6 pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak
dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang
seharusnya diberikan. Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga
menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian
mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat
penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya
ditagihkan kepadanya. Akibatnya petugas pemungut yang notabene merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk
melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak
optimalnya pemungutan PBB. Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan
pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100 , tetapi selalu menyisakan tunggakan dari tahun ketahun.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi
pemungutan PBB
di Kecamatan
Jaten Kabupaten
Karanganyar?”
7
C. Tujuan Penelitian.
1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dalam
rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB. 2.
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan
penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB. 3.
Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk mlelaksanakan penelitian sejenis.
8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Konsep Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan bagian dari studi kebijakan publik,
disamping studi formulasi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan. Terdapat beberapa pengertian mengenai apa yang disebut dengan kebijakan publik itu.
Menurut Anderson 1975 : 5 menyatakan kebijakan publik sebagai berikut : public policy are those policies developed by govermental bodies and
officials kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah, dan maknanya adalah :
a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau suatu tindakan
berorientasi pada tujuan; b. Kebijakan tersebut berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat pemerintah; c. Kebijakan tersebut merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan atau menyatakan sesuatu;
d. Kebijakan publik didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa otoritatif.
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar yaitu tujuan yang luas, sasaran dan yang terakhir adalah cara mencapai
sasaran tersebut. Komponen yang terakhir biasanya belum dijelaskan secara rinci, dan oleh karena itulah birokrasi harus menerjemahkan sebagai program-
program aksi dan proyek. Didalam “cara” tersebut terkandung beberapa komponen kebijakan yang lain, yakni siapa pelaksana atau implementornya,
berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya, dan
bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Dengan demikian
9 komponen ketiga dari suatu kebijakan yaitu cara, merupakan komponen yang
berfungsi untuk mewujudkan dua komponennya yang pertama, yakni tujuan dan sasaran khusus. Cara ini biasa disebut implementasi Samodra Wibowo,1994: 15.
Studi implementasi mengkaji seluk beluk proses implementasi kebijakan yakni “the execution and steering of policy actions over time” Dunn, 1994 : 85.
Studi Implementasi menurut Dunn sebagaimana dikutip Samodra Wibowo adalah membantu mengkaji tingkat kepatuhan, menemukan konsekuensi-konsekuensi
kebijakan yang tak diharapkan, mengidentifikasi hambatan dan kendala implementasi, dan menentukan siapa saja yang bertanggungjawab dalam
pelaksanaan kebijakan Samodra Wibowo 1994 : 3 Van Horn dan Van Meter 1975: 447 mengartikan implementasi
kebijakan sebagai “those actions by public and private individual or groups that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.
Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur
rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan
Grindle, 1980:3. Di sini Grindle telah memperkirakan adanya berbagai hambatan yang
berasal dari lingkungan konteks di mana kebijakan itu akan diimplementasikan, sehingga setelah suatu kebijakan di terjemahkan kedalam program aksi, belum
tentu implementasi akan berjalan dengan lancar dan ini tergantung dari kemampuan mengimplementasikan program tersebut implementability.
10 1. Model Grindle
Implementasi suatu kebijakan, menurut grindle 1980:8-12 sangat ditentukan oleh isi kebijakan content of policy dan konteks kebijakan context of
policy. Studi ini melihat adanya tiga dimensi analisis dalam suatu organisasi, yakni tujuan, pelaksanaan tugas dan kaitan organisasi dengan lingkungan.
a. Isi Kebijakan mencakup : 1 Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan
Dalam memformulasikan suatu kebijakan hendaknya diminimalisir terjadinya banyak kepentingan yang berbeda yang dipengaruhinya, karena
semakin kompleks kepentingan yang dipengaruhi maka proses implementasinya akan semakin sulit.
2 Jenis manfaat yang dihasilkan Manfaat suatu kebijakan yang dapat dinikmati secara realistis oleh
kelompok sasaran berpengaruh terhadap dukungan atas perubahan tersebut. Kebijakan yang manfaatnya dapat dinikmati secara nyata akan
memperoleh dukungan yang kuat dalam proses implementasinya dibanding kebijakan yang kurang dirasakan manfaatnya bagi publik.
3 Derajad perubahan yang diinginkan Apabila suatu kebijakan mempunyai tujuan yang menyangkut perubahan
nilai-nilai atau norma-norma, diamana antara kebijakan yang telah dibuat dan nilai yang sudah dianut oleh kelompok sasaran bertentangan sekali,
biasanya kebijakan tersebut akan sulit dimplementasikan.
11 4 Kedudukan pembuat kebijakan
Posisi dari pejabat selaku pembuat kebijakan sangatlah menentukan sekali bagi keberhasilan implementasi, maka dalam menformulasikan kebijakan
harus diperhatikan implementornya. Suatu kebijakan yang diformulasikan oleh bidang diluar lingkup tugas implementor akan memiliki peluang
gagal yang lebih besar. 5 Siapa pelaksana program
Ketika implementasi suatu kebijakan mulai dilaksanakan, para pelaku program seharusnya sudah dibekali dengan berbagai sumberdaya yang
memadai. Sehingga perpaduan sumberdaya manusia dan sumber daya lain yang meliputi sarana dan prasarana pendukung kebijakan akan
memudahkan dalam pencapaian tujuan kebijakan. 6 Sumber daya yang dikerahkan.
Suatu kebijakan yang melibatkan partisipasi kelompok yang memang diperlukan dalam mencapai sasaran program akan semakin efektif
diimplementasikan daripada melibatkan kelompok lain yang kurang berkepentingan atas kebijakan tersebut.
b. Konteks kebijakan meliputi : 1 Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
Nilai-nilai yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi suatu kebijakan kadangkala bertentangan dengan tujuan kebijakan, manakala
nilai-nilai tersebut sesuai dengan apa yang menjadi kepentingannyadan mendukung jabatan yang dimbannya maka kebijakan akan semakin mudah
12 dimplementasikan. Demikian pula strategi yang dibuat seharusnya
dibangun dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang memadai. 2 Karakteristik lembaga dan penguasa
Untuk mempermudah implementasi, dibutuhkan kesesuaian nilai-nilai budaya lembaga dan penguasa dengan apa yang seharusnya atau
diharapkan oleh kebijakan tersebut. Ketika lembaga dan penguasa yang berperan dalam implementasi memiliki nilai-nilai budaya yang
bertentangan dengan apa yang seharusnya diharapkan dari program kebijakan tersebut, maka hal ini akan menghambat proses implementasi.
3 Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana Kebijakan yang sudah diformulasikan dari tingkat pusat, agar lebih mudah
dalam implementasinya dijabarkan dalam kebijakan-kebijakan tingkat dibawahnya sehingga ada kejelasan bagi pelaksana kebijakan tersebut.
Model implementasi Kebijakan menurut Grindle dapat digambarkan sebagai berikut:
13 Gambar 1 : Model Implementasi Kebijakan Grindle
Tujuan Kebijakan Melaksanakan kebijakan dipengaruhi oleh :
aIsi Kebijakan 1 Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan
2 Jenis manfaat yang dihasilkan 3 Derajad perubahan yang diinginkan
4 Kedudukan pembuat kebijakan 5 Siapa pelaksana program
6 Sumber daya yang dikerahkan. b. Konteks kebijakan meliputi :
1 Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2 Karakteristik lembaga dan penguasa 3 Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana
Hasil kebijakan: o
Dampak pada masyarakat, individu
dan kelompok, o
Perubahan dan penerimaan oleh
masyarakat Tujuan yang
Ingin dicapai Program aksi dan Proyek
individu didesain dan dibiayai
Program yang dijalankan sesuai rencana?
Mengukur keberhasilan Sumber : Grindle, Merilee S,1980
14 b. Model Implementasi Sabatier dan Mazmanian
Sabatier dan Mazmanian dalam Wibawa, 1994 melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu a karakteristik masalah, b
struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, dan c faktor-faktor di luar peraturan
kebijakan. Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu
kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya
model ini sering disebut sebagai model top-down. Dengan pendekatan semacam ini sudah seharusnya tujuan dan sasaran yang akan dituju hendaknya dituangkan
dalam program maupun proyek yang jelas, dan mudah dipahami sehingga para birokrat akan mudah untuk memahaminya kemana arah tujuan atau sasaran yang
hendak dituju. Sebagai contoh, Program Pemberdayaan Jurusan dimaksudkan untuk memberikan kemandirian kepada jurusan, maka pengaturan hak-hak dan
kewajiban harus diatur dengan secara jelas dan terperinci tidak hanya bersifat teoritis belaka, dengan cara seperti ini para birokrasi pelaksana akan semakin
mudah untuk menjalankannya. Model Implementasi kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
dapat digambarkan sebagai berikut :
15 Gambar 2 : Model Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan
Mazmanian
Sumber : Samodra Wibawa, 1994 Karakteristik Masalah
1. Ketersedian tehnologi teori teknis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran
3. Sifat populasi 4. Derajad perubahan perilaku yg diharapkan
Daya Dukung Peraturan 1. Kejelasankonsistensi
tujuan Sasaran 2. Teori kausal yg
memadai 3. Sumber keuangan yang
Memadai 4. Integrasi organisasi
pelaksana 5. Diskresi pelaksana
6. Rekrutmen pejabat pelaksana
7. Akses formal pelaks Variabel Non Peraturan
1. Kondisi sosio ekonomi dan teknologi
2. Perhatian pers thd masalah 3. Dukungan public
4. Sikap sumber daya 5. Kelompok sasaran utama
6.
Dukungan Komitemen dan kemam puan pejabat
pelaksana kewenangan
Kesesuaian keluaran
dengan sasaran
Dampak actual
keluaran kebijakan
Dampak yang
diperkira kan
Keluaran Kebijakan
dari pelaksana
organisasi
Perbaikan peraturan
16 c. Model Van Horn dan Van Meter
Model yang dikembangkan oleh Van Horn dan Van Meter ini disebut sebagai “A Model Of Policy Implementation Process” model proses
implementasi kebijakan. Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijaksanaan yang
akan dilaksanakan. Van Horn dan Van Meter menegaskan bahwa perubahan, kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur-
prosedur implementasi. Atas dasar konsep tersebut, maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apa yang terjadi
dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa 1994 : 19-22, suatu kebijakan
harus dapat secara eksplist menegaskan ada lima faktor yang mempengaruhi implementasi suatu program yaitu :
1 Standar Dan Sasaran Kebijakan Suatu kebijakan harus memiliki standar dan sasaran tertentu yang harus
dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Standar dan sasaran menjelaskan rincian tujuan kebijakan secara menyeluruh. Penentuan standar dan sasaran berguna
untuk menilai tingkat keberhasilan atas pelaksanaan suatu program . Kinerja kebijakan merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran.
Maka standar dan sasaran harus dirumuskan secara spesifik dan kongkret. 2 Sumber Daya
Supaya dapat diimplementasikan dengan baik kebijakan menuntut tersedianya Sumber daya baik berupa dana, teknologi maupun sarana dan
17 prasarana. Kinerja kebijakan akan rendah jika dana yang dibutuhkan untuk
mengimplementasikan kebijakan ini tidak tersedia secara memadai. 3 Komunikasi Antar Organisasi ,
Keberhasilan Implementasi juga ditentukan oleh adanya komunikasi antar organisasi , yaitu semua pelaksana harus memahami standar, sasaran dan tujuan
kebijakan yang akan mereka implementasikan. Komunikasai ini penting untuk dilakukan agar implementasi program dijamin kepatuhannya terhadap standar
yang telah ditentukan. 4 Karakteristik Birokrasi Pelaksana
Struktur birokrasi pelaksana yang meliputi karakteristik, norma, pola hubungan, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi Ripley
1973:10. Menurut Meter dan Horn dalam Wibawa 1994:21 organisasi pelaksana memiliki enam variabel yaitu 1 kompetensi dan jumlah staf, 2
rentang kendali, 3 dukungan politik yang dimiliki, 4 kekuatan organisasi, 5 derajad keterbukaan, dan 6 keterkaitan dengan pembuatan kebijakan.
5 Kondisi Ekonomi Sosial dan Politik Kondisi sosial ekonomi dan politik berpengaruh terhadap efektifitas
implementasi kebijakan. Hal ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik yang berkaitan dengan publik. Semua variabel diatas dapat membentuk sikap
pelaksana terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, untuk akhirnya menentukan seberapa tinggi tingkat kinerja kebijakannya.
Model Implementasi kebijakan menurut Van Meter Van Horn dapat digambarkan sebagai berikut :
18 Gambar 3 : Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter
Van Horn Komunikasi antar
Organisasi dan Pengukuhan aktivitas
Standar dan Sasaran kebijakan
Karakteristik Organisasi Sikap Kinerja
Komunikasi Pelaksana Kebijakan Antar orgs.
Sumber daya
Kondisi Sosial Ekonomi dan politik
Sumber : Meter, Donald S. Van, dan Horn, Carl E. Van, 1975 Model implementasi inilah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam
membangun kerangka teori guna menjawab pertanyaan penelitian. Dari model- model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Grindle, Van Meter dan
Van Horn, maupun Sabatier dan Mazmanian diambil beberapa aspek kajian yang menurut pengamatan peneliti berdasarkan gejala umum, fakta dan data yang ada
menunjukkan pengaruh terhadap proses implementasi kebijakan pemungutan PBB.
Penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan proses implementasi yang berlangsung melalui pengkajian atas beberapa fokus kajian yang berpengaruh
19 terhadap keberhasilan implementasi pemungutan PBB antara lain : 1 Isi
Kebijakan diadopsi dari model Grindle, 2 Sumber daya manusia. Diadopsi dari model Van Horn Van Meter 3 Komunikasi Diadopsi dari model Van Horn Van
Meter 4 Kepatuhan petugas pelaksana diadopsi dari model Grindle. Pengambilan keempat fokus kajian ini dilakukan dengan mengadopsi model-
model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh pakar studi implementasi kebijakan dan disesuaikan dengan mempertimbangkan gejala-gejala dan fakta-
fakta yang yang ada di dalam masyarakat.
B. Pemungutan PBB Sebagai Kebijakan Publik
Chandler dan Plano 1988 mengemukakan bahwa Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada
untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan pula bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi terus-
menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam
pembangunan secara luas. Thomas R Dye 1981 memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang
dilakukan oleh pemerintah. Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum..
Pajak merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat untuk menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan
20 perbuatan memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan merupakan suatu
hukuman. Pajak ditetapkan menurut peraturan pemerintah, dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara
kesejahteraan secara umum Munawir, 2000:3 Dengan demikian pajak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merupakan pungutan yang dilakukan oleh negara kepada rakyat. 2. Dipungut disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang. 3. Pemungutan pajak dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan peraturan yang
telah ditetapkan. 4. Pemungutannya dapat dipaksakan.
5. Pembayaran pajak oleh subyek pajak tak akan mendapat imbalan secara langsung dari Pemerintah.
6. Pajak digunakan oleh Pemerintah untuk pembiayaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Pajak Negara dan Pajak Daerah Mardiasmo, 1997. Pajak Negara adalah
pajak yang dipungut untuk kepentingan Negara atau Pemerintah Pusat. Termasuk dalam pajak ini antara lain adalah Pajak Penghasilan PPh, Pajak Pertambahan
Nilai atasa barang dan Jasa PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah PPnBM, Pajak bumi dan bangunan PBB dan Bea Meterai. Sedangkan Pajak
Daerah adalah pajak yang dipungut Daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh Daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga Daerah,
21 yang ruang lingkupnya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh
negara. Bumi dan bangunan merupakan aset yang dapat memberikan keuntungan
dan kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, maka wajar
apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak, untuk selanjutnya negara
mendistribusikan hasil pajak tersebut bagi kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.
Undang-undang nomor 12 tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan menandai dicabutnya berbagai peraturan perpajakan yang meliputi Ordonansi
Pajak Rumah tangga 1908, Ordonansi Verponding Indonesia 1923, Ordonansi Verponding 1928, Ordonansi pajak kekayaan 1932, Ordonansi Pajak Jalan 1942,
Pasal 14 huruf j,k,dan l Undang-undang darurat Nomor 11 tahun 1957 tentang peraturan Umum Pajak Daerah, PERPU Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak
Hasil Bumi. Berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 ini bertujuan memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia agar lebih sederhana, mudah, adil
dan memberi kepastian hukum. Sebelum berlakunya UU pajak Bumi dan Bangunan, sebenarnya
Verponding-verponding Indonesia dan pajak hasil Bumi telah diganti dangan IPEDA. Tetapi karena dasar Hukum Ipeda kurang kuat maka penghapusan
verponding tersebut dipertegas lagi dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1986. Verponding mengenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum
22 barat, dan verponding Indonesia dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki
berdasarkan hukum adat yang ada di kota-kota. Pajak Hasil Bumi dikenakan atas tanah-tanah yang dimiliki berdasarkan hukum adat yang ada di daerah luar kota.
Setelah verponding diganti dengan IPEDA orang merasakan membayar dua kali untuk Obyek Pajak yang sama karena tanah dan bangunan yang ia miliki dikenai
pajak kekayaan maupun IPEDA. Dengan berlakunya Undang-undang nomor 12 tahun 1986 diharapkan ada kepastian hukum dan tidak ada lagi pajak ganda yang
menimbulkan keresahan masyarakat. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak obyektif yang dikenakan atas
bumi dan bangunan. Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986, berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 1986. Dengan demikian yang
menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Adapun yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman termasuk rawa-rawa dan tambak serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan. Termasuk dalam
pengertian bangunan ini antara lain: 1 Jalan lingkungan dalam suatu kesatuan dengan komplek bangunan, 2 Jalan tol, 3 Kolam renang, 4 Pagar mewah,
4 Tempat Olah raga, 5 Galangan kapal, dermaga, 6 Taman mewah, 7 Tempat penampungan kilang minyak, gas, air dan pipa minyak, 8 Fasilitas lain
yang memberikan manfaat. Dalam menentukan klasifikasi bumitanah
23 diperhatikan faktor-faktor seperti: 1 Letak, 2 Peruntukan, 3 Pemanfaatan, 4
Kondisi lingkungan, dll. Menurut Rochmat Soemitro 1989 : 79 faktor-faktor itu ditambah
dengan: 1 Luas tanah, bumi, bangunan, 2 Kesuburan atau hasil tanahbangunan, 3 Adanya irigasi atau tidak. Sementara dalam menentukan
klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 1 Bahan yang digunakan, 2 Rekayasa, 3 Letak, 4 Kondisi Lingkungan dll.
Subyek pajak dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi danatau memperoleh manfaat atas bangunan.
Kepada subyek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak. Adapun azas dari Pajak Bumi dan Bangunan adalah: 1 Memberikan
kemudahan dan kesederhanaan, 2 Adanya kepastian hukum, 3 Mudah dimengerti dan adil, 4 Menghindari pajak berganda. Dengan memperhatikan
azas-azas tersebut diharapkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan penetapan dan pemungutan pajak mestinya dapat dihindarkan.
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak, maka oleh karena itu yang dipentingkan adalah obyeknya dan keadaan
atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidaklah penting, sehingga tidak mempengaruhi besarnya pajak Soemitro, 1989:5. Walaupun pajak ini
merupakan pajak obyektif, tetapi pemungutannya didasarkan atas surat ketetapan pajak yang pada prinsipnya setiap tahun dikeluarkan. Setiap tahun wajib pajak
diwajibkan memasukkan surat pemberitahuan yang untuk PBB disebut sebagai Surat Pemberitahuan Obyek Pajak SPOP dan berdasarkan itu oleh kantor PBB
24 kemudian dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak SKP dimana untuk PBB disebut
sebagai Surat Pemberitahun Pajak Terhutang SPPT. Penetapan nilai jual obyek pajak dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan
mendengar pertimbangan Gubernur Provinsi yang bersangkutan. Untuk saat ini klasifikasi nilai jual obyek pajak untuk bumi dan bangunan dikenakan sesuai
dengan keputusan menteri keuangan nomor 174KMK.041993, dimana untuk klasifikasi NJOP untuk bumi dikelompokkan menjadi 50 kelas dan untuk
bangunan menjadi 20 kelas. Penghitungan besarnya PBB didasarkan atas besarnya nilai jual kena
pajak yaitu besarnya NJOP sesuai dengan SK Menteri Keuangan setelah dikurangi dengan nilai jual obyek pajak tak kena pajak NJOPTKP yang besarnya untuk
masing-masing daerah bisa berbeda-beda. Besarnya NJKP adalah 20 dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. Adapun besarnya tarip PBB adalah 0,5. Dengan
demikian besarnya pajak yang harus dibayar adalah 0,5 X 20 X NJOP atau sebesar 0,5 X NJKP.
Besarnya pajak yang harus dibayar SPPT PBB diberikan setiap tahun oleh kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan setelah ditentukan NJKPnya atas
dasar surat pemberitahuan obyek pajak SPOP yang diisi oleh wajib pajak. Secara teoritis SPOP ini harus diisi oleh wajib pajak dan harus ditandatangani
sendiri. Namun demikian dalam banyak kasus, hal ini jarang dilakukan. Biasanya pihak Kantor PBB meminta bantuan pada Pemerintah setempat untuk mengisinya.
Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kesenjangan yang menyebabkan tidak selarasnya harga pasar atas nilai jual obyek pajak, yang pada akhirnya berbuntut
25 dengan munculnya berbagai penolakan serta keberatan dari wajib pajak,
khususnya jika terjadi perubahan NJOP. Hasil Penerimaan PBB yang diterima pemerintah daerah itu dipergunakan
untuk membiayai pembangunan daerah bagi kepentingan daerah yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 1985 tentang Pembagian
hasil Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, menetapkan hasil sebagai berikut:
1 10 dari hasil penerimaan PBB adalah bagian Pemerintah Pusat dan harus sepenuhnya disetorkan ke Kas Negara.
2 90 merupakan bagian pemerintah daerah setelah dikurangi dengan biaya untuk melakukan pemungutan sebesar 10 dari 90, kemudian dibagi untuk
pemerintah Provinsi 20 dan pemerintah kabupaten 80. Dengan demikian bagian masing-masing adalah sebagai berikut :
a Pemerintah pusat : 10
b Biaya pemungutan: 10 X 90 : 9
c Pemerintah Provinsi: 20 X 81 : 16,2
d Pemerintah kabupaten: 80 X 81 : 64,8
C. Pemungutan dan Pembayaran PBB