8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis 1. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah APBD
a. Pengertian Dan Unsur-unsurAPBD
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah. APBD merupakan suatu aggaran daerah. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanan APBD, pemerintah daerah perlu
menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPRD pada akhir juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi tersebutakan menjadi bahan
evaluasi pelaksanaan APBD smeste pertama dan penyesuaian perubahan APBD pada semester berikutnya.
Menurut Mamesah 1995:20, APBD dapat didefenisikan sebagai:
Rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, dimana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-
tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek- proyek daerah dalam satu tahun angaran tertentu, dan di
pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi
pengeluaran-pengeluaran dimaksud.
Anggaran Pendapatan da Belanja Daerah adalah dasar dari pengelolaan
keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu, umumnya satu tahun.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004, pencatatan
atau pembukuan serta pengelolaan keuangan daerah dalam kerangka desentralisasi dilakukan terpisah dengan
pengelolaan keuangan daerah dalam kerangka tugas perbantuan dan dekonsentrasi. Semua bentuk atau jenis
penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan oleh Pemda dalam kerangka tugas desentralisasi dicatat dan dikelola
dalam APBD. Sedangkan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam kerangka tugas
perbantuan dan tugas dekonsentrasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat atau provinsi yang diserahi
wewenang dan tanggung jawab kepadanya. Pencatatan dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan yang ada di daerah
dilakukan secara terpisah dan tidak dicatatdimasukkan dalam APBD Saragih,2003:126.
Unsur-unsur APBD menurut Halim 2004:15-16 adalah sebagai berikut: 1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci
2. Adanya sumber penerimaan yang merupaka target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas
tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan.
3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4. Periode anggaran yang biasanya 1 satu tahun.
Menurut Mardiasmo 2000:1-2 agar pengelolaan APBD dapat dilakukan dengan baik, maka ada beberapa konsep dasar yang harus diperhatikan:
1. Akuntabilitas keuangan daerah, yaitu kewajiban Pemerintah Daerah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas yang terkait dengan penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan uang
publik kepada pihak yang memberi hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
2. Kejujuran, yaitu pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staff yang memiliki integritas dan
kejujuran yang tinggi, sehingga peluang untuk terjadinya KKN dapat diminimalisir.
3. Transparansi, yaitu keterbukaan Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui
dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. 4. Value for money, yaitu pengelolaan keuangan daerah harus
mendasar pada prinsip ekonomi, efisien dan efektivitas. 5. Pengendalian, yaitu penerimaan dan pengeluaran daerah harus
senantiasa dimonitor, yaitu dengan membandingkan antara jumlah anggaran dengan realisasinya.
b. Klasifikasi APBD
Oleh karena penelitian ini menggunakan laporan realisasi APBD yang memakai format keputusan menteri dalam negeri No. 29 tahun 2002, maka APBD
yang berdasarkan format tersebut terdiri atas 3 bagian, yaitu: pendapatan,belanja, dan pembiayaan.”
Pendapatan dibagi menjadi 3 kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan
daerah yang sah. Belanja digolongkan menjadi 4 yakni belanja apratur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil
dan bantuan keuangan dan belanja tak tersangka. Belanja apratur daerah diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu
belanja umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modalpembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokan
menjadi 3 yaitu belanja admistrasi umum , belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan dikelompokkan
menurut sumber-sumber pembiayaan yaitu : sumber penerimaan daerah dan sumber pengeluaran daerah. Sumber
pembiayaan berupa penerimaan adalah : sisa lebih anggaran tahun lalu, penerimaan pinjamaan dan obligasi, hasil
penjualan asset daerah yang dipisahkan dan transfer dari dana cadangan. Sumber pembiayan berupa pengeluaraan daerah
terdiri atas: pembayaraan utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa
lebih anggaran tahun sekarang Halim, 2004:18
2. Pendapatan Asli Daerah PAD 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumber- sumberpendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan tulang pungung pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi
yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD
berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat.
Pendapatan Asli Daerah hanya merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan negara disamping penerimaan lainnya berupa dana
perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat ditambahkan sebagai sumber pendanaan
penyelenggaraan pemerintah di daerah. Keseluruhan bagian penerimaan tersebut setiap tahun tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD.
Meskipun Pendapatan Asli Daerah tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun proporsi Pendapatan Asli Daerah terhadap total penerimaan tetap
merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber
keuangan secara maksimal, namun tentu saja dalam koridor perundang-undangan yang berlaku khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan
dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah. Menurut DR. Machfud Sidik, MSc, tuntutan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah semakin
besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerinyahan yang dilimpahkan kepada daerah itu sendiri. Dalam penggalian dan peningkatan
pendapatan daerah itu sendiri banyak permasalahan yang ditemukan, hal ini dapat disebabkan oleh:
a. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak, banyak bantuan dan
subsidi ini mengurangi ”usaha” daerah dalam pemungutan Pendapatan Asli Daerahnya, dan lebih mengandalkan
kemampuan ”negosiasi” daerah terhadap pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
b. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih
rendah. Hal ini mengakibatkan pemungutan pajak cenderung dibebani
oleh biaya pungut yang besar.
c. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
Menurut Undang-Undang No 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah: “Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi”.
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam
membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari penerimaan pusat.
Menurut Undang-undang No. 33 tahun 2004 pasal 6, ”Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : 1. Pajak daerah, 2. Retribusi Daerah, 3.
Hasil pengelolaaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah PAD yang sah”.
Menurut Mardiasmo 2002:132, ” Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan
milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah”.
Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah pemerintah daerah dilarang:
a. Menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan b.
Menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan
kegiatan eksportimport.
2. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Jenis
pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut objek pendapatan yang sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan
retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pandapatan yang mencakup: 1.
Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerahBUMD, 2. Bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik pemerintahBUMN, 3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
msayarakat. Jenis lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain yang
termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pendapatan
yang mencakup hasil penjualan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian
daerah, penerimaan komisi, potongan, tatupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan danatau pengadaan barang danatau jasa oleh
daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan
pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi, pendapatan hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari
pengembalian, fasilitas sosial dan fasilitas umum, pendapatan dari penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan, pendapatan dari
angsurancicilan penjualan.
a. Pajak Daerah
Pajak daerah yaitu pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna
membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik. Ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti berikut:
a Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah
sebagai pajak daerah b
Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang c
Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang- undang danatau peraturan hukum lainnya
d Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik
b. Retribusi Daerah
Retribusi Daerah yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah
bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah.
Ciri-ciri pokok retribusi daerah adalah sebagai berikut: a.
Retribusi dipungut oleh daerah b.
Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk
c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau
mengenyam jasa yang disediakan daerah.
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan
Dalam hal ini, laba perusahaan daerahlah yang diharapkan sebagai sumber pemasukan bagi daerah. Oleh sebab itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan
perusahaan haruslah bersifat profesional dan harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi. Dalam penjelasan umum UU No. 51974,
pengertian perusahaan daerah dirumuskan sebagai “suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk memperkembangkan perekonomian daerah dan untuk
menambah penghasilan daerah”. Dari kutipan diatas tergambar dua fungsi pokok, yakni sebagai dinamisator perekonomian daerah yang berarti harus mampu
memberikan rangsanganstimulus bagi berkembangnya perekonomian daerah dan sebagai penghasil pendapatan daerah. Ini berarti perusahaan daerah harus mampu
memberikan manfaat ekonomis, sehingga terjadi keuntungan yang dapat
disetorkan ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi
sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit keuntungan, akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan
kemanfaatan umum. Atau dengan perkataan lain, perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjamin keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan
fungsi ekonomi. Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak
dapat memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat
keuntungan yang memungkinkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan yang saling bertolak
belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagai badan ekonomi
yang bertujuan untuk mendapatkan labakeuntungan. Hal ini dapat berjalan apabila profesionalisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan.
d. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Lain-lain PAD yang sah antara lain penerimaan daerah di luar pajak dan retribusi
daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.33 Tahun 2004, meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan b. jasa giro
c. pendapatan bunga d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
e. komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan danatau pengadaan barang danatau jasa oleh daerah.
3. Pajak Daerah a. Pengertian dan Kriteria Pajak Daerah
Menurut Marihot P. Siahaan 2005:7, Pajak Daerah adalah ”Iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarka peraturan perundang- undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah.” Menurut Halim 2004:67, “Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah
yang berasal dari pajak.” Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan
atas UU nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelanggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pajak Aderah adalah penerimaan daerah yang berasal dari orang pribadi atau badan yang
sifatnya dapat dipaksakan yuridis berdasarkan peratuaran perundang-undangan dan tidak ada kontraprestasiimbalan secara langsung serta digunakan untuk
membiayai pemerintah dan pembangunan daerah. Wewenang pemungutan pajak daerah ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakuka oleh Dinas
Pendapatan Daerah. Pajak Daerah merupakan komponen dari pendapatan asli daerah, sampai
saat ini. Pajak Daerah memberikan kontribusi daerah terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah. Undang-undang No. 34 Tahun 2000 membaerkan peluang kepada
daerah kabupatenkota untuk memungut jenis Pajak Daerah lain yang dipandang memenuhi syarat selain dari jenis Pajak Daerah kabupatenkota yang telah
ditetapkan. Penetapan jenis pajak leinnya ini harus benar-benar bersifat spesifik dan potensial di daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan
kepada daerah kabupatenkota dalam mengantisipasi situasi dan kondisi derta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang mengakibatkan
perkembangan potensi pajak dengan tetap memperhatikan kesejahteraan jenis pajak dan aspirasi masyarakat serta memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Kriteria pajak daerah yang ditetapkan oleh undang-undang bagi kabupatenkota adalah:
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi. Maksudnya adalah pajak yang
ditetapkan harus sesuai dengan pegertian yang ditentukan dalam defenisi pajak daerah.
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupatenkota
yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupatenkota yang
bersangkutan.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertantangan dangan
kepentingan umum, maksudnya adalah bahwa pajak etrsebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara
pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman, kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan atau objek
pajak pusat. 5.
Potensinya memadai. Maksudnya adalah bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju
pertumbuhannya, diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi.
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. Maksudnya adalah
bahwa pajak tersebut tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi efisien dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar
daerah maupun kegiatan eksport import.
7. Memerhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Kriteria
aspek keadilan antara lain objek dan subjek harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayran pajak dapat diperkirakan
oelh wajib pajak yang bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan dengan emerhatikan keadaan wajib pajak. Selanjutnya kriteria kemampuan
masyarakat adalah kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak.
8. Menjaga kelestarian lingkungan. Maksudnya adalah bahwa pajak harus
bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada pemerintah daerah dan
masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan menjdai beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
Pajak daerah harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain: 1.
Tidak boleh bertentangan atau harus searah dengan kebijaksanaan pemerintah pusat.
2. Pajak daerah harus sederhana dan tidak terlalu banyak jenisnya.
3. Biaya administrasi harus rendah
4. Tidak mencampuri sistem perpajakn pusat maupun peraturan-peraturan
yang ditetapkan oleh daerah serta dapat dipaksakan Dengan demikian, penerimaan pajak harus dilakukan secara efektif agar
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembanguna pemerintah daerah dapat terlaksana dengan baik. Pajak derah dikatakan efektif jika:
1. Memenuhi kriteria adil
2. Dapat mendorong tindakan ekonomi
3. Mampu menstabilkan tingkat kenaikan harga
4. Dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat
5. Biaya untuk administrasi ringan dan terjangkau oleh wajib pajak.
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Peraturan Daerah, diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat pajak maupun bea dan
cukai, karena hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah
diantisipasi dalam UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun 2000, dimana dinyatakan
dalam Pasal 2 ayat 4 yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat.
Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik
pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:
• Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat
mudah naik turun mengikuti naikturunnya tingkat pendapatan masyarakat. •
Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota
kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak. •
Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.
• Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi
dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. •
Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada
dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau
pungutan menimbulkan beban tambahan extra burden yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh dead-weight
loss. Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah
harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
• Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya. •
Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara
tajam. •
Tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan benefit dan kemampuan untuk membayar ability to pay.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan
kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah
yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.
Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat
dikelompokkan menjadi 2 dua, yaitu : fungsi budgeter dan fungsi regulator. 1.
Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. 2.
Fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman keras dimaksudkan
agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi
tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.
b. Jenis-Jenis Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-undang No. 34 Tahun 2000 pajak di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupatenkota. Sementara
itu, Pemerintah Daerah KabupatenKota diberi kewenangan untuk memungut 7 tujuh jenis pajak, yaitu :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir.
Jenis pajak KabupatenKota tidak bersifat limitatif, artinya KabupatenKota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber
keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan
memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud adalah :
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah KabupatenKota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah KabupatenKota yang
bersangkutan; c.
Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi danatau objek pajak
Pusat; e.
Potensinya memadai; f.
Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; g.
Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan h.
Menjaga kelestarian lingkungan.
Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak KabupatenKota ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif
maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh KabupatenKota
diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda. Dalam rangka pengawasan, Perda-perda tentang pajak dan retribusi yang
diterbitkan oleh Pemerintah Daerah harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat paling lambat 15 lima belas hari sejak ditetapkan. Dalam hal Perda-perda
dimaksud bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri
dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan perda dimaksud dalam kurun waktu 1 satu bulan sejak diterimanya peraturan dimaksud.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 5A dan pasal 25A UU No 34 Tahun 2000 juncto Pasal 80 ayat 2 PP No.65 Tahun 2001 dan Pasal 17 ayat 2
PP No.66 Tahun 2001. Namun demikian, walaupun Perda-perda tersebut sudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung MA segera setelah mengajukannya kepada Pemerintah berdasarkan pasal 114 ayat 4 UU No.22 Tahun 1999.
Berdasarkan Undang-undang No. 34 Tahun 2000 pajak di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupatenkota. Pembagian
ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing- masing pajak daerah pada wilayah administrasi provinsi atau kabupatenkota yang
bersangkutan. Pajak kabupatenkota terdiri dari:
Pajak Hotel
Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Pengertian hotel disini termasuk penginapan yang memungut bayaran. Pengenaan pajak hotel tidak
mutlak ada pada seluruh daerah kabupatenkota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupatenkota
untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupatenkota. Pada pajak hotel yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan
yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sementara yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang di
dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang penginapan.
Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk pelayanan seperti fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal
jangka pendek, pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tempat tinggal yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan,
fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel.
Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Besarnya tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh
persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupatenkota yang bersangkutan.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang dilakukan kepada hotel
Pajak Restoran
Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Pengenaan pajak restoran tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupatenkota yang ada di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupatenkota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis
pajak kabupatenkota. Pada pajak restoran yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan restoran. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar
pelayanan yang diberikan oleh pengusaha restoran. Sementara yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha restoran, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk
apapun yang di dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang rumah makan.
Objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran dengan pembayaran, termasuk dalam objek pajak adalah rumah makan, cafe, bar
dan sejenisnya. Pelayanan di restoranrumah makan meliputi penjualan makanan dan atau minuman di restoranrumah makan, termasuk penyediaan penjualan
makananminuman yang dianar atau dibawa pulang. Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang
dilakukan kepada restoran. Besarnya tarif pajak restoran ditetapkan paling tinggi
sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupatenkota yang bersangkutan.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang dilakukan kepada restoran
Pajak Hiburan
Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan atau pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Pengenaan pajak hiburan tidak mutlak ada
pada seluruh daerah kabupatenkota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupatenkota untuk
mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupatenkota. Pada pajak hiburan yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang menonton atau menikmati hiburan. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati hiburan. Sementara yang menjadi
wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan. Objek pajak hiburan adalah penyelenggara hiburan denga dipungut
bayaran. Yang dimaksud dengan hiburan antara lain berupa tontonan film, kesenian, pagelaran musik dan tari, dikotik, karaoke, klab malam, permainan
biliar, permainan ketangkasan, panti pijat, mandi uap dan pertandingan olahraga. Dasar pengenaan pajak hiburan adalah jumlah pembayaran yang dilakukan
kepada hiburan. Besarnya tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupatenkota yang
bersangkutan. Pajak Terutang
= Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang dilakukan
untuk menontonmenikmati hiburan
Pajak Reklame
Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Pengenaan pajak reklame tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupatenkota yang ada di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupatenkota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis
pajak kabupatenkota. Pada pajak reklame yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemesanan reklame. Sementara yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha reklame, yaitu orang pribadi atau
badan yang menyelengarakan reklame. Objek pajak reklame adalah
semua penyelenggaraan reklame. Penyelenggaraan reklame yang ditetapkan menjadi objek pajak reklame antara
lain reklame papanbillboard, reklame megatronvideotronlarge electronik display, reklame kain, reklame stiker, reklame selebaran, reklame berjalan,
reklame udara, reklame suara, reklame fimslide, reklame peragaan. Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame. Besarnya tarif
pajak reklame ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupatenkota yang bersangkutan.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x nilai sewa reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan,
yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah. Pengenaan pajak penerangan jalan tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupatenkota yang ada di Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupatenkota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak
kabupatenkota. Pada pajak penerangan jalan yang menjadi subjek pajak adalah orang
pribadi atau badan yang menggunakan tenaga listrik. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan
yang diberikan oleh pengusaha penerangan jalan. Sementara yang menjadi wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menjadi pelanggan dan atau pengguna
tenaga listrik. Objek pajak penerangan jalan adalah semua penggunaan tenaga listrik di
wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.
Dasar pengenaan pajak penerangan jalan adalah nilai jual tenaga listrik. Besarnya tarif pajak penerangan jalan ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh
persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupatenkota yang bersangkutan.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x nilai jual tenaga listrik
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
Pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah pajak atas kegiatan pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Bahan galian golongan C terdiri dari: a.
nitrat-nitrat, fosfat, garam batu b.
asbes, talk, mika,grafit, magnetis c.
yarosit, leusit,tawas alum, oker d.
batu permata, batu setengah permata e.
pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit f.
batu apung, tras, obsidian, perlit, tanah diatome, tanah serap g.
marmer, batu tulis h.
batu kapur, dolomit, kalsit i.
granit, andesit,basal, trakhit, tanah liat, dan pasir sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral golongan A maupun golongan B.
Pada pajak pengambilan bahan galian golongan C yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil bahan galian golongan C.
Sementara yang menjadi wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan pengambilan bahan galian golongan C. Dengan demikian,
pada pajak pengambilan bahan galian golongan C subjek pajak sama dengan wajib pajak
Objek pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah kegiatan pengambilan bahan galian golongan C dari sumber alam di dalam dan atau
permukaan bumi untuk dimanfaatkan Dasar pengenaan pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah nilai
jual hasil pengambilan bahan galian golongan C. Besarnya tarif pajak penerangan
jalan ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupatenkota yang bersangkutan.
Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
= Tarif Pajak x nilai jual hasil pengambilan bahan galian golongan C
Pajak Parkir
Pajak parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok
usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Pengenaan pajak parkir
tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupatenkota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah
kabupatenkota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupatenkota.
Pada pajak parkir yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas tempat parkir. Pajak parkir dibayar oleh
pengusaha yang menyediakan tempat parkir dengan dipungut bayaran. Pengusaha tersebut otomatis ditetapkan sebagai wajib pajak yang harus membayar pajak
parkir yang terutang. Objek pajak parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor
dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Klasifikasi tempat parkir
di luar badan jalan yang dikenakan pajak parkir adalah, gedung parkir, pelataran parkir, garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran, dan tempat penitipan
kendaraan bermotor. Dasar pengenaan pajak parkir adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir. Besarnya tarif pajak penerangan jalan ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan
dengan peraturan daerah kabupatenkota yang bersangkutan. Pajak Terutang
= Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x jumlah pembayaran untuk pemakaian
tempat parkir
c. Dasar Hukum Pajak Daerah
Setiap jenis pajak daerah yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan dasar hukum yang kuat untuk menjamin kelancaran pengenaan dan
pemungutannya. Adapun yang menjadi dasar hukum pajak daerah adalah sebagaimana di bawah ini:
1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah 3. Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Dalam Negeri, Keputusan Menteri
Keuangan, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah KabupatenKota di bidang Pajak Daerah
4. Retribusi Daerah
a. Terminologi Retribusi Daerah
Pemungutan Retribusi Daerah yang saat ini didasarkan pada Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 mengatur beberapa istilah yang umum digunakan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:
a. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Peraturan daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
d. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perhimpunan data objek dan subjek retribusi yang terutang, sampai dengan kegiatan
penagihan retribusi atau retribusi yang terutang kepada wajib retribusi yang terutang serta pengawasan penyetorannya.
e. Masa retribusi adalah suatu jangka tertentu yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan
tertentu dari pemerintah daerah yang bersangkutan.
b. Defenisi Retribusi Daerah
Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan daerah dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Menurut Ahmad Yani 2002:55 ”Daerah
provinsi, kabupatenkota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan,
sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat”.
Menurut Marihot P. Siahaan 2005:6 “retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberiaan izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”. Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan
pelayanan yang menyebabkan barang atau fasilitas, atau kemanfaatan lainnya, dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, dengan demikian bila seseorang
ingin menikmati jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah, ia harus membayar retribusi yang ditatapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ciri-ciri retribusi daerah: a.
Retribusi dipungut oleh pemerintah daerah b.
Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis c.
Adanya kontraprestasi yang secara langsung dapat ditunjuk d.
Retribusi dikenakan pada setiap orangbadan yang menggunakan atau mengenyam jasa-jasa yang disiapkan negara
Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen
Keuangan RI 2004:60, Kontribusi retribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Pemerintah Kota yang
relatif tetap perlu mendapat perhatian serius bagi daerah. Karena secara teoritis terutama untuk kabupatenkota retribusi seharusnya mempunyai
peranankontribusi yang lebih besar terhadap Pendapatan Asli Daerah.
c. Objek Retribusi Daerah
Yang menjadi objek dari Retribusi daerah adalah berbentuk jasa. Jasa yang dihasilkan terdiri dari:
a. Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan
oleh pemerintah daerah pemda untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
badan; b.
Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula
disediakan oleh sektor swasta; dan c.
Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemda dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
d. Jenis Retribusi Daerah
Retribusi daerah menurut UU No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribuís daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 34 Tahun
2000 dan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 3 hurup a, retribusi jasa umum ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini:
1 Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat Retribusi Jasa Usaha atau perizinan tertentu
2 Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi
3 Jasa tersebut memberikan manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan atau
kemanfaatan umum 4 Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi
5 Retribusi tersebut tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya
6 Retribusi tersebut dapat dipungut secara efektif dan efisien serta merupakan satu sumber pendapatan daerah yang potensial
7 Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum terdiri dari: 1 Retribusi Pelayanan Kesahatan
2 Retribusi Pelayanan PersampahanKebersihan 3 Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan
Sipil 4 Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
5 Retribusi Pelayanan Parkir di tepi Jalan Umum 6 Retribusi Pelayanan Pasar
7 Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 8 Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
9 Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 10 Retribusi Pengujian Kapal Perikanan
b. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta
Kriteria Retribusi Jasa Usaha adalah: 1 Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat Retribusi Jasa Umum
atau perizinan tertentu
2 Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta, tetapi belum memadai atau terdapatnya harta
yang dimilikidikuasai oleh pemerintah daerah
Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha terdiri dari: 1 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
2 Retribusi Pasar Grosir danatau Pertokoan 3 Retribusi Tempat Pelelangan
4 Retribusi Terminal 5 Retribusi Tempat Khusus Parkir
6 Retribusi Tempat PenginapanPesanggahanVilla 7 Retribusi Penyedotan Kakus
8 Retribusi Rumah Potong Hewan 9 Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal
10 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga 11 Retribusi Penyeberangan di Atas Air
12 Retribusi Pengolahan Limbah Cair 13 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
c. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Kriteria Retribusi Perizinan Tertentu antara lain: 1 Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi 2 Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan
umum 3 Biaya yang menjadi beban pemerintah dalam penyelenggaraan izin tersebut
dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari perizinan tertentu
Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu terdiri dari: 1 Retribusi Izin mendirikan Bangunan
2 Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 3 Retribusi Izin Gangguan
4 Retribusi Izin Trayek
e. Sarana dan Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah
Pemungutan retribusi daerah tidak dapat diborongkan, artinya seluruh proses kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga.
Namun, dalam pengertian ini tidak berarti bahwa pemerintah daerah tidak boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan sangat selektif dalam proses
pemungutan retribusi, pemerintah daerah dapat mengajak bekerja sama badan-
badan tertentu yang karena profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas pemungutan jenis retribusi tertentu secara lebih
efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan perhitungan besarnya retribusi yang terutang,
pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi. Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi
Daerah SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya pokok retribusi. Dokumen lain
yang dipersamakan antara lain, berupa karcis masuk, kupon dan kartu langganan. Jika wajib retribusi tertentu tidak membayar retribusi tepat pada waktunya atau
kurang membayar, ia dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar dua persen setiap bulan dari retribusi terutang yang tidak atau kuang dibayar dan
ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah STRD. STRD merupakan surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi
berupa bunga dan atau denda. Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi daerah ditetapkan oleh kepala daerah.
f. Perhitungan Retribusi Daerah
Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif
retribusi dengan tingkat pengguna jasa. Dengan demikian, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi dan tingkat pengguna jasa.
a. Tingkat Pengguna Jasa
Tingkat pengguna jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya yang dipikul daerah untuk penyelenggaraan
jasa yang bersangkutan, misalnya beberapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kaliberapa jam parkir kendaraan, dan sebagainya. Akan tetapi, ada pula
pengguna jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus tertentu yang
didasarkan atas luas tanah, luas lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.
b. Tarif Retribusi Daerah
Tarif retribusi daerah adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif
dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan perbedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan sasaran dan tarif tertentu, misalnya perbedaan Retribusi
Tempat Rekreasi antara anak dan dewasa. Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip
dan sasaran penetapan tarif retribusi, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah berkaitan dengan objek
retribusi yang bersangkutan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahu n 2001 ditetapkan bahwa tarif retribusi ditinjau kembali paling lama lima tahun
sekali.
c. Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Daerah
Tarif retribusi daerah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang berbeda antar
golongan retribusi daerah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 21 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 Pasal 8-10 prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi daerah ditentukan sebagai berikut:
1 Tarif retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan kebijakan daerah dengan
mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan
2 Tarif retribusi jasa usaha ditetapkan berdasarkan pada tujuan utama untuk
memperoleh keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan oleh
swasta. 3
Tarif retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin
yang bersangkutan. Biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan di lapangan,
penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
Menurut Kesit Bambang Prakosa 2003:49-52 prinsip dasar untuk mengenakan retribusi biasanya didasarkan pada total cost dari pelayanan-
pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat adanya perbedaan-perbedaan
tingkat pembiayaan mengakibatkan tarif retribusi tetap di bawah tingkat biaya full Cost. Ada empat alasan utama mengapa hal ini terjadi:
a Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan suatu public good yang
disediakan karena keuntungan kolektifnya, tetapi retribusi dikenakan untuk mendisiplinkan konsumsi. Misalnya retribusi air minum.
b Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dari swasta dan sebagian lagi
merupakan good public. Misalnya tarif kereta api atau bis disubsidi guna mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum dibandingkan
angkutan swasta, guna mengurangi kemacetan. c
Pelayanan seluruhnya merupakan privat good yang dapat disubsidi jika hal ini merupakan permintaan terbanyak dan penguasa enggan menghadapi
masyarakat dengan full cost. Misalnya fasilitas rekreasi dari kolam renang. d
Privat good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan group- group berpenghasilan rendah. Misalnya perumahan untuk tunawisma.
d. Cara Penghitungan Retribusi
Besarnya retribusi daerah yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tarif
dan tingkat penggunaan jasa dengan rumus sebagai berikut: Retribusi Terutang = Tarif Retribusi x Tingkat Penggunaan Jasa
B. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Abdullah dan Halim 2003 melakukan penelitian untuk menguji pengaruh pajak daerah dan PAD terhadap belanja daerah di Indonesia dengan mengunakan
smapel kabupaten dan kota di provinsi jawa barat, jawa tengah, jawa timur, daerah Istimewa Jogjakarta dan Bali. Data yang digunakkan dalam penelitian iniadalah
data tahun 2001 dan 2002 nari data laporan APBD pemda yang diperoleh dari situs departemen dalam negeri dan departemen keuangan. Hipotesis yang
diunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan secara bersam-sama pajak daerah dan PAD berpengaruh signifikan
positif terhadap belanja daerah. Monika Siagian 2008 melakukan penelitian untuk menguji pengaruh
Dana Alokasi Umum DAU, Pendapatan Asli Daerah PAD, dan pendapatan lain-lain yang sah terhadap belanja pemerintah daerah KabupatenKota di Provinsi
Sumatera Utara dengan menggunakan sampel sebanyak 12 kabupatenkota. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data time series yakni data tahun 2004-
2006 dari laporan APBD anggaran yang diperoleh melalui situs Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier sederhana dengan uji t dan regresi linier berganda dengan uji F. regeresi sederhana
digunakan untuk melihat pengaruh jumlah DAU, PAD dan pendapatan lain-lain yang secara terpisah terhadap jumlah total belanja. Regresi berganda digunakan
untuk dengan tujuan untuk memprediksi apakah komponen-komponen pendapatan daerah tersebut secara serentak mempengaruhi belanja daerah. Hasil penelitian
Monika Siagian 2008 menunjukkan bahwa baik secara terpisah dan atau secara
bersama-sama Dana Alokasi Umum DAU, Pendapatan Asli Daerah PAD dan pendapatan lain-lain yang dianggap sah berpengaruh siginifikan positif terhadap
belanja daerah.
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis A. Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis, dan tinjauan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual penelitian
sebagai berikut: Gambar 2.1
Variabel Independen Variabel Dependen
H1
H2
H3 Sumber, Penulis 2009
B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis menurut Erlina dan Sri Mulyani 2007:41, menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan
preposisi yang dapat diuji secara empiris. Hipotesis pada penelitian ini adalah Pajak Daerah
X1
Retribusi Daerah X2
Pendapatan Asli
Daerah PAD
H1 : Pajak Daerah berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah PAD H2 : Retribusi Daerah berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah PAD
H3 : Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara simultan berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah PAD
56
BAB III METODE PENELITIAN