Aktivitas antihiperglikemik dari biomassa dan polisakarida ekstraseluler Porphyridium cruentum sebagai inhibitor alfa glukosidase

(1)

AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI BIOMASSA DAN

POLISAKARIDA EKSTRASELULER Porphyridium cruentum

SEBAGAI INHIBITOR α

-GLUKOSIDASE

DWI ABDIA RAHMAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

DWI ABDIA RAHMAN. C34060103. Aktivitas Antihiperglikemik dari Biomassa dan Polisakarida Ekstraseluler Porphyridium cruentum sebagai

Inhibitor α-Glukosidase. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan ELLA SALAMAH.

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan upaya perencanaan diet, mempertahankan bobot badan normal dan melakukan cukup olah raga. Obat hanya diberikan jika setelah melakukan berbagai upaya tersebut secara maksimal tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Salah satu jenis obat antidiabetik oral adalah golongan

inhibitor α-glukosidase. Porphyridium cruentum merupakan mikroalga merah penghasil polisakarida ekstraseluler yang diduga mempunyai aktivitas inhibitor

α-glukosidase yang menghambat pemecahan karbohidrat menjadi glukosa.

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan kurva pertumbuhan

Porphyridium cruentum, mendapatkan dan mengukur polisakarida ekstraseluler dan biomassa kering dari Porphyridium cruentum, dan menganalisis aktivitas antihiperglikemik pada polisakarida ekstraseluler dan biomassa kering dari

Porphyridium cruentum

Fase pertumbuhan pada kultur Porphyridium cruentum meliputi fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag terjadi sampai hari pertama, fase log terjadi pada umur 1 sampai 5 hari, fase stasioner pada umur 5 sampai 9 hari, dan setelah hari ke-9 telah memasuki masa kematian. Pemanenan dilakukan pada umur 12 hari dengan jumlah polisakarida ekstraseluler 0,215 gram/10 ml.

Biomassa kering mempunyai kadar air 11,67%, kadar abu 38,34%, kadar protein 5,54%, kadar lemak 0,33%, dan kadar karbohidrat 44,12%. Selain itu juga diukur komponen aktif secara fitokimia. Biomassa kering mengandung komponen alkaloid, fenol hidrokuinon dan flavonoid, sedangkan polisakarida ekstraseluler mengandung komponen fenol hidrokuinon. Nilai inhibisi α-glukosidase pada ekstrak air biomassa kering Porphyridium cruentum didapatkan nilai rata-rata 33,82%, sedangkan nilai inhibisi α-glukosidase pada polisakarida Porphyridium cruentum didapatkan nilai rata-rata 71,57% dengan kontrol positif (acarbose) mempunyai nilai inhibisi sebesar 91%.


(3)

AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI BIOMASSA DAN

POLISAKARIDA EKSTRASELULER Porphyridium cruentum

SEBAGAI INHIBITOR α

-GLUKOSIDASE

DWI ABDIA RAHMAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

sebagaiInhibitor α-Glukosidase Nama : Dwi Abdia Rahman

NIM : C34060103

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS) (Dra. Ella Salamah, M.Si) NIP : 19600925 198601 2 001 NIP : 19530629 198803 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil) NIP : 19580511 198503 1 002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Aktivitas

Antihiperglikemik dari Biomassa dan Polisakarida Ekstraseluler Porphyridium cruentum sebagai Inhibitor α-Glukosidase” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun di Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Dwi Abdia Rahman


(6)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “AktivitasAntihiperglikemik dari Biomassa

dan Polisakarida Ekstraseluler Porphyridium cruentum sebagai Inhibitor

α-Glukosidase”.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, M.Si dan Dra. Ella Salamah, M.Si selaku dosen pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Tati Nurhayati, S. Pi, M.Si selaku dosen penguji, atas saran dan arahan yang diberikan kepada penulis.

3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl.Biol selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

4. Keluarga terutama papa dan mama, yang telah memberikan semangat dan kasih sayang kepada penulis.

5. Tim mikroalga Budi Atrika Candra, Ely Ermayanti, Hasanah, Nur Madina. 6. Ibu Emma, Mbak Lastri, Mbak Silvi, Mas Ipul, Bu Nunuk dan Pak Wahyu

yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

7. Teman-teman THP 43 yang telah banyak membantu penulis baik moril maupun material serta pihak lain yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 2011


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Jakarta, pada tanggal 18 Desember 1988. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Maridjo dan Ibu Supatmi. Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 1 Gunungan dan lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Manyaran dan lulus pada tahun 2003. Kemudian, penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Wonogiri dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2006 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis memilih Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan akademik di Institut Pertanian Bogor penulis pernah mengikuti organisasi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Hurriyyah dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM TPB) pada tahun 2006 serta HIMASILKAN pada tahun 2007 sampai 2009. Penulis juga pernah mengikuti pelatihan Broadcasting Angkatan 17 yang diselenggarakan oleh AGRI FM pada tahun 2009 dan lulus sebagai penyiar serta Divisi Program. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum m.k. Oseanografi Umum tahun ajaran 2009-2010 dan m.k. Mikrobiologi Hasil Perairan tahun ajaran 2010-2011. Selain itu penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Selama masa studinya, penulis juga mendapatkan beasiswa POM, PPA dan Yayasan Goodwill Internasional

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Aktivitas Antihiperglikemik dari Biomassa dan

Polisakarida Ekstraseluler Porphyridium cruentum sebagai Inhibitor

α-Glukosidase di bawah bimbingan Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS dan Dra. Ella Salamah, M.Si.


(8)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Porphyridium cruentum ………... ... 3

2.2 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroalga... ... 4

2.3 Pertumbuhan Mikroalga………… ... 6

2.4 Polisakarida ... 7

2.5 Diabetes Mellitus (DM)... 9

2.6 Pengobatan Diabetes Mellitus (DM) ... 10

2.7 Komponen Bioaktif ... 12

2.8 Inhibisi α- Glukosidase ... 15

3 METODE... 17

3.1 Waktu dan Tempat ... 17

3.2 Alat dan Bahan ... 17

3.3 Metode Penelitian ... 17

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 18

3.3.2 Penelitian utama ... 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Kultivasi Porphyridiun cruentum ... 26

4.2 Kurva Pertumbuhan Porphyridiun cruentum ... 27

4.3 Produksi dan Pengendapan Polisakarida ... 29

4.4 Komposisi Biokimia dari Biomassa Kering dan Polisakarida Porphyridiun cruentum ... 32


(9)

4.5 Komponen Aktif ... 37

4.6 Aktivitas Inhibisi α-Glukosidase ... 39

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

Halaman

1 Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 2 ml ... 24

2 Kondisi umum kultivasi Porphyridium cruentum ... 26

3 Komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum ... 32

4 Hasil uji fitokimia ... 37


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Porphyridium cruentum ... 3

2 Pola pertumbuhan sel alga (Fogg 1975) ... 7

3 Polisakarida Porphyridium cruentum... 8

4 Struktur kimia acarbose ... 12

5 Persamaan reaksi enzimatik α-glukosidase dan p-nitrofenil-α -D-glukopiranosa (Sugiwati 2005) ... 16

6 Diagram alir metode penelitian ... 18

7 Penampang hemasitometer ... 20

8 Kultur mikroalga Porphyridium cruentum ... 26

9 Kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum ... 28

10 Kurva polisakarida harian ... 30

11 Pengendapan polisakarida ... 30

12 Produk dari Porphyridium cruentum ... 32


(12)

Halaman 1 Medium kultivasi untuk mikroalga Porphyridium cruentum ... 49


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik kronis serius yang memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan seseorang atau suatu kondisi konsentrasi glukosa dalam darah secara kronis lebih tinggi daripada nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin atau fungsi insulin tidak efektif (Subroto 2006). Sekitar 171 juta jiwa penduduk dunia menderita diabetes. Angka kematian penduduk dunia akibat diabetes sekitas 3,2 juta jiwa per tahun berarti 6 orang meninggal tiap menit. Jumlah penderita diabetes di Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat (WHO 2010).

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan melakukan upaya-upaya, seperti perencanaan diet, mempertahankan bobot badan normal, dan melakukan cukup olah raga. Obat hanya perlu diberikan, bila setelah melakukan berbagai upaya tersebut secara maksimal tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa darah (Sugiwati 2005). Obat antihiperglikemik terdiri dari dua macam, yaitu berupa suntikan insulin dan obat antidiabetik oral meliputi golongan sulfonilurea, biguanid, thiazolidinedion, miglitinida dan inhibitor α-glukosidase (Subroto 2006).

Senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim

α-glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa postprandial pada pasien diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus (Info Obat Indonesia 2009).

Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya aktivitas hipoglikemik pada polisakarida berupa alginat, xanthan, dan polisakarida yang berasal dari mikroba (Giavasis dan Biliaderis 2006). Porphyridium cruentum merupakan mikroalga yang juga menghasilkan polisakarida ekstraseluler yang diekskresikan


(14)

oleh sel melalui badan golgi ke dalam media kultur. Polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan terdiri dari D-xylose, D-glucose, D-galactose, L-galactose,

3-O-methylxylose, 3-O-metylgalactose, dan D-glucuronic acid (Percival dan Foyle 1979).

Selain sebagai penghasil polisakarida ekstraseluler dalam jumlah besar,

Porphyridium cruentum juga menghasilkan asam lemak jenis arakidonat. Arakidonat merupakan asam lemak tak jenuh yang memiliki atom karbon 20 dengan 4 ikatan rangkap, sehingga biomassa berpotensi sebagai pangan fungsional. Penelitian tentang antihiperglikemik dari polisakarida ekstraseluler dan komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruenttum belum banyak dilakukan. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian aktivitas antihiperglikemik polisakarida dan biomassa dari Porphyridium cruentum.

1.2Tujuan

Tujuan penelitian ini untuk :

1 Mendapatkan kurva pertumbuhan Porphyridium cruentum.

2 Mendapatkan dan mengukur polisakarida ekstraseluler dan biomassa kering dari Porphyridium cruentum.

3 Menganalisis aktivitas antihiperglikemik pada polisakarida ekstraseluler dan biomassa kering dari Porphyridium cruentum.


(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Porphyridium cruentum

Porphyridium cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk divisi Rhodophyta, hidup bebas atau berkoloni yang terikat dalam mucilago. Senyawa mucilago dieksresikan secara konstan oleh sel membentuk sebuah kapsul yang mengelilingi sel. Mucilago merupakan polisakarida sulfat yang bersifat larut dalam air (Vonshak 1988).

Klasifikasi Porphyridium cruentum (Vonshak 1988) adalah sebagai berikut :

Divisi : Rhodophyta Sub Kelas : Bangiophycidae Ordo : Porphyridiales Famili : Porphyridiaceae Genus : Porphyridium

Gambar 1 Porphyridium cruentum (Department of Enviromental Science 2008)

Sel Porphyridium cruentum berbentuk bulat dengan diameter 4-9 μm. Struktur selnya terdiri dari sebuah nukleus (inti), kloroplas, badan golgi, mitokondria, lendir, pati dan vesikel (Lee 2008). Porphyridium cruentum tidak memiliki dinding sel. Setiap sel memiliki kloroplas dengan pirenoid di tengahnya. Permukaan membran tilakoid pada kloroplas diselimuti oleh phycobilisome


(16)

Porphyridium dapat hidup di berbagai habitat alam seperti air laut, air tawar, maupun pada permukaan tanah yang lembab dan membentuk lapisan kemerah-merahan yang sangatmenarik. Habitat asli dari Porphyridium cruentum

diduga berasal dari laut karena dapat hidup dengan baik pada media cair maupun media padat air laut (Vonshak 1988).

Porphyridium cruentum dibungkus oleh polisakarida yang merupakan heteropolimer asam yang dibentuk oleh gula sulfat. Polisakaridanya membentuk jembatan ion melalui dua ikatan kation dan memiliki bobot molekul yang tinggi. Ketebalan polisakarida bervariasi tergantung pada fase pertumbuhan dan kondisi pertumbuhan. Sebagian polisakarida diekskresikan ke dalam medium pertumbuhan, sehingga viskositasnya semakin tinggi (Arad et al. 1985).

Biomasa sel Porphyridium cruentum mengandung kadar air 1,25-8,83%, kadar abu 16,8-23,6%, karbohidrat 22,8-39,3%, protein 27,7-40,8%, dan total lemak 5,78-7,55% (Fuentes et al. 2000). Produk komersial dari Porphyridium

diantaranya adalah asam arakidonat, polisakarida, dan fikoeritrin. Biomassa kering sel Porphyridium cruentum mengandung 2% asam arakidonat, 35% polisakarida, dan 8% fikoeritrin (Vonshak 1988).

2.2Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Porphyridium cruentum

Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik merupakan faktor yang berkaitan dengan metabolisme tubuh mikroalga, dalam hal ini adalah Porphyridium cruentum, sedangkan faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan di mana

Porphyridium cruentum tersebut tumbuh. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum diantaranya adalah suhu, cahaya, salinitas dan pH, serta nutrisi.

(1) Suhu

Sel Porphyridium cruentum dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-35 oC. Aktivitas optimum fotosintesis pada kultur Porphyridium cruentum terjadi pada suhu 25 oC (Vonshak 1988). Suhu optimum untuk pertumbuhan Porphyridium cruentum adalah 21-26 oC dan pada suhu di bawah 13 oC dan di atas 31 oC pertumbuhannya lambat (Golueke dan Oswald 1962 diacu dalam Vonshak 1988)


(17)

5

(2) Cahaya

Pertumbuhan Porphyridium cruentum tergantung pada intensitas cahaya meskipun Porphyridium cruentum memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap intensitas cahaya. Kultur yang ditumbuhkan di bawah cahaya secara kontinyu akan tumbuh dengan cepat. Arad dan Richmond (2004) melaporkan bahwa faktor lingkungan yang penting untuk kultur mikroalga adalah cahaya yang merupakan faktor utama pada fotosintesis.

Pertumbuhan mikroalga akan meningkat lebih dari 400% bila intensitas cahaya diubah dari 538 lux menjadi 4300 lux. Pertumbuhan ini juga diikuti dengan peningkatan volume sel dan granula sitoplasma. Kandungan pigmen dan ukuran kloroplast menurun sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya (Vonshak 1988). Menurut penelitian Sung et al. (2009), total lemak (bb)

Porphyridium cruentum pada siklus terang-gelap (12:12) lebih tinggi dibandingkan pada siklus terang–gelap (18:6) dan (6:18), dengan nilai total lemak berturut-turut adalah 19,3%, 18,3% dan 14,4%.

(3) Salinitas dan pH

Porphyridium cruentum dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup lebar, yaitu 0,5-2 kali konsentrasi air laut (Vonshak 1988). Porphyridium cruentum tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya pada kondisi salinitas kurang dari 3,5% jika ditumbuhkan pada kultur terbuka. Salinitas sebesar 4,6% tidak menghambat proses pertumbuhan. Meskipun demikian salinitas

dengan kisaran 3,5-4,5% dapat memacu pertumbuhan yang optimal (Arad dan Richmond 2004).

Porphyridium cruentum juga toleran terhadap perubahan pH pada kisaran antara 5,2-8,3. Aktivitas fotosintesis menurun hingga maksimum 33% ketika pH turun mencapai 5 dan pH optimum fotosintesis Porphyridium cruentum adalah 7,5 (Colman dan Gehl 1983 diacu dalam Vonshak 1988)

(4) Nutrisi

Porphyridium cruentum dapat menggunakan KNO3 dan ammonium sebagai sumber nitrogen. Pertumbuhan dapat juga dihasilkan dengan menggunakan urea sebagai sumber nitrogen pada medium air laut (Vonshak 1988). Menurut Arad et al. (1988), terbatasnya jumlah nitrogen dalam


(18)

medium akan menghambat fotosintesis, namun terbatasnya jumlah nitrogen ini akan berdampak pada meningkatnya ekskresi polisakarida ke dalam medium.

Porphyridium cruentum menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Pertumbuhan menjadi lebih cepat pada kultur yang diberi cahaya dan aerasi dengan udara yang mengandung CO2 (Vonshak 1988). Sumber sulfur diperoleh dari MgSO4, Na2SO3, atau Na2S2O3 dengan konsentrasi antara 5,4-27,0 mM akan menghasilkan pertumbuhan alga yang baik (Vonshak 1988).

2.3 Pertumbuhan Mikroalga

Pertumbuhan mikroalga pada kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambahnya jumlah sel. Perkembangan sel dalam kultur mikroalga terdiri atas lima fase, yaitu fase lag (adaptasi), fase eksponensial (logaritmik), fase penurunan laju pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian (Fogg 1975).

Fase lag merupakan fase pertama dalam pertumbuhan mikroalga dan mengalami penurunan tingkat metabolisme karena fase inokulum yang tidak merata dan terjadi proses adaptasi terhadap media kultur. Fase kedua adalah fase eksponensial di mana percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan (Fogg 1975).

Fase ketiga merupakan fase penurunan laju pertumbuhan yang disebabkan populasi sel terus bertambah namun tidak ada penambahan nutrien sedangkan pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga terjadi persaingan antar sel untuk mendapatkan nutrien yang semakin berkurang. Intensitas cahaya yang diterima sel semakin berkurang akibat jumlah sel yang semakin tinggi sehingga terjadi pembentukan bayangan dari sel itu sendiri juga dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan (Fogg 1975).

Kurva pertumbuhan mulai berubah karakter dari eksponensial menjadi linier pada saat faktor-faktor pertumbuhan mulai habis. Fase ini disebut fase stasioner. Peningkatan ukuran populasi tidak terjadi, jumlah sel terlihat cenderung konstan, karena laju pertumbuhan seimbang dengan laju kematian pada fase stasioner. Pertumbuhan mikroalga yang dikultur mencapai tingkat maksimal pada fase stasioner (Fogg 1975). Fase kematian merupakan fase akhir yang ditandai dengan


(19)

7

penurunan produksi biomassa karena kematian sel. Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola pertumbuhan sel alga (1) fase lag, (2) fase eksponensial, (3) fase deklinasi, (4) fase stasioner,

(5) fase kematian) (Fogg 1975)

2.4Polisakarida

Polisakarida adalah polimer dari beberapa monosakarida yang berikatan satu sama lain. Polisakarida dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok homopolisakarida dan heteropolisakarida. Homopolisakarida adalah polisakarida yang tersusun dari satu jenis monosakarida. Homopolisakarida terbanyak di alam adalah pati, glikogen, selulosa dan kitin, sedangkan heteropolisakarida adalah polisakarida yang terdiri dari dua atau lebih monosakarida. Heteropolisakarida terdiri dari dua jenis, yaitu glikosaminoglikan dan murein (Roswiem 2006).

Polisakarida telah digunakan sebagai pengental, flokulan, dan minyak pelumas. Beberapa polisakarida dari alga menunjukkan potensi untuk dijadikan antikanker. Porphyridium cruentum merupakan salah satu penghasil polisakarida ekstraseluler dalam jumlah besar. Polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan terdiri dari D-xylose, D-glucose, D-galactose, L-galactose, 3-O-methylxylose, 3-O-metylgalactose, dan D-glucuronic acid (Percival dan Foyle 1979).

Sel-sel mikroalga merah dibungkus oleh polisakarida sulfat dalam bentuk gel. Selama pertumbuhan dalam media cair, viskositas medium meningkat karena pengeluaran polisakarida dari permukaan sel ke dalam media (polisakarida larut air). Kapsul polisakarida paling tipis selama fase pertumbuhan dan tebal selama

Jumlah sel (sel/ml)


(20)

fase stasioner (Ramus, 1972, 1986 diacu dalam Arad dan Richmond 2004). Letak polisakarida pada Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Polisakarida Porphyridium cruentum

(Arad dan Richmond 2004)

Fungsi biologi dari polisakarida pada Porphyridium cruentum, yaitu melindungi sel, pertukaran atau penampungan ion, membentuk penghalang yang sulit ditembus oleh gas dan air, serta sebagai tempat vitamin dan hormon. Polisakarida dari Porphyridium cruentum juga berfungsi untuk membentuk

thallus pseudoparenkim yang dilakukan bersama-sama dengan sel (Vonshak 1988).

Polisakarida terdiri atas 7-10% rantai sulfat ester dan dihubungkan oleh 5-7% protein. Bobot molekul rata-rata polisakarida Porphyridium cruentum

adalah 4x106. Viskositas polisakarida Porphyridium cruentum cukup tinggi dibandingkan dengan xanthan gum komersial. Produksi rata-rata tiap hari polisakarida Porphyridium cruentum sekitar 55 sampai 75 mg (berat kering) per liter (Borowitzka 1988).

Kultur Porphyridium cruentum dapat mencapai densitas sel yang tinggi pada waktu yang relatif singkat dan mengeluarkan polisakarida ke medium dalam jumlah besar. Polisakarida berbentuk kapsul yang mengelilingi sel dengan kekentalan yang bervariasi tergantung dengan fase pertumbuhan. Polisakarida yang paling kental terjadi pada fase stasioner, yaitu jumlah sistesis polisakarida lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan ke dalam medium. Selama pertumbuhan viskositas medium meningkat dikarenakan pengeluaran


(21)

9

polisakarida ke medium. Polisakarida disintesis dan disekresikan oleh badan golgi. Kondisi lingkungan yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah produksi polisakarida. Produksi polisakarida tertinggi ketika jumlah sumber nitrogen terbatas. Polisakarida dapat diisolasi melalui presipitasi menggunakan

cetylpiridinium chloride, diikuti dengan konversi menjadi kalsium dan dipresipitasi kembali dengan etanol. Prosedur ini akan menghasilkan polisakarida murni dan menjaga viskositas terhadap perubahan pH dan suhu (Vonshak 1988).

Prosedur isolasi polisakarida dari mikroorganisme tergantung pada letak biopolimer terikat pada dinding sel atau diekskresikan oleh sel sebagai pelindung atau pengotor. Isolasi dapat dilakukan dengan ekstraksi dari biomassa sel. Namun, akhir-akhir ini isolasi polisakarida dilakukan dengan sentrifugasi maupun filtrasi untuk memisahkan produk dari sel (Giavasis dan Biliaderis 2006).

Viskositas polisakarida Porphyridium sp.dalam larutan terkonsentrasi (1-2 g/L), stabil pada berbagai nilai pH (2-9), suhu (30-120 oC) dan air garam. Ketergantungan dari viskositas intrinsik pada kekuatan ionik, diperkirakan bahwa kekakuan dari rantai polisakarida Porphyridium sp. berada dalam kisaran yang sama seperti yang dari getah xanthan dan DNA (Eteshola et al. 1996 diacu dalam Arad dan Richmond 2004).

2.5Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik kronis serius yang memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan seseorang atau suatu kondisi konsentrasi glukosa dalam darah secara kronis lebih tinggi daripada nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin atau fungsi insulin tidak efektif.

Diabetes mellitus merupakan penyakit degeneratif, yaitu penyakit akibat fungsi atau struktur dari jaringan atau organ tubuh secara progresif menurun karena usia ataupun gaya hidup (Subroto 2006).

Klasifikasi Diabetes mellitus (Subroto 2006) adalah sebagai berikut : a. Diabetes mellitus Tipe I (Diabetes Mellitus tergantung Insulin)

Tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga kekurangan insulin absolut. Faktor keturunan juga merupakan salah satu penyebab. Penderita


(22)

mengonsumsi obat antidiabetika oral. Penderita Diabetes mellitus Tipe I tidak dapat disembuhkan dan tergantung pada injeksi insulin selama hidupnya.

b. Diabetes mellitus Tipe II (Diabetes Mellitus tidak tergantung Insulin)

Tipe ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif karena resistensi insulin. Diabetes mellitus Tipe II dipicu oleh pola hidup yang kurang sehat. Rata-rata penderita berumur lebih dari 40 tahun. Proses penuaan juga menjadi penyebab akibat penyusutan sel-sel beta yang progresif sehingga sekresi insulin semakin berkurang dan kepekaan reseptornya juga menurun. Diabetes mellitus Tipe II dapat dikontrol dengan mengubah pola hidup, terutama dengan mengatur pola makan yang baik dan seimbang, berolah raga dengan teratur, tidak merokok, dan menghindari konsumsi minuman beralkohol.

c. Diabetes Mellitus Kehamilan

Diabetes tipe ini hanya diderita oleh wanita selama kehamilannya dan umumnya akan kembali normal sesudah hamil. Walaupun demikian, beberapa kasus yang tidak terkontrol dapat berkembang lebih lanjut pasca-kelahiran. Penanganan yang kurang baik terhadap penderita akan berakibat buruk pada janin seperti kelainan bawaan, gangguan pernapasan pada bayi bahkan kematian janin. d. Diabetes mellitus tipe lain

Diabetes tipe ini disebabkan oleh keadaan atau sindrom tertentu seperti pernyakit pankreas, penyakit hormonal, keadaan yang disebabkan oleh obat atau zat kimia, gangguan reseptor insulin, dan sindrom genetik tertentu.

2.6Pengobatan Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Untuk mengendalikan penyakit DM, perlu dilakukan pengaturan pola konsumsi makanan, olahraga, pengontrolan berat badan, dan penggunaan obat hipoglikemik. Ada dua macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet yang disebut hipoglikemik oral. Antiglikemik oral dapat dibagi dalam 5 golongan (Subroto 2006), yaitu :

a. Golongan sulfonilurea

Derivat sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel beta pulau Langerhans pankreas untuk mengekskresikan insulin.. Obat-obat yang termasuk


(23)

11

golongan sulfonilurea yaitu Tolbutamide, Chlorpropamide, Tolazamide, Acetohexamide, Glibenklamide, Glipizide, dan Glibonuride.

b. Golongan biguanid

Derivat biguanid mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dengan derivat sulfonylurea. Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat-obat yang termasuk golongan biguanid adalah metformin, phenformin, dan buformin.

c. Golongan thiazolidinedion

Derivat thiazolidinedion bekerja dengan cara yang sama dengan derivat biguanid, yaitu dengan mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya,. Obat yag tergolong thiazolidinedion adalah Troglitazone.

d. Golongan miglitinida

Obat ini bekerja dengan cara mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera setelah makan. Obat golongan ini adalah replaginida. Efek samping dari obat ini yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

e. Golongan inhibitor α-glukosidase

Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi secara reversible kompetitif terhadap enzim hidrolase α-amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus, seperti isomaltase, sukrase dan maltase. Enzim-enzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya.

Pada penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorbsi glukosa, sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Obat yang termasuk golongan ini adalah acarbose dan di Indonesia telah dipasarkan dengan nama Glucobay. Acarbose merupakan suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi mikroorganisme Actiniplanes utahensis. Acarbose merupakan serbuk berwarna putih dengan berat molekul 645.6 bersifat larut dalam air dan memiliki pKa 5.1 (Info Obat Indonesia 2009). Rumus empirik acarbose adalah C25H43NO18 dan struktur kimianya dapat dilihat pada Gambar 4.


(24)

Gambar 4 Struktur kimia acarbose (Info Obat Indonesia 2009) 2.7 Komponen Aktif

Komponen aktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis. (Kannan et al. 2009). Penapisan komponen aktif ini dapat dilakukan dengan metode uji fitokimia yang meliputi alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, dan fenol hidrokuinon (Harborne 1987).

(1) Alkaloid

Komponen alkaloid merupakan golongan senyawa organik yang paling banyak ditemukan di alam. Alkaloid umumnya dapat didefinisikan sebagai substansi dasar yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen yang bersifat basa dan tergabung dalam suatu sistem siklis, yaitu cincin heterosiklik. Alkaloid

biasanya tidak berwarna dan sebagian besar berbentuk kristal dengan titik lebur tertentu, tetapi ada pula yang berbentuk amorf atau cairan pada suhu ruang.

Secara organoleptik, alkaloid akan terasa pahit di lidah (Harborne 1987).

Alkaloid dikategorikan sebagai hasil metabolisme sekunder, dimana kelompok molekul ini merupakan substansi organik yang tidak bersifat vital bagi organisme yang menghasilkannya (Kutchan 1995). Alkaloid kerap kali bersifat racun pada manusia, tetapi ada pula yang memiliki aktivitas fisiologis pada kesehatan manusia sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan (Harborne 1987).

Senyawa metabolit alkaloid diduga juga mempunyai aktivitas inhibitor α- glukosidase. Hal ini sesuai dengan penelitian Samson (2010) yang menyatakan bahwa 1% (b/v) ekstrak alkaloid buah mahkota dewa yang berwarna merah dan


(25)

13

merah-hijau memiliki aktivitas inhibitor enzim α- glukosidase sebesar 35.16% dan 36,80%.

(2) Steroid/triterpenoid

Triterpenoid merupakan komponen dengan kerangka karbon yang tersusun oleh 6 unit isoprene dan dibuat secara biosintesis dari skualen (C30 hidrokarbon asiklik). Triterpenoid tidak berwarna, jernih, memiliki titik lebur tinggi dan merupakan komponen aktif yang sulit dikarakterisasi. Pengujian yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi triterpenoid adalah dengan pereaksi Liebermann-Burchard, yang memberikan warna biru-hijau pada triterpenoid dan steroid (Harborne 1987). Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah produk triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena memiliki kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA.

Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin

cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, asam empedu, dan lain sebagainya), akan tetapi akhir-akhir ini steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1987). Prekursor pembentukan steroid adalah kolesterol atau fitosterol. Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada membran eritrosit. (3) Flavonoid

Flavonoid umumnya merupakan komponen larut air (polar). Komponen ini dapat diekstrak dengan etanol 70% dan tetap berada pada lapisan air setelah pemisahan ekstrak menggunakan petroleum ether. Flavonoid pada tanaman berikatan dengan gula sebagai glikosida dan adapula yang berada dalam aglikon. Flavonoid dapat dikelompokkan menjadi 9 kelas, yaitu anthosianin, proanthosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, chlacone dan aurone, flavanon, serta isoflavon (Harborne 1987).


(26)

Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan, antibakteri dan inhibitor enzim α-glukosidase. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Bernardi

et al (2007) yang menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari Hypericum ternum memiliki aktivitas antioksidan. Hasil penelitian Sukadana (2009) menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang diisolasi dari buah belimbing manis memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi 500 ppm dan bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 100 ppm. Berdasarkan penelitian Hartika (2009) menyatakan bahwa ekstrak flavonoid buah mahkota dewa dengan konsentrasi 1% (b/v) mampu menginhibisi aktivitas enzim α-glukosidase sebesar 23,06-40,26%.

(4) Saponin

Saponin merupakan agen aktif permukaan dengan sifat yang menyerupai sabun. Saponin larut dalam air, sedikit larut atau tidak sama sekali dalam etanol dan metanol pekat yang dingin. Kehadirannya dapat dideteksi dengan mudah karena komponen ini mampu membentuk busa dan dapat menyebabkan hemolisis sel darah (Harborne 1987).

Saponin memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Hasil penelitian Cui et al. (2004) menunjukkan bahwa ekstrak air dari tumbuhan herbal Dioscorea nipponica Mak mengandung komponen furostanol saponin yang tergolong dalam steroidal saponin dan biasa digunakan sebagai obat penyakit cardiovascular. Selain untuk kesehatan, saponin juga dapat digunakan sebagai agen bioaktif pengendali nyamuk. Hasil penelitian Wiesman dan Chapagain (2003) menunjukkan bahwa ekstrak saponin yang diisolasi dari Quillaja saponaria dan

Balanites aegyptiaca mampu digunakan sebagai agen pengendali nyamuk Aedes aegypti dan Culex pipiens yang aman bagi mamalia.

(5) Fenol hidrokuinon

Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berikatan dengan satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan dengan gugus metil atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di antara komponen fenolat


(27)

15

alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid dan fenolat quinon terdapat dalam jumlah sedikit (Harborne 1987).

Pigmen quinon alami berada pada kisaran warna kuning muda hingga hitam. Quinon mengandung kromatofor dasar yang sama dengan kromatofor benzoquinon, yang terdiri dari dua grup karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Hasil penelitian Escudero et al. (2008)

menunjukkan bahwa komponen polifenol yang diisolasi dari daun

Piper aduncum L. memiliki aktivitas antioksidan dan menurunkan kandungan hidrogen peroksida secara in-vivo. Komponen polifenol tersebut meliputi asam gallat, asam klorogenat, katekin, dan quercetin yang dilaporkan memiliki nilai IC50 1-8 ppm.

2.8Inhibisi α-Glukosidase

Enzim α-glukosidase berfungsi memecah karbohidrat menjadi glukosa pada usus halus manusia. Enzim ini merupakan enzim yang terlibat dalam degradasi glikogen. Degradasi lanjutan dari glikogen oleh fosforilase dapat terjadi hanya setelah kerja enzim glukanotransferase dan α-glukosidase, yang mengkatalis dua reaksi. Pada reaksi pertama, enzim glukanotransferase memindahkan tiga dari residu glukosa yang tersisa ke ujung cabang-cabang di

sebelah luar molekul lain. Kemudian enzim α-glukosidase menghidrolisis ikatan

α(1-6) pada titik percabangan rantai glikogen dan menghasilkan D-glukosa dan

membuat residu glukosa dengan ikatan α(1-4). Pada rantai lanjutan molekul tersebut kini terbuka terhadap kerja glikogen fosforilase yang menghasilkan glukosa 1-fosfat (Lehninger 2004).

Substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa merupakan model yang digunakan

untuk merepresentasikan karbohidrat yang akan dipecah oleh enzim

α-glukosidase. Inhibisi enzim α-glukosidase terjadi karena enzim α-glukosidase akan menghidrolisis p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa menjadi p-nitrofenol (berwarna kuning) dan glukosa (Gambar 5).


(28)

p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa

+ +

α-glukosidase

p-nitrofenol α-D-Glucose

Gambar 5 Persamaan reaksi enzimatik α-glukosidase dan p-nitrofenil-α -D-glukopiranosa (Sugiwati 2005)

Aktivitas enzim diukur berdasarkan hasil absorbansi p-nitrofenol. Apabila

memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim α-glukosidase, maka

p-nitrofenol yang dihasilkan akan berkurang (Basuki et al. 2002 diacu dalam Sugiwati 2005). Sehingga semakin tinggi selisih absorbansi sampel dengan penambahan enzim dan absorbansi sampel tanpa penambahan enzim, maka persentase inhibisi α-glukosidase semakin rendah.


(29)

3 METODE

3.1Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Desember 2010, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan II, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka.

3.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung kultur, lampu TL 40 Watt, aerator 500-AP, alat-alat gelas, mikroskop Cole Parmer, haemositometer

Marienfeld, tanur, timbangan, sentrifuse Himac CR21G, lampu UV, drying oven Yamato DV 41, spektrofotometer UV-Vis Hitachi U-2800, inkubator WTB Binder, destilator, penangas air dan nylon mess (20 mess).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah inokulum mikroalga

Porphyridium cruentum dan medium kultivasi Becker (Lampiran 1) sebagai bahan kultivasi, etanol sebagai bahan pengendap polisakarida, bahan uji proksimat (kjeltab jenis selenium, asam borat 2 % yang mengandung indikator bromcherosol green methyl red (1:2), HCl, n-heksana), Bahan uji fitokimia (pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorff, kloroform, anhidrat asetat, serbuk magnesium, amil alkohol, larutan FeCl3 5 %, aquadest), dan bahan uji inhibisi

α–glukosidase (bovine serum albumin, asam sulfat, enzim α-glukosidase, buffer phosfat (pH 7), p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa, Glucobay, dan Dimethyl Sulfoxide

(DMSO). Porphyridium cruentum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari koleksi Laboratorium Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ancol Jakarta Utara.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari penyegaran inokulum mikroalga Porphyridium cruentum, kultivasi dan pemanenan mikroalga, penghitungan jumlah sel, dan penentuan umur panen dan jumlah etanol. Penelitian


(30)

utama terdiri dari pemisahan polisakarida, pengujian komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum, yang meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat, dan uji inhibisi α-glukosidase. Diagram alir prosedur kerja penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir metode penelitian

3.3.1 Penelitian pendahuluan

1) Penyegaran inokulum mikroalga Porphyridium cruentum

Kultivasi Porphyridium cruentum dilakukan dengan media Becker. Namun sebelum dilakukan kultivasi, inokulum yang berasal dari Laboratorium Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI tersebut disegarkan dengan media Guillard. Medium Guillard digunakan untuk membuat suatu kondisi yang sama dengan media awal pertumbuhan mikroalga tersebut. Hal ini diharapkan dapat membantu

Penentuan kurva pertumbuhan Porphyridium cruentum

Kultivasi Porphyridium cruentum Penentuan

umur panen

Biomassa Media kultur

Pemanenan

Pengendapan polisakarida

Polisakarida

Kadar lemak Kadar abu

Kadar karbohidrat Kadar protein Kadar air


(31)

19

Porphyridium cruentum untuk melakukan proses adaptasi terhadap lingkungan baru secara cepat. Selanjutnya pembuatan inokulum dan kultivasi mikroalga

Porphyridium cruentum digunakan media Becker yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penyegaran stok mikroalga perlu dilakukan sebelum kultivasi dalam bioreaktor agar mikroalga yang ditumbuhkan dalam kondisi segar dan aktif. Penyegaran stok mikroalga dilakukan dalam keadaan aseptik pada suhu ruang di bawah penyinaran lampu pada selang 500-2000 lux dengan pemberian aerasi.

Porphyridium cruentum dikultur dalam media yang diatur pada pH 7,6 dan disterilkan dengan lampu UV selama 30 menit.

2) Kultivasi dan pemanenan mikroalga Porphyridium cruentum

Kultivasi dilakukan dengan memindahkan 20% kultur segar Porphyridium cruentum ke dalam bioreaktor. Kultivasi dilakukan pada media Becker pada suhu ruang di bawah penyinaran lampu pada selang 500-2000 lux dengan pemberian aerasi. Selama kultivasi dilakukan penghitungan konsentrasi sel. Penghitungan konsentrasi sel mikroalga dilakukan untuk membuat kurva pertumbuhan. Penghitungan ini dilakukan setiap hari dengan menggunakan metode mikroskopis langsung menggunakan haemasitometer.

Pemanenan dilakukan pada fase stasioner dimana produksi polisakarida optimum. Pemanenan Porphyridium cruentum dilakukan dengan pengendapan menggunakan sentrifuge. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 oC. Biomassa dan media kultur terpisah. Media kultur disimpan pada suhu refrigerasi untuk keperluan pemisahan polisakarida. 3) Penghitungan jumlah sel (Hadioetomo 1993)

Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung sebagai berikut:

a) Permukaan hitung haemasitometer dan kaca penutup dibersihkan dengan menggunakan alkohol 70%.

b) Tutup kaca haemasitometer diletakkan pada permukaan haemasitometer. Suspensi biakan P. cruentum hasil pengambilan contoh dikocok, kemudian diambil dengan mikropipet sebanyak 25 μl. Suspensi tersebut diteteskan pada


(32)

tempat menaruh sampel yang terdapat pada haemasitometer hingga suspensi

P. cruentum menyebar pada ruang hitung.

c) Haemasitometer diletakkan di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat dalam 80 kotak kecil yang terletak dalam kotak bagian tengah yang berukuran 0,2 mm2 (5 x 16 x 0,0025 mm2) dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 40x10. Perhitungan jumlah sel dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Penampang haemasitometer dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Penampang haemasitometer ( : Kotak yang dihitung jumlah sel) d) Formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel sebagai berikut:

N = x x

Keterangan:

N = kepadatan sel (sel/mL)

∑N1 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1)

∑N2 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2) 4) Penentuan umur panen

Penentuan umur panen diawali dengan pemisahan polisakarida. Sebanyak 10 mL sampel pada setiap umur kultur disentrifuse kemudian supernatannya ditambahkan dengan etanol teknis 96% dengan perbandingan 1:1. Hasil campuran ini didiamkan dan disimpan dalam freezer selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk memisahkan polisakarida dan larutannya. Kertas saring kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 45 oC selama 6 jam. Hasil pengeringan ini kemudian ditimbang. Berat polisakarida didapat dari selisih


(33)

21

antara kertas saring kering kosong dan kertas saring yang mengandung polisakarida. Umur panen ditentukan pada bobot polisakarida tertinggi.

5) Penentuan perbandingan jumlah etanol

Penentuan perbandingan jumlah etanol dilakukan dengan menambahkan etanol teknis 96% pada supernatan hasil panen. Penambahan etanol dilakukan pada perbandingan supernatan : etanol yaitu 1:2; 1:1; 1:0,75; 1:0,5; dan 1:0,25. Hasil campuran ini didiamkan dan disimpan dalam refrigerator selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk memisahkan polisakarida dan larutannya. Kertas saring kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 45 oC selama 6 jam. Hasil pengeringan ini kemudian ditimbang. Berat polisakarida didapat dari selisih antara kertas saring kering kosong dan kertas saring yang mengandung polisakarida. Bobot polisakarida tertinggi merupakan konsentrasi etanol terpilih yang akan digunakan pada pemisahan polisakarida dalam jumlah besar.

3.3.2 Penelitian utama 1) Pemisahan polisakarida

Pemisahan polisakarida dilakukan dengan menambahkan etanol teknis 96% pada supernatan hasil panen. Penambahan etanol dilakukan pada perbandingan supernatan : etanol dengan konsentrasi terpilih. Hasil campuran ini didiamkan dan disimpan dalam refrigerator selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan nylon mess 20 mess untuk memisahkan polisakarida dan larutannya. Hasil penyaringan kemudian ditimbang dan dihitung rendemennya. 2) Analisis komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum

(1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan


(34)

ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.

Perhitungan kadar air :

(2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 6 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

Kadar abu ditentukan dengan rumus:

(3) Analisis kadar protein (AOAC 1980)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein ini terdiri dari tiga tahap, yaitu dekstruksi, destilasi dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldal. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldal 100 mL, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Contoh didekstruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin ke dalam labu Kjeldal ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dil;akukan destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda (1:2). Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan berwarna hijau


(35)

23

kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCL 0,10 N sampai terjadi perubahan merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat.

Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% N =

x

100 %

% kadar protein = *) Faktor konversi = 6,25

(4) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Contoh seberat 3 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, kemudian labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak :

% Kadar lemak =

x

100 % Keterangan :

W1 : Berat contoh (gram)

W2 : Berat labu lemak kosong (gram) W3 : Berat labu lemak dengan lemak (gram) 3) Uji fitokimia (Harborne 1987)

(1) Alkaloid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi


(36)

Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl2

dengan 0,50 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 mL dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 mL akuades dipipet kemudian ditambahkan 2,50 gram iodin dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 mL dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,80 gram bismut subnitrat ditambahkan dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram KI dalam 20 mL air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,30 volume campuran 20 mL asam asetat glasial dan 100 mL air. Pereaksi ini berwarna jingga.

(2) Steroid/ triterpenoid

Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Lalu, 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat ditambahkan ke dalamnya. Larutan berwarna merah yang terbentuk untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau, menunjukkan reaksi positif.

(3) Flavonoid

Sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,10 mg dan 0,40 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Warna merah, kuning atau jingga yang terbentuk pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. (4) Saponin (uji busa)

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

(5) Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.


(37)

25

4) Uji Inhibisi α-glukosidase (Sutedja 2003 diacu dalam Sugiwati 2005)

Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1 mg α-glukosidase dalam 100 mL buffer fosfat (pH 7) yang mengandung 200 mg bovin serum albumin. Sebelum digunakan, sebanyak 1 mL larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali

dengan buffer fosfat (pH 7). Campuran reaksi terdiri dari 250 μl

p-nitrofenil- -D-glukopiranosa (20 mM) sebagai substrat, 490 μl buffer fosfat (100 mM, pH 7) dan 10 μl larutan sampel dalam DMSO. Setelah campuran reaksi diinkubasi pada 37 oC selama 5 menit, 250 μl larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi selama 15 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1000 μl natrium karbonat (200 mM) dan p-nitro fenol yang dihasilkan dibaca absorbansinya pada 400 nm.

Larutan standar (acarbose) dibuat dengan konsentrasi yang sama dengan larutan sampel, dengan melarutkan tablet Acarbose (Glucobay) dalam akuades dan HCl 2N. Larutan disentrifugasi dan supernatannya digunakan sebagai standar. Larutan standar diperlakukan sama dengan sampel. Sistem reaksi enzim selengkapnya untuk satu sampel dengan volume total 2 mL dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 2 mL Blanko (μl) K (μl) So (μl) S1(μl)

Larutan sampel - - 10 10

DMSO 10 10 - -

Buffer 490 490 490 490

Substrat 250 250 250 250

Inkubasi 37oC selama 5 menit

Buffer 250 - 250 -

Enzim - 250 - 250

Inkubasi 37oC selama 15 menit

Na2CO3 1000 1000 1000 1000

Masing-masing pengujian daya hambat sampel terhadap aktivitas

α-glukosidase dihitung dalam persen inhibisi dengan rumus sebagai berikut. % inhibisi = x 100 %

Keterangan :

K = Absorbansi terkoreksi dari kontrol positif (enzim + substrat) S1 = Absorbansi terkoreksi dari enzim + substrat + inhibitor S0 = Absorbansi terkoreksi dari substrat + inhibitor


(38)

4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum

Kultur Porphyridium cruentum berwarna merah terang. Warna ini terkait dengan keberadaan fikoeritrin sebagai pigmen dominan pada mikroalga

Porphyridium cruentum sebesar 8 % bobot kering (Vonshak 1988). Warna kultur akan semakin pekat seiring dengan lamanya waktu kultivasi. Kepekatan warna kultur mengindikasikan terjadinya pertambahan sel pada kultur tersebut. Hasil kultivasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa kultur hari ke-10 lebih pekat dibandingkan dengan hari ke-1 dan hari ke-5. Hal ini membuktikan terjadinya pertumbuhan. Warna kultur Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 8.

a b c d

Gambar 8 Kultur mikroalga Porphyridium cruentum pada umur yang berbeda (a) 1 hari, (b) 5 hari, (c) 10 hari, dan (d) 12 hari

Kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam kultivasi mikroalga

Porphyridium cruentum. Perubahan kondisi lingkungan dan nutrisi akan berpengaruh pada pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum. Kondisi lingkungan selama kultivasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kondisi umum kultivasi Porphyridium cruentum

Kontrol Kondisi

Suhu lingkungan 27-28,5oC Intensitas cahaya 500-2000 lux

pH air laut 8,12

Nutrisi Media Becker


(39)

27

Suhu optimum untuk pertumbuhan Porphyridium cruentum adalah 21-26 oC, sedangkan pada suhu di bawah 13oC dan di atas 31oC pertumbuhannya lambat (Golueke dan Oswald 1962 diacu dalam Vonshak 1988). Kultivasi pada penelitian ini dilakukan pada rentang suhu 27-28,5 oC dan mampu tumbuh dengan baik. Kultur yang ditumbuhkan di bawah cahaya secara kontinyu akan tumbuh dengan cepat. Faktor lingkungan yang penting untuk kultur mikroalga adalah cahaya, yang merupakan faktor utama pada fotosintesis (Arad dan Richmond 2004).

Porphyridium cruentum juga toleran terhadap perubahan pH pada kisaran antara 5,2-8,3. Menurut Colman dan Gehl (1983) diacu dalam Vonshak (1988) bahwa pH optimum fotosintesis Porphyridium cruentum adalah 7,5. Ramus (1972) diacu dalam Vonshak (1988) menyatakan bahwa jika Porphyridium cruentum ditumbuhkan dalam media dengan sumber nitrogen terbatas maka produksi polisakaridanya lebih tinggi.

4.2 Kurva Pertumbuhan Porphyridium cruentum

Pertumbuhan organisme didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa atau ukuran sel yang disertai oleh sintesis makromolekul dan menghasilkan struktur organisme baru. Pertumbuhan jaringan terjadi melalui peningkatan ukuran sel yang diikuti peningkatan jumlah sel (Becker 1994). Penentuan pola pertumbuhan pada Porphyridium cruentum dilakukan dengan cara sampling untuk menghitung jumlah sel mikroalga tersebut setiap hari menggunakan haemasitometer yang kemudian diamati di bawah mikroskop. Nilai kepadatan sel yang diperoleh berasal dari perhitungan matematis yang kemudian diturunkan dengan pendekatan logaritmik (log) dan diplotkan ke dalam grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan.

Fase pertumbuhan setiap organisme tidak selalu tetap. Perbedaan panjang atau kemiringan kurva pertumbuhan ditentukan oleh kondisi umum kultur. Keberagaman fase pertumbuhan menggambarkan perubahan kondisi lingkungan dan tergantung pada inokulum, metode kultivasi, konsentrasi nutrisi, intensitas cahaya, dan suhu (Becker 1994). Kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 9.


(40)

Gambar 9 Kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum

(a) fase lag, (b) fase logaritmik, (c) fase stasioner, (d) fase kematian

Fase pertumbuhan pada kultur Porphyridium cruentum meliputi fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag terjadi sampai hari pertama. Fase lag hanya berlangsung selama 1 hari diduga berkaitan dengan umur inokulum yang digunakan. Inokulum yang digunakan berumur 7 hari dan berdasarkan kurva pertumbuhan termasuk dalam fase tengah stasioner.

Umur fisiologis sel berpengaruh terhadap kemampuan sel dalam melakukan multiplikasi. Sel yang diambil dari fase lag akhir, fase log dan fase stasioner awal akan membutuhkan waktu lag yang lebih pendek bila dibandingkan dengan sel yang diambil dari fase stasioner akhir. Pada fase lag aktivitas fisiologi sel sangat tinggi, karena sel sangat sensitif terhadap temperatur atau perubahan lingkungan lain daripada sel pada fase yang lebih dewasa (Becker 1994).

Fase pertumbuhan selanjutnya adalah fase logaritmik (log). Fase log terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-5. Fase ini ditandai dengan meningkatnya jumlah sel yang dapat dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan haemasitometer. Peningkatan laju pertumbuhan didukung oleh ketersediaan nutrisi dan lingkungan yang baik sehingga pertumbuhannya optimal (Fogg 1975). Selain itu, sel telah terbiasa dengan lingkungan baru sehingga mulai tumbuh dan melipatgandakan diri pada akhir fase lag (Lee dan Shen 2004).

Fase stasioner terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-9. Peningkatan ukuran populasi tidak terjadi, jumlah sel terlihat cenderung konstan, karena laju pertumbuhan seimbang dengan laju kematian pada fase stasioner (Fogg 1975).

6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7

0 2 4 6 8 10 12

Waktu (hari) Lo g ju m lah s e l (s e l/ m L) (a) (b) (c) (d)


(41)

29

Fase stasioner terjadi akibat keterbatasan intensitas cahaya yang mampu diserap oleh mikroalga. Jumlah energi cahaya yang mampu diserap melalui fotosintesis berkaitan dengan konsentrasi sel yang semakin melimpah hingga akhir fase log. Setelah konsentrasi sel mencapai maksimal, jumlah biomassa tetap sampai nutrisi dalam medium dan inhibitor menjadi faktor pembatas (Lee dan Shen 2004).

Fase kematian dimulai pada hari ke-9. Kematian sel disebabkan oleh nutrien dalam medium telah habis sedangkan sel yang masih hidup tidak mampu untuk tumbuh dan hanya dapat bertahan hidup (Fogg 1975). Selain itu, fase ini terjadi disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang baik, umur kultur yang sudah tua, keterbatasan nutrisi dan absorbs cahaya, atau infeksi oleh mikroorganisme lain (Becker 1994).

Berdasarkan penelitian Kusmiyati dan Agustini (2006) diperoleh kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum yang tidak diawali dengan fase lag. Fase log terjadi mulai awal kultivasi hingga hari ke-8, fase stasioner terjadi pada hari ke-8 hingga hari ke-10, dan fase kematian mulai terjadi pada hari ke-10. Kultivasi Porphyridium cruentum dilakukan dalam botol berisi 500 ml media Becker. Setelah stok kultur mencapai optical density (OD) 1,6, sebanyak 250 ml kultur tersebut dipindahkan ke botol 2 L diencerkan dengan 750 ml media yang sama sehingga OD sekitar 0,4. Perbedaan kualitas dan jumlah inokulum yang ditambahkan diduga menjadi penyebab perbedaan bentuk kurva pertumbuhan yang didapatkan.

4.3 Produksi dan Pengendapan Polisakarida

Menurut penelitian Kusumawarni (1998), secara umum produksi polisakarida terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain faktor lingkungan, fase pertumbuhan juga berpengaruh terhadap produksi polisakarida. Produksi polisakarida akan meningkat pada fase stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan hingga akhir fase stasioner masih mendukung bagi pertumbuhan dan pembentukan polisakarida. Kondisi pertumbuhan yang baik akan menentukan kandungan polisakarida sebagai hasil fotosintesis. Sehingga semakin tinggi tingkat fotosintesis, semakin banyak pula polisakarida yang akan terbentuk. Kandungan polisakarida Porphyridium cruentum selama kultivasi dapat dilihat pada Gambar 10.


(42)

Gambar 10 Kurva polisakarida harian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan polisakarida ekstraseluler dari Porphyridium cruentum yang dikultivasi dengan media Becker meningkat setelah umur 6 hari. Polisakarida dari sel Porphyridium cruentum merupakan suatu metabolit sekunder, yaitu senyawa yang tidak dibutuhkan sel untuk pertumbuhannya (Said 1987 diacu dalam Kusumawarni 1998). Metabolit sekunder biasanya disintesis pada akhir siklus pertumbuhannya, dan merupakan cadangan makanan untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa polisakarida diproduksi pada fase stasioner dan bersifat untuk melindungi sel dari kondisi yang tidak menguntungkan (Lee 2008). Pengendapan polisakarida dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Pengendapan polisakarida 0.00

0.05 0.10 0.15 0.20 0.25

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Waktu (hari)

gr

am

/10

m


(43)

31

Berdasarkan penelitian Agustini et al. (2009), produksi ekstraseluler

Porphyridium cruentum dipengaruhi oleh lamanya waktu penyinaran. Produksi polisakarida ekstraseluler mencapai maksimum pada saat sel mengalami fase logaritmik akhir menuju ke fase stasioner. Berbeda halnya dengan penelitian Kusumawarni (1998), produksi polisakarida ekstraseluler akan meningkat saat sel mulai memasuki fase stasioner hingga akhir fase stasioner.

Cahaya biru dan merah dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis dan meningkatkan produksi polisakarida ekstraseluler. Pertumbuhan dan produksi polisakarida ekstraseluler Porphyridium cruentum dipengaruhi oleh intensitas dan panjang gelombang cahaya. Pertumbuhan Porphyridium cruentum

meningkat seiring dengan peningkatan intensitas cahaya, meskipun cahaya yang

melebihi titik jenuh menjadi penghambat pertumbuhan mikroalga (You dan Barnett 2004).

Porphyridium cruentum menggunakan nitrat atau ammonium sebagai sumber nitrogen. Arad et al. (1988) melakukan penelitian dengan menggunakan tiga tipe kultur yaitu batch mode (pemberian nitrat pada awal kultivasi), continual mode (pemberian nitrat tiap hari), dan deficient mode (tanpa pemberian nitrat) menyatakan bahwa batch mode dan continual mode mengalami pertumbuhan yang sama, sedangkan pertumbuhan pada deficient mode terhambat. Jumlah polisakarida yang dihasilkan pada continual mode dan deficient mode tiap sel memiliki persamaan. Meskipun produksi polisakarida maksimal terjadi pada batch mode, tetapi jumlah polisakarida yang diekskresikan ke medium secara maksimal terjadi pada deficient mode. Jumlah nitrogen yang ditambahkan pada medium kultivasi berpengaruh terhadap distribusi antara jumlah polisakarida terlarut pada medium dan polisakarida yang terikat pada sel.

Umur panen yang dipilih adalah umur 12 hari. Hal ini berkaitan dengan kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum dan jumlah polisakarida yang dihasilkan. Pada umur 12 hari terjadi penurunan populasi tetapi warna kultur masih dalam keadaan baik (tidak pudar). Selama kultivasi, jumlah polisakarida paling tinggi pada umur 12 hari dengan jumlah 0,215 gram/10 ml. Biomassa kering dan polisakarida ekstraseluler Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 12.


(44)

(a) (b)

Gambar 12 Produk dari Porphyridium cruentum ((a) Biomassa kering (b) Polisakarida ekstraseluler)

Untuk menentukan efektivitas jumlah penambahan etanol, maka dilakukan pengujian penambahan etanol dengan perbandingan filtrat hasil panen dengan etanol, yaitu 1:2; 1:1; 1:0,75; 1:0,5; dan 1:0,25. Berdasarkan hasil uji, perbandingan filtrat dan etanol terpilih adalah perbandingan 1:0,75 dengan kandungan polisakarida sebesar 0,110 gram/5 ml. Grafik hasil uji dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Grafik kandungan polisakarida terhadap perbandingan filtrat : etanol (A = 1 : 2, B = 1 : 1, C = 1 : 0,75, D = 1 : 0,5, dan E = 1 : 0,25)

4.4 Komposisi Biokimia dari Biomassa Porphyridium cruentum

Analisis komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Jika dibandingkan dengan penelitian Fuentes et al. (2000), hasil uji kadar air, kadar abu, dan kadar karbohidrat lebih tinggi, sedangkan kadar protein

0.085 0.090

0.110

0.105 0.100

0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120

A B C D E

gr

am

/5

ml


(45)

33

dan kadar lemak lebih rendah. Hasil uji komposisi biokimia biomassa

Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum

Komponen Persentase (%) Fuentes et al. (2000)

Kadar air 11,67 4,87

Kadar abu 38,34 20,00

Kadar protein 5,54 34,1

Kadar lemak 0,33 6,53

Kadar karbohidrat (by difference) 44,12 32,10 (1) Kadar air

Air merupakan senyawa yang paling berlimpah dalam sistem hidup dan mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Hal ini karena air mengisi semua bagian dari tiap sel, medium tempat berlangsungnya transpor nutrien, reaksi-reaksi enzimatis metabolisme, dan transfer energi kimia (Lehninger 1988).

Prinsip analisis kadar air dalam penelitian ini adalah mengukur berat air bebas yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan dengan bantuan panas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa biomassa kering mikroalga

Porphyridium cruentum mengandung air sebesar 11,67%. Menurut penelitian Fuentes et al. (2000), Porphyridium cruentum memiliki kadar air berkisar antara 1,25-8,83 %. Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh lamanya pengeringan dalam

freeze dryer dan kondisi bahan yang berbeda. (2) Kadar abu

Bahan pangan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut kadar abu (Winarno 2008).

Analisis kadar abu dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah mineral pada biomassa kering mikroalga Porphyridium cruentum. Hasil pengujian menunjukkan bahwa biomassa kering mikroalga Porphyridium cruentum mengandung abu sebesar 38,34% (bb). Menurut Fuentes et al. (2000),


(46)

Porphyridium cruentum mempunyai kadar abu rata-rata 20% (bb). Perbedaan ini diduga karena masih bercampurnya garam mineral pada media kultur pada biomassa Porphyridium cruentum akibat tidak dilakukan pembilasan setelah pemanenan. Pencucian dengan menggunakan 0,5 M NaCl dan air distilasi dapat menghilangkan materi non-biologi seperti garam mineral.

Penelitian lain menunjukkan bahwa mikroalga laut lain memiliki jumlah kadar abu yang hampir sama. Phaeodactilum tricornutum dan Tetraselmis chui

masing-masing mengandung abu sebesar 20,2% dan 21% (Markovits et al. 1991, Canizares et al. 1994 diacu dalam Fuentes et al. 2000). Berbeda halnya dengan mikroalga air tawar yang memiliki kandungan abu lebih rendah, yaitu berkisar 6-15% pada Scenedesmus dan Spirulina (Becker & Venkataraman 1982 diacu dalam Fuentes et al. 2000).

Mineral-mineral yang terkandung dalam 100 gram berat kering biomassa

Porphyridium cruentum diantaranya adalah Natrium (1.130 mg), Kalium (1.1910 mg), Kalsium (1.240 mg), Magnesium (628 mg), Besi (661 mg), Tembaga (7,48 mg), Seng (373 mg), Mangan (47,1 mg), Kromium (0,92 mg), dan Sulfur (1.410 mg) (Fuentes et al. 2000).

(3) Kadar protein

Protein merupakan komponen utama dalam semua sel hidup. Protein memiliki bobot molekul yang besar sehingga disebut sebagai makromolekul. Protein umumnya terdiri atas 20 macam asam amino yang membentuk suatu rantai polipeptida. Pemisahan protein dari campuran yang terdiri atas berbagai macam sifat asam basa, ukuran dan bentuk protein dapat dilakukan dengan cara elektroforesis, kromatografi, pengendapan, dan perbedaan kelarutannya (Roswiem et al. 2006).

Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa biomassa kering mikroalga Porphyridium cruentum mengandung protein sebesar 5,54% (bb). Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Berdasarkan penelitian Fuentes et al. (2000), kadar protein biomassa kering Porphyridium cruentum

berkisar antara 34,1% (bb). Hal ini diduga perbedaan umur kultur yang digunakan. Menurut Saavedra dan Voltolina (2006), kandungan protein selama pertumbuhan menurun hingga akhir fase.


(47)

35

Menurut penelitian Sprinkle et al. (1986), kandungan asam amino yang terdapat dalam total protein Porphyridium cruentum diantaranya Asam aspartat (14,9%), Treonin (3,8%), Serin (3,7%), Asam glutamat (8%), Prolin (2,3%), Glisin (7,6%), Alanin (12,1%), Valin (5,8%), Asoleusin (4,4%), Leusin (3.9 %), Tirosin (0,8%), Fenilalanin (1,7%), Histidin (1,6%), Lisin (4,5%), Arginin (0,6%), dan metionin (2,6%).

Produk komersial dari Porphyridium cruentum diantaranya adalah asam arakidonat, polisakarida, dan fikoeritrin. Meskipun asam amino yang dihasilkan oleh Porphyridium cruentum saat ini bukan merupakan produk komersial, tetapi secara luas asam amino dari mikroalga telah dimanfaatkan dalam industri pangan dan pakan. Asam glutamat dimanfaatkan dalam konsumsi manusia, sedangkan metionin, lisin, triptofan, asam aspartat, dan fenilalanin dimanfaatkan sebagai suplemen pada pakan (Borowitzka 1988).

(4) Kadar lemak

Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Pada tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi (Winarno 2008).

Hasil pengujian kadar lemak menunjukkan bahwa biomassa kering mikroalga Porphyridium cruentum mengandung lemak sebesar 0,33% (bb). Berdasarkan penelitian Servel et al. (1993), total lemak biomassa kering

Porphyridium cruentum adalah 1,5% (bk). Namun, berbeda dengan hasil penelitian Fuentes et al. (2000) yang menunjukkan bahwa total lemak biomassa kering Porphyridium cruentum berkisar antara 6,53% (bb). Secara umum, perbedaan komposisi biokimia alga dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, diantaranya suhu, cahaya, pH medium, nutrisi, dan ketersediaan CO2 (Becker 1994).

Kandungan asam lemak utama pada Porphyridium cruentum (dalam 100 gram biomassa kering) adalah asam palmitat (1,58 g), asam arakidonat (1,29 g), eicosapentanoic acid (1,27 g) dan asam linoleat (0,37 g). Eicosapentanoic acid


(1)

[AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 1980. Official Method of Analysis of the Association of Official Analitical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analitical Chemist, Inc.

[AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of the Association of Official Analitical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analitical Chemist, Inc.

Agustini NWS, Kusmiati, Jusuf E, Kabinawa IN. 2009. Produksi eksopolisakarida dari mikroalga Porphyridium cruentum yang berpotensi sebagai senyawa antiinflamasi kulit. http://www.biotek.lipi.go.id. [12 Desember 2010].

Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 334 hlm.

Arad SM, Adda M, Cohen E. 1985. The potential of production of sulfate polysaccharide from Porphyridium. Plant and Soil 89: 117-127.

Arad SM, Friedman O, Rotem A. 1988. Effect of nitrogen on polysaccharide production in a Porphyridium sp. Applied and Environmental Microbiology 54(10): 2411-2414.

Arad SM, Richmond A. 2004. Industrial Production of Microalgal Cell-mass and Secondary Products–Species of High Potential Porphyridium sp. Dalam Richmond A, editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. United Kingdom: Blackwell Publishing Company. 566 hlm.

Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Basuki T, Indah DD, Nina S, Kardono LBS. 2002. Evaluasi aktivitas daya hambat enzim α-Glukosidase dari ekstrak kulit batang, daun, bunga, dan buah kemuning [Murayya paniculata (L.) Jack.]. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI; Surabaya, 27-28 Maret 2002. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.hlm 314-318.

Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. USA: Cambridge University Press. 293 hlm.


(2)

Bernardi APM, Lopez-Alarcon C, Aspee A, Rech S, Poser GLV, Bride R, Lissp E. 2007. Antioxidant activity of flavonoids isolated from Hyperincum ternum. J Chil Chem Soc 52(4):1326-1329.

Borowitzka MA. 1988. Vitamins and Fine Chemical from Microalgae. Dalam Borowitzka MA dan Borowitzka MJ, editor. Microalgal Biotechnology. New York: Cambridge University Press. 477 hlm.

Canizares RO, Molina G, DominguezAR. 1994. Composicion quimica de dos microalgas marinas utilizadas como alimento en maricultura. Criptogamie Algologie 15: 121-133.

Cui CB, Xu C, Gu QQ, Chu SD, Ji HH, Jing G. 2004. A new furostanol saponin from the water-extract of Dioscorea nipponica Mak., the raw material of the traditional Chinese herbal medicine wei ao xin. Chinese Chemical Letters 15(10):1191-1194.

Department of Enviromental Science University of Kalyani. 2008. Type: Algae. http://envis.kuenvbiotech.org/algae.htm [12 Agustus 2010].

Escudero MR, Escudero FR, Remsberg CM, Takemoto JK, Davies NM, Yanez JA. 2008. Identification of polyphenols and anti-oxidant capacity of Piper aduncum L. The Open Bioactive Compounds Journal 1:18-21.

Fogg GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London: The University of Wisconsin Press. 126 hlm.

Fuentes MMR, Fernandez GGA, Perez JAS, Guerrero JLG. 2000. Biomass nutrient profiles of the microalga Porphyridium cruentum. Food Chemistry 70: 345-353.

Giavasis I, Biliaderis CG. 2006. Microbial Polysaccharides. Dalam Biliaderis CG dan Izydorczyk, editor. Functional Food Carbohydrates. New York: CRC Press. 570 hlm.

Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta: PT Gramedia. 163 hlm.

Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari Phytochemical Methods. 354 hlm.

Hartika R. 2009. Aktivitas Inhibisi α-Glukosidase Ekstrak Senyawa Flavonoid Buah Mahkota Dewa. [skripsi]. Bogor: Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Ho E, Bray TM. 1999. Antioxidants, NFKB activation, and diabetogenesis. Proceeding of The Society for Experimental Biology and Medicine 222: 205-213.


(3)

Info Obat Indonesia. 2009. Acarbose. http://infodrugindonesia.blogspot.com/ 2009/07/acarbose.html [12 Agustus 2010].

Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20.

Kusmiyati dan Agustini NWS. 2006. Uji Aktivitas Senyawa Antibakteri dari Mikroalga Porphyridium cruentum. Biodiversitas 8(1): 48-53.

Kusumawarni E. 1998. Mempelajari Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan Sel, Produksi Polisakarida, dan Pigmen dari Mikroalga Porphyridium cruentum. [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Instituit Pertanian Bogor.

Kutchan TM. 1995. Alkaloid biosynthesis: the basis for metabolic engineering of medical plants. The Plant Cell 7:1059-1070.

Lee RS. 2008. Phycology. New York : Cambridge University Press. 645 hlm.

Lee YK, Shen H. 2004. Basic Culturing Techniques. Dalam Richmond A, editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. United Kingdom: Blackwell Publishing Company. 566 hlm.

Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid I. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Principles of Biochemistry. 369 hlm.

.2004. Dasar-dasar Biokimia Jilid II. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari : Principles of Biochemistry. 386 hlm.

Markovits A, Lopez L, Cozta E, Lutz M. 1991. Evaluacion quimica y biologica de Phaedacthylum tricornutum. Alimantacion Equipos y Tecnologia 87: 119-123.

Percival E, Foyle RAJ. 1979. The extracellular polysaccharides of Porphyridium cruentum and Porphyridium aerugineum. Carbohydrate Research 72: 165-176.

Roswiem AP. 2006. Karbohidrat. Dalam Roswiem et al., editor. Biokimia Umum Jilid 1. Bogor : Departemen Biokimia FMIPA IPB. 142 hlm.

Saavedra MPS, Voltolina D. 2006. The growth rate biomass production and composition of Chaetoceros sp. grown with different light sourch. Journal of Aquaculture Engineering 36: 161-165.

Samson ZM. 2010. Senyawa Golongan Alkaloid Ekstrak Buah Mahkota Dewa Sebagai Inhibitor Alfa Glukosidase. [skripsi]. Bogor : Departemen Kimia


(4)

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Servel MO, Claire C, Derrien A, Colffard L, Holtzhauer YD. 1993. Fatty acid composition of some marine microalgae. Phytochemistry 36(3): 691-693.

Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a

molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal 1:13-17.

Silva BP, Sousa AC, Silva GM, Mendes TP, Parente JP. 2002. A new bioactive steroidal saponin from Agave attenuata. Z Naturforsch 57C:423-428.

Singh S, Arad SA, Richmond A. 2000. Extracellular polysaccharide production in outdoor mass cultures of Porphyridium sp. in flat plate glass reactors. Journal of Applied Phycology 12: 269–275.

Sirait M. 2007. Penuntun Fitokmia dalam Farmasi. Bandung : Penerbit ITB. 247 hlm.

Sprinkle JR, Hermodson M, Krogman DW. 1986. The amino acid sequence of the cytochromes c553 from Porphyridium cruentum and Aphanizomenon flos-aquae. Journal of Photocynthesis Research 10 : 63-73.

Subroto MA. 2006. Ramuan Herbal untuk Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. 100 hlm.

Sugiwati S. 2005. Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] sebagai Inhibitor Alfa Glukosidase in vitro dan in vivo pada Tikus Putih. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sukadana IM. 2009. Senyawa antibakteri golongan flavonoid dari buah belimbing manis (Averrhoa carambola Linn.L). Jurnal Kimia 3(2):109-116.

Sung HO et al. 2009. Lipid production in Porphyridium cruentum grown under different culture conditions. Journal of Bioscience and Bioengineering 108(5): 429-434.

Vonshak A. 1988. Porphyridium. Dalam Borowitzka MA dan Borowitzka MJ, editor. Microalgal Biotechnology. New York: Cambridge University Press. 477 hlm.

WHO. 2010. Diabetes. http://www.who.int/dietphysicalactivity. [12 Agustus 2010].


(5)

Wiesman Z, Chapagain BP. 2003. Laboratory evaluation of natural saponin as a bioactive agent against Aedes aegypti and Culex pipiens. Dengue Bulletin 27:168-173.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press. 297 hlm.

You T, Barnett SM. 2004. Effect of light quality on production of extracellular polysaccharides and growth rate of Porphyridium cruentum. Biochemical Engineering Journal 19 : 251–258.


(6)

Lampiran 1 Medium Kultivasi untuk Mikroalga Porphyridium cruentum

Sumber : Becker (1994)

Bahan Jumlah

g/L

NaCl 27,0

MgSO4.7H2O 6,6

MgCl2.6H2O 5,6

CaCl2.2H2O 1,5

KNO3 1,0

KH2PO4 0,07

NaHCO3 0,04

ml/L

1M Tris HCl (pH 7,6) 20

Trace element 1

Larutan FeCl3.4H2O 240 mg dilarutkan dalam 100 mL 0.05 M Na2EDTA (pH 7.6)

Trace element ZnCl2

H3BO3 CoCl2.6H2O CuCl2.2H2O MnCl2.4H2O

(NH4)6Mo7O24.4H2O

mg (dalam 100 ml aquades) 4

60 1,5 4 40 37