Konsep Budaya dalam Perawatan Postpartum

Pengunjung atau tamu sehat boleh mengunjungi wanita postpartum. Hendaknya para pengunjung harus dalam keadaan sehat dan bersih untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit oleh karena wanita dalam masa nifas mudah sekali terkena infeksi. Pemakaian gurita yang tepat masih dibenarkan pada wanita postpartum. Ketika dipulangkan, diberi penjelasan dan motivasi tentang cara menjaga bayi, memberi susu dan makanan bayi, keluarga berencana, hidup dan makanan sehat, dan dipesan untuk memeriksakan diri lagi Winkjosastro et al, 2002 Mochtar, 1998.

B. Konsep Budaya dalam Perawatan Postpartum

1. Konsep Budaya Kebudayaan merupakan wawasan pegangan yang diambil dari pemahaman makna realitas yang dikembangkan menjadi pijakan sikap tingkah laku dalam menghadapi hidup dalam realitas itu, maka kebudayaan dilihat dari potensi-potensi kemampuan-kemampuan kreatif manusia Mudji Sutrisno, 2006. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan social, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya Mulyana, 2002. Manusia melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa rencana, aturan, resep, dan instruksi yang digunakan untuk mengatur terwujudnya tingkahlaku dan tindakan tertentu Geertz, 1973. Dalam pengertian ini, kebudayaan berfungsi sebagai “alat” yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan Mudji sutrisno, 2006. Kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh dari proses belajar dari lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan kata Universitas Sumatera Utara lain, hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan fisiologis dari diri mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan- kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Kebiasaan atau kelakuan yang terpolakan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama. Dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan mungkin akan memilih cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keaneka ragaman budaya Mudji Sutrisno, 2006. 2. Konsep Budaya tentang Perawatan Masa Nifas Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam kelangsungan kehidupan manusia, namun berbagai kelompok masyarakat dengan kebudayaannya di seluruh dunia memiliki aneka persepsi, interpretasi dan respon perilaku dalam menghadapinya, dengan berbagai implikasinya terhadap kesehatan Swasono, 1998. Menurut pendekatan biososiokultural persalinan, kehamilan dan kelahiran bukan hanya dilihat semata-mata dari aspek biologis dan fisiologisnya saja. Lebih dari itu, fenomena ini juga harus dilihat sebagai suatu proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal, seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung , cara-cara pencegahan bahaya, Universitas Sumatera Utara penggunaan ramu-ramuan atau obat-obatan dalam proses kelahiran, cara-cara menolong persalinan, dan pusat kekuatan dalam perawatan bayi dan ibunya Jordan, 1993. Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kelahiran menganggap peristiwa tersebut sebagai tahapan kehidupan yang harus dijalani di dunia. Pada saat lahirnya, bayi dianggap berpindah dari kandungan ibu ke dunia untuk menjalankan kehidupan baru sebagai manusia. Begitu pula sang ibu mulai memasuki tahapan baru dalam kehidupannya sebagai orangtua, untuk menjalankan peran baru sebagai seorang ibu Swasono. 1998. Dalam memahami sikap dan perilaku menanggapi kehamilan, kelahiran serta perawatan ibu dan bayinya, faktor-faktor sosial budaya sangat mempunyai peranan penting. Sebagian pandangan budaya mengenai hal-hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan Swasono, 1998. Pada masyarakat di Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah, perawatan postpartum dilakukan salah salah satunya dengan segera memberi minuman pada wanita yang baru melahirkan, yang minuman tersebut terdiri dari campuran jeruk asam jeruk nipis, halia jahe yang diparut, gula merah dan lada, yang kesemuanya dimasak hingga menjadi cairan kental. Kemudian setelah kurang lebih 3 jam pasca persalinan ibu nifas diberi makan rujak, dengan tujuan agar darah nifasnya keluar, dan dinding peranakan menjadi bersih dari gumpalan darah, yang disebut kotor banta. Bila ketika melahirkan terjadi “sobekan”, keadaan ini dipulihkan dengan pasir panas yang dibungkus daun, kemudian dibungkus lagi dengan kain, untuk ditekan- tekankan kebagian jalan lahir yang sobek selama 9 hari, pada pagi dan sore hari. Bahan yang sama juga ditepuk-tepuk ke seluruh tubuh wanita yang baru bersalin. Pada masyarakat Maluku Universitas Sumatera Utara Tengah wanita postpartum juga diurut, diuapi, diberi minuman berupa jamu-jamuan, dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya Swasono, 1998. Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan perempuan nifas dan bayinya dilakukan upacara adat salussu. Upacara salussu ini dilaksanakan dengan menyediakan daun pisang panjang sebanyak dua lembar, yang masing-masing diisi dengan ketan putih dan hitam, tumpi-tumpi, yakni sejenis ikan yang ditumbuk kemudian dibentuk bulat kecil sebanyak 40 buah. Seperti halnya dengan upacara adat lainnya, kemenyan, kelapa, dan bedak kuning senantiasa disajikan sebagai pelengkap upacara. Dalam upacara ini ditambahkan pula dua buah cincin emas. Apabila bayi yang lahir laki-laki, sajian ditambah lagi dengan dua ekor ayam jantan, sedangkan jika bayi seorang perempuan, disediakan dua ekor ayam betina. Hidangan yang dibuat dalam dua bagian tersebut dibagi dua, sebuah diberikan kepada sandro dukun yang bertugas sebagai pemimpin acara, sedangkan yang lainnya ditujukan bagi keluarga sang bayi Swasono, 1998. Perawatan nifas menurut budaya masyarakat Aceh. Seperti, pantangan untuk meninggalkan rumah selama 44 wanita yang baru melahirkan. Selama masa nifas perempuan pada masyarakat Aceh disuruh berbaring pada suatu pembaringan yang ditinggikan yang dasarnya diberi batu bata panas. Kakinya terlentang dan dirapatkan. Lengannya tidak boleh diangkat di atas kepala. Ibunya menjaganya, seraya mengawasi supaya perempuan nifas tersebut tetap mengikuti petunjuk mengenai posisi kaki dan cara berbaring sekali-sekali harus dirubah supaya seluruh badan wanita dihangatkan. Penghangatan badan dimulai pada hari sesudah melahirkan dan berlangsung sekurang-kurangnya 20 hari dan paling lama 44 hari. Ibu yang baru melahirkan mandinya dibatasi agar berkeringat, karena bila ibu postpartum berkeringat dianggap baik untuk proses pengeringan luka-luka jalan lahir Swasono, 1998. Universitas Sumatera Utara Selain penghangatan badan, selama minggu pertama ibu postpartum juga diurut oleh dukun beranak dengan menggunakan minyak kelapa. Dalam minggu pertama ini, wanita yang baru bersalin bebas makan dan minum apa saja yang diinginkannya. Tetapi sesudah hari ketujuh, waktu dia diberi minuman yang diramu dari jenis daun-daunan tertentu, dia pantang makan dan minum beberapa jenis bahan makanan yang paling biasa dikonsumsi masyarakat Aceh, pantangan makan tersebut berlangsung selama 5 bulan atau lebih. Makanan yang dilarang itu misalnya adalah ketan, daging kerbau, telur bebek, daging bebek dan semua jenis buah-buahan Swasono, 1998. Dengan berbagai variasi kultur atau budaya di atas, umumnya sering berhubungan dengan faktor sosial ekonomi dan pendidikan. Oleh karena itu, meskipun petugas kesehatan mungkin menemukan suatu bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan perubahan terhadapnya. Hal tersebut diakibatkan oleh telah tertanamnya keyakinan yang melandasi sikap dan perilaku itu secara mendalam pada kebudayaan warga suatu komuniti Swasono, 1998.

C. Fenomenologi