Membangun Masyarakat Multikultural: Undangan dan Tantangan bagi Agama-agama
D. Membangun Masyarakat Multikultural: Undangan dan Tantangan bagi Agama-agama
Telusuran etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta mengantar kita pada identifikasi sosial sebagai bagian dari transformasi sosial. Sistem sosial dan integrasi sosial mereka menunjukkan sebuah konfigurasi aktor-aktor sosial individual dan kolektif lintas agama sebagai cerminan karakteristik multikultural. Sejarah sosial membentuk mereka menjadi masyarakat inkulsif dan multikultural. Dengan begitu multikulturalitas menjadi sumbu penggerak identifikasi sosial. Oleh karena itu model indetifikasi sosial etnik Mbaham Matta bergerak dari keengganan menjadikan agama sebagai identitas hegemonik-ideologis
perlawanan-perlawanan (resitensi) kultural terhadap model identifikasi sosial-relijius hegemonik. Identifikasi sosial sebagai perlawanan kultural ini memberi dorongan kuat kepada usaha-usaha atau proyek bersama membangun tatanan masyarakat terbuka, inklusif dan multikultural.
menuju
Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik
Proyek transformasi tatanan masyarakat terbuka, inklusif, dan multikultural sudah built-in atau terintegrasi sebagai karakter budaya dalam sistem sosial dan warga rumpun etnik Mbaham Matta. Mereka telah menginisiasi suatu model sistem sosial multikultural. Agama-agama diinkorporasi ke dalam sistem sosial mereka. Agama-agama diberi ruang sosial serta hak bereksistensi dalam jalinan kemargaan dan tatanan kekerabatan mereka.
Dari lingkup makro-sosial (integrasi sistem), Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak sejak tahun 1999 telah mengangkat karakter terbuka, inklusif dan multikultural etnik Mbaham Matta ini sebagai motto atau slogan daerah “Satu Tungku Tiga Batu.” Motto daerah ini memaksudkan bahwa
konstruksi dasar kehidupan masyarakat yang telah dibangun oleh etnik asli lokal, yang terdiri dari tiga agama (Islam, Protestan, dan Katolik) merupakan perekat kohesi dan solidaritas sosial masyarakat dan pemerintahan Kabupaten Fakfak. Pejabat-pejabat Pemerintah daerah yang merupakan anak-anak adat Mbaham Matta menginisiasi pengangkatan motto ini. Mereka yang menghidupi spirit dan ethos kekerabatan lokal inkorporator adat atau budaya mereka ke ranah publik-politik dalam rangka menata penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat luas. Inkorporasi adat atau budaya ke dalam ruang publik politik ini merupakan reproduksi kultural sistem kekerabatan ke dalam kerangka usaha membangun kohesi dan solidaritas sosial. Jadi baik sistem maupun ethos kekerabatan etnik lokal model dasar dan ethos dalam membangun fondasi dan menata interaksi sosial- budaya-religi-politik masyarakat multikultural di Kabupaten Fakfak.
Masyarakat modern terus bergulat dengan persoalan multikulturalisme yang terkait dengan bagaimana menata dan mengarahkan perbedaan-perbedaan kultural. Parekh menye- butkan bahwa perbedaan-perbedaan kultural ini terkait
232 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi
dengan realitas diversitas subkultur, diversitas perspektif, dan diversitas komunal. Ragam usulan model dan strategi pengembangan masyarakat multikultural terus diajukan dalam masyarakat yang makin kompleks dan penuh persaingan sosial-kultural-politik-ekonomi dengan masing- masing egoisme dan obsesi hegemoniknya. Parekh mengonstruksi model dan strategi multikulturalisme dalam empat model, yaitu asimilasionis, proseduralis, asimilasi
kewargaan dan millet. 18 Tetapi Parekh simpulkan bahwa bila dikaji dari sisi kemampuan untuk mensinergikan tuntutan unitas dan diversitas kultural, keempat model inipun tidaklah memuaskan dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda. Menurutnya model asimilasi mengabaikan diversitas dan model millet mengabaikan unitas. Sementara model proseduralis dan asimilasionis kewargaan sangat menekankan diversitas dan unitas, tetapi gagal memberikan perhatian pada kondisi saling pengaruh dialektik (resiprositas) dan menemukan keseimbangan yang tepat antara kedua aspek ini (diversitas dan unitas). Kegagalan tersebut disebabkan oleh pemisahan ruang publik dan privat. Baginya pengembangan model dan strategi penguatan tatanan masyarakat multikultural yang relevan tergantung pada bagaimana menata kekuasaan politik, penegakan keadilan, sambil tetap mengakui dan merangkul cultural differences serta pengaturan hak-hak kolektif dan pengembangan kebudayaan bersama termasuk identitas nasional. Dalam proses inilah Parekh menekankan pentingnya pendidikan multikultural.
Situasi dan arah kontekstual ini merupakan udangan rumpun etnik Mbaham Matta kepada agama-agama untuk ikut terlibat dalam transformasi sosial membangun tatanan masyarakat multikultural. Di tengah-tengah pergulatan dunia
18 Lihat juga pemodelan dua diemnsi yang diajukan oleh Douglas Hartman and Joseph Gerteis, “Dealing with Diversity: Mapping
Multiculturalism in Sociological Terms.” Sociological Theory 23:2 June 2005,
Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik
perihal tatanan masyarakat multikultural, dalam skopa daerah rumpun etnik Mbaham Matta menawarkan suatu model dan strategi kebudayaan: dualitas inkorporasi dalam konteks dinamika dan proses-proses ethnic boundarying berbasis kekerabatan. Secara
praktik mereka menyodorkan paradigma “agama keluarga” yang membawa kepada pengembangan relijiusitas atau keberagamaan
filosofis dan
keluarga dengan etika ideal atau core value “idu-idu maninina” dan tujuan menjamin ontological security sistem sosial mikro- makro (integrasi sosial dan integrasi sistem).
Agama-agama diundang terlibat membangun masya- rakat multikultural dalam kompleks sosial-budaya etnik Mbaham Matta patut memperhatikan hal-hal mendasar tersebut. Pertama, strategi budaya inkorporasi. Rumpun etnik Mbaham Matta telah membuka dan menyediakan ruang-ruang sosial menyambut
agama-agama dunia. Inkorporasi merupakan undangan bagi agama-agama ikut serta dalam proses-proses kehidupan mereka sehari-sehari. Bila kembali mengingat negosiasi dalam ruang demarkasi etnik (ethnic boundary), agama-agama patut menyadari adanya sinyal- sinyal pengingat budaya dan perangkat nilai utama dan normatif built-in sebagai disposisi individual dan kolektif mereka yang memberikan kerangka interpretasi dan tindakan sosial terkait keberagamaan.
Kedua, disposisi kultural-relijius itu mereka deklarasikan melalui ungkapan “agama keluarga.” “Agama
keluarg a” adalah paradigma kultural yang mencerminkan penghayatan dan praktik keagamaan mereka. Ini adalah
relijiusitas praktik 19 mereka. Agama keluarga menegaskan bahwa bagi mereka keberagamaan yang mereka hidupi setiap hari adalah agama yang sudah dijalin oleh mereka sendiri
19 Mengikuti Giddens yang memahami kebudayaan sebagai praktik, kebudayaan yang menyadi bagian dari praktik sosial dalam konteks
234 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi
dalam sturktur sosial yang berbasis kekerabatan atau aliansi- aliansi lintas keluarga, marga dan kampung. Secara spesifik penjalinan agama-agama ke dalam struktur sosial mereka dilakukan melalui mekanisme perkawinan lintas agama. Di sini mereka tidak mengizinkan agama-agama menjadi unsur pengganggu kekerabatan atau aliansi-aliansi lintas keluarga, marga, dan kampung.
Ketiga, merawat eksistensi dan kalangsungan kekerabatan atau aliansi dalam rumpun etnik Mbaham Matta merupakan tanggungjawab bersama yang sangat penting dan menentukan. Karena kekerabatan atau aliansi lintas keluarga, marga dan kampung mempunyai akar dan basis pengalaman historis mereka melewati atau melampaui fase kerjawriya yang penuh perang hongi, pengayauan, dan aneka amorilitas sosial yang merendahkan kemanusiaan serta ketiadaan kohesi dan solidaritas sosial. Mereka membangun aliansi atau kekerabatan baru yang mereka berdirikan di atas warqpa thumber atau tumpukan batu-batu sumpah. Mereka membangun aliansi atau kekerabatan baru sebagai sebuah perjanjian hidup baru yang dialas dengan sumpah kolektif. Sumpa kolektif ini menjadi terasa kuat bila dibaca dalam bahasa mereka. Dalam bahasa Iha, sumpah adalah nahambe sebagai kata benda sedangkan bersumpah adalah naham hanbe. Makna kata sumpah atau bersumpah ini senafas dengan kata oath atau binding oath dalam bahasa Inggris yang terkait dengan praktik sumpah untuk meneguhkan perkataan atau janji seseorang atau sekelompok orang dengan menyerukan nama atau kehadiran dewa atau orang atau benda tertentu sebagai saksi yang mengafirmasi dan mengawasi realisasi sumpah tersebut. Sumpah jelas terkait dengan kutuk atau berkat. Dengan begitu kesetiaan mereka terhadap sumpah
Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik
menjaga dan merawat kekerabatan adalah bagian dari nilai
dan etika hidup keberagamaan mereka. 20
Keempat, etika ideal atau core value yang mereka hidupi adalah idu-idu maninina. Mereka menjadikan etika utama adalah hidup damai, aman, tenang, dan seimbang. Kata
ini berarti juga ‘senang, bahagia.’ Dalam praktik gerakan mesianik Mahambotmur, ada perang iman melawan kuasa-
kuasa alami yang menguasai dan menempati lokasi-lokasi atau wilayah-wilayah tertentu. Perang iman ini dilakukan untuk mendamaikan lokasi atau wilayah itu, sehingga tempat atau wilayah tersebut bisa ditinggali atau diusahakan. Etika ideal idu-idu maninina lahir dari pengalaman panjang perang hongi, pengayauan, dan lain lain pada fase kerjawriya. Jadi jelas hidup damai adalah juga janji etik yang dialas dengan sumpah kolektif.
Kelima, kehidupan damai ini menjadi inti etik atau moralitas sosial rumpun etnik Mbaham Matta yang telah bersumpah membangun kekerabatan atau aliansi lintas keluarga, marga, kampung, dan agama untuk menjamin
ontological security 21 dalam sistem sosial mikro dan makro. Anthony Giddens mendefinisikan ontological security sebagai
“confidence or trust that natural and social worlds are as they appear to be, including the basic existential parameters of self
20 Ada beberap kasus yang Penulis temukan terkait dengan pernikahan lintas agama yang gagal atau ditolak. Karena perkawinan adalah mekasime sosial penting dalam merawat kerabatan, maka penolakan perkawinan lintas agama tanpa alasan mendasar harus dibayar. Ada dua kasus terkait penolakan perkawinanan lintas agama yang masih dalam proses negosiasi terkait dengan relasi silsilah perkawinan lintas agama yang sudah dilewati oleh orang tua atau kakek/nenek mereka. Menurut beberapa informan mereka yakin penolakan perkawinana karena alasan perbedaan agama akan kena kutuk. Mereka menceritakan beberapa kasus kutukan seperti ganguan jiwa, sakit, bahkan kecelakaan dan kematian.
21 Lihat Jennifer Mitzen, “Ontological Security in World Politics: State Identity and the Security Dillemma,” European Journal of International
236 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi
and social identity 22 .” Konsep ini menunjuk kepada keadaan yang terkait dengan keyakinan bahwa lingkungan hidup mereka, baik alam maupun dunia sosial, ada dalam kondisi baik dan stabil, termasuk kedirian dan identitas sosial mereka, ada dalam kondisi pasti (tidak terganggu) dan stabil, serta aman. Ontological security, di samping physical security, adalah kebutuhan dasar konstan (a basic need). Kebutuhan dasar ini dimunculkan dalam ilmu-ilmu sosial bukan untuk menjelaskan variasi perilaku, tetapi lebih untuk membantu pengungkapan proses-proses yang memproduksi kontinuitas eksistensi kelompok-kelompok sosial atau masyarakat. Ontological security menunjuk kepada rasa aman diri para aktor individual dan kolektif karena kepastian atau kemantapan sistuasi interaksi sosial baik dalam lingkup sistem sosial (mikro) maupun sistem sosial makro. Rasa aman diri dan kepastian sistuasi akan memampukan dan memotivasi mereka melakukan tindakan dan aktivitas. Importansi ontological security ini terkait dengan dua hal kunci dalam memahami masyarakat, yaitu identitas sosial dan kekhasan kultural (cultural distinctiveness). Kelompok-kelompok merutinisasi relasi-relasi di antara mereka untuk memelihara kekhasan kultural mereka. Relasi-relasi lintas kelompok yang tertata dan berlangsung baik akan membantu mereka mempertahankan koherensi identitas masing-masing. Jadi ontological security menjadi prasyarat sosial penting dalam upaya-upaya membangun suatu tatanan masyarakat multikultural. Keterjaminan dan keberlangsungan ontological security merupakan tanggungjawab semua komponen membangun relasi-relasi sosial yang mantap dan pasti sambil memberi ruang kepada masing-masing mempertahankan dan mendinamisir kekhasan-kekhasan sosio-kultural dan identitas sosial.
22 Anthony Giddens, The Constitution of Society (Berkeley and Los
Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik