Struktur Populasi dan Performa Reproduksi Udang Kelong(Penaeus indicus) di Perairan Ekosistem Mangrove Belawan Sumatera Utara.

(1)

STRUKTUR POPULASI DAN PERFORMA REPRODUKSI

UDANG KELONG (Penaeus indicus) DI PERAIRAN

EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA

TESIS

RIVO HASPER DIMENTA

Oleh

117030047/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

STRUKTUR POPULASI DAN PERFORMA REPRODUKSI

UDANG KELONG (Penaeus indicus) DI PERAIRAN

EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

RIVO HASPER DIMENTA

117030047/BIO

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister pada

Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

STRUKTUR POPULASI DAN PERFORMA REPRODUKSI

UDANG KELONG (Penaeus indicus) DI PERAIRAN

EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah

di jelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 24 Oktober 2013

RIVO HASPER DIMENTA NIM. 117030047


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rivo Hasper Dimenta NIM : 117030047

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyutujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Struktur Populasi dan Performa Reproduksi Udang Kelong (Penaeus indicus) di Perairan Ekosistem Mangrove Belawan Sumatera Utara.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih data, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 24 Oktober 2013


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 Oktober 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Hesti Wahyuningsih. M.Si

Anggota : 1. Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus. M.Sc 2. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas. M.Biomed

3. Dr. Erni Jumilawaty. M.Si


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Rivo Hasper Dimenta

Tempat dan Tanggal Lahir : Padang-Payakumbuh, 11 Juni 1988

Alamat Rumah : Jl. Tengku Bay/Utama Gg. Kayu Jati No: 158 Simpang Tiga, Pekanbaru-Riau

Telepon : 081362238917

e-mail

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN impres 064984 Medan Tamat : 2000 SMP : SMP Negeri 18 Medan Tamat : 2003 SMA : SMA Negeri 18 Medan Tamat : 2006 Strata-1 : Biologi FMIPA USU Tamat : 2011 Strata-2 : Magister Biologi PPs FMIPA USU Tamat : 2013


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNYA yang luar biasa, hingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Struktur Populasi Dan Performa Reproduksi Udang Kelong (Penaeus indicus) Di Perairan Ekosistem Mangrove Belawan Sumatera Utara

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Irianto dan Ibunda Zanibar yang menyayangi, mendidik, dan memberikan yang terbaik bagi penulis dari lahir hingga saat ini. Terima kasih kepada Ibunda Dr. Hesti Wahyuningsih. M.si, dan Bapak Prof.Dr. Ing Ternala Alexander Barus. M.Sc selaku dosen pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan saran, masukan, arahan, motivasi dan perhatian penuh yang luar biasa selama penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas. M.Biomed dan Ibunda Dr. Erni Jumilawaty. M.Si yang turut memberikan masukan dan kritikan yang sangat membangun bagi kesempurnaan tesis ini.

”.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Sutarman. M.Sc.

2. Ketua Program Magister Pascasarjana Biologi, Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas. M.Biomed dan Sekretaris Program Pascasarjana Biologi USU, Ibunda Dr. Suci Rahayu. M.Si yang ikut berandil besar memberikan saran dan nasehat terbaiknya selama penulis menyelesaikan studi di Biologi.

3. Bapak Dr. Miswar Budi Mulya M.Si, Bpk Sahdan dan para nelayan setempat serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kota Medan, Propinsi Sumatera Utara atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama mengadakan penelitian.

4. Bapak Drs.H.M. Zaidun. M.Si selaku kepala Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU, Bapak Dr.Ir. Harmein Nasution selaku Kepala Laboratorium Pusat Penelitian USU, dan Bapak Rudi selaku analis Laboratorium Riset dan Teknologi, yang telah memberikan izin dan bantuan dalam identifikasi plankton, serta analisis faktor kimia air dan tanah.

5. Seluruh staff dosen Biologi yang memberikan ilmu, wawasan dan pengajarannya kepada penulis selama menjalani studi. Staff administrasi Bapak Erwin dan Ibu Roslina Ginting yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi kuliah.

6. Adik tersayang Sindy Aisyah dan Yudi Iswanto, Teman seperjuangan Biologi 2011, Rekan penelitian, Sahabat tersayang Aini Q. Manurung, Mahya Ihsan, Zulfan Arico, Hariadi S, Helen A.S, Toberni, adik-adik stambuk Tonis, Hans, Julpiter, terima kasih atas tenaga, bantuan dan dukungan yang kalian berikan. 7. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan

ringan hati berperan serta dalam membantu penulisan dan penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan ini. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya bagi akademisi yang membutuhkan.

Medan, 24 Oktober 2013


(9)

STRUKTUR POPULASI DAN PERFORMA REPRODUKSI

UDANG KELONG (Penaeus indicus) DI PERAIRAN EKOSISTEM

MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang struktur populasi dan perfoma reproduksi udang kelong (Penaeus indicus) telah dilakukan selama bulan Mei - Juli 2012 di perairan ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur populasi, pola pertumbuhan udang kelong, performa reproduksi dan korelasi parameter biologi ekosistem mangrove terhadap udang kelong yang tertangkap. Metoda yang digunakan adalah purposive random sampling pada 5 titik stasiun pengamatan. Perhitungan kelimpahan udang dengan menggunakan persamaan, Pola pertumbuhan dengan regresi linear, dan analisis korelasi Pearson dengan SPSS versi 17.0. Dari hasil perhitungan kelimpahan udang P. indicus ditemukan 1032 individu jantan dan 1878 individu betina. Grafik hasil analisis menunjukkan pola pertumbuhan udang P. indicus termasuk pola alometrik negatif. Rasio jenis kelamin udang P. indicus tertinggi terdapat pada stasiun 5, sedangkan rasio performa reproduksi menurut tingkat kematangan gonad udang P. indicus tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan 2 dengan variasi TKG 1 - 3. Hasil korelasi Pearson menunjukkan parameter biologi (jenis mangrove dan plankton) memiliki nilai korelasi positif terhadap jumlah udang P. indicus yang tertangkap.

Kata kunci: ekosistem mangrove Belawan, pola pertumbuhan, struktur populasi, tingkat kematangan gonad, udang kelong


(10)

STRUCTURE POPULATION AND REPRODUCTIVE

PERFORMANCE OF INDIAN WHITE PRAWN (Penaeus indicus)

IN BELAWAN’S MANGROVE ECOSYSTEM WATER

NORTH OF SUMATERA

ABSTRACT

Research about structure population and reproductive performance of Indian white prawn (Penaeus indicus) was conducted in May - July 2012 on estuarine water of Belawan’s mangrove ecosystem, North of Sumatera. The aims of research was to determinate the structure population, growth patterns, reproductive performance and correlation among on biological parameters of mangrove ecosystem and Indian white prawn density. The study site was purposive random sampling method on 5 observe stations. Calculate of equations used to know abundance of Indian white prawn, linear regression analysis used to know growth pattern and Pearson’s correlation analysis with SPSS software version 17.0 to know the correlation from both of biological parameters. The Result calculation of shrimp’s abundance was found 1032 male and 1878 female. Graphic was described the growth pattern of P. indicus including allometric negative. The highest sex ratio of P. indicus on fifth station. And the highest reproductive performance P. indicus on first and second station with 1 - 3 ovarian maturation stages. Pearson’s correlation was indicated that biological parameters (mangroves and plankton abundance) had a significant positive correlation to amount of Indian white prawn caught.

Keyword: Belawan’s mangrove ecosystems, growth pattern, Indian white prawn, ovarian maturation stages, structure population


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian 3

1.4 Tujuan 5

1.5 Manfaat Penelitian 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus) 6 2.2 Habitat dan Daerah Sebaran 8 2.3 Daur Hidup Udang Kelong (P. indicus) 9 2.4 Ekosistem Mangrove 9 2.5 Peran Ekosistem Mangrove bagi Udang Kelong

(P. indicus)

10 2.6 Faktor Biofisik-Kimia Perairan 11

2.6.1 Suhu Air 11

2.6.2 Kecerahan 12 2.6.3 Kelarutan Oksigen (DO) 13 2.6.4 Salinitas 13

2.6.5 BOD5 14

2.6.6 Fosfat (PO4) 14

2.6.7 Nitrat (NO3) 15 BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 16

3.2 Alat dan Bahan 18

3.3 Pengumpulan Sampel Udang Kelong 18 3.4 Pengukuran Vegetasi Mangrove 19 3.5 Pengambilan Sampel Plankton 20 3.6 Pengukuran Parameter Biofisik-Kimia Air dan Substrat 21 3.7 Pengukuran Aspek Biologi Udang Kelong 21 3.7.1 Pengukuran Panjang Karapas, Panjang Total dan

Berat Tubuh Udang

21 3.7.2 Rasio Kelamin Udang 22 3.7.3 Performa Reproduksi Udang 22

3.8 Analisa Data 23

3.8.1 Struktur Populasi Udang Kelong 23 3.8.1.1 Kelimpahan Udang 23 3.8.1.2 Pola Pertumbuhan 23 3.8.2 Performa Reproduksi Udang Kelong 24 3.8.2.1 Rasio Jenis Kelamin 24


(12)

3.8.2.2 Rasio Tingkat Kematangan Gonad 24 3.9 Kelimpahan Plankton 25 3.10 Analisis Korelasi 25 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelimpahan Udang Kelong (P. indicus) 26 4.1.1 Kelimpahan Individu (K) Udang Kelong yang

Tertangkap

26 4.1.2 Kelimpahan Individu (K) Udang Kelong Menurut

Kelas Ukuran

27 4.2 Plankton Sebagai Pakan Alami 28 4.3 Parameter Fisik-Kimia Pada Stasiun Penelitian 31 4.3.1 Suhu Air 31 4.3.2 Kecerahan 32 4.3.3 Tipe Tekstur Substrat 33 4.3.4 Salinitas Air 34 4.3.5 Kelarutan Oksigen Dan Kejenuhan Oksigen (%) 34

4.3.6 BOD5 36

4.3.7 Kandungan Nitrat (NO3) & Posfat (PO4) Air 36

4.3.8 Total Suspended Solid (TSS) Perairan 37 4.4 Pola Pertumbuhan Udang Kelong 38 4.5 Performa Reproduksi Udang Kelong 40 4.5.1 Rasio Jenis Kelamin 40 4.5.2 Rasio Tingkat Kematangan Gonad Udang Kelong 40 4.6 Analisis Korelasi Kelimpahan Udang Kelong Dengan

Karakteristik Biologi Perairan Ekosistem Mangrove

41

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 44


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 3.1 Parameter yang diukur, satuan, alat/bahan/metode yang digunakan, dan tempat pengukuran

18

Tabel 3.2 Tingkat Hubungan Nilai Indeks Korelasi 25 Tabel 4.1 Kelimpahan (ind/L) Plankton pada Tiap Stasiun 30 Tabel 4.2 Nilai Rata-Rata Parameter Fisik-Kimia Pada Stasiun

Penelitian

32

Tabel 4.3 Hubungan Panjang Karapas dan Bobot Tubuh Serta Sifat Pertumbuhan Udang Kelong pada Tiap Stasiun

39

Tabel 4.4 Rasio Jenis Kelamin Udang Kelong pada Tiap Stasiun 40 Tabel 4.5 Tingkat Kematangan Gonad Udang Kelong pada Tiap

Stasiun

41


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian 4 Gambar 2.1. Morfologi Udang Penaeid 7 Gambar 2.2 Skema Perkembangbiakan Udang Penaeid (Murtidjo, 2007) 9 Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian 17 Gambar 3.2. Jaring Ambai 19 Gambar 3.3. Metode Transek Garis dalam Pengukuran Vegetasi

Mangrove

20

Gambar 3.4. Letak Alat Reproduksi Udang Betina dan Jantan (Murtidjo, 2003)

22

Gambar 3.5. Tingkat Kematangan Gonad (Naamin & Purnomo, 1972 dalam Naamin, 1984)

23

Gambar 4.1 Grafik Kelimpahan Individu Udang Kelong (P. indicus) 26 Gambar 4.2 Grafik Kelimpahan Udang Kelong (P. indicus) Menurut

Kelas Ukuran Panjang Karapas

27

Gambar 4.3 Grafik Hubungan Panjang-Bobot Tubuh Udang Kelong (P. indicus) Seluruh Stasiun Pengamatan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran A. Hasil Analisis Fraksi Substrat pada Tiap Stasiun 51 Lampiran B. Hasil Analisis TSS, NO3-, PO43- Air pada Tiap Stasiun 52

Lampiran C. Jumlah Vegetasi Mangrove pada Tiap Stasiun 54 Lampiran D. Jumlah Plankton Pada Tiap Stasiun 55 Lampiran E. Hasil Korelasi Pearson Parameter Biologi Lingkungan

Terhadap Jumlah Udang Kelong (SPSS Ver 17.00) 57 Lampiran F. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur Kelarutan

Oksigen (DO) 58

Lampiran G. Bagan Kerja Pengukuran Kandungan Nitrat (NO3-) 59

Lampiran H. Bagan Kerja Pengukuran Kandungan Fosfat (PO4-) 60

Lampiran I. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai

Besaran Temperatur Air 61 Lampiran J. Segitiga Tekstur Tanah 63 Lampiran N. Foto Kerja Penelitian 64


(16)

STRUKTUR POPULASI DAN PERFORMA REPRODUKSI

UDANG KELONG (Penaeus indicus) DI PERAIRAN EKOSISTEM

MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang struktur populasi dan perfoma reproduksi udang kelong (Penaeus indicus) telah dilakukan selama bulan Mei - Juli 2012 di perairan ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur populasi, pola pertumbuhan udang kelong, performa reproduksi dan korelasi parameter biologi ekosistem mangrove terhadap udang kelong yang tertangkap. Metoda yang digunakan adalah purposive random sampling pada 5 titik stasiun pengamatan. Perhitungan kelimpahan udang dengan menggunakan persamaan, Pola pertumbuhan dengan regresi linear, dan analisis korelasi Pearson dengan SPSS versi 17.0. Dari hasil perhitungan kelimpahan udang P. indicus ditemukan 1032 individu jantan dan 1878 individu betina. Grafik hasil analisis menunjukkan pola pertumbuhan udang P. indicus termasuk pola alometrik negatif. Rasio jenis kelamin udang P. indicus tertinggi terdapat pada stasiun 5, sedangkan rasio performa reproduksi menurut tingkat kematangan gonad udang P. indicus tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan 2 dengan variasi TKG 1 - 3. Hasil korelasi Pearson menunjukkan parameter biologi (jenis mangrove dan plankton) memiliki nilai korelasi positif terhadap jumlah udang P. indicus yang tertangkap.

Kata kunci: ekosistem mangrove Belawan, pola pertumbuhan, struktur populasi, tingkat kematangan gonad, udang kelong


(17)

STRUCTURE POPULATION AND REPRODUCTIVE

PERFORMANCE OF INDIAN WHITE PRAWN (Penaeus indicus)

IN BELAWAN’S MANGROVE ECOSYSTEM WATER

NORTH OF SUMATERA

ABSTRACT

Research about structure population and reproductive performance of Indian white prawn (Penaeus indicus) was conducted in May - July 2012 on estuarine water of Belawan’s mangrove ecosystem, North of Sumatera. The aims of research was to determinate the structure population, growth patterns, reproductive performance and correlation among on biological parameters of mangrove ecosystem and Indian white prawn density. The study site was purposive random sampling method on 5 observe stations. Calculate of equations used to know abundance of Indian white prawn, linear regression analysis used to know growth pattern and Pearson’s correlation analysis with SPSS software version 17.0 to know the correlation from both of biological parameters. The Result calculation of shrimp’s abundance was found 1032 male and 1878 female. Graphic was described the growth pattern of P. indicus including allometric negative. The highest sex ratio of P. indicus on fifth station. And the highest reproductive performance P. indicus on first and second station with 1 - 3 ovarian maturation stages. Pearson’s correlation was indicated that biological parameters (mangroves and plankton abundance) had a significant positive correlation to amount of Indian white prawn caught.

Keyword: Belawan’s mangrove ecosystems, growth pattern, Indian white prawn, ovarian maturation stages, structure population


(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang berada di antara pesisir dan lautan yang ditumbuhi oleh vegetasi yang khas, dan terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Berdasarkan fungsinya ekosistem mangrove berperan sebagai daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makanan (feeding grounds), tempat pemijahan (spawning grounds) serta pemasok larva berbagai jenis udang, ikan, dan biota laut lainnya. Selain itu, ekosistem mangrove juga memiliki peran penting lain berupa peredam gelombang, perangkap sedimen, dan intrusi air laut (Nybakken, 1992).

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama berada di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove Indonesia terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar per tahun akibat kegiatan konversi lahan menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002).

Ekosistem mangrove Belawan merupakan salah satu kawasan yang terletak di pesisir Timur Sumatera Utara dengan luas total potensi mangrove saat ini sebesar 158.637,2 Ha. Secara administratif, ekosistem ini berada diantara 2 kecamatan yaitu kecamatan Medan Belawan (Kota Madya Medan) dengan luas potensi mangrove sebesar 1.967,32 Ha dan kecamatan Hamparan Perak (Kabupaten Deli Serdang) dengan luas potensi mangrove 1000 Ha (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2011). Kondisi ini berpotensial mendukung kelangsungan hidup udang kelong (Penaeus indicus). Tingginya produktivitas


(19)

dan ketersediaan pakan alami pada ekosistem mangrove akan mendukung tumbuh dan kembang udang hingga menjadi dewasa dan siap untuk bereproduksi. Selain ketersediaan pakan alami yang tercukupi, karakteristik biofisik-kimia lingkungan dari ekosistem mangrove Belawan juga sangat mempengaruhi struktur populasi udang kelong di alam.

Pada saat ini, beberapa bagian kawasan ekosistem mangrove Belawan telah mengalami degradasi akibat adanya kegiatan konversi lahan oleh manusia untuk pemanfaatan seperti pemukiman, perkebunan, pertambakan dan wisata. Degradasi yang terjadi di Medan Belawan dan Hamparan Perak masing-masing sebesar 76,42% dan 76,47% dari luas mangrove, Kerusakan habitat dan penurunan luasan lahan hutan mangrove ini, akan berdampak negatif pada kualitas/daya dukung lingkungan bagi kelangsungan hidup biota perairan yang berada disekitar ekosistem mangrove termasuk udang kelong, sebab area tempat mencari makan dan daerah asuhannya semakin berkurang dan terbatas.

Udang kelong merupakan salah satu jenis komoditas air payau termasuk dalam famili Penaeidae (Idris, 2007). Biota ini umumnya hidup bergerombol dalam jumlah besar, di perairan dengan dasar lumpur berpasir (Kordi, 2010). Keberadaan udang kelong tersebar di sekitar perairan tropis seperti pada Madagaskar, India, Bangladesh, Thailand, Filipina, serta Indonesia dan menjadi spesies penting dengan permintaan pasar yang tinggi. Harga udang kelong di Sumatera Utara berkisar Rp. 70.000 - Rp. 75.000 per kilogram, bahkan tingginya harga pasar dan semakin meningkatnya permintaan masyarakat, menjadikan udang kelong sebagai salah satu komoditas unggulan di sektor perikanan. Selain dagingnya yang lezat, udang ini juga memiliki kandungan protein yang tinggi, Ravichandran et al., (2009) menjelaskan kandungan protein udang sekitar 41,3%, karbohidrat 2,4%, lemak 7,6% dan serat sebesar 8,2%.

Keberadaan udang kelong dipengaruhi oleh ekosistem mangrove terutama mulai tahap pascalarva hingga dewasa. Penurunan luasan yang terus terjadi pada ekosistem mangrove Belawan dan intensifikasi penangkapan secara berkala (over fishing) dikhawatirkan akan berdampak langsung terhadap kuantitas dan kualitas udang kelong di alam. Sampai saat ini, data mengenai populasi udang ini di


(20)

ekosistem mangrove Belawan belum ada diperoleh, termasuk data struktur populasi dan performa reproduksinya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian.

1.2. Perumusan Masalah

Udang kelong dikenal sebagai fauna bentik yang hidupnya sangat bergantung pada kondisi perairan ekosistem mangrove, dikarenakan ekosistem ini selain memiliki peranan sebagai penyedia pakan alami dari berbagai biota perairan termasuk udang kelong. Kondisi ekosistem perairan mangrove Belawan sebagai salah satu habitat udang kelong, sampai saat ini terus mengalami kerusakan. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan gangguan dan berdampak pada penurunan produksi dan performa reproduksi udang kelong di alam, akibat dari peralihan lahan mangrove menjadi peruntukan lain oleh masyarakat.

1.3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Udang kelong hidupnya sangat bergantung pada kualitas dan ketersediaan produktivitas ekosistem mangrove. Kondisi ekosistem mangrove secara langsung dapat mempengaruhi struktur populasi (kelimpahan individu, pola pertumbuhan) dan performa reproduksi (rasio kelamin, tingkat kematangan gonad) udang kelong di alam. Kondisi ekosistem mangrove Belawan saat ini telah mengalami degradasi akibat konversi lahan menjadi peruntukan lain seperti pemukiman, pertambakan, pertanian dan wisata. Degradasi ekosistem mangrove ini akan berakibat pada penurunan populasi udang kelong di alam. Untuk itu perlu dilakukan upaya pelestarian terhadap biota ini beserta habitatnya. Upaya pelestarian udang kelong dapat dilakukan dengan mengetahui struktur populasi dan performa reproduksinya, sedangkan untuk pelestarian habitat dapat dilakukan dengan mengetahui karakteristik biofisik-kimia lingkungan. Kerangka pemikiran tergambar pada skema yang disajikan berikut ini:


(21)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Degradasi Ekosistem

Mangrove

Penurunan Populasi Udang Kelong

Karakter Biofisik Kimia Ekosistem

Kelimpahan TKG

Struktur Populasi

Performa Reproduksi

Pelestarian Ekosistem Mangrove & Populasi

Udang Kelong

Pola pertumbuhan Rasio Kelamin Biologi

Kecepatan Arus Fisik-Kimia

Suhu Air pH Air

Kecerahan

Salinitas Air DO & BOD5 Kedalaman Air

Fraksi Substrat

NO3 & PO4

Vegetasi mangrove

Plankton


(22)

1.4 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

a) Mengetahui kelimpahan udang kelong di perairan estuari Belawan Sumatera Utara.

b) Mengetahui pola pertumbuhan udang kelong dengan melihat hubungan panjang karapas dan bobot tubuh.

c) Mengetahui korelasi parameter biologi lingkungan terhadap jumlah udang kelong pada setiap stasiun.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar dalam melakukan konservasi habitat udang kelong (P. indicus) khususnya pada titik-titik area

penelitian. Serta diharapkan dapat menjadi informasi awal dalam upaya untuk memulihkan populasi udang ini di alam serta meningkatkan kualitas pengelolaan dalam menjaga kelestarian lingkungan pesisir khususnya perairan di ekosistem mangrove Belawan.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Udang Kelong (Penaeus indicus) Udang kelong memiliki klasifikasi sebagai berikut,

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Class : Crustaceae Subkelas : Malacostraca Order : Decapoda Famili : Penaeidae Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus indicus (H. Milne Edwards, 1837)

Morfologi dari genus penaeus yang termasuk decapoda, tubuhnya terdiri atas dua bagian yaitu bagian kepala (cephalothorax) dan bagian perut (abdomen). Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri atas ruas-ruas (segmen). Cephalothorax terdiri atas 13 ruas yaitu kepala yang terdiri 5 ruas dan dada 8 ruas, dan pada bagian perut terdiri atas 6 ruas. Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula. Seluruh tubuhnya tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang terbuat atas chitin. Kerangka mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan, sehingga memudahkan udang untuk bergerak (Suyanto & Mujiman, 2001).

Udang kelong mempunyai cucuk kepala (rostrum) tampak mencolok, baik pada udang muda maupun udang dewasa. Ketika mencapai usia dewasa, rostrum semakin memendek atau tidak mengalami pertambahan panjang seperti pada masa juvenil. Sungut berwarna belang-belang kuning cokelat. Dalam kondisi hidup berwarna kekuning-kuningan, setengah tembus cahaya dengan bintik-bintik biru pada abdomen. Bagian atas kelopak kepala (karapaks) dan badannya


(24)

berwarna sawo matang. Tangkai mata dan pangkal sungut kebiru-biruan. Sirip ekor atau ekor kipas berwarna biru dengan ujungnya berwarna merah cerah. Lebih tahan dan kuat terhadap perubahan kondisi perairan, tidak mudah stress, toleran terhadap perubahan suhu yang luas dan tingkat kelangsungan hidupnya tinggi (Kordi, 2010) (gambar 2.1).

abdomen

Gambar 2.1 Morfologi Udang Penaeid

Keterangan :

a. Alat pembantu rahang f. Sungut besar

b. Kerucut kepala g. Kaki jalan

c. Mata h. Kaki renang

d. Cangkang kepala (cephalothorax) i. Anus

e. Sungut kecil j. Ekor (telson)

Udang kelong/P. indicus/Indian white prawn dan udang putih (P. merguiensis)/banana prawn memiliki kemiripan morfologi. Hal yang paling

membedakan dari keduanya adalah warna tubuh udang kelong memiliki warna tubuh yang lebih orange kemerahan serta ukuran udang kelong yang lebih kecil dari udang putih. Menurut Holthuis (1980) pada buku katalog spesies udang menjelaskan, udang kelong jantan berukuran maksimal 184 mm dan betina maksimal 228 mm dengan panjang karapas maksimal 56 mm, sedangkan udang putih memiliki ukuran tubuh maksimum 240 mm. Perbedaan ukuran tubuh yang e c a b d

j i

h


(25)

tidak begitu jauh berbeda menyebabkan masyarakat awam di Indonesia mengkategorikan udang kelong dan udang putih merupakan jenis yang sama.

Selain perbedaan ukuran tubuh, Kordi (2010) menambahkan morfologi pada udang putih terdapat bintik-bintik cokelat dan hijau pada ujung ekor. Sungut berwarna kemerahan, pada bagian sungut pendek (antennula) terdapat belang-belang merah sawo. Kaki jalan dan kaki renangnya berwarna kekuningan atau kemerahan. Sirip ekor atau ekor kipas (uropoda) berwarna merah sawo matang dengan ujung kuning kemerahan kadang sedikit kebiru-biruan. Kulit tipis, tembus cahaya.

Induk udang kelong yang didapatkan dari perairan sebelah barat NAD yang mempunyai kisaran berat 75 - 200 gr/ekor dengan panjang tubuh 17 - 30 cm untuk induk betina, sedangkan pada udang jantan kisaran beratnya 40 - 100 gr/ekor dengan panjang tubuh 15 - 20 cm. Induk udang kelong tidak mempunyai guratan garis tubuh seperti pada udang windu, udang kelong hanya berwarna

bening kemerahan, hampir tidak berbeda jauh dengan induk udang windu (Idris, 2007).

2.2 Habitat dan Daerah Sebaran

Udang kelong (P. indicus) ditemukan di perairan Indo-barat Pasifik dari timur dan tenggara Afrika, termasuk Malaysia dan Indonesia hingga China selatan dan Australia bagian utara. Udang kelong termasuk udang laut yang juvenilnya banyak tersebar di muara-muara laut yang memiliki lumpur atau pasir berlumpur pada kedalaman 2 - 90 m (6 - 300 kaki). Udang ini merupakan salah satu spesies yang sangat komersial. Kebanyakan udang ini menjadi hasil utama tangkapan nelayan di wilayah pesisir pantai Afrika timur, dan India khususnya diperikanan tangkap dekat pantai yang dimanfaatkan bagi pemeliharaan/kultur padi sawah seperti yang dilakukan di Kerala (Dore & Frimodt, 1987).

Holthuis (1980) menjelaskan bahwa penyebaran udang kelong (P. indicus) dapat ditemukan pada perairan tropis seperti Madagaskar, India,

Bangladesh, Thailand, Indonesia, serta Filipina dan menjadi spesies yang penting sehingga banyak dilakukan penangkapan lepas pantai dan usaha tambak untuk memenuhi permintaan pasar. Habitat udang kelong (P. indicus) berada pada


(26)

kedalaman 2 - 90 meter. Ketika dewasa banyak ditemukan di laut dan untuk tahap juvenil (anakan) sering ditemukan di muara-muara laut. Menurut Kordi (2010) Udang kelong (P. indicus) hidup bergerombol dalam jumlah besar, terdapat pada perairan dengan dasar berlumpur atau lumpur berpasir di daerah-daerah yang banyak muara sungai besarnya.

2.3 Daur Hidup Udang Kelong (P. indicus)

Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh udang kelong (P. indicus) sangat erat kaitannya dengan upaya untuk mencari kondisi terbaik bagi kelangsungan hidupnya. Pada dasarnya pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh udang kelong (P. indicus) biasanya disesuaikan dengan orientasi untuk mencari makan, berpijah atau untuk berlindung dari predator. Dengan demikian, udang kelong memanfaatkan habitat mangrove sesuai dengan tahap perkembangannya. Keterkaitan antara perkembangan ontogenetik udang kelong (P. indicus) dengan pemanfaatan ekositem mangrove sebagai habitatnya sangat erat (Idris, 2007).

Udang kelong (P. indicus) merupakan jenis udang penaeid yang memerlukan waktu 90 hari untuk bertranformasi hingga menjadi udang dewasa (Gambar 2.2):


(27)

2.4 Ekosistem Mangrove

Aksornkoe (1993) mengemukakan bahwa, hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi) yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Nybakken (1992) menambahkan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Hutan mangrove dapat dijumpai di daerah tropik dan sub tropik yang hidupnya akan berkembang baik pada temperatur 19 oC sampai 40 oC, dengan toleransi fluktuasi suhu tidak lebih dari 10 o

Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati, ekosistem bakau juga sebagai plasma nutfah dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya.

C. Berbagai jenis tanaman bakau yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas, karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove, memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak.

2.5 Peran Ekosistem Mangrove bagi Udang Kelong (P. Indicus)

Secara ekologis, mangrove memegang peranan kunci dalam pemutaran nutrien atau unsur hara pada perairan pantai di sekitarnya yang dibantu oleh pergerakan pasang surut air laut. Interaksi vegetasi mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk kelangsungan proses biologi


(28)

beberapa organisme akuatik, yang termasuk melibatkan sejumlah besar mikroorganisme dan makroorganisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dimana terdapat mangrove berarti disitu juga merupakan daerah perikanan yang subur, karena terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara hutan mangrove dengan tingkat produksi perikanan (Kordi, 2012).

Arief (2003), menjelaskan bahwa banyak jenis hewan menggunakan ekosistem mangrove untuk mencari makan dan menjadikannya sebagai tempat berlindung selama masih muda (sebagian hidupnya), ada pula yang menghabiskan seluruh siklusnya di ekosistem mangrove. Ada pergerakan materi organik dan anorganik ke dalam dan ke luar ekosistem mangrove secara terus-menerus. Proses-proses eksternal yang menentukan tersedianya air, hara, stabilitas habitat, seringkali tidak tampak sebagai bagian dari ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove menjadi habitat bagi fauna krustase dan moluska. Menurut Kordi (2012), tercatat 80 spesies krustase dan 65 moluska yang hidup diperairan mangrove, salah satunya adalah udang kelong (P. indicus).

Lingkungan ekosistem mangrove menjadi tempat yang cocok bagi biota akuatik untuk memijah (spawning ground), pengasuhan anaknya (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground). Dalam kaitannya dengan makanan, ekosistem mangrove menyediakan makanan bagi berbagai biota akuatik dalam bentuk material organik yang terbentuk dari jatuhan daun serta berbagai kotoran hewan darat yang kemudian diubah oleh mikroorganisme menjadi bioplankton yang sangat dibutuhkan biota laut (Sasekumar et al., 1992).

2.6 Faktor Biofisik-Kimia Perairan 2.6.1 Suhu Air

Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Untuk memanaskan sebanyak 1 kg air dari 15 oC menjadi 16 oC misalnya, dibutuhkan energi sebesar 1 kcal. Untuk hal yang sama, udara hanya membutuhkan energi sebesar seperempatnya. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh


(29)

temperatur. Menurut hukum VAN’T HOFFS, kenaikan temperatur sebesar 10 O

Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran organisme baik di lautan maupun di perairan tawar dibatasi oleh suhu perairan tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dan dapat menekan kehidupannya bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrem (drastis) (Kordi, 2004).

C (hanya pada kisaran temperatur yang masih dapat ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatkan laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat, sementara di lain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan oksigen dalam air akan berkurang (Barus, 2004).

2.6.2 Kecerahan

Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan organisme perairan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau lebih. Karena bila kecerahan kurang dari 45 cm, batas pandangan ikan akan berkurang (Kordi, 2004). Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, lumpur, potongan tanaman yang mengendap dan populasi organisme misalnya fitoplankton sehingga membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman (Odum, 1994).

Faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasaan yang menyebabkan kolam


(30)

air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini lebih baik ditransmisi dari dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, juga dipengaruhi oleh berbagai substrat dan benda lain yang terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terlarut dalam air (Barus, 2004).

2.6.3 Kelarutan Oksigen (DO=Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0 OC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2

Hewan darat dan hewan air sama-sama memerlukan oksigen untuk proses kehidupannya. Namun, kandungan oksigen di udara dan di air sangat berbeda. Kandungan oksigen di air hanya 5% atau kurang dibanding kandungan oksigen di udara. Rendahnya kandungan oksigen dalam air menyebabkan hewan air harus memompa sejumlah besar air ke permukaan insang untuk mengambil oksigen. Bersamaan dengan itu, insang juga harus mengeluarkan ion-ion berlebih yang masuk ke dalam tubuh. Semua ini memerlukan energi metabolik (Fujaya, 2002).

. Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Oksigen terlarut di dalam air bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi organisme akuatik (Barus, 2004).

2.6.4 Salinitas

Salinitas adalah suatu besaran yang menunjukkan banyaknya kandungan garam (biasanya NaCl) dalam suatu larutan. Bergantung pada lingkungan, salinitas dapat


(31)

berfluktuasi besar kecil atau konstan. Adanya garam dalam suatu larutan akan menyebabkan turunnya tekanan osmosis larutan tersebut, artinya larutan tersebut akan menarik air dari sekitarnya. Makin tinggi salinitas makin kuat menarik airnya. organisme memerlukan air oleh karena itu air yang ada dalam tubuhnya akan dipertahankan sestabil mungkin. Kemampuan mempertahankan konsentrasi air dalam tubuh disebut osmoregulasi. Oleh karena itu, organisme yang tahan terhadap perubahan salinitas yang besar ada pula yang tidak. Organisme yang tahan hidup pada kisaran salinitas luas disebut euryhalin, sedangkan yang sempit disebut stenohalin.

Pengukuran salinitas merupakan hal rutin dilakukan dan bahkan faktor yang sangat penting dalam sampling di laut dan di muara. Alat yang praktis adalah jenis refraktometer. Tetapi ada kalanya data yang diperoleh bukan salinitas melainkan klorinitas atau presipitasi. Untuk mengetahui total dari hal ini menggunakan metode titrasi dengan perak nitrat. Sejak tahun 1962 rumus yang digunakan adalah Salinitas (0/00 = permil) = 1,80655 x khlorinitas (0/00 = permil).

Klorinitas adalah banyaknya Cl(g) yang dikandung oleh 1 kg air laut. Bila yang digunakan volume bukan berat, maka disebut klorositas (Hariyanto et al., 2008).

2.6.5 BOD5

BOD5 adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian

senyawa organik pada kondisi aerobik selama 5 hari. Pengukuran BOD dilakukan selama 5 hari karena selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai 70 %. BOD merupakan analisis empiris yang mencoba mendekati

secara global proses-proses mikrobiologis yang terjadi di dalam air (Alaerts & Santika, 1987). Nilai BOD diperlukan untuk menentukan beban

pencemar akibat air buangan penduduk atau industri, dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi air yang tercemar (Alaerts & Santika, 1987). Kadar BOD suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, kelimpahan plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik dalam perairan tersebut (Radisho, 2009).


(32)

2.6.6 Fosfat (PO4)

Fosfat terdapat dalam perairan alami ataupun limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik (Alaerts dan Santika, 1987). Ortofosfat merupakan senyawa bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfat (Hariyadi, 2002). Fosfat berasal dari sedimen yang selanjutnya terinfiltrasi ke dalam air tanah dan masuk ke badan perairan. Selain itu fosfat dapat berasal dari atmosfer dan bersama curah hujan masuk ke dalam sistem perairan (Barus, 2004). Penambahan fosfat dipengaruhi adanya masukan limbah industri, penduduk, pertanian dan aktivitas masyarakat lainnya. Kandungan fosfat pada perairan umumnya tidak lebih dari 0,1mg/l, kecuali pada daerah yang menerima limbah rumah tangga dan industri tertentu serta dari pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Bila kadar fosfat dalam air sangat rendah (< 0,01mg/1), pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang. Keadaan ini disebut oligotropik. Bila kadar fosfat dan nutrien lainnya tinggi, pertumbuhan tanaman akan menjadi tidak terbatas sehingga tanaman tersebut dapat menghabiskan oksigen dalam perairan di malam hari (Alaerts & Santika, 1987).

2.6.7 Nitrat (NO3)

Nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan senyawa stabil dan merupakan salah satu unsur yang penting untuk sintesis protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, akan tetapi nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang yang tidak terbatas sehingga menyebabkan kematian organisme air. Secara alamiah kadar nitrat pada perairan rendah tetapi kadar nitrat

pada air tanah dapat menjadi tinggi apabila diberi pupuk nitrat atau nitrogen (Alaerts & Santika, 1987).


(33)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2012, di perairan ekosistem mangrove Belawan Sumatera Utara. Penentuan stasiun penelitian ditetapkan secara purposive random sampling, berdasarkan zona alami dan zona pemanfaatan (dekat pemukiman, perkebunan, pertambakan dan pariwisata) (Gambar 3.1).

Ditentukan 5 stasiun dengan kriteria sebagai berikut:

a. Stasiun 1 terletak pada titik ordinat 03°44’58.0” LU dan 98°38’50.6” BT yang berada di Paluh Titi Kecamatan Medan Belawan, kelurahan Belawan Sicanang yang berdekatan dengan pemukiman penduduk,

b. Stasiun 2 terletak pada titik ordinat 03°45’52.7” LU dan 98°38’53.4” BT yang berada di Kuala Paluh Leman Kecamatan Medan Belawan, kelurahan belawan Sicanang yang merupakan kawasan alami yang minim aktivitas masyarakat,

c. Stasiun 3 terletak pada titik ordinat 03°46’09.5” LU dan 98°38’01.8” BT yang berada di Paluh Perpat Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan wisata Siba Island,

d. Stasiun 4 terletak pada titik ordinat 03°45’54.2” LU dan 98°37’32.6” BT yang berada di Paluh sersah Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan perkebunan kelapa sawit,

e. Stasiun 5 terletak pada titik ordinat 03°45’17.2” LU dan 98°37’47.2” BT yang berada di Sei Baharu Kecamatan Hamparan Perak yang berdekatan dengan kawasan pertambakan,


(34)

(35)

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 3.1. berikut ini:

Tabel 3.1 Parameter yang diukur, satuan, alat/bahan/metode yang digunakan, dan tempat pengukuran

Parameter Satuan Alat/bahan & metode yang digunakan

Tempat Pengukuran I. Fisik Kimia Air dan Substrat

Suhu Air °C Termometer Hg In-situ Salinitas Air 0/00 Hand Refraktometer In-situ Kecerahan cm Keping Sechi In-situ DO (Oksigen Terlarut) mg/l Titrasi Winkler In-situ BOD5 mg/l Titrasi Winkler Laboratorium Tipe Substrat % Eckman grab, Hydrometer

(Sieve shaker & oven)

Laboratorium Kandungan Total Suspended

Solid (TSS)

mg/l Gravimetri Laboratorium Kandungan NO3 & PO4 mg/l Spektrofometer Laboratorium

II. Biologi

Vegetasi Mangrove tali transek, buku identifikasi, meteran, (Metode Line transek) (diidentifikasi, diukur diameter batang, dihitung jumlah individu per jenis, dan dianalisa)

In-situ & Laboratorium

Plankton Plankton net, Buku identifikasi

In-situ & Laboratorium Udang Kelong (P. indicus) Jaring ambai, alkohol 70%

(dihitung kelimpahan, rasio jantan-betina, kelas ukuran, pola pertum-buhan)

In-situ & Laboratorium

Keterangan:

In – situ : langsung di lapangan

3.3 Pengumpulan Sampel Udang Kelong

Pengambilan sampel udang kelong dilakukan di perairan ekosistem mangrove (estuari), menggunakan jaring ambai berbentuk kerucut yang terbuat dari bahan nilon polyfilament. Detail ukuran jaring ambai udang yang digunakan adalah bukaan mulut jaring (bentuk persegi berukuran 4,5 m x 4,5 m) dengan panjang total jaring (tinggi limas) berukuran 15 m, ukuran mata jaring (mesh size) menurut


(36)

besar kecilnya terbagi atas empat bagian yang memanjang yaitu bagian depan/sayap, tengah, belakang, dan kantong/cod end, seperti tersaji pada Gambar 3.2. Pada tiap stasiun dipasang 3 unit ambai (total ambai yang dipasang setiap bulan 12 unit). Pengambilan sampel dilakukan 4 kali setiap bulannya dalam waktu yang sama (mulai jam 16.00 WIB sampai 18.00 WIB) secara stastis/menetap, pada saat pasang dan surut dengan posisi ambai diletakkan melawan arus (mengikuti kebiasaan nelayan setempat). Sampel udang kelong yang diperoleh selanjutnya diamati dan dideskripsikan berdasarkan buku acuan menurut Lovett (1981), Dore & Frimodt (1987), dan Chaitiamvong & Supongpan (1992).

Gambar 3.2 Jaring ambai

Keterangan gambar:

1. Jaring ambai udang

2. Tali pengikat jaring ambai

3. Pelampung (tanda ujung jaring)

4. Tiang Pancang Utama

5. Tiang Pancang sekunder

6. Permukaan air

3.4 Pengukuran Vegetasi Mangrove

Pengukuran kerapatan vegetasi mangrove dilakukan mulai dari tingkat pohon dan permudaan pada tiap stasiun menggunakan metode transek garis (line transect) sepanjang 25 m, yang ditempatkan tegak lurus garis pantai menuju kearah

darat/belakang hutan mangrove (Kusmana, 1997; Bengen, 2002; Fachrul, 2007).

Pada tiap stasiun dipasang 3 buah transek garis dengan jarak antar transek 30 meter. Data vegetasi mangrove diambil dari tiap transek

menggunakan metode kuadrat dengan membuat 2 buah plot berukuran 10 m x 10


(37)

m, untuk kategori pohon (diameter batang ≥ 10 cm). Pada setiap plot 10 m x 10 m selanjutnya dibuat plot berukuran 5 m x 5 m untuk mengukur kategori permudaan mangrove (tinggi tanaman ≥ 1,5 m, diameter batang < 10 cm). Jarak antar plot pada setiap transek adalah 5 m. Vegetasi mangrove yang ditemukan pada tiap plot selanjutnya diidentifikasi menggunakan buku acuan menurut Bengen (2002), Kusmana et al., (2005) dan Noor et al., (2006), lalu dihitung jumlah individu per jenis untuk setiap kategori guna mengetahui kerapatan jenisnya.

Gambar 3.3 Metode Transek Garis Dalam Pengukuran Vegetasi Mangrove

3.5 Pengambilan Sampel Plankton

Sampel plankton diambil dengan menggunakan ember kapasitas 5 liter sebanyak 25 liter, kemudian dituang ke dalam plankton net. Sampel plankton yang tersaring

akan terkumpul dalam bucket yang selanjutnya dituang kedalam botol film dan diawetkan dengan menggunakan lugol 10 % sebanyak 3 tetes dan diberi label.

5 m 30 m

30 m

5 m


(38)

Identifikasi plankton dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU dengan menggunakan

mikroskop binokuler, dan buku identifikasi menurut Edmonson (1963), Bold & Wyne (1985), Pennak (1989).

3.6 Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat

Pengukuran faktor fisik-kimia air dan substrat dilakukan pada tiap stasiun dengan pengulangan sesuai periode pengambilan sampel udang, sebagai berikut:

a. Suhu air diukur menggunakan termometer Hg.

b. Salintas air diukur menggunakan hand refractometer.

c. Kecerahan air diukur menggunakan sechi disk yang dicelupkan kedalam perairan.

d. Kelarutan oksigen (DO) dan BOD5

e. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan bola pimpong yang diikat nilon sepanjang 10 meter.

diukur menggunakan titrasi winkler (Lampiran F).

f. Kedalaman air diukur menggunakan tali berskala yang diberi pemberi pemberat.

g. Tipe substrat diukur dengan mengambil contoh substrat menggunakan eckman grab, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80 o

h. Pengukuran NO

C sampai beratnya konstan, lalu di ayak dengan sieve shaker untuk dianalisa fraksi substratnya, sehingga dapat diperoleh tipe susbtrat (Lampiran J).

3 dan PO4 air dilakukan dengan mengambil contoh air

pada tiap stasiun, dimasukkan ke dalam botol alkohol 1 liter, lalu dibawa

ke laboratorium untuk dianalisa kandungan unsur hara nitrat dan fosfatnya (Lampiran G dan H).


(39)

3.7 Pengukuran Aspek Biologi Udang Kelong

3.7.1 Pengukuran Panjang Karapas dan Berat Tubuh Udang

Pengukuran panjang morfometri udang kelong diukur dengan menggunakan jangka sorong dan penggaris, sedangkan berat tubuh udang diukur menggunakan timbangan digital (merk Acis dengan keakuratan 0.01).

3.7.2 Rasio Kelamin (sex rasio) Udang

Perhitungan rasio kelamin dilakukan dengan membandingkan jumlah udang jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian, dengan melihat alat kelamin yang berada pada bagian bawah abdomen, letak petasma udang jantan berada antara kaki renang pertama dan kaki jalan ke lima, dan letak thelicum udang betina berada antara kaki jalan ke empat dan kaki jalan ke lima, seperti tersaji pada gambar 3.4 dibawah ini :

Gambar 3.4. Posisi Organ Reproduksi Udang Betina dan Jantan (Murtidjo, 2003)

3.7.3 Performa Reproduksi Udang

Pengamatan performa Reproduksi udang dilakukan dengan mengamati tingkat kematangan gonad secara morfologis yang dapat dilihat berdasarkan bentuk,


(40)

ukuran, warna gonad, dan bobot tubuh, dan dengan bantuan penerangan cahaya (lighting) pada bagian bawah abdomen di ruangan gelap. Sampel udang kelong yang diperoleh diklasifikasikan berdasarkan tingkat kematangan gonad menurut Mulya (2012); Naamin (1984); Ayub & Ahmed (2002), Amanat & Qureshi (2011), yang dibedakan menjadi empat tingkatan seperti tersaji pada gambar 3.5 dibawah ini:

Keterangan:

TKG 1 = gonad tipis, berwarna pucat (bening) cenderung transparan belum terlihat jelas.

TKG 3 = gonad tampak menebal dengan warna yang semakin tebal dan berwarna hijau gelap.

TKG 2 = gonad terlihat berupa benang halus yang berwarna kuning hingga kehijauan.

TKG 4 = gonad tampak ketebalannya semakin melebar, dibagian anterior (ruas abdomen pertama dan kedua) terdapat lekukan dan bulatan-bulatan, warna gonad hijaukeabu-abuan.

Gambar 3.5 Tingkat Kematangan Gonad (Naamin & Purnomo, 1972 dalam

Naamin, 1984) 3.8 Analisa Data

3.8.1 Struktur Populasi Udang Kelong 3.8.1.1 Kelimpahan Udang

Hasil perhitungan kelimpahan individu udang kelong, serta kelimpahan udang berdasarkan tingkat kematangan gonad dapat diketahui dengan menggunakan perhitungan dari persamaan menurut Brower et al., (1990) sebagai berikut:


(41)

A

n

K=

dengan:

K = kelimpahan individu atau kelimpahan menurut kelas ukuran (ind/m2

n = jumlah individu udang atau individu menurut kelas ukuran (ind)

)

A = luas bukaan mulut jaring ambai (berukuran 20.25 m2)

3.8.1.2 Pola Pertumbuhan

Berat dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Hubungan berat (W) dan panjang (L) hampir mengikuti hukum kubik yaitu berat udang sebagai pangkat tiga dari panjangnya, (Efendie, 2002). Pola pertumbuhan udang kelong dapat diketahui dengan melihat hubungan panjang karapaks dan bobot tubuh udang melalui analisa regresi linier sederhana menurut Sparre & Venema (1999), studi hubungan panjang-bobot mempunyai nilai praktis yang memungkinkan mengkonversi nilai panjang karapaks ke dalam bobot tubuh udang atau sebaliknya. Bobot tubuh udang kelong dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang karapaksnya, berikut rumusnya :

W = aLb atau Ln W = Ln a + b Ln L

Keterangan: W = Berat Udang (gram)

L = Panjang Udang (mm)

a dan b = Konstanta

Pertumbuhan panjang udang seimbang dengan pertambahan berat udang dikatakan isometrik jika nilai b = 3, sedangkan jika nilai b lebih besar atau lebih kecil dari 3 maka pertumbuhan dikatakan allometrik, dengan asumsi jika nilai b < 3 pertambahan panjang tubuh udang lebih cepat dari pertambahan bobotnya, sedangkan jika nilai b > 3 pertambahan bobot udang lebih cepat dari pertambahan panjang tubuhnya.

3.8.2 Performa Reproduksi Udang Kelong 3.8.2.1 Rasio Jenis Kelamin Udang

Rasio kelamin dianalisa dengan cara membandingkan jumlah udang jantan dan betina yang tertangkap secara keseluruhan selama pengambilan data menggunakan rumus:


(42)

B n nJ

R =

Keterangan : R = Rasio Kelamin

nJ

n

= Jumlah Udang Jantan (ekor)

B = Jumlah Udang Betina (ekor)

3.8.2.2 Rasio Tingkat Kematangan Gonad Udang

Penghitungan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan melihat jumlah udang betina yang tertangkap secara keseluruhan selama pengambilan data berdasarkan tingkat kematangan gonadnya menurut Naamin (1984), kemudian dapat dihitung rasio kelimpahannya.

3. 9 Kelimpahan (K) Plankton Kelimpahan Plankton (ind/L)

W x 0,0196 P x V =

dimana : V = volume bucket (60 ml)

P = jumlah individu suatu spesies /ulangan W = banyaknya air yang disaring (25 L)

3.10 Analisis Korelasi

Analisis Korelasi Pearson merupakan uji statistik yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor Biologi (mangrove dan plankton) dengan udang kelong yang tertangkap. Uji korelasi tersebut dilakukan dengan metode komputerisasi menggunakan SPSS versi 17.0.

Menurut Menurut Sarwono & Budiono (2012), bahwa koefisien korelasi ialah ukuran atau indeks dengan hubungan antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 hingga -1. Tanda positif dan negatif menunjukkan arti atau arah dari hubungan koefisien korelasi tersebut. Jika koefisien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula,. Sebaliknya, jika koefisien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah atau sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara


(43)

dua variabel dibuat kriteria tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi yang dinyatakan pada tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2 Tingkat Hubungan Nilai Indeks Korelasi

No. Internal Koefisien Tingkat Hubungan 1. 0,00 – 0,199 Sangat Rendah

2. 0,20 – 0,399 Rendah

3. 0,40 – 0,599 Sedang

4. 0,60 – 0,799 Kuat


(44)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelimpahan Udang Kelong (P. indicus)

4.1.1 Kelimpahan Individu (K) Udang Kelong yang Tertangkap

Berdasarkan Gambar 4.1, nilai kelimpahan individu tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan 2 dengan nilai masing-masing sebesar 12 ind/m2 dan 14 ind/m2, tingginya kelimpahan udang kelong pada stasiun tersebut kemungkinan disebabkan oleh melimpahnya ketersediaan pakan alami udang, dimana kelimpahan plankton tertinggi juga terdapat pada stasiun 2. Kelimpahan individu udang terendah terdapat pada stasiun 3, 4, dan 5. Rendahnya kelimpahan udang kelong pada stasiun tersebut kemungkinan disebabkan oleh berdekatan dengan kawasan aktivitas wisata, pertambakan dan juga banyak terpasang jaring ambai tradisional milik masyarakat, sehingga adanya tekanan dari masyarakat berupa

intensifikasi penangkapan kemungkinan mengganggu keberadaan populasi udang kelong.


(45)

4.1.2 Kelimpahan Udang Kelong Menurut Kelas Ukuran

Berdasarkan hasil perhitungan kelimpahan menurut kelas ukuran yang terlihat pada gambar 4.2, diperoleh kelimpahan udang kelong kelas ukuran kecil yang tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 9 ind/m2, dan terendah terdapat pada stasiun 3 & 5 masing-masing sebesar 3 ind/m2

Menurut Edhy et a.l., (2010); Liao & Murai (1986); Bitter & Ahmad (1989), jenis pakan alami udang putih pada awal fase kehidupannya berupa fitoplankton (Skeletonema, Amphora, Chaetoceros, Chlorella, Navicula, Coscinodiscus, Tetraselmis) dan zooplankton (brachionus). Saat mencapai tahap pascalarva dan juvenil, udang mulai mengkonsumsi zooplankton kelompok rotifera, protozoa, dan copepoda. Ketika memasuki stadium post larva, dan udang muda (juvenil), makanan diperoleh dari permukaan air dan dasar perairan berupa bentos, anak tiram, anak tritip, cacing Annelida, detritus dan anak udang-udangan (Crustacea) lainnya.

(Gambar 4.2). Tingginya kelimpahan udang berukuran kecil pada stasiun 2, kemungkinan dipengaruhi oleh ketersediaan pakan alami mencukupi, terbukti dari dominasi genus fitoplankton yang ditemukan pada stasiun tersebut, diantaranya Melosira, Skeletonema,

Gonatozygon, Navicula, Thalassionema, Asteronellopsis, dan Lauderia (Tabel 4.1).

Keterangan Interval Kelas Ukuran: kecil (0.5-2.99 cm), sedang (3-4 cm), besar (≥ 4.1 cm) Gambar 4.2 Kelimpahan Udang Kelong (P. Indicus) Menurut Kelas Ukuran


(46)

Udang kelong dengan kelas ukuran sedang tertinggi juga terdapat pada stasiun 2 sebesar 9 ind/m2, dan terendah terdapat pada stasiun 4 & 5 sebesar 1 ind/m2. Udang kelong kelas ukuran besar yang tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 3 ind/m2, dan terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 1 ind/m2

Menurut Fast & Laster (1992), dalam daur hidup udang terjadi beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang berbeda pada setiap tahapan, udang melakukan pemijahan di perairan yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung dibawa arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas yang rendah di sekitar muara sungai. Menjelang dewasa, udang tersebut beruaya kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat

salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah. Tahapan tersebut berulang membentuk siklus hidup.

(Gambar 4.2). Hasil tersebut menyimpulkan bahwa stasiun yang memiliki kelimpahan udang kelong berukuran sedang dan besar, dipengaruhi oleh letak lingkungan perairan estuari yang paling berdekatan dengan muara laut sehingga memungkinkan udang yang tertangkap merupakan individu yang sedang dalam perjalanan beruaya kelaut untuk bereproduksi atau bertelur.

Letak lokasi juga memungkinkan ketersediaan pakan alami tercukupi dengan diperolehnya jenis plankton dari perairan tawar dan laut, sehingga kelimpahan plankton cukup tinggi (Tabel 4.1), selain itu kerapatan mangrove yang relatif tinggi pada lokasi ini (Lampiran C) juga ikut mempengaruhi kehadiran udang kelong. Menurut Edhy et al., (2010); Liao & Murai (1986); Bitter & Ahmad (1989), pada saat mencapai dewasa, udang sudah bersifat omnivora, karnivora, pemakan bangkai berupa daging hewan lunak atau Moluska (kerang, tiram, siput), cacing Annelida, Polychaeta, udang-udangan, anak serangga (Chironomus), detritus, juga zooplankton dari kelompok rotifera, protozoa, dan copepoda.

4.2 Plankton Sebagai Pakan Alami

Dari hasil penelitian diperoleh 36 jenis plankton yang terbagi atas 31 jenis

fitoplankton yang terbagi atas 8 kelas yaitu: Bacillariophy ceae, Chlorophyceae, Conjugatophyceae, Coscinodiscophyceae, Cyanophyceae,


(47)

Dinophyceae, Euglenophyceae, dan Fragillariophyceae. Untuk zooplankton diperoleh 5 jenis, terbagi atas 3 kelas yaitu: Brachiopoda, Maxillopoda, Monogononta (Tabel 4.1). Nilai kelimpahan tertinggi dijumpai pada stasiun 2 dan 3 yang didominasi oleh kelompok fitoplankton dengan genus Melosira, Gonatozygon, Skeletonema, Asterionellopsis, Ceratium, Thalassionema, Odontella, Nitzchia, dan Coscinodiscus. Kelompok zooplankton dengan genus Brachionus dan Cyclops. Nilai kelimpahan plankton terendah dijumpai pada stasiun 1 dan 5.

Dominasi kehadiran genus fitoplankton kemungkinan disebabkan oleh pengambilan sampel yang dilakukan pada siang hari dan pada saat peralihan musim hujan menuju kemarau (pada bulan Mei - Juli) sehingga suhu mulai meningkat, sedangkan zooplankton merupakan hewan nokturnal yang kurang menyukai intensitas cahaya berlebihan. Menurut Davis (1955) faktor perangsang migrasi vertikal harian pada zooplankton adalah cahaya. Peningkatan intensitas cahaya akan mengakibatkan zooplankton bergerak menjauhi permukaan dan mempertahankan posisinya pada kedalaman dengan intensitas cahaya tertentu. Saat siang hari atau intensitas cahaya matahari maksimal, zooplankton berada pada kedalaman paling jauh. Hal ini disebabkan oleh perilaku zooplankton dalam menghindari pemangsaan yang mendeteksi mangsa secara visual, mengubah posisi di dalam perairan dan mekanisme dalam meningkatkan produksi dan menghemat energi. Supriadi (2001) menambahkan pada wilayah estuari tropik, air pada permukaan maupun di dasar cukup menerima cahaya matahari sepanjang tahun sehingga kondisi cahaya tetap optimal bagi produksi fitoplankton. Perairan yang memiliki nilai fosfat rendah, akan didominasi oleh fitoplankton jenis diatom, dibandingkan dengan fitoplankton jenis lain.

Kehadiran plankton akan sangat mendukung kehidupan udang kelong dialam, karena baik fitoplankton dan zooplankton merupakan pakan alami yang tersedia di perairan estuari yang memiliki kandungan salinitas beragam, sehingga memungkinkan bagi beranekaragam plankton untuk hidup. Menurut Sumeru & Anna (1992); Fast & Lester (1992), udang penaeid merupakan hewan omnivora dan predator bagi invertebrata yang pergerakannya lambat. Biasanya mengkonsumsi berbagai jenis bracyura, fitoplankton, polychaeta, moluska, ikan-ikan kecil dan crustaceae kecil dalam jumlah yang terbatas. Menurut Angsupanich


(48)

et al., (1999) kandungan isi lambung udang P. indicus berisi 42 % Bilvalvia, 9.8 % gastropoda, 35.1 % Amphipoda, 0.1 % Brachyura, 0.5 % Copepoda, 0.6 % Isopoda, 4.9 % Foraminifera, 10 % Bacillariophyceae, dan 4 % potongan jaringan tumbuhan.

Tabel 4.1 Kelimpahan (ind/L) Plankton pada Tiap Stasiun

Genus Stasiun Pengamatan

1 2 3 4 5

Fitoplankton

1. Asterionellopsis 1653 4592 5143 1469 918 2. Bacteriastrum 367 2020 4163 0 0 3. Biddulphia 735 0 0 551 551 4. Cerataulina 551 735 1469 367 0 5. Ceratium 4408 3857 5510 3306 4592 6. Chaetoceros 551 1102 918 551 367 7. Chlorococcum 0 551 1286 367 918 8. Closteriopsis 0 551 245 918 0 9. Closterium 735 1653 367 0 367 10. Coscinodiscus 2571 3122 4224 3306 3857 11. Diatoma 1469 0 1102 1653 735 12. Dinophysis 1653 2939 2204 1469 367 13. Ditylum 1102 2571 1837 735 367 14. Euglena 0 1286 735 0 0 15. Fragillaria 918 735 551 184 184 16. Gonatozygon 3857 5694 4408 2939 4776 17. Lauderia 1653 4592 3122 2388 0 18. Melosira 5816 7224 5939 5020 5449 19. Navicula 735 1653 735 735 918 20. Nitzchia 1102 3122 1286 551 367 21. Odontella 1653 3490 2510 1469 1286 22. Oscillatoria 1469 918 551 2020 3857 23. Protoperidinium 0 3306 2755 367 0 24. Rhizosolenia 0 1102 1653 735 0 25. Skeletonema 7041 5694 4898 8143 5204 26. Tabellaria 0 1102 673 918 735 27. Thalasionema 3490 4776 3245 4224 4592 28. Thalassiosira 735 0 918 367 1286 29. Thalassiothrix 918 2388 551 1286 1286 30. Ulothrix 551 0 551 1102 1653 31. Volvox 551 367 1653 735 551 Zooplankton

32. Bosmina 0 0 735 367 367 33. Brachionus 1469 3000 3306 1837 2204 34. Cyclops 735 1469 2204 1837 1102 35. Diacyclops 367 1469 918 0 551 36. Diaptomus 0 367 918 367 551 Total 48857 77449 73286 52286 49959


(49)

Sumeru & Anna (1992) menjelaskan bahwa kandungan isi lambung udang windu yang dipelihara di tambak menunjukkan makanan yang dikonsumsi terdiri dari fitoplankton jenis Lyngbya sp., Spirulina sp., Skeletonema sp. dan zooplankton jenis Brachionus sp. Walaupun demikian, keadaan/ketersediaan pakan yang terdapat pada habitat udang tersebut akan mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsinya.

Menurut Edhy et al., (2010); Liao & Murai (1986) Larva udang penaeid membutuhkan pakan untuk pertumbuhannya. Pada saat telur udang menetas menjadi nauplius, kebutuhan nutrisi larva udang diperoleh dari cadangan makanan pada kuning telur yang dibawa sejak menetas. Pada stadia zoea, udang mulai memakan fitoplankton berupa diatom (Skeletonema, Chaetoceros, Navicula, Chlorella, Coscinodiscus, Amphora, dan lainnya) serta Dinoflagellata (Tetraselmis, dan lainnya), detritus dan nauplius udang-udang kecil. Sejalan dengan perkembangan udang pada stadia mysis, anggota tubuhnya seperti ekor kipas, kaki jalan, dan ruas-ruas kaki renang akan meningkatkan kemampuannya untuk mengejar mangsa-mangsa bergerak sehingga udang mulai mengkonsumsi makanan berupa zooplankton, Protozoa, Rotifera (Branchionus), anak tritip (Balanus), anak kutu air (Copepoda). Stadia post larva, dan udang muda (juvenil), selain makanan yang diperoleh dari permukaan air, udang juga memakan organisme yang terdapat di dasar perairan berupa bentos, anak tiram, anak tritip, anak udang-udangan (Crustacea) lainnya, Annelida dan detritus. Pada saat dewasa, udang sudah bersifat omnivora, karnivora, pemakan bangkai dengan pakan alami berupa daging hewan lunak atau Moluska (kerang, tiram, siput), Annelida, Polychaeta, udang-udangan, anak serangga (Chironomus), dan detritus.

4.3 Parameter Biofisik-Kimia Pada Stasiun Penelitian 4.3.1 Suhu air

Sebaran suhu air pada lokasi pengamatan menunjukkan nilai yang relatif merata. Hal ini di duga karena letak stasiun penelitian yang berada pada muara sungai yang relatif sama sehingga keragaman suhu menjadi lebih kecil. Selain itu waktu pengukuran suhu dan perbedaan luas tutupan mangrove juga ikut mempengaruhi nilai suhu tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan nilai suhu air


(50)

tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 30.58 °C dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 29.05 °C.

Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan dan udang. Menurut Nadia (2002), suhu dengan kisaran 24 °C – 32 °C merupakan kisaran cukup normal bagi kehidupan krustaceae. Umumnya dengan meningkatnya suhu, maka laju metabolisme biota perairan akan ikut meningkat (Barus, 2004), oleh sebab itu hal ini akan mempengaruhi kelimpahan udang di perairan tersebut.

Nilai rata-rata parameter fisik kimia lingkungan secara keseluruhan yang diperoleh selama pengambilan data terlihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Nilai Rata-Rata Parameter Fisik-Kimia Pada Tiap Stasiun

No. Parameter Stasiun

1 2 3 4 5

Parameter Fisik

1. Suhu air (oC) 29.31 29.05 30.58 29.23 29.52 2. Kecerahan air (cm) 50.69 52.69 97.56 52.15 53.28 3. Tipe substrat Lempung Berliat Lempung Berpasir Lempung Berpasir Lempung Berdebu Lempung Parameter Kimia

4. Salinitas air (‰) 20.34 25.39 25.14 21.51 21.01 5. DO (mg/l) 4.42 5.11 4.19 4.36 4.40 6. Kejenuhan oksigen (%) 58.2 67 56.2 57.3 58 7. BOD5 (mg/l) 3.54 4.09 3.26 3.38 3.28

8. Nitrat (mg/l) 0.25 0.17 0.19 0.18 0.23 9. Posfat (mg/l) 0.11 0.07 0.09 0.08 0.09 10. Kandungan TSS (mg/l) 188.30 140.70 169.40 160.30 180.10 4.3.2 Kecerahan

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan dapat dilihat bahwa nilai kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 97,56 cm dan terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 50,69 cm. Adanya fluktuasi nilai kecerahan pada stasiun pengamatan, diduga akibat adanya perbedaan tutupan kanopi dan kerapatan mangrove, pergerakan arus pasang surut yang menyebabkan partikel tersuspensi ikut terbawa oleh arus, serta intensitas cahaya matahari (kecondongan paparan cahaya ketika pengukuran). Menurut Retnani (2001), bahwa tingkat kecerahan dalam perairan dipengaruhi oleh tutupan kanopi tumbuhan sekitarnya, tingkat kekeruhan air dan kandungan TSS.


(51)

Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui batas maksimum kemungkinan terjadinya proses asimilasi dalam air, yang membentuk lapisan/tingkat kekeruhan air. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan organisme perairan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan biota perairan adalah lebih dari 45 cm, ketika

kecerahan kurang dari nilai tersebut maka batas pandangan biota perairan akan berkurang (Kordi, 2004). Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang

terlarut dalam air, lumpur, potongan tanaman yang mengendap dan populasi organisme misalnya fitoplankton sehingga membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman (Odum, 1994).

4.3.3 Tipe Tekstur Substrat

Kategori tipe substrat diketahui dengan menyesuaikan nilai fraksi substrat yang diperoleh dari hasil penelitian (Lampiran A) yang disesuaikan dengan gambar skema segitiga tekstur tanah (Lampiran J), sehingga dapat disimpulkan bahwa pada stasiun 1 yang memiliki konsentrasi fraksi debu-liat-pasir yang masing-masing sebesar 36 %, 31.44 %, dan 32,56 % memiliki tipe tekstur kategori lempung berliat, stasiun 2 dengan konsentrasi fraksi debu-liat-pasir yang masing-masing sebesar 32 %, 15.44 %, dan 52,26 % memiliki tipe tekstur kategori lempung berpasir, stasiun 3 dengan konsentrasi fraksi debu-liat-pasir yang masing-masing sebesar 28 %, 15.44 %, dan 56,56 % memiliki tipe tekstur kategori lempung berpasir, stasiun 4 dengan konsentrasi fraksi debu-liat-pasir yang masing-masing sebesar 52 %, 19.44 %, dan 28,56 % memiliki tipe tekstur kategori lempung berliat, stasiun 5 dengan konsentrasi fraksi debu-liat-pasir yang masing-masing sebesar 44 %, 27.44 %, dan 28,56 % memiliki tipe tekstur kategori lempung (lumpur).

Nilai fraksi pasir mendominasi pada stasiun 3 dengan nilai sebesar 56,56 %, sedangkan fraksi pasir terendah terdapat pada stasiun 4 dan 5 sebesar 28,56 %. Nilai fraksi debu mendominasi pada stasiun 4 dengan nilai sebesar 52 %, sedangkan fraksi debu terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 28 %. Nilai fraksi liat mendominasi pada stasiun 1 dengan nilai sebesar 32,56 %, sedangkan fraksi


(52)

liat terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 sebesar 15,44 % (Tabel 4.2). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa konsentrasi fraksi pasir banyak didapatkan pada kawasan yang berdekatan dengan laut, sedangkan fraksi debu dan liat didapatkan pada kawasan yang berdekatan dengan daratan. Dari nilai tersebut disimpulkan bahwa jauh atau dekatnya letak lokasi penelitian terhadap masukan air dari sungai dan laut sangat mempengaruhi konsentrasi fraksi substrat pada suatu perairan.

Menurut Nybakken (1992) kebanyakan perairan estuari didominasi oleh substrat lumpur yang sangat lunak. Substrat ini berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari, baik oleh air laut maupun air tawar. Sungai yang merupakan sumber air tawar mengikat partikel debu dalam bentuk suspensi. Ketika partikel tersuspensi tersebut bercampur dengan air laut yang membawa partikel pasir di estuari, maka ion yang berasal dari air laut bersama pasir akan menyebabkan kedua partikel tersebut menggumpal membentuk partikel yang lebih berat dan besar, kemudian mengendap dan membentuk dasar lumpur yang khas.

Holthuis (1980), menyatakan habitat yang disukai udang kelong (P. indicus) adalah perairan dengan dasar berupa lumpur berpasir. Ketika dewasa banyak ditemukan di laut dan untuk tahap juvenil (anakan) sering ditemukan di muara-muara laut. Menurut Kordi (2010), udang kelong (P. indicus) hidup bergerombol dalam jumlah besar, terdapat di perairan dengan dasar berlumpur atau lumpur berpasir di daerah-daerah yang banyak muara sungai besarnya.

4.3.4 Salinitas Air

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan dapat dilihat bahwa nilai salinitas air tertinggi terdapat pada stasiun 2 & 3 masing-masing sebesar 25,39 ‰ & 25,14 ‰ dan terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 20,34 ‰. Menurut Mumin (2004), Udang termasuk hewan yang mampu hidup pada salinitas yang kisarannya cukup luas (euryhalin). Tiap jenis udang mempunyai kisaran toleransi yang berbeda, seperti pada P. merguiensis yang dapat mencapai pertumbuhan optimal pada kadar garam 25 ‰.

Menurut Diwan & Laxminarayana (1989), dalam skala laboratorium juvenile udang kelong dapat bernafas dengan baik pada kisaran 3 - 26 ‰, dan udang kelong dewasa masih dapat bernafas pada kisaran 5 – 30 ‰. Tingginya


(53)

kadar salinitas kemungkinan disebabkan oleh pengukuran dilakukan pada saat peralihan musim hujan menuju kemarau (pada bulan Mei - Juli). Supriadi (2001), perubahan salinitas ini dipengaruhi oleh pasang-surut air dan musim, selama musim kemarau volume air sungai berkurang sehingga air laut dapat masuk sampai ke arah hulu, dan menyebabkan salinitas di wilayah estuari menjadi meningkat.

4.3.5 Kelarutan Oksigen Dan Kejenuhan Oksigen (%)

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan dapat dilihat bahwa nilai kelarutan oksigen (DO) dan kejenuhan oksigen tertinggi terdapat pada stasiun 2 masing - masing bernilai sebesar 5,11 mg/l dan 67 %. Nilai terendah terdapat pada stasiun 3 yang masing-masing sebesar 4,19 mg/l dan 56.2 %. Nilai DO yang diperoleh selama penelitian dianggap rendah sebab berada pada ambang batas minimum, hal mungkin disebabkan oleh seiring meningkatnya nilai parameter suhu dan salinitas.

Menurut Taqwa (2010) kelarutan oksigen di dalam air berbanding terbalik dengan suhu dan salinitas air, sehingga semakin tinggi suhu dan salinitas air maka semakin menurun kelarutan oksigen dalam perairan tersebut. Hal ini didukung juga oleh pendapat Barus (2004), kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Nilai kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada suhu 0 0

Pernyataan tersebut terbukti dari penghitungan nilai kelarutan oksigen

yang dilakukan menggunakan tabel hubungan kelarutan oksigen - suhu menurut Barus (2004) diperoleh kisaran nilai DO sebesar 7.47 – 7.64, serta tabel hubungan kelarutan oksigen - Suhu - Salinitas menurut Boyd (1996) (Lampiran K) yang

memperoleh kisaran nilai DO sebesar 6.47 – 6.87. Nilai tersebut merupakan nilai C, yaitu sebesar 14,16 mg/l (Lampiran I). Terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Oksigen terlarut di dalam air bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi organisme akuatik.


(54)

maksimum kelarutan oksigen yang diharapkan, tetapi pada saat pengamatan di seluruh stasiun hanya diperoleh kisaran oksigen terlarut sebesar 4.19 – 5.11, kondisi defisit ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh kehadiran senyawa organik yang tinggi pada air yang diukur.

Barus (2004) kejenuhan oksigen menjelaskan jumlah oksigen sebenarnya yang dapat larut (kandungan oksigen terlarut maksimum) dalam bentuk persentase, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob. Ketika terjadi selisih (defisit oksigen), dimana nilai oksigen terlarut yang diukur lebih rendah dari nilai oksigen terlarut yang seharusnya dapat larut, maka dapat disimpulkan bahwa pada lokasi tersebut sudah terdapat senyawa organik (pencemar), sebab defisit oksigen tersebut telah digunakan dalam proses pengurairan senyawa organik oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerobik. Kelompok organisme air yang mempunyai sistem respirasi melalui insang dan kulit, secara langsung akan sangat terpengaruh pada konsentrasi terlarut dalam air, konsumsi oksigen berfluktuasi mengikuti siklus hidupnya (Subrahmanyam, 1961; Kutty et al., 1971) dan akan mencapai konsumsi maksimum ketika masa reproduksi berlangsung.

4.3.6 BOD5

Nilai BOD5 diperlukan untuk menentukan beban pencemar akibat

aktivitas manusia seperti air limbah buangan dari penduduk atau industri sekitar (Alaerts dan Santika, 1987). Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan dapat

dilihat bahwa nilai BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 4.09 mg/l dan

nilai terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 3.26 mg/l. Nilai BOD5 yang berbeda

pada tiap stasiun disebabkan oleh perbedaan jumlah senyawa organik pada tiap stasiun yang diketahui dengan berkurangnya kadar oksigen terlarut, sebab oksigen digunakan oleh mikroorganisme dalam penguraian bahan organik (Barus, 2004; Sinaga, 2009). Kadar BOD5 suatu perairan dipengaruhi oleh suhu, kelimpahan

plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik dalam perairan tersebut (Radhiso, 2009).


(1)

5 ml sampel Air

Larutan

Hasil

( Konsentrasi Fosfat )

Lampiran H. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO

4

-)

2 ml Amstrong Reagen

1 ml

Ascorbic Acid

Dibiarkan selama 20 menit

Diukur dengan spektrofotometer pada λ

=880nm


(2)

Lampiran I . Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai

Besaran Temperatur Air

ToC 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

0 14, 16 14, 12 14, 08 14, 04 14, 00 13, 97 13, 93 13, 89 13,85 13,81

1 13, 77 13, 74 13, 70 13, 66 13, 63 13, 59 13, 55 13, 51 13, 48 13, 44

2 13, 40 13, 37 13, 33 13, 30 13, 26 13, 22 13, 19 13, 15 13, 12 13, 08

3 13, 05 13, 01 12, 98 12, 94 12, 91 12, 87 12, 84 12, 81 12, 77 12, 74

4 12,70 12, 67 12, 64 12, 60 12, 57 12, 54 12, 51 12, 47 12, 44 12, 09

5 12, 37 12, 34 12, 31 12, 28 12, 25 12, 22 12, 18 12, 15 12, 12 12, 09

6 12, 06 12, 03 12, 00 11, 97 11, 94 11, 91 11, 88 11, 85 11, 82 11, 79

7 11,76 11, 73 11, 70 11, 67 11, 64 11, 61 11, 58 11, 55 11, 52 11, 50

8 11, 47 11, 44 11, 41 11, 38 11, 36 11, 33 11, 30 11, 27 11, 25 11, 22

9 11, 19 11, 16 11, 14 11, 11 11, 08 11, 06 11, 03 11, 00 10, 98 10,95

10 10, 92 10, 90 10, 87 10, 85 10, 82 10, 80 10, 77 10, 75 10, 72 10, 70

11 10, 67 10, 65 10, 62 10, 60 10, 57 10, 55 10, 53 10, 50 18, 48 10, 45

12 10, 43 10, 40 10, 38 10, 36 10, 34 10, 31 10, 29 10, 27 10, 24 10, 21

13 10, 20 10, 17 10, 15 10, 13 10, 11 10, 09 10, 06 10, 04 10, 02 10, 00

14 9, 98 9, 95 9, 93 9, 91 9, 89 9, 87 9, 85 9, 83 9, 81 9, 78

15 9, 76 9, 74 9, 72 9, 70 9, 68 9, 66 9, 64 9, 62 9, 60 9, 58

16 9, 56 9, 54 9, 52 9, 50 9, 48 9, 46 9, 45 9, 43 9, 41 9, 39

17 9, 37 9, 35 9, 33 9, 31 9, 30 9, 28 9, 26 9, 24 9, 22 9, 20

18 9, 18 9, 17 9, 15 9, 13 9, 12 9, 10 9, 08 9, 06 9, 04 9, 03

19 9, 01 8, 99 8, 98 8, 96 8, 94 8, 93 8, 91 8, 89 8, 88 8, 86

20 8, 84 8, 83 8, 81 8, 79 8, 78 8, 76 8, 75 8, 73 8, 71 8, 70

21 8, 68 8, 67 8, 65 8, 64 8, 62 8, 61 8, 59 8, 58 8, 56 8, 55

22 8, 53 8, 52 8, 50 8, 49 8, 47 8, 46 8, 44 8, 43 8, 41 8, 40

23 8, 38 8, 37 8, 36 8, 34 8, 33 8, 32 8, 30 8, 29 8, 27 8, 26

24 8, 25 8, 23 8, 22 8, 21 8, 19 8, 18 8, 17 8, 15 8, 14 8, 13

25 8, 11 8, 10 8, 09 8, 07 8, 06 8, 05 8, 04 8, 02 8, 01 8, 00

26 7, 99 7, 97 7, 96 7, 95 7, 94 7, 92 7, 91 7, 90 7, 89 7, 88

27 7, 86 7, 85 7, 84 7, 83 7, 82 7, 81 7, 79 7, 78 7,77 7, 76

28 7, 75 7, 74 7,72 7, 71 7, 70 7, 69 7, 68 7, 67 7, 66 7, 65

29 7, 64 7, 62 7, 61 7, 60 7, 59 7, 58 7, 57 7, 56 7, 55 7, 54

30 7, 53 7, 52 7, 51 7, 50 7, 48 7, 47 7, 46 7, 45 7, 44 7, 43


(3)

Lampiran I (lanjutan). Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai

Besaran Temperatur Air

T (oC) SALINITAS (ppt)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

0 14, 60 14, 11 13.64 13.18 12.74 12.31 11.90 11.50 11.11

1 14,20 13, 72 13.27 12.82 12.40 11.98 11.58 11.20 10.82

2 13, 81 13, 36 12.91 12.49 12.07 11.67 11.29 10.91 10.55

3 13.44 13.00 12.58 12.16 11.76 11.38 11.00 10.64 10.29

4 13.09 12.67 12.25 11.85 11.47 11.09 10.73 10.38 10.04

5 12.76 12.34 11.94 11.56 11.18 10.82 10.47 10.13 9.80

6 12.44 12.04 11.65 11.27 10.91 10.56 10.22 9.89 9.57

7 12.13 11.74 11.36 11.00 10.65 10.31 9.98 9.66 9.35

8 11.83 11.46 11.09 10.74 10.40 10.07 9.75 9.44 9.14

9 11.55 11.18 10.83 10.49 10.16 9.84 9.53 9.23 8.94

10 11.28 10.92 10.58 10.25 9.93 9.62 9.32 9.03 8.75

11 11.02 10.67 10.34 10.02 9.71 9.41 9.12 8.83 8.56

12 10.77 10.43 10.11 9.80 9.50 9.21 8.92 8.65 8.38

13 10.52 10.20 9.89 9.59 9.29 9.01 8.73 8.47 8.21

14 10.29 9.98 9.68 9.38 9.10 8.82 8.55 8.29 8.04

15 10.07 9.77 9.47 9.19 8.91 8.64 8.38 8.13 7.88

16 9.86 9.56 9.28 9.00 8.73 8.47 8.21 7.97 7.73

17 9.65 9.36 9.09 8.82 8.55 8.30 8.05 7.81 7.58

18 9.45 9.17 8.90 8.64 8.38 8.14 7.90 7.66 7.44

19 9.26 8.99 8.73 8.47 8.22 7.98 7.75 7.52 7.30

20 9.08 8.81 8.56 8.31 8.06 7.83 7.60 7.38 7.17

21 8.90 8.64 8.39 8.15 7.91 7.68 7.46 7.25 7.04

22 8.73 8.48 8.23 8.00 7.77 7.54 7.33 7.12 6.91

23 8.56 8.32 8.08 7.85 7.63 7.41 7.20 6.99 6.79

24 8.40 8.16 7.93 7.71 7.49 7.28 7.07 6.87 6.68

25 8.24 8.01 7.79 7.57 7.36 7.15 6.95 6.75 6.56

26 8.09 7.87 7.65 7.44 7.23 7.03 6.83 6.64 6.46

27 7.95 7.73 7.51 7.31 7.10 6.91 6.72 6.53 6.35

28 7.81 7.59 7.38 7.18 6.98 6.79 6.61 6.42 6.25

29 7.67 7.46 7.26 7.06 6.87 6.68 6.50 6.32 6.15

30 7.54 7.33 7.14 6.94 6.75 6.57 6.39 6.22 6.05

31 7.41 7.21 7.02 6.83 6.64 6.47 6.29 6.12 5.96

32 7.29 7.09 6.90 6.72 6.54 6.36 6.19 6.03 5.87

33 7.17 6.98 6.79 6.61 6.43 6.26 6.10 5.94 5.78

34 7.05 6.86 6.68 6.51 6.33 6.17 6.01 5.85 5.69

35 6.93 6.75 6.58 6.40 6.24 6.07 5.91 5.76 5.61

36 6.82. 6.65 6.47 6.31 6.14 5.98 5.83 5.68 5.53

37 6.72 6.54 6.37 6.21 6.05 5.89 5.74 5.59 5.45

38 6.61 6.44 6.28 6.12 5.96 5.81 5.66 5.51 5.37

39 6.51 6.34 6.18 6.02 5.87 5.72 5.58 5.44 5.30

40 6.41 6.25 6.09 5.94 5.79 5.64 .5.50 5.36 5.22


(4)

Lampiran J. Segitiga Tekstur Tanah


(5)

Lampiran K. Foto Kerja Penelitian

(1)

(2)

(3) (4)

Keterangan Gambar:

(1) Pengamatan dan pengukuran udang oleh peneliti.

(2) Pengukuran udang kelong dengan meteran kain.

(3) Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) udang kelong.

(4) Pengukuran udang kelong dengan jangka sorong.


(6)

Lampiran K (lanjutan). Foto Kerja Penelitian

(5) (6)

(7) (8)

Keterangan Gambar:

(5) Pengukuran kelarutan oksigen oleh peneliti (metode titrasi winkler).

(6) Pengambilan sample plankton oleh peneliti dengan plankton net.

(7) Pengukuran diameter batang pada mangrove kategori pohon oleh peneliti.

(8) Pencatatan data vegetasi mangrove yang terdapat di lokasi kajian.