14 Klasifikasi  Artemia salina :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Famili : Artemiidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia salina Linnaeus, 1758
Dumitrascu, 2011.
2.5.2. Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach
Gambar 2.1. Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach Bachtiar, 2003.
Artemia  berkembangbiak  dengan  dua  cara,  yakni  secara  partenogenesis dan  biseksual.  Seluruh  populasi  artemia  pada  perkembangbiakan  secara
partenogenesis adalah  betina. Artemia betina  ini  kemudian bertelur, menetas dan Menghasilkan  individu  baru berupa  embrio tanpa  dibuahi oleh  sperma artemia
Universitas Sumatera Utara
15 jantan. Populasi artemia yang berkembangbiak secara biseksual terdiri atas jenis
jantan  dan  betina  yang  melakukan  perkawinan,  yang  kemudian  menghasilkan embrio Bachtiar, 2003.
Daur hidup artemia mengalami beberapa fase sebagai berikut : a.
Fase kista telur Fase  kista  adalah  suatu  kondisi  istirahat  pada  hewan  crustacea  tingkat  rendah
seperti  artemia.  Ketika  direndam  ke  dalam  air  laut,  kista  atau  telur  akan menyerap  air  hidrasi,  akibatnya  di  dalam  kista  terjadi  proses  metabolisme
embrio yang aktif. Berselang 24-48 jam kemudian, cangkang kista akan pecah dan muncul embrio yang masih terbungkus oleh selaput penetasan.
b. Fase nauplius
Nauplius  adalah  larva  stadium  tingkat  pertama  dari  artemia.  Embrio  yang masih terbungkus selaput penetasan akan berkembang menjadi organisme baru
yang dapat berenang bebas di perairan. Fase ini diawali oleh pecahnya selaput penetasan  yang  masih  membungkus  embrio  nauplius.  Larva  ini  berwarna
jingga kecokelatan karena membawa kuning telur yang melekat pada tubuhnya. Panjang tubuh nauplius 0,4-0,7 mm dengan berat 15-20 mcg.
c. Fase dewasa
Fase  dewasa  adalah  kondisi  nauplius  yang  telah  berkembang  menjadi  artemia dewasa.  Ciri  artemia  dewasa  adalah  terdapat  sepasang  mata  majemuk  dan
antena  sensor  pada  kepala  serta  memiliki  saluran  pencernaan.  Tubuh  artemia dewasa dapat mencapai 1-2 cm dan beratnya sekitar 10 mg Bachtiar, 2003.
2.5.3. Penggunaan Artemia sebagai hewan uji toksisitas
Brine  Shrimp  Lethality  Test  BSLT  merupakan  salah  satu  metode  uji toksisitas  untuk  menguji  bahan-bahan  yang  bersifat  sitotoksik.  Metode  ini
Universitas Sumatera Utara
16 menggunakan  larva  Artemia  salina  Leach  sebagai  hewan  coba.  Uji  toksisitas
dengan  metode  BSLT  ini  merupakan  uji  toksisitas  akut,  yaitu  efek  toksik  dari suatu  senyawa  ditentukan  dalam  waktu  singkat  setelah  pemberian  dosis  uji
Wibowo, dkk., 2013. Penggunaan  Artemia  salina  ini  memang  tidak  spesifik  untuk  antikanker
maupun  fisiologis  aktif  tertentu,  namun  beberapa  penelitian  terdahulu menunjukkan  adanya  korelasi  yang  signifikan  terhadap  beberapa  bahan,  baik
berupa  ekstrak  tanaman  atau  aksinya  sebagai  antikanker  secara  lebih  cepat dibandingkan  dengan  prosedur  pemeriksaan  sitotoksik  yang  umum,  misalnya
dengan  biakan  sel  kanker.  Melihat  adanya  potensi  sebagai  antikanker  tersebut, maka  penelitian  lanjutan  dapat  dilanjutkan,  yaitu  dengan  mengisolasi  senyawa
berkhasiat yang terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring aktivitasnya dengan  uji  larva  udang  atau  metode  yang  lebih  spesifik  sebagai  antikanker
Meyer, dkk., 1982. Pengujian  menggunakan  BSLT  diterapkan  dengan  menentukan  nilai
Lethal  Concentration  50  LC
50
setelah  perlakuan  24  jam.  Nilai  LC
50
merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian
sebesar 50 dari jumlah hewan uji Wibowo, dkk., 2013.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak perairan dengan berbagai  macam  keanekaragaman  biota  laut,  salah  satunya  adalah  teripang.
Teripang  dapat  ditemukan  hampir  diseluruh  perairan,  mulai  dari  daerah  pasang surut  yang  dangkal  sampai  perairan  yang  lebih  dalam.  Daerah  penyebaran
teripang  antara lain perairan pantai  Madura, Jawa Timur,  Bali, Sumba,  Lombok, Aceh,  Bengkulu,  Bangka,  Riau  dan  sekitarnya,  Belitung,  Kalimantan,  Sulawesi,
Maluku, Timor dan kepulauan seribu Widodo, 2013. Masyarakat  di  sekitar  pantai  telah  memanfaatkan  teripang  cukup  lama
sebagai  bahan  makanan  dan  obat  tradisional.  Sebagai  bahan  pangan,  teripang mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dan rasanya sangat lezat. Teripang kering
mempunyai kadar protein tinggi yaitu 82, dengan kandungan asam amino yang lengkap.  Sebagai  obat,  teripang  diketahui  memiliki  khasiat  menyembuhkan
berbagai penyakit, salah satunya adalah kanker Widodo, 2013. Penelitian  yang  telah  dilakukan  Reskiyanti  2013  menunjukkan  bahwa
teripang  jenis  Holothuria  scabra  bersifat  sangat  toksik  dan  memiliki  potensi sebagai  antikanker.  Rasyid  2013  juga  melaporkan  bahwa  ekstrak  teripang
Sticophus sp. memiliki aktifitas toksik. Aktifitas tersebut diduga disebabkan oleh adanya  golongan  senyawa  kimia  yang  terdapat  pada  teripang,  diantaranya
saponin,  steroid  Rasyid,  2012,  triterpenoid  Pranoto,  dkk.,  2012,  glikosida Bordbar, dkk., 2011. Zhang, dkk. 2006 melaporkan bahwa senyawa metabolit
yang dominan dihasilkan teripang adalah saponin. Hashimoto 1979 menyatakan
Universitas Sumatera Utara