Studi Terhadap Sebaran Stasioner Pada Sistem Bonus Malus Swiss

STUDI TERHADAP SEBARAN STASIONER PADA
SISTEM BONUS MALUS SWISS

Oleh :
RENSY ERMAWATY
G05400005

PROGRAM STUDI MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

ABSTRAK
RENSY ERMAWATY. Studi Terhadap Sebaran Stasioner pada Sistem Bonus-Malus Swiss.
Dibimbing oleh I GUSTI PUTU PURNABA dan I WAYAN MANGKU.
Sistem Bonus-Malus Swiss (BMS) merupakan salah satu sistem pada asuransi mobil. Sistem BMS
memiliki jumlah state (x) yang terbatas yaitu 22 state dan premi yang dibayarkan oleh setiap pemegang
polis tergantung pada state tersebut. Tiap tahun state dari seorang pemegang polis ditentukan oleh state
tahun sebelumnya dan banyaknya kecelakaan yang dilaporkan pada tahun tersebut. Jika tidak ada
kecelakaan yang dilaporkan pada jangka waktu satu tahun maka state akan berkurang sebanyak satu dan
untuk setiap kecelakaan yang dilaporkan maka state akan mengalami kenaikan sebanyak s. Sebelum tahun

1990 nilai s yang digunakan pada sistem BMS adalah 3, tetapi sejak tahun 1990 berubah menjadi 4.
Penetapan state dalam sistem BMS didasarkan pada pencarian sebaran stasioner F (x ) yang menyatakan
banyaknya pemegang polis dalam tiap state. Untuk menentukan sebaran stasioner F (x ) digunakan metode
rekursif.
Dalam karya tulis ini penghitungan sebaran stasioner didasarkan pada 2 asumsi, yaitu : (a) banyaknya
kecelakaan menyebar Poisson dengan parameter λ dan (b) banyaknya kecelakaan menyebar Binomial
1
.
Negatif dengan parameter α dan
β +1
Selain penghitungan sebaran stasioner, diukur juga suatu ukuran efisiensi dari sistem BMS yaitu
efisiensi asimtotik. Ukuran efisiensi ini dihitung berdasarkan rataan frekuensi kecelakaan λ dan rataan
premi jangka panjang b(λ ) .
Berdasarkan penghitungan sebaran stasioner dan nilai dari maksimal efisiensi asimtotik, dapat disimpulkan
bahwa sistem BMS yang lama (s = 3) lebih efisien dibanding sistem BMS yang baru (s = 4).

STUDI TERHADAP SEBARAN STASIONER PADA
SISTEM BONUS MALUS SWISS

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Penetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
RENSY ERMAWATY
G05400005

PROGRAM STUDI MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

Judul
Nama
NIM

: Studi Terhadap Sebaran Stasioner Pada Sistem Bonus-Malus Swiss
: Rensy Ermawaty
: G05400005


Menyetujui :

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA.
NIP. 131 878 945

Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc.
NIP. 131 633 020

Mengetahui :
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS.
NIP. 131 473 999


Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi 15 Oktober 1981 sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, anak dari
pasangan Babas Permana dan Yetty Nurhayaty.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Negeri Cikole 1 Sukabumi.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1
Sukabumi tahun 1994 dan lulus tahun 1997. Selanjutnya ke jenjang Sekolah Menengah Umum Negeri 1
Sukabumi tahun 1997 dan lulus tahun 2000. Selepas SMU tahun 2000, penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur USMI.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi Staf Pengajar Bimbel Prestasipb (2002/2003),
Staf Pengajar Bimbel Sinar Ilmu (2003/2004) dan Staf Pengajar Bimbel Bina Madani (2005/2006).

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ijin-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak I Gusti Putu Purnaba yang telah menuangkan ide dan pikirannya selama penyusunan karya
ilmiah ini.
2. Bapak I Wayan Mangku yang telah memberikan arahan dan tuntunan selama penyusunan karya

ilmiah ini.
3. Bapak Siswandi atas kesediaannya menjadi penguji.
4. Keluargaku tercinta : Papah, Mamah, Asti, A iki, dan A aji . “Do’a dan kasih sayang kalianlah yang
telah mengembalikan penulis menjadi bagian dari kalian”.
5. Dwi Ade (akhirnya kita jadi sarjana juga ya …).
6. Teman-teman seperjuanganku : Endah, Marita, Cahyadi, Rudi, Ribut, dan Wahyu (terus berjuang
ya)
7. Adik-adikku yang manis (angkatan 38,39 dan 40) terutama Indah dan Mika, makasih ya udah bantuin
kak echi.
8. Sahabatku yang manis Iin, “denganmu aku menjadi sekarang….”.
9. Ian, makasih ya komputernya udah disimpen di wangun.
10. Abang Fadli, Mas Sambodo, Rama, Adji dan Ahmad, “kalian telah memberi warna kehidupanku
selama ini”.
11. Bu Susi dan Bu Ade atas dukungan dan kekeluargaan yang telah diberikan kepada penulis sehingga
menjadi betah di kampus.
12. Mas Bono, Mas Yono, Mas Deni, Ibu Marizi atas bantuannya dalam mensukseskan jalannya seminar
dan sidang penulis.
13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuannya yang
telah diberikan selama ini, semoga menjadikannya ibadah. Amin.


Bogor, Januari 2007
Rensy Ermawaty

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................................ vii
PENDAHULUAN....................................................................................................................................

1

Latar Belakang......................................................................................................................................

1

Tujuan ...................................................................................................................................................

1


LANDASAN TEORI ...............................................................................................................................

1

PEMBAHASAN ......................................................................................................................................

3

Sistem Bonus-Malus Swiss...................................................................................................................

3

Sebaran Stasioner..................................................................................................................................

3

Model Portfolio.....................................................................................................................................

6


Efisiensi Asimtotik ...............................................................................................................................

8

SIMPULAN..............................................................................................................................................

9

DAFTAR PUSAKA .................................................................................................................................

10

LAMPIRAN .............................................................................................................................................

11

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Neraca premi (%) ......................................................................................................................


3

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1: Grafik Sebaran Stasioner Sistem BMS dengan s = 3..............................................................

5

Gambar 2: Grafik Sebaran Stasioner Sistem BMS dengan s = 4..............................................................

6

Gambar 3: Grafik Sebaran Stasioner Model Porfolio...............................................................................

8

Gambar 4: Grafik Efisiensi Asimtotik dari Sistem BMS..........................................................................

9


DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Penjabaran rumus rekursif untuk menghitung A(x + 1) jika s = 3 .......................................

12

Lampiran 2: Penjabaran rumus rekursif untuk menghitung A(x + 1) jika s = 4 .......................................

27

Lampiran 3: Tabel 2. Sebaran stasioner sistem BMS dengan s = 3.........................................................

37

Tabel 3. Fungsi kepekatan peluang Sistem BMS dengan s = 3 ..........................................

38

Lampiran 4: Tabel 4. Sebaran stasioner sistem BMS dengan s = 4.........................................................


39

Tabel 5. Fungsi kepekatan peluang sistem BMS dengan s = 4...........................................

40

Lampiran 5 :Tabel 6. Sebaran stasioner dan fungsi kepekatan peluang
model portfolio sistem BMS ...............................................................................................

41

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya
kerugian secara finansial yang mungkin timbul
akibat kejadian-kejadian yang tidak diharapkan
maka seseorang biasanya mengikuti asuransi. Salah
satu kejadian yang sering terjadi pada pemilik
mobil adalah kecelakaan akibat tabrakan dan lainlain.
Berbagai jenis sistem asuransi ditawarkan oleh
perusahaan asuransi mobil untuk menarik banyak
orang agar menjadi pemegang polis perusahaan
tersebut. Salah satu jenis sistem dalam asuransi
mobil adalah sistem bonus-malus. Sistem ini
mempunyai jumlah state yang terbatas dan Pemi
yang harus dibayar oleh setiap pemegang polis
tergantung pada state masing-masing.
Sistem bonus-malus yang akan dibahas pada
tulisan ini adalah sistem Bonus-Malus Swiss (BMS).
Penetapan state dalam sistem BMS didasarkan
pada pencarian sebaran stasioner yang menyatakan
banyaknya pemegang polis dalam tiap state. Tiap
tahun state seorang pemegang polis ditentukan oleh
state pada tahun sebelumnya dan banyaknya
kecelakaan yang dilaporkan pada tahun tersebut.
Jika tidak ada kecelakaan yang dilaporkan pada
tahun ini maka tahun depan pemegang polis akan

memperoleh bonus yang dinyatakan dengan state
yang lebih rendah dengan Pemi yang lebih kecil.
Tetapi jika tahun ini terjadi kecelakaan maka
pemegang polis akan memperoleh malus yang
dinyatakan dengan state yang lebih tinggi dengan
Pemi yang lebih besar.
Pada tahun 1990, sistem BMS mengalami
perubahan aturan perpindahan state. Pada sistem
BMS yang baru untuk setiap laporan kecelakaan,
kenaikan state akan berubah menjadi 4 state yang
semula hanya 3 state.
Tujuan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai
berikut :
• Mempelajari metode yang digunakan untuk
mencari sebaran stasioner pada sistem BMS.
• Mengukur tingkat efisiensi dari sistem BMS
berdasarkan ukuran efisiensi asimtotik.
• Membandingkan sistem BMS yang baru dengan
yang lama berdasarkan penghitungan sebaran
stasioner dan ukuran efisiensi asimtotik.

LANDASAN TEORI
Definisi 1 (Percobaan acak)
Percobaan acak adalah suatu percobaan yang dapat
diulang dalam kondisi yang sama namun hasil pada
percobaan berikutnya tidak dapat ditebak dengan
tepat. Tetapi kita bisa mengetahui semua
kemungkinan hasil yang muncul.
[Hogg dan Craig, 1995]
Definisi 2 (Ruang Contoh dan Kejadian)
Himpunan dari semua kemungkinan dari suatu
percobaan disebut ruang contoh, dinotasikan
dengan Ω . Suatu kejadian A adalah himpunan
bagian dari ruang contoh Ω .
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]
Definisi 3 (Medan –σ)
Medan – σ adalah suatu himpunan Y yang
anggotanya terdiri atas semua himpunan bagian
ruang contoh Ω yang memenuhi kondisi berikut :
1. φ ∈ Y



2. Jika A1 , A2 , ... ∈ Y maka

UA

i

∈ Y.

i =1

3. Jika A ∈ Y maka A c ∈ Y.
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]
Definisi 4 (Ukuran Peluang)
Ukuran peluang adalah suatu fungsi P : Y → [0,1]
pada (Ω, Y ) yang memenuhi :
1. P(φ ) = 0, P(Ω ) = 1 .
2. Jika
A1 , A2 , ... ∈ Y adalah himpunanhimpunan yang saling lepas, yaitu
Ai ∩ A j = φ untuk setiap pasangan i ≠ j ,
maka
⎛ ∞
⎞ ∞
P⎜ Ai ⎟ =
P( Ai ) .


⎝ i =1 ⎠ i =1
Pasangan (Ω, Y , P) disebut ruang peluang.
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]

U



Definisi 5 (Kejadian Saling Bebas)

Kejadian A dan B dikatakan bebas jika
P(A ∩ B) = P(A ) P(B) .
Secara umum, jika I adalah himpunan indeks,
himpunan kejadian {Ai , i ∈ I } dikatakan saling
bebas jika


P⎜ Ai ⎟ =
P( Ai )


⎝ i∈J ⎠ i∈J
untuk setiap himpunan bagian berhingga J dari I.
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]



I

Definisi 6 (Peubah Acak)
Suatu peubah acak X adalah suatu fungsi
X :Ω → R
dengan
sifat
bahwa
{ω ∈ Ω : X (ω ) ≤ x}∈ Y, untuk setiap x ∈ R .
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]
Peubah acak dinotasikan dengan huruf
kapital seperti X, Y, Z. Sedangkan nilai peubah acak
dinotasikan dengan huruf kecil seperti x, y, z. Setiap
peubah acak mempunyai fungsi sebaran.
Definisi 7 (Fungsi Sebaran)
Fungsi sebaran dari suatu peubah acak X adalah
suatu fungsi F : R → [0,1] yang didefinisikan oleh
F X (x ) = P ( X ≤ x ) .
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]
Definisi 8 (Peubah Acak Diskret)
Peubah acak X dikatakan diskret jika nilainya hanya
pada himpunan bagian tercacah {x1 , x 2 , x 3 ,...} dari
R.
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]
Suatu himpunan bilangan C disebut tercacah
jika terdiri dari bilangan terhingga atau anggota C
dapat dikorespondesikan 1-1 dengan bilangan bulat
positif.
Definisi 9 (Fungsi Kerapatan Peluang)
Fungsi kerapatan peluang dari peubah acak diskret
X adalah fungsi f : R → [0,1] yang diberikan oleh :
p

(x ) = P ( X = x ) .
X

[Grimmett dan Stirzaker, 1992]
Definisi 10 (Peubah Acak Kontinu)
Suatu peubah acak X disebut kontinu jika fungsi
sebarannya dapat dinyatakan sebagai

F X (x ) =

x

∫f

-∞

X

(u ) du

, x∈R

dengan
f : R → [0, ∞ ) adalah
fungsi
yang
terintegralkan. Fungsi f disebut fungsi kerapatan
peluang dari peubah acak X.
[Grimmett dan Stirzaker, 1992]
Definisi 11 (Peubah Acak Bebas-Mutual dan
Identik)
Misalkan X 1 , X 2 , ..., X n adalah n peubah acak
dengan fungsi kerapatan peluang bersama
f (x1 , x2 , ..., xn ) dan fungsi kerapatan peluang
marjinal f 1 (x1 ) , f 2 (x2 ) , ..., f n (xn ) . Peubah acak
X 1 , X 2 , ..., X n dikatakan bebas-mutual dan identik
jika dan hanya jika untuk setiap k peubah acak
dengan 2 ≤ k ≤ n dipenuhi
f xi1 , xi 2 , ..., xik = f1 xi1 f 2 xi 2 ... f k xik

(

)

( ) ( ) ( )

dan
f1 (x ) = f 2 (x ) = ... = f k (x )
dimana i1 , i2 , ..., ik adalah sebarang nilai dari 1,...,n.
[Hogg dan Craig, 1995]
Definisi 12 (Sebaran Poisson)
Suatu peubah acak X dikatakan menyebar Poisson
dengan parameter λ , jika memiliki fungsi
kerapatan peluang
e -λ λ x
p(x ) =
, x = 0, 1, 2, ...
x!
dengan λ > 0 .
[Hogg dan Craig, 1995]
Definisi 13 (Sebaran Gamma)
Suatu peubah acak X dikatakan menyebar Gamma
dengan parameter α dan β , dinotasikan Gamma

(α , β ) ,

jika memiliki fungsi kerapatan peluang
f (x ) =

1

Γ(α ) β

α

x α −1 e

−x

β

, x∈R+

dengan α > 0, β > 0 , dan Γ(α ) > 0 , dimana
Γ(α ) =



∫y

α −1 − y

e

dy .

0

[Hogg dan Craig, 1995]
Definisi 14 (Sebaran Binomial Negatif)
Suatu peubah acak N dikatakan menyebar
Binomial Negatif dengan parameter r dan p,
dinotasikan BN (r, p ) , jika memliki fungsi
kerapatan peluang
⎛ r + n - 1⎞ r n
⎟⎟ p q , n = 0, 1, 2, ...
PN (n ) = P[N = n] = ⎜⎜
⎝ n ⎠
dengan r > 0 dan 0 < p < 1, dimana q = 1 – p.

[Hogg dan Craig, 1995]

waktu diskret jika
{ 0, 1, 2, ... } berlaku :

untuk

setiap

n

=

P(X n + 1 = j X n = i, X n - 1 = i n - 1 ,..., X 0 = i 0 )

= P (X n + 1 = j X n = i

Poses Stokastik dan Rantai Markov
Definisi 15 (Poses Stokastik)
Poses stokastik {X (t ), t ∈ T } adalah suatu
himpunan dari peubah acak yang memetakan suatu
ruang contoh Ω ke ruang state S.
[Ross, 1996]

Definisi 16 (Rantai Markov dengan Waktu
Diskret)
Poses stokastik {X n , n = 0, 1, 2, ...} dengan ruang
state { 0, 1, 2, ... } disebut rantai Markov dengan

)

untuk
semua
kemungkinan
i 0 , i1 ,..., i n −1 , i, j ∈ { 0, 1, 2, ...} .

nilai

dari

[Ross, 1996]
Definisi 17 (Rantai Markov Homogen)
Rantai Markov disebut homogen jika
P(X n + 1 = j X n = i ) = P(X 1 = j X 0 = i )
= p i, j

untuk semua n dan i, j ∈ {0, 1, 2, ...} .
[Ross, 1996]

PEMBAHASAN
1.

Sistem Bonus-Malus Swiss
Sistem Bonus-Malus Swiss memiliki 22 state
(kelas Pemi), dan Pemi yang harus dibayarkan oleh
setiap pemegang polis tergantung pada state mereka
berada. Tiap tahun perubahan state setiap
pemegang polis hanya ditentukan oleh state
Tabel 1. Neraca Pemi (%)
Pemi
State (x)
(bx)
State (x)

sebelumnya dan banyaknya kecelakaan yang terjadi
dalam jangka waktu tersebut. Pada Tabel 1
ditunjukkan suatu neraca Pemi dari persentase Pemi
yang dibayarkan dengan Pemi dasar pada state 9
(Dufresne 1988). Misal bx adalah persentase dari
Pemi pada state x

Pemi
(bx)

State (x)

Pemi
(bx)

State (x)

Pemi
(bx)

0

45

6

75

12

130

18

215

1

50

7

80

13

140

19

230

2

55

8

90

14

155

20

250

3

60

9

100

15

170

21

270

4

65

10

110

16

185

5

70

11

120

17

200

Dari data tersebut diketahui bahwa :
• Terdapat 22 state dari 0, 1, 2,..., 21. Kita
katakan kelas 0 sebagai kelas superbonus dan
kelas 21 sebagai kelas supermalus.
• Skala Pemi b = (b0 , b1 ,..., b21 ) , dengan asumsi
b0 ≤ b1 ≤ ... ≤ b21 .

Setiap pemegang polis yang baru masuk pada
sistem akan ditempatkan pada state 9, dengan
pembayaran Pemi dasar (100%) untuk tahun
pertamanya.

Menurut aturan untuk tahun-tahun berikutnya,
jika state sebelumnya x maka state baru adalah :
x–1
jika tidak ada kecelakaan
x + n.s
jika ada n kecelakaan
dengan kondisi bahwa state yang baru tidak boleh
kurang dari 0 atau lebih dari 21. Apabila tidak ada
kecelakaan yang dilaporkan pada jangka waktu satu
tahun maka state akan berkurang sebanyak satu dan
untuk setiap kecelakaan yang dilaporkan maka state
akan mengalami kenaikan sebanyak s. Nilai s yang

digunakan pada sistem BMS adalah 3, tetapi sejak
tahun 1990 berubah menjadi 4 (Dufresne 1995).

F (x, t + 1) = P( X t +1 ≤ x )

t = 0,1,...
x

2.

Sebaran Stasioner
Pada umumnya pencarian sebaran stasioner
dilakukan dengan menggunakan matriks peluang
transisi. Namun pada sistem BMS, penggunaan
matriks peluang transisi tidak efisien karena jumlah
state pada sistem tersebut cukup besar sehingga
untuk memudahkan penentuan sebaran stasioner
digunakan suatu formula rekursif.
Jika total langkah pada neraca Pemi untuk
tahun t + 1 dinotasikan dengan Yt +1 maka
didefinisikan :
⎧- 1
Y t +1 = ⎨
⎩s.n

jika tidak ada kecelakaan
jika ada n kecelakaan

(1)

q( y ) = P[Yt = y ] , y = - 1, s, 2 s, 3s, ...

(2)

Jika X t + 1 merupakan state pemegang polis
pada saat t + 1 dan diasumsikan bahwa state untuk
tahun berikutnya adalah unik yang ditentukan oleh
state pada tahun sebelumnya dan banyaknya
kecelakaan pada tahun tersebut, maka X t + 1
didefinisikan
⎧ X t + Yt +1

X t +1 = ⎨0
⎪21


=

jika X t + Yt +1 > 21

Karena X t + 1 hanya dipegaruhi oleh Xt maka { Xt }
merupakan suatu rantai Markov.
dapat
Fungsi
sebaran
dari
X t +1
didefinisikan sebagai berikut :

≤ x Yt +1 = y ) P(Yt +1 = y )

∑ P(X

t

+ Yt +1 ≤ x Yt +1 = y ) q( y )

t

+ y ≤ x ) q( y )

t

≤ x − y ) q( y )

y = −1
x

=

∑ P( X

y = −1
x

=

∑ P( X

y = −1

sehingga diperoleh :
x

∑ F (x - y, t ) q( y ), x = 0, 1, ..., 21

(4)

y = -1

dengan F (21, t + 1) = 1 .
Fungsi sebaran stasioner dari F(x)
dengan :

ditunjukkan

F (x ) = lim F (x, t + 1)
t →∞

x

= lim

t →∞

∑ F (x - y, t ) q( y )

y = -1

x

=

∑ q( y ) lim F (x − y, t )

y = −1

(3)

t +1

x

=

jika 0 ≤ X t + Yt +1 ≤ 21
jika X t + Yt +1 = - 1

∑ P(X

y = −1

F (x, t + 1) =

Diasumsikan Y1 , Y2 ,... menyebar bebas-mutual dan
identik dengan fungsi kerapatan peluang

, x = 0,1,2,...,21

t →∞

x

=

∑ F (x - y ) q( y ), x = 0, 1, ..., 21

(5)

y = -1

dengan F (21) = 1 . Persamaan (5) dapat diuraikan
sebagai berikut:
F (x ) = F (x + 1) q(− 1) +

x

∑ F (x - y ) q( y )
y=0

⇔ F (x + 1) q(− 1) = F (x ) −

x

∑ F (x - y ) q( y )
y=0

⇔ F (x + 1) =

x

1 ⎡
⎢ F (x ) −
F (x - y ) q( y )⎥ .
q(− 1) ⎢
⎥⎦
y=0




Rumus di atas merupakan rumus rekursif, tetapi
karena nilai F (0) tidak diketahui maka nilai F (x )
tidak dapat langsung dicari.

F (x )
dapat
Untuk mencari nilai
dibangkitkan fungsi-fungsi pembantu A(x ) , x = 0,
1, 2, … yang sebanding dengan nilai-nilai F (x )
dengan memilih sembarang A(0 ) > 0 , sehingga :
A(x + 1) =

x

1 ⎡
⎢ A(x ) − ∑ A(x - y ) q( y )⎥ .
q(− 1) ⎣⎢
y=0
⎦⎥

Rumus rekursif di atas dapat ditulis dengan
menggunakan persamaan algoritma sebagai berikut
(Dufresne 1988):
1. Tentukan A(0) = 1
2. Hitung untuk x = 0, 1, 2, ... , 21
A(x + 1) =

3.

x
⎫⎪
1 ⎧⎪
A(x - y ) q( y )⎬
⎨ A(x ) −
q(− 1) ⎪
⎪⎭
y=0


Hitung F (x ) =



(6)

A(x )
untuk x = 0, 1, 2, ..., 21
A(21)

(7)
4. Selisih dari F (x ) − F (x − 1) merupakan fungsi
kerapatan peluang f (x ) .
Jika diasumsikan untuk setiap pemegang polis
dengan frekuensi harapan banyaknya kecelakaan λ
maka peluang dia mengalami n kecelakaan
mengikuti sebaran Poisson dengan parameter λ >
0, yaitu :
e −λ λ n
P[N t = n] =
, n = 0, 1, 2...
(8)
n!
dimana Nt adalah peubah acak dari banyaknya
kecelakaan.
Jika fungsi peluang q( y ) menyebar Poisson
dengan parameter λ dan s = 3 maka :
q(− 1) = P[N t = 0] = e −λ
q(0 ) = q(1) = q(2 ) = 0
q(3) = P[N t = 1] = λ e −λ
q(4) = q(5) = 0

2 −λ
q(6 ) = P[N t = 2] = λ e

2!

(9)

...dan seterusnya.
Sedangkan jika fungsi peluang q( y ) menyebar
Poisson dengan parameter λ dan s = 4 maka :
q(− 1) = P[N t = 0] = e −λ
q(0 ) = q(1) = q (2) = q(3) = 0
q(4) = P[N t = 1] = λ e −λ
q(5) = q(6 ) = q(7 ) = 0
2 −λ
q(8) = P[N t = 3] = λ e
2!
...dan seterusnya.

(10)

Misalkan diambil 6 tingkatan resiko (Dufresne
1988), yaitu λ = 0,05i , i = 1, 2,... , 6 maka untuk
masing-masing nilai λ , penentuan sebaran
kumulatifnya dapat dilakukan dengan rumus
rekursif pada persamaan (6) dan (7).
Penghitungan tersebut dapat dilakukan
menggunakan Microsoft Excel. Penjabaran rumus
rekursif A(x ) untuk s = 3 dan s = 4 ditunjukkan
pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Hasil
penghitungan sebaran stasioner dan fungsi
kerapatan peluang untuk s = 3 dan s = 4
ditunjukkan pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
Sedangkan grafik sebarannya untuk s = 3 dan s = 4
digambarkan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui
bahwa nilai sebaran stasioner untuk s = 3 lebih
besar dari nilai sebaran stasioner untuk s = 4.
Berdasarkan Gambar 1 dan Gambar 2 dapat dilihat
bahwa kecenderungan pemegang polis berada di
state 0 semakin besar untuk nilai λ yang semakin
kecil. Hal ini sesuai dengan asumsi yang digunakan
bahwa λ adalah frekuensi harapan dari banyaknya
kecelakaan, sehingga semakin sedikit banyaknya
kecelakaan yang dilaporkan maka pemegang polis
akan semakin mendekati state 0.

1.20

1.00

F(x)

0.80
λ = 0.05
λ = 0.10
λ = 0.15
λ = 0.20
λ = 0.25
λ=0.30

0.60

0.40

0.20

0.00
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

State (x)

Gambar 1. Grafik Sebaran Stasioner Sistem BMS dengan s = 3
1.20

1.00

F(x)

0.80
λ = 0.05
λ = 0.10
λ = 0.15
λ = 0.20
λ = 0.25
λ=0.30

0.60

0.40

0.20

0.00
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

State (x)

Gambar 2. Grafik Sebaran Stasioner Sistem BMS dengan s = 4

3.

Model Portfolio
Sedangkan untuk pemegang polis yang diambil
acak dari suatu porfolio asuransi mobil, parameter
Poisson tidak diketahui dan merupakan nilai dari
peubah acak A. Diasumsikan A menyebar Gamma
dengan parameter α dan β dan fungsi sebaran
bersyarat dari Nt jika diberikan A = λ merupakan
sebaran Poisson dengan parameter λ , maka
sebaran Nt adalah sebaran Binomial negatif .
Teorema 1
Jika sebaran bersyarat

Bukti :
P(N ) =

A = λ)

∫ P(N ∩ A) dλ

=

0


∫ P(N

A = λ ) P(A = λ ) dλ

0

menyebar

Poisson dengan parameter λ serta A menyebar
Gamma (α , β ) , maka N menyebar Binomial

1 ⎞
⎟⎟ .
negatif dengan parameter ⎜⎜ α ,
⎝ β +1 ⎠

∫ P(N , A) dλ
0


=

(N





=


0

−λ

e −λ λ n λα −1 e β

n!
Γ(α ) β α

21



=


0

=


1⎞
− λ ⎜⎜ 1 + ⎟⎟
β⎠

e

=

λ n +α −1

n! Γ(α ) β α

1

n! Γ(α ) β

α

∞ − λ ⎛⎜ 1 + 1 ⎞⎟


e ⎝ β⎠



⎛ n + α − 1⎞ ⎛ β + 1 ⎞
⎟⎟ ⎜⎜
⎟⎟
= ⎜⎜
⎝ α −1 ⎠ ⎝ β ⎠

λ n +α −1 dλ .


1⎞
t
t = λ ⎜⎜1 + ⎟⎟ ⇔ λ =

1⎞
⎝ β⎠
⎜⎜1 + ⎟⎟
β



1⎞
dt = ⎜⎜1 + ⎟⎟ dλ .
β



=

=



n! Γ(α ) β

∫e

−t

0







t


⎜ ⎛⎜1 + 1 ⎞⎟ ⎟
⎜⎜ β ⎟⎟
⎠⎠
⎝⎝



1

n! Γ(α ) β α



e −t

0

n! Γ(α ) β α



e −t

0

− (n +α )


1⎞
⎜⎜1 + ⎟⎟
β


=
n! Γ(α ) β α


1⎞
⎜⎜1 + ⎟⎟
⎝ β⎠

− (n + α )

⎛ 1⎞
⎜⎜1 + ⎟⎟
β⎠
= ⎝
n!Γ(α ) β α


1⎞
⎜⎜1 + ⎟⎟
⎝ β⎠


1⎞
⎜⎜1 + ⎟⎟
⎝ β⎠
1

n +α

dt


1⎞
⎜⎜1 + ⎟⎟
β



dt

Sebaran Binomial negatif dengan parameter

1 ⎞
⎟⎟ memiliki nilai harapan dan ragam
⎜⎜ α ,
⎝ β +1 ⎠
sebagai berikut :
E[N t ] = αβ
dan

(11)

Var[N t ] = αβ + αβ 2 .

(12)

Fungsi sebaran stasioner dan transien jika
diberikan
A = λ dinotasikan F (λ ) (x ) dan
F λ (x, t ) sehingga :




−t

t n +α −1 dt

0

Γ(n + α )

− (n + α )

=

α

F (x ) = F (λ ) (x ) dU (λ )

⎛ β +1⎞

⎜⎜
Γ(n + α )
β ⎟⎠

=
n!Γ(α ) β α
=

dt

n +α −1

t n +α −1



∫e

n +α −1

t n +α −1



1

α

ƒ terbukti

Sehingga :

α

⎛ 1 ⎞
⎟⎟
⎜⎜
⎝ β +1⎠

n

Misalkan :

P(N ) =

−n

⎛ n + α − 1⎞ ⎛ β ⎞ ⎛ 1 ⎞
⎟⎟ ⎜⎜
⎟⎟
⎟⎟ ⎜⎜
= ⎜⎜
⎝ α −1 ⎠ ⎝ β +1 ⎠ ⎝ β + 1 ⎠
⎛ n + α − 1⎞ α
⎟⎟ p (1 − p )n
= ⎜⎜
α

1


dimana :
⎛ β ⎞
⎛ 1 ⎞
⎟⎟ .
⎟⎟ dan q = 1 - p = ⎜⎜
p = ⎜⎜
⎝ β +1⎠
⎝ β +1⎠

0

1

(n + α − 1)! (β + 1)− n (β + 1)−α
n! (α − 1)!
β −n

(β + 1)−(n +α ) Γ(n + α )
β −(n +α ) β α n! Γ(α )
Γ(n + α ) (β + 1)−(n +α )
n! Γ(α )
β −n

(13)

0

dan


F (x, t ) = F (λ ) (x, t ) dU (λ )



(14)

0

dimana U (x ; α , β ) merupakan sebaran Gamma.
Jika fungsi peluang q( y ) menyebar Binomial

1 ⎞
⎟⎟ dan s = 3
Negatif dengan parameter ⎜⎜ α ,
⎝ β +1⎠
maka :
⎛ 1 ⎞
⎟⎟
q(− 1) = P[N t = 0] = ⎜⎜
⎝ β +1⎠
q(0 ) = q(1) = q(2 ) = 0
q(3) = P[N t = 1] =

α

α! ⎛ 1 ⎞


(α − 1)! ⎜⎝ β + 1 ⎟⎠

α

⎛ β ⎞
⎟⎟
⎜⎜
⎝ β +1⎠

q(4) = q(5) = 0
...dan seterusnya.
Sedangkan jika fungsi peluang q( y ) menyebar

binomial Negatif dengan parameter

Penghitungan sebaran stasioner F (x ) untuk
model portfolio dapat dilakukan juga dengan
menggunakan rumus rekursif pada persamaan (6)
dan (7) dengan asumsi bahwa q( y ) menyebar


1 ⎞

⎜⎜ α ,
β
+1 ⎟⎠



1 ⎞
⎟.
Binomial Negatif dengan parameter ⎜⎜ α ,
β
+ 1 ⎟⎠


dan s = 4 maka :
⎛ 1 ⎞
⎟⎟
q(− 1) = P[N t = 0] = ⎜⎜
⎝ β +1⎠
q(0 ) = q(1) = q (2) = q(3) = 0
q(4) = P[N t = 1] =

α

α! ⎛ 1 ⎞


(α − 1)! ⎜⎝ β + 1 ⎟⎠

α

q(5) = q(6 ) = q(7 ) = 0
...dan seterusnya.

Hasil penghitungan sebaran stasioner dan fungsi
kerapatan peluang untuk s = 3 dan s = 4
ditunjukkan pada Lampiran 5. Sedangkan grafik
sebarannya untuk s = 3 dan s = 4 diberikan pada
Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat juga bahwa
nilai sebaran stasioner untuk s = 3 lebih besar dari
nilai sebaran stasioner untuk s = 4.

⎛ β ⎞
⎟⎟
⎜⎜
⎝ β +1⎠

1.20

1.00

F(x)

0.80

s=3
s=4

0.60

0.40

0.20

0.00
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

State (x)

Gambar 3. Grafik Sebaran Stasioner Model Porfolio

4.

Efisiensi asimtotik
Efisiensi asimtotik merupakan salah satu ukuran
efisiensi dari sistem BMS. Ukuran efisiensi ini
dihitung berdasarkan rataan frekuensi kecelakaan
dan rataan premi jangka panjang.
Dalam waktu jangka panjang setiap pemegang
polis dapat membayar rata-rata dari Poporsi Pemi
untuk setiap rataan frekuensi. Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa kecelakaan tidak dapat diambil
dari suatu laporan dan diasumsikan bahwa setiap
rataan Pemi tidak sama untuk setiap asuransi.
Rataan Pemi jangka panjang merupakan fungsi
Poisson yang dinotasikan b(λ ) , yang ditunjukkan
dengan

b(λ ) =

21

∑ f (λ ) (x ) b

x

(16)

x=0

sehingga rataan Pemi jangka panjang seharusnya
Poporsional dengan frekuensi. Dengan kata lain,
db(λ )
seharusnya sama dengan dλ sehingga
λ
b(λ )
nilai efisiensi asimtotik dapat didefinisikan
(Dufresne 1995) :

λ db(λ )
b(λ ) dλ
λ
=
b' (λ ) .
b(λ )

η (λ ) =

(17)

Dengan menggunakan pendekatan turunan maka
dapat dituliskan :

η (λ ) ≈

b(λ + h ) − b(λ ) ⎞
λ ⎛
⎟.
⎜ lim
b(λ ) ⎝ h → 0
h


Misalkan diambil suatu nilai h yang sangat kecil
(h = 0,01) maka:

η (λ ) ≈

dengan λ > 0.
Gambar 3 menunjukkan bahwa efisiensi
asimtotik dengan nilai λ yang berbeda-beda
( λ = 0,05i , i = 1, 2,... , 20 ) untuk s =3 dan s = 4.
Dari Gambar 3 dapat disimpulkan bahwa apabila s
meningkat maka maksimal efisiensi (untuk s yang
diberikan) akan menurun.

λ ⎛ b(λ + 0,01) − b(λ ) ⎞
⎟⎟

b(λ ) ⎜⎝
0,01

2.0

1.8

1.6

Efisiensi Asimtotik

1.4

1.2

s=3
s=4

1.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0
0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

Lambda

Gambar 4. Grafik Efisiensi Asimtotik dari Sistem BMS

SIMPULAN
Sistem Bonus-Malus Swiss (BMS) memiliki 22
state yang memiliki sifat Markov. Karena sebaran
stasioner pada sistem ini sangat sulit diperoleh
secara analitik, maka digunakan suatu metode
rekursif. Sebaran stasioner tersebut diberikan oleh :
A(x )
F (x ) =
, x = 0, 1, 2, ..., 21,
A(21)
dengan
x
⎫⎪
1 ⎧⎪
A(x + 1) =
A(x - y ) q( y )⎬ .
⎨ A(x ) −
q(− 1) ⎪
⎪⎭
y=0

Fungsi A(x ) adalah fungsi pembantu dengan
sebarang nilai A(0 ) > 0 .
Sebaran stasioner diperoleh berdasarkan 2
asumsi, yaitu :



a) Banyaknya kecelakaan (n) ~ Poisson ( λ )
dengan λ = 0,05i , i = 0, 1 , 2 , ..., 6.
b) Banyaknya kecelakaan ~ Binomial Negatif.
Untuk kejadian dengan banyaknya kecelakaan
yang menyebar Poisson ( λ ) dengan λ = 0,05i , i =
0, 1 , 2 , ..., 6, diperoleh hasil bahwa untuk state

tertentu (x), makin besar λ maka F λ (x ) makin
kecil. Nilai sebaran stasioner ini juga akan semakin
kecil jika penalti yang diberikan semakin ketat yang
dicerminkan oleh step (s) yang semakin besar.
Sedangkan untuk kejadian dengan banyaknya
kecelakaan yang menyebar Binomial Negatif,
diperoleh hasil bahwa untuk state tertentu (x) nilai
sebaran stasioner juga akan semakin kecil jika step
(s) semakin besar.

Diperoleh juga hasil bahwa nilai dari maksimal
efisiensi asimtotik akan semakin besar jika step (s)
semakin kecil.
Berdasarkan penghitungan sebaran stasioner
dan nilai dari maksimal efisiensi asimtotik, dapat

disimpulkan bahwa sistem BMS yang lama (s = 3)
lebih baik dibanding dengan sistem BMS yang baru
(s = 4).

DAFTAR PUSTAKA
Dufresne, F. 1988. Distributions Stationnaires d’un
Systeme Bonus-Malus et Pobabilite de Ruine.
ASTIN Bulletin, 18:31-46.

Hogg, R. V. dan A. T. Craig. 1995. Introduction to
Mathematic Statistics. Ed. Ke-5. Pentice Hall.
Englewood Cliffs. New Jersey.

Dufresne, F. 1995. The Efficiency of The Swiss
Bonus-Malus System. Bulletin of The Swiss
Association of Actuaries. 1:29-42.

Ross, S. M. 1996. Stochastic Pocesses. Ed. Ke-2.
John Willey & Sons. New York.

Grimmett, G. R. dan D. R. Stirzaker. 1992.
Pobability and Random Pocesses. Ed. Ke-2.
Clarendon Pess. Oxpord.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Penjabaran Rumus Rekursif untuk menghitung A( x + 1) jika s = 3

Diket : A(0) = 1 .
Jika x = 0 maka :
0

1 ⎡
A(1) =
⎢ A(0) − ∑ A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎣⎢
y =0
⎦⎥

1.
2.

=

1
[A(0) − ( A(0). q(0))] = e λ [1] = e λ .
q(− 1)

3. Jika x = 1 maka :
1

1 ⎡
A(2 ) =
⎢ A(1) − ∑ A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎣⎢
y =0
⎦⎥
=

[ ]

1
[A(1) − ( A(1). q(0) + A(0). q(1))] = e λ e λ = e 2λ .
q(− 1)

4. Jika x = 2 maka :
2

1 ⎡
⎢ A(2 ) −
A(3) =
A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢
⎥⎦
y =0

1
=
[A(2) − ( A(2). q(0) + A(1). q(1) + A(0). q(2))] = e λ e 2λ = e 3λ .
q(− 1)



[ ]

5. Jika x = 3 maka :
3

1 ⎡
⎢ A(3) −
A(4 ) =
A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢

y =0


1
[A(3) − ( A(3). q(0) + A(2). q(1) + A(1). q(2) + A(0). q(3))]
=
q(− 1)



[

)]

(

[

]

= e λ e 3λ − 1. λe −λ = e λ e 3λ − λe − λ = e 4λ − λ.

6. Jika x = 4 maka :
4

1 ⎡
⎢ A(4) −
A(5) =
A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢

y =0


1
[A(4) − ( A(4). q(0) + A(3). q(1) + A(2). q(2) + A(1). q(3) + A(0). q(4))]
=
q(− 1)



[(

) ((

= e λ e 4 λ − λ − e λ . λe − λ

))] = e λ [e λ − 2λ ] = e λ − 2λ e λ .
4

5

7. Jika x = 5 maka :

5
1 ⎡
A(6) =
⎢ A(5) − ∑ A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢⎣
y =0
⎥⎦
⎛ A(5). q(0 ) + A(4 ). q(1) + A(3). q(2 ) + A(2). q(3)⎞⎤
1 ⎡
⎟⎟⎥
=
⎢ A(5) − ⎜⎜
q(− 1) ⎣⎢
⎠⎦⎥
⎝ + A(1). q(4) + A(0). q(5)
5
2
5
λ
λ
λ
λ
λ
λ
λ
λ

= e e − 2λ e − e . λ e
= e e − 3λe

[(

= e6λ − 3λe 2λ .

)(

)] [(

)]

8. Jika x = 6 maka ;
6

1 ⎡
⎢ A(6) −
A(7 ) =
A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢
⎥⎦
y =0

⎛ A(6 ). q(0 ) + A(5). q(1) + A(4 ). q(2 ) + A(3). q(3) + A(2). q(4 )⎞⎤
1 ⎡
⎟⎟⎥
=
⎢ A(6 ) − ⎜⎜
q(− 1) ⎢⎣
⎠⎥⎦
⎝ + A(1). q(5) + A(0 ). q(6 )



2


⎡⎛
⎛ λ 2 − λ ⎞ ⎞⎤
⎞⎤
⎟ ⎟⎥ = e λ ⎢⎜ e 6λ − 4λe 2λ − λ e −λ ⎟⎥
= e λ ⎢ e 6λ − 3λe 2λ − ⎜ e 3λ . λe − λ + ⎜1.
e



⎟⎥


2!
⎢⎣
⎝ 2!
⎠ ⎠⎥⎦
⎠⎦

⎣⎢⎝

(

) (

= e 7 λ − 4λe 3λ −

λ2
2!

)

.

9. Jika x = 7 maka :
7

1 ⎡
A(8) =
⎢ A(7 ) − ∑ A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎣⎢
y =0
⎦⎥
=

⎛ A(7 ) . q(0 ) + A(6 ). q(1) + A(5). q(2) + A(4 ). q(3) + A(3). q(4)⎞⎤
1 ⎡
⎟⎟⎥
⎢ A(7 ) − ⎜⎜
q(− 1) ⎢⎣
⎠⎥⎦
⎝ + A(2). q(5) + A(1). q(6 ) + A(0). q(7 )

⎡⎛

λ 2 ⎞⎟ ⎛⎜ 4λ
λ 2 −λ ⎞⎟ ⎞⎟⎤

= e λ ⎢⎜ e 7 λ − 4λe 3λ −
− e − λ λe − λ + ⎜ e λ .
e

⎟ ⎟⎥
2! ⎟⎠ ⎜⎝
2!
⎢⎣⎜⎝

⎠ ⎠⎦

((

)

)

⎡⎛
λ 2 ⎞⎟ ⎛⎜ 3λ
λ 2 ⎞⎟⎤
− λe − λ 2 e − λ +
= e λ ⎢⎜ e 7 λ − 4λe 3λ −

2! ⎟⎠ ⎜⎝
2! ⎟⎠⎥⎦
⎢⎣⎜⎝

(

)



⎛ λ2 ⎞
= e λ ⎢e 7 λ − 5λe 3λ − 2⎜⎜ ⎟⎟ + λ 2 e −λ ⎥
⎥⎦
⎢⎣
⎝ 2! ⎠
⎛ λ2 ⎞
= e 8λ − 5λe 4λ − 2⎜ ⎟e λ + λ 2 .
⎜ 2! ⎟
⎝ ⎠

10. Jika x = 8 maka :
8

1 ⎡
⎢ A(8) −
A(9) =
A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢
⎥⎦
y =0

⎛ A(8) . q(0) + A(7 ) . q (1) + A(6) . q(2) + A(5) . q(3) + A(4) . q(4 )⎞⎤
1 ⎡
⎟⎟⎥
=
⎢ A(8) − ⎜⎜
q(− 1) ⎣⎢
⎠⎦⎥
⎝ + A(3). q(5) + A(2 ). q(6 ) + A(1). q (7 ) + A(0 ). q (8)



⎡⎛
⎛ λ2
= e λ ⎢⎜ e 8λ − 5λe 4λ − 2⎜⎜
⎢⎣⎜⎝
⎝ 2!

2
⎞ ⎛
⎞ λ
⎞ ⎞⎤

⎟e + λ 2 ⎟ − ⎜ e 5λ − 2λe λ λe −λ + ⎜ e 2λ . λ e −λ ⎟ ⎟⎥

⎟ ⎟⎥

⎟ ⎜
2!

⎠ ⎠⎦

⎠ ⎝

((

)

)

⎡⎛
⎞ ⎛
⎛ λ2 ⎞
λ 2 −λ ⎞⎟⎤

e
= e λ ⎢⎜ e 8λ − 5λe 4λ − 2⎜ ⎟e λ + λ 2 ⎟ − ⎜ λe 4λ − 2λ 2 +
⎜ 2! ⎟
⎟⎥
⎟ ⎜
2!
⎢⎣⎜⎝
⎠⎦
⎝ ⎠
⎠ ⎝

(



⎛ λ2 ⎞
= e λ ⎢e 8λ − 6λe 4λ − 3⎜ ⎟e λ + 3λ 2 ⎥
⎜ 2! ⎟
⎥⎦
⎢⎣
⎝ ⎠
⎛ λ2 ⎞
= e 9λ − 6λe 5λ − 3⎜ ⎟e 2λ + 3λ 2 e λ .
⎜ 2! ⎟
⎝ ⎠

)

11. Jika x = 9 maka :
9

1 ⎡
⎢ A(9 ) −
A(10) =
A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢

y =0


⎛ A(9) . q(0) + A(8) . q(1) + A(7 ). q(2 ) + A(6 ). q(3) + A(5). q(4) ⎞⎤
1 ⎡
⎟⎟⎥
=
⎢ A(9) − ⎜⎜
q(− 1) ⎢⎣
⎝ + A(4) . q(5) + A(3). q(6 ) + A(2). q(7 ) + A(1). q(8) + A(0). q (9 )⎠⎥⎦



2

⎛ 6λ
⎞ ⎞⎤

⎜ e − 3λe 2λ λe − λ + ⎜ e 3λ . λ e −λ ⎟ ⎟⎥

⎟ ⎟⎥

2!
⎞ ⎜
⎢⎛
⎛ λ2 ⎞

⎠⎟
= e λ ⎢⎜ e 9λ − 6λe 5λ − 3⎜ ⎟e 2λ + 3λ 2 e λ ⎟ − ⎜

⎜ 2! ⎟


3
⎟⎥
⎢⎝
⎝ ⎠
⎠ ⎜ + ⎛⎜1. λ e − λ ⎞⎟
⎟⎥
⎜ ⎜





⎠⎦⎥
⎝ ⎝ 3!
⎣⎢

((

)

)

⎡⎛
⎞ ⎛
⎛ λ2 ⎞
λ 2 2λ λ3 −λ ⎞⎟⎤

= e λ ⎢⎜ e 9λ − 6λe 5λ − 3⎜ ⎟e 2λ + 3λ 2 e λ ⎟ − ⎜ λe 5λ − 3λ 2 e λ +
e +
e
⎜ 2! ⎟
⎟⎥
⎟ ⎜
2!
3!
⎢⎣⎜⎝
⎝ ⎠
⎠⎦
⎠ ⎝

(

)


⎛ λ2 ⎞
λ3 − λ ⎤
= e λ ⎢e 9λ − 7λe 5λ − 4⎜ ⎟e 2λ + 6λ 2 e λ −
e ⎥
⎜ 2! ⎟
3!
⎥⎦
⎢⎣
⎝ ⎠
⎛ λ2 ⎞
λ3
.
= e10λ − 7λe 6λ − 4⎜ ⎟e 3λ + 6λ 2 e 2λ −
⎜ 2! ⎟
3!
⎝ ⎠

12. Jika x = 10 maka :
10

1 ⎡
A(11) =
⎢ A(10) − ∑ A(x − y ) . q( y )⎥
q(− 1) ⎢⎣
y =0
⎥⎦

⎛ A(10) . q(0) + A(9) . q(1) + A(8) . q(2) + A(7 ) . q(3) + A(6) . q(4) ⎞⎤

⎟⎥
1 ⎢
(
)
A
10
=

⎜ + A(5) . q(5) + A(4). q(6) + A(3) . q (7 ) + A(2) . q(8) + A(1) . q(9)⎟⎥

q(− 1)
⎟⎥
⎜ + A(0) . q(10)


⎠⎦


⎛⎛⎛
⎞⎤
2⎞

⎜ ⎜ ⎜ 7λ
⎟⎥
3λ − λ ⎟ λe −λ ⎟

e
e
λ
4

⎜⎜⎜
⎟⎥


⎢⎛
3
2
!

⎛ λ2 ⎞
λ ⎟ ⎜⎝⎝

⎟⎥

λ
λ
λ
λ
λ
3
2
2
10
6




e
e + 6λ e
−⎜

=e
− 7λ e
−4
⎟⎥

⎜ 2! ⎟
⎢⎜
3!


λ 2 −λ ⎞⎟ ⎛⎜ λ λ3 −λ ⎞⎟ ⎟⎥
⎠ ⎜ ⎛⎜ 4λ
⎢⎝
e
e
+ e .
+ e
−λ

⎟ ⎟⎟⎥
⎟ ⎜
⎜⎜ ⎜
3!
2!
⎠ ⎠⎦
⎠ ⎝
⎝ ⎝

⎡⎛

3⎞
⎛ 2⎞
⎢⎜ e10λ − 7λe 6λ − 4⎜ λ ⎟e 3λ + 6λ 2 e 2λ − λ ⎟

⎜ 2! ⎟
⎢⎜

3! ⎟





= eλ ⎢

⎢ ⎛⎛
3
3
3
2


⎢− ⎜ ⎜ λe 6λ − 4λ 2 e 2λ − λ e −λ ⎟ + λ e 3λ − λ e −λ + λ ⎟⎥
⎢ ⎜⎜
⎟ 2!
2!
3! ⎟⎥
2!

⎠⎦
⎣ ⎝⎝


⎛ 3⎞ ⎛ 3⎞
⎛ λ2 ⎞
⎟e 3λ + 10λ 2 e 2λ − 2⎜ λ ⎟ + 2⎜ λ ⎟e −λ ⎥
= e λ ⎢e10λ − 8λe 6λ − 5⎜
⎜ 3! ⎟ ⎜ 2! ⎟
⎜ 2! ⎟



⎠ ⎝





⎛ 3⎞
⎛ 3⎞
⎛ λ2 ⎞
⎟e 4λ + 10λ 2 e 3λ − 2⎜ λ ⎟e λ + 2⎜ λ ⎟.
= e11λ − 8λe 7λ − 5⎜
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟







(

)

13. Jika x = 11 maka :
11

1 ⎡
A(12) =
⎢ A(11) − ∑ A( x − y ) . q( y )⎥
q(− 1) ⎣⎢
y =0
⎦⎥


⎛ A(11) . q(0) + A(10) . q(1) + A(9) . q(2) + A(8) . q(3) + A(7 ) . q(4) ⎞⎤

⎟⎥
1 ⎢
=
A(11) − ⎜ + A(6) . q(5) + A(5) . q(6) + A(4) . q(7 ) + A(3) . q(8) + A(2) . q(9)⎟⎥

q(− 1)
⎜ + A(1) . q(10) + A(0). q(11)
⎟⎥


⎠⎦

⎡⎛
⎛ 3 ⎞ ⎞⎤
⎛ 3⎞
⎛ 2⎞
⎢⎜ e11λ − 8λ e 7λ − 5⎜ λ ⎟e 4λ + 10λ 2 e 3λ − 2⎜ λ ⎟e λ + 2⎜ λ ⎟ ⎟⎥
⎜ 2! ⎟ ⎟⎥
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
⎢⎜
⎠ ⎠⎥





⎢⎝

⎢ ⎛⎛⎛
⎞ ⎞

⎛ λ2 ⎞ λ


⎟e + λ 2 ⎟ λe −λ ⎟ ⎟
= e λ ⎢⎢ ⎜ ⎜ ⎜ e 8λ − 5λ e 4λ − 2⎜

⎜⎜ ⎜
⎟⎟ ⎟

⎜ 2! ⎟



⎢ ⎜⎝⎝

⎠ ⎟



⎢ ⎜

⎢ ⎜ ⎛⎜ 5λ
λ 2 −λ ⎞⎟ ⎛⎜ 2λ λ3 −λ ⎞⎟ ⎟
λ
+ e .
e
e

⎢ ⎜ + ⎜ e − 2λ e
⎟ ⎜
⎟ ⎟⎟

2
!
3
!
⎥⎦
⎢⎣ ⎝ ⎝
⎠ ⎝
⎠⎠
⎡⎛
⎛ 2⎞
⎛ 3⎞
⎛ 3 ⎞ ⎞⎤
⎢⎜ e11λ − 8λe 7λ − 5⎜ λ ⎟e 4λ + 10λ 2 e 3λ − 2⎜ λ ⎟e λ + 2⎜ λ ⎟ ⎟⎥
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟ ⎟⎥
⎢⎜





⎠ ⎠⎥
⎢⎝

⎢ ⎛⎛
⎞⎞
⎛ λ3 ⎞
λ




λ
λ
λ
3
7
2
3





=e
+λ e
− 5λ e − 2

⎢ ⎜ ⎜ λe
⎟⎟
⎜ 2! ⎟


⎠⎟

⎢− ⎜ ⎝


⎢ ⎜
3
3
2


⎢ ⎜ λ 4λ 2⎛⎜ λ ⎞⎟ λ λ

+
e
⎟⎟

⎢ ⎜⎜ + 2! e
⎜ 2! ⎟ 3!



⎦⎥
⎣⎢ ⎝

(

)



⎛ λ 2 ⎞ 4λ
⎛ λ3 ⎞ λ
⎛ 3⎞
⎟e
⎟e + 6⎜ λ ⎟ − λ3 e −λ ⎥
= e λ ⎢e11λ − 9λe 7λ − 6⎜
+ 15λ 2 e 3λ − 3⎜
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟










⎛ 3⎞
⎛ 3⎞
⎛ λ2 ⎞
⎟e 5λ + 15λ 2 e 4λ − 3⎜ λ ⎟e 2λ + 6⎜ λ ⎟e λ − λ3 .
= e12λ − 9λe 8λ − 6⎜
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟







14. Jika x = 12 maka :
A(13) =


12
1 ⎡
⎢ A(12 ) − ∑ A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢⎣
y =0
⎥⎦


⎛ A(12). q(0 ) + A(11). q(1) + A(10 ). q(2 ) + A(9 ). q(3) + A(8). q(4 )⎞⎤

⎟⎥
1 ⎢

A(12 ) ⎜ + A(7 ). q(5) + A(6 ). q(6 ) + A(5). q(7 ) + A(4). q(8) + A(3). q(9 ) ⎟⎥
q(− 1) ⎢⎢
⎟⎥
⎜ + A(2). q(10 ) + A(1). q(11) + A(0 ). q(12)

⎠⎦


⎡⎛
2
3
3

⎛ ⎞
⎛ ⎞
⎛ ⎞
⎢⎜ e12λ − 9λe8λ − 6⎜ λ ⎟e5λ + 15λ2e4λ − 3⎜ λ ⎟e2λ + 6⎜ λ ⎟eλ − λ3 ⎟⎥
⎟⎥
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
⎢⎜
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎠⎥
⎢⎝

⎢ ⎛⎛⎛



⎛ λ2 ⎞



= eλ ⎢⎢ ⎜ ⎜ ⎜ e9λ − 6λe5λ − 3⎜ ⎟e 2λ + 3λ2eλ ⎟ λe −λ ⎟


⎜⎜ ⎜
⎟⎟

⎜ 2! ⎟

⎝ ⎠

⎢ ⎜⎝⎝




⎢− ⎜
2
3

⎞ ⎛ 4
⎞ ⎛

⎢ ⎜ ⎛⎜ 6λ
2λ λ e−λ ⎟ + ⎜ e3λ . λ e −λ ⎟ + ⎜1. λ e −λ ⎟ ⎟
+

3
e
e
λ

⎢ ⎜ ⎜
⎟ ⎟⎟
⎟ ⎜ 4!
⎟ ⎜

2
!
3
!
⎥⎦
⎢⎣ ⎝ ⎝
⎠⎠
⎠ ⎝
⎠ ⎝
=

(

)

⎡⎛
⎞⎤
⎛ 2⎞
⎛ 3⎞
⎛ 3⎞
⎢⎜ e12λ − 9λe8λ − 6⎜ λ ⎟e5λ + 15λ2e 4λ − 3⎜ λ ⎟e 2λ + 6⎜ λ ⎟eλ − λ3 ⎟⎥
⎟⎥
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
⎢⎜
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎠⎥
⎢⎝

⎢ ⎛⎛


⎛ λ3 ⎞


= eλ ⎢ ⎜ ⎜ λe8λ − 6λ2e 4λ − 3⎜ ⎟eλ + 3λ3 ⎟


⎢ ⎜⎜

⎜ 2! ⎟
⎝ ⎠



⎢− ⎜ ⎝


⎢ ⎜
2
3
4
⎛ λ3 ⎞

⎢ ⎜ λ 5λ
⎜ ⎟ e λ + λ e 2λ + λ e − λ ⎟
+

3
e
⎟⎟

⎢ ⎜⎜ 2!
⎜ 2! ⎟
3
!
4
!
⎝ ⎠

⎦⎥
⎣⎢ ⎝


⎛ λ2 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ4 ⎞
= eλ ⎢e12λ − 10λe8λ − 7⎜ ⎟e5λ + 21λ2e3λ − 4⎜ ⎟e2λ + 12⎜ ⎟eλ − 4λ3 − ⎜ ⎟e−λ ⎥
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
⎜ 4! ⎟


⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠


⎛ λ2 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ4 ⎞
= e13λ − 10λe9λ − 7⎜ ⎟e6λ + 21λ2e5λ − 4⎜ ⎟e3λ + 12⎜ ⎟e2λ − 4λ3eλ − ⎜ ⎟.
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
⎜ 4! ⎟
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠

15. Jika x = 13 maka :
1 ⎡
⎢ A(13) −
A(14) =
q (− 1) ⎢



A(x − y ). q( y )⎥
⎥⎦
y =0
13




⎛ A(13). q(0) + A(12). q (1) + A(11). q(2) + A(10). q(3) + A(9). q (4)⎞⎤

⎟⎥
1 ⎢
A(13) − ⎜ + A(8). q (5) + A(7 ). q(6) + A(6). q (7 ) + A(5). q(8) + A(4). q (9) ⎟⎥
=

q(− 1)
⎜ + A(3). q (10) + A(2). q(11) + A(1). q (12) + A(0). q(13)
⎟⎥


⎠⎦

⎡⎛
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ2 ⎞
λ4 ⎞⎤
⎢⎜ e13λ − 10λe 9λ − 7⎜ ⎟e 6λ + 21λ2 e 5λ − 4⎜ ⎟e 3λ + 12⎜ ⎟e 2λ − 4λ3e λ − ⎟⎥
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
⎜ 2! ⎟
4! ⎟⎠⎥
⎢⎜⎝
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠


2 ⎞
3 ⎞

⎢ ⎛⎛⎛



λ
λ


= e λ ⎢ ⎜ ⎜ ⎜ e10λ − 7λe 6λ − 4⎜⎜ ⎟⎟e 3λ + 6λ2 e 2λ − ⎟ λe −λ ⎟






2! ⎠
3! ⎠
⎢ ⎝⎝




⎢− ⎜


2 ⎞ 2
3
⎢ ⎜ ⎛ ⎛ 7λ

⎞ ⎛ 4λ
⎞ ⎛ λ λ4 − λ ⎞ ⎟
λ
λ
λ
3
λ
λ
λ





e ⎟ + ⎜e . e ⎟
+ ⎜⎜ e − λ
⎢ + ⎜⎜ e − 4λe − ⎟⎟ e






2! ⎠ 2!
3!
4!
⎢⎣ ⎜⎝ ⎜⎝ ⎝
⎥⎦
⎠⎠
⎠ ⎝
⎠ ⎝

(

)

⎡⎛
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ2 ⎞
λ4 ⎞⎤
⎢⎜ e13λ − 10λe 9λ − 7⎜ ⎟e 6λ + 21λ2 e 5λ − 4⎜ ⎟e 3λ + 12⎜ ⎟e 2λ − 4λ3e λ − ⎟⎥
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
4! ⎟⎠⎥
⎢⎜⎝
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠


4




⎛ λ3 ⎞ 2λ
λ
λ ⎢ ⎜⎛
λ
λ
λ
λ
9
2
5
3


= e ⎢ ⎜ λe − 7λ e − 4⎜ ⎟e + 6λ e − e ⎟

⎜ 2! ⎟


3!
⎢ ⎜ ⎜⎝

⎝ ⎠



⎢−

2
3
4
3
4
4
⎛ λ ⎞ 2λ λ −λ λ 3λ λ −λ λ ⎟
⎢ ⎜ λ 6λ

⎢ ⎜⎜ + 2! e − 4⎜⎜ 2! ⎟⎟e − 2!2! e + 3! e − 3! e + 4! ⎟⎟

⎝ ⎠

⎣⎢ ⎝
⎦⎥
⎡ 13λ
⎛ λ3 ⎞ 2λ ⎤
⎛ λ3 ⎞ 3λ
⎛ λ2 ⎞ 6 λ

2 5λ
⎢e − 11λe − 8⎜⎜ ⎟⎟e + 28λ e − 5⎜⎜ ⎟⎟e + 20⎜⎜ ⎟⎟e ⎥

⎝ 2! ⎠ ⎥
⎝ 3! ⎠
⎝ 2! ⎠
= eλ ⎢

⎛ λ4 ⎞ ⎛ λ4 ⎞ −λ λ4 −λ


3 λ
⎜ ⎟ + 2⎜ ⎟e +
λ
e
e
10
2




⎜ 4! ⎟ ⎜ 3! ⎟
2
!
2
!
⎝ ⎠ ⎝ ⎠


⎛ λ3 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ2 ⎞
= e14λ − 11λe10λ − 8⎜⎜ ⎟⎟e 7 λ + 28λ2 e 6λ − 5⎜⎜ ⎟⎟e 4λ + 20⎜⎜ ⎟⎟e 3λ
⎝ 2! ⎠
⎝ 3! ⎠
⎝ 2! ⎠
⎛ λ4 ⎞ λ4
⎛ λ4 ⎞
.
− 10λ3e 2λ − 2⎜⎜ ⎟⎟e λ + 2⎜⎜ ⎟⎟ +
⎝ 3! ⎠ 2!2!
⎝ 4! ⎠

16.

Jika x = 14 maka
14

1 ⎡
⎢ A(14) −
A(15) =
A(x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢

y =0






⎛ A(14). q(0) + A(13). q(1) + A(12). q(2) + A(11). q(3) + A(10). q(4) ⎞⎤
⎟⎥

1 ⎢
A(14) − ⎜ + A(9). q(5) + A(8). q(6) + A(7 ). q(7 ) + A(6). q(8) + A(5). q(9)
=
⎟⎥

q(− 1)
⎜ + A(4). q(10) + A(3). q(11) + A(2). q(12) + A(1). q(13) + A(0). q(14)⎟⎥

⎠⎦



⎡⎛
⎛ λ3 ⎞ ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ2 ⎞

⎢⎜ e14 λ − 11λe10λ − 8⎜ ⎟e 7 λ + 28λ2 e 6λ − 5⎜ ⎟e 4λ + 20⎜ ⎟e3λ ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟ ⎟
⎜ 2! ⎟

⎢⎜
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠


⎢⎜
4
4
4

⎛λ ⎞ λ
⎛λ ⎞ ⎛ λ ⎞

⎢⎜
3 2λ






⎟⎟

⎢⎜⎜ − 10λ e − 2⎜ 4! ⎟e + 2⎜ 3! ⎟ + ⎜ 2!2! ⎟
⎝ ⎠
⎝ ⎠ ⎝



⎢⎝
λ
=e ⎢
⎞⎥⎥
⎛ λ3 ⎞ ⎞ − λ ⎞⎟
⎛ λ3 ⎞ λ
⎛ λ2 ⎞ 4λ
⎢ ⎛⎜ ⎛⎜ ⎛⎜ 11λ

2
3
λ


⎢ ⎜ ⎜ ⎜ e − 8λe − 5⎜⎜ 2! ⎟⎟e + 10λ e − 2⎜⎜ 3! ⎟⎟e + 2⎜⎜ 2! ⎟⎟ ⎟ λe ⎟
⎟⎥
⎝ ⎠⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎢ ⎜⎝⎝

⎟⎥
⎢− ⎜
⎟⎥
2
2
3
4


⎞ λ −λ
⎞ ⎛ 2λ λ − λ ⎞ ⎟⎥
⎛ 5λ
⎛λ ⎞ λ
⎢ ⎜ ⎜ ⎛⎜ 8λ
λ

2
λ
λ



⎢ ⎜ + ⎜ ⎜ e − 5λe − 2⎜⎜ 2! ⎟⎟e + λ ⎟ 2! e ⎟ + ⎜⎜ e − 2λe 3! e ⎟⎟ + ⎜⎜ e . 4! e ⎟⎟ ⎟⎥
⎠ ⎠⎥⎦
⎠ ⎝
⎝ ⎠

⎢⎣ ⎝ ⎝ ⎝
⎠ ⎝

(

)


⎡⎛
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ2 ⎞
⎛ λ3 ⎞ ⎞

⎢⎜ e14λ − 11λe10λ − 8⎜ ⎟e 7 λ + 28λ2 e 6λ − 5⎜ ⎟e 4λ + 20⎜ ⎟e3λ ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟
⎜ 2! ⎟ ⎟

⎢⎜
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠


⎢⎜

⎛ λ4 ⎞ ⎛ λ4 ⎞
⎛ λ4 ⎞ λ

⎢⎜
3 2λ
⎟⎟

⎢⎜⎜ − 10λ e − 2⎜⎜ 4! ⎟⎟e + 2⎜⎜ 3 ⎟⎟ + ⎜⎜ 2!2! ⎟⎟

⎝ ⎠ ⎝
⎝ ⎠


λ ⎢⎝
=e ⎢

3
4
4




⎛ λ ⎞ ⎛ λ ⎞ −λ
⎛ λ ⎞ 3λ

⎢ ⎜ ⎜ 10λ
2 6λ
3 2λ








⎢ ⎜ ⎜ λe − 8λ e − 5⎜ 2! ⎟e + 10λ e − 2⎜ 3! ⎟ + 2⎜ 2! ⎟e ⎟
⎟⎥
⎝ ⎠ ⎝ ⎠
⎝ ⎠

⎢− ⎜ ⎝
⎟⎥
⎢ ⎜
2
3⎞
4 ⎞
4
3
4 ⎞
4
⎟⎥



⎢ ⎜ + λ e 7 λ − 5⎜ λ ⎟e3λ − 2⎜ λ ⎟ + λ e − λ + λ e 4λ − 2⎜ λ ⎟ + λ e λ ⎟⎥
⎜ 3! ⎟ 4! ⎟⎥
⎜ 2!2! ⎟ 2!
⎜ 2! ⎟
⎢ ⎜ 2!
3!
⎝ ⎠


⎝ ⎠
⎠⎦
⎣ ⎝
⎡ 14λ
⎛ λ3 ⎞ 3λ ⎤
⎛ λ3 ⎞ 4λ
⎛ λ2 ⎞ 7 λ
10 λ
2 6λ
⎢e − 12λe − 9⎜⎜ ⎟⎟e + 36λ e − 6⎜⎜ ⎟⎟e + 30⎜⎜ ⎟⎟e ⎥

⎝ 2! ⎠ ⎥
⎝ 3! ⎠
⎝ 2! ⎠
= eλ ⎢

⎛ λ4 ⎞ ⎛ λ4 ⎞ ⎛ λ4 ⎞ − λ
⎛ λ4 ⎞ λ


3 2λ
⎜ ⎟ ⎜
⎜ ⎟
⎟ ⎜ ⎟
⎢− 20λ e − 3⎜ 4! ⎟e + 6⎜ 3! ⎟ + 3⎜ 2!2! ⎟ − 3⎜ 2! ⎟e

⎝ ⎠ ⎝
⎝ ⎠
⎠ ⎝ ⎠


⎛ λ3 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ2 ⎞
= e15λ − 12λe11λ − 9⎜⎜ ⎟⎟e8λ + 36λ2 e 7 λ − 6⎜⎜ ⎟⎟e5λ + 30⎜⎜ ⎟⎟e 4λ
⎝ 2! ⎠
⎝ 3! ⎠
⎝ 2! ⎠
⎛ 4⎞
⎛ λ4 ⎞ λ
⎛ λ4 ⎞
⎛ λ4 ⎞
⎟e − 3⎜ λ ⎟.
− 20λ3e3λ − 3⎜⎜ ⎟⎟e 2λ + 6⎜⎜ ⎟⎟e λ + 3⎜⎜
⎜ 2! ⎟

⎝ ⎠
⎝ 2!2! ⎠
⎝ 3! ⎠
⎝ 4! ⎠

17. Jika x = 15 maka :
15

1 ⎡
⎢ A(15) −
A(16) =
A( x − y ). q( y )⎥
q(− 1) ⎢
⎥⎦
y =0


⎛ A(15). q(0) + A(14). q(1) + A(13). q(2) + A(12). q(3) + A(11). q(4) ⎞⎤
⎟⎥


1 ⎢
⎜ + A(10). q(5) + A(9). q(6) + A(8). q(7 ) + A(7 ). q(8) + A(6). q(9) ⎟⎥
A(15) − ⎜
=
+ A(5). q(10) + A(4). q(11) + A(3). q(12) + A(2). q(13) + A(1). q(14)⎟⎥
q(− 1) ⎢
⎟⎥



⎜ + A(0). q(15)
⎠⎦⎥

⎣⎢




⎡⎛

⎛ λ3 ⎞
⎛ λ3 ⎞
⎛ λ2 ⎞

⎢⎜ e15λ − 12λe11λ − 9⎜ ⎟e8λ + 36λ2 e 7 λ − 6⎜ ⎟e5λ + 30⎜ ⎟e 4λ ⎟
⎜ 2! ⎟
⎜ 3! ⎟
⎜ 2! ⎟


⎢⎜
⎝ ⎠
⎝ ⎠
⎝ ⎠


⎢⎜
4
4
4
4

⎛λ ⎞
⎛λ ⎞ λ
⎛λ ⎞ λ
⎛ λ ⎞ 2λ

⎢⎜
3 3λ
⎟⎟

⎢⎜⎜ − 20λ e − 3⎜⎜ 4! ⎟⎟e + 6⎜⎜ 3! ⎟⎟e + 3⎜⎜ 2!2! ⎟⎟e − 3⎜⎜ 2! ⎟⎟
⎝ ⎠


⎝ ⎠
⎝ ⎠


⎢⎝

⎢ ⎛
⎞ − λ ⎞ ⎞⎟⎥
⎛ λ3 ⎞ λ
⎛ λ3 ⎞ 2λ
⎛ λ2 ⎞ 5λ