Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Durasi Jilatan Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Jumlah Jilatan

lingkungan. Pengamatan hewan keseluruhan yang meliputi kedua kajian utama ini dapat dilakukan secara alami di lapangan atau dalam laboratorium dengan kondisi lingkungan percobaan yang terkontrol. Gangguan perilaku lebih dipengaruhi oleh beragam faktor yang saling tumpang tindih overlaping. Faktor waktu dan model pemaparan perlakuan bahan uji secara berulang dapat memberikan efek pada perilaku Maramis, 2014.

4.1.5. Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Durasi Jilatan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian di uji dengan Analisis Varians ANOVA dapat diketahui bahwa durasi jilatan memiliki perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol blank dengan kelompok kontrol saline Lampiran 3. Dengan demikian dilakukan uji lanjutan dilakukan dengan metode Bonferroni, maka didapatkan perbandingan durasi jilatan antara masing-masing kelompok Gambar 4.5. Gambar 4.5. Rata-rata durasi jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1: Kontrol Blank; K2: Kontrol Saline; K3: Perlakuan Petidin, s: second detik. Berdasarkan Gambar 4.5. dapat dilihat durasi jilatan mencit pada kelompok kontrol blank dan kontrol saline menunjukkan hasil yang signifikan. Sedangkan kontrol blank dan perlakuan petidin tidak menunjukkan hasil yang 10 20 30 40 50 60 K1 K2 K3 a a b D u ra si J il at an s Universitas Sumatera Utara signifikan. Hal ini dikarenakan dosis petidin yang digunakan belum memberikan pengaruh terhadap durasi jilatan mencit dan pemberian obat satu kali dalam masa pengamtan 6 jam belum efektif dalam memberikan pengaruh terhadap durasi jilatan mencit sedangkan pemberian saline dengan penambahan stressor memberikan efek penurunan perilaku dalam hal ini memengaruhi penurunan jilatan mencit. Variabel jilatan mencit sedikitnya berhubungan dengan aktivitas minum mencit.

4.1.6. Fungsi Psikomotorik Berdasarkan Jumlah Jilatan

Berdasarkan data yang didapatkan pada program Analyzer IntelliCage, kemudian di uji dengan Analisis Varians ANOVA dapat diketahui bahwa jumlah jilatan memiliki perbedaan yang signifikan Lampiran 3. Dengan demikian dilakukan Uji lanjutan dilakukan menggunakan metode Bonferroni, maka didapatkan perbandingan jumlah jilatan antara masing-masing kelompok Gambar 4.6. Gambar 4.6. Rata-rata jumlah jilatan kelompok mencit ke sudut pembelajaran selama 2 hari fase pengujian pengamatan 6 jam Keterangan K1: Kontrol Blank; K2 : Kontrol Saline; K3 : Perlakuan Petidin. Berdasarkan Gambar 4.6. dapat dilihat bahwa jumlah jilatan mencit pada kelompok kontrol saline terdapat perbedaan yang signifikan dengan kelopok kontrol blank dan kelompok perlakuan petidin. Tetapi dapat dilihat berdasakan rata-rata pada setiap kelompok Kelompok perlakuan petidin lebih rendah 50 100 150 200 250 300 350 K1 K2 K3 b a a Ju m la h J il at an Universitas Sumatera Utara dibandingkan kelompok kontrol blank. Hal ini menunjukkan petidin dapat menurunkan frekuensi mencit untuk kembali menjilat pada setiap corner. Variabel jumlah jilatan pada mencit sedikit banyak nya dihubungkan dengan perilaku mencit mencari minum dan melakukan aktivitas minum. Menurut Hoggs 1996, efek dari pengujian kecemasan pada mencit dapat merubah perilaku dasar yang dapat dilihat pada hewan kelompok kontrol. Dimana tingkat perubahan dari kelompok kontrol negatif non-farmalogikal dengan pemberian stressor dapat memberikan efek mendalam pada perilaku. Faktor eksternal dapat secara langsung mengubah efek obat. Faktor ekternal mencakup kondisi kandang, prosedur penangangan seperti sumber stressor, visual dan auditori merupakan aspek penting demi tercapainya variabel setiap pengujian laboraturium. Karena perbedaan pemberian stressor dan stimulus dapat memberikan respon perilaku yang berbeda pula Sanchez, 1996. Menurut Stoelting 2006, dua puluh lima persen penurunan aliran darah ke korteks renal dihubungkn dengan perubahan tekanan darah sedangkan tidak adanya peningkatan ADH, rennin dan aldosteron pada plasma ditinjukkan oleh golongan obat opioid. Jika fungsi renal berubah selama pemberian opioid merupakan perubahan hemodinamik sistemik dan renal. Semua opioid memengaruhi sensasi kandung kencing. Menurut Giriwijoyo 2005, tubuh melakukan metabolisme untuk menghasilkan energi didalam tubuh. Diantaranya, kerja syaraf, kelenjar, otot, membentuk zat-zat baru dan mempertahankan suhu tubuh. Penggunaan obat- obatan seperti obat diuretika, sedativa penenang, dan anticholinergik juga dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Sehingga diperlukan asupan air yang cukup agar tubuh dapat melakukan metabolisme dengan baik. Zat atau obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkam kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya ganguguan fisiologis, gangguan berfikir, perubahan perasaan serta mempunyai efek stimulasi merangsang www. Narkoba-metro.org. Menurut Notoadmodjo 2005, Perilaku adalah tindakan atau aksi yang mengubah hubungan antara organisme dan lingkungannya. Hal itu merupakan kegiatan yang diarahklan dari luar dan tidak mencakup banyak perubahan di Universitas Sumatera Utara dalam tubuh yang secara tetap terjadi pada makhluk hidup. Perilaku dapat terjadi sebagai akibat suatu stimulus dari luar. Reseptor diperlukan untuk mendeteksi stimulus itu, saraf diperlukan untuk mengkoordinasikan respons, efektor itulah yang sebenarnya melaksanakan aksi. Perilaku dapat juga disebabkan stimulus dari dalam. Lebih sering terjadi, perilaku suatu organisme merupakan akibat gabungan stimulus dari luar dan dari dalam. mekanisme kerja suatu hewan tertentu erat kaitannya dengan pengetahuan mengenai fisiologi alat indera, khususnya neurofisiologi, dengan endokrinologi, dan fisiologi otot itu sendiri. Petidin berikatan dengan reseptor mu untuk menimbulkan efek analgesianya dimana efek sampingnya berupa euphoria, perubahan mood dan gangguan fungsi kognitif. Kemampuan opioid menginduksi analgesia dimediasi oleh aktivasi reseptor µ pada supraspinal dan aktivasi reseptor ĸ pada spinal cord. Efek opioid lain yang berhubungan dengan stimulasi reseptor µ adalah euphoria, miosis, depresi pernafasan dan penurunan motilitas fisiologis. Reseptor µ opioid juga meningkatkan kadar dopamine mesolimbik, menganggu proses pembelajaran dan memori, memfasilitasi potensi jangka panjang dan menghambat motilitas kandung kemih dan dieresis Ghodse Hamid, 2002.

4.2. Efek Pemberian Petidin Terhadap Fungsi Kognitif Ingatan

Dokumen yang terkait

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

2 31 71

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 12

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 2

Efek Alprazolam Terhadap Perilaku Kognitif dan Psikomotorik pada Mencit (Mus musculus L.) dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 4

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 10

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 2

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 3

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 8

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

1 1 4

Efek Petidin Terhadap Psikomotorik dan Fungsi Kognitif pada Mencit (Mus musculus L.) Cemas dengan Menggunakan Alat Sistem Otomatis IntelliCage

0 0 15