Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

KAJIAN SISTEM AGROFORESTRY

BERBASIS SALAK DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

TESIS

Oleh

IDASARI SIREGAR

NIM. 107001033

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

KAJIAN SISTEM AGROFORESTRY

BERBASIS SALAK DI KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Pertanian dalam Program Studi Agroekoteknologi Pascasarjana

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Oleh

IDASARI SIREGAR

NIM. 107001033

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul : KAJIAN SISTEM AGROFORESTRY BERBASIS SALAK DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN Nama Mahasiswa : Idasari Siregar

NIM : 107001033

Program Studi : Agroekoteknologi

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Ketua, Anggota,

Prof.Dr.Ir. Abdul Rauf, MP Rahmawaty, S.Hut,M.Si,Ph.D

Ketua Program Studi, Dekan,


(4)

Telah diuji pada hari : Senin

Tanggal : 11 Pebruari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Ir. Abdul Rauf, MP Anggota : Rahmawaty, S.Hut,M.Si, Ph.D

Dr.Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Dr. Deni Elfiati, MP


(5)

(6)

ABSTRAK

Idasari Siregar. Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dibimbing oleh Abdul Rauf dan Rahmawaty.

Di Kabupaten Tapanuli Selatan sebagian besar petani salak menerapkan sistem agroforestry di lahan kebunnya. Tujuan penelitian adalah untuk mengklasifikasikan sistem agroforestry berbasis salak kedalam beberapa tipe dan subtipe berdasarkan komponen penyusunnya, mengevaluasi dampak sistem agroforestry berbasis salak terhadap sifat tanah dan penghasilan petani serta untuk memperoleh tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dan Analytical Hirarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem agroforestry berbasis salak terdiri dari tipe agrisilvikultural dengan subtipe ASCkpb, dan ASCkpbs; tipe agrosilvopastural dengan subtipe ASPkpbt, ASPkpbst; tipe agroaquaforestry dengan subtipe AQFkpbi, dan AQFkpbsi. Berdasarkan penghasilan bersih, diperoleh penghasilan bersih tertinggi adalah subtipe agrisilvikultural kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman semusim (ASCkpbs). Hasil analisis sifat kimia tanah menunjukkan unsur N terendah ditemukan pada tipe agroaquaforestry, sedangkan unsur N tertinggi ditemukan pada tipe agrosilvopastural. Unsur P dan K pada tipe agrosilvopastural lebih tinggi dibandingkan tipe agroforestry lainnya. C-organik pada tipe agrisilvikultural dan agroaquaforestry lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe agrosilvopastural. Berdasarkan AHP Tipe Sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah tipe agrosilvopastural. Kata kunci : Salak, Agroforestry, Tapanuli Selatan


(7)

ABSTRACT

Idasari Siregar. Salak-Based Agroforestry System Study in Tapanuli Selatan District, supervised by Abdul Rauf and Rahmawaty.

Most of the salak farmers in Tapanuli Selatan District apply the agroforestry system in their farm land. The study aimed to classify agroforestry system salak-based into several types and sub-types based on their constituent components,to evaluate the impact of the salak-based agroforestry system to the soil characteristics and the income of the farmers, and to obtain the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District. This study employed descriptive analysis and Analytical Hirarchy Process (AHP) methods. The results of this study showed that the salak-based agroforestry system salak-salak-based consist of agrisilvicultural type with ASCkpb and ASCkpbs sub-types, agrosilvopastural type with ASPkpbt and ASPkpbst sub-types, and agroaquaforestry type with AQFkpbi and AQFkpbsi sub-types. Based on the net income, the highest net income was obtained from agrisilvicultural type consisting of the combination of trees, plantation crops, fruit trees, and seasonal crops (ASCkpbs). The results of soil chemical characteristic analysis showed the lowest N elements was found in agroaquaforestry type, while the highest N element was found in agrosilvopastural type. The elements of P and K in agrosilvopastural type was higher compared that of the other agroforestry types. The C-organic in agroaquaforestry and agrisilvicultural types was lower compared to that of agrosilvopastural type. The result of AHP showed that the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District was agrosilvopastural type.

Keywords: Salak, Agroforestry, Tapanuli Selatan.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : “Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan”. Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof.Dr.Ir.Abdul Rauf,MP, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan mulai dari awal penelitian hingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Rahmawaty,S.Hut,M.Si,Ph.D, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan hingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar,MS, selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan demi kelengkapan tesis ini.

4. Dr.Deni Elfiati,MP, selaku dosen penguji yang telah memberi banyak masukan demi kelengkapan tesis ini.

5. Prof.Dr.Ir.Erwin Masrul Harahap,MS, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk kelengkapan tesis ini.

6. Bapak dan Ibu staf pengajar Program Studi Agroekoteknologi Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas ilmu yang telah disampaikan selama penulis mengikuti perkuliahan.


(9)

7. Prof.Dr.Ir.Darma Bakti,MS, selaku Dekan Program Studi Agroekoteknologi Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H,M.Sc(CTM),Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh rekan mahasiswa Program Studi AET angkatan 2010, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Mukmin Yus Siregar, SH (alm) dan Ibunda Darlia Harahap, mertua Timan Harahap (alm) dan Jadiatas (alm), atas dorongan dan doa yang telah diberikan selama ini.

10.Khusus kepada suami tercinta Mhd.Rasad,SH serta anak-anak tersayang Sofyan dan Arifin yang dengan sabar dan ikhlas mendampingi penulis dalam mengatasi segala kesulitan yang dihadapi sejak dari awal penelitian hingga selesainya tesis ini.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan tak dapat penulis urutkan namanya satu demi satu, penulis ucapkan terima kasih. Semoga amalan baik yang telah diberikan akan mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Amin Yaa Rabbal Alamin.

Padangsidimpuan, Oktober 2012


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1966 di Binjai Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, puteri dari Bapak Mukmin Yus Siregar, SH (alm.) dan Ibu Darlia Harahap. Pada tahun 1980 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 12 Binjai, tahun 1983 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Padangsidimpuan, dan tahun 1986 lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Padangsidimpuan. Pada tahun 1991 penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S1) pada Fakultas Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan, Universitas Mulawarman Samarinda. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Agroekoteknologi Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dan selesai tahun 2013. Pada tahun 1997 penulis diangkat sebagai staf di Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada tahun 2000 penulis dimutasikan ke Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai staf pada Dinas tersebut sampai dengan sekarang.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……….. ... i

ABSTRACT……… ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ……… iv

DAFTAR ISI …... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Sistem Agroforestry ……... 6

B. Sistem Agroforestry Berbasis Salak ... 8

C. Klassifikasi Sistem Agroforestry... ... 11

D. Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry ... 13

1. Keuntungan Sistem Agroforestry ……… 13

2. Kelemahan Sistem Agroforestry... 15

3. Mengatasi Kelemahan Sistem Agroforestry …... 16

E. Sifat Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan ... 16


(12)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 29

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 29

B. Alat dan Bahan Penelitian…... 29

C. Tahapan Penelitian ... 29

D. Metode Penelitian……… 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 34

A. Tipe Agroforestry Berbasis Salak Berdasarkan Struktur/ Komponen Penyusun... 34 1. Subtipe Agrisilvikultural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, dan Tanaman Buah-buahan (ASCkpb) ………. 36 2. Subtipe Agrisilvikultural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, dan Tanaman Buah-buahan, dan Tanaman Semusim (ASCkpbs) ……… 38 3. Subtipe Agrosilvopastural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, dan Tanaman Buah-buahan, dan Rumput Pakan Ternak (ASCkpbt)………. 40 4. Subtipe Agrosilvopastural Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, Tanaman Buah-buahan, Tanaman Semusim dan Rumput Pakan Ternak (ASCkpbst)… 42 5. Subtipe Agroaquaforestry Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, Tanaman Buah-buahan, dengan Kolam Ikan (AQFkpbsi)……… 44 6. Subtipe Agroaquaforestry Berbasis Salak Kombinasi Pohon Kayu, Tanaman Perkebunan, Tanaman Buah-buahan, Tanaman Semusim dengan Kolam Ikan (AQFkpbsi)………… 45 B. Tingkat Penghasilan Petani Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan ………... 48 C. Tipe Sistem Agroforestry Berbasis Salak yang Paling Sesuai dan Berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan……… 54 V. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 59

A. Kesimpulan ……… B. Saran ………... 59 59 DAFTAR PUSTAKA ……….. 60


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Estimasi Persentase Usahatani Tanaman Salak Berdasarkan Sistem

Pengusahaannya ... 8 2 Deskripsi Usahatani Salak yang Dilakukan Petani …….……….. 9 3 Pemasaran salak dari Kabupaten Malang ke luar Wilayah

Kabupaten... 9 4 Keadaan Sosio-Teknologi Budidaya Salak di Wilayah Kabupaten

Malang ... 10

5 Analisis Keuntungan Usahatani kebun Salak ……… 11

6 Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah pada Beberapa Pola Agroforestry di Desa Cikanyere ……….. 17 7 Nilai Skala AHP ... 26

8 Nilai Indeks Konsistensi Random ………. 27

9 Sasaran dan Teknik Pengumpulan Data Pada Kajian Sistem

Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan ………... 31 10 Subtipe Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan,

berdasarkan Komponen Penyusunnya, Tahun 2012……….. 35 11 Distribusi petani agroforestry berdasarkan tingkat penghasilan kotor

dan tingkat penghasilan bersih dari sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan……….

49

12 Subtipe Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan, berdasarkan tingkat penghasilan bersih, Tahun 2012……….

50 13 Komposisi petani agroforestry berdasarkan jumlah anggota keluarga

dari Sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan 51 14 Rekapitulasi Hasil Akhir Perhitungan Kriteria …………... 54 15 Hubungan Sistem Agroforestry Berbasis Salak Terhadap Sifat Tanah

di Kabupaten Tapanuli Selatan………. 55 16 Rekapitulasi Hasil Akhir Perhitungan Alternatif …………... 57


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Tahapan penelitian kajian sistem agroforestry berbasis salak di

Kabupaten Tapanuli Selatan ………... 30

2 Struktur hierarki tipe agroforestry berbasis salak yang sesuai dan berkesinambungan ...

33

3 Skema subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

37

4 Subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan (ASCkpb) di Desa Padang Lancat, Kec. Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

37

5 Skema subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, dan tanaman

semusim di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……… 39

6 Subtipe agrisilvikultural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan tanaman semusim (ASCkpbs) di Desa Situmbaga Julu, Kec. Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

39 7 Skema subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon

kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan rumput pakan ternak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 …………

40

8 Subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan rumput pakan ternak (ASPkpbt) di Desa Aek Tinjak, Kec. Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

41

9 Skema subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim dan rumput pakan ternak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

43

10 Subtipe agrosilvopastural berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim dan rumput pakan ternak (ASPkpbst) di Desa Padang Natikko, Kec. Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………….

43

11 Skema subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, dengan kolam ikan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ………

44

12 Subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, dengan kolam ikan (AQFkpbi) di Desa Sanggarudang Tobotan, Kecamatan Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……….


(15)

Nomor Halaman 13 Skema subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon

kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, tanaman semusim dengan kolam ikan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……….

46

14 Subtipe agroaquaforestry berbasis salak kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan, tanaman semusim dengan kolam ikan (AQFkpbsi) di Desa Sibongbong, Kec. Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 ……….

46

15 Persentase petani agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan KHM dan KHL Tahun 2012 ...

52

16 Hubungan antara suhu tanah dengan tipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli SelatanTahun 2012...


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Komoditi Tanaman Buah-buahan yang terdapat pada Sistem

Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012………

64

2 Komoditi Tanaman Pangan yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

64

3 Komoditi Tanaman Perkebunan dan Industri yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012……….

65

4 Komoditi Tanaman Hutan yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

65

5 Komoditi Tanaman Sayuran yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

66

6 Kolam, rumput, dan keladi yang terdapat pada Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012…………..

66

7 Distribusi Petani Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan kelas kemiringan lereng Tahun 2012………

66

8 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe agrisilvikultural model Miil Azhar Siregar………...

67 9 Komposisi dan produksi sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Ganda Nainggolan………... 67 10 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrosilvopastural model Sutan Ritonga………. 68 11 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agroaquaforestry model Maraganti Siregar……… 68 12 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrosilvopastural model Muslim Siregar………... 69 13 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Mara Muda Siregar………... 69 14 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrosilvopastural model Agus Salim Siregar……….. 70 15 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Abu Dahrun Pasaribu………..

70 16 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Ali Naruddin……..………..

71 17 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Akhmad Harahap……….. 71


(17)

Nomor Halaman 18 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Akhir Siregar………. 72 19 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agroaquaforestry model Mardin Samosir………..

72 20 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Samuddin Simamora……..………..

73 21 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Mara Halim Siregar………..

73 22 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Malim……….………..

74 23 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Nazaruddin Harahap………..

74 24 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agroaquaforestry model Samsuddin Harahap……….. 75 25 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Mawardi Siregar…………..……….. 75 26 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Rapotan…………...……….. 76 27 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrosilvopastural model Irwan Efendi Sikumbang..……….. 76 28 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrosilvopastural model Muklis Sarumpaet………..

77 29 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Judan Siregar……...……….. 77 30 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Basarullah Rambe…...……….. 78 31 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrosilvopastural model Safruddin Lubis….……….. 78 32 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Akhiruddin Batubara..………..

79 33 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Irsan Siregar………...………..

79 34 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agroaquaforestry model Irwan Siregar…..…...……….. 80 35 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrosilvopastural model Sawali Sihombing...………. 80 36 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Irwan Tambunan.…...………..


(18)

Nomor Halaman

37 Komposisi dan produksi dari sistem agroforestry berbasis salak tipe

agrisilvikultural model Nuraini………….…...……….. 81

38 Data Responden ahli……… 82

39 Kuisioner Analytical Hierarchy Process……….. 83

40 Responden ahli penyebaran kuisioner AHP………. 85

41 Overall inconsistency alternatif………... 86

42 Sifat kimia dan fisika tanah pada beberapa subtipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012………… 87 43 Tabel rataan tahunan curah hujan Kecamatan Batang Angkola…….. 88

44 Tabel rataan tahunan curah hujan Kecamatan Batangtoru…………... 88

45 Tabel rataan tahunan curah hujan Kecamatan Angkola Barat………. 88


(19)

(20)

ABSTRAK

Idasari Siregar. Kajian Sistem Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dibimbing oleh Abdul Rauf dan Rahmawaty.

Di Kabupaten Tapanuli Selatan sebagian besar petani salak menerapkan sistem agroforestry di lahan kebunnya. Tujuan penelitian adalah untuk mengklasifikasikan sistem agroforestry berbasis salak kedalam beberapa tipe dan subtipe berdasarkan komponen penyusunnya, mengevaluasi dampak sistem agroforestry berbasis salak terhadap sifat tanah dan penghasilan petani serta untuk memperoleh tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif dan Analytical Hirarchy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem agroforestry berbasis salak terdiri dari tipe agrisilvikultural dengan subtipe ASCkpb, dan ASCkpbs; tipe agrosilvopastural dengan subtipe ASPkpbt, ASPkpbst; tipe agroaquaforestry dengan subtipe AQFkpbi, dan AQFkpbsi. Berdasarkan penghasilan bersih, diperoleh penghasilan bersih tertinggi adalah subtipe agrisilvikultural kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman semusim (ASCkpbs). Hasil analisis sifat kimia tanah menunjukkan unsur N terendah ditemukan pada tipe agroaquaforestry, sedangkan unsur N tertinggi ditemukan pada tipe agrosilvopastural. Unsur P dan K pada tipe agrosilvopastural lebih tinggi dibandingkan tipe agroforestry lainnya. C-organik pada tipe agrisilvikultural dan agroaquaforestry lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe agrosilvopastural. Berdasarkan AHP Tipe Sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah tipe agrosilvopastural. Kata kunci : Salak, Agroforestry, Tapanuli Selatan


(21)

ABSTRACT

Idasari Siregar. Salak-Based Agroforestry System Study in Tapanuli Selatan District, supervised by Abdul Rauf and Rahmawaty.

Most of the salak farmers in Tapanuli Selatan District apply the agroforestry system in their farm land. The study aimed to classify agroforestry system salak-based into several types and sub-types based on their constituent components,to evaluate the impact of the salak-based agroforestry system to the soil characteristics and the income of the farmers, and to obtain the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District. This study employed descriptive analysis and Analytical Hirarchy Process (AHP) methods. The results of this study showed that the salak-based agroforestry system salak-salak-based consist of agrisilvicultural type with ASCkpb and ASCkpbs sub-types, agrosilvopastural type with ASPkpbt and ASPkpbst sub-types, and agroaquaforestry type with AQFkpbi and AQFkpbsi sub-types. Based on the net income, the highest net income was obtained from agrisilvicultural type consisting of the combination of trees, plantation crops, fruit trees, and seasonal crops (ASCkpbs). The results of soil chemical characteristic analysis showed the lowest N elements was found in agroaquaforestry type, while the highest N element was found in agrosilvopastural type. The elements of P and K in agrosilvopastural type was higher compared that of the other agroforestry types. The C-organic in agroaquaforestry and agrisilvicultural types was lower compared to that of agrosilvopastural type. The result of AHP showed that the most appropriate and sustainable type of salak-based agroforestry system in Tapanuli Selatan District was agrosilvopastural type.

Keywords: Salak, Agroforestry, Tapanuli Selatan.


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salak merupakan salah satu buah tropis yang banyak diminati orang karena memiliki keunggulan baik dari segi rasa maupun penampilan buahnya. Ada 3 (tiga) jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca

(Gaertner Voss) yang berbiji 2 – 3 butir, salak Bali Salacca amboinensis (Becc

Mogea) yang berbiji 1 – 2 butir, dan salak Padangsidimpuan Salacca sumatrana

(Becc) yang berdinding merah.

Sebagian daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan penghasil salak yang dikenal dengan nama salak Padangsidimpuan. Tampilan buahnya cukup menggiurkan, berukuran besar dibandingkan dengan salak lainnya, berkulit hitam kekuningan. Ada beberapa varietas salak yang telah terdaftar dalam buah unggul nasional asal Sumatera Utara, yaitu salak Padangsidimpuan merah, dan Salak Padangsidimpuan putih. Salak Padangsidimpuan merah memiliki sejumlah ciri khas, seperti warna daging buah merah atau warna daging buah putih semburat merah dengan rasa daging buah kombinasi manis, masam, dan sepat. Begitu juga dengan salak Padangsidimpuan putih yang memiliki daging buah berwarna putih dengan rasa manis, masam, dan sepat.

Beberapa faktor yang berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman salak, salah satunya adalah faktor fisik atau lingkungan dan faktor kimia. Faktor fisik adalah suhu atau temperatur tanah, kelembaban tanah, sedangkan faktor kimianya adalah pH dan unsur-unsur hara yang terdapat di dalam tanah.


(23)

Tanaman salak dapat ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat. Kerapatan tanam selain dapat menambah jumlah populasi, yang berarti jumlah tanaman produktif lebih banyak, juga berfungsi untuk konservasi alam. Akar tanaman salak akan membantu menahan tanah dari erosi yang sering terjadi di lereng pegunungan atau lereng-lereng bukit.

Potensi suatu daerah untuk pengembangan suatu komoditas pertanian pada umumnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan (dalam hal ini mencakup iklim, tanah, topografi) dengan persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu daerah dengan persyaratan tumbuh tanaman dapat memberikan informasi bahwa komoditas tersebut potensial dikembangkan di daerah bersangkutan. Agar tanah dapat melaksanakan fungsi-fungsi diatas maka perlu disediakan kondisi tanah yang sesuai bagi tanaman tersebut. Tanaman salak mempunyai perakaran yang dangkal. Tanah yang cocok adalah tanah yang banyak mengandung bahan organik, mampu menyimpan air tetapi tidak mudah tergenang, gembur, dan secara kualitatif mengandung zat-zat hara utama bagi tanaman.

Tanaman salak walaupun termasuk tanaman yang tidak mengandung resiko tinggi, tetapi tetap diperlukan pemeliharaan dan perawatan yang intensif, agar buah yang dihasilkan kualitasnya baik. Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari penuh (100%), tetapi cukup 50 – 70%, karena itu diperlukan tanaman peneduh. Suhu yang paling baik antara 20-30°C. Salak membutuhkan kelembaban tinggi, tetapi tidak tahan genangan air (http://www.ristek.go.id).


(24)

Sebagian besar petani salak yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan menerapkan sistem agroforestry. Banyak ahli mendefinisikan agroforestry sebagai “suatu sistem manajemen lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman hutan dan atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai budaya masyarakat setempat”. Mereka menanam tanaman semusim (seasonal crop) di sela tanaman keras (tree) dengan mengandalkan

sumber daya alam yang ada. Petani biasanya tidak melakukan pemupukan dan perawatan intensif. Petani juga belum memperhatikan jenis tanaman sela. Akibatnya hasil yang diperoleh relatif kecil. Perpaduan antara tanaman pohon dengan tanaman pertanian dikenal dengan nama Agrisilvicultural (Nair, 1989b;

Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995).

Pengelolaan lahan dengan menanam berbagai jenis tanaman keras sebagai penaung tanaman salak (agroforestry berbasis tanaman pertanian atau musiman) telah banyak dilakukan petani salak di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tanaman keras yang ditanam sebagai penaung tanaman salak seperti : karet, durian, pokat, langsat, petai, jengkol, kelapa, dan dadap membuat keragaman hayati sehingga ekosistem menjadi lebih stabil. Untuk itu, keberadaan sistem agrofotrestry yang merupakan salah satu bentuk sistem pertanian konservasi (SPK) ini perlu dikembangkan agar sumberdaya lahannya dapat secara ekologis lestari, secara ekonomis menguntungkan dan secara agronomis memberikan hasil yang tinggi secara berkesinambungan (sustainable).

Berdasarkan uraian di atas, maka telah dilakukan kajian untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi sistem agroforestry berbasis salak di


(25)

Kabupaten Tapanuli Selatan terhadap sifat tanah dan penghasilan petani serta memperoleh sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan.

B. Perumusan Masalah

Sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan sudah banyak dilakukan para petani, tetapi masih menerapkan budidaya tradisionil dengan menanam tanaman semusim (seasonal crop) di sela tanaman keras (tree)

dan atau ternak pada saat bersamaan atau berurutan. Tanaman keras yang ditanam sebagai penaung tanaman salak seperti : karet, durian, pokat, langsat, petai, jengkol, kelapa, dan dadap, sedangkan ternaknya bebek serta kolam ikan. Hal itu membuat keragaman hayati sehingga ekosistem menjadi lebih stabil.

Permasalahannya adalah belum pernah dilakukan inventarisasi sistem agroforestry berbasis salak yang telah ada di Kabupaten Tapanuli Selatan. Beberapa faktor yang terkait dengan masalah ini adanya keragaman jenis, populasi, dan tata letak komponen agroforestry berbasis salak. Selain itu bagaimana dampak sistem agroforestry berbasis salak terhadap penghasilan petani.

Sistem agroforestry berbasis salak yang telah diterapkan petani salak belum diketahui mana yang paling sesuai. Untuk mendapatkan sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai, maka dilakukan kajian sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan.


(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengklasifikasikan sistem agroforestry berbasis salak yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan kedalam beberapa tipe dan subtipe berdasarkan komponen penyusunnya.

2. Mengevaluasi dampak sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan terhadap penghasilan petani.

3. Memperoleh tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

D. Kegunaan Penelitian

Diharapkan dengan penelitian ini :

1. Tersedia data dan informasi mengenai tipe dan subtipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Bahan pertimbangan bagi petani pelaksana sistem agroforestry berbasis salak dalam menerapkan tipe agroforestry.

3. Sebagai bahan informasi dan kajian bagi Pemerintah Daerah tentang keberadaan sistem agroforestry berbasis salak yang sesuai untuk dikembangkan di Kabupaten Tapanuli Selatan.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Agroforestry

Agroforestry mengacu pada sistem penggunaan lahan dimana pepohonan tumbuh bergabung dengan tanaman pertanian, rumput-rumputan atau ternak. Gabungannya boleh jadi waktu, seperti rotasi antara pepohonan dengan komponen lain, atau di ruang dengan komponen-komponen tumbuh bersama pada lahan yang sama. Selalu ada interaksi antara ekologi dan ekonomi antara pepohonan dengan komponen lain dari sistem tersebut. Adanya interaksi antara ekologi yang memiliki ciri-ciri yang paling khusus yang mengambil tempat di atas tanah (seperti penaungan, evapotranspirasi), di bawah tanah (seperti interaksi akar dengan masing-masing air dan unsur hara) melalui transfer biomassa, ketika serasah pohon atau pangkasan ditambahkan pada tanah (Young, 1997). Selanjutnya Young (1997) menyatakan tumbuh-tumbuhan tahunan yang berkayu termasuk pohon-pohonan, semak belukar, kelapa, bambu temasuk pada kata “pohon-pohonan”. Dalam kasus yang terkecuali, tanaman berkayu yang tumbuh kurang dari satu tahun ( seperti Sesbania spp.) juga dimasukkan.

Chundawat dan Gautam (1993) mengemukakan alternatif pengertian agroforestry yaitu sebagai suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana tanaman pohon (hutan) dengan sengaja diusahakan dalam unit pengelolaan lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan/atau ternak pada saat bersamaan atau berurutan. Dalam sistem agroforestry terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis.


(28)

Nair (1989a) mengemukakan bahwa agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan : (a) tanaman tahunan dan tanaman perdu tumbuh bersama-sama dalam campuran dengan pembagian tapak dan/atau secara berurutan dengan atau tanpa hewan, dan (b) menghasilkan lebih besar keuntungan pada penggunaan lahannya daripada mengusahakan tanaman pertanian atau hutan saja. Keuntungan dimaksud termasuk satu atau lebih dari kriteria berikut : terjadi keberlanjutan kesuburan tanah, konservasi tanah, peningkatan hasil, memperkecil resiko kerusakan atau kegagalan tanaman, kemudahan pengelolaan dan pengendalian hama serta penyakit, dan/atau lebih dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Satjapradja (1981) telah mengumpulkan beberapa pengertian agroforestry yang kemudian memberikan batasan umum sebagai suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan), membentuk tajuk yang berlapis-lapis, berdasarkan kelestarian, baik ditanam secara serentak maupun berurutan di dalam dan/atau di luar kawasan hutan, untuk kesejahteraan masyarakat.

Nair (1989a) kembali melengkapi definisi agroforestry sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup, dalam satu kesatuan kehutanan dan agronomis. Tujuannya adalah untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang. Hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua komponen tersebut yaitu tanaman pohon dan non pohon (sekurang-kurangnya pakan ternak).


(29)

Dari definisi-definisi tersebut diatas, Nair (1989a) dan juga Chundawat dan Gautam (1993) membatasi agroforestry dengan kriteria sebagai berikut : a) dalam bentuk yang normal, agroforestry terdiri dari dua atau lebih spesies tanaman (dan/atau hewan), b) agroforestry selalu memiliki dua atau lebih produk, c) siklus dari sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun, dan d) sistem agroforestry lebih komplek daripada sistem monokultur dengan sekaligus memenuhi keuntungan secara ekologis (struktur dan fungsinya) dan keuntungan secara ekonomis.

B. Sistem Agroforestry Berbasis Salak

Penelitian di Kabupaten Malang, Jawa Timur menunjukkan bahwa tanaman salak pada umumnya diusahakan di lahan pekarangan secara sambilan. Estimasi tentang persentase luas pengusahaan salak berdasarkan sistem pengusahaannya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi persentase usahatani tanaman salak berdasarkan sistem pengusahaannya

Sistem Pertanian % luasan

1. 2. 3.

Salak diusahakan pada lahan pekarangan dan ruang publik Salak diusahakan pada lahan penghijauan, tegalan dan

tumpangsari dengan tanaman pangan Salak diusahakan pada lahan tegalan secara monokultur

40 – 50 30 ± 5

Sumber: Soemarno et al, 2000.

Sistem Usahatani tanaman salak di lahan tegalan dan pekarangan penduduk tidak mendapatkan perawatan secara memadai, pemupukan dilakukan ala kadarnya, pemangkasan tajuk tidak dilakukan (Soemarno et al, 2000). Deskripsi ringkas


(30)

Tabel 2. Deskripsi sistem usahatani salak yang dilakukan petani

Kondisi aktual

1. Rata-rata jumlah pohon 15 -50 pohon

2. Lahan yang digunakan Lahan pekarangan, tegalan, HRKR

3. Jarak tanam Tidak beraturan

4. Sistim penanaman Sebagian besar berasal dari bibit grafting dan okulasi

5. Jenis Salak yang banyak diusahakan Suwaru dan Lokal

6. Pemangkasan Umumnya dilakukan pada

waktu tanaman umur 1-3 tahun

7. Pemupukan Umumnya dilakukan pada waktu

tanaman umur 1-2 tahun

8.Pemberantasan hama dan penyakit Jarang dilakukan Sumber: Soemarno et al, 2000.

Ketersediaan sarana produksi untuk pengembangan salak yang terpenting adalah bibit yang kualitasnya baik. Potensi bibit salak di Jawa Timur masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan permintaan pasar. Market share petani dari harga beli konsumen hanya sebesar lebih kurang 45% (Tabel 3).

Tabel 3. Pemasaran salak dari Kabupaten Malang ke luar wilayah Kabupaten

Aktivitas Nilai Pangsa

(Rp/kg buah) (%)

1. Petani

Harga jual di tingkat lahan 1.200 24.00

2. Tengkulak desa Harga beli

Harga jual ke pengumpul Keuntungan

1.200 2.000

800 16.00

2. Pedagang pengumpul

a. Harga beli dari tengkulak 2.000

b. Biaya 1.000 20.00

c. Harga jual 5.000 100.00

d. Keuntungan 2.000 40.00

Sumber: Soemarno et al, 2000.

Dalam rangka penyediaan bibit salak, peranan masyarakat dalam usahatani pembibitan salak dipandang perlu dilibatkan, karena usahataninya cukup efisien dan meningkatkan pendapatan petani. Penguasaan agroteknologi salak oleh


(31)

penduduk pada umumnya sudah menguasai syarat minimal, akan tetapi untuk menuju kepada usahatani yang lebih intensif masih diperlukan tambahan informasi teknologi inovatif. Teknologi bibit dan pembibitan, penanaman bibit dan perawatan tanaman, serta fungsi pascapanen sederhana telah dikuasai penduduk (Soemarno et

al, 2000). Keadaan sosio teknologi budidaya salak disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Keadaan sosio-teknologi budidaya salak di wilayah Kabupaten Malang

Malang:

Pekarangan Kebun rakyat

I. Bibit dan Pembibitan a. Asal bibit

- Sendiri 75.0 % 35 %

- Membeli 25.0 % 65 %

b. Cara Pembibitan : Biji 75.0 % 65.0

- Sambungan 0.0 % 0.0

- Okulasi 0.0 % 0.0

- Cangkok 25.0 % 35.0

c. Jarak Tanam; m

- Tak teratur 5 x 5 -

- Teratur 10 x 10 12 x 12

d. Sistim Penanaman

- Tumpangsari 100 % 75 %

- Monokultur - 25 %

II. Pemeliharaan

a. Pemangkasan/Benalu 60.00 % 40.75 %

b. Pemupukan 11.00 % 55.00 %

c. Pemberantasan hama penyakit 5.00 % 45.00 %

d. Penyiangan 40.00 % 75.00%

III. Jumlah rata-rata 15-50 pohon 500

pohon setiap orang

Sumber: Soemarno et al, 2000.

Berdasarkan estimasi cash flow selama 20 tahun diperoleh informasi bahwa

tanaman salak baru mendatangkan keuntungan setelah umur 5-6 tahun. Sedangkan apabila modalnya berasal dari kredit akan dapat terlunasi pada tahun ke-8-10. Besarnya keuntungan Salak pada "discount rate" 22 persen per tahun dengan "Net

Present Value" (NPV) sekitar Rp.4.000.000,- sedangkan besarnya "Internal Rate of


(32)

secara finansial usahatani salak sangat menguntungkan (Soemarno et al, 2000).

Analisis keuntungan usahatani salak disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis keuntungan usahatani kebun salak (untuk setiap hektar pertanaman salak)

Keterangan Keadaan

1. Umur mulai berproduksi 4 tahun

2. Umur impas permodalan 8-10 tahun

3. Net Present Value (NPV)

dengan DF = 22 % Rp. 4.000.000

4. Internal Rate of Return (IRR) 32.00 %

5. Nilai Break Event Point (BEP)

a. Produksi 50 tandan / pohon /th

b. Harga Rp. 20-25 / buah

Sumber: Soemarno et al, 2000.

C. Klasifikasi Sistem Agroforestry

Keragaman sistem agroforestry dapat dikelompokkan kedalam empat dasar utama (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993) yaitu (1) berdasarkan strukturnya (structural basis) yang berarti penggolongan sistem agroforestry dilihat

dari komposisi komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan dan/atau ternak); (2) berdasarkan fungsinya (functional basis), penggolongan sistem

agroforestry ditinjau dari fungsinya seperti fungsi produksi dan fungsi proteksi atau perlindungan; (3) berdasarkan sosial ekonominya (socioeconomic basis) yang

ditinjau dari segi tingkat pengelolaan dan tujuan komersialnya, serta (4) berdasarkan ekologisnya (ecological basis) yang didasarkan pada kondisi ekologis

tempat atau lokasi sistem agroforestry diterapkan atau ditemukan.

Berdasarkan strukturnya, sistem agroforestry dibedakan atas beberapa tipe (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (1) Agrisilvicultural


(33)

tanaman pertanian. Alley cropping, kebun pepohonan multispesies, tanaman pagar,

pohon penahan angin dan sejenisnya termasuk kedalam tipe agrisilvicultural; (2)

Silvopastural yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pakan

dan atau ternak dengan tanaman pohon (hutan). Tanaman pohon yang digunakan terutama yang dapat menjadi sumber pakan ternak seperti tanaman leguminosa dan pohon buah-buahan; dan (3) Agrosilvopastural atau sistem campuran yaitu sistem

agroforestry yang mengkombinasikan sekaligus tanaman pohon (hutan), tanaman pertanian, dan tanaman pakan dan/atau ternak.

Chundawat dan Gautam (1993) melengkapi tipe agroforestry berdasarkan strukturnya : (1) Apicultural yaitu kombinasi budidaya tanaman pohon dengan

pemeliharaan lebah madu, dan (2) Aquaforestry atau Agroaquaforestry yaitu sistem

agroforestry yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman pohon (hutan) dan tanaman pertanian. Interaksi antara sistem hutan, pertanian dan kolam ikan merupakan bentuk yang lazim ditemui, selain penanaman pohon bernilai ekonomis yang mampu tumbuh dalam kondisi tergenang (dalam rawa atau gambut) termasuk ke dalam tipe aquaforestry.

Berdasarkan fungsinya, sistem agroforestry dapat dibedakan menjadi : (1) fungsi produksi yaitu sistem agroforestry yang lebih ditujukan untuk mendapatkan hasil (produksi) bahan pangan, pakan, bahan bakar kayu, serat, kayu dan lain-lain; dan (2) fungsi proteksi yaitu sistem agroforestry yang lebih ditujukan untuk perlidungan atau pencegahan dari kerusakan sumberdaya lingkungan dan sekaligus pemeliharaan sistem produksi seperti tanaman pagar, pematah angin, kebakaran, konservasi tanah dan air, penguat bantaran sungai (Nair, 1989b; Chundawat dan


(34)

Berdasarkan sosial ekonomis, sistem agroforestry dibedakan atas : (1) tujuan komersial yaitu pengelolaannya dimaksudkan terutama untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis tinggi melebihi sistem monokultur; (2) Subsistence yaitu

sistem agroforestry yang dikelola tanpa mempertimbangkan input dan output, berbasis tenaga keluarga dan umumnya merupakan dampak dari sistem perladangan berpindah; dan (3) Intermediate yaitu sistem agroforestry yang

memiliki sifat diantara komersil dan subsisten dengan tingkat pengelolaan dan pencapaian produksi yang medium dan tetap mempertimbangkan input meski pada tingkat yang tidak maksimal (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993).

Berdasarkan ekologisnya, sistem agroforestry dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu sistem agroforestry pada dataran rendah humid dan subhumid, pada daerah arid dan semi arid serta pada dataran tinggi (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993). Di Indonesia khususnya di Sumatera, sistem agroforestry banyak dijumpai pada daerah dataran tinggi atau lereng-lereng bukit yang umumnya terbentuk akibat konversi penggunaan lahan hutan menjadi lahan budidaya (Michon, Mary dan Bompard, 1989).

D. Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry

1. Keuntungan Sistem Agroforestry

Kebaikan penerapan sistem agroforestry dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis atau lingkungan, keuntungan secara ekonomis, dan keuntungan secara sosial. Keuntungan sistem agroforestry secara ekologis dapat berupa (Nair, 1989d; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) lebih efisien dalam


(35)

siklus hara, terutama pemindahan hara dari lapisan bawah solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian laju aliran permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) terciptanya kondisi yang menguntungkan bagi peningkatan/pemeliharaan populasi dan aktivitas organisme tanah; (f) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan; dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa-sisa tanaman dan hewan.

Secara ekonomis, sistem agroforestry sangat menguntungkan terutama dalam hal (Nair, 1989c; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen masih dapat diitutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan.

Keuntungan secara sosial dari diterapkannya sistem agroforestry adalah (Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995) : (a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan berkelanjutan pekerjaan dan pendapatan; (b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (c)


(36)

terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi.

2. Kelemahan Sistem Agroforestry

Selain kebaikan-kebaikan yang dimiliki sistem agroforestry tersebut diatas, sistem ini juga memiliki kelemahan-kelemahan, baik kelemahan secara ekologis atau lingkungan, maupun kelemahan secara sosial ekonomis (Chundawat dan Gautam, 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan antara lain : (a) kemungkinan terjadinya persaingan matahari, air tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (b) kerusakan tanaman pangan saat dilakukan pemanenan tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (c) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman pertanian; dan (d) relatif lamanya regenerasi tanaman pohon menyebabkan penyempitan lahan untuk tanaman pangan sejalan dengan semakin besarnya tanaman pohon. Kelemahan dari segi sosial ekonomis antara lain (Chundawat dan Gautam, 1993) : (a) terbatasnya tenaga kerja yang berminat

dibidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestry; (b) terjadinya persaingan antara tanaman pohon dengan tanaman pangan yang

dapat menurunkan hasil tanaman pangan (sumber gizi keluarga) dibandingkan pada penanaman dengan sistem monokultur; (c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu panen tanaman pohon dapat mengurangi produksi sistem agroforestry; (d) sistem agroforestry terutama yang berorientasi komersial diakui lebih komplek sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan pada sistem pertanian monokultur; dan (e) keengganan sebagian


(37)

besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon atau sebaliknya yang lebih bernilai ekonomis.

3. Mengatasi Kelemahan Sistem Agroforestry

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahan-kelemahan sistem agroforestry tersebut di atas dapat dikendalikan sebagian atau seluruhnya dengan jalan (Nair, 1989c; Chundawat dan Gautam, 1993) : (a) penggunaan pohon leguminosa (pohon kacangan) atau tanaman berbuah polong yang sedikit dalam menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman pangan dapat terpenuhi; (b) pemilihan tanaman pohon dengan sistem perakaran dalam, sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman pangan di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas; dan (c) jarak tanaman pohon dibuat lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengan tanaman pangan dan memudahkan pada saat tanaman pohon akan dipanen (ditebang) dan lahan sela dapat ditanami tanaman semusim secara berkelanjutan.

E. Sifat Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil penelitian Wijayanto dan Rifa’i (2009), hasil analisis sifat kimia tanah pada beberapa pola agroforestri di Desa Cikanyere pada Tabel 6.

Hasil analisis sifat kimia tanah masing-masing pola agroforestri pada Tabel 6 menunjukkan nilai reaksi tanah (pH) terendah ditemukan pada pola AF 1 sedangkan pH tanah tertinggi ditemukan pada pola AF2. Ispandi dan Munip (2005) menyatakan reaksi tanah atau pH tanah yang terlalu rendah menyebabkan tidak tersedianya unsur hara tanaman di dalam tanah, seperti hara P, K, Ca, Mg dan


(38)

unsur mikro yang menyebabkan tanaman mengalami kahat unsur hara sehingga hasil tanaman tidak optimal.

Tabel 6. Hasil analisis sifat kimia tanah pada beberapa pola agroforestry di Desa Cikanyere

No Lokasi

pH 1:1 Walkley & Black

Kjeldahl Bray I HCl 25%

NH4

C/N Ratio oAc

pH H2O KCl C-org

(%)

N-Total (%)

P (ppm)

K (ppm)

KTK (me/100g) 1 AF1 4,70 3,70 1,83 0,19 8,2 39 19,43 9,63 2 AF2 5,60 4,80 1,83 0,18 7,8 54,6 15,25 10,17 3 AF3 5,50 4,70 2,39 0,22 6,6 93,6 21,29 10,86 4 AF4 4,90 4,00 1,91 0,20 11,6 19,5 22,41 9,55 5 AF5 5,00 4,10 2,07 0,20 7,8 35,1 19,42 10,35

Keterangan :

AF 1 : Pola agroforestry 1 : gmelina, jagung, singkong, pisang,petai AF 2 : Pola agroforestry 2 : gmelina, jagung, kopi, pisang,petai AF 3 : Pola agroforestry 3 : gmelina, mahoni, singkong, petai AF 4 : Pola agroforestry 4 : gmelina, mahoni, jagung, cabai

AF 5 : Pola agroforestry 5 : gmelina, mahoni, padi gogo, singkong, jagung, petai

Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Pusat Penelitian Tanah 1983) dalam Hardjowigeno (2003), beberapa unsur hara yang dianalisis secara

umum berada pada kisaran sangat rendah sampai rendah. Nilai total unsur N berada pada kisaran rendah sampai sedang. Unsur nitrogen (N) merupakan unsur hara yang berperan penting bagi pertumbuhan vegetatif tanaman. Zubachtirodin dan Subandi (2008) menyatakan, tanaman tidak dapat melakukan metabolisme jika kekurangan unsur hara N. Leguminosa mampu memfiksasi N bebas dari udara sehingga dapat membantu menyuburkan tanah sebagai pengganti pupuk N. Menurut Humphreys (1995), pada umumnya setiap 1000 kg bahan kering bagian atas tanaman dapat memfiksasi sekitar 15-40 kg N. Serasah daun dan ranting tanaman serta sisa panen yang masuk ke dalam tanah diduga bisa meningkatkan jumlah C dalam tanah. Hairiah et al. (2002) menyatakan, ada 3 pool utama


(39)

dalam tanah sebagai serasah, (2) akar tanaman, melalui akar tanaman yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar, (3) biota tanah.

Unsur N dan C yang ditemukan pada tanah bisa digunakan untuk memperkirakan besarnya kandungan bahan organik dalam tanah (BOT). Nisbah C/N rendah menunjukkan kandungan bahan organik tanah yang tinggi, karena bahan organik merupakan sumber N yang utama dalam tanah. Pola AF 4 menunjukkan nilai nisbah C/N yang paling rendah dibandingkan dengan pola agroforestry yang lain. Bahan organik tanah pada pola AF 4 diduga menyebabkan kapasitas tukar kation (KTK) pada pola tersebut paling tinggi dibandingkan dengan pola yang lain. Tanah dengan nilai KTK yang tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah (Hardjowigeno, 2003).

Unsur Posfor (P) pada pola agroforestry AF 3 diduga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman pokok gmelina. Hasil analisis sifat kimia tanah menunjukkan kandungan unsur P pada pola AF 3 mempunyai jumlah yang paling kecil dibandingkan dengan pola agroforestri yang lain. Unsur P mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman yaitu, pembelahan sel, perkembangan akar, menyimpan dan memindahkan energi, metabolisme karbohidrat dan lain-lain. Penggunaan unsur Posfor yang cukup besar pada pola AF 3 lebih disebabkan oleh adanya tanaman ubi kayu (singkong) dibawah tegakan tanaman pokok G.arborea. Howeler (1981, 1985) dalam Isphandi (2003)

menyatakan, proses pembentukan umbi, tanaman ubi kayu sangat memerlukan hara P dan K yang cukup.


(40)

Penelitian Young (1997) pada ekosistem alam menunjukkan masing-masing tingkat jenis hasil bersih dari ekosistem alam (dalam kg/ha/tahun berat kering, pada permukaan tanah) adalah Tropis Basah (Hutan Hujan) lebih besar 20.000, Tropis Agak Basah Lembab (Savana berdaun lebar) sebesar 10.000, Tropis Agak Basah Kering (Savana berdaun sempit) sebesar 5.000, dan Daerah Agak Kering (Vegetasi subdesert) lebih kecil 2.500.

Untuk mempertahankan bahan organik di wilayah Tropis basah, sistem penggunaan tanah perlu menambahkan ke permukaan tanah serasah atau pangkasan kira-kira 10.000 per kg per hektar per tahun berat kering (Young, 1977). Jika tidak diberikan input, tanah-tanah tropis akan kehilangan setengah dari bahan organik tanah lapisan atas, sementara tanah di Kanada membutuhkan waktu lebih dari 50 tahun (Tiessen et al, 1994 dalam Young, 1997). Sementara Sanchez (1992)

menyatakan bahwa tambahan bahan organik segar di hutan tropika per tahun berupa serasah, dahan dan akar yang mati lebih kurang dari 5 ton/ha bahan kering dan kira-kira 1ton/ha per tahun di hutan tropika dan 1 sampai 8 ton/ha per tahun di hutan iklim sedang. Laju perubahan bahan organik segar menjadi karbon organik tanah (humus) adalah kira-kira 30 sampai 50 persen per tahun. Laju itu nisbi tapi di lingkungan yang berbeda-beda. Tambahan karbon organik tanah atau humus adalah kira-kira empat kali lebih banyak di hutan tropika daripada hutan iklim sedang dan agak serupa di padang rumput tropika dan padang rumput iklim sedang. Laju pelapukan tahunan karbon organik tanah sangat berguna. Di hutan tropika laju itu berkisar dari 2 sampai 5 persen.


(41)

F. Analytical Hierarchy Proses

Analytical Hierarchy Proses (AHP) adalah suatu metode unggul untuk

memilih aktivitas yang bersaing atau banyak alternatif berdasarkan kriteria tertentu atau khusus. Kriteria dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif, dan bahkan kriteria kuantitatif ditangani dengan struktur kesukaan pengambil keputusan daripada berdasarkan angka (Amborowati dan Armadyah, 2008).

Pada perkembangannya, AHP dapat memecahkan masalah yang kompleks atau tidak berkerangka dengan aspek atau kriteria yang cukup banyak. Kompleksitas ini disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian tersedianya atau bahkan tidak ada sama sekali data statistik yang akurat. Adakalanya timbul masalah keputusan yang dirasakan dan diamati perlu diambil secepatnya, tetapi variasinya rumit sehingga datanya tidak mungkin dapat dicatat secara numerik hanya secara kualitatif saja yang dapat diukur, yaitu berdasarkan persepsi pengalaman dan intuisi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa model-model lainnya ikut dipertimbangkan pada saat proses pengambilan keputusan dengan pendekatan AHP, khususnya dalam memahami para pengambil keputusan individual pada saat proses penerapan pendekatan ini (Iryanto, 2008).

Marimin (2004) menyebutkan bahwa AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Beberapa keuntungan yang diperoleh bila memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan AHP adalah :


(42)

1. Kesatuan, dalam hal ini AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.

2. Kompleksitas, dalam hal ini AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. Saling ketergantungan, AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4. Penyusunan hierarki, AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5. Pengukuran, AHP memberikan suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.

6. Sintesis, AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

7. Tawar menawar, AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

8. Penilaian dan konsesus, AHP tidak memaksakan konsesus tetapi

mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda.

9. Pengulangan proses, AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.


(43)

Prinsip dasar AHP menurut Saaty (1993) dalam Tantyonimpuno (2006), meliputi :

1. Penyusunan hierarki masalah (Problem Decomposition)

Dalam penyusunan hierarki ini perlu dilakukan perincian atau pemecahan dari persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur/komponen yang kemudian dari komponen tersebut dibentuk suatu hierarki. Pemecahan unsur ini dilakukan sampai unsur tersebut sudah tidak dapat dipecah lagi sehingga didapat beberapa tingkat suatu persoalan. Penyusunan hierarki merupakan langkah penting dalam model analisis hierarki.

2. Penilaian perbandingan berpasangan (Comparative Judgement)

Prinsip ini dilakukan dengan membuat penilaian perbandingan berpasangan tentang kepentingan relatif dari dua elemen pada suatu tingkat hierarki tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya dan memberikan bobot numerik berdasarkan perbandingan tersebut. Hasil penelitian ini disajikan dalam matriks yang disebut pairwise comparison.

3. Penentuan prioritas (Synthesis of Priority)

Sintesa adalah tahap untuk mendapatkan bobot bagi setiap elemen hierarki dan elemen alternatif. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap

tingkat untuk mendapatkan global priority, maka sintesis harus dilakukan pada

setiap local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif


(44)

4. Konsistensi logis (Logical Consistensy)

Konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan anatara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi data dapat dari rasio konsistensi (CR) yang merupakan hasil bagi antara indeks konsistensi (CI) dan indeks random (RI).

Iryanto (2008) menyebutkan, metode AHP mempunyai keunggulan dalam memecahkan masalah-masalah multikriteria, masalah yang tak terstruktur, yang dapat diraba maupun yang tidak dapat diraba bahkan masalah yang tidak mempunyai data statistik. Metode AHP mampu menyerap persepsi, preferensi, dan pengalaman pengambil keputusan dan tidak membutuhkan keahlian yang tinggi.

Pengambilan keputusan dengan metode AHP mmemungkinkan untuk memandang permasalahan dengan kerangka berpikir yang tertata, sehingga pengambilan keputusan menjadi efektif. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan masalah yang kompleks, tak terstruktur, strategis dan dinamis menjadi bagian-bagian yang terstruktur dan menata variable dalam hierarki. AHP menentukan tingkat kepentingan setiap variabel, dan secara subjektif memberi numerik suatu variabel tentang arti pentingnya secara relative dibanding dengan variabel lainnya secara berpasangan. Dari berbagai pertimbangan tersebut AHP melakukan sintesa untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi sistem tersebut. AHP juga dapat menangani masalah yang elemen-elemennya saling tergantung dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier (Iryanto, 2008).


(45)

Suryadi dan Ramadhani (1998), menyebutkan langkah-langkah penyusunan AHP sebagai berikut :

1. Mendefinisikan masalah

Mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan yang diinginkan. Bila AHP digunakan untuk memilih alternatif atau menyusun prioritas alternatif, maka pada tahap ini dilakukan pengembagan alternatif.

2. Penyusunan Hierarki

Penyusunan hierarki permasalahan merupakan langkah pendefinisian masalah yang rumit dan kompleks sehingga menjadi lebas dan detail. Hierarki keputusan disusun berdasarkan pandangan pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan dibidang yang bersangkutan. Keputusan yang diambil dijadikan sebagai tujuan dan dijabarkan menjadi elemen yang lebih rinci hingga tercapai suatu tahapan yang terukur. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.

3. Penentuan prioritas atau membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. AHP melakukan analisis prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar dua elemen sehingga seluruh elemen yang ada tercakup.

4. Melakukan perbandingan berpasangan dengan nilai skala seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7, sehingga diperoleh judgement seluruhnya sebanyak


(46)

5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten maka

pengambilan data kembali diulangi. Konsistensi jawaban responden dalam menentukan prioritas elemen merupakan prinsip pokok yang menentukan validitas data dan hasil pengambilan keputusan. Secara umum, responden harus memiliki konsistensi dalam melakukan perbandingan elemen.

6. Mengulangi langkah 3, 4, dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki

7. Menghitung vector eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai

vector eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk mensintesis

penilaian dalam penentuan prioritas elemen pada tingkat hierarki terendah sampai pencapaian tujuan.

8. Memeriksa konsistensi hierarki. Jika nilainya lebih dari sepuluh persen, maka data penilaian harus diperbaiki (diulangi).

Secara lengkap Rahmawaty, et al (2011) menyebutkan bahwa dalam proses

perbandingan berpasangan melibatkan perhitungan vektor kolom. Hal ini diperoleh dengan mengalikan matriks tujuan dengan bobot relatif, misalnya bobot tujuan, dalam bentuk persamaan :

Vk = Mk * Wik

Keterangan :

Vk = vektor kolom pengambil keputusan ke- k Mk = matrik obyektif pengambil keputusan ke- k


(47)

Tabel 7. Nilai skala AHP

Intensitas Definisi Penjelasan Pentingnya

1 Kedua elemen sama

pentingnya. Dua elemen menyumbang sama besar sifat tersebut.

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya elemen lainnya.

5 Elemen yang satu sangat penting daripada elemen

pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya yang lainnya.

7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen

Satu elemen denga kuat disokong dan

dominannya telah terlihat dalam praktek

yang lain.

9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat yang lain. penegasan yang tertinggi yang

mungkin menguatkan 2, 4, 6, 8

Nilai-nilai diantara dua

Kompromi diperhatikan diantara dua

pertimbangan.

pertimbangan yang

berdekatan

Kebalikan

Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan

dengan i.

Sumber : Saaty dan Vargas (2001) dalam Rahmawaty, et al (2011)

Dengan vektor kolom dari bobot, nilai eigen maksimum atau pokok (yang disumbangkan oleh Ymaks) dihitung semakin dekat nilai eigen utama adalah ke n,

yang lebih konsisten adalah penilaian subjektif itu berasal dengan mengambil rata-rata dari jumlah rasio dari vektor kolom dan bobot relatif (Rahmawaty et al, 2011).

q

λmaks = ∑ Vk/Wik/q k = 1

Keterangan :


(48)

Pusat untuk AHP adalah ukuran dari konsistensi dalam penilaian manusia. Penyimpangan dari konsistensi dapat diwakili oleh indeks konsistensi (CI). Nilai ini adalah perbedaan antara nilai eigen maksimum atau pokok dan jumlah tujuan

(N) dibagi dengan n-1. Bentuk persamaan sebagai berikut:

CI = λ maks – n/n-1

Keterangan :

CI = indeks konsistensi

λ maks

CR = CI/RI

= nilai eigen pokok n = jumlah obyek

Untuk mendapatkan ide dari konsistensi penilaian, CI dibandingkan dengan indeks konsistensi acak (RI) dari nilai-nilai seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Sebuah rasio konsistensi sepuluh persen atau kurang dianggap dapat diterima. Persamaan rasio konsistensi (CR)

Keterangan :

CI = indeks konsistensi RI = indeks random

Malczewski (1999) dalam Rahmawaty et al, (2011) menyebutkan bahwa

ketika CR kurang dari atau 0,1, nilai-nilai dari rasio tersebut tidak konsisten. Dalam kasus terakhir nilai asli dalam matriks perbandingan pasangan yang bijaksana harus direvisi.

Table 8. Nilai indeks konsistensi random (RI)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56

Sumber : Saaty (1980)

Dalam proses yang terkait dengan derivasi dari prioritas alternatif, sehubungan dengan setiap tujuan pada tingkat 3 hierarki, bobot relatif dari


(49)

alternatif yang didasarkan pada tujuan masing-masing dihitung dengan cara yang sama. Peringkat akhir dari alternatif (menunjukkan ωj) itu dihitung dengan melakukan perkalian matriks bobot relatif dari alternatif per tujuan (dilambangkan dengan Mij) dan bobot relatif dari tujuan (dilambangkan dengan ωi). ini dihitung dengan menggunakan persamaan:

ωj= Mij * ωi

Keterangan :

ωj = bobot akhir dari alternatif j

Mij = matriks bobot relatif alternatif per obyektif

ωi = pembobotan obyektif

disamping itu, Mij mengambil bentuk:

Mij = ω11 …. ω1p

ωn1 ….ωnp

Keterangan :

ω11 = bobot relatif dari alternatif 1 (j ke p) obyektif 1 (i ke n)

Langkah terakhir adalah untuk agregat prioritas vektor dari setiap tingkat yang diperoleh pada langkah kedua, untuk menghasilkan bobot keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara perkalian urutan vektor bobot pada setiap tingkat hierarki. Bobot keseluruhan mewakili ranting alternatif sehubungan dengan tujuan keseluruhan. Ri skor keseluruhan alternatif ke-i adalah jumlah total dari peringkat tersebut pada setiap tingkat yang dihitung sebagai berikut:

Ri = ∑k ωkrik

Keterangan:

ωk = vektor prioritas berhubungan dengan elemen ke-k dari hierarki

rik = vektor prioritas berasal dari membandingkan alternatif pada setiap kriteria


(50)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu di Kecamatan Angkola Timur, Kecamatan Angkola Barat, Kecamatan Angkola Selatan, Kecamatan Marancar, Kecamatan Batang Angkola, dan Kecamatan Batangtoru (Lampiran 46). Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan September 2012.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : GPS, Thermometer tanah, Kamera, Cangkul, Skop, Kantong Plastik, dan Sofware Expert Choice. Bahan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lahan sistem agroforestry berbasis salak, sampel tanah, Kuisioner AHP, dan Peta Administrasi.

C. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan seperti disajikan pada Gambar 1.

D. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan tipe atau sistem agroforestry berbasis salak yang diusahakan masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan berikut masukan dan keluaran serta dampak sistem agroforestry berbasis salak terhadap sifat tanah dan penghasilan petani dilakukan dengan berbagai teknik pengumpulan data sebagaimana disajikan pada Tabel 9.


(51)

Gambar 1. Tahapan penelitian kajian sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

Inventarisasi Sistem Agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

(Komponen/Struktur Agroforestry)

Tipe/Subtipe Agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

Evaluasi Dampak Sistem Agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan

terhadap sifat tanah dan penghasilan petani

TIPE SISTEM AGROFORESTRY

Agrisilvikultural

Agrosilvopastural

Agroaquaforestry

Keluaran yang Diinginkan

(Tipe Agroforestry Berbasis Salak yang Paling Sesuai dan Berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan)


(52)

Tabel 9. Sasaran dan teknik pengumpulan data pada kajian sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan.

No. Sasaran Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan

Data 1.

2. 3. 4. 5.

Petani pelaksana sistem agroforestry Struktur/komponen sistem agroforestry Keluaran dan masukan pada sistem

agroforestry yang diterapkan petani sampel Sifat tanah (N, P, K, C-organik, pH tanah, dan suhu tanah)

AHP

Survei lapang Deskriptif Wawancara

Pengukuran lapang/ Analisis laboratorium Kuisioner/Wawancara

Data yang dibutuhkan untuk mengklasifikasikan sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan ke dalam beberapa tipe dan subtipe berdasarkan komponen penyusunnya adalah data primer. Data primer diperoleh dari survey lapang dan wawancara dengan petani pelaksana sistem agroforestry berbasis salak. Lahan dipilih secara purposive sebanyak 30 dengan kategori

terdapat pola pemanfaatan lahan sistem agroforestry berbasis salak, tanaman salak yang sudah berproduksi, dan luas lahan lebih dari 0.5 hektar. Struktur agroforestry berbasis salak diamati dengan cara deskriptif yang ditujukan untuk menginventarisasi komponen penyusun agroforestry berbasis salak yang terdiri dari tanaman pertanian, perkebunan, hutan, pakan, ternak serta kolam ikan. Pengamatan tersebut dilakukan terhadap jenis, populasi dan kerapatan serta tata letak komponen penyusunnya.

Pengamatan terhadap masukan dan keluaran dari sistem agroforestry berbasis salak dilakukan dengan wawancara langsung kepada petani/pemilik lahan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Data masukan yang diperlukan meliputi luas lahan yang digunakan, penggunaan bibit, pupuk, obat-obatan dan sumber serta jumlah tenaga kerja yang diperlukan.


(53)

Sedangkan data keluaran yang diperlukan meliputi jenis dan jumlah/volume produksi masing-masing komponen penyusun, jumlah produksi yang dikonsumsi atau digunakan sendiri oleh keluarga petani, jumlah produksi yang dijual dan total pendapatan per tahun.

Pengambilan sampel tanah untuk pengamatan sifat kimia tanah dilakukan pada tanah lapisan atas (0-20 cm). Pada masing-masing lokasi diambil sampel tanah yang dipilih secara acak pada lima titik yang mewakili, lalu dikompositkan. Sampel tanah kemudian dianalisis di laboratorium untuk memperoleh N, P, K, C- organik, dan pH. Sedangkan pengukuran suhu tanah dilakukan dengan menusukkan bagian konduktor panasnya perlahan-lahan ke dalam lapisan tanah 0 – 10 cm. Pengamatan dilakukan pada jam 14.00. Alat didiamkan dalam tubuh tanah sampai cairan penunjuk skalanya konstan.

Untuk memperoleh tipe agroforestry berbasis salak yang sesuai dan berkesinambungan di Kabupaten Tapanuli Selatan digunakan metode AHP. Data yang diperlukan dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner AHP kepada para responden ahli. Responden ahli dipilih secara purposive sampling, ditetapkan

berjumlah enam orang, terdiri dari : satu orang Akademisi USU, satu orang Akademisi UGN, satu orang dari Dinas Perkebunan, satu orang dari Dinas Kehutanan, satu orang dari Petani, dan satu orang dari Tokoh Masyarakat.

Prinsip pertama dari metode AHP adalah penyusunan hierarki. Struktur hierarki dari tipe agroforestry berbasis salak yang sesuai dan berkesinambungan di

Kabupaten Tapanuli Selatan disajikan pada Gambar 2. Metode AHP dan data yang diperoleh melalui kuisioner responden diproses dengan menggunakan program


(54)

komputer Expert Choice yang dirancang untuk proses pengambilan keputusan

dalam pemilihan alternatif strategi. Analisis data menggunakan metode AHP dengan batas tingkat inkonsistensi dalam penelitian adalah 10%. Selanjutnya hasil pembobotan per individu apabila konsisten, digabungkan dengan rumus rataan geometrik yang kemudian hasilnya disatukan dalam satu tabel.

RG = n√x1. x2 … xn

Keterangan :

RG = Rataan geometrik n = Jumlah responden

x1, x2 … xn = Penilaian responden ke-1, ke-2 sampai dengan ke-n

Hasil rataan geometrik tersebut kemudian dicari prioritasnya lewat mekanisme perhitungan nilai setiap elemen pada tabel rataan geometrik dibagi dengan jumlah total rataan geometrik di setiap kolomnya.

Sasaran

Kriteria

Alternatif

Gambar 2. Struktur hierarki tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan

Tipe agroforestry berbasis salak yang paling sesuai

dan berkesinambungan

Sosial Ekonomi Sifat

Tanah Keragaman

Hayati

Agroaquaforestry Agrosilvopastural


(55)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tipe Agroforestry Berbasis Salak Berdasarkan Struktur/Komponen

Penyusun

Berdasarkan hasil pengamatan lapang, sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan ditinjau dari struktur atau komponen penyusunnya dapat diketahui bahwa sedikitnya terdapat 70 jenis komoditi yang merupakan komponen penyusun dalam sistem agroforestry berbasis salak di wilayah tersebut. Komponen penyusun sistem agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan dapat dikelompokkan kedalam komoditi tanaman buah-buahan, komoditi tanaman pangan, komoditi tanaman perkebunan dan industri, komoditi tanaman hutan, komoditi tanaman sayuran, rerumputan pakan ternak dan ikan (kolam). Kelompok komoditi tersebut beserta jumlah dan persentase petani sampel pemelihara, luas lahan, populasi tanaman dan rataan populasi perhektarnya disajikan berturut-turut pada Lampiran 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

Sistem agroforestry berbasis salak yang diterapkan di lokasi penelitian ditinjau dari struktur atau komponen penyusunnya terdiri dari 3 (tiga) tipe yaitu, agrisilvikultural, agrosilvopastural, dan agroaquaforestry. Tipe agroforestry dapat dibedakan lagi kedalam beberapa subtipe berdasarkan kekhasan dan tata letak komponen penyusunnya. Seperti diketahui bahwa sistem agroforestry menurut Satjapradja (1981), Nair (1989a), Chundawat dan Gautam (1993) disamping sebagai asosiasi tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh tertutup dalam satu kesatuan kehutanan dan agronomis juga sebagai suatu bentuk kombinasi komoditi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang, baik ditanam secara serentak maupun berurutan di dalam dan atau di luar kawasan hutan. Keadaan tersebut secara keseluruhan terdapat di lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 10.


(56)

Tabel 10. Subtipe agroforestry berbasis salak di Kabupaten Tapanuli Selatan, berdasarkan komponen penyusunnya, Tahun 2012.

Tipe Agroforestry Berbasis Salak Subtipe Agroforestry Berbasis Salak Responden

Jumlah %

Agrisilvikultural Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan dan tanaman buah-buahan (ASCkpb)

Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan tanaman semusim (ASCkpbs)

10

10

33.33

33.34

Agrosilvopastural Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan ternak (ASPkpbt)

Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim, dan ternak (ASPkpbst)

3

3

10.00

10.00

Agroaquaforestry Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan kolam (AQFkpbi)

Kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, tanaman semusim, dan kolam (AQFkpbsi)

1

3

3.33

10.00

Jumlah 30 100.00

Subtipe agroforestry berbasis salak yang dominan ditemui di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah subtipe agrisilvikultural kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan (33.33%), dan kombinasi pohon kayu, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, dan tanaman semusim (33.34%) seperti terlihat pada Tabel 10. Hal ini terjadi karena pada umumnya agroforestry terbentuk dari pembukaan sebagian lahan hutan untuk budidaya tanaman salak (tanaman pertanian/perkebunan) dengan meninggalkan sebagian pepohonan. Ada juga petani yang mengintroduksikan pepohonan seperti Mahoni, Jati, dan Ingul ke sistem agroforestry berbasis salak.


(1)

III Tabel Perbandingan Berpasangan

1. Perbandingan kepentingan relatif yang berhubungan dengan tujuan: Tipe Sistem Agroforestry Berbasis Salak yang Paling Sesuai dan Berkesinambungan di Kabupaten di Kabupaten Tapanuli Selatan

Skala

Kriteria 1/9 1/7 1/5 1/3 1 3 5 7 9 Kriteria

1/8 1/6 1/4 1/2 2 4 6 8

Keragaman hayati A B Sifat tanah

Keragaman hayati A C Sosial Ekonomi

Sifat tanah B C Sosial Ekonomi

2. Perbandingan kepentingan relatif yang berhubungan dengan kriteria : Keragaman Hayati

Skala

Alternatif 1/9 1/7 1/5 1/3 1 3 5 7 9 Alternatif

1/8 1/6 1/4 1/2 2 4 6 8

Agrisilvikultural A B Agrosilvopastural

Agrisilvikultural A C Agroaquaforestry

Agrosilvopastural B C Agroaquaforestry

3. Perbandingan kepentingan relatif yang berhubungan dengan kriteria : Sifat Tanah

Skala

Alternatif 1/9 1/7 1/5 1/3 1 3 5 7 9 Alternatif

1/8 1/6 1/4 1/2 2 4 6 8

Agrisilvikultural A B Agrosilvopastural

Agrisilvikultural A C Agroaquaforestry

Agrosilvopastural B C Agroaquaforestry

4. Perbandingan kepentingan relatif yang berhubungan dengan kriteria : Sosial Ekonomi

Skala

Alternatif 1/9 1/7 1/5 1/3 1 3 5 7 9 Alternatif

1/8 1/6 1/4 1/2 2 4 6 8

Agrisilvikultural A B Agrosilvopastural

Agrisilvikultural A C Agroaquaforestry

Agrosilvopastural B C Agroaquaforestry

Terima kasih

……….. Nama & Tandatangan


(2)

Lampiran 40. Responden ahli penyebaran kuisioner AHP

a) Responden dari Akademisi UGN b) Responden dari Dinas Kehutanan

c) Responden dari Dinas Pertanian d) Responden dari Tokoh Masyarakat


(3)

Lampiran 41. Overall Inconsistency Alternatif

Synthesis With Respect to :

Goal: Tipe sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan Overall Inconsistency = .05

Agrisilvikultural .464 Agrosilvopasstural .337

Agroaquaforestry .198

Penilaian Responden ahli 1

(Asri Darmansyah Sitompul, SP)

Synthesis With Respect to :

Goal: Tipe sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan Overall Inconsistency = .03

Agrisilvikultural .318 Agrosilvopastural .573 Agroaquaforestry .109

Penilaian Responden ahli 2

(H. Mara Akhir Siregar, SP)

Synthesis With Respect to :

Goal: Tipe sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan Overall Inconsistency = .04

Agrisilvikultural .341 Agrosivopastural .412 Agroaquaforestry .247

Penilaian Responden ahli 3

(Humadan Pandapotan Sitompul, SP)

Synthesis With Respect to :

Goal: Tipe sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan Overall Inconsistency = .05

Agrisilvikultural .559 Agrosilvopatural .352

Agroaquaforestry .089

Penilaian Responden ahli 4

(Zainuddin Lubis)

Synthesis With Respect to :

Goal: Tipe sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan Overall Inconsistency = .05

Agrisilvikultural .263 Agrosilvopastural .380 Agroaquaforestry .357

Penilaian Responden ahli 5

(Rapotan)

Synthesis With Respect to :

Goal: Tipe sistem agroforestry berbasis salak yang paling sesuai dan berkesinambungan Overall Inconsistency = .05

Agrisilvikultural .355 Agrosilvopastural .385 Agroaquaforestry .260

Penilaian Responden ahli 6

(Jamilah, SP, MP)


(4)

Lampiran 42. Sifat Kimia dan Fisika Tanah pada Beberapa Subtipe Agroforestry Berbasis Salak di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

No Lokasi Subtipe C

(%) N (%) P (ppm) K m.e/100g

pH Suhu

tanah (oC) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 T4 T10 T12 T18 T20 T21 T26 T28 T29 T33

ASCkpb 3.32

2.36 2.51 1.82 2.34 2.32 2.36 1.04 3.42 1.85 0.22 0.30 0.25 0.20 0.25 0.30 0.23 0.21 0.42 0.17 4.10 6.93 4.98 5.34 5.16 4.63 5.16 5.16 7.94 4.45 0.34 1.55 1.49 0.19 0.75 1.15 0.73 0.45 0.93 0.47 6.5 6.9 7 6.7 7 6.5 6.5 6.9 6.9 6.6 24 21 20 24 25 24 25 25 22 24 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 T1 T3 T7 T9 T11 T14 T16 T17 T24 T34

ASCkpbs 4.08

1.78 8.50 2.81 1.70 1.89 2.15 1.41 2.52 2.15 0.37 0.50 0.40 0.35 0.19 0.24 0.22 0.15 0.30 0.24 6.04 9.80 9.58 3.75 4.28 4.10 5.34 4.45 4.63 4.63 1.43 0.72 0.69 0.36 1.21 1.62 0.73 1.70 0.39 1.50 6.2 6.3 6.9 7 7 7 6.9 6.6 6.2 7 22 22 24 24 21 25 25 24 24 23 21 22 23 T27 T31 T22

ASPkpbt 0.96

2.08 0.92 0.17 0.17 0.13 4.28 9.27 5.34 0.55 0.15 0.44 7 6.5 6.7 26 23 25 24 25 26 T6 T8 T23

ASPkpbst 2.74

7.65 2.41 0.31 0.76 0.21 4.45 9.93 9.18 2.18 2.65 0.21 7 7 6.9 21 22 25

27 T5 AQFkpbi 2.36 0.33 4.10 0.82 6.2 23

28 29 30 T13 T19 T30

AQFkpbsi 3.17

2.34 271 0.26 0.23 0.26 4.26 4.46 6.04 0.31 0.19 1.50 7 6.7 6.9 21 24 23


(5)

Lampiran 43. Tabel Rataan Tahunan Curah Hujan Kecamatan Batang Angkola.

Tahun Hari Hujan Curah Hujan (mm)

2001 85 1001

2002 150 2477

2003 146 1974

2004 95 1389

2005 125 2222

2006 114 1630

2007 114 1994

2008 135 2117

2009 138 1889

2010 106 1989

Total 1209 18682

Rataan 120,9 1868,2

Sumber : BPP Huta Holbung Kecamatan Batang Angkola 2012.

Lampiran 44. Tabel Rataan Tahunan Curah Hujan Kecamatan Batangtoru.

Tahun Hari Hujan Curah Hujan (mm)

2001 120 2388

2002 131 4815

2003 131 3205

2004 133 3112

2005 117 3205

2006 171 3231

2007 195 3677

2008 216 3443

2009 214 3688

2010 194 3541

Total 1622 34305

Rataan 162,2 3430,5

Sumber : PTPN III Batangtoru 2011.

Lampiran 45. Tabel Rataan Tahunan Curah Hujan Kecamatan Angkola Barat.

Tahun Hari Hujan Curah Hujan (mm)

2001 109 1604

2002 124 2110

2003 186 2802

2004 149 2422

2005 118 1705

2006 144 2036

2007 170 2362

2008 173 2594

2009 185 2467

2010 183 2768

Total 1541 2126

Rataan 154,1 212,6


(6)

Lampiran 46. Peta Administrasi Kabupaten Tapanuli Selatan