22
Mesir sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain Abdullah ibn Umar ibn al- „Ash, Abu al-Khair Mursid ibn Abdullah al-Yazni, Yazid ibn Abu al-Habib.
14
Dengan semangat dakwah Islam yang menjulang, menghasilkan wilayah Islam yang semakin meluas, kebutuhan manusia semakin beragam pula, sehingga
berbagai persoalan muncul dari zaman ke zaman, yang memerlukan jawaban dan penyelesaian yang cukup serius. Untuk itu para warga pergi ke tokoh-tokoh
masyarakat yang terdiri dari kaum ulama untuk menanyakan masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa tingkat pemikiran manusia, semakin meningkat dari zaman ke zaman. Hal ini terbukti dengan semakin banyak rahasia
alam yang berhasil disingkap oleh manusia serta pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah berhasil menyediakan berbagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang semakin beragam.
B. Mekanisme Fatwa
Agama memegang peranan penting dalam mengarahkan dan membimbing masyarakat. Tidak ada yang menandingi kekuatan Agama. Dan
agama tidak dapat dinomorduakan atau diletakkan di pinggiran kehidupan manusia, karena Agama merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi
kehidupan manusia.
15
14
Ibid., h. 148
15
Uyun Kamiluddin, Menyoroti Ijtihad Persis Fungsi dan Peranan Hukum Islam di Indonesia,
Bandung: Takafur, 2006 Cet. I, h. 12
23
Perlu ditegaskan, bahwa loncatan umat Islam dari milenium lalu ke milenium baru ini jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan
perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwa. Fatwa sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwa
dalam menanggapi, bahkan persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dan sebagainya.
Dengan demikian lembaga pemberi fatwa dituntut lebih jeli dan produktif dalam memahami kebutuhan masyarakat riil manusia.
Pada tingkat resmi dan organisasi kemasyarakatan, pemberi fatwa tidak pernah dilakukan secara pribadi. Di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir,
Libanon, Irak, Iran dan Saudi Arabia, begitu juga negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, fatwa selalu diberikan
oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Di Indonesia pada tingkat nasional terdapat komisi fatwa MUI, dan pada tingkat ke-Ormasan Islam terdapat lembaga
fatwa seperti Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masa’il NU. Dua lembaga yang terakhir ini merupakan lembaga fatwa perintis pertama di
Indonesia.
16
Dari pengertian fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
16
M. Atho Mudzar, Fatwa-fatwa MUI; Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: INIS, 1993, h. 4
24
1. Fatwa hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli fiqh
berusaha mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid
17
, disamping harus memenuhi semua persyaratan ijtihad juga harus memenuhi
beberapa persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa dan masyarakat
lingkungannya, agar dapat diketahui dampak dari fatwa tersebut, dari segi posifit dan negatifnya. Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia
mengemukakan beberapa syarat bagi mufti, yaitu: Seseorang seyogyanya tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi lima
hal: pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta ucapannya tidak mendapatkan nur pencerahan. Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh
santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya.
Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang.
Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.
18
17
Syarat-syarat mujtahid yang menggali hukum mustanbith, adalah: menguasai bahasa Arab, mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-
Quran, mengerti sunnah hadits, mengerti letak ijma’ dan khilaf, mengetahui qiyas, mengetahui maksud-maksud hukum. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqh , terj. Saefullah, Jakarta: pustaka Firdaus, 1999, cet. Ke-5, h. 568-575
18
Ibid, h. 595
25
2. Keputusan fatwa bersifat tidak mengikat.
19
Para ulama wajib memberi fatwa, tidak boleh mengharuskan orang untuk menggali diri hukum-hukum itu dari
dalil-dalilnya.
20
Namun ia tidak boleh mengerjakan apa yang difatwakan oleh seorang ulama kecuali apabila hatinya pun puas menerima hukum itu dan
tidak merasakan bahwa apa yang difatwakan itu berlawanan dengan yang seharusnya.
21
3. Fatwa harus berorientasi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam
hal ini as-Syatibi berkata sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah: Mufti yang mencapai tingkat tinggi adalah mufti yang memberikan
fatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan mazhab dengan pendapat yang
berat dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan .
22
Karakteristik fatwa tersebut bisa diartikan sebagai alasan atau penyebab munculnya fatwa. Ketika sebuah fatwa dikeluarkan, baik oleh lembaga-lembaga
keagamaan maupun oleh organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki departemen fatwa dimaksudkan untuk memberikan jawabatan atas berbagai
persoalan yang ada di tengah-tengah umat manusia yang masih menjadi tanda tanya di antara mereka. Dalam mengeluarkan suatu fatwa, ada mekanisme yang
19
A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 326
20
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiequ, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Ke-2, h. 166
21
Ibid, h. 67
22
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh , Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy, h. 596.
26
harus dianut. Dan mekanisme tersebut tercermin dari tiga karakteristik fatwa di atas.
As-Syatibi memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke
arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan akan mendatangkan kepada kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada
kelemahan.
23
Pintu rukhshah kemurahan terbuka lebar di depan seorang mufti. Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat penyakit sosial,
apabila ia melihat bahwa menetapkan „azimah hukum asal akan mendatangkan kesulitan dan kesusahan. Sesungguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshah-
rukhshah -Nya, sebagaimana h
alnya suka bila dilaksanakan „azimah-„azimah- Nya. Dalam keadaan di mana „azimah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah
lebih disukai Allah dari pada „azimah. Sebab Allah menginginkan hamba-Nya memperoleh kemudahan, tidak mengingingkan tertimpa kesusahan.
24
Dalam Islam terdapat teori yang menyebutkan tentang maqâsid as- syarî’ah. Dalam teori tersebut di jabarkan lima hal yang harus dijaga dalam
mememutuskan suatu perkara. 1.
Memelihara agama hifz al-dîn
23
Ibid
24
Ibid, h. 597.
27
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat darûriyyât, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringka primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka
akan terancamlah eksistensi agama. b.
Memelihara agama dalam peringkat hâjiyyât, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat
jama’ dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama,
melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya. c.
Memelihara agama dalam peringkat tahsîniyyât, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik di dalam maupun luar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat.
2. Memelihara jiwa hifz al-nafs
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau
28
kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
25
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hâjiyyât, seperti dibolehkan berburu
dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan
hanya akan mempersulit hidupnya. c.
Memelihara jiwa dalam peringkat tahsîniyyât, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan
kesopanan atau etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3. Memelihara akal hifz al-‘aql
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal dalam peringkat darûriyyât, seperti diharamkan
meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b. Memelihara akal dalam peringkat hâjiyyât, seperti dianjurkan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan itu tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
25
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy, h. 42
29
c. Memelihara akal dalam peringkat tahsîniyyât, seperti menghindarkan diri
dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal
secara langsung.
26
4. Memelihara keturunan hifz al-nasl
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan
nikah dan dilarang zina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi keturunan.
27
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hâjiyyât, seperti ditetapkan
ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu
akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami
kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangga tidak harmonis lagi.
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsîniyyât, seperti disyari’atkan
khitbah atau walîmah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan
26
Ibid, h. 43
27
Ibid.
30
mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5. Memelihara harta hifz al-mâl
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan
tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka akan berakibat
terancanmnya eksistensi harta. b.
Memelihara harta dalam peringkat hâjiyyât, seperti disyari’atkan jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan
mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
c. Memelihara harta dalam peringkat tahsîniyyât, seperti adanya ketentuan
agar menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada keabsahan jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.
28
Adapun proses yang berkaitan dengan mekanisme pemberian fatwa yakni, 1.
al-Ifta atau al-futya, kegiatan menerangkan hukum syara’ fatwa sebagai jawaban yang diajukan.
28
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh , Kairo: Dar Al Fikri al „Arabiy, h. 44
31
2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa. 3.
Mufti, Orang yang memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan. 4.
Mustafti Fih, masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya.
5. Fatwa, Jawaban atau hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang
ditanyakan.
29
C. Kekuatankedudukan Fatwa