Pemanenan Biomassa Porphyridium cruentum

20 pertumbuhan P. cruentum. Borowitzka dan Borowitzka 1988 menyatakan bahwa P. cruentum dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 5,2-8,3 dengan derajat keasaman pH optimum untuk fotosintesis, yaitu 7,5. Salinitas air laut yang digunakan pada kultivasi P. cruentum sebesar 3 yang diukur menggunakan alat refraktometer. Kultur P. cruentum dalam modifikasi media Becker memiliki salinitas sebesar 7,4 sedangkan dalam media pupuk sebesar 4,0. Salinitas dari media Becker maupun media pupuk ini lebih besar dibandingkan dengan salinitas air laut yang digunakan. Pengaruh penambahan nutrien mengakibatkan terbentuknya garam dalam media sehingga menyebabkan salinitas meningkat. Kultur dengan media Becker memiliki salinitas yang sangat tinggi yakni lebih dari dua kali dari salinitas air laut, namun kultur tetap dapat tumbuh. Borowitzka dan Borowitzka 1988 menyatakan bahwa Porphyridium dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup besar, yaitu 0,5-2 kali konsentrasi air laut 3,5. Richmond 1988 menjelaskan bahwa salinitas media Becker P. cruentum pada kisaran 3,5-4,5 dapat memacu pertumbuhan yang optimal namun salinitas 4,6 tidak menghambat proses pertumbuhan, sedangkan pada kondisi salinitas kurang dari 3,5, Porphyridium tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya jika ditumbuhkan pada kultur terbuka.

4.2 Pemanenan Biomassa Porphyridium cruentum

Tahap pemanenan pada penelitian ini diawali dengan tahap pengendapan sebelum dilakukan sentrifugasi untuk mengurangi biaya dalam pemanenan biomassa. Umumnya pemisahan biomassa P. cruentum dilakukan melalui sentrifugasi untuk mendapatkan sejumlah biomassa dari suatu kultur, namun dengan adanya tahapan pengendapan akan mengefisienkan proses pemanenan sehingga biaya pemanenan dapat ditekan. Kapasitas sentrifugasi yang sama akan menghasilkan jumlah biomassa basah yang lebih banyak bila melalui tahap pengendapan terlebih dahulu karena biomassa dalam cairan yang disentrifugasi telah terkonsentrasi dari jumlah kultur yang lebih banyak sehingga proses pemanenan menjadi lebih efisien. Pemanenan biomassa dilakukan dengan cara memisahkan biomassa dan cairan media, melalui pengendapan selama 10 hari di dalam lemari pendingin. 21 Lemari pendingin menjaga kultur agar tidak mengalami pertumbuhan lebih lanjut setelah pemanenan sebab dalam lemari pendingin tercipta kondisi gelap dan dingin selama proses pengendapan berlangsung. Kultur dipanen pada fase stasioner, yaitu dalam modifikasi media Becker dipanen pada umur 7 hari, sedangkan kultur dalam media pupuk dipanen pada umur 4 hari. Proses pengendapan membentuk 2 lapisan, yakni lapisan biomassa di bagian bawah dan lapisan cairan media di bagian atas. Hasil pengendapan kultur P. cruentum ini dapat dilihat pada Gambar 5. a b Gambar 5 Pemanenan biomassa Porphyridium cruentum a kultur awal panen ; b kultur setelah pengendapan 10 hari. Hasil pengendapan biomassa ini kemudian dikumpulkan dan langsung disentrifugasi menggunakan sentrifuse dingin dengan suhu 4 o C dan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit. Proses sentrifugasi ini menyebabkan biomassa terpadatkan pada dasar tabung sehingga mempermudah dalam pemisahan biomassa P. cruentum. Biomassa yang telah terkumpul kemudian dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air menggunakan freeze dryer selama 6 jam. Biomassa P. cruentum basah dan kering yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 6. a b Gambar 6 Biomassa Porphyridium cruentum a basah ; b kering. 22 Aplikasi komersial pertama yang dilakukan melalui freeze drying dalam metode pengeringan adalah bidang industri pharmaceutical antibiotik, sel, plasma darah Berk 2009. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan freeze dryer pada suhu rendah dan tekanan terkontrol, sehingga dapat mempertahankan komponen aktif yang ada pada biomassa P. cruentum agar tidak mengalami kerusakan akibat suhu tinggi. Suhu tinggi menyebabkan kerusakan komponen bioaktif dari suatu bahan. Hal ini sesuai dengan Yuan et al. 2011 yang menjelaskan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen bioaktif diantaranya terjadi penurunan akumulasi komponen flavonoid baicalin dan baicalein pada Scutellaria baicalensis seiring dengan meningkatnya perlakuan suhu yang digunakan yaitu 25 o C dan 40 o C. Jumlah baicalin dengan perlakuan suhu 40 o C mengalami penurunan hingga 43 pada hari ke-22, sedangkan baicalein pada perlakuan suhu 40 o C tidak terdeteksi pada HPLC.

4.3 Ekstraksi Senyawa Antibakteri