Waktu dan Tempat Kesimpulan Studi Tingkah Laku Mencit Secara Umum

BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2015 hingga September 2015 di Laboratorium Terpadu, Laboratorium Ilmu Dasar LIDA, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Digital Camera, Transponder, Injector khusus trasnponder, Timbangan Digital, Generator, serangkaian alat IntelliCage, Hand Scanner, Personal Computer PC. Sedangkan bahan yang digunakan adalah mencit Mus musculus L. jantan, air, pakan mencit, tissue, sekam padi, obat anti nyeri analgesik-narkotika, petidin 10 mgml, garam fisiologis 0,9, ketamin 10 mgml, spuit 1ml. 3.3.Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan hewan coba Mencit Mus musculus L. jantan yang berusia 5-7 minggu dengan berat badan 20-30 gram, sebanyak 12 ekor. Mencit diaklimatisasi selama beberapa hari di dalam IntelliCage guna penyesuain terhadap suhu lingkungan.

3.3.2 Penentuan Dosis

Dosis normal petidin pada manusia adalah 70-100 mg Siswandono, 1995. Faktor konversi untuk mencit yang beratnya ± 20 g adalah 0,0026 Paget and Barnes, 1946. Dosis petidin untuk mencit masing-masing nya adalah 100 mg x 0,0026 = 0,26 mg20gBB mencit. Universitas Sumatera Utara

3.3.3 Anastesi dan Implantasi Transponder

Setelah dua hari periode aklimatisasi habituasi, semua mencit di implan dengan micro-transponder. Implantasi dilakukan setelah pemberian zat anastesi ketamin 1,18 mg20 g BB masing-masing mecit secara intramuskular terlebih dahulu. Transponder di injeksikan melalui subkutan dengan injector khusus transponder untuk sekali pemakain pada masing-masing mencit. Proses ini berlangsung ± 60 menit sebelum efek anastesi yang digunakan hilang.

3.3.4. Adaptasi di dalam IntelliCage

Dua belas ekor mencit yang telah di implan micro-transponder di scan untuk mendapatkan nomor setiap mencit yang akan dimasukkan kedalam data pada komputer setiap micro-transponder memiliki nomor seri yang berbeda- beda guna membedakan mencit satu dengan lainnya dan setiap aktivitas mencit selama di dalam IntelliCage dapat di deteksi oleh komputer. Mencit dimasukkan kedalam IntelliCage dan beradaptasi selama 2 hari. Bebas minum kesemua sudut pada IntelliCage yang setiap sudutnya dilengkapi dengan 2 botol air minum.

3.3.5. Metode Pembelajaran Learning Phase

Mencit yang berjumlah 12 ekor dibagi menjadi 3 kelopmpok K1, K2 dan K3. Setelah beradaptasi secara bebas di dalam IntelliCage, dilanjutkan dengan metode pembelajaran, metode pembelajaran ini terdiri dari 2 periode, dimana 1 periode terdiri dari masa puasa selama 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Disebut masa puasa karena sudut yang merupakan akses ke air ditutup dan disebut masa pengamatan karena sudut yang merupakan akses ke air dibuka setelah mencit masuk kedalam sudut dan minum selama 3 detik mencit akan menerima semburan angin air puff selama 3 detik. Data yang digunakan adalah data selama pengamatan.

3.3.6 Metode Pengenalan Conditioning Phase

Setelah mencit menerima efek kecemasan akibat semburan angin air puff yang diterimanya sebagai hukuman pada setiap sudut mencit berlanjut menerima fase berikutnya yaitu metode pengenalan Conditioning Phase. Pada fase ini Universitas Sumatera Utara menggunakan LED yang terdapat pada alat IntelliCage. Lampu akan menyala disetiap sudut. sama seperti fase sebelumnya fase ini terdiri dari atas 2 periode. 1 periode terdiri dari masa puasa 24 jam dan masa pengamatan selama 6 jam. Pada masa puasa semua pintu pada sudut yang merupakan akses ke air ditutup selama 24 jam kemudian setelah masa puasa habis berlanjut ke masa pengamatan yang berlangsung selama 6 jam, pada masa ini semua pintu pada sudut yang merupakan akses ke air dibuka Ketika mencit masuk kedalam sudut dan minum selama 3 detik mencit akan menerima semburan angin selama 3 detik. Lampu akan menyala baik pada masa puasa maupun masa pengamatan waktu dilanjutkan dari learning phase. a b Gambar 1.4. Pola stimulus LED pada IntelliCage a pola warna periode 1 pada fase pengenalan b pola warna periode 2 pada fase pengenalan; angka pada gambar menunjukan penomoran sudut corner.

3.3.7 Metode Pengujian Treatment Phase

Pada metode pengujian mencit diberi perlakuan: a. Kelompok K1 sebagai kontrol blank tanpa injeksi b. Kelompok K2 diberi injeksi larutan saline sebagai kontrol negatif c. Kelompok K3 diberi injeksi dengan petidin sebagai perlakuan Corner 4 Corner 3 Corner 2 Corner 1 Corner 2 Corner 3 Corner 1 Corner 4 Universitas Sumatera Utara Fase uji ini dilanjutkan dari fase sebelumnya yang juga terdiri dari 2 periode yaitu masa puasa 24 jam dan masa pengamatan 6 jam. Setelah mencit dibagi menjadi kelompok diatas, mencit akan menerima perlakuan berdasarkan kelompoknya, pemberian zat perlakuan dilakukan 30 menit sebelum masa puasa berakhir. Injeksi dilakukan secara intramuscular. Masa puasa dan masa pengamatan sama dengan fase pengenalan Conditioning Phase sebelumnya yaitu dibuka, ditutupnya pintu, pemberian air puff serta lampu yang menyala sesuai warna setiap periode pada fase conditioning.

3.3.8 Variabel Pengujian

Berbagai variabel variasi yang telah ditunjukkan pada setiap kelompok: • Jumlah kunjungan: Frekuensi mencit untuk kembali ke corner. • Durasi kunjungan: total waktu yang dihabiskan mencit didalam corner • Jumlah jilatan: jumlah semua jilatan selama masa mencit minum. • Durasi jilatan: waktu yang dihabiskan mencit untuk minum. • Jumlah Hendusan: total jumlah yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan hendusan. • Durasi hendusan: Total waktu yang digunakan mencit untuk berusaha mencari air pada botol di dalam sudut dengan hendusan.

3.3.9 Analisis Data

Data yang didapat dari setiap parameter uji diuji dengan bantuan SPSS ver-22 untuk melihat korelasi data antara sebelum dan sesudah pemberian obat, kemudian digunakan uji parametrik one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji bootsrapping untuk melihat korelasi data antara sebelum dan sesudah pemberian obat dan menggunakan data otomatis yang direkam pada Analyzer IntelliCage. Universitas Sumatera Utara Gambar 1.5. Jalur skematik alur penelitian pada IntelliCage yang merupakan penggabungan model vogel water lick dan model geller-seifter Geller, 1960. Metode Pembelajaran Learning Phase Metode Pengenalan Conditioning Phase Metode pengujian Test Phase • Membentuk pola minum • Semua sudut1 sudut • Pengenalan akses air obat yang diterima • Hukuman • Stimulus cahaya dan auditori • Hukuman • Stimulus warna lampu Light stimulus Jumlah dan durasi jilatan Durasi dan jumlah minum setelah diberikan hukuman Universitas Sumatera Utara

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, petidin memiliki banyak efek samping yang dapat dilihat berdasarkan perubahan aktifitas psikomotorik pada mencit Mus musculus. Efek dapat dianalisis berdasarkan durasi dan jumlah setiap variabel yaitu kunjungan, hendusan, jilatan mencit pada sudutcorner IntelliCage. Data yang telah dicatat secara otomatis oleh IntelliCage maka diperoleh hasil sebagai berikut. 4.1. Efek Pemberian Petidin Terhadap Fungsi Psikomotorik 4.1.1. Fungsi Psikomotorik Berdasakan Durasi Kunjungan Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian di uji dengan Analisis Varians ANOVA Lampiran 3 dapat dilihat rata-rata durasi kunjungan pada perlakuan petidin berbeda, namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan Gambar 4.1. Gambar 4.1. Rata-rata durasi kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1: Kontrol Blank; K2: Kontrol Saline; K3: Perlakuan Petidin; s: second detik. 20 40 60 80 100 120 140 K1 K2 K3 D ur as i K un jung an s Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Gambar 4.1. dapat dilihat rata-rata durasi kunjungan yang paling lama terdapat pada mencit yang telah diberikan obat petidin. Hal ini menunjukkan bahwa petidin mampu meningkatkan aktifitas psikomotorik mencit selama di dalam corner. walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Petidin merupakan analgesik opioid kuat turunan sintetik morfin fenil piperidin yang penggunaannya paling banyak dewasa ini. Golongan ini umumnya menimbulkan euphoria Siswandono, 1995. 4.1.2. Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Jumlah Kunjungan Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian diuji dengan Analisis Varians ANOVA Lampiran 3 dapat dilihat bahwa rata- rata jumlah kunjungan mencit yang diberikan obat petidin lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol namun tidak signifikan Gambar 4.2. Gambar 4.2. Rata-rata jumlah kunjungan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1: Kontrol Blank; K2: Kontrol Saline; K3: Perlakuan Petidin s: second detik. Berdasarkan Gambar 4.2. dapat dilihat rata-rata jumlah kunjungan dari kontrol saline dan kelompok perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan bahwa petidin sedikit nya mengurangi frekuensi mencit kembali berkunjung ke dalam corner. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 K1 K2 K3 Kelompok Jum la h K u nj u n ga n Universitas Sumatera Utara Aktivitas motorik atau pergerakan yang normal sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari Ahmed Miller, 2011. Pergerakan atau aktivitas motorik yang normal dipengaruhi oleh koordinasi dari sistem lokomotor yang baik Sidharta, 1979. Secara umum gangguan aktivitas motorik adalah berupa melambatnya gerakan psikomotorik dan penurunan daya ingat Ganong, 2002. Penurunan aktivitas motorik juga dipengaruhi oleh obat pendepresi sususan sarap pusat seperti penggunaan obat yang langsung bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang dikenal sebagai analgesik-narkotik sangat berguna untuk meredakan dan menghilangkan rasa nyeri. Semua analgesik-narkotik dapat menimbulkan adiksi. Adiksi merupakan penggunaan obat secara kompulsif dan tidak dapat dikontrol sehingga dapat memengaruhi tindakan dan menyebabkan gangguan pada otak Tjay, 2007. Reseptor-reseptor opiat namanya diambil dari opium, suatu obat euforik yang bekerja pada reseptor-reseptor ini, terletak di sepanjang substansia otak. Morfin dan obat-obat terkait lainnya bekerja pada reseptor opiat untuk menghilangkan stress dan nyeri Olson, 1995. Somastostatin tempat bekerja obat ini ditemukan dibagian otak, yang tampaknya berfungsi sebagai neurotransmiter dengan efek pada masukan sensorik, aktivitas lokomotrik dan fungsi kognitif Ganong, 2008. Zat psikoaktif adalah zatbahan yang apabila masuk kedalam tubuh berkhasiat memengaruhi tubuh, terutama susunan saraf pusat, sehingga mengakibatkan perubahan aktivitas mental-emosional dan perilaku pengguna seringkali menyebabkan ketagihan dan ketergantungan zat tersebut Departemen Kesehatan RI direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 2006. Analgesik opioid narkotika dapat berasal dari tanaman, baik sintetik mlaupun semisintetik yang dapat penyebabkan penurunan dan perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah atau sintetik bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku Lumbantobing, 2007. Universitas Sumatera Utara

4.1.3. Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Durasi Hendusan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian di uji dengan Analisis Varians ANOVA dapat diketahui bahwa durasi hendusan memiliki perbedaan yang signifikan Lampiran 3. Dengan demikian dilakukan uji lanjutan menggunakan metode Bonferroni, maka diketahui perbandingan durasi hendusan antara masing-masing kelompok Gambar 4.3. Gambar 4.3. Rata-rata durasi hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1: Kontrol Blank; K2: Kontrol Saline; K3: Perlakuan Petidin s: second detik. Berdasarkan Gambar 4.3. dapat dilihat perbedaan durasi hendusan mencit menunjukkan hasil yang signifikan antara kelompok kontrol blank dan kontrol saline tetapi tidak terdapat perbedaan antara kontrol blank dan perlakuan petidin. Hal ini dikarenakan dosis petidin yang digunakan belum memberikan pengaruh terhadap durasi hendusan mencit sedangkan pemberian saline dengan penambahan stressor memberikan efek penurunan perilaku. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 K1 K2 K3 b a a D u ra si He n d u sa n s Universitas Sumatera Utara

4.1.4. Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Jumlah Hendusan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian di uji dengan Analisis Varians ANOVA Lampiran 3 dapat dilihat rata-rata jumlah hendusan pada perlakuan petidin lebih rendah, namun tidak signifikan. Gambar 4.4. Rata-rata jumlah hendusan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1 : Kontrol Blank; K2 : Kontrol Saline; K3 : Perlakuan Petidin Berdasarkan Gambar 4.4. rata-rata jumah hendusan dari masing-masing kelompok lebih rendah namun tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata dari kelompok perlakuan petidin lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan pemberian obat petidin sedikitnya menurunkan jumlah hendusan mencit meskipun tidak signifikan. Obat petidin merupan analgesik narkotik yang langsung bekerja pada sistem saraf pusat yang memengaruhi sistem saraf otonom sehingga menyebabkan perubahan pergerakan psikomotorik mencit menghendus cornersudut. Hendusan mencit sedikitnya berkaitan dengan pernafasan mencit. Petidin berpengaruh pada sistem saraf pernafasan yang menyebabkan depresi pernafasan. Menurut Isbell White 1953, perilaku mencit yang diberikan metandon dan petidin menunjukkan sedikit perbedaan. Petidin memerlukan waktu yang lebih sering untuk menunjukkan angka peningkatan perilaku yang jauh lebih tinggi yaitu setidaknya setiap tiga jam, dibandingkan pemberian morfin sama halnya dengan yang terjadi pada manusia aktivitas motorik secara kualitas dapat merepresentasikan sindrom withdrawal ketergantungan obat Way et al., 1969. 2 4 6 8 10 12 14 16 18 K1 K2 K3 Kelompok Ju m la h H endus an Universitas Sumatera Utara Menurut Nael 2006; Ghodse 2002, petidin atau meperidin mempunyai awetan kerja cepat, dan tidak digunakan dalam jangka waktu yang panjang karena hanya memiliki durasinya yang singkat 3 jam. Petidin berinteraksi serius dengan inhibitor monoamin oksidase MAOI yang menyebabkan delirium, hiperpireksia. Meperidin bekerja pada tempat spesifik pada susunan saraf yang disebut reseptor opioid dimana tempat kerja petidin secara spesifik adalah pada reseptor K Horn, 1998. Petidin menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi nafas dan efek sentral lain Santoso, 2003. Menurut Tucker 2009, depresi nafas adalah ketidak mampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal sehingga pernafasan menjadi tidak normal, hal ini terjadi karena adanya penekanan rangsang di sistem saraf pusat pernafasan, bisanya karena pengaruh obat narkotika atau keracunan. Depresi pernafasan jika tidak ditangani dengan baik akan akan mengakibatkan gagal nafas. Gagal nafas adalah ketidak mampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal, eliminasi CO 2 dan pH yang normal disebabkan oleh masalah difusi dan perfusi. Depresi sistem saraf pusat mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak normal. Pusat pernafasan yang mengendalikan pusat pernafasan, terletak dibawah batang otak pons dan medula sehingga pernafasan lambat dan dangkal. Tekanan darah akan meningkat sedikit pada pemberian meperidin dosis tinggi. Selain itu juga menyebabkan hilangnya refleks sistem saraf simpatis. Kontraktilitas jantung akan menurun, menurunkan volume sekuncup dan tekanan pengisian jantung akan meningkat. Pada sistem respirasi, frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Depresi pernapasan terjadi terutam karena penurunan volume tidal dan penurunan kepekaan pusat nafas terhadap CO 2. Selain itu, pemakaian petidin dapat mengurangi konsumsi oksigen pada otak, aliran darah otak dan menurunkan tekanan intra kranial Morgan et al., 2002. Kajian yang efektif dari perilaku hewan membutuhkan pengamatan dan percobaan. Perilaku hewan tersebut dapat dipelajari melalui dua bidang yang utama, yaitu fisiologis dan ekologi. Kajian fisiologi akan memberikan pemahaman mengenai mekanisme terjadinya perilaku tersebut yang mencakup interaksi biokimia, saraf, otot dan indera. Sedangkan, kajian ekologi kaitannya dengan Universitas Sumatera Utara lingkungan. Pengamatan hewan keseluruhan yang meliputi kedua kajian utama ini dapat dilakukan secara alami di lapangan atau dalam laboratorium dengan kondisi lingkungan percobaan yang terkontrol. Gangguan perilaku lebih dipengaruhi oleh beragam faktor yang saling tumpang tindih overlaping. Faktor waktu dan model pemaparan perlakuan bahan uji secara berulang dapat memberikan efek pada perilaku Maramis, 2014.

4.1.5. Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Durasi Jilatan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian di uji dengan Analisis Varians ANOVA dapat diketahui bahwa durasi jilatan memiliki perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol blank dengan kelompok kontrol saline Lampiran 3. Dengan demikian dilakukan uji lanjutan dilakukan dengan metode Bonferroni, maka didapatkan perbandingan durasi jilatan antara masing-masing kelompok Gambar 4.5. Gambar 4.5. Rata-rata durasi jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1: Kontrol Blank; K2: Kontrol Saline; K3: Perlakuan Petidin, s: second detik. Berdasarkan Gambar 4.5. dapat dilihat durasi jilatan mencit pada kelompok kontrol blank dan kontrol saline menunjukkan hasil yang signifikan. Sedangkan kontrol blank dan perlakuan petidin tidak menunjukkan hasil yang 10 20 30 40 50 60 K1 K2 K3 a a b D u ra si J il at an s Universitas Sumatera Utara signifikan. Hal ini dikarenakan dosis petidin yang digunakan belum memberikan pengaruh terhadap durasi jilatan mencit dan pemberian obat satu kali dalam masa pengamtan 6 jam belum efektif dalam memberikan pengaruh terhadap durasi jilatan mencit sedangkan pemberian saline dengan penambahan stressor memberikan efek penurunan perilaku dalam hal ini memengaruhi penurunan jilatan mencit. Variabel jilatan mencit sedikitnya berhubungan dengan aktivitas minum mencit.

4.1.6. Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Jumlah Jilatan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian di uji dengan Analisis Varians ANOVA dapat diketahui bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan yang signifikan Lampiran 3. Dengan demikian dilakukan Uji lanjutan dilakukan menggunakan metode Bonferroni, maka didapatkan perbandingan jumlah jilatan antara masing-masing kelompok Gambar 4.6. Gambar 4.6. Rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1: Kontrol Blank; K2 : Kontrol Saline; K3 : Perlakuan Petidin. Berdasarkan Gambar 4.6. dapat dilihat bahwa jumlah jilatan mencit pada kelompok kontrol saline terdapat perbedaan yang signifikan dengan kelopok kontrol blank dan kelompok perlakuan petidin. Tetapi dapat dilihat berdasakan rata-rata pada setiap kelompok Kelompok perlakuan petidin lebih rendah 50 100 150 200 250 300 350 K1 K2 K3 b a a Ju m la h J il at an Universitas Sumatera Utara dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan petidin dapat menurunkan frekuensi mencit untuk kembali menjilat pada setiap corner. Variabel jumlah jilatan pada mencit sedikit banyak nya dihubungkan dengan perilaku mencit mencari minum dan melakukan aktivitas minum. Menurut Hoggs 1996, efek dari pengujian kecemasan pada mencit dapat merubah perilaku dasar yang dapat dilihat pada hewan kelompok kontrol. Dimana tingkat perubahan dari kelompok kontrol negatif non-farmalogikal dengan pemberian stressor dapat memberikan efek mendalam pada perilaku. Faktor eksternal dapat secara langsung mengubah efek obat. Faktor ekternal mencakup kondisi kandang, prosedur penangangan seperti sumber stressor, visual dan auditori merupakan aspek penting demi tercapainya variabel setiap pengujian laboraturium. Karena perbedaan pemberian stressor dan stimulus dapat memberikan respon perilaku yang berbeda pula Sanchez, 1996. Menurut Stoelting 2006, dua puluh lima persen penurunan aliran darah ke korteks renal dihubungkn dengan perubahan tekanan darah sedangkan tidak adanya peningkatan ADH, rennin dan aldosteron pada plasma ditinjukkan oleh golongan obat opioid. Jika fungsi renal berubah selama pemberian opioid merupakan perubahan hemodinamik sistemik dan renal. Semua opioid memengaruhi sensasi kandung kencing. Menurut Giriwijoyo 2005, tubuh melakukan metabolisme untuk menghasilkan energi didalam tubuh. Diantaranya, kerja syaraf, kelenjar, otot, membentuk zat-zat baru dan mempertahankan suhu tubuh. Penggunaan obat- obatan seperti obat diuretika, sedativa penenang, dan anticholinergik juga dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Sehingga diperlukan asupan air yang cukup agar tubuh dapat melakukan metabolisme dengan baik. Zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkam kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya ganguguan fisiologis, gangguan berfikir, perubahan perasaan serta mempunyai efek stimulasi merangsang www. Narkoba-metro.org. Menurut Notoadmodjo 2005, Perilaku adalah tindakan atau aksi yang mengubah hubungan antara organisme dan lingkungannya. Hal itu merupakan kegiatan yang diarahklan dari luar dan tidak mencakup banyak perubahan di Universitas Sumatera Utara dalam tubuh yang secara tetap terjadi pada makhluk hidup. Perilaku dapat terjadi sebagai akibat suatu stimulus dari luar. Reseptor diperlukan untuk mendeteksi stimulus itu, saraf diperlukan untuk mengkoordinasikan respons, efektor itulah yang sebenarnya melaksanakan aksi. Perilaku dapat juga disebabkan stimulus dari dalam. Lebih sering terjadi, perilaku suatu organisme merupakan akibat gabungan stimulus dari luar dan dari dalam. mekanisme kerja suatu hewan tertentu erat kaitannya dengan pengetahuan mengenai fisiologi alat indera, khususnya neurofisiologi, dengan endokrinologi, dan fisiologi otot itu sendiri. Petidin berikatan dengan reseptor mu untuk menimbulkan efek analgesianya dimana efek sampingnya berupa euphoria, perubahan mood dan gangguan fungsi kognitif. Kemampuan opioid menginduksi analgesia dimediasi oleh aktivasi reseptor µ pada supraspinal dan aktivasi reseptor ĸ pada spinal cord. Efek opioid lain yang berhubungan dengan stimulasi reseptor µ adalah euphoria, miosis, depresi pernafasan dan penurunan motilitas fisiologis. Reseptor µ opioid juga meningkatkan kadar dopamine mesolimbik, menganggu proses pembelajaran dan memori, memfasilitasi potensi jangka panjang dan menghambat motilitas kandung kemih dan dieresis Ghodse Hamid, 2002.

4.2. Efek Pemberian Petidin Terhadap Fungsi Kognitif Ingatan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui pengaruh petidin terhadap ingatan mencit Mus musculus tabel 4.1. Pada fase conditioning dengan pemberian stimulasi paparan LED sebagai rangsangan untuk memberi pola ingatan mencit berdasarkan warna dan posisi pada setiap corner. Mencit memiliki kecenderungan bergerak pada corner 3 dan corner 4 tetapi Pada fase Treatment dengan pemberian stimulasi paparan LED sebagai rangsangan dan diberikan perlakuan petidin, mencit tidak mengikuti pola bergerak pada fase sebelumnya yaitu pada corner 3 dan corner 4. Mencit cenderung bergerak secara acak pada setiap corner Variabel yang digunakan adalah kecendrungan berkunjung, kecenderungan menghendus dan kecenderungan menjilat pada setiap corner Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 4.2.3. Hasil Perhitungan Otomatis Pada IntelliCage Efek Pemberian Petidin Terhadap Fungsi Kognitif Ingatan Berdasarkan Kunjungan Mencit Pada Corner Berdasarkan data otomatis pada intelliCage persentasi kecenderungan berkunjung mencit ke masing-masing sudut IntelliCage yang dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.1. Persentase Kunjungan Mencit pada masing-masing CornerSudut IntelliCage dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin Corner Sudut IntelliCage Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2 Pemaparan LED Pemaparan LED + petidin Pemaparan LED Pemaparan LED + Petidin 1 3 2 10 36 3 40 17 52 25 4 60 83 38 36 Pada Tabel 4.1. diatas dapat dilihat bahwa pada conditioning 1 yang hanya diberi paparan LED menunjukkan persentase kunjungan yang dominan ke cornersudut 3 dan 4, pada masa treatment 1 yang dipapari dengan LED dan pemberian petidin masih menunjukkan kecenderungan sudut yang sama yaitu pada corner 3 dan 4. Begitu juga hal nya dengan masa conditioning 2 yang hanya diberi paparan LED, masih kembali menunjukkan kecenderungan sudut corner 3 dan 4. Tetapi masa treatment 2 menunjukkan persentasi yang berbeda atau hampir merata di setiap sudutcorner dan tidak lagi menunjukkan kecenderungan sudut ke 3 dan ke 4 dengan persentasi corner 1 sebanyak 3 , corner 2 sebanyak 36, corner 3, sebanyak 25 dan corner 4 sebanyak 36. Hal ini dikarenakan oleh, pemberian LED sebelumnya telah membentuk rangsangan pada mencit untuk bergerak kearah corner 3 dan 4. Pemberian petidin pada masa treatment 1 masih dapat ditolerir sehingga tidak terjadi perbedaan, mencit tetap bergerak ke corner 3 dan 4. Tetapi setelah petidin di berikan kembali pada masa treatment 2 terjadi perubahan fungsi kognitif sehingga mencit tidak lagi bergerak hanya ke sudut 3 dan 4 melainkan keseluruh sudutcorner Lampiran 2. Universitas Sumatera Utara 4.2.4. Hasil Perhitungan Otomatis Pada IntelliCage Efek Pemberian Petidin Terhadap Fungsi Kognitif Ingatan Berdasarkan Hendusan Mencit Pada Corner Berdasarkan data otomatis pada intelliCage persentasi kecenderungan mengehendus mencit ke masing-masing sudut IntelliCage yang dapat dilihat dalam tabel 4.2: Tabel 4.2. Persentase Hendusan Mencit pada masing-masing CornerSudut IntelliCage dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin Corner Sudut IntelliCage Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2 Pemaparan LED Pemaparan LED + petidin Pemaparan LED Pemaparan LED +Petidin 1 12 2 3 31 3 14 22 42 28 4 86 78 55 29 Pada Tabel 4.2. diatas dapat dilihat bahwa pada conditioning 1 yang hanya diberi paparan LED menunjukkan persentasi mencit menghendus yang dominan ke sudutcorner 3 dan 4, pada masa treatment 1 yang dipapari dengan LED dan pemberian petidin masih menunjukkan kecenderungan sudut yang sama yaitu pada sudutcorner 3 dan 4. Begitu juga hal nya dengan masa conditioning 2 yang hanya diberi paparan LED, masih kembali menunjukkan kecenderungan mencit menghendus sudutcorner 3 dan 4. Tetapi masa treatment 2 menunjukkan persentase yang berbeda atau hampir merata di setiap sudutcorner dan tidak lagi menunjukkan kecenderungan menghendus ke sudutcorner ke 3 dan ke 4 dengan persentasi corner 1 sebanyak 12 , corner 2 sebanyak 31, corner 3 sebanyak 28 dan corner 4 sebanyak 30. Hal ini dikarenakan oleh, pemberian LED sebelumnya telah membentuk rangsangan pada mencit untuk bergerak kearah corner 3 dan 4. pemberian petidin pada masa treatment 1 masih dapat ditolerir sehingga tidak terjadi perbedaan, mencit tetap bergerak untuk menghendus corner 3 dan 4. Tetapi setelah petidin diberikan kembali pada masa treatment 2 terjadi perubahan fungsi kognitif mencit menghendusmendeteksi lingkungan sekitar sehingga mencit tidak lagi bergerak untuk menghendus hanya ke sudut 3 dan 4 melainkan keseluruh sudutcorner. Universitas Sumatera Utara 4.2.5. Hasil Perhitungan Otomatis Jilatan Mencit pada Alat IntelliCage Pengaruh Petidin Terhadap Fungsi Kogintif Ingatan Berdasarkan Jilatan Mencit pada Corner Berdasarkan data otomatis pada intelliCage persentasi kecenderungan mengehndus mencit ke masing-masing sudut IntelliCage yang dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.3. Persentase Jilatan Mencit pada masing-masing CornerSudut IntelliCage dengan Pemaparan LED Sebelum dan Sesudah Pemberian Petidin Corner Sudut IntelliCage Conditioning 1 Treatment 1 Conditioning 2 Treatment 2 Pemaparan LED Pemaparan LED + petidin Pemaparan LED Pemaparan LED+Petidin 1 2 6 73 3 11 78 3 4 100 89 16 24 Pada Tabel 4.3. diatas dapat dilihat bahwa pada conditioning 1 yang hanya diberi paparan LED menunjukkan persentasi mencit menjilat atau minum ke sudutcorner 4 dengan persentase sebanyak 100, yang artinya semua mencit melakukan jilatan ke corner 4. pada masa treatment 1 yang dipapari dengan LED dan pemberian petidin masih menunjukkan kecenderungan ke corner 4 sebanyak 89. Pada masa conditioning 2 yang hanya diberi paparan LED, masih kembali kecenderungan sudutcorner menjadi tinggi pada corner 3. Pada masa treatment 2 menunjukkan persentase yang berbeda, yaitu mencit melakukan jilatan yang cenderung ke sudutcorner 2 sebanyak 73 diikuti dengan corner 4 sebanyak 24 dan corner 3 sebanyak 3. Tidak ada angka yang jelas untuk membandingkan kecenderungan sudut. tetapi jelas terlihat bahwa terjadi perubahan fumgsi kognitif yang dapat dilihat melalui kecenderungan mencit menjilat dan mencari minum pada fase conditioning 1 dan treatment 2. Berkowitz 1972, respon akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang memberikan kesimpulan nilai terhadap stimulus yang baik atau buruk yang kemudian timbul sebagai potensi reaksi terhadap objek Azwar Saifuddin, 1988. Penelitian Mintzer et al., 2005, membandingkan fungsi kognitif pengguna opioid yang sedang dalam terapi pemeliharaan dosis menggunakan methadone menyatakan pengguna opiod yang dalam pemeliharaan Universitas Sumatera Utara dosis methadone mengalami gangguan kognitif lebih berat dibandingkan dengan kontrol. Menurut Vainino et al., 1995, Walter et al., 2001, petidin dan morfin merupakan golongan obat opioid. Opioid telah dikenal sebagai obat yang bekerja pada sistem saraf. Farmakodinamik obat ini dapat menimbulkan efek berlanjut sedasi, perubahan mood, pusing, mengaburkan mental, dan hilangnya keterampilan motorik. Efek samping jangka panjang dapat dilihat dalam proses belajar yang memerlukan persepsi, perhatian, memori serta pengambilan keputusan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa golongan obat opioid merusak fungsi kognitif individu. Menurut Dahlstrom et al., 1975, Blomm et al., 1976, Eidelberg Erspamer 1975, baik opioid endogen dan eksogen menyebabkan perubahan gerak pada tikus. Hal ini ditunjukkan oleh pemberian morfin dengan pemberian dosis bertingkat menyebabkan dopaminergik pada korpus striatum. Keseluruhan proses dari endogenus opioid b-endorphin mencakup sprektrum yang luas yang seperti pemberian dengan dosis morfin yang rendah pada tikus dapat meningkatkan aktivitas spontan sedangkan dosis tinggi menyebabkan kekauan. Hal ini, menunjukkan bahwa peptida endogen memainkan peran penting dalam regulasi perilaku. Beberapa gangguan kognitif pada pengguna berbagai macam jenis opioid yaitu penggunaan Methylenedioxymeth amphetamine MDMA yang dapat menyebabkan gangguan memori, kemampuan belajar, kecepatan psikomotor, transmisi dan respon untuk menahan diri Kalechstein et al., 2007. Woicik et al., 2008, menyatakan penggunaan kokain dapat menyebabkan gangguan atensi, verbal, memori, dan fungsi eksekutif. Gangguan dalam working memory, recall, kecepatan proses informasi, dan kesulitan belajar terjadi pada pengguna amphetamine. Efek akut penggunaan cannabis dalam kurun waktu 12-24 jam meliputi gangguan atensi dan short term memory, sedangkan efek jangka panjang setelah 24 jam–28 hari meliputi short term memory dan atensi. Heroin berdampak negatif pada atensi, kontrol diri dan berpikir abstrak. Universitas Sumatera Utara

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: a. Obat petidin meningkatkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan durasi kunjungan pada perhitungan rata-rata namun tidak menunjukkan hasil yang signifikan, Efek obat petidin menurunkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan jumlah kunjungan dengan perhitungan rata-rata namun tidak tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Efek obat petidin menurunkan psikomotorik mencit cemas berdasarkan jumlah hendusan. Efek obat petidin menunjukkan hasil perbedaan psikomotorik yang signifikan berdasarkan durasi jilatan dan jumlah jilatan. b. Obat petidin dapat mengganggu fungsi kognitif ingatan mencit cemas berdasarkan persentase kecenderungan kunjungan, hendusan, jilatan mencit pada masing-masing sudutcorner IntelliCage.

5.2 Saran

Saran yang diberikan untuk penelitian ini adalah: a. Sebaiknya penelitian selanjutnya, menggunakan konsentrasi petidin yang lebih tinggi dan menyebabkan withdrawal ketergantungan obat. b. Sebaiknya penelitian selanjutnya, dapat dilakukan uji lanjutan seperti pembuatan histologi otak setelah pemaparan LED dan petidin. c. Sebaiknya penelitian selanjutnya, pemberian obat menggunakan dosis bertingkat dan memberikan petidin lebih dari satu kali dalam satu kali pengamatan. d. Sebaiknya penelitian selanjutnya, dapat dilakukan pengobatan nyeri pada dengan induksi warna menggunakan IntelliCage. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Studi Tingkah Laku Mencit Secara Umum

Mencit merupakan hewan sosial dan memiliki rasa ingin tahu. Ketika mencit masih muda, mencit dapat berkelompok dengan sangat baik. Mencit selalu terlihat tidur bersama-sama dalam kelompok. Ketika mereka dikandangkan dalam suatu kelompok, satu atau dua mencit terkadang akan memotong bulu dan menggaruk- garuk wajah, kepala, dan bagian tubuh mencit lainnya. Mencit akan menjaga wilayah teritorialnya, tidak agresif terhadap manusia. Mencit jantan dewasa pada beberapa strain akan saling menyerang apabila dikandangkan bersama, khususnya apabila pada kondisi yang sangat bising dan beberapa strain mencit lebih mudah mendapat penyerangan. Mencit dapat memberikan beberapa luka gigitan pada alat genitalia dan ekor serta sepanjang bagian punggung dari lawannya. Beberapa serangan luka dapat mengakibatkan kegilaan dan kematian Hrapkiewicz Medina, 2007. Mencit memiliki kelenjar harderian di dekat mata yang menghasilkan kotoran berwarna coklat kemerahan apabila mengalami stress tekanan. Mencit tidak memiliki penglihatan yang baik buta warna, tetapi sangat tajam dalam hal pendengaran yaitu mampu mendengar frequensi suara ultrasonik sampai lebih dari 100 kHz Amori, 1996. Mencit juga memiliki pheromone yang berguna dalam komunikasi. Pheromone ini dihasilkan oleh kelenjar preputial dan juga melalui urin, serta melalui air mata pada mencit jantan. Pheromone ini dideteksi dengan menggunakan organ Jacobson yang terletak di bagian bawah hidung Kimoto, 2005.

2.2. Data Biologis Mencit

Dokumen yang terkait

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

2 31 71

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 12

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 2

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 4

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 10

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 2

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 3

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 8

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

1 1 4

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 15