PENGARUH IDEOLOGI JUCHE TERHADAP PEREKONOMIAN KOREA UTARA: PADA MASA KEPEMIMPINAN KIM JONG-II

(1)

PENGARUH IDEOLOGI JUCHE TERHADAP PEREKONOMIAN

KOREA UTARA: PADA MASA KEPEMIMPINAN KIM JONG-II

(JUCHE IDEOLOGY EFFECT ON NORTH KOREA ECONOMY: THE DURATION OF KIM JONG-II LEADERSHIP)

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

Silvia Intan Febriani

20130510233

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i PENGARUH IDEOLOGI JUCHE TERHADAP PEREKONOMIAN KOREA

UTARA: PADA MASA KEPEMIMPINAN KIM JONG-II

Juche Ideology Effect On North Korea Economy: The Duration Of Kim Jong-Il Leadership

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

Silvia Intan Febriani

20130510233

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

iii SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul, “PENGARUH IDEOLOGI JUCHE TERHADAP PEREKONOMIAN KOREA UTARA: PADA

MASA KEPEMIMPINAN KIM JONG-II” ini asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik Sarjana baik di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ataupun di Perguruan Tinggi lain.

Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebut nama dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka Saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai dengan aturan yang berlaku Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Yogyakarta, 18 April 2017


(4)

iv

MOTTO

"Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut

dan bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian

dan keyakinan yang teguh." (Andrew Jackson)

“Janganlah larut dalam satu kesedihan karena masih ada hari

esok yang menyongsong

dengan sejuta kebahagiaan.”

“Allah akan meninggikan derajat orang

-orang yang beriman

diantara kamu dan orang-orang yang memiliki ilmu

pengetahuan.” (Al

-Mujadillah:11)


(5)

v HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

IBU & AYAH

Terimakasih ayah, terimakasih ibu yang telah menyayangi, mendukung dan mendoakan kakak sampai detik ini. Segala perjuangan yang telah ayah dan ibu lakukan telah membuat kakak bisa sampai tahap ini. Ini hanya sedikit balasan yang bisa kakak berikan kepada kalian yang telah memberikan segala kebahagian dan doa yang tulus untuk kakak.

Saya persembahkan juga skripsi ini kepada adik-adik tercinta.

LUTHFI DAFFA SAPUTRA & SHAFINAZ SHABRINA PUTRI

Makasih ya adik-adiknya kakak untuk doa-doa kalian. Kalian sangat memotivasi kakak untuk selalu berjuang menyelesaikan skripsi ini. Kakak sayang kalian.


(6)

vi KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum. Wr. Wb.

Puji Syukur Alhamdulliah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis diberi kemudahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada Baginda Rasullulah SAW, yang telah membawa umatnya kepada era pencerahan dari zaman kejahilan.

Dalam proses perjalanan mengemban pendidikan di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta dan dalam penyelesaian skripsi, banyak pihak yang turut memberi dukungan dan bantuannya dalam doa, moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2. Bapak. Dr. Ali Muhammad, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Ibu Dr. Nur Azizah selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk turut serta berkontribusi kepada jurusan.

4. Ibu Siti Muslihati, S.IP., M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(7)

vii 5. Prof. Dr. Tulus Warsito, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah sangat membantu dengan sabar dalam memberi bimbingan setiap harinya dan yang telah meluangkan waktunya untuk mengoreksi skripsi ini.

6. Bapak Takdir Ali Mukti, S.Sos. M.Si. selaku Dosen Penguji Skripsi I, terimakasih untuk masukan serta saran atas kekurangan dari skripsi ini dan semoga bermanfaat.

7. Bapak Drs. Jumadi M. Anwar, M.Si. selaku Dosen Penguji Skripsi II, terimakasih untuk masukan serta saran atas kekurangan dari skripsi ini dan semoga bermanfaat.

8. Kepada seluruh Dosen Hubungan Internasional UMY, terimakasih atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.

9. Seluruh rekan-rekan akademisi HI UMY, terimakasih atas kerjasamanya selama perkuliahan.

10.Teman-teman HI UMY 2013 terimakasih atas kerjasamanya selama belajar bareng di UMY dan telah memberi kehangatan silahturahmi selama masa perkuliahan.

11.Untuk seluruh teman-teman kelas D, yang telah memberikan pengalaman berharga saat pertama kali kuliah di HI UMY.

12.Untuk keluargaku, ayah, ibu dan adik-adik ku yang kakak sayangi. Terimaksih untuk doa dan semangatnya.

13.Untuk teman-teman KKN 04 : Karin, Mutia, Lely, Dessy, Shafa, Latifah, Hikmawan, Mbrey, Imam, Ai, Mba Put dan Andre pengalaman yang tidak


(8)

viii pernah terlupakan sebulan tinggal sama kalian. Bersama kalian mengajarkan aku bagaimana mengendalikan ego dan melatih kesabaran.

14.Untuk teman-teman Panitia Milad Fisipol ke-35, terimakasih kerjasamanya. Kepanitiaan ini membuat aku mengerti bagaimana berorganisasi

15.Sahabat-sahabat tersayang ku sejak SMA sampai detik ini : Fitriyanti Indah Sayuti, Fakhrana Adzani, Nurhayati Tantri, Imelda Pertiwi, Annisa Noor Amalina, Fitri Dewi Raidah terimakasih dukungan kalian ya.

16.Sahabat-sahabat tercintanya aku yang sama-sama berjuang merantau jauh ke jogja demi menuntut ilmu : Tiara Triajiramadhani, Dhita Novebrin Nidia, Sari Dwi Sartika Arofah, Sitti Mariam Mokoagow. Terimakasih untuk semangatnya akhirnya bisa menyelesaikan kuliah ini barengan dengan tepat waktu.

17.Terimakasih juga untuk teman-teman bimbingan Prof.Tulus arfa, karin, vebry dan yang lainnya.

18.Dan terimakasih untuk seluruh keluarga besar dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Tanpa doa dan dukungan kalian aku tidak akan bisa seperti ini


(9)

ix Mengakhiri kata pengantar ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu banyak masukan dan saran, maka dari itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca. Semoga Skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak serta perkembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan bangsa.

Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.

Yogyakarta, 18 April 2017


(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined. SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GRAFIK ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang Masalah...Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah...Error! Bookmark not defined.

C. Jangkauan Penelitian...Error! Bookmark not defined.

D. Kerangka Dasar Pemikiran...Error! Bookmark not defined.

1. Teori Marxisme oleh Karl Marx...Error! Bookmark not defined.

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian...Error! Bookmark not defined.

F. Hipotesa...Error! Bookmark not defined.


(11)

xi G. Sistematika Penulisan...Error! Bookmark not defined.

BAB II REPUBLIK DEMOKRATIK RAKYAT KOREAError! Bookmark not

defined.

2.1. Sejarah Korea Utara...Error! Bookmark not defined.

2.2. Perkembangan Sosial Korea Utara...Error! Bookmark not defined.

2.3. Sistem Pemerintahan dan Politik Korea Utara...Error! Bookmark not defined.

2.4. Sistem Ekonomi Korea Utara...Error! Bookmark not defined.

BAB III KEMUNCULAN IDEOLOGI JUCHE .. Error! Bookmark not defined.

3.1. Kondisi Perekonomian Korea Utara Paska Kemerdekaan...Error! Bookmark not defined.

3.2. Kemunculan Ideologi Juche di Korea Utara...Error! Bookmark not defined.

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN DI KOREA UTARA SETELAH

DITERAPKANNYA IDEOLOGI JUCHE PADA MASA KIM JONG-Il Error!

Bookmark not defined.

4.1. Kepemimpinan Kim Jong-Il...Error! Bookmark not defined.

4.2. Kondisi Perekonomian Korea Utara Masa Kim Jong-Il...Error! Bookmark not defined.

4.2.1 Pengembangan Nuklir Korea Utara...Error! Bookmark not defined.

4.2.2 Isu Kelaparan Korea Utara...Error! Bookmark not defined.


(12)

xii 5.1. Kesimpulan...Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.

LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR

Gambar I 2.1 Curah Hujan Musim Panas Korea Utara...25

Gambar II 2.2 Curah Hujan Musim Dingin Korea Utara...25

Gambar III 2.3 Peta Alur Serangan Korea Utara Terhadap Korea Selatan ...27


(13)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel I 2.1 Struktur Kelembagaan Korea Utara...31

Tabel II 3.1 Rancangan Ekonomi Korea Utara...39

Tabel III 3.2 GNP Perkapita Korea Utara dan Korea Selatan 1946-1990...46

Tabel IV 4.1 Sejarah Politik Kim Jong-Il...50


(14)

xiv DAFTAR GRAFIK

Grafik I 3.1 Pendapatan Perkapita Korea Utara dan Korea Selatan 1953- 1990...46 Grafik II 4.1 Bantuan Pangan WFP Ke Korea Utara...69


(15)

xv DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I AGREED FRAMEWORK...80 Lampiran II SIX PARTY TALKS...84


(16)

(17)

xvi ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis pengaruh Ideologi Juche terhadap perekonomian di Korea Utara pada masa kepemimpinan King Jong-Il. Tujuan penelitian ini yaitu untuk dapat mengetahui pencapaian sebuah ideologi yang sudah diterapkan di Korea Utara untuk meningkatkan pendapatan ekonomi Korea Utara. Peneliti menemukan bahwa kepercayaan bagi pemerintah dan masyarakat akan sebuah ideologi yang telah dibuat ini mampu membawa Korea Utara dapat menjadi negara yang lebih maju. Ideologi Juche

menerapkan sikap kemandirian di Korea Utara, sehingga para pemimpin Korea Utara berusaha semaksimal mungkin agar dapat membangun Korea Utara tanpa harus ada campur tangan dari pihak lainnya. Agar dapat menjadi negara yang maju dan kuat, Kim Jong-Il menerapkan Juche di bidang pertahanan militer. Bagi Kim Jong-Il sebuah negara yang memiliki pertahanan militer yang kuat dapat memajukan negara tersebut. Pembuatan persenjataan dan pengembangan Nuklir Korea Utara, dibuat dengan tujuan agar Korea Utara mampu bertahan dari ancaman berbagai pihak. Namun, pertahanan yang dibuat Kim Jong-Il membawa dampak buruk bagi masyarakat, karena pendapatan negara lebih banyak digunakan untuk memperkuat militer dibanding untuk mensejahterakan masyarakat. Banyak masyarakat Korea Utara yang kelaparan. Untuk melihat pencapaian yang telah dihasilkan oleh Ideologi Juche dan selanjutnya dianalisa menggunakan kerangka teori. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah Marxisme.


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korea Utara merupakan sebuah negara yang selalu menjadi topik perbincangan di dunia internasional karena semua provokasi dan ancaman-ancaman yang telah dibuat oleh Korea Utara menjadikan dunia internasional merasa terancam. Jumlah penduduk Korea Utara sekitar 24.545.000 jiwa1 dan memiliki luas wilayah sekitar 120.540 km2, Korea Utara atau yang biasa dikenal dengan Republik Demokratik Rakyat Korea, merupakan sebuah negara di Asia Timur, yang meliputi sebagian utara Semenanjung Korea. Ibu kota Korea Utara adalah Pyongyang. Zona Demiliterisasi Korea menjadi batas antara Korea Utara dan Korea Selatan. Sungai Amnok dan Sungai Tumen membentuk perbatasan antara Korea Utara dan Republik Rakyat Tiongkok. Sebagian dari Sungai Tumen di timur laut merupakan perbatasan dengan Rusia.

Korea Utara adalah negara warisan Uni Soviet pada saat Perang Dingin. Kebijakan ekonomi yang dijalankan Korea Utara cenderung sosialis-komunis. Pada awalnya, Korea Utara dianggap sebagai negara yang mampu menjadi penantang dan penyangga kuat terhadap dominasi barat di Semenanjung Korea. Namun sebaliknya, kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1980-1990an menyebabkan Korea Utara kehilangan sandaran terutama dalam bidang ekonomi.

1

Kedutaan Besar Republik Korea untuk Republik Indonesia, diakses melalui

http://idn.mofa.go.kr/worldlanguage/asia/idn/main/index.jsp pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 00:15 WIB


(19)

2 Dalam bidang ekonomi, Korea Utara termasuk ke dalam salah satu negara yang menganut kebijakan bahwa negara merupakan pemilik ekonomi dan diatur sepenuhnya oleh pemerintah serta membatasi pelaksanaan perdagangan internasional melalui kebijakan isolasinya, sehingga Korea Utara menjadi salah satu negara yang paling tertutup didunia. Secara sumber daya, Korea Utara bukanlah negara yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah. Karena sikap yang ditunjukkan oleh para pemimpin Korea Utara yang tertutup tersebut membuat negara-negara barat yang ingin memberikan bantuan terhadap Korea Utara menjadi tidak berminat untuk memberikan bantuan kepada Korea Utara.

Kondisi berbeda ditunjukan oleh negara tetangganya, yakni Korea Selatan. Korea Utara menyatakan mampu bangkit tanpa campur tangan negara lain. Sedangkan sikap Korea Selatan yang baik terhadap dunia internasional, dimana Korea Selatan mampu berkerja sama dengan baik dengan negara-negara lain. Presiden Korea Selatan, Park Chung Hee yang menjabat pada 1980an dinobatkan sebagai seorang pahlawan di bidang ekonomi.

Korea Selatan memiliki sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik dan otoriter, namun kebijakannya dalam sektor ekonomi dapat dikatakan berhasil. Peran sentral pemerintah memperkuat upaya pembangunan yang sempat berhenti di pemerintahan sebelumnya karena belum adanya ketegasan dari pemerintah sendiri. Pada tahun 1963 pendapatan perkapita hanya sebesar 100 US dolar, angka ini bertumbuh hingga 6.614 US dolar pada 1990 bahkan mencapai 13.980 US dolar pada


(20)

3 20042. kebijakan otoriter yang dijalankan dapat membuahkan hasil yang cukup maksimal. Dibantu Amerika Serikat, Korea Selatan berhasil menekan anggaran belanja yang tidak perlu, seperti mengurangi jumlah pengeluaran dan mengembangkan industri lokal yang digawangi oleh chaebol. Pada 1970, Korea Selatan sudah mampu bersaing di pasar global bersama dengan negara-negara maju di Eropa. Korea Selatan memiliki kebijakan yang baik membuat perekonomian mereka sedikit bergejolak, yaitu sikap defensif yang cukup kuat terhadap modal asing3.

Keterlibatan terhadap pihak asing pernah dilakukan oleh Korea Utara melalui undang-undang pada tahun 1984 yang memperbolehkan adanya investasi asing dengan

joint venture-nya4, tetapi kebijakan tersebut dinilai gagal karena tidak berhasil mendatangkan dan menarik investor-investor untuk melakukan investasi di Korea Utara.

Ketertutupan Korea Utara dari dunia Internasional ini dikarenakan Ideologi yang diterapkan disana, yakni hasil pemikiran Kim Il Sung mengenai tesis politis yang berkembang menjadi paham Marxisme, yaitu Ideologi Juche (The Juche Idea) pada pertengahan dekade 1960-an. Juche adalah ideologi resmi yang dianut di Korea Utara.

2

Robinson dan Michael E, Korea's Twentieth-Century Odyssey, (University of Hawai Press: Honolulu, 2007), h. 129.

3

Ha, Yong-Chool a d Wa g H i Lee, The Politics of Economic Reform in South Korea: Crony Capitalism after Ten Sourcei Asia “ur ey . Vol. 4 , No. , , h. 4-914.

4

Joint Venture adalah entitas yang dibentuk oleh dua pihak atau lebih untuk menyelenggarakan aktivitas ekonomi bersama. Pihak-pihak yang terlibat sepakat untukmembentuk entitas baru, masing-masing menyetorkan modal, berbagi risiko dan keuntungan, serta kendali atas entitas tersebut. Joint venture bisa dibentuk hanya untuk satu projek tertentu, lalu dibubarkan. Akan tetapi, joint venture juga bisa saja dibentuk untuk hubungan bisnis yang berkelanjutan. Diakses melalui http://dokumen.tips/documents/joint-venture-55b08a8d3aad4.html pada tanggal 08 Desember 2016 pukul 09:29 WIB


(21)

4

Juche mengandung prinsip bahwa "manusia menguasai segala sesuatu dan memutuskan segala sesuatu". Ideologi Juche sendiri secara konseptual berarti otonom dan independen (Self-Reliance), yaitu melakukan kontak dengan pihak asing kecuali dengan negara-negara yang mendukungnya (Tiongkok dan Uni Soviet)5. Meskipun beberapa pihak sering mengartikan Juche sebagai Self-Reliance tetapi arti sesungguhnya adalah bagaimana jiwa Juche tersebut tertanam dalam diri seorang sehingga negara bisa memegang posisi independen, menolak bergantung kepada pihak lain, menggunakan potensinya sendiri, mempercayai kekuatannya sendiri, menunjukan semangat revolusi dari Self-Reliance dan menyelesaikan masalah sendiri berdasarkan tanggung jawab sendiri dalam berbagai situasi.

Ideologi Juche dikemukakan Kim Il Sung di depan umum pada Desember 1955, Kim Il Sung mengatakan dalam pidato itu sebagai berikut, "We are not engaged in any other country’s revolution, but solely in the Korean revolution. This, the Korean revolution, determines the essence of juche in the ideological work of our Party.”6

Ideologi Juche pada masa kepemimpinan Kim Il Sung lebih mengedepankan politik dan pembangunan ekonomi.

5

Andi Rafael Saputra, Dari Kim Jong-Il Hingga Kim Jong Un, (Jakarta: Palapa), h. 41

6

Charles K. Armstrong. "Juche and North Korea's Global Aspirations", North Korea Internastional Documentation Project (NKIDP), Washington, DC, h. 3, diakses melalui https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/NKIDP_Working_Paper_1_Juche_and_North_Koreas_ Global_Aspirations_web.pdf pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 00:56 WIB


(22)

5 Penerapan Juche sebagai ideologi negara tercermin dalam empat pokok pemikiran yang disampaikan Kim Il Sung melalui On the Juche Idea.7

1. Orang-orang harus memiliki kemerdekaan (independence; chajusong) dalam hal pemikiran dan politik, ekonomi, ketercukupan pribadi serta keamanan pribadi dalam bidang pertahanan (defense).

2. Kebijakan negara haruslah merefleksikan keinginan (will) dan aspirasi dari massa untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk revolusi dan konstruksi. 3. Metode yang digunakan dalam proses revolusi dan konstruksi haruslah

disesuaikan dengan keadaan atau situasi nasional negara.

4. Tugas terpenting dari proses revolusi dan konstruksi adalah menyatukan orang-orang secara ideologis sebagai masyarakat komunis serta memobilisasikan mereka untuk terlibat dalam kegiatan yang konstruktif.

Pada masa kepemimpinan Kim Il Sung, terdapat upaya dalam pembentukan sistem ekonomi sosialis. Upaya tersebut berkembang dengan cepat karena proses nasionalisasi seluruh industri sudah dimulai sebelum pemerintahan dibangun.8 Setelah mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan Jepang, Sesuai dengan UU Reformasi Tanah yang diumumkan pada Maret 1946, pengembalian tanah dan pembagian kembali tanah itu kepada rakyat umum dengan gratis dilaksanakan, hingga membentuk landasan

7

Ravio Patra, Idiosi krasi dala “osok Ki Il-Sung: Lahirnya Ideologi Juche dan Nasionalisme Korea Utara”, h. 2, diakses melalui https://www.academia.edu/6808362/Idiosinkrasi_dalam_Sosok_Kim_Il-Sung_Lahirnya_Ideologi_Juche_dan_Nasionalisme_Korea_Utara pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 01:31 WIB

8

Korea Utara a-z Mengenai Korea Utara , diakses elalui

http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/general_02b.htm pada tanggal 3 Juni 2016 pukul 1:13 WIB


(23)

6 sistem perkebunan secara kolektif. Pada bulan Agustus 1946, UU untuk menasionalisasikan pabrik utama, perusahaan, pertambangan, stasiun pembangkit listrik, transportasi, layanan pos, perbankan, organisasi instansi komersial dan budaya diberlakukan.9 Kegiatan ekonomi tingkat individu yang berskala kecil tetap diizinkan selama perang Korea untuk melengkapi kekurangan tingkat produksi, sebagian besar ekonomi Korea Utara dinasionalisasikan dan digunakan secara kolektif. Sampai tahun 1958, pertanian, industri kerajinan tangan, dan perdagangan skala kecil semua disatukan

dengan bentuk koperasi, sehingga menyelesaikan proses “sosialisme dalam hubungan

produksi”.

Dibalik beberapa kemajuan industri yang telah di peroleh Korea Utara pada masa kepemimpinan Kim Il Sung, masih terdapat adanya hambatan dalam memajukan progres ekonomi, sosial dan politik yang ingin dicapai oleh Korea Utara, yakni meningkatnya angka kelaparan. Kelaparan yang terjadi di Korea Utara dapat mencegah masyarakat untuk mengembangkan skillnya, menggunakan manfaat teknologi terbaru dan kehilangan kesempatan pembangunan lainnya. Jumlah kelaparan kronis yang melanda Korea Utara setiap tahunnya mengalami peningkatan, sementara tidak ada penurunan yang signifikan terhadap angka penderita kelaparan dan malnutrisi.10

9

Is i Ai u , Perba di ga Pe erapan di Masa Kim Il-“u g da Ki Jo g , diakses elalui

https://www.academia.edu/12973591/Juche_Ideology_Perbandingan_Penerapan_di_Masa_Kim_Il-Sung_dan_Kim_Jong_Il pada tanggal 03 Juni 2016 pukul 01.22

10

World Food Programme: Annual Report 1998, h. 3, diakses melalui

http://documents.wfp.org/stellent/groups/public/documents/newsroom/wfp217472.pdf?_ga=1.37230 432.1736608771.1484493521 pada tanggal 06 Desember 2016


(24)

7 Setelah meninggalnya Kim Il Sung pada tanggal 8 Juli 1994, Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong-Il yang merupakan anaknya sendiri. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Kim Jong-Il tetap menggunakan Juche sebagai ideologi dan kebijakan luar negeri Korea Utara. Kim Jong-Il juga mengutamakan kebijakan untuk memperkuat bidang militer (Militarry first).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, muncul pertanyaan penelitian yang dapat diajukan adalah:

Mengapa Kim Jong-Il Menerapkan Ideologi Juche Sebagai Pembangunan Ekonomi Korea Utara ?

C. Jangkauan Penelitian

Untuk membatasi jangkauan penelitian agar tetap fokus dalam konteks, maka penulis akan memaparkan ideologi Juche yang berpengaruh tehadap kondisi perekonomi di Korea Utara pada masa kepemimpinan Kim Jong-Il.

D. Kerangka Dasar Pemikiran

Untuk membuktikan hipotesa tentang objek yang sedang diteliti, maka penulis akan menggunakan kerangka teoritik Teori Marxisme. Dengan kerangka teori tersebut, penulis berharap maksud dan tujuan dari penelitian ini bisa tercapai sesuai dengan yang diinginkan.


(25)

8 1. Teori Marxisme oleh Karl Marx

Marxisme dalam hubungan internasional tidak bisa dilepaskan dari peranan Karl Marx sebagai pencetus gagasan ini walaupun pada mulanya gagasan ini dikemukakan oleh Marx sebagai bentuk resistensinya terhadap kaum kapitalis di Eropa pada abad 18. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena ia lahir ditengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis, dimana kaum buruh dieksploitasi oleh kaum borjuis pada masa itu.11

Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan Karl marx. Marxisme adalah buah karya intelektual, karena doktrin yang digunakan secara politik, menghadirkan fenomena intelektual yang penting sampai saat ini. Nilai intelektual marxisme pada umumnya tidak hanya bersifat sejarah namun sampai saat ini masih memiliki relevansi intelektual. Karya Marx mengandung penyataan-pernyataan kaya makna tentang unsur dan struktur masyarakat yang perlu menjadi perhatian, terlepas dari masalah politik atau ideologi.12 Konsep awal yang paling mendasar menurut karl marx adalah segala perubahan yang terjadi dalam sosial masyarakat disebabkan oleh struktur ekonomi pada sosial masyarakat tersebut. Sebuah ekonomi yang unggul dalam masyarakat akan membentuk dan mewarnai seluruh sosial masyarakat.

Marxisme adalah sebuah pandangan perjuangan bagi kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme. Di sini dijelaskan tentang

11

Dowd Douglas, Capitalism and its Economics: A Critical History, (London: Pluto Press, 2000), h. 42

12I driaty Is ail da Mohd Zuhali Ka al Basir,

Karl Marx dan Konsep Perjuangan Kelas Sosial , Vol. , Juni 2012, h. 27


(26)

9 perjuangan para buruh untuk bangkit dari keterpurukan yang selama ini mereka alami. Dengan adanya filsafat yang dikemukakan oleh karl marx tentang marxisme banyak membantu para buruh untuk bangkit dari penindasan. Pemikiran karl marx ini ditujukan kepada rakyat buruh (khususnya) dan juga kepada kaum intelektual (umumnya). Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx

berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya “kepemilikan pribadi” dan

penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya.

Selain membahas tentang keterpurukan para buruh, juga mengacu pada sistem sosial, politik, sosialisme demokrasi dan ekonomi. Selain itu Menurut David Marsh dan Gery Stoker dalam karyanya Teori dan Metodologi Ilmu Politik. Mereka membagi marxisme menjadi dua periode yaitu periode marxisme klasik dan marxisme

kontemporer. Ada empat “Isme” terkait yang biasanya di hubungkan dengan Marxisme

klasik: ekonomisme, determinisme, materialisme, dan strukturalisme.

Bayangan Marx mengenai masa depan, dan nilai-nilai dasarnya sendiri, memasukkan unsur-unsur anarkisme dan komunisme. Akibat-akibat politik yang paling nampak dari Marxisme sangat tepat apabila dinamakan sosialisme otoriter, meskipun beberapa pihak akan mendesak bahwa otoriterisme adalah lebih fasis dari pada sosialis. Perhatian Marx itu sendiri di pusatkan pada ciri-ciri ekonomi dan akibat-akibat politik


(27)

10 dari liberalisme klasik. Implikasi logis dalam determinisme faham Marx pada hakikatnya bisa di pandang sebagai konservatif, (kenyataannya, apakah sesuatu bisa dilakukan atau tidak untuk mempercepat kapitalis, dan sosialis, perkembangannya merupakan masalah utama yang membagi Marxis dalam kubu-kubu yang saling bermusuhan satu dengan yang lain)13. Kebanyakan kaum Marxis modern memakai pendapat epistemologi realis kritis yang berbeda dari yang ditemukan dalam Marxisme klasik, dan jelas di pengaruhi oleh kritik kaum interpretis.

Menurut Marx masyarakat bukan terdiri atas individu-individu melainkan terdiri atas kelas-kelas. Yang dimaksud dengan kelas ialah kelompok orang yang memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi. Karena mereka memiliki pola hubungan yang sama terhadap sarana produksi, mereka mengembangkan pandangan yang khas terhadap diri mereka dan dunia sekitar.14 Secara sederhana, kelas sosial adalah golongan dalam masyarakat dengan kriteria tertentu bisa berdasarkan faktor ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Menurut Marx sendiri kelas sosial merupakan gejala khas yang feodal dimana mereka menyadari diri sebagai kelas, suatu golongan khusus dalam kehidupan bermasyarakat dan memiliki kepentingan-kepentingan yang spesifik serta memiliki keinginan memperjuangkan kepentingannya sehingga dapat mencapai tujuan yang di inginkan

Marx mengatakan semua sistem ekonomi dan politik telah dikuasai oleh kelas atau para penguasa negara. Marx menyimpulkan bahwa negara hanyalah kepanjangan

13

C. Wright Mills, Kaum Marxis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 18.

14

Iva Rachmawat, Memahami Perkembangan Hubungan HI, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), h. 117


(28)

11 tangan dari kelas atas untuk mengamankan status kekuasaan mereka. Prespektif ini dapat menjelaskan mengapa biasanya yang menjadi korban adalah rakyat kecil, pencuri kecil dihukum lebih berat dari koruptor dan terkesan kelas atas sangat kebal dengan hukum yang berlaku.

Dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Marx dalam bukunya yang berjudul Proverty of Philosophy, menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur antagonisme kelas yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk bebas dari belenggu penindasan. Keinginan utama mereka ini menjadi penggerak untuk membentuk sistem sosial yang baru tanpa adanya eksploitasi kekuasaan dari kelas borjuis.15

Pertarungan kaum kapitalis melawan kaum proletar merupakan pertentangan kelas yang terakhir dan dengan demikian akan berakhirlah gerak dialektis. Masyarakat komunis yang dicita-citakan Marx merupakan masyarakat yang dimana tidak ada kelas sosial tidak ada perbedaan antara borjuis dan proletar, tidak ada eksploitasi penindasan serta penindasan dan semuanya merasakan kesejahteraan yang sama. Akan tetapi, merupakan hal yang aneh bahwa untuk mencapai masyarakat yang bebas demikian yaitu dengan perebutan kekuasaan oleh kaum dengan sendirinya dengan munculnya

masyarakat komunis. Marx dan Engels mengatakan “Negara tidak lain tidak bukan hanyalah mesin yang dipakai oleh suatu kelas untuk menindas kelas lain”, dan dikatakan selanjutnya bahwa “Negara hanyalah suatu lembaga transisi yang dipakai

15


(29)

12 dalam perjuangan untuk menindas lawan-lawan dan kekerasan. Negara akan lenyap pada saat komunisme tercapai karena tidak ada lagi yang ditindas”.16

Fungsi-fungsi negara ditentukan oleh struktur-struktur masyarakat yang menganggap negara memiliki otonomi relatif. Karena memiliki otonomi, negara bisa berperan membantu perjuangan kelompok borjuis. Menurut Parkin (1979), pemerintah bisa bertindak sebagai „intel’ kaum borjuis. Dikaitkan dengan fungsi negara sebagai

„intel’ kaum borjuis sebagaimana dijelaskan negara harus menjalankan tiga hal, yaitu :

1) Mendorong reformasi sosial yang sesuai dengan kepentingan jangka panjang borjuis

2) Memecah persatuan politik kelas pekerja

3) Memproyeksikan penjelasan rasional akan perlunya kapitalisme demi kepentingan seluruh masyarakat dan negara.

Berdasarkan penjelasan yang sudah di paparkan, teori ini menerangkan bagaimana suatu kelas yang dominan dapat mempengaruhi perubahan yang terjadi di suatu negara. Dalam konteks ini, kelas dominan yang ada di Korea Utara adalah pemimpin negara. Dimana Kim Jong-Il selaku pemimpin Korea Utara menggunakan kekuasaannya untuk memajukan Korea Utara.

Kebijakan-kebijakan dan ide-ide politik yang dimiliki Kim Jong-Il, dipaksa untuk mengatur pertumbuhan ekonomi di Korea Utara. Strategi domestik yang digunakan dengan cara mobilisasi internal dimana mobilisasi internal mengacu pada

16


(30)

13 kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpin negara dengan upaya pemanfaatan sumberdaya (misalnya ekonomi dan militer) untuk mendukung kebijakan yang telah dibuat.

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun beberapa hal yang penulis harapkan dari penelitian ini :

1. Menganalisis Pengaruh Idelogi Juche terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea Utara.

2. Memenuhi persayaratan kelulusan Starata 1 Ilmu Hubungan Internasional

3. Sebagai jurnal untuk bahan bacaan dan penelitian berikutnya yang akan membahas lebih mendalam tentang Ideologi Juche

F. Hipotesa

Berdasarkan latar belakang dan kerangka teori di atas, maka dapat ditarik hipotesa bahwa alasan Presiden Kim Jong-Il tetap menggunakan Ideologi Juche

khususnya dalam kekuatan pertahanan militer ini karena Kim Jong-Il yakin bahwa Ideologi ini akan mampu membawa pertumbuhan ekonomi Korea Utara menjadi lebih baik tanpa adanya campur tangan negara lain.


(31)

14

G. Sistematika Penulisan

Dalam proses penelitian berupa skripsi ini, penulis ingin mengkategorikan pembahasan dalam beberapa bab:

Bab I Penulis akan memaparkan pendahuluan sebelum menjelaskan lebih jauh

tentang Pengaruh Ideologi Juche terhadap Perekonomian di Korea Utara: Masa kepemimpinan Kim Jong-Il. Bab I Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, jangkauan penelitian, kerangka dasar penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesa, serta sistematika penulisan. Dengan demikian pembaca akan mengetahui bagaimana Pengaruh yang timbul dari Ideologi Juche terhadap Perekonomian di Korea Utara: Masa kepemimpinan Kim Jong-Il.

Bab II Membahas tentang bagaimana sejarah dari Korea Utara, bagaimana

perkembangan sosial Korea Utara, bagaimana sistem pemerintahan, sistem politik dan sistem ekonomi di Korea Utara

Bab III Membahas tentang kondisi ekonomi Korea Utara paska kemerdekaan dan

menjelaskan tentang lahirnya Ideologi Juche.

Bab IV Membahas tentang sosok Kim Jong-Il dan menjelaskan kondisi

pertumbuhan ekonomi Korea Utara pada masa kepemimpinan Kim Jong-Il


(32)

15 BAB II

REPUBLIK DEMOKRATIK RAKYAT KOREA

Posisi geografi Semenanjung Korea yang strategis menyebabkan Korea dalam sepanjang sejarahnya, mempunyai arti penting dari sudut strategi. Hal ini dikarenakan, seperti negara Israel yang berada di tengah kawasan Timur Tengah dan Singapura di tengah lautan Malaysia, semenanjung Korea terletak di tengah tiga negara besar, yaitu Jepang, Cina, dan Uni Soviet (atau yang sekarang dengan negara Rusia). Bahkan pada akhir masa abad ke-19 Amerika juga mencoba memberikan pengaruhnya ke tanah Korea.

2.1. Sejarah Korea Utara

Kerajaan merupakan sejarah yang membentuk Korea Utara. Perkembangan Korea Utara tidak terlepas dari situasi kerajaan pada zaman dahulu, pembentukan Korea Utara dibutuhkan waktu yang sangat lama. Korea memiliki suku bangsa yaitu Suku Nomad yang datang dari China menuju Semenanjung Korea. Suku Nomad ini datang dengan tujuan untuk mengubah kehidupan rakyat Korea dari yang berpindah-pindah menjadi menetap dan dapat memperbaiki kondisi pertanian.1 Suku Nomad yang berasal dari China melakukan migrasi untuk mencari tanah yang subur untuk mengembangkan pertanian mereka. Kehidupan suku Nomad yang berada di Semenanjung Korea ini menyebabkan mereka mendaulatkan diri mereka di Korea. Suku-suku yang berada di

1Mar us Nola d,

Femine and Reform in North Korea , 200 , diakses elalui

https://pdfs.semanticscholar.org/aaec/fa5226946fca187917bb30ce58e57124e430.pdf pada tanggal 08 Februari 2017 pukul 12:23


(33)

16 Semenanjung Korea memunculkan 3 kerajaan, yakni Kerajaan Kokuryo, Baekje dan Silla.2

Pada abad ke-10 terjadi kerusuhan di Semenanjung Korea, dinasti Silla jatuh dan digantikan oleh dinasti Koryo. Selama periode kepemimpinan dinasti Koryo di tahun 1932, Korea mengalami banyak serbuan. Pada masa ini, terjadi pertukaran budaya yang cukup aktif yang berasaskan dengan ajaran agama Konghuchu. Kerajaan Koryo mengalami kekacauan akibat kudeta dari kaum militer yang dipimpin oleh Yi Song-gye. Dalam suasana kacau dan genting menjelang runtuhnya Kerajaan Koryo, kaum ilmuwan maupun kaum militer mencari jalan untuk membangun kerajaan baru dan melakukan kebijakan pertahanan baru untuk meningkatkan kekuatan mereka di bidang ekonomi. Gerakan ini selanjutnya melahirkan sebuah kerajaan yang didukung oleh kaum sarjana kemudian diberi nama Kerajaan Choson3, penetapan nama Choson mencerminkan semangat untuk mewarisi kejayaan dan tradisi Kerajaan Choson.

Pada abad ke 14 kerajaan Choson ini berdiri, sistem sosial yang berlaku pada masa kerajaan Choson adalah pemerintahan berbasis kaum bangsawan yang dipimpin oleh Yi Song-gye menetapkan Hanyang (yang sekarang dikenal dengan Seoul) sebagai ibukota kerajaan. Kerajaan Choson menitikberatkan pada usaha menstabilkan

2

Andrew C. Nahm, A History of The Korean People: Korea Tradition & Transformation, (Seoul: Hollym International Corp, 2002), h. 29-39

3


(34)

17 kehidupan masyarakat dengan menetapkan beberapa kebijakan utamanya, diantaranya adalah mengembangkan politik Konghuchu dan meningkatkan industri pertanian.4

Kerajaan Choson melakukan proses pembaharuan struktur pemerintahan untuk dapat mendirikan kerajaan yang berlandaskan ilmu Konghuchu yang dimulai dari masa Raja Taejong, Sejong, Sejo, sampai dengan Raja Songjong. Pada masa pemerintahan

Raja Sejo mulai disusun hukum dasar, yaitu „Kyongguk Daejon,’ oleh Choe Hang dan

pada masa pemerintahan Raja Songjong hukum dasar itu ditetapkan sebagai hukum dasar Kerajaan Choson. Selain menetapkan hukum dasar, Kerajaan Choson juga berhasil memperluas wilayah Korea hingga mencapai luas Korea saat ini. Selain itu, Kerajaan Choson juga berusaha untuk mengembangkan negara secara seimbang melalui pemindahan penduduk bagian selatan ke bagian utara.5

Memasuki abad ke-16, kerajaan Choson harus menghadapi lebih banyak kesulitan yang ditimbulkan oleh perpecahan pendapat di kalangan pemimpin negara, kemiskinan yang melanda masyarakat umum dan melemahnya kekuatan pertahanan nasional. Situasi ini menyebabkan para penduduk Jepang melakukan perampasan di bagian selatan Semenanjung Korea.6 Akibat dari perlakuan yang dilakukan oleh Jepang, sistem pemerintahan saat itu mengadakan reformasi terhadap sistem sosial, politik dan pertahanan guna menstabilkan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

4

Yang Seung-Yoon dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea Sejak Awal Abad Hingga Masa Kontemporer, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2003), h. 66.

5 Ibid 6


(35)

18 Memasuki abad ke-19, masuk ajaran Kristen ke Semenanjung Korea dan menyebabkan perpecahan budaya di kalangan bangsawan terutama keluarga kerajaan, kekacauan ini menimbulkan ketidakstabilan dalam kehidupan masyarakat dan menambah tingkat kemiskinan yang memicu terjadinya kerusuhan di tengah-tengah masyarakat dengan pemberontakan di berbagai daerah.7 Pada akhir masa kerajaan choson di abad ke-19 beberapa agama dan kebudayaan diserap dan dijadikan sebagai kebudayaan asli di semenanjung korea.

Menurut sejarah, pada masa kependudukan Jepang di tahun 1910, Raja Yi Wan Yong menandatangani sebuah perjanjian Jepang dan pada tanggal 22 Agustus 1910 isi perjajian tersebut kemudian diumumkan ke seluruh Semenanjung Korea terutama pada Raja Sunjong.8 Penandatanganan perjanjian tersebut adalah sebagai momentum berakhirnya masa kerajaan Choson di Korea. Berakhirnya masa kerajaan Choson, kemudian dimulai dengan kependudukan Jepang sangat mengenaskan, Jepang datang dengan membawa pasukan militernya bersama polisi untuk menduduki wilayah Semenanjung Korea dan merampas tanah serta sumber-sumber pangan dan tenaga kerja dari Choson. Kebijakan tentara Jepang selama menjajah Korea adalah menghapus karya seni Bangsa Korea yang menjadi landasan dasar untuk meningkatkan kemampuan dan keunggulan budaya Korea di mata Internasional.

Berakhirnya masa Kerajaan Choson, Korea mengalami masa penjajahan oleh Jepang di tahun 1900an yang membuat masyarakat Korea mengalami penderitaan.

7Alvia ti Pur a asari, KO‘EA UTA‘A DAN A“EAN Di a ika Hu u ga Korea Utara de ga A“EAN , h. 4. Diakses melalui https://www.academia.edu/10099938/Korea_Utara_dan_ASEAN pada tanggal 08 Februari 2017 pukul 11:15 WIB

8

Library of Congress, Country Profile, Federal Research Division, 2007, diakses melaui


(36)

19 Jepang berhasil menduduki wilayah semenanjung Korea setelah mengalahkan Rusia dalam Russo-Japanese War (Februari 1904-September 1905)9. Pada saat itu Korea mengalami kesengsaraan yang mengakibatkan munculnya kekuatan nasionalis. Pada tanggal 17 November 1905 Jepang membuat kesepakatan dengan Korea dalam Eulsa Treaty10 dan menjadikan wilayah semenanjung Korea sebagai wilayah protektorat Jepang. Perjanjian ini memperkuat kedudukan Jepang di wilayah semenanjung Korea. Jepang terus menduduki Korea dalam upayanya memperluas kekuasaannya di perang Asia Timur Raya yang sebelumnya Korea berhasil memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dari pendudukan Jepang di tahap I pada tanggal 1 Maret 191911 melalui gerakan kemerdekaan rakyat Korea bersatu. Pada periode ini Korea memiliki kesadaran nasionalis yang tinggi untuk mengusir penjajah Jepang yang telah menjajah Semenanjung Korea. Meskipun gerakan nasionalis tersebut dapat dipatahkan oleh Jepang dan gagal menjadi gerakan kemerdekaan, namun tanggal tersebut tetap diperingati sebagai titik tolak kesadaran nasionalisme Korea oleh bangsa Korea sendiri. Para pejuang Korea tersebut terus berusaha mendirikan pemerintah provisional Korea yang dibentuk untuk melakukan tindakan reaksioner terhadap Jepang.12

9

The Russo-Japanese War Research Society. Diakses melalui http://russojapanesewar.com/imp-proc-04.html pada tanggal 09 Februari 2017 pukul 12:28 WIB

10

Jepang-Korea Perjanjian tahun 1905, juga dikenal sebagai Perjanjian Eulsa atau Jepang-Korea Protektorat Perjanjian, dibuat antara Kekaisaran Jepang dan Kekaisaran Korea pada tahun 1905. Negosiasi menyimpulkan pada 17 November 1905. [1] Perjanjian itu dirampas Korea kedaulatan diplomatik dan membuat Korea protektorat Jepang. Hal ini dipengaruhi oleh kemenangan Jepang dalam perang Rusia-Jepang pada tahun 1905, diakses melalui

http://www.worldlibrary.org/articles/eulsa_treaty pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 08:59 WIB 11

William Stueck, The Korean War: an International History, (New Jersey: Princeton University Press, 1999), h. 14-15

12 Ibid


(37)

20 Pada tahun 1904, militer Jepang telah menduduki Semenanjung Korea dan mengumumkan perang terhadap penduduk Korea. Semenanjung Korea berubah menjadi medan perang dan Jepang memaksa Korea untuk menyepakati memorandum protocol mengenai mobilisasi tenaga kerja Jepang dari Korea yang bertujuan untuk membangun rel kereta dari Busan menuju Sinjau dan merampas tanah Korea yang digunakan untuk kepentingan militer.13 Dalam hal politik, Jepang memimpin langsung pemerintahan Korea dengan mengambil alih pemerintahan tersebut dan menguasai ekonomi Korea Utara sehingga menjadikan adanya jurang di Negara Korea Utara itu sendiri. Kebijakan Jepang untuk mengontrol Korea Utara secara langsung menimbulkan perpecahan internal dalam kaum perjuangan Korea Utara.

Terlepas dari masalah yang timbul di Korea karena penjajahan yang dilakukan oleh Jepang, tetapi di satu sisi Jepang menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi bagi masyarakat Korea yang saat itu terjajah. Dalam segi ekonomi, Jepang yang terkenal dengan masyarakat membuat sebuah sistem perampasan tanah dari mulai penduduk di Semenanjung Korea sampai ke Manchuria. Perampasan tanah dan penguasaan secara bidang ekonomi membuat masyarakat Korea berada dalam posisi kelaparan dan sebaliknya kebijakan tanah ini dijadikan sebagai peningkatan pajak yang stabil di tahun 1918 sampai tahun 1930 dengan peningkatan sebanyak 45% dari total penerimaan pajak. Selain itu, dari segi pekerja, masyakarat Korea dipaksa menjadi buruh bagi

13


(38)

21 penjajah Jepang untuk membuat produksi dari produk-produk Jepang yang akan dipasarkan selama masa penjajahan.14

Pada bulan April 1919 para pemimpin nasional Korea seperti, Syngman Ree, Yi Tong-hwi, An Ch’ang-ho dan Kim Ku, membawa isu kemerdekaan Korea ke wilayah Cina, dan mendeklarasikan pembentukan pemerintahan tersebut di Shanghai. Pada tahun 1922, semua kelompok dari berbagai aliran yang ada di Korea melakukan tindakan resistensi terhadap Jepang bersatu dibawah kepemimpinan pemerintah Korea, dimana Syngman Ree menjadi presidennya dan Yi Tong-hwi yang berpaham komunis diangkat menjadi perdana menterinya. Yi membantu Uni Soviet melakukan operasi revolusioner di Manchuria dan Kim Ku mendekat ke pemimpin sayap kanan nasionalis Cina, yaitu Chiang Kai-sek. Hingga perang dunia II berakhir dan membuat wilayah semenanjung Korea terbebas dari belenggu pendudukan Jepang, para pemimpin pemerintah provisional Korea dan beserta para anggotanya kembali ke semenanjung Korea. Semenjak kekalahan Jepang di perang dunia II tersebut, wilayah-wilayah bekas pendudukan Jepang mengalami Vacuum of Power (kekosongan kekuasaan), tidak terkecuali wilayah yang dinamakan semenanjung Korea. Kelompok-kelompok yang melakukan tindakan resistensi terhadap pendudukan Jepang kembali mengambil alih wilayah-wilayah yang selama ini menjadi asal pengaruh mereka. Seperti kelompok yang beraliran komunis kembali menduduki wilayah utara begitupula dengan pemerintahan

14


(39)

22 provisional Korea pimpinan Syngman Ree yang menduduki wilayah selatan semenanjung Korea.15

Reunifikasi yang tercipta ketika berbagai kekuatan dari berbagai aliran di dalam bangsa Korea memproklamirkan pemerintah provisional Korea dan bersama-sama berupaya mengusir Jepang dari wilayah semenanjung Korea. Setelah menghadapi masa penjajahan selama 35 tahun (1910-1945) negara dan rakyat Korea merdeka pada tahun 1945.

Semenanjung Korea yang luasnya kira-kira sama dengan Inggris, terletak antara 33°, 06´ dan 43° lintang utara serta antara 124°, 11´ dan 131°, 52´ bujur timur. Panjang semenanjung Korea dari ujung utara ke ujung selatan kira-kira 1.000 km, yang kurang lebih sama dengan panjang Pulau Jawa dari ujung timur ke ujung barat, sedangkan lebarnya pada daerah tersempit adalah 216 km.16 Korea Utara memiliki jumlah penduduk sekitar 24.545.000 jiwa17 dan dengan luas wilayah 120.540 km2, Korea Utara atau yang biasa disebut Republik Demokratik Rakyat Korea, merupakan sebuah negara di Asia Timur, yang meliputi sebagian utara Semenanjung Korea. Ibu kota Korea Utara adalah Pyongyang. Zona Demiliterisasi Korea menjadi batas antara Korea Utara dan Korea Selatan. Sungai Amnok dan Sungai Tumen membentuk perbatasan antara Korea Utara dan Republik Rakyat Tiongkok. Sebagian dari Sungai Tumen di timur laut merupakan perbatasan dengan Rusia.

15

William Stueck, Op.Cit., h. 14-15. 16

Yang Seung-Yoo da Mohtar Mas oed, Politik Ekonomi, Masyarakat Korea: Pokok-Pokok Kepentingan dan Permasalahannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), h. 1

17


(40)

23 Sekitar 80% daratan Korea Utara adalah dataran tinggi dan pegunungan dan seluruh titik di atas 2000 meter di semenanjung berada di wilayahnya. Konsentrasi penduduk berada di daerah dataran rendah. Gunung Baekdu yang merupakan titik tertinggi, adalah sebuah gunung berapi dengan kawah lebar yang berbatasan dengan Republik Rakyat Tiongkok. Rangkaian Hamgyong tersusun sampai ke bagian timur semenanjung dan mempunyai puncak-puncak tinggi seperti Gunung Gwanmo (1756 m). Rangkaian lain yang membentuk daratan Korea Utara adalah Pegunungan Rangrim yang memisahkan dataran rendah di sebelah barat dan timur, Rangkaian Kangnam di perbatasan dengan RRT, serta Rangkaian Taebaek yang membentang sampai Korea Selatan. Puncak tertinggi Rangkaian Taebaek adalah Gunung Kumgang (1638 m).18

Dataran rendah persentasenya sangat kecil. Dataran rendah Pyongyang dan Chaeryong di sebelah barat memiliki luas wilayah 500 km persegi, sementara di sebelah timur semenanjung lebih sempit. Pegunungan di bagian utara dan barat wilayah Korea Utara merupakan mata air bagi sungai-sungai penting, yang mengalir ke wilayah barat dan timur. Di sebelah barat, sungai-sungai utama bermuara ke Teluk Korea dan Laut Kuning. Sungai terpanjang adalah Sungai Amnok, membatasi wilayah RRT dan bisa dilayari sepanjang 678 dari 790 km panjangnya. Sungai Duman adalah sungai terpanjang ke-2 dengan aliran 521 km ke Laut Jepang. Sungai Duman hanya bisa dilayari sepanjang 85 km karena topografi yang bergunung-gunung. Sungai

18

North Korea : Topography and Drainage, diakses melalui https://archive.is/RkNg#selection-105.0-109.23 pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 14:58 WIB


(41)

24 Taedong yang mengalir melewati kota Pyongyang panjangnya adalah 394 km adalah sungai terpanjang ke-3, mengalir ke Laut Kuning.19

Terletak di antara 38 dan 43 lintang utara, Korea Utara memiliki iklim empat musim. Musim dingin yang panjang membawa cuaca dingin dan jernih berpadu dengan badai salju sebagai akibat dari angin utara dan barat yang berhembus dari Siberia. Rata-rata suhu tinggi dan rendah setiap hari untuk Pyongyang pada bulan Januari adalah -3° C dan -13° C, rata-rata salju adalah tiga puluh tujuh hari selama musim dingin. Cuaca di wilayah pegunungan utara cenderung buruk. Musim panas di Korea Utara cenderung singkat, panas, lembab dan berhujan karena angin muson selatan dan tenggara yang membawa uap air dari Samudra Pasifik. Rata-rata suhu tinggi dan rendah setiap hari untuk Pyongyang pada bulan Agustus adalah 29 ° C dan 20 ° C. Rata-rata, sekitar 60% dari semua curah hujan terjadi dari bulan Juni sampai September. Topan mempengaruhi semenanjung Korea, rata-rata setidaknya sekali setiap musim panas. Musim semi dan musim gugur adalah musim peralihan ditandai dengan suhu ringan.20

19

Ibid. 20

North Korea: Climate, diakses melalui https://archive.is/20121212003435/lcweb2.loc.gov/cgi-bin/query/r?frd/cstdy:@field(DOCID+kp0031)#selection-105.0-109.7 pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 15:11 WIB


(42)

25 Sebelum Korea Utara menjadi negara sendiri, Semenanjung Korea terdiri dari wilayah bagian utara dan selatan, lalu Semenanjung Korea terbagi dua pada garis 38 derajat. Bagian utara Semenanjung Korea diduduki oleh Uni Soviet sedangkan bagian selatan diduduki oleh Amerika Serikat. Dua negara itu merupakan anggota negara sekutu yaitu pemenang perang dunia II.21 Pembagian wilayah ini terjadi secara sepihak oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet pada bulan Juli-Agustus 1945 serta bersifat kontradiktif dengan Konferensi Kairo 1943 yang sebelumnya menyatakan jika Korea harus menjadi Negara yang bersatu. Namun Konferensi Yalta yang terjadi pada bulan February 1945 mengizinkan Uni Soviet (pemerintahan Stalin) untuk mendirikan zona penyangga sebagai Negara satelit di Moskwa untuk membantu perang melawan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik.22

21

Yang Seung-Yoo da Mohtar Mas oed, Memahami Politik Korea, (Yogyakarta: Gadjah Mada Univerty Press, 2005), h. 237

22Kathry Weathers y,

SOVIET AIMS IN KOREA AND THE ORIGINS OF THE KOREAN WAR, 1945-1950: NEW EVIDENCE FROM RUSSIAN ARCHIVES , Woodrow Wilson International Center For Scolars, Working Paper No. 8, 1993, h. 10

Gambar 2.1 : Curah Hujan Musim Panas Korea Utara

Sumber : http://www.angelfire.com/gundam/sartohalim/alam.htm

Gambar 2.2 : Curah Hujan Musim Dingin Korea Utara


(43)

26 Uni Soviet dan Amerika Serikat berusaha untuk membentuk pemerintahan pada masing-masing wilayah yang pada akhirnya terbentuk Democratic People of Republic Korea atau yang dikenal dengan Korea Utara dan Republic of Korea yang dikenal dengan sebutan Korea Selatan. Pemisahan kekuasaan Korea Utara dan Korea Selatan ini diketahui dan dibawah arahan PBB, hal ini dilakukan karena tidak adanya titik temu antara Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam mengimplementasikan amanat PBB dalam penyatuan terhadap wilayah Korea.23

Pertempuran pertama kali berlangsung ketika Korea Utara untuk pertama kalinya melakukan serangan ke wilayah Korea Selatan. Dalam serangan tersebut sangat terlihat keunggulan Korea Utara dalam berbagai lini bila dibandingkan dengan Korea Selatan. Korea Utara yang memang didukung sepenuhnya oleh pihak Uni Soviet dalam bidang persenjataan melakukan serangan dari darat dan udara. Korea Selatan terlihat tidak dapat menandingi kekuatan Korea Utara tersebut, hal ini dikarenakan pada masa itu, Korea Selatan masih belum mempunyai persenjataan dan kekuatan pertahanan yang cukup untuk menandingi kekuatan Korea Utara. Korea Selatan pada masa itu tidak sepenuhnya didukung oleh Amerika Serikat dalam berbagai hal, termasuk dalam militer dan persenjataan. Hal ini dikarenakan pada masa itu, Amerika Serikat tidak sepenuhnya memberikan perhatian terhadap kawasan semenanjung Korea, terutama Korea Selatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka ketika Amerika Serikat turut menjadi

trigger pembentukan Republic of Korea. Amerika Serikat juga pada masa itu terlihat belum melihat signifikansi pentingnya semenanjung Korea. Sedangkan dari sisi Korea

23


(44)

27 Utara yang terus didorong oleh kekuatan ideologi komunis Uni Soviet ingin sekali melakukan proses penerapan ideologi komunis secara keseluruhan di kawasan semenanjung Korea yang memang diharapkan oleh Uni Soviet dan Cina.24

Gambar 2.3 : Peta alur serangan Korea Utara terhadap wilayah Korea Selatan Sumber : Google

Dalam melakukan serangan balasan, pemerintah Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Harry S. Truman terlihat lambat dalam mengambil keputusan untuk mendukung Korea Selatan di pertempuran semenanjung Korea. Bahkan yang mengambil inisiatif terlebih dahulu dalam membalas serangan yang dilakukan oleh Korea Utara tersebut adalah Jenderal Douglas MacArthur yang bertindak sebagai komandan pertahanan Amerika Serikat yang berkedudukan di Tokyo. Tindakan MacArthur tersebut dilakukan, terutama untuk melindungi kepentingan Amerika Serikat di kawasan semenanjung Korea. Namun tanpa dukungan kekuatan yang memadai dari

24


(45)

28 Washington yang lambat dalam mengambil keputusan, serangan balasan yang diperintahkan MacArthur dari Tokyo tetap tak sanggup menandingi kekuatan Korea Utara yang didukung oleh persenjataan Uni Soviet, dan pada tanggal 27 Juli 1953, pihak Amerika Serikat menyatakan untuk melakukan gencatan senjata mengenai pertempuran selama tiga tahun tersebut dan mengakui keunggulan Korea Utara. Tanggal tersebut hingga kini terus dikenang oleh seluruh warga negara Korea Utara akan kemenangan dalam perjuangannya melawan pasukan Amerika Serikat yang terjadi selama Perang Korea. Persetujuan gencatan senjata antara Korea Utara dengan Amerika Serikat secara penuh mengakhiri Perang Korea yang telah berlangsung sejak tahun 1950

Sesuai dengan konferensi 3 Menteri yakni Amerika Serikat, Inggris dan Uni Soviet di Moskow, kedua negara mendirikan pemerintahan perwakilan di bagian Utara dan Selatan selama 5 tahun dibawah kontrol PBB. Sebelah Utara Korea, Amerika memberikan dukungan kepada Kim Il Sung dalam menjalankan pemerintahannya yang didasari pada pemikiran komunis sedangkan di belahan Selatan Amerika menunjuk Rhee Syngman sebagai pemimpin Korea Selatan. Februari 1946, Kim Il Sung membentuk sebuah komite Rakyat dan di Selatan Rhee Syngman mempersiapkan Pembentukan Dewan Perwakilan Demokratis di Korea Selatan yang kemudian diajukan kepada PBB. 25 PBB memutuskan bahwa kelahiran pemerintahan Korea dapat ditetapkan melalui penyelenggaraan pemilihan umum oleh seluruh rakyat Korea.

Keputusan ini membuat Amerika Serikat membentuk sebuah Komisi sementara PBB untuk Korea yang diberi nama UNTCOK sebagai pengawas pemilu, namun

25


(46)

29 keputusan ini ditolak oleh Korea Utara bahwasanya pemilihan umum hanya dilakukan di wilayah Korea Selatan pada Mei 1948. Pemilihan umum inilah yang merupakan titik pangkal kelahiran Republik Korea Selatan dengan berlandaskan sistem demokrasi dan kapitalisme pada tanggal 15 Agustus 1948 dengan Rhee Syngman sebagai Presidennya. Pemilu ini dibalas oleh Korea Utara pada 23 Agustus di tahun yang sama dengan Kim Il Sung sebagai Perdana Menteri pertama. Kedua belah pihak baik Korea Selatan maupun Korea Utara merasa pemerintahannya sama-sama benar sehingga pada akhir tahun 1948 Uni Soviet memutuskan untuk mengundurkan diri dari Korea Utara.26

2.2. Perkembangan Sosial Korea Utara

Pasca berakhirnya masa penjajahan pasukan Jepang di Semenanjung Korea serta kedekatan Uni Soviet di Korea Utara, Korea Utara menyerap ideologi yang dibawa oleh Uni Soviet. Ideologi sosial-komunis tidak serta merta diterapkan secara mentah, tetapi ada beberapa nilai yang dibedakan dari ideologi Uni Soviet. Masa kepemimpinan Kim Jong-Il dengan mewariskan ajaran Kim Il Sung, Juche menjadi sebuah ideologi resmi di Korea Utara dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.27

Kehidupan sosial dan budaya Korea merupakan pemikiran strategis yang memprioritaskan kekuatan dan kemampuan militernya. Dilihat dari sejarah berdirinya negara tersebut. Korea Utara berusaha meyakinkan kepada dunia internasional bahwa militer yang dimiliki Korea Utara layak diperhitungkan dan diinterpretasikan dengan

26

Don Oberdorfer dan Robert Carlin, The Two Koreas; A Contemporary History, (Massachussets: Addison-Weasley Longman, 2003)

27Kathry Weathers y ,

Dependence and Mistrust: North Korea’s ‘elatio s with Moscow a d the Evolution of Juche , Worki g Paper “eries, WP 08-08, Visiti g “ holar U.“.‐Korea I stitute, “AI“, 2008, h. 3


(1)

83

regime.

1) The DPRK will remain a party to the Treaty on the Non

Proliferation of Nuclear

Weapons (NPT) and will allow implementation of its safeguards agreement

under the Treaty.

2) Upon conclusion of the supply contract for the provision of the LWR project, ad

hoc and routine inspections will resume under the DPRK’s safeguards

agreement with the IAEA with respect to the facilities not subject to the freeze.

Pending conclusion of the supply contract, inspections required by the IAEA for

the continuity of safeguards will continue at the facilities not subject to the

freeze.

3) When a significant portion of the LWR project is completed, but before delivery

of key nuclear components, the DPRK will come into full compliance with its

safeguards agreement with the IAEA (INFCIRC/403), including taking all steps

that may be deemed necessary by the IAEA, following consultations with the

Agency with regard to

verifying the accuracy and completeness of the DPRK’s

initial report on all nuclear material in the DPRK.

Robert L. Gallucci

Head of Delegation

of the United States of America,

Ambassador at Large

of the United States of America

Kang Sok Ju

Head of the Delegation

of the Democratic People’s Republic of Korea,

First Vice

Minister of Foreign Affairs

of the Democratic People’s Republic of Korea


(2)

84

LAMPIRAN II

Initiated: 27 August 2003

Participants: China,Democratic People’s Republicof Korea (DPRK), Japan, Russian Federation, Republic of Korea, and the United States.

Background:

The goal of the Six-Party Talks is to identify a course of action to bring security and stability to the Korean Peninsula. The main issue that the talks address is the DPRK nuclear weapons program. The Six-Party Talks began in 2003, shortly after the DPRK announced its intention to withdraw from the Treaty on the Non-proliferation of Nuclear Weapons (NPT). The United States requested the participation of China, Japan, South Korea, and Russia due to the

DPRK’s breaches of the bilateral Agreed Framework

of 1994. Talks have taken place in Beijing, China.

Participants:

China: China,the DPRK’s main trading partner, has provided Pyongyang with an enormous amount of humanitarian and energy assistance. Because of this relationship, China plays a vital role in acting as a mediator for the Six-Party Talks. China has an interest in preserving stability in the DPRK due to the large number of refugees it would receive if tensions rose. Regional stability is also needed to ensure

China’s continued economic growth.

DPRK: The leadership of the DPRK has made it clear that it believes its nuclear weapons program provides vital national security benefits. Energy production is also one of the primary concerns of the DPRK leadership. The DPRK economy is weak, and the nation has suffered multiple famines in recent years that have killed large numbers of its citizens. Within the Six-Party Talks, the leaders of the DPRK seek to gain security, energy, and economic benefits.

Japan: Japan believes that the DPRK’s nuclear weapons program directly threatens its national security. Besides seeking the denuclearization of the Korean Peninsula, Japan wishes to address other issues in the Six-Party Talks, such as the abduction of Japanese citizens by the DPRK government.

Russian Federation: Russia exerts less influence on the DPRK than China, as Russian trade with the DPRK has hit historic lows in recent years. Due to a shared border, Russia is also concerned about the flow of refugees that would occur in the event of a

conflict. Russia wishes to see the DPRK’s nuclear

weapons program dismantled in order to prevent the proliferation of nuclear materials and technology to both state and non-state actors.

Republic of Korea: In 1953 the United States, China, and the DPRK reached an armistice that ended the fighting of the Korean War. This agreement was not signed by South Korean President Syngman Rhee; therefore, the two Koreas technically remain at war. South Korea is interested in seeing the DPRK dismantle its nuclear weapons program as it poses a direct security threat to peace and security on the Korean Peninsula. Due to a change in policy towards

the DPRK that occurred in the late 1990’s with the

Sunshine Policy, which aimed at promoting

reunification, another one of South Korea’s main

goals within the Six-Party Talks is to create a political atmosphere in which reunification of the two nations can be achieved.

United States: The United States wishes to see the DPRK nuclear weapons program dismantled in order to prevent the proliferation of nuclear technology and materials to both state and non-state actors. The United States is committed to defend South Korea in accordance with the Mutual Security Agreement signed in 1953. The United States has approximately 37,000 troops stationed in South Korea.

Developments:

For related information, see sections on Joint Declaration of South and North Korea, KEDO, and IAEA

2011: Despite threats from North Korea, the United States and South Korea started their annual joint military exercises on 28 February. The exercises, designed to test force preparedness for a conflict with North Korea, were described by both parties as

“defensive in nature” but were viewed by the DPRK

as acts of aggression. They will continue through 30 April

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes SP-1 Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 8/4/2011


(3)

85

On 15 March, North Korea indicated to Russia its

willingness to return to the Six-Party Talks if they were resumed unconditionally. Russia responded the next day indicating its readiness to restart the Six-Party Talks.

Also on 15 March the G8 Foreign Ministers

condemned DPRK’s continued violation of UN

Security Council Resolutions 1718 and 1874 following DPRK’s disclosure of uranium enrichment activities.

On 17 March, South Korea rejected North Korean proposals to return to the Six-Party Talks to discuss its uranium enrichment capabilities. The South Korean Foreign Minister Kim Sung-hwan said that the DPRK must show its commitment to disarmament not just in words but also in action, demanding disarmament steps taken by the DPRK before resuming negotiations.

On 22 July, nuclear negotiators from South Korea and the DPRK met on the sidelines of the ASEAN Regional Forum in Bali. The meeting represented the first direct engagement between the two countries since 2008. After the meeting, both sides confirmed that they were prepared to undertake efforts to restart Six-Party Talks.

U.S. Secretary of State Hilary Clinton, who attended the ASEAN Regional Forum, declared that the United States was encouraged by the dialogue between the North and South, but that the DPRK must undergo a

“change in behavior” before talks can be resumed.

Clinton then met with Japanese Foreign Minister Takeaki Matsumoto and South Korean Foreign Minister Kim Sung-hwan. Following the meeting, they issued a trilateral statement declaring that talks

between the two Koreas must be “a sustained process” and that Six-Party dialogue would not

resume until the DPRK displayed a “sincere effort” to

reconcile with South Korea. On the last day of the Bali forum, Clinton invited Kim Kye Gwan, North

Korea’s vice foreign minister and former chief nuclear envoy, to New York for “exploratory” talks

on the resumption of Six-Party dialogue.

On July 28 and 29, the U.S. Special Envoy to North Korea, Stephen Bosworth, met with North Korean First Vice Minister Kim Kye Gwan in New York to discuss the possibility of a resumption of Six-Party Talks. Following their meetings, Kim stated, “I am

satisfied with talks this time,” and expressed North Korea’s intention to continue dialogue in the future. Kim specifically called for “more bilateral” talks to

precede a resumption of Six-Party negotiations. However, the U.S. has not issued a statement on the North Korean visit and neither side has disclosed what the parties discussed.

2010: On 11 January, DPRK Foreign Minister Paek Nam Sun stated that the formation of a peace treaty with the United States was a precondition for his

country’s return to the Six-Party Talks.

On 4 February, Kurt Campbell, U.S. Assistant Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs responded by announcing that United States would

continue to hold the DPRK’s return to the Six-Party Talks as an essential precondition to discussing a peace treaty or lifting any sanctions imposed by the United Nations.

On 26 March, a South Korean warship, the Cheonan, sank after coming into contact with a torpedo, killing 46 soldiers. In May, South Korea formally accused DPRK of launching a torpedo against its warship, but North Korea denied having any involvement in the explosion. South Korean officials stated they would not resume Six-Party Talks until the Cheonan incident was resolved and an official policy response from North Korea was given.

On 22 April, Russian Foreign Minister Sergei Lavrov called for a reconvening of Six-Party Talks, after DPRK announced it would not eliminate its nuclear weapons program, but instead wanted to work with

“other nuclear weapons states” in their

nonproliferation efforts.

On 27 August, North Korea’s Kim Jong-il met with Chinese President Hu Jintao in an attempt by China to re-engage North Korea in Six-Party Talks. During the meeting Kim Jong-il expressed hope for “the early

resumption of the talks.”

8 November, IAEA Director General Yukiya Amano called on Six-Party countries to resume talks “at an

appropriate time.” However, South Korean military

exercises near a disputed sea border prompted DPRK to shell South Korean Yeonpyeong Island on 23 November. Artillery fire was exchanged amidst international fears of further attacks and military escalation.

On 28 November, China called for emergency talks with the Six-Party nations in an attempt to ease tensions on the Korean peninsula and strengthen communication among the Six-Party. Although China stated that emergency consultations do not mean a resumption of Six-Party Talks, the idea was negatively received by South Korea, Japan, and the United States who felt the timing was not right for talks and that DPRK needed to fulfill its disarmament obligations before Six-Party talks could resume.

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes SP-2 Center for Nonproliferation Studies


(4)

86

In that same month, North Korea unveiled its secret

2,000 centrifuge uranium enrichment facility at the Yongbyon complex. North Korea stated that the facility will produce LEU for a light-water reactor under construction in the same complex. However, the plant can also be converted to produce HEU for nuclear weapons.

After returning from an unofficial visit to North Korea on 20 December, New Mexico Governor Bill Richardson announced that DPRK agreed to allow IAEA inspectors into its enrichment facility to verify that it is not producing HEU. Both the United States and South Korea expressed skepticism about the offer, while China called on North Korea to follow through and accept an inspection.

In his annual New Years message, South Korea President Lee Myung-bak called for a revival of Six-Party Talks with North Korea in an attempt to ease tensions on the peninsula and reopen diplomatic channels.

2009: On 5 April 2009, the DPRK attempted to place a satellite into orbit with a 3-stage Taepodong-2 missile. The DPRK attempted unsuccessfully to launch the same missile in 2006. During the 2009 test, stage one of the missile fell into the Sea of Japan while the remaining stages along with the payload landed in the Pacific Ocean. This missile test was widely condemned by the international community and was recognized as a violation of United Nations Resolutions 1695 and 1718.

On 13 April, members of the United Nations Security Council unanimously adopted a presidential statement condemning the rocket launch as a violation of United Nations Security Council Resolution 1718. The statement demanded that the DPRK not conduct any additional launches. It also established a committee to determine whether an adjustment of sanctions would be possible. This statement was drafted after the permanent members of the Security Council failed to agree on a new resolution that included sanctions.

In response to the Security Council statement, on 14 April, the DPRK announced its withdrawal from the Six-Party talks and its intention to restore the nuclear facilities that had been shut down under the disablement process. On the same day, the DPRK’s state-run Korean Central News Agency reported:

“The DPRK threatened to conduct a nuclear test and

more ballistic missile tests if the United Nations Security Council does not apologize to the DPRK and

withdraw its condemnation of Pyongyang’s rocket

launch earlier this month.”

On 25 May, the DPRK conducted an underground nuclear test about 70 kilometers northwest of Kimchaek, the site of the 2006 underground nuclear test. This international community, including all five

permanent members of the United Nations Security Council, strongly condemned this act.

On 12 June, the United Nations Security Council unanimously adopted Resolution 1874. This resolution imposed further economic and commercial sanctions on the DPRK and authorized UN Member States to interdict and search DPRK vessels for prohibited cargo. The resolution also called upon the DPRK to retract its announced withdrawal from the NPT and return to the Six-Party Talks.

In September, DPRK leader Kim Jong-Il was quoted

by China’s Xinhua news agency as saying that he would be open to bilateral talks with the United States in order to resolve relevant issues.

In October, Chinese Prime Minister Wen Jiabao visited the DPRK and met with Kim Jong-Il. Afterwards, the Prime Minister announced that the DPRK was ready to return to the Six-Party Talks. He also made it clear that DPRK participation in the talks would be dependant on whether progress was made in the bilateral negotiations with the United States. At the time of this announcement, the South Korean news agency Yonhap reported that the DPRK had nearly completed the restoration of its main nuclear facility in Yongbyon.

In December, U.S. special representative to North Korea Stephen Bosworth met with DPRK officials in Pyongyang. The talks did not produce any concrete commitments, though Bosworth reported that he had reached a common understanding with his counterparts that the DPRK needed to reaffirm its 2005 commitment to abandon nuclear weapons in return for economic aid.

2008: In May 2008, the DPRK provided the United States with the documents that outlined its nuclear program. A month later released a declaration of all nuclear activities to all members of the Six-Party Talks. The United States reported having found traces of highly enriched uranium on the documents, which was problematic since the DPRK denied having an active uranium enrichment program. The United States also felt that the DPRK documents were insufficient because they did not give an account of proliferation actions with other countries such as Libya and did not contain the exact number of nuclear weapons that the DPRK had produced.

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes SP-3 Center for Nonproliferation Studies

Last updated: 8/4/2011


(5)

87

While behind schedule, disablement of Yongbyon

was reported to be nearing completion and the DPRK submitted its long-overdue nuclear declaration on 26 June. The following day, in an effort to demonstrate its commitment to the denuclearization process, the DPRK destroyed the cooling tower of its 5 Mw(e) experimental reactor at Yongbyon. The six parties resumed negotiations to map out a verification plan. In October, the DPRK agreed to a number of verification measures, and the United States removed it from the State Sponsors of Terrorism list.

In November, the DPRK rejected allowing environmental samples being taken from its main nuclear complex. Samples would have been used to

verify the DPRK’s account of past nuclear activities.

2007: On 13 February, the DPRK agreed to an

“Action Plan” based on the 2005 Statement of

Principles. Under the deal, the DPRK would shut down its nuclear facilities at Yongbyon within 60 days in exchange for 50,000 tons of heavy-fuel aid. Separate bilateral talks with the United States and Japan would also begin in order to normalize relations. Furthermore, in accordance with the Action

Plan’s second phase, another 950,000 tons of heavy fuel oil would be delivered along with other

humanitarian, economic, and energy aid if the DPRK disabled its nuclear weapons program entirely. On 19 March, DPRK assets in Banco Delta Asia were released and on 14 July, the IAEA confirmed the shutdown of Yongbyon nuclear facilities. In October 2007, the six parties agreed to a second phase Action Plan which called for the DPRK to disable its key nuclear facilities at Yongbyon and furthermore to submit a full declaration of its entire nuclear program by 31 December 2007.

2006: On 9 October 2006, the DPRK tested its first nuclear device at 10:35am (local time) at Mount

Mant’ap near P’unggye-ri, Kilchu-kun, North Hamgyong Province. The yield from the test appeared to be less than 1 kiloton; the DPRK reportedly was expecting at least a 4 kiloton yield, possibly indicating that the nuclear program still had a number of technical hurdles to overcome before it could deploy a usable warhead. In reaction to the test, the UN Security Council passed Resolution 1718

placing sanctions on the DPRK.

With Beijing’s behind the scenes negotiations, the

DPRK returned to the Six-Party Talks in December 2006.

2005: On 10 February, the DPRK announced that it had manufactured nuclear weapons. A fourth round of talks took place in two phases: from 26 July-7 August and from 13-19 September.

On 19 September, the DPRK’s delegation to the Six-

Party talks signed a “Statement of Principles”

whereby Pyongyang agreed to abandon all nuclear programs and return to the NPT and restore IAEA safeguards in exchange for a U.S.-provided light-water reactor. Implementation was delayed because the DPRK and the United States had desired that the other side fulfill its obligations under the agreement first.

Despite the “Statement of Principles,” the Six-Party Talks

process was put on hold for over a year. A key issue holding back the talks was a disagreement over financial sanctions placed by the United States on businesses working with the DPRK. In September 2005, Washington froze the assets of Macao-based Banco Delta Asia. The reasons for this action were controversial, with the United States claiming that the bank was involved in money laundering unrelated to the nuclear issue, while experts claimed it was to gain negotiating leverage over the DPRK nuclear weapons program.

2004: A second and third round of Six-Party Talks took place from 25-28 February and from 23-26 June.

2003: On 10 January, DPRK announced its withdrawal from NPT.

On 5 February, North Korean officials declared that DPRK has reactivated the Yongbyon nuclear reactor

and its operations are now going ahead “on a normal footing.” They also stated that DPRK will use the facilities to produce electricity “at the present stage.”

Six-Party Talks between North Korea, South Korea, Japan, China, Russia, and the United States took place from 27-29 August.

2002: Through April, U.S. and South Koreanofficials attended several meetings to discuss the possible resumption of US negotiations with North Korea to reinvigorate the 1994 Agreed Framework. South Korean presidential aide Lim Dong Won met with North Korean officials, including leader Kim Jong II, who agreed to receive US diplomat Jack Pritchard to discuss restarting US-North Korean negotiations on the Agreed Framework. At issue were the IAEA

inspections of North Korea’s nuclear facilities, called

for in the 1994 agreement when a

“significant portion” of the new reactors is

completed. US officials said the inspections could take three to four years to conduct, making their early commencement necessary to avoid interruption or delay in US aid for building the two LWRs intended to supply electricity to North Korea. North Korean officials, however, were reluctant to allow the inspections in the wake of US President Bush’s

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes SP-4 Center for Nonproliferation Studies


(6)

88

January “axis of evil” speech, and due to concerns

that the United States will renege on its pledge to help the country complete the LWRs.

On 16 October, the United States announced that during a visit to the DPRK, Assistant Secretary James A. Kelly and his delegation advised the North Koreans that the United States had recently acquired information indicating that North Korea had a program to enrich uranium for nuclear weapons in violation of the Agreed Framework and other agreements. North Korean officials acknowledged that they havd such a program.

On 14 November, US President George W Bush declared that November oil shipments to the North would be the last if the North did not agree to put a halt to its weapons programs.

On 12 December, DPRK threatened to reactivate nuclear facilities for energy generation, saying the

Americans’ decision to halt oil shipments leaves it

with no choice. DPRK also blamed the United States for violating the 1994 pact.

2001: On 22 February, North Korea threatened to abandon its participation in the Agreed Framework if

the Bush administration followed a “different” North

Korea policy from that of the Clinton administration. North Korea also accused the United States of not sincerely implementing the Agreed Framework and emphasized that, should the United States continue to delay implementation, it would not be bound to the agreement any longer. The United States stated in response that it was willing to continue dialogue with the DPRK on security issues and that it would honor the Agreed Framework.

On 6 March, US Secretary of State Colin Powell announced that the United States planned to engage with North Korea and pick up where President Clinton had left off. The administration noted some

“promising elements” that had been left on the table.

President Bush further noted that he was looking forward, at some point in the future, to having a dialogue with the DPRK. However, such dialogue would require complete verification of the terms of a potential agreement. The DPRK called the new US policy hostile.

On 6 June, the United States announced its

determination to resume “serious discussions” on a “broad agenda” with the DPRK, i.e., comprehensive

negotiations, including “improved implementation of the Agreed Framework, verifiable missile ban and

North Korean conventional forces on the peninsula.”

Some experts interpret this new comprehensive approach as linkage between progress on nuclear issues with missile, and conventional issues in dealing with North Korea. The DPRK refused to resume talks with the United States on such a comprehensive basis, accusing the Bush administration of committing to a policy of isolation and suppression of North Korea. The DPRK stated that instead of holding comprehensive discussions, bilateral talks should focus on compensating the DPRK for the loss of electricity due to delays in the construction of the LWRs under the Agreed Framework and warned that the accord was in danger of collapse. The Bush administration stated that it was committed to the Agreed Framework;

however, construction of the LWRs, required by the accord, had not yet begun.

However, on 7 June, President Bush announced that his administration would not immediately resume negotiations with the DPRK, he expressed concerns about the ability to verify any agreement with a closed society like North Korea. US officials stated that the administration was conducting a comprehensive review of US policy towards the DPRK.

US Congressional Republican leaders urged the administration to reconsider the terms of the Agreed Framework by abandoning the LWR project in favor

of conventional power plants to meet North Korea’s

civilian energy needs. They called into question

Pyongyang's “track record” and said that North

Korea's regime could hardly be trusted with LWR technology or fissile material.

On 13 June, US special envoy Jack Pritchard met

North Korea’s UN envoy in New York, beginning a

dialogue between the Bush administration and the government in Pyongyang. This meeting was

followed by the US administration’s decision to

resume negotiations with North Korea after a three-month review.

SIX-PARTY TALKS

Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes SP-5 Center for Nonproliferation Studies