Perawatan Pospartum Menurut Perspektif Budaya Jawa

(1)

PERAWATAN POSTPARTUM MENURUT PERSPEKTIF BUDAYA JAWA

YUSNANI DEWI MANURUNG NIM 085102067

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Karya Tulis Ilmiah, Juni 2009 Yusnani Dewi Manurung

PERAWATAN POSPARTUM MENURUT PERSPEKTIF BUDAYA JAWA

x + halaman + 61 hal + 6 lampiran

Abstrak

Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Secara tradisional, upaya perawatan masa nifas telah lama dilakukan dengan berdasar kepada warisan leluhur dan hal tersebut bervariasi sesuai adat dan kebiasaan pada masing-masing suku, misalnya saja suku Jawa yang memiliki aneka perawatan selama masa postpartum. Namun, tidak semua perawatan yang dilakukan oleh masyarakat suku Jawa tersebut dapat diterima bila ditinjau dari aspek medis. Oleh sebab itu, informasi tentang perawatan masa nifas pada suku Jawa merupakan salah satu aspek penting diketahui para pelayan kesehatan untuk lebih memudahkan memberikan pendekatan dalam pelayanan kesehatan. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi, yang bertujuan untuk mengidentifikasi perawatan masa nifas menurut perspektif budaya Jawa di Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah delapan orang. Pengumpulan data berlangsung dari tanggal 01 Oktober 2008 - 01 Maret 2009 . Proses pengumpulan data melalui kuesioner data demografi sebagai data dasar dan wawancara mendalam dengan menggunakan alat perekam suara. Untuk analisa data digunakan metode Parse. Adapun hasil penelitian yang didapat mengenai tradisi perawatan masa nifas menurut adat Jawa meliputi: (1) perawatan pemeliharaan kebersihan diri, terdiri dari: mandi wajib nifas, irigasi vagina dengan menggunakan rebusan air daun sirih, dan menapali perut sampai vagina dengan menggunakan daun sirih, (2) perawatan untuk mempertahankan kesehatan tubuh, terdiri dari: perawatan dengan pemakaian pilis, pengurutan, walikdada, dan wowongan, (3) perawatan untuk menjaga keindahan tubuh, terdiri dari: perawatan dengan pemakaian parem, duduk senden, tidur dengan posisi setengah duduk, pemakaian gurita, dan minum jamu kemasan, (4) perawatan khusus, terdiri dari: minum kopi dan minum air jamu wejahan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi petugas pelayan kesehatan khususnya bidan untuk mempermudah memberikan pelayanan tanpa mengabaikan aspek sosiokultural.

Daftar Pustaka : 32 (1983-2008)


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, puji syukur atas kebesaran Wajah-Nya dan keagungan iradah-Nya. Terima kasih atas limpahan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penyusunan Karya Tulis Ilmiah mengenai “Perawatan Pospartum Menurut Perspektif Budaya Jawa di Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009” ini dapat terselesaikan. Shalawat kita persembahkan pada Rasulullah salallahu ‘alaihi wassallam.

Karya Tulis Ilmiah ini merupakan karya ilmiah yang harus penulis susun sebelum menyelesaikan pendidikan di Program D-IV Bidan Pendidik FK USU. Tugas ini merupakan salah satu syarat bagi penulis guna mencapai gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Telah diketahui bahwa karya tulis bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam asuhan kebidanan, sehingga Karya Tulis Ilmiah yang penulis susun mencerminkan penguasaan penulis tentang substansi dan metodologi penelitian. Selama proses penyusunan penelitian ini penulis banyak menghadapi beberapa kesulitan, namun dengan bantuan dari berbagai pihak karya tulis ini akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Gontar A. Siregar,SpPD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Murniati Manik, MSc, SpKK selaku Ketua Program Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Setiawan, SKp, MNS selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, memberikan arahan, bimbingan, dan masukan dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.


(4)

4. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku penguji I dan dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc (CMFM), selaku penguji II yang telah menyediakan waktu, memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam rangka perbaikan karya tulis ini.

5. Seluruh dosen, staf, dan pegawai administrasi Program Studi D-IV Bidan Pendidik FK USU. 6. Keluarga tercinta, teristimewa kepada Ayahanda H. Jainun Manurung dan Ibunda Hj. Nina

wati Dalimunthe, kepada Kakanda Fakhrizal Manurung, Sp, dan Adinda Bripka. Surya Bhakti Manurung yang telah memberikan dukungannya dengan kasih sayang, cinta, dan do’a.

7. Orangtua angkatku Bapak Agus Diharjo dan Ibu Suhartini, Adinda Desi Ariyanti, juga W’ijong yang telah banyak memberikan bantuan dan do’a.

8. Teman-teman D-IV Bidan Pendidik FK USU T.A 2008/2009, khususnya k’Ratna, Hidayatna, k’Iwa, k’Juhana, dan Apriani yang telah memberikan bantuan, motivasi dan inspirasi bagi peneliti. Thank’s for all buat kalian semua.

9. Seluruh partisipan yang telah bersedia untuk menjadi sampel dalam penelitian Karya Tulis Ilmiah ini.

10.Seluruh jajaran staf pemerintahan Desa Sei Rejo dan seluruh warga Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai .

Penulis menyadari bahwa, penulisan Karya Tulis Ilmiah ini masih sangat jauh dari kategori sempurna, dari itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik maupun saran dari semua pihak guna kesempurnaan karya tulis ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan.


(5)

Medan, Juni 2009 Penulis,

Yusnani Dewi Manurung


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN i

PERNYATAAN PERSETUJUAN SIDANG KARYA TULIS ILMIAH ... i

KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Masa Nifas………….. ... 6

1. Pengertian Masa Nifas... 6

2. Tujuan Masa Nifas ... 6

3. Program dan Kebijakan Teknis dalam Masa Nifas ... 6

4. Perubahan-perubahan Yang Terjadi Selama Masa Nifas ... 8

5. Perawatan-perawatan pada Masa Nifas ... 11

B. Konsep Budaya dalam Perawatan Postpartum ... 13

1. Konsep Budaya ... 13

2. Konsep Budaya tentang Perawatan Masa Nifas ... 15

C. Fenomenologi ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

A.Desain Penelitian... 20

B. Populasi dan Sampel ... 20

C. Tempat Penelitian ... 21

D.Waktu Penelitian ... 21

E. Etika Penelitian ... 21

F. Alat Pengumpulan Data ... 22

G.Prosedur Pengumpulan Data... 22

H.Analisa Data... 23

I. Tingkat Kepercayaan Data ... 24


(7)

A. Karakteristik Partisipan ... 20

B. Perawatan Masa nifas Menurut Adat Jawa ... 20

BAB V HASIL PENELITIAN….. ... 20

A. Interpretasi dan Hasil Diskusi ... 21

B. Implikasi…………. ... 21

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 20 A. Kesimpulan……. ... 21

B. Saran………... 22


(8)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Kuisioner Data Demografi

Lampiran 2 : Panduan Wawancara

Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Proposal Karya Tulis Ilmiah

Lampiran4 : Formulir persetujuan penelitian Perawatan Postpartum Menurut Perspektif Budaya Jawa di Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009


(9)

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Karya Tulis Ilmiah, Juni 2009 Yusnani Dewi Manurung

PERAWATAN POSPARTUM MENURUT PERSPEKTIF BUDAYA JAWA

x + halaman + 61 hal + 6 lampiran

Abstrak

Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Secara tradisional, upaya perawatan masa nifas telah lama dilakukan dengan berdasar kepada warisan leluhur dan hal tersebut bervariasi sesuai adat dan kebiasaan pada masing-masing suku, misalnya saja suku Jawa yang memiliki aneka perawatan selama masa postpartum. Namun, tidak semua perawatan yang dilakukan oleh masyarakat suku Jawa tersebut dapat diterima bila ditinjau dari aspek medis. Oleh sebab itu, informasi tentang perawatan masa nifas pada suku Jawa merupakan salah satu aspek penting diketahui para pelayan kesehatan untuk lebih memudahkan memberikan pendekatan dalam pelayanan kesehatan. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi, yang bertujuan untuk mengidentifikasi perawatan masa nifas menurut perspektif budaya Jawa di Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah delapan orang. Pengumpulan data berlangsung dari tanggal 01 Oktober 2008 - 01 Maret 2009 . Proses pengumpulan data melalui kuesioner data demografi sebagai data dasar dan wawancara mendalam dengan menggunakan alat perekam suara. Untuk analisa data digunakan metode Parse. Adapun hasil penelitian yang didapat mengenai tradisi perawatan masa nifas menurut adat Jawa meliputi: (1) perawatan pemeliharaan kebersihan diri, terdiri dari: mandi wajib nifas, irigasi vagina dengan menggunakan rebusan air daun sirih, dan menapali perut sampai vagina dengan menggunakan daun sirih, (2) perawatan untuk mempertahankan kesehatan tubuh, terdiri dari: perawatan dengan pemakaian pilis, pengurutan, walikdada, dan wowongan, (3) perawatan untuk menjaga keindahan tubuh, terdiri dari: perawatan dengan pemakaian parem, duduk senden, tidur dengan posisi setengah duduk, pemakaian gurita, dan minum jamu kemasan, (4) perawatan khusus, terdiri dari: minum kopi dan minum air jamu wejahan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi petugas pelayan kesehatan khususnya bidan untuk mempermudah memberikan pelayanan tanpa mengabaikan aspek sosiokultural.

Daftar Pustaka : 32 (1983-2008)


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama 6 - 8 minggu. Periode nifas merupakan masa kritis bagi ibu, diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, yang mana 50% dari kematian ibu tersebut terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan. Selain itu, masa nifas ini juga merupakan masa kritis bagi bayi , sebab dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir (Saifuddin et al, 2002). Untuk itu perawatan selama masa nifas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Perawatan masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari pengaturan dalam mobilisasi, anjuran untuk kebersihan diri , pengaturan diet, pengaturan miksi dan defekasi, perawatan payudara (mamma) yang ditujukan terutama untuk kelancaran pemberian air susu ibu guna pemenuhan nutrisi bayi, dan lain-lain (Rustam Mochtar, 1998 dan Saifuddin et al, 2002).

Selain perawatan nifas dengan memanfaatkan sistem pelayanan biomedical, ada juga ditemukan sejumlah pengetahuan dan perilaku budaya dalam perawatan masa nifas. Para ahli antropologi melihat bahwa pembentukan janin, kelahiran, dan masa pasca kelahiran pada umumnya dianggap oleh berbagai masyarakat di berbagai penjuru dunia sebagai peristiwa-peristiwa yang wajar dalam kehidupan manusia. Namun respon masyarakat terhadap


(11)

berbagai peristiwa kehidupan ini bersifat budaya, yang tidak selalu sama pada berbagai kelompok masyarakat (Swasono, 1998).

Pada masyarakat Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah, perawatan postpartum dilakukan dengan memberikan minuman yang salah satu bahannya dari jeruk nipis, pemberian makanan berupa rujak dalam beberapa jam setelah persalinan selesai, penyembuhan luka jalan lahir dengan menggunakan pasir panas, perawatan dengan pengurutan, penguapan badan, konsumsi jamu-jamuan dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya (Swasono, 1998).

Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan ibu dan bayinya dilakukan upacara adat dengan berbagai syarat dan aturan yang harus dipenuhi selama proses maupun sebelum proses upacara tersebut terlaksana. Begitu juga pada masyarakat Aceh yang memiliki aturan berupa pantangan meninggalkan rumah selama 44 hari bagi wanita yang baru melahirkan. Anjuran untuk berbaring selama masa nifas, perawatan nifas dengan pengurutan , penghangatan badan, konsumsi minuman berupa jamu-jamuan dan pantangan makan - makanan tertentu (Swasono, 1998).

Berbeda dengan etnis Tionghoa, yang merupakan salah satu etnis pendatang di Indonesia yang jumlahnya cukup besar dibandingkan masyarakat pendatang lainnya, yang memiliki aturan bagi perempuan selama masa nifas meliputi pantangan bagi wanita nifas untuk keluar rumah selama satu bulan, tidak boleh mandi dan keramas selama satu bulan dengan alasan kondisi ibu yang dianggap dingin setelah melahirkan sehingga bila terpapar sesuatu yang dingin lagi akan menyebabkan masuk angin. Pantangan makan makanan yang bersifat dingin, kekhususan dalam mengolah makanan, juga penyajian makanan yang juga dilakukan secara khusus (Mahriani, 2008).


(12)

Berdasarkan fakta yang terjadi pada masyarakat di atas, dapatlah dikatakan bahwa memang benar ada beberapa nilai kepercayaaan masyarakat yang berhubungan dengan perawatan postpartum. Mengingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multikultural, maka fenomena tersebut sangat wajar terjadi. Dan pengetahuan tentang aspek budaya merupakan hal penting diketahui oleh pelayan kesehatan untuk memudahkan dalam melakukan pendekatan dan pelayanan kesehatan. Sebab, tidak semua perawatan yang dilakukan dengan berpedoman pada warisan leluhur tersebut bisa diterima sepenuhnya, bisa saja perawatan-perawatan yang dilakukan tersebut memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan bayinya. Hal ini tentu saja memerlukan perhatian khusus untuk mengatasinya (Swasono, 1998).

Dari uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang aspek budaya, khususnya budaya Jawa, mengingat bahwa masyarakat suku Jawa adalah masyarakat yang banyak tersebar di berbagai kepulauan di Indonesia, yang salah satunya adalah pulau Sumatera. Selain itu setelah penulis melakukan tinjauan literatur, belum pernah ada penelitian yang khusus mempelajari dan membahas perawatan postpartum menurut perspektif budaya Jawa. Oleh karena itu, penelitian tentang perawatan postpartum menurut perspektif budaya Jawa penting dilakukan.


(13)

Bagaimana perawatan postpartum pada masyarakat suku Jawa di Desa Sei Rejo, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian

Identifikasi cara perawatan postpartum yang dilakukan oleh Ibu suku Jawa di Desa Sei Rejo, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

1. Pelayanan Kesehatan/Kebidanan

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan dan strategi bagi pelayan kesehatan dalam memberikan asuhan yang lebih

komprehensif pada ibu postpartum dengan memperhatikan aspek budaya setempat yang dapat dikembangkan tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar budaya itu sendiri, serta tidak mengikutsertakan hal - hal yang dapat merugikan kelangsungan proses nifas yang dapat memberikan dampak kesehatan kurang menguntungkan baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkannya.

2. Perkembangan ilmu kebidanan khususnya asuhan kebidanan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebagai bekal mahasiswa nantinya dalam menerapkan asuhan kebidanan secara komprehensif pada ibu nifas dengan memperhatikan aspek budaya setempat dan dikembangkan tanpa meninggalkan nilai dasar budaya. Namun, tidak mengikutsertakan hal-hal yang membawa pengaruh negatif.

3. Penelitian Kebidanan


(14)

untuk populasi ibu postpartum yang bersuku Jawa di Desa Sei Rejo, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Masa nifas

1. Pengertian Masa Nifas

Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama 6-8 minggu (Saifuddin et al, 2002). Asuhan selama periode nifas sangat diperlukan karena merupakan masa kritis baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkannya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, yang mana 50% kematian ibu pada masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Di samping itu, masa tersebut juga merupakan masa kritis dari kehidupan bayi, karena dua pertiga kematian bayi terjadi dalam 4 minggu setelah persalinan dan 60% kematian bayi baru lahir terjadi dalam waktu 7 hari setelah lahir (Winkjosastro et al, 2002).

2. Tujuan Asuhan

Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologik. Mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat. Memberikan pelayanan keluarga berencana (Winkjosastro et al, 2002).

3. Program dan kebijakan teknis dalam asuhan masa nifas

Pada masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali kunjungan, hal ini dilakukan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir, dan untuk mencegah mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi. Kunjungan pertama, dilakukan pada 6-8 jam setelah persalinan. Kunjungan ini dilakukan dengan tujuan mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. Mendeteksi


(16)

dan merawat penyebab lain perdarahan, dan merujuk bila perdarahan berlanjut. Memberikan konseling kepada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. Pemberian ASI awal, membantu melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir, juga menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia (Winkjosastro et al, 2002).

Kunjungan kedua, dilakukan pada 6 hari setelah persalinan. Kunjungan ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan involusi uterus berjalan normal, yaitu uterus berkontraksi dan fundus di bawah umbilikus. Menilai adanya tanda-tanda infeksi atau perdarahan abnormal. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan dan istirahat. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tak memperlihatkan tanda-tanda penyulit. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.

Kunjungan ketiga dilakukan pada dua minggu setelah persalinan, yang mana kunjungan ini tujuannya sama dengan kunjungan yang kedua. Setelah kunjungan ketiga maka dilakukanlah kunjungan pada 6 minggu setelah persalinan yang merupakan kujungan terakhir selama masa nifas, yang mana kunjungan ini bertujuan untuk menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ia atau bayi alami, juga memberikan konseling untuk mendapatkan pelayanan KB secara dini (Saifuddin et al, 2002).

4. Perubahan- perubahan fisiologis yang terjadi selama nifas

Dalam masa nifas alat-alat genitalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan-perubahan alat-alat genitalia ini dalam


(17)

keseluruhannya disebut involusi. Disamping involusi ini, terjadi juga perubahan penting lain, seperti timbulnya laktasi yang dipengaruhi oleh Lactogenic Hormone dari kelenjar hipofisis terhadap kelenjar-kelenjar mamma (Saifuddin et al, 2002).

Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira-kira setinggi pusat; segera setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri kurang lebih 2 jari di bawah pusat. Uterus menyerupai suatu buah advokat gepeng berukuran panjang kurang lebih 15 cm, lebar kurang lebih 12 cm dan tebal kurang lebih 10 cm. Dinding uterus sendiri kurang lebih 5 cm, sedangkan pada bekas implantasi plasenta lebih tipis daripada bagian lain. Pada hari ke-5 postpartum uterus kurang lebih setinggi 7 cm di atas simfisis atau setengah simfisis pusat, sesudah 12 hari uterus tidak dapat diraba lagi di atas simfisis. Bagian bekas implantasi plasenta merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri, setelah persalinan. Penojolan tersebut, dengan diameter kurang lebih 7,5 cm, sering disangka sebagai suatu bagian plasenta yang tertinggal. Sesudah 2 minggu diameternya menjadi 3,5 cm dan pada 6 minggu telah mencapai 2,4 mm (Saifuddin, et al, 2002 & Mochtar, 1998).

Uterus gravidus a term beratnya kira-kira 1000 gram. Satu minggu postpartum berat uterus akan menjadi kurang lebih 500 gram, 2 minggu postpartum menjadi 300 gram, dan setelah 6 minggu postpartum, berat uterus menjadi 40 sampai 60 gram(berat uterus normal kurang lebih 30 gram). Otot-otot uterus berkontraksi segera postpartum. Pembuluh-pembuluh darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan (Saifuddin, et al, 2002).

Perubahan-perubahan yang terdapat pada serviks ialah segera postpartum bentuk serviks agak menganga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga seolah-olah pada perbatasan antara


(18)

korpus dan serviks uteri terbentuk semacam cincin. Warna serviks sendiri merah kehitam-hitaman karena penuh pembuluh darah. Konsistensinya lunak. Segera setelah janin dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukkan ke dalam kavum uteri. Setelah dua jam hanya dapat dimasukkan 2-3 jari, dan setelah 1 minggu, hanya dapat dimasukkan 1 jari ke dalam kavum uteri (Saifuddin, et al, 2002 & Mochtar, 1998).

Perubahan-perubahan yang terdapat pada endometrium ialah terjadi degenerasi, dan nekrosis di tempat implantasi plasenta. Pada hari pertama endometrium yang kira-kira setebal 2-5 mm itu mempunyai permukaan yang kasar akibat pelepasan desidua dan selaput janin. Setelah 3 hari, permukaan endometrium mulai rata akibat lepasnya sel-sel dari bagian yang mengalami degenerasi. Sebagian besar endometrium terlepas. Regenerasi endometrium terjadi dari sisa-sisa sel desidua basalis, yang memakan waktu 2 sampai 3 minggu. Jaringan-jaringan di tempat implantasi plasenta mengalami proses yang sama, ialah degenerasi dan kemudian terlepas. Pelepasan jaringan berdegenerasi ini berlangsung lengkap. Dengan demikian, tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas tempat implantasi plasenta (Winkjosastro, 2002).

Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan partus, setelah janin lahir, berangsur-angsur ciut kembali seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan uterus jatuh ke belakang. Tidak jarang pula wanita mengeluh “kandungannya turun” setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia, jaringan penunjang alat genitalia menjadi agak kendor. Luka-luka jalan lahir, seperti bekas episiotomi yang telah dijahit, luka pada vagina dan serviks bila tidak seberapa luas akan mudah sembuh, kecuali bila terdapat infeksi (Winkjosastro et al, 2002).

Sejak kehamilan muda, sudah terdapat persiapan-persiapan pada kelenjar-kelenjar mamma untuk menghadapi masa laktasi. Perubahan yang terdapat pada kedua mamma antara


(19)

lain: 1) proliferasi jaringan, terutama kelenjar-kelenjar dan alveolus mamma dan lemak, 2) pada

duktus laktiferus terdapat cairan yang kadang-kadang dapat dikeluarkan, cairan tersebut

berwarna kuning (kolostrum), 3) hipervaskularisasi terdapat pada permukaan maupun pada bagian dalam mamma. Pembuluh-pembuluh vena berdilatasi dan tampak dengan jelas, 4) setelah partus, pengaruh menekan dari estrogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh hormon-hormon hipofisis kembali, antara lain lactogenic hormone (prolaktin) yang akan dihasilkan pula. Mamma yang telah dipersiapkan pada masa hamil terpengaruhi, dengan akibat kelenjar-kelenjar berisi air susu. Pengaruh oksitosin mengakibatkan mioepitelium kelenjar-kelenjar susu berkontraksi, sehingga pengeluaran air susu dilaksanakan. Umumnya produksi air susu baru berlangsung betul pada hari ke-2 sampai ke-3 postpartum (Rachimhadhi et al, 2002).

Suhu badan wanita inpartu tidak lebih dari 37,20 Celcius. Sesudah 12 jam pertama melahirkan, umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila suhu badan lebih dari 38,00 Celcius, mungkin ada infeksi. Nadi umumnya berkisar antara 60-80 denyutan permenit. Segera setelah partus dapat terjadi bradikardia. Pada masa nifas umumnya denyut nadi lebih labil dibandingkan dengan suhu badan (Winkjosastro et al, 2002).

Pada sistem pernapasan, fungsi pernapasan kembali pada rentang normal dalam jam pertama pascapartum. Napas Pendek, cepat, atau perubahan lain memerlukan evaluasi adanya kondisi-kondisi abnormal (Varney, 2003).

Lokhea adalah sekret yang keluar dari kavum uteri dan vagina pada masa nifas. Pada hari pertama dan kedua lokhea rubra atau kruenta, terdiri atas darah segar bercampur sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, sisa-sisa verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium. Pada hari ke-3 sampai ke-7 keluar cairan berwarna merah kuning berisi darah dan lendir. Pada hari ke-7


(20)

sampai ke-14 cairan yang keluar berwarna kuning, cairan ini tidak berdarah lagi, setelah 2 minggu, lokhea hanya merupakan cairan putih yang disebut dengan lokhea alba (Mochtar, 1998).

5. Perawatan -perawatan pada masa nifas

Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan. Karenanya, ia harus cukup dalam pemenuhan istirahatnya. Dari hal tersebut ibu harus dianjurkan untuk tidur terlentang selama 8 jam pasca persalinan. Kemudian boleh miring-miring ke kanan dan ke kiri, untuk mencegah adanya thrombosis. Pada hari ke-2 barulah ibu diperbolehkan duduk, hari ke-3 jalan-jalan, dan hari ke-4 atau ke-5 sudah diperbolehkan pulang (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998).

Diet yang diberikan harus bermutu tinggi dengan cukup kalori, mengandung cukup protein, cairan, serta banyak sayur-sayuran dan buah-buahan (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998).

Miksi atau berkemih harus secepatnya dapat dilakukan sendiri. Kadang-kadang wanita mengalami sulit kencing karena sfingter uretra tertekan oleh kepala janin, sehingga fungsinya terganggu. Bila kandung kemih penuh dan wanita tersebut tidak dapat berkemih sendiri, sebaiknya dilakukan kateterisasi dengan memperhatikan jangan sampai terjadi infeksi (Winkjosastro et al, 2002).

Defekasi atau buang air besar harus ada dalam 3 hari postpartum. Bila ada obstipasi hingga skibala tertimbun di rectum, dapat dilakukan klisma atau diberikan laksans per oral atau per rectal. Namun dengan diadakannya mobilisasi secara dini, tidak jarang retensio urin et alvi dapat diatasi. Di sini dapat ditekankan bahwa wanita baru bersalin memerlukan istirahat dalam jam-jam pertama postpartum, akan tetapi jika persalinan ibu serba normal tanpa kelainan, maka


(21)

wanita yang baru bersalin itu bukan seorang penderita dan hendaknya jangan dirawat seperti seorang penderita. (Winkjosastro et al, 2002).

Bila wanita itu sangat mengeluh tentang adanya after paints atau mules, dapat diberi analgetik atau sedatif supaya ia dapat beristirahat atau tidur. Delapan jam postpartum wanita tersebut disuruh mencoba menyusui bayinya untuk merangsang timbulnya laktasi. Kecuali bila ada kontraindikasi untuk menyusui bayinya, seperti wanita yang menderita tifus abdominalis, tuberculosis aktif, diabetes mellitus berat, psikosis, putting susunya tertarik ke dalam dan lain-lain. Bayi dengan labio palato skiziz (sumbing) tidak dapat menyusu oleh karena tidak dapat menghisap. Hendaknya hal ini diketahui oleh bidan atau dokter yang menolongnya. Minumannya harus diberikan melalui sonde. Begitu pula dengan bayi yang dilahirkan dengan alat seperti ekstraksi vakum atau cunam dianjurkan untuk tidak menyusu sebelum benar-benar diketahui tidak ada trauma kapitis. Pada hari ketiga atau keempat bayi tersebut baru diperbolehkan untuk menyusu bila tidak ada kontraindikasi. (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998).

Perawatan mamma harus sudah dilakukan sejak kehamilan, areola mamma dan puting susu dicuci teratur dengan sabun dan diberi minyak atau cream , agar tetap lemas, jangan sampai kelak mudah lecet dan pecah-pecah. Sebelum menyusui mamma harus dibikin lemas dengan melakukan massage secara menyeluruh. Setelah areola mamma dan putting susu dibersihkan, barulah bayi disusui (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998).

Bayi yang meninggal, laktasi harus dihentikan dengan cara mengadakan pembalutan kedua mamma hingga tertekan, dan dapat pula diberikan Bromocryptin sehingga pengeluaran


(22)

Pengunjung atau tamu sehat boleh mengunjungi wanita postpartum. Hendaknya para pengunjung harus dalam keadaan sehat dan bersih untuk mencegah kemungkinan terjadinya penularan penyakit oleh karena wanita dalam masa nifas mudah sekali terkena infeksi. Pemakaian gurita yang tepat masih dibenarkan pada wanita postpartum. Ketika dipulangkan, diberi penjelasan dan motivasi tentang cara menjaga bayi, memberi susu dan makanan bayi, keluarga berencana, hidup dan makanan sehat, dan dipesan untuk memeriksakan diri lagi (Winkjosastro et al, 2002 & Mochtar, 1998).

B. Konsep Budaya dalam Perawatan Postpartum

1. Konsep Budaya

Kebudayaan merupakan wawasan pegangan yang diambil dari pemahaman makna realitas yang dikembangkan menjadi pijakan sikap tingkah laku dalam menghadapi hidup dalam realitas itu, maka kebudayaan dilihat dari potensi-potensi (kemampuan-kemampuan) kreatif manusia (Mudji Sutrisno, 2006).

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan social, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana, 2002).

Manusia melengkapi dirinya dengan kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa rencana, aturan, resep, dan instruksi yang digunakan untuk mengatur terwujudnya tingkahlaku dan tindakan tertentu (Geertz, 1973). Dalam pengertian ini, kebudayaan berfungsi sebagai “alat” yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan (Mudji sutrisno, 2006).

Kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh dari proses belajar dari lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan kata


(23)

lain, hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan fisiologis dari diri mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Kebiasaan atau kelakuan yang terpolakan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama. Dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan mungkin akan memilih cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keaneka ragaman budaya (Mudji Sutrisno, 2006).

2. Konsep Budaya tentang Perawatan Masa Nifas

Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam kelangsungan kehidupan manusia, namun berbagai kelompok masyarakat dengan kebudayaannya di seluruh dunia memiliki aneka persepsi, interpretasi dan respon perilaku dalam menghadapinya, dengan berbagai implikasinya terhadap kesehatan (Swasono, 1998).

Menurut pendekatan biososiokultural persalinan, kehamilan dan kelahiran bukan hanya dilihat semata-mata dari aspek biologis dan fisiologisnya saja. Lebih dari itu, fenomena ini juga harus dilihat sebagai suatu proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal, seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung , cara-cara pencegahan bahaya,


(24)

penggunaan ramu-ramuan atau obat-obatan dalam proses kelahiran, cara-cara menolong persalinan, dan pusat kekuatan dalam perawatan bayi dan ibunya (Jordan, 1993).

Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kelahiran menganggap peristiwa tersebut sebagai tahapan kehidupan yang harus dijalani di dunia. Pada saat lahirnya, bayi dianggap berpindah dari kandungan ibu ke dunia untuk menjalankan kehidupan baru sebagai manusia. Begitu pula sang ibu mulai memasuki tahapan baru dalam kehidupannya sebagai orangtua, untuk menjalankan peran baru sebagai seorang ibu (Swasono. 1998).

Dalam memahami sikap dan perilaku menanggapi kehamilan, kelahiran serta perawatan ibu dan bayinya, faktor-faktor sosial budaya sangat mempunyai peranan penting. Sebagian pandangan budaya mengenai hal-hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan (Swasono, 1998).

Pada masyarakat di Bandanaera, Kabupaten Maluku Tengah, perawatan postpartum dilakukan salah salah satunya dengan segera memberi minuman pada wanita yang baru melahirkan, yang minuman tersebut terdiri dari campuran jeruk asam (jeruk nipis), halia (jahe) yang diparut, gula merah dan lada, yang kesemuanya dimasak hingga menjadi cairan kental. Kemudian setelah kurang lebih 3 jam pasca persalinan ibu nifas diberi makan rujak, dengan tujuan agar darah nifasnya keluar, dan dinding peranakan menjadi bersih dari gumpalan darah, yang disebut kotor banta. Bila ketika melahirkan terjadi “sobekan”, keadaan ini dipulihkan dengan pasir panas yang dibungkus daun, kemudian dibungkus lagi dengan kain, untuk ditekan-tekankan kebagian jalan lahir yang sobek selama 9 hari, pada pagi dan sore hari. Bahan yang sama juga ditepuk-tepuk ke seluruh tubuh wanita yang baru bersalin. Pada masyarakat Maluku


(25)

Tengah wanita postpartum juga diurut, diuapi, diberi minuman berupa jamu-jamuan, dan aneka perlakuan lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan ibu dan bayinya (Swasono, 1998).

Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan perempuan nifas dan bayinya dilakukan upacara adat salussu. Upacara salussu ini dilaksanakan dengan menyediakan daun pisang panjang sebanyak dua lembar, yang masing-masing diisi dengan ketan putih dan hitam, tumpi-tumpi, yakni sejenis ikan yang ditumbuk kemudian dibentuk bulat kecil sebanyak 40 buah. Seperti halnya dengan upacara adat lainnya, kemenyan, kelapa, dan bedak kuning senantiasa disajikan sebagai pelengkap upacara. Dalam upacara ini ditambahkan pula dua buah cincin emas. Apabila bayi yang lahir laki-laki, sajian ditambah lagi dengan dua ekor ayam jantan, sedangkan jika bayi seorang perempuan, disediakan dua ekor ayam betina. Hidangan yang dibuat dalam dua bagian tersebut dibagi dua, sebuah diberikan kepada sandro (dukun yang bertugas sebagai pemimpin acara), sedangkan yang lainnya ditujukan bagi keluarga sang bayi (Swasono, 1998).

Perawatan nifas menurut budaya masyarakat Aceh. Seperti, pantangan untuk meninggalkan rumah selama 44 wanita yang baru melahirkan. Selama masa nifas perempuan pada masyarakat Aceh disuruh berbaring pada suatu pembaringan yang ditinggikan yang dasarnya diberi batu bata panas. Kakinya terlentang dan dirapatkan. Lengannya tidak boleh diangkat di atas kepala. Ibunya menjaganya, seraya mengawasi supaya perempuan nifas tersebut tetap mengikuti petunjuk mengenai posisi kaki dan cara berbaring sekali-sekali harus dirubah supaya seluruh badan wanita dihangatkan. Penghangatan badan dimulai pada hari sesudah melahirkan dan berlangsung sekurang-kurangnya 20 hari dan paling lama 44 hari. Ibu yang baru melahirkan mandinya dibatasi agar berkeringat, karena bila ibu postpartum berkeringat dianggap baik untuk proses pengeringan luka-luka jalan lahir (Swasono, 1998).


(26)

Selain penghangatan badan, selama minggu pertama ibu postpartum juga diurut oleh dukun beranak dengan menggunakan minyak kelapa. Dalam minggu pertama ini, wanita yang baru bersalin bebas makan dan minum apa saja yang diinginkannya. Tetapi sesudah hari ketujuh, waktu dia diberi minuman yang diramu dari jenis daun-daunan tertentu, dia pantang makan dan minum beberapa jenis bahan makanan yang paling biasa dikonsumsi masyarakat Aceh, pantangan makan tersebut berlangsung selama 5 bulan atau lebih. Makanan yang dilarang itu misalnya adalah ketan, daging kerbau, telur bebek, daging bebek dan semua jenis buah-buahan (Swasono, 1998).

Dengan berbagai variasi kultur atau budaya di atas, umumnya sering berhubungan dengan faktor sosial ekonomi dan pendidikan. Oleh karena itu, meskipun petugas kesehatan mungkin menemukan suatu bentuk perilaku atau sikap yang terbukti kurang menguntungkan bagi kesehatan, seringkali tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan perubahan terhadapnya. Hal tersebut diakibatkan oleh telah tertanamnya keyakinan yang melandasi sikap dan perilaku itu secara mendalam pada kebudayaan warga suatu komuniti (Swasono, 1998).

C. Fenomenologi

Fenomenologi berakar pada filsafat tradisional yang dikembangkan oleh Husserl dan Heidegger yang mana pemikirannya bersumber dari pengalaman hidup manusia. Fenomenologi adalah suatu penelitian tentang gejala dalam situasi yang alami dan kompleks, yang hanya mungkin menjadi bagian dari alam kesadaran manusia-sekomprehensif apapun-ketika telah direduksi ke dalam suatu parameter yang terdefenisikan sebagai fakta, dan yang demikian terwujud sebagai realitas (Wignjosoebroto, 2001 dalam Bungin, 2006).

Fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjukkan pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjektif yang ditemui. Fenomenologi juga


(27)

digunakan sebagai pendekatan dalam metodelogi kualitatif. Fenomenologi merupakan pandangan berfikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi–interpretasi dunia (Moleong, 2007).

Teori fenomenologi terutama membagi tentang isu-isu bahasa, sejauh mana diberikan kepada peranan dalam membentuk pengalaman. Peneliti dalam pandangan fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berasal dalam situasi-situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti mereka (Moleong 2007).

Penelitian sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif diuraikan oleh Hutomo (1992, dalam Moleong, 2007), merupakan penelitian sosial yang sumber datanya bersifat ilmiah, artinya peneliti harus berusaha memahami fenomena sosial secara langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Peneliti sendiri adalah merupakan instrumen penelitian yang paling penting dalam pengumpulan data dan penginterpretasian data. Penelitian kualitatif bersifat memberikan deskripsi artinya mencatat segala gejala (fenomena) yang dilihat dan didengar. Data dan informan harus berasal dari tangan pertama. Dan kebenaran data harus dicek dengan data lain, misalnya wawancara atau observasi mendalam.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan desain fenomenologi yaitu suatu penelitian tentang gejala dalam situasi yang alami dan kompleks, yang hanya mungkin menjadi bagian dari alam kesadaran manusia-sekomprehensif apapun-ketika telah direduksi ke dalam suatu parameter yang terdefenisikan sebagai fakta, dan yang demikian terwujud sebagai realitas (Wignjosoebroto, 2001 dalam Bungin, 2006). Pada penelitian ini peneliti mengidentifikasi perawatan postpartum yang dilakukan pada masyarakat yang suku Jawa di Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai.

B. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang bersuku Jawa yang berada di Desa Sei Rejo, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara yaitu sebanyak 36 orang, karena berdasarkan pengamatan peneliti sebelumnya, masyarakat di daerah tersebut masih sangat banyak melakukan kebiasaan/ritual berdasarkan kebudayaan Jawa dalam melakukan perawatan postpartum.

2. Sampel.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yang sesuai dengan kriteria sampel (Notoatmodjo, 2005). Jumlah sampel delapan orang, dengan jumlah tersebut sudah tercapai saturasi data. Penentuan unit sampel (partisipan) telah memadai karena


(29)

memberikan informasi yang baru), artinya bahwa dengan menggunakan responden selanjutnya boleh dikatakan tidak lagi diperoleh tambahan informasi baru yang berarti (Nasution, 1998 dalam Sugiyono, 2008).

Adapun sampel yang diambil adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Ibu-ibu yang bersuku Jawa asli.

b. Ibu-ibu yang sedang dalam masa postpartum..

c. Bersedia untuk diwawawancari atau menjadi responden.

C. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Sei Rejo, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, dengan pertimbangan: peneliti sudah biasa berinteraksi dan mengenal masyarakat setempat, dan yang paling mendukung adalah masih banyaknya suku Jawa di daerah tersebut, tepatnya di desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai.

D. Waktu penelitian

Waktu penelitian berlangsung dari 1 Oktober 2008 – 1 Maret 2009.

E. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, penelitian mengajukan surat permohonan kepada Ketua Jurusan Program Studi Diploma IV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kemudian peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Kepala Desa Sei Rejo, Kecamatan Sei rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara. Setelah memperoleh persetujuan, peneliti memulai penelitian dengan menekankan masalah etik yaitu: peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Jika responden bersedia berpartisipasi dalam


(30)

Jika responden menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya. Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden pada lembar pengumpulan data ( kuesioner ) hanya huruf kode yang digunakan, sehingga kerahasiaan identitas semua informasi yang diberikan tetap terjaga. Dan seluruh informasi yang diperoleh tidak akan dipergunakan, kecuali untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan tetap menjaga kerahasiaannya.

F. Alat pengumpul data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu kuesioner data demografi dan panduan wawancara. Kuesioner data demografi berisi pernyataan mengenai data umum responden pada lembar pengumpulan data (kuesioner), yang terdiri dari : usia, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, orang yang merawat ibu selama masa nifas, suku yang merawat ibu selama masa postpartum, pernah tidaknya mendapatkan penyuluhan tentang perawatan postpartum. Panduan wawancara berisi pertanyaan yang diajukan meliput i : perawatan diri setelah melahirkan, tujuan perawatan yang dilakukan, serta manfaat yang dirasakan dari perawatan yang dilakukan tersebut.

G. Prosedur pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: setelah mendapatkan izin dari Ketua Program Studi Diploma IV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan dan Kepala Desa Sei rejo, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, peneliti mengadakan pendekatan kepada calon responden untuk mendapatkan persetujuannya sebagai sampel dalam penelitian.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : menggunakan kuesioner data demografi sebagai data dasar dan in-depth interview yaitu wawancara mendalam dengan


(31)

menggunakan tape recorder. Sebelum wawancara, peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan penelitian. Partisipan menjawab pertanyaan yang terdapat pada lembaran kuesioner sesuai dengan petunjuk pada masing-masing bagian.

Peneliti memulainya dengan melakukan wawancara dan merekam hasil wawancara. Peneliti menulis dan membaca transkrip. Peneliti menganalisa data yang ditemukan dan mengelompokkan data, kemudian menguraikan data ke dalam bentuk narasi dari semua data, kelompok dan kategori data. Peneliti membahas hasil penelitian sesuai dengan analisa data yang digunakan. Pengumpulan data selesai dan mencapai saturasi dengan jumlah partisipan delapan orang.

H. Analisa Data

Analisa data dilakukan pada saat transkrip pertama dilakukan, data diseleksi kata perkata. Metode yang digunakan adalah metode Parse, yang dimodifikasi untuk menganalisa data. Karena metode ini cocok dengan pendekatan interpretative (menafsirkan) pada penelitian kualitatif. Menurut Ruffing dan Rahal (1986) ini adalah salah satu metode yang umum untuk analisa data dimana peneliti dan responden mengambil bagian dalam suatu diskusi tentang suatu pengalaman hidup yang direkomandasikan untuk studi fenomenologi (Birns & Grove, 2001).

Adapun Parse mendeskripsikan proses analisa secara sisitematis terdiri dari :

1. Menggali intisari dari uraian kata demi kata. Inti sari yang digali adalah suatu ide pokok yang dideskripsikan oleh partisipan.


(32)

3. Merumuskan suatu perbandingan dari masing-masing uraian partisipan. Perbandingan tersebut adalah suatu pernyataan terkonsep tidak langsung oleh peneliti yang menghubungkan intisari yang disintesa dari setiap partisipan.

4. Menggali konsep inti dari perbandingan yang dirumuskan dari setiap partisipan.

5. Mensintesa suatu struktur pengalaman langsung dari konsep yang digali. Yaitu : suatu pernyataan terkonsep oleh peneliti yang dihubungkan dengan konsep inti tersebut. Struktur ini dianggap sebagai jawaban yang dikembangkan dari pertanyaan peneliti.

I. Tingkat Kepercayaan Data.

Tingkat kepercayaan data dalam penelitian ini menggunakan uji kredibilitas, depenabilitas (realibilitas) dan konfirmabilitas (objektivitas).

Yang pertama, uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif dilakukan dengan prolonged engagement dan memberchecking. Prolonged engagement berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan kembali, wawancara lagi dengan sumber data yang memang telah dikenal sebelumnya. Dengan prolonged engagement ini berarti hubungan peneliti dengan narasumber akan semakin akrab, semakin terbuka dan saling mempercayai sehingga memungkinkan tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.

Setelah prolonged engagement selesai, maka dilakukan memberchecking. Yang mana

memberchecking ini adalah, proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada partisipan.

Tujuan dari memberchecking ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh partisipan. Apabila data yang diperoleh disepakati oleh para partisipan berarti data tersebut valid, sehingga data tersebut dapat dipercaya. Jadi tujuan


(33)

Yang kedua, pengujian depenabilitas, uji ini dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Sering terjadi peneliti tidak melakukan proses penelitian ke lapangan, tetapi bisa memberikan data. Peneliti seperti ini perlu diuji depenabilitasnya. Kalau proses penelitian tidak dilakukan tetapi datanya ada, maka penelitian tersebut tidak reliable atau dependable. Untuk itu pengujian depenabilitas dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Caranya dilakukan oleh auditor yang independen, atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan oleh peneliti. Jika peneliti tak mempunyai dan tak dapat menunjukkan “jejak aktivitas lapangannya”, maka depenabilitas penelitiannya patut diragukan (Faisal, S, 1990 dalam Sugiyono, 2008).

Yang terakhir adalah pengujian konfirmabilitas. Menguji konfirmabilitas berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmabilitas. Dalam penelitian, jangan sampai proses tidak ada tetapi hasilnya ada (Faisal, S, 1990 dalam Sugiyono, 2008).


(34)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang perawatan postpartum menurut perspektif budaya Jawa. Seluruh partisipan dalam penelitian ini berdomisili di Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara secara mendalam.

A. Karakteristik Partisipan

Para partisipan terdiri dari delapan orang ibu yang sedang melalui masa nifas dan bayi yang dilahirkannya hidup. Umur partisipan berkisar antara 20-36 tahun. Semua partisipan bersuku Jawa asli dan beragama Islam. Empat orang partisipan sebagai ibu rumah tangga, tiga orang partisipan sebagai petani, dan seorang partisipan lainnya adalah seorang pedagang. Selama melalui masa nifasnya dua orang partisipan tinggal dan dirawat oleh mertunya, lima orang partisipan tinggal dan dirawat oleh orangtua kandungnya, sedangkan satu partisipan lainnya terpisah dari keluarga dan melakukan perawatan masa nifasnya sendiri. Dua orang partisipan pernah mengikuti penyuluhan tentang perawatan masa nifas, yang diselenggarakan di balai desa Sei Rejo bekerjasama dengan pihak pelayan kesehatan di kecamatan Sei Rampah. Dua orang partisipan mempunyai seorang anak, tiga partisipan mempunyai dua orang anak, dua partisipan mempunyai tiga orang anak, sedangkan satu orang partisipan lainnya mempunyai empat orang anak. Tiga partisipan pendidikan terakhirnya SMU, dua partisipan pendidikan terakhirnya SMP, dua partisipan pendidikan terakhirnya SD, dan satu partisipan lainnya tidak mempunyai latar belakang pendidikan.


(35)

Tabel 4.1.

Distribusi partisipan berdasarkan karakteristik demografi di Desa Sei Rejo Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai

Oktober 2008 - Maret 2009

No Karakteristik Partisipan

1 Usia Ibu 20 – 25 26 – 30 31 – 35 36

4 orang 2 orang 1 orang 1 orang

2 Agama

Islam 8 orang

3 Pendidikan SMU SMP SD

Tidak pernah sekolah

3 orang 2 orang 2 orang 1 orang 4 Pekerjaan

IRT Petani Pedagang 4 orang 3 orang 1 orang

B. Perawatan Masa Nifas Menurut Adat Jawa

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap delapan partisipan yang memiliki pengalaman langsung dalam hal perawatan masa nifas, peneliti menemukan empat kategori perawatan masa nifas yang umumnya dilakukan oleh masyarakat suku Jawa dan telah diidentifikasi melalui para partisipan, meliputi :

(1) perawatan pemeliharaan kebersihan diri (2) perawatan untuk mempertahankan kesehatan (3) perawatan untuk menjaga keindahan tubuh (4) perawatan khusus.


(36)

Adapun menurut mereka, perawatan-perawatan tersebut hanya dilakukan sampai 36 hari postpartum, yang dalam masyarakat suku Jawa dikenal dengan istilah selapan.

Berikut paparan dari masing-masing kategori perawatan masa nifas dalam masyarakat suku Jawa :

1. Perawatan pemeliharaan kebersihan diri.

Dari hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara dengan partisipan, maka peneliti mengetahui ada beberapa jenis perawatan masa nifas yang berhubungan dengan perawatan pemeliharaan kebersihan diri. Adapun perawatan-perawatan tersebut antara lain : mandi wajib nifas, irigasi vagina dengan air rebusan daun sirih, serta menapali perut sampai ke vagina dengan menggunakan daun sirih. Berikut uraian dari macam-macam perawatan tersebut :

Yang pertama adalah mandi wajib nifas. Perawatan yang biasa banyak dilakukan wanita Jawa pada awal memasuki masa nifas adalah mandi wajib nifas. Dari seluruh partisipan, ada empat partisipan yang memulai perawatan nifasnya dengan mandi wajib nifas. Mandi wajib nifas ini dimaksudkan untuk menghilangkan najis setelah proses persalinan. Mandi ini hanya dilakukan satu kali selama masa nifas, tepatnya esok hari setelah proses persalinan, dan dilakukan pada pagi hari. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan seorang partisipan berikut ini :

Ya…tadi malam melahirkan, jadi pagi…mandi. Kalo misalnya pagi melahirkan, besok paginya baru mandi.

(Partisipan 1)

Pernyataan tersebut didukung oleh informasi dari partisipan lainnya :

Yang pertama, setelah melahirkan, saya mandi nifas, mandinya pake niat, niat“sengaja aku mandi nifas fardhu karena Allah ta’ala.


(37)

Ya kalo yang pertama itukan tadi mandi wajib nifas, untuk ngilangin dari najis, kalo nifas itukan termasuk najis besar istilahnya.

(Partisipan 7)

Perawatan kedua, irigasi vagina dengan menggunakan air rebusan daun sirih. Tujuan dari perawatan ini adalah untuk menghilangkan kuman dan bau vagina. Air rebusan daun sirih dipakai sebagai irigari vagina sebelum melakukan mandi wajib nifas dan setiap selesai buang air kecil maupun air besar. Air rebusan daun sirih, yang digunakan untuk irigasi vagina ini terkadang bagi sebagian wanita nifas dicampur dengan daun sere. Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan pernyataan partisipan berikut :

Kalo siap melahirkan kita ceboknya pake air sirih, biar bagus, direbus biar hangat, biar kumannya hilang.

(Partisipan 2)

Daun sirih itu juga direbus untuk ceboknya awak, itu dicampur sama sere, biar kemaluan kita nggak bau.

(Partisipan 5)

Kitakan nifas jadi darah kotor kita itu keluar terus, biar jangan bau pake itulah cebok sama daun sirih itu.

(Partisipan 7)

Perawatan ketiga, menapali perut sampai ke vagina dengan menggunakan daun sirih. Tujuan dari perawatan ini dimaksudkan agar tubuh dan vagina tidak bau. Namun sebelum ditempelkan ke kulit perut, terlebih dahulu daun sirih diganggang di atas api, kemudian diolesi dengan minyak makan, agar mudah melekat jika ditempelkan. Pemasangan daun sirih ini dilakukan setelah pemakaian parem dan sebelum pemasangan gurita. Dari hasil penelitian, ada tiga partisipan dari delapan partisipan yang masih melestarikan perawatan ini. Hal tersebut di atas sesuai dengan kutipan wawancara dari partisipan berikut :

…perutnya dikasi daun sirih ditempel-tempelkan dari perut sampe vagina, baru…pake gurita, pake celana. Itu daun sirihya dipanggang dulu, baru diolesi minyak makan biar bisa lengket.


(38)

(Partisipan 1)

Itu sama biar kemaluan kita nggak bau, pokoknya biar sehatlah badan kita inipun siap melahirkan tetap harum. Udah siap pake parem ya…ditempelkanlah itu daun sirihnya, baru diikat sama gurita biar nggak lepas.

(Partisipan 5) 2. Perawatan untuk mempertahankan kesehatan

Sebagian perawatan yang dilakukan oleh wanita selama masa nifas dilakukan atas dasar kesadaran pentingnya hidup sehat baik pada saat masa nifas yang sedang dilalui, maupun masa mendatang setelah wanita selesai melalui masa nifasnya. Adapun perawatan-perawatan yang dilakukan dengan tujuan menjaga kelangsungan hidup sehat bagi wanita nifas terdiri dari : pemakaian pilis, pengurutan, walikdada, dan wowongan.

Yang pertama adalah pemakaian pilis. Pemakaian pilis ini merupakan perawatan yang dilakukan oleh seluruh partisipan. Cara perawatan menggunakan pilis dilakukan dengan mengolesi kening dengan bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan, yang telah dihaluskan. Aturan pemakaian pilis ini, dalam pengolesannya harus dimulai dari sisi kanan kening, dioles mengarah ke sisi kiri kening. Ramuan untuk pembuatan pilis berasal dari campuran kayu manis, delingobengle, bengle, dan pala. Bahan-bahan tersebut dihaluskan dengan cara digiling, kemudian dibentuk dengan dibulat-bulati, setelah itu dijemur. Jika ingin digunakan maka diencerkan dengan menggunakan campuran air secukupnya. Namun, dari kedelapan partisipan hanya dua partisipan yang mengolah sendiri pilis yang dipakainya, enam partisipan lainnya mendapatkan pilis untuk perawatan mereka dari pasar (tempat penjual bunga). Pemakaian pilis dipercaya dapat mencegah darah putih naik ke mata. Berdasarkan kepercayaan para partisipan yang didapat dari para terdahulunya, bila wanita selama masa nifas tidak menggunakan pilis, maka mata mereka akan rusak, misalnya saja menjadi rabun.


(39)

Kalo pilis dari kayu manis, delingubengle, sama bengle, sama pala.

(Partisipan 1)

Pilis dioleskan dikening, ngolesnya dari kening kanan ke kiri.

(Partisipan 4)

Kalo pilis itu biar darah putih nggak naik ke mata, biar mata kita tetap terang, nggak pake-pake kaca mata biarpun udah tua.

(Partisipan 6)

Kalo pilis itu biar darah putih yang keluar siap kita melahirkan itu nggak naik ke mata. Karena kok sampek naik ke mata kita bisa rabun gitu loh bu…

(Partisipan 8)

Tapi kalo saya ini dibeli aja di pajak, jadi awak tinggal make aja.

(Partisipan 8)

Perawatan yang kedua adalah kusuk atau pengurutan. Pada perawatan dengan pengurutan ini daerah yang diurut adalah seluruh bagian tubuh wanita postpartum, kecuali daerah perut. Perawatan pengurutan dapat dilakukan pada keesokan hari setelah proses persalinan. Tujuan dari perawatan ini adalah untuk menghilangkan rasa lelah pasca persalinan. Perawatan pengurutan harus dilakukan sebanyak lima kali dengan interval tiga hari selama masa nifas. Delapan partisipan dalam penelitian ini kesemuanya melakukan perawatan pengurutan selama masa nifasnya. Pernyataan para partisipan tentang perawatan pengurutan ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut :

Setelah itu saya dikusuk sama dukun kusuk yang sudah biasa ngusuk perempuan siap melahirkan. Ngusuknya itu satu hari setelah melahirkan, ngusuknya itu pagi-pagi, nggak boleh kalo udah siang, dikusuk sampek 6 kali, yang dari satu hari siap melahirkan sampek lima kali waktunya satu minggu dua kali.

(Partisipan 3)

Ya…kalo kusuk biar capeknya hilang, siap melahirkan itukan capek sih buk, jadi kebiasaannya kalo siap melahirkan itu dikusuk biar capeknya hilang, pegal-pegalnya hilang. Jadi enak badannya, ringan…gitu buk. Itu dikusuknya enam kali aja sesudah melahirkan, satu sampek lima itulah kusuk yang ngilangin capek waktu kita melahirkan, itu dikusuknya tiga hari sekali.


(40)

(Partisipan 5)

Kalo kusuk biasa itupun penting kali juga, karena kalo nggak dikusuk matilah, capeknya nggak hilang-hilang, karena itukan capek kali sih buk ngeden-ngedennya.

(Partisipan 8)

Dan yang ketiga adalah walikdada. Walikdada merupakan istilah yang digunakan masyarakat suku Jawa untuk mengatakan perawatan pengurutan yang terakhir. Walikdada merupakan perawatan pengurutan atau kusuk yang keenam selama masa nifas, dan daerah yang diurut adalah perut. Walikdada dilakukan pada hari ke-36 masa nifas. Manfaat dari walikdada ini ialah untuk mengembalikan posisi rahim ke posisi normal. Menurut para partisipan, apabila

walikdada tidak dlakukan, maka rahim mereka akan turun. Semua partisipan dalam penelitian ini

memilih walikdada sebagai perawatan nifasnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan ungkapan beberapa partisipan berikut ini :

Ya itulah 36 hari, baru dikusuk lagi. Sebelum itu ya…kusuk-kusuk biasa aja, nanti udah 36 hari baru mbetuli peranakan.

(Partisipan 2)

Kalo walikdada itulah baru kusuk yang untuk mbetuli rahim kita biar jangan kengser kemana-mana gitu…, biar balek lagi ke tempat dulunya kayak awak belum hamil itulah…

(Partisipan 5)

Kalo nggak kusuk itulah nanti yang dibilang orang peranakannya turun, itu ya karna nggak dikusuk siap melahirkan, ya…kusuk yang walikdada itulah.

(Partisipan 6)

Perawatan selanjutnya yaitu Wowongan. Wowongan dalam perawatan postpartum dilakukan dengan menetesi kedua mata setiap kali selesai keramas dengan air dari ujung tetesan rambut. Hal ini dilakukan masing-masing tiga kali pada kedua belah bola mata. Tujuan dari


(41)

perawatan wowongan adalah agar mata tidak cepat rusak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan para partisipan berikut ini :

Kalo kita habis mandi rambut kita diteteskan ke mata, kalo orang Jawa bilang wowongan. Setiap habis mandi sampek 36 hari, mata kita ditetesi pake rambut basah. Tiga kali-tiga kali, kanan-kiri.

(Partisipan 4)

Terus ya…kalo siap mandi saya disuruh sama mertua, kalo siap mandi itu air rambut siap keramas yang netes-netes ditetesin ke mata, tiga kali-tiga kali, kanan-kiri, biar mata kita nggak cepat rusak.

(Partisipan 6)

Kita itukan keramas jadi dari rambut kita inikan netes-netes air karna keramas itu…itu ya…ditetesin ke mata biar mata kita nggak cepat rusak.

(Partisipan 7)

3. Perawatan untuk menjaga keindahan tubuh

Dari berbagai jenis perawatan yang dilakukan selama masa nifas, ada beberapa jenis perawatan yang mengandung unsur kosmetika, yaitu perawatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keindahan bentuk tubuh, atau merupakan upaya untuk mengembalikan bentuk dari bagian-bagian tubuh ke keadaan semula seperti sebelum hamil. Adapun perawatan-perawatan tersebut meliputi : pemakaian parem, duduk senden, tidur dengan posisi setengah duduk, pemakaian gurita, dan minum jamu kemasan.

Perawatan pertama yang dilakukan wanita suku Jawa untuk menjaga keindahan tubuhnya yaitu dengan pemakaian bedak parem. Bedak parem dipakai dengan cara dilulurkan ke seluruh tubuh. Bahan untuk pembuatan bedak parem berasal dari ramu-ramuan, yang terdiri dari jahe, kencur, dicampur dengan beras, kemudian dihaluskan/digiling, lalu dibentuk dengan dibulat-bulati, setelah itu dijemur. Apabila telah kering, maka dapat digunakan. Namun sebelum digunakan terlebih dahulu dibasahi dengan perasan air jeruk nipis. Perawatan ini dianggap dapat membuat tubuh kencang dan hangat, serta tidak mudah masuk angin. Parem dioles diseluruh


(42)

tubuh setiap kali selesai mandi. Dan dari hasil wawancara menunjukkan bahwa seluruh partisipan melakukan perawatan ini selama masa nifasnya. Berikut kutipan wawancara dari beberapa partisipan :

Parem untuk bedak semua tangan, kaki, badan, biar hangat, nggak mudah masuk angin, badan kitapun cepat padet lagi, nggak melar, balik langsing lagilah badannya.

(Partisipan 3)

Itu nggak usah buat sendiri, biar praktis beli aja di tempat tukang jual-jual bunga, semua pada jual itu, udah taunya itu kalo dibilang mau beli parem…

(Partisipan 5)

Kalo parem itu ditaruh di semua badan biar kencang lagi badan kita, biar hangat, nggak gampang masuk angin.

(Partisipan 5)

Kalo parem bahannya tepung beras, kencur, jahe. Bahan-bahan itu semua ditumbuk, dicampur sama tepung beras, terus dibulat-bulati, dijemur, kalo udah kering ya…udah bisa dipake diairi sama perasan air jeruk nipis”.

(Partisipan 7) Kalo parem itu biar badan kita hangat, nggak mudah masuk angin, biar kencang lagi badan kita siap melahirkan, perut kita yang longgar jadi cepat kecil lagi, nggak turun kulit perut kita. Selama siap melahirkan ini ya…harus pake itulah…kalo udah siap mandi.

(Partisipan 8)

Perawatan kedua, duduk senden. Selama masa nifas wanita tidak dibenarkan melakukan aktivitas yang berarti, melainkan harus banyak duduk di tempat tidur dengan bantal disusun dibagian belakang tubuh untuk menopang tubuh agar tetap dalam posisi setengah duduk, dan kaki dirapatkan. Perawatan ini dimaksudkan untuk menjaga kerapatan vagina. Dari delapan partisipan, ada empat partisipan yang masih menerapkan perawatan tersebut. Berikut kutipan wawancara yang diambil dari seorang partisipan :

…, setelah itu baru duduk senden…itu senden, ini duduk ditaruh bantal banyak di belakang, kaki diikat, biar rapet barang kita, jalan biar nggak


(43)

ngengkang-ngengkang, duduk nggak boleh lasak, kaki diikat pake kain kecil, kayak sapu tangan.

(Partisipan 1) Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan partisipan lain :

Kalo siap melahirkan gini kita nggak boleh lasak, harus banyak duduk senden di tempat tidur.

(Partisipan 5)

…ya udah…duduk lagilah kita...senden, kayak setengah duduk. Duduknya tapi ditempat tidur dikasi sandaran bantal.

(Partisipan 8)

Perawatan ketiga, tidur dengan posisi setengah duduk. Posisi duduk pada perawatan ini sama dengan posisi duduk pada duduk senden, namun diterapkan pada keadaan tidur. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga kerapatan vagina.

Pernyataan tersebut sesuai dengan ungkapan partisipan sebagai berikut :

…, malampun tidurnya nggak boleh pake bantal satu, harus agak setengah duduk, nggak boleh telentang kayak orang biasa.

(Partisipan 1)

Perawatan keempat adalah perawatan dengan pemakaian gurita. Pemakaian gurita didaerah perut dilakukan dengan mengikat pada simpul-simpul yang sudah tersedia. Perawatan ini menurut asumsi masyarakat suku Jawa bermanfaat untuk mempercepat pengecilan perut, dan agar perut tidak melebar. Pemakaian gurita juga bermanfaat bagi sebagian wanita nifas yang menapali bagian perutnya dengan daun sirih, agar daun sirih yang tertempel tersebut tidak lepas. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan partisipan berikut :

Kalo perut itulah…dipakein gurita biar perutnya nggak kendur, biar cepat kempes lagi, sekalian untuk ngikat sirih yang ditempeli di perut tadi biar jangan lepas, kalo nggak pake gurita, nggak nempellah sirihnya biarpun udah diolesi minyak makan.


(44)

...pake guritalah di perut biar perut kita ini nggak kendor. Biar cepat kecil. Itu diikat kuat biar ketekan perut ini biar cepat kempesnya, kalo nggak gitu lama dia.

(Partisipan 7)

Dan yang kelima minum jamu kemasan. Jamu kemasan yang digunakan untuk perawatan masa nifas dapat peroleh bebas dari pasaran. Jamu kemasan diolah dengan teknologi modern. Masyarakat suku Jawa menyebutnya dengan jamu kalengan, karena memang jamu tersebut dikemas di dalam kaleng. Biasanya dalam satu kemasan kaleng dapat digunakan selama 40 hari untuk wanita yang sedang dalam masa nifas. Konsumsi dari jamu kemasan dimaksudkan agar tubuh menjadi sehat dan padat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut :

Terus saya minum jamu kalengan yang untuk wanita habis bersalin itu...

(Partisipan 5)

Ada juga jamu kalengan yang cuma untuk orang siap melahirkan, biasanya sebulan udah ganti, itu untuk sebulan aja. Sama kayak perawatan-perawatan yang lainpunkan…cuma sebulan aja, ya kayak pake parem, pilis, segala macamnya itu ya sebulan juga, sampe 36 hari aja.

(Partisipan 6)

4. Perawatan khusus.

Dalam masa nifas, wanita postpartum dalam masyarakat suku Jawa melakukan perawatan tertentu untuk membantu atau merangsang terjadinya keadaan fisiologis selama masa nifas. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap para partisipan, diketahui bahwa perawatan-perawatan tersebut antara lain adalah minum kopi dan minum air jamu wejahan.

Selain mandi wajib nifas, sebagian wanita juga memulai perawatan nifasnya dengan minum kopi. Minum kopi dilakukan hanya satu kali saja dan diminum segara setelah proses


(45)

persalinan selesai. Dari delapan partisipan, ada empat partisipan yang mengawali perawatan nifasnya dengan minum kopi. Adapun kopi yang diminumkan oleh para partisipan merupakan kopi yang dicampur dengan gula. Menurut mereka tujuan dari minum kopi ini adalah untuk mempercepat proses pengeluaran darah kotor/gumpalan-gumpalan darah sisa proses persalinan. Hal ini sesuai dengan pernyataan beberapa partisipan sebagai berikut :

Kalo kopi itu ya…diminum langsung siap melahirkan itu…, biar cepat keluar darah yang gumpal-gumpal itu, darah-darah kotornya. Itu ya…Cuma itu aja, besok-besoknya ya nggak usah lagi.

(Partisipan 2)

Gini ya bu…saya setelah melahirkan hari pertama, pertama-tama yang saya lakukan udah sipa melahirkan dikasi minum kopi, udah disuntik semuakan, pake gurita, minum kopi. Itu maksudnya biar darah-darah sisa melahirkan kita itu yang ada di dalam perut hilang, keluar semua, nggak ada yang ketinggalan, orangtua bilangkan gitu…, kopinya dikasi gula…

(Partisipan 4)

Perawatannya ya pertamanya disuruh minum kopi sama dukun kusuknya, katanya biar darah kotor kita cepat keluar.

(Partisipan 6)

Perawatan selanjutnya adalah minum air jamu wejahan. Jamu wejahan merupakan jamu yang diolah sendiri, yang ramuannya berasal dari jahe, ketumbar, kunyit, gula jawa, asam jawa, yang dirajang halus-halus, kemudian dikeringkan dengan cara dijemur. Jika ingin diminum terlebih dahulu diseduh dengan air panas dan dicampur dengan garam secukupnya. Jamu wejahan diminum setiap selesai makan (tiga kali sehari). Manfaat dari minum air jamu wejahan adalah untuk memperlancar dan memperbanyak produksi ASI. Jamu wejahan dapat dikonsumsi segera setalah proses persalinan selesai. Dari delapan partisipan, lima partisipan mengkonsumsi


(46)

jamu wejahan selama masa nifasnya. Pernyataan-pernyataan tersebut di atas sesuai dengan pernyataan beberapa partisipan berikut :

Baru duduk minum air jamu wejahan, bahannya dari jahe, ketumbar, kunyit, gula jawa, asam jawa, kasi garam sikit baru diaduk-aduk, itu bahan-bahannya dah diracik, terus ditaruh mangkok ato cangkir besar, diseduh pake air panas baru diminum,…

(Partisipan 1)

Jamu wejahan itu mbuatnya dari jahe, kunyit, asam jawa, gula jawa, diaduk, dikasi garam, terus disiram pake air panas. Itu bahan-bahannya yang tadi diracik dulu, dipotongi kecil-kecil, terus dijemur. Ya kalo udah kering, udah bisa dipake, diseduh, itulah jamu wejahannya. Itu siap melahirkan ya…udah bisa langsung diminum.

(Partisipan 5)

Waktu pertamanya air ASI saya belum keluar, ini…pentil (putting susu) sayapun belum keluar juga, jadi disuruh mamak saya minum jamu wejahan, katanya biar air susu saya banyak.


(47)

BAB V PEMBAHASAN

A. Interpretasi dan Diskusi Hasil

Sejak hamil sampai sesudah melahirkan, seorang wanita perlu melakukan langkah-langkah perawatan agar pada saat hamil maupun setelah melahirkan berada dalam kondisi yang sehat (Muskibin, 2005).

Secara tradisional, upaya menjaga kehamilan, persalinan dan nifas telah dilakukan oleh berbagai budaya di Indonesia. Dalam praktik di masyarakat, upaya untuk menjaga kelangsungan nifas yang aman dan sehat kebanyakan dilakukan dengan mencontoh perilaku yang diwariskan oleh para pendahulu dari masing-masing suku. Hal tersebut dapat dilihat pada masyarakat suku Jawa yang masih sangat memegang teguh ajaran-ajaran para pendahulunya dalam memberikan perawatan pada wanita selama masa nifas. Meskipun bila dikaji secara ilmiah dengan berdasar kepada ilmu medis, perlakuan atau perawatan tersebut ada yang dapat diterima karena mendatangkan kebaikan bagi pelakunya, namun sebaliknya perlakuan tersebut ada yang tidak layak diterima karena mendatangkan kerugian. Kerugian tersebut umumnya berupa ancaman bagi kesejahteraan kesehatan wanita nifas maupun bagi bayi yang dilahirkannya. Walaupun demikian, hingga saat ini upaya tradisional masih menjadi suatu fenomena tersendiri yang sulit untuk dihilangkan dari kepribadian suku-suku di Indonesia.

Pada budaya tertentu praktik perawatan pasca melahirkan, biasanya dipercayakan kepada seorang yang sudah ahli dalam menolong kelahiran bayi serta mempunyai keterampilan dan pengetahuan khusus yang masih dipegang berdasarkan tradisi turun-temurun. Pada umumnya masyarakat menyebutnya sebagai dukun bayi (Swasono, 1998).


(48)

Adapun berbagai perilaku perawatan masa nifas yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Jawa adalah sebagai berikut :

1. Perawatan pemeliharaan kebersihan diri.

Perawatan pertama yang mengandung unsur kebersihan diri yang biasa dilakukan wanita nifas suku Jawa adalah mandi wajib nifas. Menurut keempat partisipan dalam penelitian ini bahwa manfaat mandi wajib nifas dimaksudkan untuk menghilangkan najis setelah proses persalinan.

Mandi adalah salah satu upaya untuk kebersihan diri, terutama untuk kulit. Pada saat mandi juga dianjurkan untuk memakai sabun yang lembut (Mochtar, 1998). Selain untuk kebersihan kulit, mandi juga bermanfaat untuk memperlancar peredaran darah dan pertukaran zat asam (O2) diseluruh jaringan tubuh dan berkhasiat menghilangkan bau badan (Hargono, 1995).

Dalam agama Islam, ada dikenal istilah mandi wajib. Mandi wajib bagi perempuan yang telah selesai melahirkan disebut dengan mandi wajib wiladah. Dan apabila darah nifasnya telah habis atau telah kering, maka seorang wanita diwajibkan untuk melakukan mandi nifas (Omar, 2007, http:// seks xaper.com/custom3.html, diperoleh tanggal 10 Maret 2009).

Berbeda dengan hasil wawancara yang didapat dari empat partisipan dalam penelitian ini, mereka menganggap bahwa mandi pertama yang mereka lakukan merupakan mandi wajib nifas. Walaupun tujuannya sama yaitu untuk menghilangkan hadast besar dari seluruh tubuh setelah selesai melahirkan.

Selain mandi setelah melahirkan yang dilakukan berdasarkan perintah agama, ada juga mandi nifas yang dilakukan berdasarkan tradisi tertentu dan menyalahi aspek kesehatan, misalnya saja mandi tradisional yang dilakukan dengan pemanasan atau menduduki sesuatu yang panas, sehingga menimbulkan efek yang dapat membahayakan kesehatan ibu. Seperti duduk di


(49)

atas bara yang panas atau melakukan pemanasan dapat menyebabkan vasodilatasi, menurunkan tekanan darah, bahkan bisa merangsang perdarahan, serta dapat menyebabkan dehidrasi pada ibu postpartum (Edjun, 2002).

Perawatan selanjutnya yang dilakukan sebagai upaya kebersihan diri selama masa postpartum adalah irigasi vagina dengan menggunakan air rebusan daun sirih.

Luka-luka jalan lahir, seperti bekas episiotomi yang telah dijahit, luka pada vagina dan serviks bila tidak seberapa luas akan mudah sembuh, kecuali bila terdapat infeksi (Saifuddin, et al, 2002). Walaupun jahitan episiotomi masih terasa sakit, menjaga kebersihan vagina harus menjadi perhatian utama, karena vulva yang tidak dibersihkan akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Vulva harus selalu dibersihkan dari depan ke belakang (Vivieku, 2007).

Selama masa nifas, untuk menjaga kebersihan vagina wanita postpartum dalam masyarakat Jawa menggunakan air rebusan daun sirih yang dicampur dengan sere untuk irigasi vagina setelah buang air besar maupun air kecil. Menurut mereka tujuan dari perawatan ini adalah untuk menghilangkan kuman dan bau vagina.

Dalam literatur disebutkan, minyak atsiri dari daun sirih mengandung minyak terbang (betIephenol), seskuiterpen, pati, diatase, gula dan zat samak dan chavicol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida, juga sebagai anti jamur. Sirih berkhasiat menghilangkan bau badan/kemaluan yang ditimbulkan bakteri dan cendawan. Daun sirih juga bersifat menahan pendarahan, menyembuhkan luka pada kulit, menghentikan perdarahan, keputihan dan gatal-gatal pada vagina. Rebusan daun sirih gunakan untuk mencuci vagina saat kondisi air masih hangat (Muskibin, 2005).

Perawatan lain yang dilakukan wanita suku Jawa adalah menapali bagian perut sampai vagina dengan menggunakan daun sirih. Sebelum dilekatkan pada bagian perut, daun sirih


(50)

tersebut terlebih dahulu diganggang di atas api, kemudian diolesi dengan minyak makan, agar mudah melekat jika ditempelkan. Mereka berasumsi bahwa perawatan ini bermanfaat bagi tubuh dan vagina agar tidak bau.

Kalaupun wanita postpartum ingin tubuh tidak bau, maka cukup hanya dengan mandi teratur, seperti yang dikatakan dalam sebuah literatur bahwa mandi bermanfaat untuk memperlancar peredaran darah dan pertukaran zat asam (O2) diseluruh jaringan tubuh dan

berkhasiat menghilangkan bau badan (Hargono, 1995). 2. Perawatan untuk mempertahankan kesehatan

Sebagian perawatan yang dilakukan oleh wanita selama masa nifas dilakukan atas dasar kesadaran pentingnya hidup sehat baik pada saat masa nifas yang sedang dilalui, maupun masa mendatang setelah wanita selesai melalui masa nifasnya.

Salah satu perawatan yang dilakukan wanita postpartum untuk menjaga kesehatannya adalah dengan pemakaian pilis. Pemakaian pilis dipercaya dapat mencegah darah putih naik ke mata. Berdasarkan kepercayaan para responden, yang didapat dari para pendahulunya, bila wanita selama dalam masa nifas tidak menggunakan pilis, maka mata wanita nifas tersebut dapat menjadi rusak, misalnya saja menjadi rabun. Adapun bahan pembuatan pilis ini terdiri dari kayu manis, delingobengle, bengle, dan pala. Bahan-bahan tersebut dihaluskan dengan cara digiling, kemudian dijemur dan dibentuk dengan dibulat-bulati, jika ingin digunakan maka diencerkan dengan menggunakan campuran air secukupnya. Pemakaian pilis dengan dioleskan pada kening. Aturan pemakaian pilis ini, dalam pengolesannya harus dimulai dari sisi kanan kening, dioles mengarah ke sisi kiri kening.

Ramuan dalan pilis salah satunya terkandung pala, senyawa kimia buah pala terdapat di kulit, daging, biji pala hingga bunganya. Misalnya, kandungan minyak atsiri dan zat samak


(51)

terdapat pada kulit dan daging buah pala. Sedangkan fuli atau bunga pala mengandung minyak atsiri, zat samak dan zat pati. Sedangkan dari bijinya sangat tinggi kandungan minyak atsiri, saponin, miristisin, elemisi, enzim lipase, pektin, lemonen adanasamoleanolat. Namun manfaat dari buah pala ini adalah untuk membantu mengobati masuk angin, bukan untuk menjaga kesehatan mata (Muskibin, 2005).

Berbeda dengan masyarakat Talaud, Sulawesi Utara, bukan asumsi darah putih yang naik ke mata yang mereka takutkan, tapi darah putih yang naik ke kepala. Sebab hal tersebut menurut mereka dapat menyebabkan kematian (Ulaen, dalam Swasono 1998).

Pada masyarakat suku Karo, untuk mencegah mata kabur para wanita postpartum menggunakan jahe (pahing) selama masa nifasnya. Berbeda dengan masyarakat suku Jawa yang hanya mengoles pilis pada kening, masyarakat suku Karo melakukan penetesan air jahe langsung ke mata untuk mencegah mata kabur (Sari, 2004). Bagian dari jahe yang bermanfaat untuk mata adalah rimpangnya yang mengandung minyak asiri 2-3% minyak damar yang berkhasiat untuk menjernihkan penglihatan, anti inflamasi, mencegah mata kabur (Mursito, 2001).

Selain memakai pilis dengan tujuan mempertahankan kesehatannya, wanita nifas dalam adat Jawa juga melakukan pengurutan untuk tujuan yang sama.

Kebanyakan orang menjadi cepat marah, kesal, dan merasa tidak dapat menghadapi hidup ketika mereka kelelahan. Kebanyakan wanita yang baru melahirkan akan sangat lelah selama minggu-minggu dan bulan-bulan pertama, bahkan kadang-kadang tahun-tahun pertama dari kehidupan bayinya (Nolan, 2004).

Untuk itu masing-masing budaya memiliki berbagai macam perilaku dalam menyikapinya. Seperti yang dilakukan oleh kedelapan partisipan dalam penelitian ini, untuk menghilangkan rasa lelah setelah melahirkan mereka melakukan perawatan pengurutan. Dalam


(52)

hal ini daerah yang diurut adalah tangan, kaki, punggung, dan pinggang, kecuali daerah perut. Pengurutan jenis ini dilakukan sebanyak lima kali selama masa nifas, dengan interval tiga hari atau dua kali dalam satu minggu. Perawatan pengurutan diserahkan kepada seorang wanita yang sudah ahli dalam menolong persalinan maupun merawat wanita sehabis bersalin, yang dalam masyarakar Jawa dikenal dengan dukun beranak.

Pada masyarakat Bandanaera Kabupaten Maluku Tengah, perawatan nifas dengan pengurutan juga dilakukan oleh seorang dukun beranak yang dikenal dengan sebutan mai biang. Hal ini juga didasarkan atas anggapan bahwa pada waktu melahirkan, ibu harus mengejan, sehingga untuk mengembalikan urat-uratnya, tubuhnya harus diurut. Namun pada masyarakat Bandanaera, pengurutan pada daerah dada juga dilakukan, dengan tujuan agar air susu ibu cepat keluar dengan deras. Setelah itu mai biang baru memijat bagian tubuh lainnya, seperti tangan, kaki, punggung, pinggul kanan dan pinggul kiri, dengan tujuan agar ibu lekas menjadi kuat dan tidak merasakan pegal-pegal. Pengurutan ini diulang pada hari kesembilan dan keempat puluh sesudah melahirkan (Swasono, 1998).

Upaya lain yang dilakukan masyarakat suku Jawa untuk mempertahankan kesehatannya adalah dengan perawatan walikdada. Walikdada adalah istilah untuk mengatakan perawatan pengurutan yang terakhir. Walikdada merupakan perawatan pengurutan yang keenam selama masa nifas, dan daerah yang diurut adalah perut. Walikdada dilakukan pada hari ke-36 masa nifas. Manfaat dari walikdada ialah untuk mengembalikan posisi rahim ke posisi normal. Dari data yang diperoleh, beberapa partisipan mengatakan bahwa apabila walikdada tidak dilakukan selama masa nifas maka rahim mereka akan turun dan hal tersebut mengakibatkan frekuensi buang air kecil menjadi lebih sering.


(53)

Keluhan wanita bahwa “kandungannya turun” setelah melahirkan, dikarenakan oleh ligament, fasia, jaringan penunjang alat genitalia menjadi agak kendor. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan uterus jatuh ke belakang (Saifuddin, et al, 2002). Perubahan pada bagian perut tersebut perlu ditangani segera agar otot-otot perut bisa segera mengencang dan kembali seperti bentuk semula (Sastrowinata, 1983).

Selama kehamilan, korset abdomen mengalami peregangan mencapai kira-kira dua kali lipat dari panjang semula pada akhir minggu masa kehamilan. Seluruh otot abdomen memerlukan latihan untuk mencapai panjang dan kekuatan semula, namun otot yang terpenting karena perannya dalam menjaga kestabilan panggul ialah otot tranversus. Latihan tranversus dapat dimulai kapanpun ibu merasa mampu dan harus dilakukan sering sambil ibu melakukan aktivitasnya bersama bayi. Senam tranversus dilakukan dengan berbaring dan kedua lutut ditekuk dan kaki datar menapak di tempat tidur. Letakkan kedua tangan di abdomen bawah di depan paha. Tarik napas pada saat akhir, hembuskan napas, kencangkan bagian bawah abdomen di bawah umbilikus dan tahan dalam hitungan sepuluh, lanjutkan dengan bernafas normal. Ulangi sampai sepuluh kali.

Perawatan lain yang dilakukan wanita postpartum untuk mempertahankan kesehatan matanya adalah dengan melakukan wowongan. Wowongan dilakukan dengan cara menetesi kedua bola mata dengan air dari tetesan ujung rambut setiap kali selesai keramas. Masing-masing mata diberi tetesan tiga kali. Manfaat dari wowongan selama masa nifas menurut masyarakat suku Jawa adalah agar mata mereka tidak cepat rusak (tidak cepat menjadi rabun).

Hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan ahli, yang menyatakan bahwa penyebab dari mata rabun adalah (1) disebabkan oleh faktor usia, yaitu usia yang menua sehingga daya akomodasi mata sudah berkurang. Jadi mata tidak bisa melihat jelas benda yang jauh maupun


(1)

Mochtar, R. (1998). Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Edisi ke-2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Mulyana, D & Rahmat, J. (2002). Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Mursito, B. (2001). Ramuan Tradisional untuk Kesehatan Anak. Jakarta : Penebar Swadaya. Musbikin, I. (2005). Panduan Bagi Ibu Hamil dan Melahirkan. Jakarta : Mitra Pustaka Nolan, M. (2004). Kehamilan dan Melahirkan. Jakarta : ARCAN.

Notoatmodjo. (2005). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Omar. (2007), http:// seks xaper.com/custom3.html, diperoleh tanggal 10 Maret 2009.

Saifuddin, A.B.,et al. (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, A.B., et al. (2002).Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sari, N. (2004). Perawatan Postpartum Menurut Perspektif Budaya Karo. Medan : Universitas Sumatera Utara (skripsi tidak dipublikasikan)

Sastrowinata, S. (1983). Bagian Obgyn FK Unpad Bandung. Bandung: Pt. Elemen

Sedyawati Edi. (2004). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Siregar, R. J. (2006). Perawatan Postpartum Berdasarkan Perspektif Budaya Mandailing di Kecamatan Medan Tembung. Medan : Universitas Sumatera Utara (skripsi tidak dipublikasikan)


(2)

Swasono, M. F. (1998). Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi Dalam Konteks Budaya. Jakarta : UI Press.

Tjokronegoro, A. & Baziad, A. (1993). Etik Penelitian Obat Tradisional. Jakarta : UI Press. Varney, H., et al. (2004). Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Volume 2. Edisi 4. Jakarta: Penerbit

Buku kedokteran, EGC.

Vivieku. (2007). Perubahan Sistem Pencernaan Ibu Nifas. http://vivieku84.blogspot.com/2007/10/perubahan-sistem-pencernaan-ibu-nifas.html, diperoleh 10 Maret 2009.


(3)

KUESIONER DATA DEMOGRAFI

1. Pengkajian data demografi

Petunjuk pengisian

a. Semua pertanyaan harus dijawab. b. Untuk soal nomor 1 isilah titik-titik.

c. Untuk soal selain nomor 1 berilah tanda check list(√) pada kotak yang telah disediakan dan isilah titik-titik jika ada pertanyaan yang harus dijawab.

d. Setiap pertanyaan dijawab hanya dengan satu jawaban yang sesuai menurut ibu.

Contoh menjawab soal:

Jenis kelamin: ( √ ) Perempuan ( ) Laki-laki

1. Usia ibu : …….. tahun

2. Agama : ( ) Islam ( ) Protestan

( ) Katholik ( ) Hindu ( ) Buddha 3. Pendidikan formal ibu yang terakhir:

( ) SD ( ) SMP ( ) SMU ( ) Perguruan Tinggi.

( ) Lain-lain, sebutkan …….


(4)

( ) Pegawai Swasta ( ) Wiraswasta

( ) Pedagang ( ) Lain-lain, sebutkan…..

5. Selama nifas ibu tinggal:

( ) Terpisah dengan keluarga

( ) Dirawat oleh keluarga 6. Selama masa kehamilan ibu dirawat oleh:

( ) Suami ( ) Orang tua kandung ( ) Mertua

Keluarga lain,, sebutkan ……. 7. Suku apa yang merawat ibu:

( ) Jawa ( ) Bukan Jawa, sebutkan……. 8. Mengikuti penyuluhan tentang perawatan postpartum:


(5)

PANDUAN WAWANCARA

PERAWATAN POSTPARTUM

1. Apa yang ibu lakukan untuk merawat diri setelah melahirkan? 2. Apa tujuan perawatan yang ibu lakukan tersebut?


(6)

RIWAYAT HIDUP

NAMA : YUSNANI DEWI MANURUNG

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : TINGGI RAJA/ 06 JANUARI 1982

AGAMA : ISLAM

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

ANAK KE : 2 DARI 3 BERSAUDARA

ALAMAT : DESA CINTA DAME NO. 48

KECAMATAN BUNTU PANE KABUPATEN ASAHAN

RIWAYAT PENDIDIKAN :

NO TAHUN ASAL PENDIDIKAN/ TEMPAT

1 1988 – 1994 SDN 013843 TERUSAN TENGAH. KABUPATEN ASAHAN.

2 1994 - 1997 MADRASAH TSANAWIYAH PESANTREN MODERN

DAAR AL ULUUM KISARAN. KABUPATEN ASAHAN. 3 1997 – 2000 SMU NEGERI 2 KISARAN.

KABUPATEN ASAHAN.

4 2000 -2001 D-I PABT MEDICOM. MEDAN.

5 2002 – 2005 D-III KEBIDANAN TAKASIMA. KABANJAHE. 6 2008 – 2009 D-IV BIDAN PENDIDIK FK USU MEDAN.