25 dengan munculnya berbagai penolakan serta keberatan dari wajib pajak,
khususnya jika terjadi perubahan NJOP. Hasil Penerimaan PBB yang diterima pemerintah daerah itu dipergunakan
untuk membiayai pembangunan daerah bagi kepentingan daerah yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian
hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menetapkan hasil sebagai berikut:
1 10 dari hasil penerimaan PBB adalah bagian Pemerintah Pusat dan harus sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara.
2 90 merupakan bagian pemerintah daerah setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10 dari 90, kemudian dibagi untuk
pemerintah Provinsi 20 dan pemerintah kabupaten 80. Dengan demikian bagian masing-masing adalah sebagai berikut :
a Pemerintah pusat : 10
b Biaya pemungutan: 10 X 90 : 9
c Pemerintah Provinsi: 20 X 81 : 16,2
d Pemerintah kabupaten: 80 X 81 : 64,8
C. Pemungutan dan Pembayaran PBB
Yang dijadikan subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata sebagai pemilik dan atau orang atau badan yang menguasai bumi dan atau
bangunan. pasal 8 ayat 1. Wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi
26 syarat obyektif, yaitu memiliki atau menguasai dan atau mendapatkan manfaat
daripadanya. Subyek pajak PBB belum tentu merupakan Wajib Pajak PBB. Subyek Pajak baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat-syarat
obyektif, yaitu mempunyai obyek pajak yang dikenai PBB. Sedangkan obyek pajak PBB adalah Bumi dan atau Bangunan pasal 2.
Diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan dapat membawa perubahan nilai dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari paradigma government menuju governance. Paradigma government paradigma klasik
menempatkan negara pemerintah
sebagai satu-satunya
penyelenggara pemerintahan, sedangkan paradigma governance memandang penyelenggaraan
pemerintahan sebagai proses interaksi antar aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu dalam masyarakat Kooiman, 1993:
255. Proses penyelenggaraan pemerintahan governing pada saat ini merupakan proses koordinasi, pengendalian steering, pemengaruhan influencing dan
penyeimbangan balancing setiap hubungan tersebut. Untuk mewujudkan proses tersebut, maka pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang mendasarkan
diri pada persepektif hubungan “top-down” dan “rational-central-rule approach” menjadi tidak cocok. Di sinilah kemudian dibutuhkan pendekatan governance
dalam penyelenggaraan pemerintahan Kooiman, 1993: 255 – 258. Secara lebih luas, masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau
dari sudut pandang manajemen diidentifikasi oleh Hariyoso 2001 ke dalam lima kategori, yaitu:
27 1
Belum memadainya dukungan anggaran yang ditopang oleh adanya pengalaman serta telah dihayatinya etos dan acuan, sikap, dan etos
kerja yang diwariskan oleh sejumlah masa lalu yang memerlukan pembelajaran, menyebabkan belum dapat diterapkannya manajemen
pelayanan publik dalam konteks total quality management dalam era reformasi yang berciri desentralistik;
2 Dewasa ini masih perlu diseleksi pilihan kiat, metode dan teknologi
pelayanan yang mampu mengubah orientasi manajemen pelayanan konvensional yang perlu semakin diorientasikan pada etos dan budaya
manajemen pelayanan publik berkualitas;
3 Masih nampak belum seimbangnya hak dan kewajiban yang melayani
public server kepada yang dilayani public served dalam bentuk pemberian kontraprestasi yang sepadan atas kotribusipengorbanan
yang diberikan masyarakat;
4 Masih belum diadakan internalisasi nuansa administrasi politik yang
berkaibat jauh terhadap penerapan konsep local government productivity
yang masih
mengandung keretakan
dalam penyelenggaraan manajemen pelayanan umum. Hal ini bahkan
berimplikasi lebih jauh dengan kurangnya pengertian tentang pergeseran paradigma pemerintahan daerah oleh pelaksana yang
terjadi dalam suasana transisional di era reformasi yang bercorak desentralistik dan globalisasi;
5 Belum dapat diterapkannya konsep pelayanan prima sekaligus dengan
adanya sindroma hubungan antara yang melayani dengan yang dilayanai dalam kedudukan sebagai pelanggan, konstituen partai,
klien, dan kelompok sasaran.
Upaya untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk
mendapatkan sumber sumber pendapatan termasuk pendapatan melalui pajak. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya
bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional. Kewenangan pengelolaan pajak tersebut berada di tangan pemerintah sebagai pemegang
otoritas alokasi distribusi dan stabilisasi sumberdaya dalam negara. Proses pengelolaan pajak termnasuk PBB merupakan sebuah kebijakan publik yang
memiliki implikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat.
28 Kebijakan pemerintah yang tepat akan berdampak pada peningkatan kemakmuran
masyarakat. Kerangka dasar kebijakan perpajakan ini ditentukan oleh pusat dengan
asumsi pemerintah pusat harus menyediakan sumber-sumber keuangan untuk daerah agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan daerah masih
sering harus dibantu pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi daerah maupun melaksanakan program-program pusat yang ditugaskan pada daerah.
Sumber pendapatan daerah disebutkan dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, terdiri dari pendapatan asli daerah yaitu hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Selain jenis pajak tersebut pendapatan daerah berasal
dari dana perimbangan yang diberikan pusat dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sementara pendapatan daerah cukup besar diperoleh dari Pajak Bumi dan
Bangunan PBB, suatu jenis pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat, namun hasilnya diperuntukan bagi pemerintah daerah.
Pengelolaan pajak yang terpusat juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memeratakan hasil penerimaan PBB yang berasal dari obyek pajak, yang letaknya
di luar wilayah yang menjadi kewenangan daerah dan untuk mempermudah pengelolaan sistem pengadministrasian pajak daerah tersebut karena selalu terkait
dengan pengelolaan jenis pajak pusat lainnya. Pengelolaan dimaksud adalah pembagian perimbangan hasil penerimaan PBB dibagi antara pemerintah pusat
dengan daerah yaitu imbangan pembagian 90 untuk pemerintah daerah baik kabupaten maupun Provinsi, sedangkan 10 merupakan bagian pemerintah
29 pusat, dan pada akhirnya juga akan dibagikan kembali kepada daerah namun
dengan mekanisme tertentu. Itulah sebabnya kewenangan sebagian besar penarikan PBB diberikan kepada pemerintah daerah kabupatenkota.
Masyarakat adalah pelaku utama dan sekaligus merupakan obyek dari pembangunan, sehingga keberhasilan berbagai implementasi kebijakan untuk
peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor PBB, sangat membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat pada umumnya, dan pemerintah berkewajiban
menjalankan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang Tjokroamidjojo, 1987:206. Namun banyaknya hambatan yang dihadapi dalam
pelaksanaan pemungutan pajak, pada umumnya, menurut R.Santoso Brotodiharjo Munawir, 2000:7 adalah:
”Adanya perlawanan pasif dari wajib pajak yang mempersulit pemungutan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan struktur ekonomi,
perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini tidak ada
usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun disebabkan oleh karena kondisi masyarakat yang kurang
tahu mengenai seluk beluk pajak, maka mereka tidak bersedia membayar pajak. Penghambat kedua, adalah adanya perlawanan aktif
yaitu berupa semua usaha dan perbuatan yang langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan menghindari pajak. Nyata-nyata ada usaha
wajib pajak untuk tidak membayar pajak, dan mengelakkan penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.”
Untuk mengatasi hambatan tersebut dibutuhkan perangkat kebijakan yang tepat agar wajib pajak tidak dapat lagi menghindari pajak. Dalam proses
penyusunan kebijakan tersebut perlu adanya strategi yang memperhitungkan segala kekuatan kelemahan peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh
30 pemerintah selaku pemegang otoritas dan sebagai implementator dari kebijakan
itu sendiri. Pembayaran PBB dapat dilakukan ditempat pembayaran PBB di loket-
loket yang telah ditunjuk. Loket yang ditunjuk untuk ini meliputi berbagai lembaga keuangan antara lain Bank Central Asia BCA dan Badan Perkreditan
Rakyat Badan Kredit Kecamatan BPR BKK se Kabupaten Karanganyar. Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pembayaran PBB adalah melalui
petugas pemungut PBB. Petugas pemungut PBB ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati yang diterbitkan setiap tahun.
Penunjukan Petugas Pemungut PBB dimaksudkan untuk mendekatkan dan memudahkan wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB. Petugas yang
ditunjuk sebagai petugas pemungut PBB sebagian besar adalah para Kepala Dusun Perangkat Desa.
Prosedur pemungutan PBB ditempuh melalui mekanisme yang telah diatur oleh tim intensifikasi dibuat berjenjang mulai dari kabupaten hingga ke
dusun, yaitu Kepala Dusun sebagai petugas dilapangan yang membagikan SPPT dan menagih pajak kepada wajib pajak. Berdasarkan mekanisme tersebut dapat
dilihat bahwa ujung tombak dari penerimaan PBB adalah para Kepala Dusun sebagai petugas pemungut yang langsung berhadapan dengan wajib pajak. Lebih
jelasnya skema Tim Intensifikasi Pemungutan PBB adalah sebagai berikut.
31 Gambar 4 : Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan
Sumber : Diolah dari SK Bupati Karanganyar tanggal 9 September 2005 Nomor : 973354 Tahun 2005.
TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KECAMATAN
KADES SELAKU KOORDINATOR PETUGAS
PEMUNGUT PETUGAS
ADMINISTRASI PBB DESA
KADUS PETUGAS PEMUNGUT DUSUN
WAJIB PAJAK PENERIMA SPPT
BANK PERSEPSI TIM INTENSIFIKASI PBB
TINGKAT KABUPATEN
32
D. KERANGKA BERPIKIR