commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Infeksi  cacing  usus  masih  merupakan  masalah  kesehatan  masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat
pedesaan  atau  daerah  perkotaan  yang  sangat  padat  dan  kumuh  merupakan sasaran  yang  mudah  terkena  infeksi  cacing  Rasmaliah,  2001.  Dilaporkan
terdapat  sekitar  1,5  milyar  kasus  infeksi  cacing  di  dunia.  Di  Indonesia, penyakit cacing usus terutama yang ditularkan melalui tanah soil transmitted
helminths seperti askariasis yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides masih merupakan  penyakit  rakyat  dengan  prevalensi  cukup  tinggi  terutama  pada
masyarakat sosial ekonomi rendah di pedesaan Supali dan Margono, 2008.
Ascaris  lumbricoides  adalah  cacing  bulat  besar  yang  hidup  di  dalam usus  halus.  Adanya  cacing  di  dalam  usus  penderita  akan  menimbulkan
gangguan  keseimbangan  fisiologi  dalam  usus,  menyebabkan  iritasi  setempat sehingga  mengganggu  gerakan  peristaltik  dan  penyerapan  makanan
Rasmaliah,  2001.  Cacing  ini  akan  mengambil  makanan  dari  usus  manusia terutama  karbohidrat  dan  protein.  Satu  ekor  cacing  akan  mengambil
karbohidrat  0,14  gramhari  dan  protein  0,015  gramhari  Wardany  dan
Herison, 2008.
Cacing  Ascaris  lumbricoides  merupakan  parasit  yang  kosmopolit tersebar di seluruh dunia, lebih banyak ditemukan di daerah beriklim panas
commit to user 2
dan  lembab  Rasmaliah,  2001.  Semua  umur  dapat  terinfeksi  cacing  ini  dan prevalensi  tertinggi  terdapat  pada  anak-anak.  Prevalensi  askariasis  pada  anak
di  Indonesia  sebesar  60-90.  Kurangnya  pemakaian  jamban  keluarga menimbulkan  pencemaran  tanah  dengan  tinja  di  sekitar  halaman  rumah,  di
bawah  pohon,  di  tempat  mencuci,  dan  di  tempat  pembuangan  sampah.  Di negara-negara berkembang tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai
pupuk  yang  meningkatkan  risiko  terinfeksi  cacing  Ascaris  lumbricoides Pohan, 2006; Supali dan Margono, 2008.
Pengobatan  askariasis  ditujukan  untuk  membunuh  cacing  dewasa dalam  usus.  Pirantel  pamoat  dan  mebendazol  merupakan  obat  pilihan  dalam
pengobatan  askariasis.  Sedangkan  obat  alternatif  meliputi  piperazin, albendazol, atau levamisol Katzung, 2004.
Penggunaan obat tradisional akhir-akhir ini semakin meningkat karena lebih murah dan mudah didapat. Obat tradisional yang berasal dari tumbuhan
memiliki  efek  samping  yang  lebih  rendah  tingkat  bahayanya  dibandingkan dengan  obat-obatan  kimia.  Tubuh  pun  relatif  gampang  menerima  obat  dari
bahan  tumbuhan  dibandingkan  dengan  obat  kimia  Muhlisah,  2004.  Obat yang  digunakan  untuk  pengobatan  secara  massal  perlu  beberapa  syarat  yaitu
obat  mudah  diterima  masyarakat,  aturan  pemakaian  sederhana,  mempunyai efek  samping  yang  minim,  bersifat  polivalen  sehingga  berkhasiat  terhadap
beberapa  jenis  cacing,  dan  harganya  murah  Supali,  Margono,  dan  Abidin,
2008.
commit to user 3
Obat-obat  tradisional  banyak  mengandung  zat  kimia  yang  memiliki efek antihelmintik, di antara zat kimia tersebut adalah tanin. Tanin mempunyai
efek vermifuga, yakni secara langsung berefek pada cacing melalui perusakan protein  tubuh  cacing  Harvey  dan  John,  2004;  Duke,  2008.  Selain  itu  juga
terdapat zat kimia lain yang memiliki efek antihelmintik yaitu saponin Rijai, 2006.  Pada  penelitian  terdahulu  yang  dilakukan  oleh  Kuntari  tentang  daya
antihelmintik  air  rebusan  daun  ketepeng  Cassia  alata  L  terhadap  cacing tambang  anjing  in  vitro  didapatkan  hasil  LC
50
pada  konsentrasi  36,5  dan LC
90
pada  konsentrasi  76,6.  Kemampuan  air  rebusan  daun  ketepeng  untuk membunuh  cacing  tambang  mungkin  disebabkan  karena  mengandung
flavonoid,  tanin,  saponin  dan  antrakinon.  Senyawa  aktif  saponin  berperan menghambat  kerja  kholinesterase  sehingga  cacing  akan  mengalami  paralisis
spastik otot yang akhirnya dapat menimbulkan kematian Kuntari, 2008. Salah satu tumbuhan di Indonesia yang mengandung senyawa saponin
dan tanin adalah belimbing wuluh Averrhoa bilimbi Linn. Sebagaimana telah ditemukan  dari  penelitian  sebelumnya  bahwa  dari  hasil  penapisan  fitokimia
menunjukkan  bahwa  simplisia  dari  daun  belimbing  wuluh  mengandung flavonoid,  saponin,  tanin,  dan  steroidtriterpenoid  Lidyawati,  Sukrasno,  dan
Ruslan, 2006. Karena daun belimbing wuluh mempunyai kandungan saponin dan tanin seperti pada daun ketepeng, maka hal ini menarik dan menimbulkan
keinginan  untuk  meneliti  apakah  infusum  daun  belimbing  wuluh  memiliki pengaruh  terhadap  kematian  cacing  gelang.  Ascaris  suum  Goeze  secara
morfologi  dan  biologi  hampir  sama  dengan  Ascaris  lumbricoides  Linn
commit to user 4
sehingga  dimungkinkan  untuk  dijadikan  sebagai  hewan  uji  pada  penelitian yang sebenarnya ditujukan untuk cacing Ascaris lumbricoides Linn ini.
B. Perumusan Masalah