Ekstraksi Senyawa Antibakteri Aktivitas komponen antibakteri mikroalga porphyridium cruentum terhadap berbagai jenis bakteri patogen

22 Aplikasi komersial pertama yang dilakukan melalui freeze drying dalam metode pengeringan adalah bidang industri pharmaceutical antibiotik, sel, plasma darah Berk 2009. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu rendah dan tekanan terkontrol, sehingga dapat mempertahankan komponen aktif yang ada pada biomassa P. cruentum agar tidak mengalami kerusakan akibat suhu tinggi. Suhu tinggi menyebabkan kerusakan komponen bioaktif dari suatu bahan. Hal ini sesuai dengan Yuan et al. 2011 yang menjelaskan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen bioaktif diantaranya terjadi penurunan akumulasi komponen flavonoid baicalin dan baicalein pada Scutellaria baicalensis seiring dengan meningkatnya perlakuan suhu yang digunakan yaitu 25 o C dan 40 o C. Jumlah baicalin dengan perlakuan suhu 40 o C mengalami penurunan hingga 43 pada hari ke-22, sedangkan baicalein pada perlakuan suhu 40 o C tidak terdeteksi pada HPLC.

4.3 Ekstraksi Senyawa Antibakteri

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari suatu bahan Berk 2009. Metode ekstraksi yang digunakan mengacu pada Kusmiyati dan Agustini 2007 dan Naviner et al. 1999. Komponen antibakteri yang ingin dipisahkan dari mikroalga P. cruentum ini diperoleh melalui ekstraksi bertingkat menggunakan pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Pelarut yang berbeda ini digunakan untuk mendapatkan ekstrak yang lebih murni sehingga komponen antibakteri terbebas dari komponen lain yang dapat mengganggu dalam pengujian aktivitasnya. Tahap ekstraksi pertama dilakukan menggunakan pelarut polar organik, yaitu etanol 96. Pelarut etanol 96 merupakan salah satu pelarut terbaik dalam ekstraksi yang dapat mengekstrak sebagian besar komponen sel mikroalga termasuk komponen gula, asam amino, garam, protein hidrofobik, dan pigmen Grima et al. 2004. Etanol 96 dicampur dengan 5 gram biomassa P. cruentum kemudian diaduk menggunakan magnetic stirer selama 30 menit sehingga diperoleh larutan ekstrak kasar. Larutan ekstrak kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit untuk memperoleh larutan ekstrak yang terbebas dari komponen pengotor dari biomassa yang terbawa dalam ekstrak. Ekstrak yang masih mengandung etanol kemudian dipisahkan melalui evaporasi. 23 Rendemen ekstrak etanol dari biomassa yang dikultivasi dalam media Becker adalah 18,2, yakni sebanyak 0,91 gram, sedangkan biomassa dari kultur dalam media pupuk hanya menghasilkan rendemen sebesar 2,8, yakni sebanyak 0,14 gram. Hasil ekstrak dari kultur dalam media pupuk tidak dilanjutkan ekstraksi dan pengujian aktivitas antibakteri karena jumlah rendemen yang terlalu kecil sehingga tidak memungkinkan untuk diteruskan menuju tahapan selanjutnya. Rendemen ekstrak kasar dari kultur dalam media pupuk jauh lebih sedikit dibandingkan rendemen kultur dengan modifikasi Becker. Hal ini diduga karena adanya tepung pengisi filler dalam pupuk sehingga kebutuhan nutrien belum terpenuhi. Sifat pupuk mudah larut dalam air terkait dengan fungsinya sebagai pelengkap unsur hara yang dibutuhkan tanaman menyebabkan nutrien dalam pupuk lebih cepat terlarut dan dimanfaatkan dalam pertumbuhan P. cruentum. Rosmarkam dan Yuwono 2002 menyatakan bahwa pemberian pengisi filler pada pupuk bertujuan agar pupuk dengan kadar tinggi memiliki ratio fertilizer tepat sesuai dengan keinginan dan mempermudah penggunaannya agar lebih merata sebagai pupuk pada tanaman terestrial. Komponen pengisi ini juga dapat menghambat pertumbuhan dalam proses kultivasi karena tepung pengisi akan meningkatkan kepadatan partikel dalam kultur sehingga menyebabkan umur kultur dalam media pupuk lebih singkat. Kematian sel lebih cepat terjadi karena terhalangnya penetrasi cahaya sebagai faktor penting dalam pertumbuhan sel. Fogg dan Thake 1987 menyatakan bahwa kepadatan sel yang meningkat akan mengakibatkan terhambatnya penetrasi cahaya sehingga menghambat pertumbuhan sel bahkan lama-kelamaan akan mengakibatkan kematian sel. Tahap ekstraksi selanjutnya menggunakan pelarut non-polar yaitu diklorometan. Ekstrak kasar hasil ekstraksi etanol yang telah dievaporasi, ditambah diklorometan dan akuades dengan perbandingan 1:1 kemudian dilakukan homogenisasi melalui pengocokan. Hasil pengocokan membentuk dua lapisan, yaitu lapisan akuades di bagian atas dan lapisan diklorometan di bagian bawah. Lapisan diklorometan disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 24 15 menit sehingga diperoleh ekstrak P. cruentum dalam larutan diklorometan. Ekstrak dalam campuran diklorometan ini kemudian dipisahkan melalui proses evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi diklorometan dan air adalah 3,4, yakni sebanyak 0,17 gram. Tahap ekstraksi akhir menggunakan pelarut diklorometan dengan penambahan NaOH 0,5N. Pelarut NaOH bersifat alkali dimana pelarut alkali digunakan untuk mengekstrak secara langsung komponen lipid dari biomassa mikroalga Grima et al. 2004. Larutan NaOH dipisahkan dan dilakukan penetralan menggunakan HCl 8N agar NaOH habis bereaksi dengan HCl membentuk garam. Larutan ini kemudian dilakukan penambahan diklorometan sehingga lipid terlarut dalam pelarut diklorometan, dan ekstrak dipisahkan dari pelarut diklorometan melalui proses evaporasi. Rendemen hasil ekstraksi akhir yang diperoleh adalah 1 dari 5 gram biomassa yang diekstraksi, yakni sebesar 0,05 gram ekstrak. Hasil ekstrak akhir P. cruentum sebelum evaporasi dan setelah evaporasi disajikan pada Gambar 7. a b Gambar 7 Ekstrak akhir Porphyridium cruentum a sebelum evaporasi ; b setelah evaporasi.

4.4 Aktivitas Antibakteri