Kendali stabilitas beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar

KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA PROSES
PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.)

CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

ABSTRAK
CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI. Kendali stabilitas beta karoten selama
proses produksi tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L.). Dibimbing oleh TIEN R.
MUCHTADI dan PURWIYATNO HARIYADI.
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terutama yang berdaging umbi warna
oranye atau kuning memiliki potensi unggulan pada kandungan beta karoten
(provitamin A) yang tinggi dan memiliki banyak manfaat bagi tubuh, karena
selain mampu memenuhi kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan
untuk melawan radikal bebas dalam tubuh. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung
adalah salah satu usaha untuk mendapatkan produk setengah jadi dari komoditas
ini sehingga mampu memperbanyak aplikasi dan daya simpan komoditas ini pada

masa-masa berikutnya. Namun demikian, adanya ikatan rangkap pada struktur
kimia beta karoten menyebabkan bahan ini menjadi sangat sensitif terhadap
reaksi oksidasi ketika terkena udara (O2), cahaya, metal, peroksida, dan panas
selama proses produksi maupun aplikasinya. Kandungan beta karoten yang sudah
menyusut selama proses pengolahan tepung ini akan semakin menyusut pada
proses aplikasinya (misalnya untuk pembuatan roti atau mie kering). Kondisi ini
terjadi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan,
sehingga pada akhirnya kandungan beta karoten yang seharusnya bermanfaat
tinggi menjadi hilang percuma selama itu.
Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa ubi jalar berdaging umbi
warna oranye dan kuning. Penelitian dilakukan untuk mengendalikan stabilitas
beta karoten selama proses produksi tepung ubi jalar hingga diperoleh retensi beta
karoten tertinggi. Nilai korelasi tertinggi antara pengukuran warna menggunakan
kromameter dalam sistem tristimulus Hunter dengan pengukuran kadar beta
karoten tepung ubi jalar menggunakan HPLC dicapai pada nilai C dan b, masingmasing sebesar 0,86 dan 0,85. Selain itu, dengan adanya faktor-faktor perusak
struktur trans beta karoten berupa oksigen dan panas maka telah ditetapkan titiktitik kendali selama proses produksi tepung ubi jalar yaitu pada tahap blanching,
pengeringan dan penepungan.
Tepung ubi jalar yang dihasilkan memiliki kadar trans beta karoten pada
kisaran 103,94 - 207,39 μg/g. Faktor yang paling berpengaruh terhadap stabilitas
beta karoten selama penyimpanan adalah adanya oksigen pada headspace

kemasan. Oleh karena itu, tepung ubi jalar kaya beta karoten perlu pengemasan
vakum untuk mempertahankan kadar beta karotennya. Penurunan kadar trans beta
karoten pada tepung ubi jalar oranye yang dikemas secara non vakum dan tidak
tembus cahaya memiliki energi aktivasi yang tergolong rendah yaitu sebesar 5,4 x
103 kal/mol. Hal-hal yang berkaitan dengan kelayakan teknis produksi tepung ubi
jalar kaya beta karoten adalah lamanya bahan kontak dengan oksigen dan panas,
serta ukuran partikel tepung pada tahap penepungan. Aspek teknis lain adalah
pada nilai sudut curah, densitas kamba dan densitas padat tepung perlakuan
masing-masing sebesar 32,53, 0,6 g/ml dan 0,73 g/ml, sementara pada tepung
komersial sebesar 37,68, 0,56 g/ml dan 0,76 g/ml, masing-masing nilai pada
kedua tepung tersebut tidak berbeda nyata satu sama lain, artinya karakter fisik
tepung komersial dapat dicapai oleh karakter fisik tepung perlakuan

KENDALI STABILITAS BETA KAROTEN SELAMA
PROSES PRODUKSI TEPUNG UBI JALAR (Ipomoea batatas L.)

CHRISTINA MUMPUNI ERAWATI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

Judul Tesis
Nama
NRP

: Kendali Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Tepung
Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)
: Christina Mumpuni Erawati
: F251034061

Disetujui,
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc.
Anggota

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS
Ketua

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS

Tanggal lulus :

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kendali Stabilitas Beta Karoten

selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) adalah karya saya
sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Juni 2006
Christina Mumpuni Erawati

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 26 Desember 1975 dari
ayah Sukarjono (alm) dan ibu Ennatha Surtinah. Penulis merupakan anak keenam
dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, lulus pada
tahun 1999. Sejak tahun 2000 hingga 2001 bekerja di PT Riau Sakti United
Plantation Industry pada Quality Assurance Department yang kemudian
ditempatkan di Production Planning and Inventory Control (PPIC Department)
untuk divisi Nanas Kaleng. Pada tahun 2001 hingga 2004 bekerja di PT Freyabadi
Indotama pada Manufacturing Department untuk Production Planning and

Inventory Control coklat olahan, yang bertanggungjawab membuat dan
mengkoordinasikan rencana produksi dan rencana pengiriman.
Pada awal tahun 2004 mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke
program Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja paruh waktu di PT Mbrio Biotekindo sejak tahun 2004.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala
berkat dan anugerahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Penelitian yang dilakukan pada bulan Maret 2005 hingga Maret 2006 ini berjudul
Kendali Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L.).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS sebagai dosen pembimbing
pertama yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan dorongan
semangat kepada penulis. Serta kepada Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc sebagai
dosen pembimbing kedua yang telah memberikan komitmen, bimbingan dan
semangat selama penelitian hingga penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan pula kepada Ir
Budianto Wijaya, MAppSc. sebagai penguji luar komisi atas kesediaan,

bimbingan dan wacananya untuk penulisan tesis ini, panitia Bogasari Nugraha
2004 yang telah memberikan bantuan dana penelitian ini, Central International
Potato, Muara – Bogor dan Dr. Jusuf di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian, Malang atas penyediaan bahan baku penelitian ini.
Kepada teman-teman Ilmu Pangan 2002, 2003, 2004 dan 2005, pihakpihak di Laboratorium Seafast, ITP, Pasca panen, dan PT Mbrio Biotekindo yang
tidak dapat penulis sebutkan satu per satu (mohon dimaafkan) serta mBak Mar
dan Pak Ade, terima kasih atas segala bantuannya selama penelitian.
Akhirnya, terima kasih kepada keluarga, suami tercinta C. Perwira Jati
Wicaksana, SE atas segala doa dan kesabarannya mendukung dan membantu
penulis hingga dapat menyelesaikan studi ini. Kepada ayahanda (alm) dan ibunda
atas segala doa dan dukungannya. Juga kepada papah (alm), mamah mertua,
kakak-kakak dan adik-adik semua atas segala doa dan dorongannya, penulis
ucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2006
Christina Mumpuni Erawati

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………………………………….….……………

vii

DAFTAR GAMBAR…………………………………..……………

viii

DAFTAR LAMPIRAN

…………………………………………..

ix

PENDAHULUAN.. …………………………………..…………....

1

Latar Belakang …………………………………………………
Tujuan Penelitian ……………………………………………….

Kerangka Pemikiran …………………………………………….
Hipotesa …………………………………………………………
Manfaat Penelitian ………………………………………………

1
2
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………

5

Ubi jalar …………………………………………………………
Tepung ubi jalar …………………………………………………
Karotenoid dan Beta Karoten ……………………………………
Stabilitas Beta Karoten ………………………………………….
Hubungan Absorbansi Warna dengan Konsentrasi Pigmen …….


5
9
11
15
19

METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………

21

Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………
Bahan dan Alat ……………………………………………………
Metode Penelitian …………………………………………………
Prosedur Analisis …………………………………………………

21
21
21
25


HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………
Karakterisasi Bahan …...........……………………………………
Penelitian Pendahuluan ………………………………………….
Pemilihan pelarut untuk ekstraksi karotenoid ubijalar ………
Pemilihan fase gerak untuk analisis HPLC …………………
Penelitian Inti ……………………………………………………
Analisa Efek O2, Cahaya dan Panas Selama Proses Produksi ....
Penetapan Alat Ukur in line Produksi …………………………
Perlakuan-perlakuan untuk pengendalian stabilitas beta karoten
selama proses produksi tepung ubi jalar……………………….
Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi .......................
Perbandingan fisik tepung perlakuan dan komersial............….

30
30
30
30
35
38
40
46
48
50
55

SIMPULAN ……………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..
LAMPIRAN …………………………………………………………….

57
59
65

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Produksi dan distribusi panen ubi jalar per tahun ………………. 5
Tabel 2. Komponen nutrisi utama ubi jalar ………………. …. ……….. 8
Tabel 3. Polaritas relatif berbagai pelarut (Adnan 1997) ..........................32
Tabel 4. Hasil perhitungan luas permukaan tepung dan beta karoten........34
Tabel 5. Tabel kendali proses ………………………………..………… 41
Tabel 6. Hasil perhitungan kadar beta karoten pada tahap blanching…... 42
Tabel 7. Data pengukuran warna dari 2 alat pengering yang berbeda … 43
Tabel 8. Hasil pengamatan warna menggunakan kromameter selama proses
produksi tepung ubi jalar oranye tanpa perlakuan perendaman
bahan pelindung …………………………………..……...
45
Tabel 9. Kadar beta karoten dan pengukuran warna tepung perlakuan… 47
Tabel 10. Perkiraan % degradasi beta karoten selama produksi ............... 50
Tabel 11. Perkiraan % degradasi beta karoten selama produksi .......…... 51
Tabel 12. Kadar beta karoten selama penyimpanan … ………………... 52
Tabel 13. % penurunan kadar trans beta karoten selama penyimpanan .... 53
Tabel 14. Hasil pengukuran sifat fisik tepung ubi jalar …………………

53

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.

Bagian-bagian kulit dan daging umbi ubi jalar ..………

7

Gambar 2.

Pengubahan beta karoten menjadi 2 retinol….…..……

13

Gambar 3.

Struktur beta karoten diantara jenis karotenoid lainnya …

14

Gambar 4.

Spektrum absorbsi 3 macam stereoisomer beta karoten ..

17

Gambar 5. Perubahan struktur trans menjadi cis beta karoten ………

18

Gambar 6. Proses produksi tepung ubijalar…………………………

23

Gambar 7. Tahap-tahap penelitian …………………………………

24

Gambar 8.

Uji sensitivitas 3 kombinasi fase gerak …………………

38

Gambar 9. Kerusakan trans beta karoten ……………………………

40

Gambar 10. Plot ln k vs 1/T selama penyimpanan tepung ubijalar ……

53

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Gambar pengamatan tepung berdasarkan warna
dan teksturnya ........................................................…

65

Lampiran 2. Rumus perhitungan beta karoten standar ……………

66

Lampiran 3. Rumus perhitungan beta karoten sampel…………….

67

Lampiran 4. Data pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi ……….

68

Lampiran 5. Perhitungan ANOVA dengan SAS 6.12 ……………..

69

Lampiran 6. Analisis statistik korelasi antara 2 peubah…………...

70

Lampiran 7. Gambar pengamatan dengan mikroskop polarisasi……

72

Lampiran 8. Penentuan nilai energi aktivasi …………………………

73

Lampiran 9. Perhitungan luas muka partikel tepung ubi jalar
varietas sewu ...…............................................................

74

Lampiran 10. Contoh hasil kromatogram HPLC ………………………

75

Lampiran 11. Karakteristik pengeringan irisan ubi jalar menggunakan
oven suhu 500C ……………………………………………. 76

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terutama yang berdaging umbi warna
oranye atau kuning memiliki potensi unggulan pada kandungan beta karoten
(provitamin A) yang tinggi. Beta karoten atau provitamin A dalam ubi jalar
diketahui memiliki banyak manfaat bagi tubuh, karena selain mampu memenuhi
kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal
bebas dalam tubuh.
Pengolahan ubi jalar menjadi tepung adalah salah satu usaha untuk
mendapatkan produk setengah jadi dari komoditas ini sehingga mampu
memperbanyak aplikasi dan daya simpan komoditas ini pada masa-masa
berikutnya.
Namun demikian, potensi ini akan menyusut selama pengolahan ubi jalar
menjadi tepung karena sifat beta karoten yang sensitif terutama terhadap oksigen
dan cahaya. Adanya ikatan rangkap pada struktur kimia beta karoten,
menyebabkan bahan ini menjadi sangat sensitif terhadap reaksi oksidasi ketika
terkena udara (O2), cahaya, metal, peroksida, dan panas selama proses produksi
maupun aplikasinya. Kandungan beta karoten yang sudah menyusut selama proses
pengolahan tepung ini akan semakin menyusut pada proses aplikasinya (misalnya
untuk pembuatan roti atau mie kering). Kondisi ini terjadi jika proses pengolahan
dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, sehingga pada akhirnya
kandungan beta karoten yang seharusnya bermanfaat tinggi menjadi hilang
percuma selama itu.
Penelitian yang dilakukan Dignos pada tahun 1992 terhadap ubijalar
varietas VSP 1 menjelaskan bahwa ubi jalar yang dipanggang dalam oven
mengalami penurunan kadar beta karoten sebesar 20 %, dan karena penjemuran
sebesar 40 %, Yusianti (1999) menyebutkan bahwa aplikasi tepung ubi jalar untuk
roti yang dipanggang dalam oven pada suhu diatas 3000F (±1490C) selama 15
menit menyebabkan penurunan beta karoten sebesar 90 – 92 %.

Oleh karena itu, dua pemikiran mendasar yang menjadi pertimbangan
adalah apakah kandungan beta karoten ini perlu diekstraksi terlebih dahulu
sebelum diolah menjadi tepung atau apakah ada rekayasa proses pengolahan
tepung ubi jalar yang dapat meminimalkan kerusakan beta karoten, sehingga
produk jadinya memiliki daya guna yang tinggi (terutama dalam pemenuhan
vitamin A di masyarakat). Proses ekstraksi beta karoten dari ubi jalar yang pernah
dilakukan adalah supercritical CO2 dengan hasil sebesar 98% beta karoten
(Spanos et al. 1993). Meskipun demikian, secara komersial tidak banyak pihak
yang berminat pada proses ini.
Ubi jalar secara alami mengandung beta karoten bentuk trans dominan
(Bauernfeind 1981; Gross 1991), isomerisasi cis-trans yang terjadi pada suhu
tinggi akan

menyebabkan perubahan posisi dari bentuk trans ke bentuk cis.

Sedangkan beta karoten bentuk cis biasanya memiliki aktivitas vitamin A yang
lebih rendah daripada bentuk trans (IVACG 1999).
Penelitian ini berupaya untuk mempelajari dan mengendalikan stabilitas
beta karoten selama proses pengolahan tepung ubi jalar sehingga dapat diperoleh
tepung ubi jalar yang kaya beta karoten dan pada tahap selanjutnya dapat
diperoleh rekomendasi untuk perbaikan produksi tepung ubi jalar kaya beta
karoten.
Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Menghasilkan tepung ubi jalar kaya beta karoten dengan menguraikan
terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas beta karoten
selama proses produksi tepung ubi jalar, salah satunya dengan
mempelajari isomerisasi struktur beta karoten yang terjadi, sehingga
diperoleh titik-titik kontrol proses.

2.

Menguji pengendalian stabilitas beta karoten selama
proses produksi tepung ubi jalar terhadap penyimpanan produk selama
penyimpanan 3 bulan.

3.

Menguji kelayakan teknis produksi tepung ubi jalar kaya beta karoten

Kerangka Pemikiran
Beberapa sifat beta karoten, salah satu komponen unggulan ubi jalar, telah
diketahui melalui beberapa penelitian. Namun demikian, telaah stabilitas beta
karoten selama proses produksi tepung ubi jalar belum banyak dilakukan. Hal ini
penting dilakukan karena akan menjadi dasar pertimbangan pengembangan
pengolahan selanjutnya, sehingga beta karoten akan mampu berdaya guna pada
tahap pengembangan maupun aplikasinya. Adanya panas, oksigen dan cahaya
selama proses produksi ubi jalar menjadi tepung belum mampu dihilangkan
sepenuhnya sehingga terjadi proses isomerisasi atau rusaknya struktur beta
karoten yang menyebabkan sebagian nutrisi yang berupa provitamin A (beta
karoten) mengalami penurunan aktivitas.
Isomerisasi struktur beta karoten selama proses pengolahan tepung ubi
jalar diharapkan mampu dikontrol secara in line pada proses pengolahan tepung
ubi jalar berdasarkan telaah berbagai metode konversi warna dan absorbansi.
Pengendalian secara in line disini dapat diartikan sebagai pengendalian yang
dilakukan secara cepat, mengikuti alir produk secara industrial, mudah dan
memiliki ketelitian pengukuran cukup akurat.
Metode

ini

menjadi

pilihan

jika

dibandingkan

dengan

analisa

konvensional yang memerlukan analisa laboratorium yang sulit, lama dan mahal.
Dengan demikian, beberapa titik kontrol selama proses pengolahan tepung
ubijalar yang memiliki potensi dapat mempengaruhi stabilitas beta karoten dapat
dikendalikan. Melalui rekayasa proses akan diperhitungkan kondisi fisik bahan
selama pengeringan maupun upaya-upaya perlindungan struktur beta karoten
dengan penyalutan beberapa bahan, yaitu natrium bisulfit, asam askorbat dan
dekstrin-gum.
Selain itu, uji kelayakan proses secara teknis dilakukan berdasarkan
beberapa karakter fisik tepung ubijalar kaya beta karoten, seperti misalnya kadar
air, densitas kamba, ukuran partikel maupun sudut curahnya. Hal ini terkait erat
dengan kendali stabilitas beta karoten selama proses produksi maupun proses
aplikasi dari aspek fisik bahan tepung ubi jalar ini.

Hipotesa
Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini menekankan pada
perbaikan proses produksi, berupa tahap perendaman dengan salah satu bahan
pelindung/antioksidan sebelum tahap pengeringan, akan mampu meminimalkan
penurunan kadar beta karoten tepung ubi jalar secara signifikan dari kadar awal
bahan bakunya.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan
informasi-informasi

berkaitan

dengan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

kestabilan beta karoten sehingga mampu menjadi pertimbangan awal pada
pengolahan tepung ubi jalar secara industri maupun industri rumah tangga dalam
rangka pengembangan komoditas lokal.

TINJAUAN PUSTAKA
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.)
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) termasuk tanaman palawija penting di
Indonesia setelah jagung dan ubikayu (Suismono 1995). Tabel 1 memperlihatkan
bahwa terjadi kenaikan dan penurunan produksi setiap tahunnya akibat kenaikan
maupun penurunan luas panen. Namun demikian hasil per hektar lahan tanam
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (periode 2000-2004), artinya terjadi
optimalisasi lahan yang mampu meningkatkan hasil per hektar luas tanam.

Tabel 1. Produksi dan distribusi panen ubi jalar per tahun
Periode tahun

Produksi (ton) Luas panen (ha) Hasil/Ha (ku)

2000

1.827.687

194.262

94

2001

1.749.070

181.026

97

2002

1.771.642

177.276

99,94

2003

1.991.478

197.455

101

2004

1.901.802

184.546

103

Sumber : Badan Pusat Statistik

Peningkatan hasil ini mendorong pemanfaatan komoditi ubi jalar menjadi
bahan baku berbagai produk pangan. Berbagai produk ubi jalar yang dapat
dikembangkan antara lain adalah produk-produk hasil pengembangan ubi jalar
segar (seperti ubi yang dipanggang dalam oven), produk ubi jalar siap santap,
produk ubi jalar siap masak, dan produk ubi jalar setengah jadi untuk bahan baku
makanan (Juanda & Cahyono 2000).
Sebelum ubi jalar diolah menjadi beberapa produk turunannya tersebut perlu
diketahui terlebih dahulu sifat-sifat morfologi, histologi maupun kandungan
nutrisinya (Suismono 1995). Umbi tanaman ubi jalar memiliki ukuran, bentuk,
warna kulit, dan warna daging bermacam-macam, tergantung varietasnya. Daging
umbi tanaman ubi jalar ada yang berwarna putih, kuning, jingga dan ungu muda.
Bentuk umbi tanaman ubi jalar ada yang bulat, oval, dan bulat panjang.
Selanjutnya jika bentuk umbi diketahui maka lama pengupasan dan perancangan

alat pencucian dapat diperkirakan (Suismono 1995). Kulit umbi ada yang
berwarna putih, kuning, ungu, jingga dan merah (Juanda & Cahyono 2000).
Untuk kulit yang warnanya putih sampai kuning dapat diolah langsung sebab
tanpa pengupasan tidak mempengaruhi produk, tetapi kulit umbi yang warnanya
merah harus dilakukan pengupasan (Suismono 1995). Struktur kulit umbi tanaman
ubi jalar juga bervariasi antara tipis sampai tebal dan bergetah antara bergetah
sedikit sampai bergetah banyak (Juanda & Cahyono 2000).
Kulit ubi jalar dapat dibagi menjadi 4 bagian pokok yaitu kulit ari, lapisan
getah, lapisan gabus, dan daging umbi (Gambar 1). Enzim polifenol oksidase,
yang menyebabkan terjadinya pencoklatan atau browning bila ada luka pada
umbi, terletak dalam phellogen (cork cambium), phelloderm dan getah ubi jalar.

A
B
(Bauwkamp 1985)
(reproduksi dari dokumentasi Hartana 1994)
Keterangan gambar : ep = epidermis (kulit ari)
co = cortex (lapisan kulit getah)
lac = lacuna
ca = cambium (lapisan gabus/kambium)
par = parenkim
en = endodermis
xy, ph = xylem, phloem

Gambar 1. Bagian-bagian kulit dan daging umbi ubi jalar
Sedangkan daging umbi terdiri dari parenchyme dan serat (Suismono 1995).
Dengan mengetahui susunan kulit dan daging umbi akan dapat diketahui teknik
pengupasan yang benar agar tidak terjadi pencoklatan (browning) dan
berpengaruh pada rendemen tepung (Suismono 1995).
Dari komposisi gizinya, ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan
sumber kalori (energi) yang cukup tinggi (Juanda & Cahyono 2000). Ubi jalar

mengandung karbohidrat sebesar 27,9 gram dan menghasilkan kalori sekitar 123
kalori tiap 100 gram bahan (lihat Tabel 2). Vitamin yang terkandung dalam ubi
jalar adalah vitamin A, vitamin C, vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin),
sedangkan mineral yang terkandung dalam ubi jalar adalah zat besi (Fe), fosfor
(P), kalsium (Ca), dan natrium (Na). Kandungan gizi lain yang terdapat dalam ubi
jalar adalah protein, lemak, serat kasar, kalori dan abu (Juanda & Cahyono 2000).
Namun demikian, nilai gizi ubi jalar secara kualitatif maupun kuantitatif
dipengaruhi oleh varietas, lokasi dan musim tanam (Suismono 1995).
Produksi vitamin yang tinggi pada ubi jalar belum banyak dikembangkan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa ubi jalar memiliki potensi vitamin A cukup tinggi
(ubi jalar merah memiliki kadar vitamin A 7700 SI, setara dengan 2312 RE, dan
ubi jalar kuning memiliki kadar vitamin A 900 SI setara dengan 270 RE,
sedangkan Angka Kecukupan Gizi pria dewasa sebesar 700 RE/hari, Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VI). Namun demikian, ubi jalar memiliki kadar protein
rendah yaitu sekitar 1,8 gram sehingga perlu penambahan sumber protein nabati
lain dalam pembuatan produk makanan dari bahan ubi jalar.

Tabel 2. Komponen utama ubi jalar

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Kadar /100 g bahan

Unsur gizi
Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Natrium (mg)
Kalium (mg)
Niasin (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin B2 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
Bagian daging (%)

Ubi putih
123
1.8
0.7
27.9
30
49
0.7
60
0.9
22
68.5
86

Sumber : Direktorat Gizi Depkes R.I., 1981

Ubi merah
123
1.8
0.7
27.9
30
49
0.7
7700
0.9
22
68.5
86

Ubi kuning
136
1.1
0.4
32.3
57
52
0.7
5
393
0.6
900
900
0.4
35
-

Selain kandungan gizi yang cukup lengkap, ubi jalar juga mengandung zat
antigizi yaitu antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa. Antitripsin dan
antikimotripsin mampu menghambat aktivitas proteolitik enzim tripsin dan
kimotripsin (Djuanda 2003). Namun kerja zat antigizi ini tidak akan aktif setelah
bahan menjadi matang akibat pengolahan/pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga
mengandung senyawa-senyawa seperti ipomaemarone, furanoterpen, koumarin,
dan polifenol yang menyebabkan rasa pahit. Senyawa-senyawa tersebut terbentuk
dalam jaringan karena adanya luka serangan hama (Juanda & Cahyono 2000).

Tepung Ubi jalar
Salah satu pemanfaatan ubi jalar sebagai komoditas pangan adalah dalam
bentuk tepung. Ubi jalar diubah menjadi tepung atau pati, sehingga dapat
digunakan sebagai bahan baku industri alkohol, sirup, maltosa, glukosa, fruktosa,
bahan perekat, biskuit, dan industri lainnya (Kadarisman 1985). Teknik
pembuatan tepung ubi jalar merupakan salah satu jenis pengolahan yang penting,
hal ini disebabkan tepung ubi jalar dapat disimpan lebih lama dan lebih luas
penggunaannya dalam pembuatan berbagai jenis makanan (Santosa dkk. 1994).
Tepung ubi jalar merupakan bentuk produk olahan setengah jadi dari umbi
ubi jalar. Pembuatan tepung ubi jalar di tingkat petani dapat dilakukan dengan
membuat chip ubi jalar kering. Pengertian chip kering dan tepung ubi jalar adalah
produk ubi jalar yang berbentuk irisan umbi yang dikeringkan lalu ditepungkan.
Secara umum, tahap pembuatan tepung ubi jalar adalah tahap pencucian,
pengupasan, perlakuan blanching, pengirisan, perendaman, pengeringan dan
penepungan (Suismono 1995). Perlakuan tambahan yang dapat dipertimbangkan
adalah pengepresan untuk mengurangi kadar air sehingga dapat mempercepat
pengeringan.
Pencucian bertujuan untuk membersihkan umbi dari kotoran dan tanah.
Proses ini disertai proses sortir terhadap hama ubi jalar yang biasanya ditandai
dengan adanya lubang-lubang kecil pada umbi maupun luka memar atau
kepoyohan.

Pengupasan dilakukan untuk mendapatkan kualitas bahan baku yang benarbenar bagus, karena sebenarnya tanpa pengupasan pun masih dapat diterima oleh
panelis pada uji organoleptik baik warna maupun aromanya. Namun demikian,
kadar mikroba, kapang/khamir lebih banyak ditemukan pada produk yang tidak
dikupas daripada yang dikupas (Suismono 1995). Jika dilakukan pengupasan akan
terlihat jelas adanya penyimpangan mutu (biasanya berupa lubang atau warna
daging yang berbeda) sehingga dapat diupayakan untuk di-trimming ataupun
dibuang.
Perlakuan

blanching

(70-1050C)

adalah

pemanasan

cepat

untuk

menginaktivasi enzim dan menstabilkan bahan pangan melawan perusakan selama
penyimpanan jangka panjang. Blanching dapat dilakukan dalam air, uap, atau
menggunakan energi mikrowave (Kidmose 2002).
Pengirisan adalah proses pengecilan ukuran yang bertujuan untuk
mempercepat pengeringan dan mempermudah proses pengepresan serta
penepungan. Pengirisan dapat dilakukan secara manual maupun menggunakan
alat seperti slicer, pencacah sawut dan lain-lain.
Tahap berikutnya adalah persiapan pengeringan. Ada beberapa metode
pengolahan ubi jalar yang melakukan tahap perendaman pada larutan sulfit
sebelum pengeringan. Senyawa sulfit yang biasa digunakan adalah SO2, SO32-,
HSO3-, atau S2O52-. Reaksi bisulfit dengan kelompok karbonil dari gula pereduksi
serta komponen lain yang berperan dalam pencoklatan berlangsung secara dapat
balik (reversible). Dengan demikian proses pencoklatan dapat dihambat. Tetapi
hasil reaksi ini juga diduga mampu menghilangkan kromofor karbonil dalam
struktur melanoidin sehingga menyebabkan efek bleaching pada pigmen. Proses
pengikatan bisulfit dengan kelompok hidroksil juga dapat berlangsung secara
tidak dapat balik (irreversible) membentuk sulfonat. Selain itu penggunaan sulfit
atau

metabisulfit dengan disemprot atau direndam memberi kontrol efektif

terhadap enzim pencoklatan dalam hal ini enzim yang mengkatalis proses oksidasi
senyawa fenolik (misal enzim fenolase atau polifenol oksidase) (Lindsay 1996).
Tahap produksi berikutnya adalah pengeringan. Pengeringan terjadi melalui
penguapan cairan dengan pemberian panas ke bahan basah. Pengeringan adalah

operasi rumit yang melibatkan perpindahan massa dan panas sehingga
menyebabkan perubahan mutu produk (Devahastin 2000). Dibandingkan
pengering alami (dengan sinar matahari), pengering buatan memiliki lebih banyak
keuntungan, misalnya bahan yang dikeringkan akan lebih seragam mutunya, cepat
prosesnya serta terhindar dari bahan asing yang tidak diinginkan, karena dapat
dikontrol kondisi lingkungannya.
Tepung ubi jalar merupakan hasil penepungan chip atau irisan ubi jalar
kering. Penepungan yang dilakukan harus memperhatikan jenis dan teknologi
mesin penepung berdasarkan tingkat kehalusan dan kapasitas produksi (Suismono
1995).
Standar mutu tepung ubi jalar belum ada. Namun bila ditinjau dari
komponen mutu tepung umbi-umbian seperti pada tepung ubi kayu (SII tepung
kasava N.2462-1991) meliputi : keadaan (bau, rasa, warna), benda asing, derajat
putih, pati, cemaran logam (Pb, Cu, Zn, Hg dan As) serta cemaran mikroba (E.coli
dan kapang), maka komponen mutu tepung di atas secara garis besar terdiri dari
sifat fisik, kimia, dan mikrobiologis (Suismono 1995). Sementara kluster ubi jalar
di Bogor Barat memiliki spesifikasi produk yaitu kadar air maksimal 6% dan total
mikroba sebanyak 103 koloni/ml (Syah 2005).

Karotenoid dan Beta Karoten
Ubi jalar terutama yang berdaging umbi warna merah hingga kuning
diketahui mengandung banyak karotenoid terutama beta karoten (Bauernfeind &
Klaul 1981; Gross 1991). Purcell (1962) melakukan analisis karotenoid secara
detail pada ubi jalar kuning jenis Goldrush dan ada 7 pigmen yang teridentifikasi
yaitu phytoene (2,6%), phytofluene (0,8%), β-karoten (89,9%), ζ-karoten (1,2%),
β-karoten 5,8-epoksi (2,5%), γ-karoten (0,7%) dan hidroksi ζ- karoten (0,5%).
Pada tahun 1970, Sweeney dan Marsh menyatakan bahwa fraksi karoten dalam
ubi jalar adalah campuran all trans β-karoten (96,7%), neo-β-karoten B (0,1%),
dan neo β-karoten U (3,2%). Woolfe (1992) menyebutkan bahwa lebih dari 89%
total karoten pada ubi jalar oranye adalah beta karoten. Disebutkannya pula bahwa

ubi jalar memiliki dasar genetis yang sangat luas dengan variabilitas yang luar
biasa sehingga belum ada bukti atau cara yang akurat untuk menunjukkan varietas
ubi jalar mana yang kaya beta karoten.
Karrer dan Jucker (1950) dalam Muchtadi (1992) mendefinisikan
karotenoid atas persetujuan Unit Internationale de Chimie, sebagai suatu zat
warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang
pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil
yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus
metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5, serta diantaranya terdapat ikatan
ganda terkonjugasi.
Menurut Association of Vitamin Chemistry, London dalam Method of
Vitamin Assay, secara umum karotenoid mempunyai sifat fisik dan kimia sebagai
berikut :


Larut dalam lemak



Larut dalam kloroform, pewarna, karbon disulfida, petroleum eter



Sukar larut dalam alkohol



Sensitif terhadap oksidasi



Auto oksidasi



Stabil terhadap panas di dalam udara bebas oksigen kecuali untuk
beberapa perubahan stereo isometrik



Punya spektrum serapan yang spesifik

Meyer (1973) menjelaskan bahwa karotenoid dapat dikelompokkan menjadi
4 golongan, yaitu :
1. Karoten merupakan karotenoid hidrokarbon C40H56, yaitu alfa, beta dan
gamma karoten serta likopen
2. Xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil.
Contoh : kriptoxantin dan lutein
3. Ester xantofil yaitu ester asam lemak. Contoh : Zeaxantin

4. Asam karotenoid, yaitu derivat karoten yang mengandung gugus
karboksil

Sedangkan Bielsen (1994) hanya menggolongkan pigmen karotenoid ini
menjadi 2 kelompok besar saja yaitu hydrocarbon carotenes dan oxygenated
xanthophylls.
Dari suatu survey dasar diketahui bahwa vitamin A hanya ditemukan di
makanan hewani berupa daging, hati, hingga telur. Vitamin A tidak ditemukan di
makanan nabati, namun demikian tumbuhan mampu membentuk atau mensintesa
senyawa karotenoid, yang merupakan prekursor vitamin A. Prekursor vitamin A
ini merupakan pigmen warna kuning hingga merah yang dapat ditemukan pada
daun atau buah dan sayuran. Karotenoid tersebut biasanya berupa beta karoten,
alpha karoten, cryptoxanthin, lutein, zeaxanthin, dan likopen. Diantara jenis
karotenoid yang ada, beta karoten memiliki aktivitas vitamin A (retinol) yang
lebih besar ( Low et al. 1997). Hal ini akan tampak lebih jelas pada Gambar 2
yang menunjukkan bahwa beta karoten mampu membentuk 2 retinol di dalam
mukosa usus, sedangkan jenis karotenoid yang lain (Gambar 3) hanya mampu
membentuk paling tidak 1 retinol atau tidak sama sekali.

Gambar 2. Pengubahan beta karoten menjadi 2 retinol (Hassan 1987, Muchtadi
1992)

Gambar 3. Struktur beta karoten diantara jenis karotenoid lain (Gross 1991)

Karakterisasi beta karoten menurut Bauernfeind & Klaul (1981) terutama
adalah sifatnya yang tidak larut dalam air, ethanol, methanol namun larut dalam
minyak sayur dan memiliki titik leleh dalam kisaran 178 –184 oC.

Stabilitas Beta Karoten
Beta karoten sebagaimana karotenoid lain di alam, sebagian besar berupa
hidrokarbon yang larut dalam air dan lemak, serta berikatan dengan senyawa yang
strukturnya menyerupai lemak. Adanya struktur ikatan rangkap pada molekul beta
karoten (11 ikatan rangkap pada 1 molekul beta karoten) menyebabkan bahan ini
mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Walfford (1980) oksidasi
karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya
tembaga, besi dan mangaan. Oksidasi dapat terjadi secara acak pada rantai karbon
yang mengandung ikatan ganda. Pengaruh suhu terhadap oksidasi pada karotenoid
dikemukakan oleh Worker (1957) dalam Muchtadi (1992) yaitu bahwa karotenoid
belum mengalami kerusakan karena pemanasan pada suhu 600 C, sedangkan Mc
Weeny (1968) berpendapat bahwa reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat
pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat prooksidan.
Marty dan Berset (1990) melakukan penelitian dengan beta karoten all trans
sintetis dan menyatakan bahwa ketahanan molekul tersebut pada suhu tinggi
dipengaruhi oleh kondisi medium. Pemanasan yang lama pada suhu 1800 C (pada
kondisi tanpa oksigen) hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada molekul ini,
namun pada bahan pangan (dengan adanya komponen penyusun berupa pati,
lemak, air dan lain-lain) serta dikombinasikan dengan pencampuran secara
mekanis akan memberi kesempatan masuknya oksigen dan menyebabkan
kerusakan molekul beta karoten all trans ini lebih besar hingga jauh lebih besar
lagi.
Perubahan struktur beta karoten khususnya maupun karotenoid pada
umumnya selama pengolahan dan penyimpanan dapat terjadi melalui beragam
jalur, tergantung pada kondisi proses reaksinya.

Beberapa macam kerusakan karotenoid yang mungkin terjadi :
1. Kerusakan pada suhu tinggi
Eskin (1979) menyebutkan bahwa karotenoid akan mengalami
kerusakan pada suhu tinggi yaitu melalui degradasi thermal sehingga
terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas
warna karoten atau terjadi pemucatan warna. Hal ini terjadi dalam
kondisi oksidatif.
2. Oksidasi
Eskin (1979) menyebutkan pula bahwa oksidasi dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu oksidasi enzimatis dan oksidasi non enzimatis. Oksidasi
enzimatis dikatalis oleh enzim lipoksigenase. Hasil proses oksidasi ini
berupa hidroksi beta karoten, semi karoten, beta karotenon, aldehid, dan
hidroksi beta neokaroten yang menyebabkan penyimpangan citarasa.
3. Isomerisasi
Bentuk all trans memberikan warna kuat. Makin banyak ikatan cis,
warna makin terang. Rantai poliene pada karoten bertanggung jawab
akan ketidakstabilan karoten seperti kepekaannya terhadap oksidasi oleh
oksigen dan peroksida, penambahan elektrofil (H+ dan asam Lewis),
isomerisasi E/Z oleh panas, cahaya dan bahan kimia (Britton, Jensen, &
Pfander 1995)

Khusus pada kerusakan beta karoten selama pengolahan dapat dinyatakan,
salah satunya dengan persentase aktivitas provitamin A. Senyawa beta karoten
dalam bentuk isomer trans mempunyai aktivitas provitamin A sebesar 100 persen.
Kehilangan aktivitas provitamin A dapat terjadi selama sterilisasi anaerob dan
bervariasi dari 5 sampai 50 persen tergantung pada suhu, waktu dan bentuk
karotenoid (Andarwulan & Kuswara 1987).
Karakteristik lain dari karotenoid adalah fenomena cis-trans. Secara teoritik,
masing–masing ikatan rangkap dalam beta karoten dapat membentuk 2
macam konfigurasi. Kurva absorpsi spektra dari karotenoid yang mengalami
isomerisasi dari bentuk trans ke cis, menggambarkan puncak trans isomer pada

Gambar 4. Spektrum absorbsi 3 macam stereoisomer beta karoten, trans beta
karoten T, neo beta karoten U, neo beta karoten B. (Bauernfeind & Klaul 1981)

posisi terendah dibandingkan neo beta karoten B atau 13 mono cis beta karoten
(pemasakan 400 menit) dan neo beta karoten U atau 9 mono cis beta karoten,
kemudian dikenai cahaya yang makin besar panjang gelombangnya ,
menunjukkan perubahannya ke posisi puncak teratas (Gambar 4).
Sementara itu, perubahan struktur kimia beta karoten dari bentuk trans ke
bentuk cis dapat dilihat pada Gambar 5. Perubahan ini menyebabkan penurunan
aktivitas vitamin A dari 100% ke 30% saja (Andarwulan & Koeswara 1990).
Lebih lanjut, pemanfaatan antioksidan pangan akan mampu meningkatkan
stabilitas beta karoten maupun karotenoid pada umumnya (Bauernfeind & Klaul
1981).

Karotenoid

yang

digunakan sebagai bahan

pewarna makanan

biasanya distabilkan dengan tokoferol dan asam askorbat. Sejumlah penelitian
menyebutkan bahwa antioksidan yang ditambahkan pada minyak mineral

Gambar 5. Perubahan struktur trans ke cis beta karoten (Mac Dougall 2002)

menunjukkan penurunan kadar beta karoten sebesar 20% dengan waktu terlama
yaitu dengan antioksidan turunan phenylenediamine dan diphenylamine. Secara
umum, Bauernfeind & Klaul (1981) mencatat bahwa stabilitas karotenoid dapat
ditingkatkan dengan antioksidan pada formulasi yang cocok dan melibatkan asam
askorbat dan ester asam bebasnya, tokoferol, lecithin, butylated hydroxyanisole
(BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT).
Selain itu, menurut Chang dan Zhao (1995) penambahan pati jagung dan
sulfit mampu memperlambat penurunan maupun rusaknya alpha, beta karoten dan
total karoten pada wortel kering selama penyimpanan. Hingga penyimpanan bulan
ke- 12 kadar beta karoten pada wortel kering yang dikenai perlakuan 2,5% pati
jagung adalah sebesar 66% lebih baik dibanding kontrol sebesar 30,8%.

Hubungan Absorbansi Warna dengan Konsentrasi Pigmen
Beta karoten merupakan komponen penting dalam bahan pangan sebagai
sumber vitamin A dan memberi warna kuning hingga oranye (Bauernfeind &

Klaul 1981). Intensitas warna beta karoten pada ubi jalar telah diperkirakan
sebagai indikator nilai provitamin A bahan pangan tersebut (Takahata et al. 1993).
Semakin rendah kadar beta karoten akan menurunkan warna dominan merah.
Mac Dougall (2002) menyebutkan bahwa warna kuning, oranye, merah
karotenoid adalah terkait dengan sistem konjugasi ikatan rangkap karbon-karbon.
Semua struktur trans dapat diubah menjadi isomer cis. Isomerisasi cis-trans
menghasilkan perubahan warna produk yang ditunjukkan oleh sifat spektral
karotenoid cis yang berbeda dengan karotenoid trans.
Hubungan antara absorbansi warna dengan konsentrasi dari pigmen warna
yang diserap tersebut dinyatakan dalam hukum Beer (Nielsen 1998) yaitu :
A = abc
A = absorbansi

b = tebal kuvet

a = absortivitas bahan

c = konsentrasi pigmen

Makna yang dapat diambil dari hukum diatas adalah absorbansi berbanding
lurus dengan konsentrasi pigmen.
Penelitian akhir-akhir ini telah banyak menelaah berbagai pengukuran
konsentrasi pigmen secara cepat dengan mengkonversikan pengukuran warna
dengan konsentrasi pigmen karena selain cepat, metode tersebut juga dapat
dilakukan tanpa merusak bahan uji, seperti wortel, tomat, cabai, jeruk, ubi jalar
dan bahan berwarna lainnya (Schoels 2002). Fratianni, et al (2005) mendapatkan
konfirmasi komponen utama pembentuk warna pada tepung durum yaitu lutein
dan beta karoten dengan membandingkan pengukuran colorimeter, WSB (WaterSaturated Butanol) dan HPLC. Penelitian lain dalam review Schoels (2002)
menunjukkan beberapa persamaan matematik untuk memperkirakan modifikasi
pigmen yang terjadi selama proses produksi pangan. Beberapa peneliti
menggunakan warna hue angle untuk mengkarakterisasi perubahan warna
(Schoels 2002).
Penelitian-penelitian dengan bahan uji ubi jalar salah satunya adalah hasil
penelitian Liener dan Sistrunk (1979) yang menunjukkan bahwa ada hubungan
warna dengan total kandungan beta karoten. Pengukuran warna merah dengan

Color Difference Meter (CDM) pada varietas ubi jalar Centinnial, varietas Jasper
dan varietas George Jet mempunyai kadar beta karoten masing-masing sebesar
18,5 mg/100 g , 15,5 mg/100 g dan 8,5 mg/100g dihasilkan nilai warna (L value)
masing-masing 53,3 dan 50,4 serta 48,5. Penelitian berikutnya adalah penelitian
Takahata et al. (1993) dan Camire et al. (1994) yang menggunakan pengukuran
warna untuk perkiraan cepat (rapid estimation) kadar total karoten ubi jalar.
Ameny dan Wilson

(1997) adalah peneliti berikutnya yang khusus

mengamati hubungan antara nilai warna Hunter dan kadar beta karoten dalam ubi
jalar Afrika berdaging umbi warna putih. Nilai warna Hunter tidak menunjukkan
banyak perbedaan pada pengukuran melintang, membujur maupun diagonal ubi
jalar mentah. Hubungan antara pengukuran warna dengan sistem Hunter dan
pengukuran kadar beta karoten dengan HPLC dinyatakan dengan besarnya nilai
korelasi linear dan nilai tertinggi diperoleh pada nilai b yaitu dengan nilai r
sebesar 0.74. Perubahan warna yang terjadi pada saat pengolahan ubi jalar seperti
warna merah yang semakin berkurang, munculnya warna biru atau hijau
dinyatakan sebagai suatu peristiwa isomerisasi trans-cis struktur karoten, karena
adanya kompleks protein dengan karoten ataupun karena adanya kerusakan
struktur karoten yaitu terbentuknya karoten struktur epoksi.

1.

METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan –
Seafast Centre, IPB dan Agricultural Products Processing Pilot Plant (AP4), IPB.
Dimulai dari bulan Maret 2005 sampai dengan Maret 2006.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi bahan baku utama, bahan tambahan dan
bahan kimia untuk keperluan analisis. Bahan baku utama adalah ubi jalar
berdaging umbi oranye dan kuning. Bahan baku tambahan adalah natrium
metabisulfit, asam askorbat, dan maltodekstrin-gum arab. Bahan – bahan kimia
yang digunakan untuk analisa adalah kalium hidroksida, butilhidroksitoluen
(BHT), natrium sulfat, heksan, asetonitril, kloroform, metanol, tetrahidrofuran,
dietil eter, dan petroleum eter dengan grade pro analisis, serta larutan asam asetat
5%.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah HPLC dengan
detektor ultraviolet-visible merek Shimatzu dan kolom Vydac reverse-phase C18
CAT #201 TP 54 (USA), kromameter CR300 merek Minolta, spektrofotometer
ultraviolet-visible merek Shimatzu, oven menggunakan pemanas gas dan listrik,
slicer, vorteks, kompor, loyang pengering, dan gelas-gelas analisa.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian
pendahuluan dan penelitian inti, sebagai berikut :
Penelitian pendahuluan
Tahap ini meliputi pemilihan pelarut untuk ekstraksi, pemilihan pelarut
untuk fase gerak pada HPLC serta penetapan proses produksi yang akan
dilakukan. Pemilihan pelarut untuk ektraksi dilakukan dengan uji lama

pengendapan dan absorbansi yang dihasilkan jika konsentrat hasil ekstraksi 2,5
gram sampel tepung dilarutkan dalam 5 ml heksan pada panjang gelombang 450
nm. Pemilihan pelarut untuk fase gerak HPLC dilakukan dengan uji sensitivitas
antara konsentrasi beta karoten yang divariasikan (sebagai sumbu x) dan hasil luas
area pada kromatogram (sebagai sumbu y).
Penelitian inti
Kajian stabilitas beta karoten selama proses produksi dilakukan dengan
pengamatan

warna

menggunakan

kromameter

dan

kadar

beta

karoten

menggunakan HPLC sehingga diperoleh tahapan proses yang menjadi titik-titik
kendali proses pada penelitian inti.
Dengan adanya titik-titik kendali proses maka dilakukan beberapa
perlakuan untuk melihat besarnya kadar beta karoten tanpa dan dengan tahapan
proses tersebut. Pada tahap blanching dilakukan perlakuan proses dengan dan
tanpa blanching. Pada tahap pengeringan dilakukan beberapa perlakuan sebelum
pengeringan yaitu perendaman irisan ubi jalar dalam air, larutan sulfit 0,3%
selama 30 menit tanpa air panas (modifikasi Santosa dkk 1994), larutan sulfit
0,3% dengan air panas 60 0C (modifikasi Zhao & Chang 1995), asam askorbat
0,3%, dan perendaman menggunakan malto-dekstrin:gum arab = 1:1 (8%). Pada
tahap ini, stabilitas beta karoten diamati dengan alat kromameter.
Masing-masing perlakuan pada penelitian pendahuluan dan penelitian inti
dilakukan dalam 2 kali ulangan. Produk yang dihasilkan dari penelitian inti
bersama-sama dengan kontrol dan tepung ubi jalar komersial dilakukan analisa
beta karoten dengan HPLC untuk mendapatkan hasil tepung terbaik yang akan
digunakan pada tahap penelitian berikutnya.
Tepung ubi jalar terbaik digunakan untuk uji kelayakan teknis produksi,
dan uji stabilitas beta karoten selama penyimpanan akibat perlakuan pada masingmasing tepung dengan kemasan vakum dan non vakum pada penyimpanan suhu
dingin (20C), suhu ruang (250C) dan suhu panas (350C). Uji stabilitas beta karoten
selama penyimpanan juga dilakukan untuk mendapatkan besar energi aktivasi
kerusakan beta karoten jenis trans selama penyimpanan.

Proses produksi tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini :
Persiapan bahan baku

Pencucian awal

Pemeriksaan fisik

Pencucian ulang

Pengupasan

di dalam rendaman air

Blanching uap

700 C, 10 menit

Pengirisan

di dalam rendaman air

Perendaman

25 – 600C, 10 – 30 menit

Pengeringan

500 C

Penepungan

Pengemasan

kemasan vakum dan non vakum

Penyimpanan
Gambar 6. Proses produksi tepung ubi jalar (Modifikasi Suismono 1995)
Sedangkan alur penelitian yang dilakukan mengikuti Gambar 7 berikut ini :
Penelitian pendahuluan
1. Pemilihan pelarut untuk proses ekstraksi, persiapan analisa HPLC
2.Pemilihan pelarut untuk fase gerak HPLC

Penelitian inti
Pemilihan tahapan proses sebagai titik-titik kendali proses.
Perlakuan-perlakuan yang dilakukan pada tahap blanching adalah sebagai
berikut :
Perlakuan 1 : Produksi tepung dari ubi jalar Varietas Sewu dengan blanching
Perlakuan 2 : Produksi tepung dari ubi jalar Varietas Sewu tanpa blanching
Perlakuan 3 : Produksi tepung dari ubi jalar klon BB 105.010 dengan
blanching Perlakuan 4 : Produksi tepung dari ubi jalar klon BB 105.010
tanpa blanching
Tepung ubi jalar dengan kadar beta karoten tertinggi
Perlakuan-perlakuan sebelum tahap pengeringan adalah sebagai
berikut :
Perlakuan 1 : Perendaman pada sulfit 0,3% air biasa (S30)
Perlakuan 2 : Perendaman pada sulfit 0,3%, 600C (S10)
Perlakuan 3 : Perendaman pada asam askorbat 0,3% air biasa (A30)
Perlakuan 4 : Perendaman pada asam askorbat 0,3%, 600C (A10)
Perlakuan 5 : Perendaman pada maltodekstrin:gum arab (1:1),8%
(Gum)
Tepung ubi jalar dengan kadar beta karoten tertinggi
Perlakuan-perlakuan pada tahap pengeringan adalah sebagai berikut :
Perlakuan 1 : lama pengeringan 4 jam (kadar air maksimal (12%)
Perlakuan 2 : lama pengeringan 24 jam (kadar air maksimal 12%)
Tepung ubi jalar dengan kadar beta karoten tertinggi
Penyimpanan bulan ke-0,1,2,3
Perlakuan 1 : Dikemas dalam alufo secara vakum
Perlakuan 2 : Dikemas dalam alufo secara non vakum
Gambar 7. Tahap-tahap penelitian

Prosedur Analisis
Analisis beta karoten dengan HPLC, Modifikasi Parker (Sulaswatty 1998)
Sampel diekstraksi lebih dahulu menggunakan pelarut atau kombinasi
pelarut yang akan ditentukan dalam penelitian pendahuluan hingga

7-8 kali

ekstraksi. Koleksi lapisan atas hasil ekstraksi lalu diuapkan dengan gas N2.
Ekstrak dicampur KOH 5% dalam metanol sebanyak 3-5 ml dan dipanaskan pada
suhu 50 0C selama 30 menit. Ditambah air destilasi sebanyak 3-5 ml kemudian
diekstrak kembali dengan heksan, koleksi lapisan atasnya lalu dicuci berturutturut dengan asam asetat 5% sebanyak 3-5 ml dan air destilasi lalu diuapkan lagi
menggunakan N2 hingga diperoleh ekstrak beta karoten. Kondisi HPLC diset
menggunakan kolom C18, fase gerak, flow rate 1 ml/menit, suhu 250C, dan
detektor UV-Visible pada panjang gelombang 450 nm. HPLC di-conditioning
terlebih dahulu menggunakan fase diam, dilanjutkan dengan fase gerak masingmasing selama sekitar 1 jam hingga didapatkan baseline yang lurus pada
kromatogram. Sampel dilarutkan dalam 5 ml larutan fase gerak lalu sebanyak 25
μl diinjeksikan hingga 2 kali ulangan. Hasil analisis dibaca melalui kromatogram.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan rumus seperti yang tercantum pada
Lampiran 3.

Pembuatan larutan standar untuk pengukuran konsentrasi beta karoten
menggunakan spektrofotometer, Metode Parker (Sulaswatty 1998)
Larutan standar disiapkan dari kristal