2.4 Ekosistem Mangrove
Aksornkoe 1993 mengemukakan bahwa, hutan mangrove adalah tumbuhan halofit tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi
yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah
tropis dan subtropis. Nybakken 1992 menambahkan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam
perairan asin. Hutan mangrove dapat dijumpai di daerah tropik dan sub tropik yang
hidupnya akan berkembang baik pada temperatur 19
o
C sampai 40
o
C, dengan toleransi fluktuasi suhu tidak lebih dari 10
o
Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia,
amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati, ekosistem bakau juga sebagai plasma
nutfah dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. C. Berbagai jenis tanaman bakau yang
tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas, karena bertahan hidup di dua zona transisi
antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai
yang secara kolektif disebut hutan mangrove, memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan
berkembang biak.
2.5 Peran Ekosistem Mangrove bagi Udang Kelong P. Indicus
Secara ekologis, mangrove memegang peranan kunci dalam pemutaran nutrien atau unsur hara pada perairan pantai di sekitarnya yang dibantu oleh pergerakan
pasang surut air laut. Interaksi vegetasi mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan proses biologi
Universitas Sumatera Utara
beberapa organisme akuatik, yang termasuk melibatkan sejumlah besar mikroorganisme dan makroorganisme. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dimana terdapat mangrove berarti disitu juga merupakan daerah perikanan yang subur, karena terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara hutan
mangrove dengan tingkat produksi perikanan Kordi, 2012. Arief 2003, menjelaskan bahwa banyak jenis hewan menggunakan
ekosistem mangrove untuk mencari makan dan menjadikannya sebagai tempat berlindung selama masih muda sebagian hidupnya, ada pula yang menghabiskan
seluruh siklusnya di ekosistem mangrove. Ada pergerakan materi organik dan anorganik ke dalam dan ke luar ekosistem mangrove secara terus-menerus.
Proses-proses eksternal yang menentukan tersedianya air, hara, stabilitas habitat, seringkali tidak tampak sebagai bagian dari ekosistem mangrove. Ekosistem
mangrove menjadi habitat bagi fauna krustase dan moluska. Menurut Kordi 2012, tercatat 80 spesies krustase dan 65 moluska yang hidup diperairan
mangrove, salah satunya adalah udang kelong P. indicus. Lingkungan ekosistem mangrove menjadi tempat yang cocok bagi biota
akuatik untuk memijah spawning ground, pengasuhan anaknya nursery ground dan tempat mencari makan feeding ground. Dalam kaitannya dengan makanan,
ekosistem mangrove menyediakan makanan bagi berbagai biota akuatik dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan daun serta berbagai kotoran
hewan darat yang kemudian diubah oleh mikroorganisme menjadi bioplankton yang sangat dibutuhkan biota laut Sasekumar et al., 1992.
2.6 Faktor Biofisik-Kimia Perairan 2.6.1 Suhu Air
Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi.
Untuk memanaskan sebanyak 1 kg air dari 15
o
C menjadi 16
o
C misalnya, dibutuhkan energi sebesar 1 kcal. Untuk hal yang sama, udara hanya
membutuhkan energi sebesar seperempatnya. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan.
Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
temperatur. Menurut hukum VAN’T HOFFS, kenaikan temperatur sebesar 10
O
Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran organisme baik di lautan maupun di perairan tawar dibatasi oleh suhu
perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan
kenaikan suhu, dan dapat menekan kehidupannya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrem drastis Kordi, 2004.
C hanya pada kisaran temperatur yang masih dapat ditolerir akan meningkatkan
laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatkan laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara di lain
pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air akan berkurang Barus, 2004.
2.6.2 Kecerahan
Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana
masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan paling keruh. Air yang tidak
terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan organisme perairan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad
renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau lebih. Karena bila kecerahan kurang dari 45 cm, batas pandangan
ikan akan berkurang Kordi, 2004. Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, lumpur, potongan tanaman yang mengendap dan populasi
organisme misalnya fitoplankton sehingga membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman Odum, 1994.
Faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan
sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut mengalami perubahan yang
signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasaan yang menyebabkan kolam
Universitas Sumatera Utara
air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini
lebih baik ditransmisi dari dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh
berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terlarut dalam air Barus, 2004.
2.6.3 Kelarutan Oksigen DO= Disolved Oxygen
Disolved Oxygen DO merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu
perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi
sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air
terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0
O
C, yaitu sebesar 14,16 mgl O
2
Hewan darat dan hewan air sama-sama memerlukan oksigen untuk proses kehidupannya. Namun, kandungan oksigen di udara dan di air sangat berbeda.
Kandungan oksigen di air hanya 5 atau kurang dibanding kandungan oksigen di udara. Rendahnya kandungan oksigen dalam air menyebabkan hewan air harus
memompa sejumlah besar air ke permukaan insang untuk mengambil oksigen. Bersamaan dengan itu, insang juga harus mengeluarkan ion-ion berlebih yang
masuk ke dalam tubuh. Semua ini memerlukan energi metabolik Fujaya, 2002. .
Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan
konsentrasi oksigen terlarut. Oksigen terlarut di dalam air bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses
fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi organisme akuatik Barus, 2004.
2.6.4 Salinitas
Salinitas adalah suatu besaran yang menunjukkan banyaknya kandungan garam biasanya NaCl dalam suatu larutan. Bergantung pada lingkungan, salinitas dapat
Universitas Sumatera Utara
berfluktuasi besar kecil atau konstan. Adanya garam dalam suatu larutan akan menyebabkan turunnya tekanan osmosis larutan tersebut, artinya larutan tersebut
akan menarik air dari sekitarnya. Makin tinggi salinitas makin kuat menarik airnya. organisme memerlukan air oleh karena itu air yang ada dalam tubuhnya
akan dipertahankan sestabil mungkin. Kemampuan mempertahankan konsentrasi air dalam tubuh disebut osmoregulasi. Oleh karena itu, organisme yang tahan
terhadap perubahan salinitas yang besar ada pula yang tidak. Organisme yang tahan hidup pada kisaran salinitas luas disebut euryhalin, sedangkan yang sempit
disebut stenohalin. Pengukuran salinitas merupakan hal rutin dilakukan dan bahkan faktor
yang sangat penting dalam sampling di laut dan di muara. Alat yang praktis adalah jenis refraktometer. Tetapi ada kalanya data yang diperoleh bukan salinitas
melainkan klorinitas atau presipitasi. Untuk mengetahui total dari hal ini menggunakan metode titrasi dengan perak nitrat. Sejak tahun 1962 rumus yang
digunakan adalah Salinitas
00
= permil = 1,80655 x khlorinitas
00
= permil. Klorinitas adalah banyaknya Clg yang dikandung oleh 1 kg air laut. Bila yang
digunakan volume bukan berat, maka disebut klorositas Hariyanto et al., 2008.
2.6.5 BOD
5
BOD
5
adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa organik pada kondisi aerobik selama 5 hari. Pengukuran BOD dilakukan
selama 5 hari karena selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai 70 . BOD merupakan analisis empiris yang mencoba mendekati
secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi di dalam air Alaerts Santika, 1987. Nilai BOD diperlukan untuk menentukan beban
pencemar akibat air buangan penduduk atau industri, dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar Alaerts Santika,
1987. Kadar BOD suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, kelimpahan plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik dalam perairan
tersebut Radisho, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.6.6 Fosfat PO
4
Fosfat terdapat dalam perairan alami ataupun limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik Alaerts dan Santika, 1987. Ortofosfat merupakan
senyawa bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat
terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfat Hariyadi, 2002. Fosfat berasal dari sedimen yang selanjutnya terinfiltrasi ke dalam air tanah dan
masuk ke badan perairan. Selain itu fosfat dapat berasal dari atmosfer dan bersama curah hujan masuk ke dalam sistem perairan Barus, 2004. Penambahan
fosfat dipengaruhi adanya masukan limbah industri, penduduk, pertanian dan aktivitas masyarakat lainnya. Kandungan fosfat pada perairan umumnya tidak
lebih dari 0,1mgl, kecuali pada daerah yang menerima limbah rumah tangga dan industri tertentu serta dari pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Bila kadar
fosfat dalam air sangat rendah 0,01mg1, pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang. Keadaan ini disebut oligotropik. Bila kadar fosfat dan nutrien
lainnya tinggi, pertumbuhan tanaman akan menjadi tidak terbatas sehingga tanaman tersebut dapat menghabiskan oksigen dalam perairan di malam hari
Alaerts Santika, 1987.
2.6.7 Nitrat NO
3
Nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan senyawa stabil dan merupakan salah satu unsur yang penting untuk sintesis protein tumbuh-tumbuhan
dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas sehingga menyebabkan kematian
organisme air. Secara alamiah kadar nitrat pada perairan rendah tetapi kadar nitrat pada air tanah dapat menjadi tinggi apabila diberi pupuk nitrat atau nitrogen
Alaerts Santika, 1987.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2012, di perairan ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Penentuan stasiun penelitian ditetapkan
secara purposive random sampling, berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan dekat pemukiman, perkebunan, pertambakan dan pariwisata Gambar 3.1.
Ditentukan 5 stasiun dengan kriteria sebagai berikut: a.
Stasiun 1 terletak pada titik ordinat 03°44’58.0” LU dan 98°38’50.6” BT yang berada di Paluh Titi Kecamatan Medan Belawan, kelurahan Belawan
Sicanang yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, b.
Stasiun 2 terletak pada titik ordinat 03°45’52.7” LU dan 98°38’53.4” BT yang berada di Kuala Paluh Leman Kecamatan Medan Belawan, kelurahan
belawan Sicanang yang merupakan kawasan alami yang minim aktivitas masyarakat,
c. Stasiun 3 terletak pada titik ordinat 03°46’09.5” LU dan 98°38’01.8” BT
yang berada di Paluh Perpat Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan wisata Siba Island,
d. Stasiun 4 terletak pada titik ordinat 03°45’54.2” LU dan 98°37’32.6” BT
yang berada di Paluh sersah Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan perkebunan kelapa sawit,
e. Stasiun 5 terletak pada titik ordinat 03°45’17.2” LU dan 98°37’47.2” BT
yang berada di Sei Baharu Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan pertambakan,
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
Universitas Sumatera Utara
3.2 Alat dan Bahan