anwar Jusuf, guru besar FIKUI berpendapat bahwa asap rokok jauh lebih berbahaya dibandingkan polusi udara6 karena di dalamnya mengandung zat kimia yang bersifat karsinogen, zat tersebut memicu sel-sel normal menjadi ganas dalam prosesnya yang terjadi berulang-ulang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hal inilah yang memicu timbulnya kanker pada paru-paru.

Penyakit yang disebabkan oleh rokok begitu kompleks, namun sangat disayangkan meskipun sudah banyak penelitian yang membuktikan tentang bahaya rokok namun seolah masyarakat tetap tidak peduli. Data WHO (World Health Organization) juga menyebutkan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah perokok terbesar di Dunia dan senantiasa meningkat dari tahun ketahunnya. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan persentase jumlah perokok di Indonesia dari tahun ketahunnya selalu meningkat, jika pada tahun 2001 hanya 31,8% dari penduduk Indonesia yang merokok peningkatan jelas terjadi dua kali lipatnya yakni pada tahun 2007 jumlah menjadi 69%7. Inilah kenyataannya sebagian besar masyarakat Indonesia telah menjadi konsumen aktif rokok tak jarang dari mereka menyetarakan kebutuhan merokok seperti makanan yang dikonsumsi sehari-hari bahkan ada yang menjadikannya sebagai prioritas kebutuhan pada urutan pertama.

6

Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005), h. 191

7Ah ad Rifa’i Rif’a ,


(13)

Sangat ironis, penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam yakni 87% atau lebih dari 202 juta dari 230 juta8 jiwa sehari-harinya harus terancam dengan polusi udara yang bercampur racun yang berasal dari kepulan asap rokok.9 Rokok sebagai barang yang ditemukan belakangan ini bukan pada zaman Rasulullah, karena dalam sejarahanya rokok baru dikenal oleh para pelaut yang menyertai Columbus ke benua baru Amerika di akhir abad XV dan mulai meluas keseluruh Dunia di ujung abad XVI10. Pada perjalannannya kini rokok telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan primer bagi manusia. Hal inilah yang kemudian mengundang kontroversi sehingga para ulama dan organisasi keislaman berupaya berijtihad untuk menentukan hukum mengkonsumsinya.

Sebelum banyak dilakukan penelitian mengenai bahaya dalam kandungan rokok muncul beberapa pendapat tentang hukum menkonsumsi rokok yang ditarik hanya sebatas pengetahuan masing-masing mengenai hakikat rokok saja.

Fenomena belakangan ini kaum muslimin di Indonesia dibuat berselisih pendapat mengenai fatwa dari salah satu organisasi massa yang mengharamkan rokok. Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa rokok adalah haram. Keluarnya fatwa haram tersebut menimbulkan perselisihan dikalangan masyarakat, karena tidak sedikit dari masyarakat yang sudah terbiasa merokok dan

8

Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008

9

Ghufron Maba, Ternyata rokok Haram, (Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008), h. 2

10

Usman Alwi, Manfaat Rokok Bagi Anda (Menurut Kesehatan dan Islam), (Jakarta: Binadaya Press, 1990) h, 146


(14)

6

merasa bahwa rokok tersebut hanya memiliki hukum makruh saja, yaitu lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan, namun tidak ada larangan untuk mengkonsumsinya kini di haramkan melalui fatwa tersebut.

Beberapa alasan yang menjadi dasar pengharaman rokok di antaranya adalah sebagai berikut:11

1. Merokok itu sesuatu yang khobits (buruk). 2. Merokok termasuk perbuatan mubadzir.

Beberapa waktu lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan fatwa Haram bagi rokok. Tapi sebaliknya, Nahdlatul Ulama malah memfatwakan mubah. MUI lebih condong untuk memfatwakan rokok Haram bersyarat. Menurut Tambroni, MUI menjadikan rokok menjadi haram jika dihisap oleh anak kecil hingga baliq atau sekitar usia 15 tahun, serta jika dihisap oleh ibu yang sedang hamil dan bagi orang yang berpenyakit jantung. Tak hanya itu, MUI berpandangan, rokok menjadi haram jika dihisap di tempat umum.

Sejumlah pihak telah meminta MUI mengeluarkan fatwa tentang rokok, di antaranya LSM Anti Rokok dan Departemen Kesehatan. Secara substansial rokok bisa masuk dalam kategori hukum haram, makruh, atau ikhtilaf (diperselisihkan).

Yang menarik dari fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah, bahwa keputusan yang telah diambil yang didasarkan pada dalil-dalil yang dipandang paling kuat ketika diputuskan, dapat saja dikoreksi oleh siapapun yang

11

Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Meninggalkan Rokok, ( Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005) h. 38


(15)

memberikannya, asal disertai dalil/petunjuk dalil yang kuat. Hanya saja, koreksi atas keputusan itu juga harus melalui keputusan Majelis Tarjih yang didasarkan pada musyawarah, sesuai dengan ketentuan organisasi. Hal ini berdasarkan pada filosofi bahwa keputusan Majelis Tarjih bukanlah yang paling benar, tetapi di saat memutuskan di pandang paling mendekatai kebenaran di antara dalil-dalil yang didapati di kala itu.12

Berdasarkan kenyataan tersebutlah sehingga penulis tertarik untuk mengangkat dan mengkaji mengenai Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan mengenai fatwa haram rokok adalah suatu hal yang sangat penting untuk dibahas, karena rokok itu sendiri selain memiliki kandungan yang berbahaya bagi tubuh manusia, sedang di sisi lain rokok sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang sulit untuk ditinggalkan.

Namun demikian, perlu diingat bahwa dalam Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukum terhadap sesuatu. Pengambilan hukum terhadap suatu barang tidak boleh dilakukan secara membabi buta tanpa memperhatikan serta menimbang efek yang melekat elemen-elemen yang menempel pada sesuatu permasalahan, di satu sisi rokok dianggap menguntungkan karna menghasilkan pemasukan cukai terbesar, disisi lain rokok membahayakan

12

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 19


(16)

8

karena banyak terdapat zat yang dapat mengganggu kesehatan, namun pada realitanya rokok juga merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak dapat instant dihapuskan walaupun sudah difatwakan hukumnya.

Berdasarkan analisa di atas penulis ingin mengetahui kedudukan hukum rokok, dengan mengkaji sumber hukum untuk rokok serta hukum dari obyek yang digunakan dalam pertukarannya yang menuju pada al-Qur’an dan as-Sunnah,

Ijma’ maupun Qiyas.

C.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pembatasan permasalah dalam skripsi ini dibatasi hanya pada lingkup sejauh mana Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang hukum rokok dengan menelusuri literatur-literatur fiqh dan ushul fiqh.

Sedangkan perumusan permasalahan dalam skripsi ini, adalah:

1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih Muhammadiyah? 2. Bagaimana mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah?

3. Bagaimana metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap fatwa haram rokok?

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ketetapan serta pandangan hukum Islam terhadap hukum rokok,


(17)

sedangkan tujuan khususnya adalah agar penulis mampu menjawab permasalahan yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah diatas, yaitu :

1. Untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih Muhammadiyah.

2. Untuk mengetahui mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah.

3. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap fatwa haram rokok.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Diharapkan skripsi ini dapat menambah keilmuan Hukum Islam berkaitan dengan Fatwa di Majelis Tarjih Muhammadiyah.

2. Secara Praktis

Seri kajian diharapkan bermanfaat terhadap prilaku yang membentuk masyarakat, pemerhati hukum.

E.Review Studi Terdahulu

Pembahasan mengenai rokok sudah pernah dibahas sebelumnya oleh beberapa skripsi, diantanya adalah :

NAMA JUDUL ANALISA

Kamal Febriansyah (Fakultas Psikologi

UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta,

“Pengaruh peringatan

tentang bahaya merokok pada iklan rokok terhadap sikap remaja terhadap

merokok”

Dalam skripsinya ini

penulis berusaha

meneliti bagaimana pengaruh peringatan bahaya merokok pada


(18)

10

2007) iklan rokok terhadap

sikap remaja terhadap merokok. Dari hasil penelitiannya tersebut, Kamal menyimpulkan

bahwa terdapat

pengaruh yang lemah dari peringatan bahaya

merokok terhadap

sikap remaja. Hal ini

dipengaruhi oleh

kecenderungan remaja yang masih dalam kondisi labil, sehingga

tidak begitu

memperhatikan

peringatan bahaya merokok itu sendiri.

Bagus Samsudin

(Komunikasi Penyiaran

Islam, Fakultas

Dakwah dan

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2009)

“Respon Warga

Perumahan Reni Jaya-Pamulang Terhadap Fatwa Haram Rokok Majelis Ulama Indonesia

(MUI)”

Dalam skripsinya ini Penulis berusaha untuk menjelaskan mengenai respon masyarakat yang ada di Perumahan Reni-Jaya Pamulang fatwa haram rokok Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan hasil analisa


(19)

yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

respon masyarakat

terbagi dua, yaitu antara

yang menerima dan

menolak fatwa tersebut. Anita

(Jurusan Pengembangan

Masyarakt Islam

Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010)

“Pelaksanaan program

sosialisasi bahaya rokok pada Lembaga Wanita

Indonesia Tanpa

Tembakau (WITT) di

masyarakat”

Dalam skripsi ini penulis menjelaskan tentang program sosialisasi

bahaya rokok yang

dilakukan oleh para aktivis yang tergabung pada Lembaga Wanita

Indonesia tanpa

Tembakau (WITT) di

masyarakat. Dalam

sosialiasi tersebut, para aktivits berusaha untuk memberikan penjelasan

kepada masyarakat

bahaya yang terkandung dalam rokok, seperti keberadaan tar dan nikotin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia. Selain bahaya yang akan diderita oleh perokok itu


(20)

12

sendiri, para aktivis juga

berusaha untuk

menjelaskan bahaya

rokok bagi mereka yang tergolong perokok pasif. Adapun perbedaan skripsi penulis dengan skripsi-skripsi terdahulu terletak pada Kajian pembahasan, pada skripsi ini penulis menfokuskan pembahasan pada Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai rokok, penelusuran pengambilan hukum rokok, serta bahaya rokok bagi kesehatan. Kajian lain yang penulis coba untuk kemukakan antara lain juga pandangan hukum Islam terhadap rokok.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian yaitu:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book,

surat kabar, majalah hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan sebagainya yang ada relevansinya dengan judul skripsi.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat dekriptif-analisis, dalam pengertian tidak sekedar menyimpulkan dan menyusun data, tetapi juga analisis dan interprestasi dari


(21)

data-data yang berhubungan dengan rokok, bahaya rokok bagi kesehatan, rokok dalam hukum Islam serta aplikasinya dari Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah yakni dalam kaitannya terhadap fatwa yang haram yang dikeluarkannya.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu: a. Data Primer

Mengenai obyek dari kajian penelitian ini, penulis menggunakan fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai pengharaman Rokok Sebagai data Primer bahan analisa pembuatan skripsi ini, Karena melalui istinbath itu penulis dapat menganalisa metode istinbat hukum yang digunakan Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap pengharaman rokok.

b. Data Skunder

Sedangkan tehnik dalam pengumpulan data skunder atau data penunjang, penulis mengumpulkan data dengan bantuan Library Research yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book, surat kabar, majalah hukum, dan lain sebagainya yang mengandung sumber informasi terkait judul skripsi. Kemudian penulis mengolah data dengan menganalisa serta mengintrepretasikan bahan kajian yang telah ada untuk memperoleh landasan teoritis yang akurat serta menunjang proses penulisan skripsi ini, dengan demikian tujuan untuk memperoleh informasi terkini mengenai segala sesuatu yang


(22)

14

dibutuhkan serta menunjang keakuratan data untuk melengkapi penulisan skripsi ini dapat dicapai dengan maksimal.

c. Teknik Analisis Data

Kemudian teknik analisis data yang penulis lakukan adalah dari data yang sudah terkumpul baik dari data primer maupun skunder penulis kaitkan dengan menganalisa permasalah yang ada guna menemukan jawaban terhadap permasalahan seperti yang telah di rumuskan dalam perumusan permasalahan pada skripsi ini, dengan menggunakan metode deskriptif analisis.

Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada

ketentuan yang telah diatur dalam buku “pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008/2009”.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab. Dengan uraian sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini berisikan mengenai landasan teori, yaitu Definisi Fatwa, Mekanisme Fatwa, serta kekuatan atau kedudukan fatwa.


(23)

Bab III : Bab ini menguraikan Majelis Tarjih dan Tarjih Muhammadiyah, yakni membahas mengenai pengertian Majelis Tarjih, kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah, tugas dan wewenang Majelis Tarjih, serta Fatwa majelis tarjih Muhammadiyah.

Bab IV : Bab ini membahas mengenai Rokok dalam perspektif majelis tarjih Muhammadiyah sub pembahasan yaitu rokok dalam persfektif ilmu kesehatan, metode istinbath hukum majelis tarjih Muhammadiyah dalam fatwa rokok serta analisis penulis.


(24)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA

A.Definisi Fatwa

Dalam kehidupan sehari-hari, kaum muslimin seringkali mendengar istilah fatwa. Bagi sebagian orang, fatwa dianggap sebagai sebuah ketentuan yang harus dijalankan. Fatwa dianggap sebagai sebuah hukum yang memiliki konsekuensi dalam menjalankannya. Bagi sebagian yang lain, fatwa dianggap sebagai sebuah anjuran. Sehingga tidak ada ketentuan hukum dalam menjalankan atau meninggalkan suatu fatwa.

Fatwa berasal dari bahasa Arab al-ifta’, al-fatwa. Yang secara sederhana dimengerti sebagai pemberi keputusan.1 Fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.2

Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:

Artinya: “Menyelesaikan setiap masalah” 3

1

Pengantar M. Quraisy Shihab dalam bukunya M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. II, h. 16

2

Ibid., h. 21.

3

Khairul Uman dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h. 173


(25)

Definisi tersebut jika dicari persamaannya dalam al-Quran adalah sebuah solusi dari suatu permasalahan. Seperti firman Allah SWT:







































































































( ءاسنلا : ٧ )

Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, , sedang kamu ingin mengawini merekadan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.QS. An-Nisa’(QS. An-Nisa (4): 127)

Sedangkan fatwa secara terminologi (istilah) ialah:

Artinya:

“Fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan.” 4

4


(26)

18

Berdasarkan terminologi tersebut, fatwa adalah sebuah hukum yang berasal dari Allah dengan menyandarkan pada dalil-dalil syariah mengenai berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa adalah jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.5 Fatwa (bahasa Arab, keputusan yang sah), suatu pengumuman yang sah diberikan sebagai tanggapan atas suatu pertanyaan tentang suatu praktek hukum Islam. Keputusan ini diberikan oleh seorang mufti dengan kualifikasi tinggi dan berdasarkan pada sesuatu yang bisa dijadikan teladan dan wewenang bukan pendapat pribadi sendiri.6

Fatwa adalah menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustasfi), baik perorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal. Dalam ilmu ushul fiqh fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau sebagai jawaban yang diajukan peminta dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.7

5

Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ke-3, h. 275

6

Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 110-111.

7

A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 326


(27)

Dalam buku fatwa Munas VII MUI 2005, disebutkan bahwa fatwa adalah penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahn yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya.8 Fatwa adalah nasehat yang datangnya dari orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah dari padanya, baik tingkatan umurnya, ilmunya maupun kewibawaannya.9 Fatwa adalah sama dengan petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkait dengan hukum. Jamaknya adalah fatawa, dalam ilmu ushul fiqh berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.10

Fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari satu pertanyaan, baik si penanya tersebut jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.11

Inti dari pengertian fatwa merupakan jawaban atau penjelasan atas suatu pertanyaan atau kasus yang sedang dihadapi, dan dapat dijadikan pedoman atau dasar sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya masing-masing.

8

Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V

9

M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 77

10

Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid 2, h. 326

11

Terj. Yusuf al-Qardhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 5


(28)

20

Dari pengertian-pengertian fatwa di atas, dapat dijumpai adanya pihak yang meminta fatwa (mustafti) dan ada pihak yang memberi fatwa (mufti). Pihak yang meminta fatwa (mustafti) bisa bersifat pribadi, lembaga atau kelompok masyarakat, ataupun pemerintah dan bahkan dari kalangan MUI sendiri. Sedangkan pemberi fatwa (mufti) adalah pihak yang mengeluarkan fatwa yang dilakukan oleh seorang mujtahid atau faqih yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bersifat petuah, nasehat dan tidak harus diikuti oleh peminta fatwa, karena fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat atau sanksi bagi yang melanggarnya.

Fatwa muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat, karena itu fatwa mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Dengan demikian, fatwa tidak persis dengan tanya jawab keagamaan biasa seperti dalam pengajian-pengajian, bukan juga sekedar ceramah seputar suatu ajaran agama, fatwa senantiasa sangat sosiologis, ia mengandaikan adanya perkembangan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan hukumnya atau belum jelas duduk masalahnya.12

Tradisi pemberian fatwa di zaman Nabi Muhammad SAW diawali dengan datangnya suatu pertanyaan dari umatnya, penjelasan mengenai hukum Islam didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah, dan apa yang diwahyukan pada

12

M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. Ke-2, h. 16


(29)

beliau, dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan dari masyarakat, mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang berbagai persoalan, lalu mendapat jawaban dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada beliau. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain tentang nikah beda agama (al-Baqarah (2): 221), khamr dan judi (al-Baqarah (2): 219), masa haid bagi wanita (al-Baqarah (2): 222), anak yatim (al-Baqarah (2): 220), perang pada bulan Haram (al-Baqarah (2): 217), dan lain-lain.13

Pada zaman Nabi SAW tidak terdapat pemisahan antara hukum agama dan hukum negara. Sebagai hakim, beliau memutuskan perkara yang ditanyakan, dan beliau memerintahkan untuk melaksanakannya, setelah beliau wafat, permasalahan tentang hukum ditanyakan kepada para khalifah dan hakim yang mengadili perkara masyarakat. Kalangan sahabat Nabi SAW yang terkenal

sebagai pemberi fatwa di Madinah adalah „Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah,

Abu Hurairah, Said bin al-Musayyab, Urwah ibnu al-Zubair, Abu Bakar ibn Abdul Rahman ibn al-Haris, Ali ibn Abu Thalib dan Sulaiman ibn Yasar. Sementara itu di Makkah sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain

Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib, Mujahid ibn Jabar, Ikrimah, Atho’ ibn

Abi Rabah dan Abu al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Quddus. Sedangkan di Bashrah sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa antara lain Anas ibn Malik al-Anshari, Abu „Aliyah Rafi’ ibn Mahram, Hasan ibn Abi Hasan, dan di

13

Muhammad al – Khudhari Bek, Tarikh al- Tasyri’ al-Islami, (Beirut, Dar al- Kutub al- Ilmiyyah, 2008), Cet. 3, h. 15


(30)

22

Mesir sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain Abdullah ibn Umar ibn

al-„Ash, Abu al-Khair Mursid ibn Abdullah al-Yazni, Yazid ibn Abu al-Habib.14 Dengan semangat dakwah Islam yang menjulang, menghasilkan wilayah Islam yang semakin meluas, kebutuhan manusia semakin beragam pula, sehingga berbagai persoalan muncul dari zaman ke zaman, yang memerlukan jawaban dan penyelesaian yang cukup serius. Untuk itu para warga pergi ke tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kaum ulama untuk menanyakan masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa tingkat pemikiran manusia, semakin meningkat dari zaman ke zaman. Hal ini terbukti dengan semakin banyak rahasia alam yang berhasil disingkap oleh manusia serta pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah berhasil menyediakan berbagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin beragam.

B.Mekanisme Fatwa

Agama memegang peranan penting dalam mengarahkan dan membimbing masyarakat. Tidak ada yang menandingi kekuatan Agama. Dan agama tidak dapat dinomorduakan atau diletakkan di pinggiran kehidupan manusia, karena Agama merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi kehidupan manusia.15

14

Ibid., h. 148

15

Uyun Kamiluddin, Menyoroti Ijtihad Persis Fungsi dan Peranan Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Takafur, 2006) Cet. I, h. 12


(31)

Perlu ditegaskan, bahwa loncatan umat Islam dari milenium lalu ke milenium baru ini jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwa. Fatwa sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwa dalam menanggapi, bahkan persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dan sebagainya. Dengan demikian lembaga pemberi fatwa dituntut lebih jeli dan produktif dalam memahami kebutuhan masyarakat riil manusia.

Pada tingkat resmi dan organisasi kemasyarakatan, pemberi fatwa tidak pernah dilakukan secara pribadi. Di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Libanon, Irak, Iran dan Saudi Arabia, begitu juga negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, fatwa selalu diberikan oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Di Indonesia pada tingkat nasional terdapat komisi fatwa MUI, dan pada tingkat ke-Ormasan Islam terdapat lembaga

fatwa seperti Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masa’il NU. Dua

lembaga yang terakhir ini merupakan lembaga fatwa perintis pertama di Indonesia.16

Dari pengertian fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:

16

M. Atho Mudzar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: INIS, 1993, h. 4


(32)

24

1. Fatwa hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli fiqh berusaha mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid17, disamping harus memenuhi semua persyaratan ijtihad juga harus memenuhi beberapa persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa dan masyarakat lingkungannya, agar dapat diketahui dampak dari fatwa tersebut, dari segi posifit dan negatifnya. Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia mengemukakan beberapa syarat bagi mufti, yaitu:

Seseorang seyogyanya tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi lima hal: pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta ucapannya tidak mendapatkan nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya. Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang. Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.18

17

Syarat-syarat mujtahid yang menggali hukum (mustanbith), adalah: menguasai bahasa Arab, mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Quran, mengerti sunnah (hadits), mengerti letak ijma’ dan khilaf, mengetahui qiyas, mengetahui maksud-maksud hukum. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah, (Jakarta: pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-5, h. 568-575

18


(33)

2. Keputusan fatwa bersifat tidak mengikat.19 Para ulama wajib memberi fatwa, tidak boleh mengharuskan orang untuk menggali diri hukum-hukum itu dari dalil-dalilnya.20 Namun ia tidak boleh mengerjakan apa yang difatwakan oleh seorang ulama kecuali apabila hatinya pun puas menerima hukum itu dan tidak merasakan bahwa apa yang difatwakan itu berlawanan dengan yang seharusnya.21

3. Fatwa harus berorientasi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam hal ini as-Syatibi berkata sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah:

Mufti yang mencapai tingkat tinggi adalah mufti yang memberikan fatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan mazhab dengan pendapat yang berat dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan.22

Karakteristik fatwa tersebut bisa diartikan sebagai alasan atau penyebab munculnya fatwa. Ketika sebuah fatwa dikeluarkan, baik oleh lembaga-lembaga keagamaan maupun oleh organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki departemen fatwa dimaksudkan untuk memberikan jawabatan atas berbagai persoalan yang ada di tengah-tengah umat manusia yang masih menjadi tanda tanya di antara mereka. Dalam mengeluarkan suatu fatwa, ada mekanisme yang

19

A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 326

20

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiequ, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Ke-2, h. 166

21

Ibid, h. 67

22


(34)

26

harus dianut. Dan mekanisme tersebut tercermin dari tiga karakteristik fatwa di atas.

As-Syatibi memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan akan mendatangkan kepada kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada kelemahan.23

Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seorang mufti. Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial),

apabila ia melihat bahwa menetapkan „azimah (hukum asal) akan mendatangkan kesulitan dan kesusahan. Sesungguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshah

-rukhshah-Nya, sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan „azimah-„azimah

-Nya. Dalam keadaan di mana „azimah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah

lebih disukai Allah dari pada „azimah. Sebab Allah menginginkan hamba-Nya memperoleh kemudahan, tidak mengingingkan tertimpa kesusahan.24

Dalam Islam terdapat teori yang menyebutkan tentang maqâsid as

-syarî’ah. Dalam teori tersebut di jabarkan lima hal yang harus dijaga dalam mememutuskan suatu perkara.

1. Memelihara agama (hifz al-dîn)

23

Ibid

24


(35)

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara agama dalam peringkat darûriyyât, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringka primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.

b. Memelihara agama dalam peringkat hâjiyyât, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat

jama’ dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini

tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya.

c. Memelihara agama dalam peringkat tahsîniyyât, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun luar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat. 2. Memelihara jiwa (hifz al-nafs)

Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau


(36)

28

kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.25

b. Memelihara jiwa dalam peringkat hâjiyyât, seperti dibolehkan berburu dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.

c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsîniyyât, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.

3. Memelihara akal (hifz al-‘aql)

Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara akal dalam peringkat darûriyyât, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b. Memelihara akal dalam peringkat hâjiyyât, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

25


(37)

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsîniyyât, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.26

4. Memelihara keturunan (hifz al-nasl)

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara keturunan dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan

nikah dan dilarang zina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi keturunan.27

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hâjiyyât, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsîniyyât, seperti disyari’atkan

khitbah atau walîmah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan

26

Ibid, h. 43

27


(38)

30

mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang yang melakukan perkawinan.

5.Memelihara harta (hifz al-mâl)

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara harta dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan

tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka akan berakibat terancanmnya eksistensi harta.

b. Memelihara harta dalam peringkat hâjiyyât, seperti disyari’atkan jual beli

dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsîniyyât, seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada keabsahan jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.28 Adapun proses yang berkaitan dengan mekanisme pemberian fatwa yakni, 1.al-Ifta atau al-futya, kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai

jawaban yang diajukan.

28


(39)

2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa.

3. Mufti, Orang yang memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan.

4. Mustafti Fih, masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya.

5. Fatwa, Jawaban atau hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan.29

C.Kekuatan/kedudukan Fatwa

Kehidupan sehari-hari tidak pernah mudah bagi individu yang sungguh-sungguh berpedoman pada wahyu, kesulitan-kesulitannya berlipat ganda dengan adanya akomodasi Islam yang setengah hati. Fatwa merupakan suatu yang krusial karena merupakan respon internal terhadap pelbagai persoalan di mana angota-anggota umat sendiri memandangnya sebagai hal yang sangat penting dalam rangka menunaikan kewajiban yang diberikan Tuhan dengan benar.

Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai

amar ma’ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas

29Ma’ruf Amin,


(40)

32

mufti tersebut menjadi fardhu a’in. Namum, bila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifâyah.30

Lahirnya suatu fatwa berpengaruh terhadap pensosialisasinya di masyarakat. Fatwa harus dikeluarkan oleh mufti yang memahami, mengerti dan mendalami akan hukum syari’at, mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat. Oleh karena itu, umat akan selamat apabila ia berfatwa dengan benar dan akan sesat apabila ia salah dalam berfatwa.

Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi bagi yang menghianatinya.

Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :

1.Apa hukum atas masalah yang dimaksud. 2.Apakah dalilnya

3.Apa wajh dalalah-nya.

30

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: PT Logos Wacanan Ilmu, 2001), Cet. Ke-2, h. 434-435


(41)

4.Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang dimaksud.

Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia ahli di dalam agama Islam.31

Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti : mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi bahan tertawaan dan permainan. Lebih lanjut seperti yang telah di yakini Imam Malik, bahwa ia tidak akan memberi fatwa suatu masalah sebelum ada pengakuan dari tujuh puluh ulama yang menyatakan bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut.32 Hal ini dijaga demi menjaga kehati-hatian keluarnya hukum.

Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami

31

Ibid, h.435

32Ma’ruf Amin,


(42)

34

proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat. Kehati-hatian para salaf as shaleh dalam menjawab suatu masalah yang diajukan merupakan cerminan keluasan ilmu dan kehati-hatian mereka dalam mengeluarkan fatwa, karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi orang yang mengeluarkan fatwan tanpa yakin akan dalil-dalilnya. Ancaman bagi orang atau pihak yang dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa pertimbangan yang matang adalah neraka.33

Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, baik mengenai pengertian fatwa maupun sejarah fatwa di masa Rasulullah atau sahabat, ditambah dengan beberapa karakteristik yang melekat pada pemberian suatu fatwa, maka dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai kedudukan yang tidak mengikat. Fatwa yang dikeluarkan oleh pemberi fatwa, tidak serta merta harus diikuti atau dijalankan oleh kaum muslimin. Hal ini karena sifat fatwa yang lebih kepada anjuran atau saran, sehingga memberikan pilihan kepada kaum muslimin untuk mengikutinya atau tidak.

33


(43)

35

A. Pengertian Majelis Tarjih

Pemikiran Muhammadiyah dalam bidang keagamaan pada umumnya dan pemikirannya dalam bidang fikih khususnya telah ditulis dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih. Buku ini memuat putusan-putusan yang telah diambil oleh Majelis Tarjih dalam berbagai bidang, terutama bidang fikih. Kemudian berbagai macam putusan Majelis Tarjih juga dapati dijumpai dalam buku-buku lain yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.1

Menurut bahasa, kata tarjih berasal dari rajjaha. Rajjaha berarti member pertimbangan lebih dahulu dari pada yang lain. Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama

Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyufu ‘l-Asrâr disebutkan bahwa tarjih adalah:2

1

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 9

2

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 3


(44)

36

Artinya: “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang

nyata untuk dilakukan tarjih.”

Dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan bahwa mujtahid yang mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, karena adanya keterangan; baik tulisan, ucapan, maupun perbuatan yang mendorong mujtahid untuk mengambil yang mempunyai kelebihan dari pada yang lain.

Barangkali akan lebih sempurna kalau kita tambahkan pengertian (ta’rif) yang menyebutkan adanya pertentangan dua dalil itu dalam kualifikasi yang sama, seperti yang dikemukakan oleh Ustadz Ali Hasballah, dengan rumusan:

Artinya: “Menempatkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan

sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain dengan

ungkapan atau penggunaannya.”3

Sedangkan tarjîh merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu usûl al-fiqh

yang secara harfiah diartikan dengan „pengukuhan’, yang membuat sesuatu yang

kukuh

(

).

Dalam istilah usûl al-fiqh kata ini diartikan dengan mengukuhkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan yang seimbang

3


(45)

kekuatannya dengan menyatakan kelebihan dalil yang satu dari yang lainnya. Dengan demikian tarjîh hanya dilakukan pada dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan, baik yang bersifat qat’i maupun zanni. Sedangkan tugas Majelis Tarjih pada Muhammadiyah adalah membahas dan memutuskan masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya.4

Sedang K.H. Sahlan Rasyidi, sebagaimana yang dikutip oleh Arbiyah Lubis, mendefinisikan tarjih dalam organisasi Muhammadiyah sebagai:

“Bermusyawarah bersama dari tokoh-tokoh ahli yang meneliti, membanding, menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan karena perbedaan pendapat di kalangan umat awam mana yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih besar dan lebih dekat dari sumber utamanya ialah al-Quran dan Hadis.”5

Sedangkan tajdid, dari segi bahasa berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti, yakni (1) pemurnian; (2) peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.

Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan

ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah as-Shalihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang

semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan, dan

4

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 65

5

Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 91


(46)

38

perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah as-Shalihah.

Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.

Rumusan tajdid tersebut mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Quran dan Hadits; dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Quran dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya, Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami al-Quran dan Hadits. Namun kata-kata “yang dijiwai ajaran Islam memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash al-Quran dan Hadits.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan daripada pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh Muhammad Abduh. Menurut yang disebut terakhir ini, akal harus didahulukan


(47)

dari arti zâhir nash, jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Artinya, nash

itu harus dicari interpretasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.6

Majelis Tarjih Muhammadiyah mengakui kenisbian akal dalam memahami nash al-Quran dan Hadis. Tetapi, kenisbian itu hanya terbatas pada ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam nash. Sedangkan dalam masalah keduniaan penggunaan akal sangat diperlukan guna mencapai kemaslahatan umat. Artinya, masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama manusia, atau bisa disebut mu’âmalah, dengan demikian penggunaan akal sangat penting dalam menghadapi masalah mu’amalah, khususnya yang berhubungan dengan masalah sosial, karena Muhammadiyah disebut organisasi sosial. Kerangka tarjih Muhammadiyah bertitik tolak dari kerangka berpikir bahwa Islam diyakini sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan penyegaran dengan situasi baru. Sehingga pada hakikatnya tarjih dalam Muhammadiyah terkait dengan masalah tafsir, hadis, dan usul al-fiqh.7

Setelah penulis mengemukakan pengertian dari tarjih itu sendiri, penulis kemudian berusaha untuk memberikan beberapa aspek yang terdapat dalam

6

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 58-59

7

Afifi Fauzi Abbas, anggota majlis tarjih PP. Muhammadiyah Periode 2005-2010 pada

pengajian tarjih “Kitab Masail Khamsah” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya,

hari Ahad, 12 Februari 2006. Dikutip dari Rifka Rahma Wardati, Tafsir Tematik al-Quran tentang Hubungan Sosial antarumat beragama Karya Majlis Tarjih Muhammadiyah, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin, 2006), h. 17


(48)

40

proses pentarjihan. Hal ini penulis lakukan,dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang tarjih.

Setidaknya ada tiga aspek pentarjihan. Hal ini jika dilihat dari uraian para ahli ilmu Ushul Fiqh berkaitan dengan tarjih untuk dalil-dalil manqûl, yaitu:8

1. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi dua:

a. Yang kembali kepada diri perawi yang dibagi menjadi dua pula; yang kembali kepada diri perawi dan yang kembali pada penilaian perawi

b. Yang kembali kepada periwayatan 2. Yang kembali kepada matan.

3. Yang kembali kepada hal yang di luar tersebut.9

Untuk lebih jelaskanya, berikut ini adalah penjelasan dari ketiga aspek pentarjihan tersebut di atas.

1. Yang kembali kepada diri perawi:

a. Jumlah perawi (maksudnya sanad) yang banyak jumlahnya dimenangkan dari yang sedikit.

b. Kemasyhuran tsiqah seorang perawi dimenangkan dari yang tidak. c. Perawi yang lebih wara’ dan takwa dimenangkan dari yang kurang.

8

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 5-8

9


(49)

d. Perawi yang telah mengamalkan yang diriwayatkan, lebih diutamakan dari yang menyelisihinya.

e. Perawi yang menghayati langsung yang diriwayatkan, dimenangkan dari yang jauh.

f. Perawi yang lebih dekat hubungannya dengan Nabi, dimenangkan dari yang jauh.

g. Perawi yang termasuk kibâr-i l-Shahâbah diutamakan dari yang

Shighâr-i ‘l-Shahâbah.

h. Perawi yang lebih dulu Islamnya dimenangkan dari yang kemudian. i. Perawi yang mendengar ucapan hafalan langsung lebih diutamakan

dari yang hanya menerima dari tulisan.

j. Perawi yang menerima khabar sesudah baligh diutamakan dari yang menerima sebelum baligh.10

2. Yang kembali pada penilaian (tazkiyah) perawi:

a. Jumlah yang menganggap baik lebih banyak dimenangkan dari yang sedikit.

b. Ungkapan yang menganggap baik dengan tegas diutamakan dari yang tidak tegas.

c. Pensucian perawi dengan menggunakan kata pensaksian dimenangkan dari yang hanya dengan kata periwayatan saja.

3. Yang kembali pada periwayatan:

10


(50)

42

a. Yang diriwayatkan atas yang didengar dari gurunya diutamakan dari yang dibaca di hadapan gurunya.

b. Yang disepakati marfu’-nya dimenangkan dari yang diperselisihkan.

c. Riwayat bi l-lafzzhi dimenangkan dari riwayat bi ‘l-ma’na.

4. Yang kembali kepada matan, dititikberatkan pada lafaz dan makna: a. Yang bukan musytarak didahulukan dari yang musytarak.

b. Haqikah didahulukan atas majaz.

c. Kalau keduanya musytarak, yang lebih sedikit artinya didahulukan dari yang banyak artinya.

d. Kalau keduanya majaz, pengertian yang manqul didahulukan atas yang ma’qul.

e. Yang tidak memerlukan izhmar atau hadzf didahulukan atas yang memerlukan.

f. Kalau keduanya hakiki, maka yang lebih masyhur yang dipakai. g. Makna syar’i didahulukan atas makna lughawi.

h. Yang ada muakkad-nya didahulukan dari yang tidak. i. Manthuq didahulukan atas yang mafhum.

j. Khâsh didahulukan atas ‘âm. 5. Yang kembali pada isi dalil:

a. Yang melarang didahulukan atas yang membolehkan. b. Yang melarang didahulukan atas yang mewajibkan.


(51)

c. Yang mengandung hukum haram didahulukan atas yang makruh. d. Itsbat didahulukan atas nafi’.

e. Yang mengandung ziyadah didahulukan atas yang tidak. f. Yang mengandung taklifi dimenangkan atas yang wadl’i. g. Yang meringankan didahulukan atas yang memberatkan.11 6. Tarjih sebuah dalil, berdasarkan yang lain dari hal-hal tersebut di atas:

a. Yang mencocoki dengan dalil lain dimenangkan dari yang tidak. b. Yang mengandung apa yang diamalkan oleh ahli Madinah

dimenangkan dari yang tidak.

c. Yang ta’wil-nya sesuai dimenangkan dari yang tidak sesuai. d. Hukum yang ber-illah dimenangkan dari yang tidak.12

B. Kedudukan Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah

Dilihat dari sejarah berdirnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak terlepas dari keadaan masyarakat Jawa yang sinkretis, serta banyaknya

praktek-praktek bersifat „abangan’, menyebabkan konsep dasar tauhid sebagai asas dari

segala hal yang asasi terbelenggu tradisi animistik.13 Gambaran Cliffort Geerzt cukup memberikan kejelasan bahwa kehidupan ke-Islaman masyarakat Jawa

11

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5,h. 8

12

Ibid, h. 10

1313


(52)

44

terklasifikasi ke dalam tiga struktur sosial, abangan, santri, dan priyayi, di mana masing varian memberi kesan akan kualitas keberagamaannya masing-masing. Kondisi demikian menyadarkan Muhammadiyah, sehingga dalam kongres Muhammadiyah XVI tahun 1927 di Pekalongan, usulan K.H. Mas Mansur, supaya Muhammadiyah membentuk suatu Majelisatau badan semacam Majelis ulama yang bertugas khusus meneliti dan menggali hukum-hukum Islam berdasarkan al-Quran dan hadis, yang sekarang dikenal dengan Majelis Tarjih, diterima dengan suara bulat.14

Muhammadiyah disinyalir mengalami stagnasi pemikiran justru karena Majelis Tarjih Muhammadiyah belum berfungsi secara optimal. Adapun kelahiran Majelis Tarjih ini K.H. Mas Mansur mendasarinya dengan beberapa pertimbangan:

1. Dikhawatirkan di masa yang akan datang timbul perpecahan di dalam tubuh Muhammadiyah yang disebabkan perbedaan faham dan pendapat mengenai masalah-masalah furû’iyah.

2. Dikhawatirkan kalau Muhammadiyah menyimpang dari aturan-aturan dan batasan-batasan agama disebabkan mengejar kebebasan lahiriah dan mengejar kuantitas.

14

H.D.G. Muchtar, et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, (Yogyakarta: Muhammadiyah, 1985), h. 17


(53)

Dengan lahirnya Majelis Tarjih, menjadi tumpuah Muhamadiyah dalam gerakan pemikiran ke-Islaman dan menjadi simbol pembaharuan Muhammadiayh tahap kedua.15

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pada kongres Muhammadiyah XVI di Pekalongan memutuskan untuk membentuk panitia perumusnya yang personalianya sebagai berikut: K.H. Mas Mansur, Surabaya, A.R. Sutan Mansur, Maninjau, H. Muchtar, Yogyakarta, H.A. Muthi, Kudus, Kartosudarmo, Jakarta, M. Husni dan Yunus Amin, Yogyakarta.16 Hasil kerja panitia perumus kemudian di bawa ke dalam Muktamar Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Yogyakarta. Muktamar mengesahkan kaidah Majelis Tarjih serta membentuk pimpinan pusat yang diketuai oleh K.H. Mas Mansur dengan sekretarisnya H. Aslam Zainuddin.

Sehubungan dengan semakin banyaknya tugas yang harus dilaksanakan oleh Majelis Tarjih, maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 telah menetapkan Kaidah Lajnah Tarjih. Dalam Pasal 2 Kaidah tersebut disebutkan, bahwa tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:

1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.

2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah dan mu’amalah dunyawiyah.

15

M. Rusli Karim, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), Cet. Ke-1, h. 37

16

H.D.G. Muchtar, et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, (Yogyakarta: Muhammadiyah, 1985), h. 12


(54)

46

3. Memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu

4. Menyalurkan perbedaan pendapat/paham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

5. Mempertinggi mutu ulama.

6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.17

Berdasarkan tugas pokok dan kegiatan yang telah dilakukan oleh Majelis Tarjih, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Majelis sini merupakan lembaga ijtihad Muhammadiyah. Tugas utamanya adalah menyelesaikan segala macam persoalan kontemporer, ditinjau dari segi fikih. Tentu yang dimaksud dengan ijtihat di sini adalah ijtihad jama’i. Memang dalam perkembangan awal, ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah lebih banyak bersifat ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjihi. Namun dalam perkembangannya yang terakhir sudah mengarah kepada ijtihad insya’i. Ijtihad dalam bentuk terakhir ini dilakukan oleh Majelis Tarjih, erat kaitannya dengan perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia yang mengarah kepada kehidupan modern. Kebanyakan masalah kontemporer yang dihadapi oleh Majelis Tarjih itu tidak ditemukan dalam khazanah pemikiran

17

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 66-67


(55)

umat Islam sebelumnya. Persoalan-persoalan yang baru itu menuntut penanganan yang baru pula, sesuai dengan tuntutan umat Islam Indonesia kontemporer.18

C. Tugas dan Wewenang Majelis Tarjih

Sejak berdirinya hingga saat ini, tugas Majelis Tarjih Muhammadiyah telah mengalami perkembangan dan perubahan. Awalnya Majelis Tarjih Muhammadiyah hanya membahas masalah-masalah yang diperselihkan saja, yaitu dengan cara mengambil pendapat yang dianggap kuat dalilnya. Sehingga tugas utama Majelis ini awalnya hanya membuat tuntunan atau pedoman bagi warga Muhammadiyah, terutama masalah ibadah.

Agenda pembahasan Majelis Tarjih yang pertama yakni pada tahun 1929 di solo hanya membahas mengenai ibadah, mulai dari bersuci, hingga pelaksanaan ibadah haji ditambah dengan pembahasan jenazah dan wakaf. Kemudian pada tahun 1954 dibahas secara global mengenai sumber ajaran Agama dan masuk di dalamnya adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan warga Muhammadiyah secara praktis seperti batas aurat bagi laki, mengajar laki-laki atau sebalinya dan lain-lain.19

Pada tahun 1960 Muktamar Tarjih baru mulai mengadakan pembahasan mengenai masalah pembatasn kelahiran, perburuhan, dan hak milik namun pada

18

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5 h. 67

19

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 65


(56)

48

muktamar ini tidak sampai pengambilan keputusan hingga muktamar-muktamar yang diselanggarakan dengan berbagai macam pembahasn masalah kontemporer seperti halnya bunga bank, keluarga berencana (KB) asuransi atau pertanggungan dan lain sebagainya. Sederet agenda permasalahan yang dibahas dalam satu muktamar tarjih ke muktamar tarjih berikutnya dapat dipahami bahwa tugas pokok dari Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak hanya terbatas pada masalah-masalah Khilafayat dalam bidang Ibadah saja melainkan masalah kekinian sesuai dengan perkembangan zaman.20

Jadi, lingkup garapan Majelis Tarjih Muhammadiyah sangat luas, berbeda dengan tugasnya ketika lembaga ini didirikan.

Sehubungan dengan semakin meluasnya daerah garapan Majelis Tarjih Muhammadiyah, maka Pimpnan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1971 menetapkan Kaidah Lajnah tarjih. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:

1. Menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya.

2. Menyusun tuntunan akidah, akhlak, ibadah, dan mu’amalah dunyawiyah. 3. Memberi fatwa dan nasehat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri

memandang perlu.

4. Menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

20


(57)

5. Mempertinggi mutu ulama.

6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.21

Berdasarkan tugas pokok tersebut, tidaklah salah kiranya bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah dianggap sebagai pangkal penafsiran terhadap masalah-masalah keagamaan. Penafsiran yang dilakukan jelas bersinggungan dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat modern.

Mengingat tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Majelis Tarjih, maka anggota Majelis Tarjih bukan berasal dari sembarang orang. Dalam Qaidah Lajnah Tarjihnya dalam pasal 4 ayat (1) Qaidah Lajnah Tarjih, disebutkan bahwa

syarat anggota Lajnah Tarjih adalah “Ulama (laki-laki/perempuan) anggota persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih, yang mempunyai kemampuan bertarjih. Tentu yang dimaksud dengan bertarjih di sini adalah melakukan kegiatan di bidang istinbat hukum atau lebih tegas lagi berijtihad. Itulah yang dimaksud oleh warga Muhammadiyah, bahwa anggota lajnah tarjih

Muhammadiyah harus mampu “membaca kitab kuning” paling tidak dapat

membaca dan memahami kitab Subul al-Salam.)22

21

Kaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah (Muhammadiyah Majlis Tarjih, 1971), h. 2

22


(58)

50

BAB IV

ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan

Kebiasaan merokok dalam pandangan ilmu kesehatan dapat merusak tubuh manusia, terutama paru-paru. Hal ini dikarenakan dalam rokok terdapat berbagai kandungan materi beracun yang dapat membahayakan organ tubuh manusia. Menurut ilmu kedokteran rokok mengandung lebih dari kurang 4000 bahan kimia1. Di antara materi-materi beracun yang terdapat di dalam rokok antara lain adalah, Nikotin, Distilasi, Arsenik, Gas Karbon Monoksida, Nitrogen Oksida, Amonium Karbonat, Ammonia, Formic Acid, Acrolein, Tar dan lain sebagainya.2

Zat tersebut diatas diantaranya dapat diurai sebagai berikut: 1. Nikotin

Nikotin adalah sejenis unsur kimia beracun, mirip dengan alcaline. Ia merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah. Nikotin membuat pemakainya kecanduan. Bahayanya bisa dijelaskan oleh fakta bahwa 4 cc nikotin terbukti cukup untuk membunuh seekor kelinci besar.

1

Suryo Sukendro, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet. Ke-1, h. 80

2

Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2008), Cet. Ke-2, h. 17-22


(59)

2. Distilasi

Proses penciptaan unsur hedro karbon yang sangat dikenal sebagai penyebab kanker.

3. Arsenik

Sejenis unsur kimia yang biasa digunakan untuk membunuh serangga. 4. Gas karbon monoksida

Gas beracun yang dapat mengurangi kemampuan darah membawa oksigen. Yaitu gas yang terbentuk ketika pembakaran tembakau dan kertas pembungkus rokok dalam waktu lama. Unsur ini memiliki kemampuan cepat sekali bersenyawa dengan homoegilobine. Akibatnya, suplai oksigen ke seluruh organ tubuh terhambat. Sebagai gantinya, tubuh terpaksa menyerap unsur timah berat yang beracun.

5. Nitrogen Oksida

Unsur kimia yang dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan merangsang kerusakan dan perubahan kulit tubuh.

6. Amonium Karbonat

Unsur kimia yang membentuk plak kuning pada permukaan lidah dan mengganggu kelenjar makanan dan perasa yang terdapat di permukaan lidah tersebut. Unsur ini juga merangsang produksi air liur, menimbulkan batuk dan membantu tubuh untuk menerima berbagai macam penyakit seperti pilek, radang mulut, tenggorokan dan amandel.


(1)

69 BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap literatur yang berkaitan dengan pembahasan, yaitu istinbath hukum Islam dengan mengambil studi kasus fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah sebagai sebuah badan yang mengkaji berbagai persoalan kontemporer yang dihadapi oleh masyarakat, di mana persoalan-persoalan tersebut belum ada hukumnya. Untuk itu Majelis Tarjih Muhammadiyah berusaha untuk mencari hukum berkenaan dengan persoalan kontemporer dengan bersandarkan pada al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selanjutnya, setelah dilakukan kajian yang mendalam terhadap suatu masalah, Majelis Tarjih mengeluarkan hukum tersebut yang berupa fatwa.

2. Mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah dilakukan dengan cara memilih anggota MajelisTarjih yang memiliki kompeten di dalam keilmuan agama. Para anggota Majelis Tarjih dituntut untuk menguasai berbagai literatur ke-Islaman yang berkaitan dengan masalah hukum. Berkenaan dengan pengeluaran suatu fatwa, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyandarkannya kepada sumber-sumber hukum Islam yang ada.


(2)

3. Metode istinbat hukum fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dilakukan dengan menelaah sumber-sumber hukum Islam. Dalam metode tersebut, Majelis Tarjih Muhammadiyah mengemukakan dua dalil, yaitu al-muqaddimât al-naqliyyah (penegasan premis-premis syariah) dan tahqîq al-man’i (penegasan fakta syar’i). Pada dalil pertama, dikemukakan dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’an, Hadis,

Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan pada dalil kedua, dikemukakan fakta-fakta yang

ada melalui berbagai penelusuran referensi.

B.Saran-saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dala penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai tema yang penulis angkat, yaitu metode istinbat hukum fatwa pelarangan rokok. Penelitian bisa dikembangkan kepada majelis-majelis lain yang memliki kompetensi dalam mengeluarkan suatu fatwa.

2. Bagi masyarakat yang mendukung keluarnya fatwa pengharaman rokok dari Majelis Tarjih Muhammadiyah, hendaknya tidak serta merta menjadi polisi sosial dengan memberikan hukuman kepada mereka yang masih merokok. Hal ini mengingat bahwa kekuatan fatwa hanya sebatas anjuran atau nasehat. Sedangkan bagi mereka yang kontra dengan fatwa ini, hendaknya menyikapi perbedaan tersebut dengan arif. Karena fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis


(3)

71

Tarjih Muhammadiyah ini ditujukan bagi kemaslahatan masyarakat itu sendiri. Perbedaan yang terjadi dalam menafsirkan suatu masalah, hendaknya tidak disikapi dengan tindakan anarkis. Melainkan hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana dengan mengemukakan argumen-argumen yang sesuai dengan dalil-dalil yang ada dalam syari’at.


(4)

72 Al-Quran dan terjemahnya.

Abdurrahman, Asjmuni, Manjhaj Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet.ke-5.

Aditama, Tjandra Yoga, Rokok dan Kesehatan Jakarta : UI Press, 1992 Cet. III

Ahmad Ibnu Hambal, Ed. Syu’aib al- Arna’uth (Kairo: Mu’assasah al- Risalah) Cet. 2 Vol , h. 55, No. 2865.

Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008.

Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, Cet. Ke-13.

Agnes Tineke, Kompas Minggu 2 Mei 2002.

Alwi, Usman Manfaat Rokok Bagi Anda (Menurut Kesehatan dan Islam), (Jakarta: Binadaya Press, 1990)

Basyir, Abu Umar, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2005.

Beik, M. Hudori, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Surabaya, Al-Hidayah, t.th.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad MajelisTarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995, Cet. Ke-1.

Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Fanjari, Al, Ahmad Syauqi, Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996.

Iqbal, Muhammad dan Hunt, William, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, Jakarta: Taramedia, 2003.


(5)

73

Hooker, M.B., Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan Iding Rosyidin Hasan, Jakarta: Teraju, 2003, Cet. II.

Kaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah (PP Muhammadiyah MajelisTarjih, 1971. Kamiluddin, Uyun Menyoroti Ijtihad Persis Fungsi dan Peranan Hukum Islam di

Indonesia, Bandung: Takafur, 2006 Cet. I,

Karim, M. Rusli, Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, Jakarta: Rajawali Press, 1986, Cet. Ke-1.

Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh; Suatu Studi Perbandingan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V.

Muchtar, H.D.G., et.al, Beberapa Pedoman Ber-tarjih, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1985.

Mudzar, M. Atho, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: INIS, 1993.

Mujieb, M. Abdul, dkk., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Maba, Ghufron Ternyata rokok Haram, Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008.

Qaradhawi, Al, Yusuf, Halal dan Haram dalam Islam, penerjemah Abu Hana Zulkarnain dan Abdurrahim Mu’thi, Jakarta: Akbar, 2004, Cet. Ke-1.

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung : PT Sinar Baru Algesindo, 1994.

Rifa’i Ahmad Rif’an, Merokok Haram, Jakarta: Republika, 2010.

Ritonga, A. Rahman, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Roan, Ilmu Kedokteran Jiwa, Psikiatri, 1979.

Ash-Shiddiequ, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Ke-2

Sukendro, Suryo, sehat, Tanpa Berhenti Merokok, (Yogyakarta: Pinus, 2007) Cet. Ke-1


(6)

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: PT Logos Wacanan Ilmu, 2001, Cet. Ke-2

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, terj. Saefullah, Jakarta: pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-5

Tim penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, Cet. Ke-3

Uman, Khairul dan Aminuddin, A. Achyar, Ushul Fiqh II, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998

Utomo, Setiawan Budi, Fiqih Kontemporer, Jakarta: Pustaka Saksi, 2000

Yanggo, Chuzaimah T., Prof. Dr.,dan Anshary, A. Hafiz, (ed.)Problematika Hukum Islam Kontemporer Edisi keempat, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ke-3

Website:

http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok

htpp://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/kedokteran/dampak-merokok-bagi-kesehatan, posted February 18th, 2008 by djmanshiro.

http://ackogtg.wordpress.com/2009/02/19/merokok-dilihat-dari-sudut-pandang-kedokteran-dan-islam/#more-183

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/03/24/brk,20100324-235034,id.html http://www.microfin-center.com/web/index.php?option=com content&view

=article&id=48:tentang-fatwa&catid=34:artikel-ekonomi-syariah&Itemid=56 http://www.sampoerna.com/default.asp?Language=Bahasa

&Page=smoking&searWords=, artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2010

Warta Berita

Harian Umum Republika, Selasa 26 Maret 2002. Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008


Dokumen yang terkait

Hukum Islam dan Perubahan Sosial: Telaah Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah

0 4 124

Fatwa Tarjih sebagai Hasil Ijtihad Jama’i Majelis Tarjih Muhammadiyah

0 2 12

Studi Komparatif Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang ISTIB Th Hukum Merokok

1 9 18

STUDI KOMPARATIF FATWA MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH DAN BAHTSUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA Studi Komparatif Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang Istinbath Hukum Merokok.

0 2 13

PENDAHULUAN Studi Komparatif Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang Istinbath Hukum Merokok.

0 1 11

STUDI KOMPARATIF FATWA MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH DAN BAHTSUL MASAIL NAHDLATUL ULAMA Studi Komparatif Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Tentang Istinbath Hukum Merokok.

0 1 17

PERANCANGAN APLIKASI TUNTUNAN SHALAT FARDHU MENURUT MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH SECARA Perancangan Aplikasi Tuntunan Shalat Fardhu Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah Secara 3d Menggunakan Blender.

0 0 15

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG FATWA HARAM ROKOK YANG DIKELUARKAN MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH (Studi Analisis Framing Tentang Berita Fatwa Haram Rokok yang Dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada 8 Maret 2010 pada Media Detik

0 0 111

Efektivitas hukum dalam masyarakat Islam: studi kasus fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang keharaman merokok.

0 0 76

PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG FATWA HARAM ROKOK YANG DIKELUARKAN MAJELIS TARJIH DAN TAJDID MUHAMMADIYAH (Studi Analisis Framing Tentang Berita Fatwa Haram Rokok yang Dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada 8 Maret 2010 pada Media Detik

0 0 29