Keragaan Program Pemberdayaan Dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus Pnpm Mandiri Perdesaan Di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat)
KERAGAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN
(Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung)
IDA ZULFIDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keragaan Program
Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan
di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat), adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ida Zulfida
NRP H-162100131
RINGKASAN
IDA ZULFIDA. Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan
Perdesaan (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi
Jawa Barat). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ERNAN RUSTIADI, dan
YUSMAN SYAUKAT.
Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang strategis dan potensial.
Posisi Kabupaten Bandung bersebelahan langsung dengan Kota Bandung yang
menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan di Jawa Barat. Namun kedekatan
wilayah tersebut belum efektif menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten
Bandung yang relatif masih tinggi. Berbagai program baik dari pemerintah
maupun yang bersifat lokal sudah digalakkan untuk menurunkan tingkat
kemiskinan. Salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan. Masalah yang menjadi isu dalam penelitian ini
adalah adanya kelemahan target dan fokus yang ditandai dengan semakin
meningkatnya alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan mulai dari tahun 2008
hingga 2014, namun ada kecenderungan terjadinya perlambatan penurunan tingkat
kemiskinan di Kabupaten Bandung. Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah
evaluasi terhadap kinerja program sebagai salah satu cara pengurangan tingkat
kemiskinan dengan peningkatan pendapatan dan partisipasi masyarakat di
perdesaan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment
Analysis (DEA). Penelitian ini mengeksplorasi efektivitas program yang diukur
dari input dan output yang terkait dengan program pemberdayaan dengan
menggunakan data di kecamatan dan desa. Evaluasi ini meliputi efisiensi dan total
faktor produktivitas Indeks Malmquist yang diukur selama periode 2009 hingga
2013. Metode analisis regresi linier digunakan untuk melihat variabel-variabel
yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah
berpartisipasi dengan kelembagaan pemberdayaan dalam kegiatan ekonomi.
Selanjutnya untuk melihat kaitan pemberdayaan dengan partisipasi maka model
analisis logit digunakan untuk melihat kecenderungan anggota rumah tangga
untuk berpartisipasi dalam lembaga pemberdayaan.
Hasil analisis DEA dengan asumsi constan return to scale (CSR)
menunjukkan bahwa kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
sebagian besar (64 persen) menunjukkan inefisiensi pada kecamatan Cikancung,
Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari, Nagreg dan Pacet. Cara mengatasi inefisiensi
penyelenggaraan program yaitu dengan melakukan solusi optimal dengan upaya
peningkatan efisiensi mulai dari 10 persen untuk Kecamatan Ibun sampai 61
persen untuk Kecamatan Nagreg. Hasil analisis dengan menggunakan asumsi
variable retutn to scale (VRS) menunjukkan ada sedikit peningkatan dalam skor
efisiensi dengan rata-rata 0,850-0,925. Ini berarti bahwa dengan asumsi VRS
kecamatan cenderung semakin efisien dalam menjalankan program PNPM.
Kecamatan seperti Nagreg yang sebelumnya memiliki skor efisiensi yang rendah
dengan asumsi CRS (0,619) telah mencapai efisien dengan asumsi VRS.
Kecamatan Ibun dengan asumsi CRS memiliki skor 0,91, menjadi efisien dengan
asumsi VRS. Secara keseluruhan, jika dengan asumsi CRS hanya empat
kecamatan yang memiliki nilai efisien penuh, dengan VRS terdapat enam dari
sebelas kecamatan memiliki skor efisiensi penuh (lebih dari 50 persen). Namun
hasil tersebut masih menunjukkan bahwa pada umumnya semua kecamatan masih
kurang efisien dalam menjalankan program PNPM (TE 0.850 dan 0.925 TE
kurang dari 1 pada asumsi CRS dan VRS). Namun secara spasial letak antar
kecamatan yang efisien juga tidak menunjukkan adanya hubungan kedekatan
wilayah.
Kecamatan-kecamatan yang inefisiensi dalam kinerja program PNPM
Mandiri Perdesaan, dapat disimpulkan menggunakan komponen input tidak
optimal, yaitu sumber dana. Dengan asumsi CRS terjadi inefisiensi anggaran
mulai dari Rp 133 juta di Kecamatan Ciwidey hingga Rp 2,17 miliar di
Kecamatan Pacet. Sementara dengan menggunakan asumsi VRS inefisiensi dapat
ditekan mulai dari 132,5 juta sampai 1.91 miliar di kecamatan yang sama.
Temuan ini berbeda dengan Vennesland (2005) dimana dijumpai kelebihan dan
kekurangan alokasi anggaran di daerah-daerah yang tidak efisien sehingga
kelebihan dana pada satu wilayah dapat direalokasikan pada wilayah yang
kekurangan dana. Partisipasi masyarakat ditujukkan dengan penggunaan alokasi
dana bergulir dalam kegiatan ekonomi. Dengan asumsi CRS terdapat enam
kecamatan (66,67 persen) yang telah mencapai target dalam menghasilkan output,
dan hanya empat kecamatan saja yang belum mencapai target. Solusi optimal
untuk kecamatan yang belum mencapai target adalah meningkatkan pencapaian
mulai dari 33 persen (kecamatan Cikancung) sampai dengan 45 persen
(kecamatan Pacet). Dengan menggunakan asumsi VRS jumlah kecamatan yang
mencapai target dan yang belum mencapai target juga dalam posisi yang sama,
namun peningkatan pencapaian pada asumsi VRS ini lebih kecil dibandingkan
dengan menggunakan CRS yaitu mulai dari 29 persen (kecamatan Nagreg) sampai
dengan 39 persen (kecamatan Pacet). Secara umum total faktor produktivitas
Indeks Malmquist kinerja PNPM Mandiri Perdesaan selama periode 2009 hingga
2013 menunjukkan tren peningkatan sebesar 1.139.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga
partisipan menunjukkan variabel-variabel umur, pendidikan dan berpartisipasi
dalam kelembagaan pemberdayaan signifikan. Sementara kecenderungan anggota
rumah tangga untuk berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan dipengaruhi
oleh variabel-variabel jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha, dan tipe
kelembagaan yang diminati masyarakat.
Efek multiplier alokasi kegiatan ekonomi dapat menciptakan perluasan
tenaga kerja dan peningkatan ekonomi rumah tangga di perdesaan. Implikasi
spillover program pemberdayaan berupa pengetahuan, peningkatan kapasitas dan
keterampilan merupakan pintu masuk kebijakan dan strategi pembangunan
wilayah.
Kata Kunci: Data Envelopment Analysis (DEA), Efisiensi, Partisipasi,
Pemberdayaan masyarakat, Peningkatan pendapatan rumah
tangga perdesaan.
SUMMARY
IDA ZULFIDA. The Performance of Empowerment Program for Rural
Development (Case of National Program for Community Empowerment in Rural
Area in Bandung District, West Java). AKHMAD FAUZI as Chairman, ERNAN
RUSTIADI, and YUSMAN SYAUKAT Members of the Advisory Committee.
Bandung District is a strategic and potential region that closes to Bandung
City, the center of economic and governmental activities of West Java Province.
However, the neighborhood did not drive poverty alleviation in Bandung District
where poverty level was still relatively high. Amisdt ongoing programs conducted
by central and local government to reduce poverty level. One of those was as
known as National Program for Community Empowerment in Rural Area
(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan/ Rural PNPM
Mandiri). The background of this research came from weakness of the program,
i.e. target and focus. Budget allocation of Rural PNPM Mandiri tended to increase
from 2008 to 2014. However, poverty reduction in Bandung District was moving
slowly. Therefore, this research aimed to evaluate one of poverty reduction
program by optimizing Rural PNPM Mandiri.
The analysis method of this research was Data Envelopment Analysis
(DEA). This research explored program effectiveness by measuring related input
and output of the program on village and subdistrict data level. The evaluation
used Malmquist Index and covered efficiency and total factor productivity (TFP)
from 2009 to 2013. Linear regression analysis was conducted to explain affecting
variables on income of participating households in economic activities through
empowerment institution. Logit model analysis was conducted to describe the
correlation between empowerment and participation and then illustrated the
participatory pattern of household member in empowerment institution.
Based on constant returns to scale (CSR) assumption, DEA result showed
that performance of Rural PNPM Mandiri in Bandung District was mostly (64 per
cent) inefficient, i.e. in Cikancung, Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari, Nagreg
and Pacet Subdistricts. The improvement of efficiency should work on optimum
solution starting from 10 per cent of efficiency in Ibun Subdistrict to 61 per cent
of efficiency in Nagreg Subdistrict. Based on variable returns to scale (VRS)
assumption, the efficiency increased from 0.850 to 0.925 on the average. It
showed that subdistricts tended to be more efficient under VRS assumption
conducting Rural PNPM Mandiri program. Nagreg Subdistrict progressed from
low efficiency under CRS assumption (0.619) to efficient by assuming VRS. So
did Ibun Subdistrict, it progressed from 0.91 of efficiency score under CRS
assumption then to be efficient by assuming VRS. Overall, when CRS assumption
was applied, four subdistricts were fully efficient, while by applying VRS
assumption six of eleven sub districts reached full efficiency score (more than 50
per cent). This result indicated that in general all subdistricts conducting Rural
PNPM Mandiri inefficiently (TE was 0.850 by CRS; and TE was 0.925 by VRS).
Location among efficient subdistricts did not show spatial correlation of
neighborhood.
The inefficient Rural PNPM Mandiri on subdistrict level might come from
inefficiency of input usage, i.e. fund source. The inefficiency of budget allocation
under CSR assumption ranged from IDR 133 million in Ciwidey Subdistrict to
IDR 2.17 billion in Pacet Subdistrict. While under VRS assumption inefficiency
of fund allocation in the same subdistrict turned down starting from IDR 132.5
million to IDR 1.91 billion. This finding was different from Vennesland (2005)
who revealed that deficit and surplus of budget allocation in inefficient regions,
could be reallocated to the deficit one. The participation of community was shown
by usage and allocation of spillover fund in economic activities. By applying CRS
assumption, there were 6 sub districts (66.67 per cent) had achieved target
resulting output, and only four subdistricts had not reached target and resulted
output yet. The optimum solution was by increasing efficiency from 33 per cent in
Cikancung Subdistrict to 45 per cent in Pacet Subdistrict. By applying VRS
assumption, the was no change of subdistrict numbers that had not achieved target
yet. However, the increase of target achievement under VRS assumption was less
than CRS assumption, it started from 29 per cent in Nagreg Sub District to 39 per
cent in Pacet Subdistrict. In general, Malmquist Index of TFP for the performance
of Rural PNPM Mandiri from 2009 to 2013 showed increasing trend by 1.139.
The affecting factors such as age, education and participation in
empowerment institution variables of participating household showed significant
effect on the increased income. Participatory pattern was affected by number of
household member, employment, type of interesting institution.
The multiplier effect of economical activity allocation could create job
expansion and increase household economy in rural area. The spillover
empowerment program were knowledge, capacity and skill building, thus being
the entry pont for policy and strategy of regional development.
Keywords: Community Empowerment, Data Envelopment Analysis (DEA),
Efficiency, Increase of rural household income, Participation.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN
(Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung)
IDA ZULFIDA
NRP H162100131
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
2
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS
2. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS
2. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono
!1$-:1/$1*:!*!1 8-: )*:!*-$4--:
!1 !2-: 242:: - &1&:!1 !2-:
&:403!-:- 4-$:1/6&-2&:
7:13:
:4)# :
&2!35'4&: /)!%:
/*&2&:!+&,&-$:
!34:
1: 42*-:
:
$$/3:
&(!3%4&:/)!%:
!35:1/$1*:35 &:
)*4: !1!---: !*-$4--:
&)8%: -:!1 !2-:
1/": 1:1:*:-$:4. : :
-$$):'&-: !134340:
$42342:
-$$): & -$: 1/*/2&:
$42342:
-$$):4)42:
4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah pembangunan perdesaan dengan judul
Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus PNPM
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat), yang
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi MSc,
Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Dr Ir Yusman Syaukat MEc, selaku
pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan sejak awal penelitian
sampai dengan penulisan disertasi. Komisi pembimbing telah banyak memberikan
saran dan masukan, serta dukungan dan dorongan selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Prof Dr Ir Bambang Juanda MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Bapak Dr Ir Setia Hadi MS dan
Bapak Dr Ir Sugeng Budiharsono sebagai penguji pada ujian tertutup dan
sidang promosi.
2. Koordinator Kopertis Wilayah I Medan, atas kesempatan tugas belajar yang
diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan doktor.
3. Rektor Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Medan, yang telah
memberikan kesempatan tugas belajar pendidikan doktor.
4. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD)
Kabupaten Bandung Ibu Dra. Hj. Eros Roswita MSi, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bandung Bapak Diko, fasilitator kabupaten Bapak Ir Dedi Kusnadi,
Bapak Dadan Sundara dan kawan-kawan, serta Kasubdit PNPM Ditjen
Pemerintahan Daerah (PMD) Kemendagri Bapak Benni Irawan, yang telah
memberikan data dan informasi dalam penelitian ini.
5. Rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2010 atas kerjasama,
kebersamaan dan persahabatan yang terjalin.
6. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai
selesainya disertasi ini.
7. Orang tuaku terkasih, ayahanda (Alm) Drs. H OK Usman dan Ibunda Dra. Hj
Djadidah atas segala doa, kasih sayang, dan dorongan semangat yang selalu
menjadi inspirasiku.
8. Suami tercinta Ir H Emil Thahir MBA atas segala doa, cinta kasih, pengertian,
dan motivasi yang telah di berikan selama menjalani studi ini.
9. Anak-anakku tersayang Aliya Chairani Thahir, Amira Suhaila Thahir dan
Abdul Aziz Razaqa Thahir atas segala doa, pengertian dan kasih yang selalu
menjadi penyemangat dan pendorong penulis dalam menjalani studi ini.
Semoga karya ini menjadi motivasi bagi ananda untuk menjadi yang terbaik.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan para ahli yang
tercantum di dalam daftar pustaka, karna tanpa mereka ide dan tulisan ini tidak
akan ada. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi amal yang baik.
Bogor, Agustus 2015
Ida Zulfida
6
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
Ruang Lingkup Penelitian
7
Kebaruan Penelitian (Novelty)
8
TINJAUAN PUSTAKA
Pergeseran Paradigma Pembangunan
3.
1
9
9
Perekonomian Kewilayahan versus Perekonomian Nasional
10
Faktor Pengembangan Ekonomi Wilayah
11
Pembangunan Ekonomi Masyarakat
12
Konsep Pembangunan Ekonomi Masyarakat, Pemberdayaan,
dan Partisipasi
14
Pendekatan Partisipatif
15
Bentuk dan Tipe Partisipasi
17
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
18
Pembangunan Kawasan Perdesaan Partisipatif
19
Kelembagaan
22
Kelembagaan Desa
23
Tipe-tipe Organisasi
24
Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya
24
Kerangka Pemikiran
26
METODOLOGI PENELITIAN
29
Lokasi dan Waktu Penelitian
29
Tahapan Penelitian
29
Metode Penarikan Sampel
30
Sumber dan Jenis Data
31
Pendekatan dan Model Analisis Data
32
Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan
32
Mengukur Produktivitas Kinerja Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
4.
37
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan
Pendapatan Rumah Tangga yang Telah Berpartisipasi dan
Belum Berpartisipasi dalam Kelembagaan Pemberdayaan
40
Analisis Kecenderungan Masyarakat Berpartisipasi dalam
Program Pemberdayaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
41
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
43
Gambaran Umum Kabupaten Bandung
43
Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Bandung
43
Gambaran Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
45
Visi, Misi dan Tujuan PNPM Mandiri Perdesaan
45
Gambaran Umum Desa dan Responden
47
Karakteristik Responden Rumah Tangga Anggota Kelembagaan
Pemberdayaan (Participant)
49
Karakteristik Responden Rumah Tangga Belum Menjadi Anggota
Kelembagaan Pemberdayaan (Non Participant)
49
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan
Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan dalam Kegiatan Ekonomi
Produktivitas Kinerja Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perdesaan
51
51
57
61
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan
Rumah Tangga yang Telah Berpartisipasi dalam Kelembagaan
Pemberdayaan
66
Kecenderungan Rumah Tangga Berpartisipasi dan Faktor-faktor
yang Berpengaruh terhadap Kesediaan Partisipasi dalam
Kelembagaan pemberdayaan
70
Strategi Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan
6.
7.
74
IMPLIKASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM
PEMBANGUNAN PERDESAAN
77
Implikasi Kebijakan
79
KESIMPULAN DAN SARAN
82
Kesimpulan
82
Saran
82
DAFTAR PUSTAKA
84
LAMPIRAN
90
RIWAYAT HIDUP
119
DAFTAR TABEL
Hal
1.
Tipologi partisipasi
16
2.
Tujuan, model analisis, variabel, data dan output penelitian
31
3.
Data variabel input dan output dalam model efektifitas kinerja
PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
37
Kecamatan penerima alokasi dana bantuan langsung masyarakat
(BLM) di Kabupaten Bandung
47
Gambaran umum statistik variabel kecamatan-kecamatan yang
mendapat alokasi PNPM Mandiri Perdesaan
47
6.
Statistik deskriptif responden participant
49
7.
Statistik deskriptif responden non participant
50
8.
Total dana bantuan langsung masyarakat tahun 2008-2013
51
9.
Hasil perhitungan DEA skor efisiensi teknik (TE) dengan asumsi
CRS, VRS dan efisiensi skala (SE)
52
Alokasi optimal pendanaan PNPM Mandiri Perdesaan berdasarkan
hasil DEA
55
Hasil pengukuran dari DEA dengan skor efisisensi CRS, VRS dan
TE dalam kegiatan ekonomi alokasi dana PNPM Mandiri
Perdesaan, Kabupaten Bandung.
58
12.
Target output pendapatan optimal dengan Model DEA
60
13.
Target output tenaga kerja optimal dengan Model DEA
60
14.
Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun
63
15.
Indeks produktivitas malmquist per kecamatan
64
16.
Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpangaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan
67
Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpangaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan dan non partisipan
69
Hasil kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
program pemberdayaan
71
4.
5.
10.
11.
17.
18.
DAFTAR GAMBAR
Hal
1.
Modifikasi Shaffer Star of Community Economic Development
14
2.
Kerangka pemikiran
28
3.
Tahapan penelitian
29
4.
Metode penarikan sampel
30
5.
DEA frontier
33
6.
Ilustrasi model penelitian
36
7.
Peta lokasi penelitian Kabupaten Bandung
43
8.
Kontribusi sektoral terhadap total PBRB Kab Bandung, 2012
44
9.
Peta kecamatan efisien dan tidak Efisien dalam mengelola alokasi
PNPM di Kabupaten Bandung
54
10.
11.
Referensi kedekatan wilayah
Peta kecamatan efisien dan inefisien dalam kegiatan ekonomi
55
59
12.
Evolusi dari MI, EFFCH dan TECHCH dari tahun 2009-2013
61
13.
Peta pertumbuhan tahunan produktivitas kinerja PNPM Mandiri
Perdesaan di Kabupaten Bandung
63
14.
Perkembangan kinerja PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2009-2013
66
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1.
2.
3.
Hasil efisiensi kinerja PNPM MPd Kecamatan di Kabupaten Bandung
Hasil efisiensi kinerja PNPM MPd dalam kegiatan ekonomi
Hasil produktivitas kinerja PNPM-MPd Kecamatan di Kabupaten
Bandung Tahun 2009-2013
4. Hasil efisisensi kinerja PNPM-MPd Desa di Kabupaten Bandung 2013
5. Hasil skor efisiensi desa-desa yang mendapat alokasi dana PNPM MPd
di Kabupaten Bandung
6. Hasil perhitungan alokasi optimal alokasi dana PNPM MPd
7. Deskripsi responden rumah tangga sebagai anggota kelembagaan
pemberdayaan (participant)
8. Hasil olah data primer terhadap perubahan peningkatan pendapatan
rumah tangga partisipan
9. Deskripsi responden rumah tangga non participant
10. Hasil olah data primer terhadap kecenderungan berpartisipasi pada
rumah tangga non partisipan
11. Capaian hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Bandung
tahun 2013
90
92
95
96
99
101
104
106
108
112
114
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak awal era reformasi, Indonesia telah memulai pendekatan baru dalam
kebijakan pembangunan perdesaan. Sebelumnya, pendekatan sentralistik yang
diterapkan lebih menekankan pada kepentingan-kepentingan makro seperti
peningkatan product domestic bruto (PDB) dan pertumbuhan yang ternyata tak
diiringi dengan pengurangan kemiskinan. Meski pendekatan tersebut memiliki
keunggulan dalam hal manajemen dan kontrol, namun tidak dapat menyelesaikan
masalah pada level mikro dan memiliki kelemahan karena telah mengunci
partisipasi lokal (Besley dan Coate, 2003). Pendekatan sentralistik dengan top
down strategy juga memperlebar kesenjangan daerah antar wilayah, terutama
wilayah perkotaan dan perdesaan (Demaziere et al. 1995; Baylis dan Smith,
2005; Baudrilliard, 2011).
Menyadari akan adanya kelemahan dari konsep pembangunan
sebelumnya, muncul pemikiran beberapa ahli ekonomi untuk melengkapi
kekurangan teori ini dengan mengembangkan teori alternatif baru. Saat ini
desentralisasi hadir melengkapi pendekatan sentralistik. Dengan bottom up
strategy sebagai suatu model yang berperan dalam pembangunan pada tingkat
lokal dan perdesaan. Kondisi tersebut telah menunjukkan pergeseran paradigma
pembangunan perdesaan dari holistik ke lokalitas dan lebih menekankan pada
proses induktif (Mohan dan Stokke, 2000). Pendekatan bottom up merupakan
pembangunan yang bertumpu pada manusia (people centered), partisipasi,
pemberdayaan dan keberkelanjutan (Chambers, 1983; Schenck dan Louw, 1995).
Salah satu alternatif yang kini dikembangkan adalah yang dipelopori oleh Shaffer
dan kawan kawan (2004) mengenai Community economics yang menjadi dasar
pembangunan perdesaan diberbagai negara seperti di China dan negara
berkembang lainnya. Community economics dan juga pembangunan perdesaan
merupakan pendekatan yang multifaset dan komprehensif terhadap perubahan
masyarakat yang menyangkut aspek sosial, norma, sumber daya (sumber daya
alam, manusia, man made capital) dan juga aspek pasar dan pengambilan
keputusan ditingkat lokal (Fauzi, 2010).
Di Indonesia, desentralisasi diharapkan dapat menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi penegakan kebijakan pembangunan ekonomi pada tingkat
lokal dan perdesaan. Perubahan sistem pemerintahan ini diatur dalam Undang
Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini memberikan kesempatan
bagi daerah untuk dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan
di daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Masyarakat diberdayakan untuk berpartisipasi dan memegang peranan penting
sebagai pelaku utama pembangunan untuk turut serta merencanakan,
melaksanakan, dan mengawasi jalannya pembangunan di daerah mereka.
Mengapa pemberdayaan? Konsep pemberdayan ini muncul karena adanya
kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya modelmodel pembangunan ekonomi dalam menaggulangi masalah kemiskinan dimasa
lalu. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang
2
memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, pertumbuhan ekonomi
yang memadai (Friedmann, 1992). Pembangunan ekonomi dalam konsep
pemberdayaan masyarakat merangkum nilai-nilai sosial yang selalu disertai
dengan partisipasi (Abbot, 1995; Prato et al. 2012) Kedua konsep ini dapat
digunakan sebagai strategi ganda untuk pembangunan yang berpusat kepada
peningkatan kapasitas masyarakat (Samah dan Aref, 2009). Dari perspektif ini,
dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk pembangunan ditingkat lokal dan
perdesaan melalui pendekatan bottom up.
Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah mengesampingkan
peran dan posisi masyarakat. Orientasi yang bersifat supply driven inilah yang
berusaha dirubah dengan meletakkan masyarakat pada sentral pusaran dalam
pembangunan, sedangkan dimensi-dimensi pembangunan lainnya antara lain
ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan dan lainnya, berperan
sebagai pendukung realisasi eksistensi masyarakat. Dalam konsep ini, masyarakat
tidak hanya ditempatkan sebagai tujuan atau objek utama pembangunan tetapi
juga menjadi pemeran utama dan kontribusinya akan menentukan keberhasilan
pembangunan itu sendiri. Kapasitas masyarakat menjadi prioritas utama,
maknanya kinerja pembangunan dinilai berjalan baik apabila telah dapat
meningkatkan kapasitas masyarakat. Korten (1990) Solomon (1976); Staples
(1990), mengemukakan bahwasanya pembangunan melalui pemberdayaan
merupakan proses pengembangan kapasitas personal dan institusional
(kelembagaan) untuk dapat memobilisasi dan mengelola sumber daya yang
dimiliki guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Dalam peningkatan kapasitas ini pemerintah membuat kebijakan
makro dengan meluncurkan program program yang bertujuan dalam pengurangan
kemiskinan di Indonesia yang umumnya bermukim di perdesaan.
Kondisi riil dilapangan menggambarkan masyarakat perdesaan sebagai
suatu kelompok masyarakat yang sebagian besar bertumpu pada aktivitas berbasis
sumber daya alam baik pertanian dalam arti luas maupun perikanan. Akan tetapi,
keunggulan komparatif (comparative advantage) masyarakat perdesaan itu tidak
menjadikan perdesaan tumbuh sejajar dengan perkotaan. Ada hal-hal yang
menyebabkan sulitnya perdesaan mensejajarkan posisinya dengan perkotaan
antara lain terletak pada kualitas sumber daya manusia dan ketersediaan
infrastruktur. Kualitas sumber daya manusia di perdesaan mengalami
perkembangan yang lambat. Terjadi kecenderungan adanya urbanisasi masyarakat
perdesaan menuju perkotaan yang tidak hanya dilakukan oleh sumber daya
manusia berkualitas rendah, namun juga dilakukan oleh manusia dengan sumber
daya yang berkualitas cukup tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan masalah
infrastruktur perdesaan yang terbatas dan tidak memberikan ruang gerak lebih
luas bagi sumber daya manusia perdesaan berkualitas untuk mengekspresikan
kemampuannya (Rustiadi dan Pranoto, 2007).
Pemerintah telah melakukan upaya-upaya dalam rangka pengurangan
masyarakat miskin dengan meluncurkan program-program mulai dari masa orde
baru. Pada tahun 1994, pemerintah telah meluncurkan Program Inpres Desa
Tertinggal. Kemudian dilanjutkan dengan program-program sejenis lainnya yaitu,
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan Departemen Dalam
Negeri, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) yang
dilaksanakan Departemen Pertanian, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
3
(PEMP) yang dilaksanakan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kelompok
Usaha Bersama (KUBE) yang dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain.
Ironisnya, misi pemberdayaan yang dijalankan justru membuat kelompok
masyarakat semakin tidak berdaya. Hadi (2008) serta Priadana et al. (2010),
menyatakan bahwa program-program tersebut berjalan sendiri-sendiri menurut
kebijakan departemen yang bersangkutan, tidak terintegrasi, parsial dan sektoral.
Hal lain yang menyebabkan kegagalan program-program pemberdayaan yaitu
tidak adanya pendekatan yang tepat dan integral sehingga mampu menjamin
sustainabilitas. Peran institusi atau kelembagaan merupakan suatu kebutuhan
(Rubin dan Rubin, 1986).
Program ini kemudian diubah menjadi program yang lebih spesifik dengan
orientasi kepada peningkatan dan perluasan program pro-rakyat (Bappenas,
2012). Program-program ini sepenuhnya bertujuan untuk penanggulangan
kemiskinan melalui peningkatan kapasitas masyarakat dan perluasan penyerapan
tenaga kerja.
Saat ini pemerintah Indonesia telah meluncurkan program pemberdayaan
perdesaan sejak tahun 2007 melalui berbagai kegiatan. Di antara programprogram pemberdayaan lainnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) yang berbasis komunitas/masyarakat merupakan program unggulan
yang dilaksanakan (World Bank, 2012). Program ini merupakan pengembangan
dari Program Pengembangan Kecamatan atau PPK yang telah berdiri sejak tahun
1998. PNPM ditujukan untuk memberikan peluang pekerjaan, pembangunan
ekonomi lokal, membuka isolasi perdesaan dan untuk peningkatan kapasitas lokal
atau pemberdayaan. Salah satu program unggulan dan paling populer dari
perspektif pedesaan adalah PNPM Mandiri Perdesaan.
Pemerintah telah
mengalokasikan sebesar Rp64,87 triliun untuk pelaksanaan program ini. Program
ini telah manjangkau 5.300 kecamatan, 401 kabupaten di 33 provinsi di Indonesia.
Kegiatan dalam program pemberdayaan ini meliputi pembangunan infrastruktur
dan penyaluran dana bergulir kepada kaum perempuan untuk peningkatan
perekonomian rumah tangga melalui program Simpan Pinjam Perempuan (SPP)
dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) untuk masyarakat umum.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mendapat alokasi
anggaran PNPM Mandiri Perdesaan. Jumlah penduduknya yang paling besar di
pulau jawa serta wilayah perdesaan yang luas dan banyak dapat mewakili
permasalahan-permasalahan di perdesaan pada umumnya. Provinsi ini paling
unggul dalam pemanfaatan PNPM Mandiri Perdesaan. Kabupaten Bandung
adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mendapat alokasi
PNPM
Mandiri Perdesaan sejak tahun 2008.
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan secara umum telah mendorong
terciptanya perangkat sistem sosial yang bersifat dinamis. Sistem sosial yang
dibangun oleh PNPM Mandiri Perdesaan memungkinkan warga desa memperoleh
peningkatan kapasitas tidak hanya dalam bentuk kursus dan pelatihan, tetapi juga
membiasakan cara berfikir dan cara betindak bagi warga desa ketika mereka
manjalankan peranannya masing-masing di dalam pelaksanaan program.
Masyarakat dibiasakan memperoleh pengalaman nyata menjalankan sebuah
proses pembangunan desa yang bersifat partisipatif.
Dalam pelaksanaan membuktikan keunggulan perencanaan partisipatif
belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Khususnya di Kabupaten Bandung,
4
pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat belum mampu sepenuhnya
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola kegiatan pembangunan
desa. Tingkat partisipasi dan swadaya masyarakat cukup tinggi dibeberapa
wilayah kecamatan, namun di sebagian lainnya masih rendah. Kelemahan PNPM
Mandiri Perdesaan lainnya adalah menyangkut aspirasi masyarakat dan keputusan
pemerintah yang cenderung belum sejalan. Hal ini dibuktikan dengan belum
adanya keputusan pembangunan yang harmonis dan saling mendukung
dikarenakan perencanaan pembangunan yang belum terpadu. Pelaksanaan
program masih berorientasi pada penguatan kapasitas masyarakat, belum
sepenuhnya mengarah pada peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Kelemahan
target dan fokus program ini menjadi salah satu kendala pada tujuan program
dalam pengurangan angka kemiskinan penduduk.
Pada tahun 2010 tingkat kemiskinan di Kabupaten Bandung mencapai
296.300 orang dan pada tahun 2012 menjadi 292.200 orang. Masih relatif
tingginya tingkat kemiskinan merupakan persoalan mendasar di Kabupaten
Bandung. Tingkat kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) di
Kabupaten Bandung selama periode 2007-2011 mengalami sedikit penurunan
dimana pada tahun 2011 tingkat kedalaman kemiskinan (P1) adalah sebesar 1.72
persen dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) sebesar 0.50 persen. Keadaan ini
menunjukkan bahwasanya tingkat kesenjangan dan penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin di Kabupaten Bandung jika dibandingkan dengan
Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 1.72 persen untuk indeks kedalaman
kemiskinan (P1), dan 0.43 persen untuk indeks keparahan kemiskinan (P2).
Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) menggambarkan semakin
tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin, dari data di atas dapat
disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin di
Kabupaten Bandung sebesar 0.50 lebih tinggi dari rata-rata Propinsi Jawa Barat
sebesar 0.43.
Masalah perekonomian mendasar yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat juga terlihat dari jumlah pengangguran. Tahun 2010 tingkat
pengangguran di Kabupaten Bandung mencapai 123.453 orang dengan angkatan
kerja sebesar 1.332.373 orang. Data terakhir dari BPS yang diterima Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bandung pada akhir tahun 2013
menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran sebesar 150.000 orang dengan
jumlah angkatan kerja sebesar 2 juta orang. Peningkatan jumlah pengangguran
akan berdampak terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. Sementara
peningkatan angkatan kerja dalam jangka menengah sebaiknya diikuti dengan
peningkatan penyerapan tenaga kerja. Namun yang terjadi adalah perlambatan
penyerapan tenaga kerja sedangkan dari supply tenaga kerja meningkat. Oleh
karena itu, solusi pengembangan ekonomi masyarakat harus dimulai dari
penciptaan lapangan kerja pada tingkat lokal atau perdesaan melalui programprogram pemberdayaan baik dari pemerintah maupun lokal.
Perumusan Masalah
Pemberdayaan ekonomi masyarakat bertujuan meningkatkan kapasitas
masyarakat melalui perluasan penyerapan tenaga kerja. Bagaimana meningkatkan
5
kapasitas tersebut sehingga masyarakat mampu mengelola potensi-potensi yang
dimiliki secara optimal? Salah satu kendala adalah kemampuan masyarakat
mengakses segala hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan
kemampuan ekonomi mereka dan iklim yang kondusif dalam aktivitas produksi
atau pekerjaan mereka. Akses tersebut berhubungan dengan akses terhadap
sumber daya ekonomi seperti modal, lokasi usaha atau lahan, informasi pasar,
teknologi, serta sarana dan prasarana produksi lainnya. Keterbatasan terhadap
aspek-aspek sosial ekonomi diatas menjadi penghambat peluang masyarakat
untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya.
Menurut Wiranto dan Tarigan (2009) hal ini dapat ditelusuri dari
rendahnya tingkat penghasilan masyarakat yang belum menunjukkan dinamika
yang cukup berarti. Kondisi Kabupaten Bandung yang menjadi fokus daerah
dalam penelitian ini adalah kenaikan tingkat pendapatan per kapita masih belum
mampu bersaing dengan tingkat pendapatan per kapita kabupaten/kota lainnya
yang ada di Jawa Barat. Hal ini dapat kita lihat dari data pendapatan per kapita
Kabupaten Bandung pada tahun 2005 sebesar Rp. 9.010.200,00 dan terus
meningkat pada tahun 2008 sebesar Rp. 12.457.600.00 dan pada tahun 2011
sebesar Rp. 15.554.800,00. Meskipun trend pendapatan perkapita di Kabupaten
Bandung terus meningkat dari tahun ke tahunnya namun posisinya masih di
bawah rata-rata pendapatan perkapita Provinsi Jawa Barat. Pendapatan perkapita
propinsi Jawa Barat tahun 2005 sebesar Rp. 9.824.500,00, tahun 2008 sebesar
Rp. 14.359.900,00 dan pada tahun 2011 sebesar Rp. 18.803.300,00. Rendahnya
tingkat pendapatan perkapita masyarakat melengkapi masih relatif tingginya
tingkat kemiskinan.
Sebagai kabupaten yang mendapat alokasi dana PNPM Mandiri
Perdesaan, kecamatan-kecamatan yang mendapat alokasi anggaran juga sebagai
pusat kekuasaan. Mereka memiliki kewenangan penuh untuk menyelaraskan
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program. Keputusan untuk
mengembangkan kebijakan khusus untuk menyampaikan program ini di tangan
masyarakat. Dengan kata lain PNPM Mandiri Perdesaan adalah program yang
berpusat pada pembangunan komunitas/masyarakat (Schenck dan Louw, 1995).
PNPM Mandiri Pedesaan memegang nilai universal hak asasi manusia, kearifan
lokal dan budaya, proses berpartisipasi dan mengakomodasi pengetahuan lokal
dan karakteristik lokal. Selain itu, PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan berfungsi
sebagai pelatihan bagi masyarakat.
Kabupaten Bandung telah aktif menjalankan PNPM Mandiri Perdesaan
dan telah melibatkan 13 kecamatan. Program ini melanjutkan PPK yang telah
berjalan sejak tahun 1998. Di antara 13 kecamatan, dua dari kecamatan tersebut
phaseout, dan telah beralih ke PNPM Mandiri Perkotaan. Total dana bantuan
langsung masyarakat (BLM) yang telah diluncurkan di Kabupaten Bandung tahun
2008 sampai dengan tahun 2013 sebesar Rp108.75 Milyar yang bersumber dari
APBN Rp90.9 Milyar dan APBD Rp17.85 Milyar dengan kontribusi swadaya
masyarakat sebesar Rp4.46 Milyar. Jumlah pemanfaat hasil kegiatan mencapai
1.184.318 orang diantaranya 53.4 persen anggota rumah tangga miskin.
Alokasi dana anggaran PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
memiliki kecenderungan meningkat pada setiap tahunnya, namun jika kita lihat
dari sudut perlambatan pengurangan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten
Bandung, menunjukkan adanya masalah yang harus di atasi dalam pelaksanaan
6
program ini. Data audit tahun anggaran 2013 PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Bandung telah mengidentifikasi beberapa temuan antara lain: (1)
kegiatan peningkatan kapasitas kelompok belum memberi manfaat secara optimal
kepada masyarakat; (2) tunggakan kategori macet dalam pengelolaan kegiatan
SPP; (3) kurang opimalnya Tim Pemelihara; (4) terdapat pengeluaran yang tidak
didukung bukti pengeluaran yang cukup; (5) beberapa pekerjaan ada yang belum
selesai/sempurna; (6) BLM untuk kegiatan SPP tidak sampai seluruhnya kepada
yang berhak; (7) adanya kegiatan pengalihan dana SPP yang tidak sesuai dengan
ketentuan; dan (8) kegiatan pemeliharaan prasarana yang kurang memadai.
Uraian diatas menunjukkan, ada permasalahan mendasar yakni terkait
efektivitas program yang diluncurkan pemerintah tersebut, antara lain dalam
pembangunan ekonomi lokal menggunakan dana publik yang harus didasarkan
pada “money well spent”. Kelemahan target dan fokus program menjadi salah
satu gejala yang dapat terlihat. Dengan demikian evaluasi terhadap kinerja
program-program pemberdayaan sangat penting.
Selain itu sebagaimana diuraikan terdahulu pemberdayaan melibatkan
peran serta masyarakat sehingga perlu pula diketahui seberapa besar peran atau
partisipasi masyarakat dalam konteks pemberdayaan maupun pembangunan
ekonomi masyarakat pada tingkat lokal dan perdesaan. Partisipasi merupakan
salah satu variabel penting dalam peningkatan pendapatan masyarakat. Oleh
karena kegiatan ekonomi yang meningkatkan pendapatan membutuhkan
partisipasi aktif dari pelaku ekonomi, maka keterkaitan antara pemberdayaan,
partisipasi dan pendapatan menjadi sangat kuat. Dana BLM yang tidak sampai
kepada yang berhak serta pengalihan dana SPP yang tidak sesuai ketentuan
menyebabkan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan
ekonomi. Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Program pemberdayaan yang diluncurkan pemerintah belum efektif,
khususnya di Kabupaten Bandung.
2. Program pemberdayaan berdampak terhadap pendapatan rumah tangga
yang telah bergabung (partisipan) dan rumah tangga yang belum
bergabung (non partisipan).
3. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan masyarakat
berpartisipasi dalam program pemberdayaan.
4. Belum ada strategi pemberdayaan yang tepat untuk perbaikan program
dalam pembangunan perdesaan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pertanyaan penelitian yang dicoba
dijawab dalam disertasi ini adalah:
1. Seberapa efektifkah program pemberdayaan yang diluncurkan
pemerintah, khususnya di daerah penelitian ini?
2. Bagaimana dampak program pemberdayaan terhadap pendapatan
masyarakat partisipan, khusunya program pemberdayaan PNPM
Mandiri Perdesaan, program pemberdayaan lainnya dan non
partisipan?
3. Bagaimana kecenderungan partisipasi masyarakat dalam program
pemberdayaan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?
7
4. Bagaimana strategi pemberdayaan yang tepat sehingga dapat
mendorong pembangunan perdesaan?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat pembangunan
ekonomi lokal di Kabupaten Bandung. Namun secara khusus tujuan penelitian ini
dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Mengevaluasi kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan
rumah tangga yang telah berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan.
3. Menganalisis kecenderungan rumah tangga dalam mengambil keputusan
untuk berpartisipasi pada kelembagaan pemberdayaan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
4. Menyusun strategi pemberdayaan dalam mendorong pembangunan perdesaan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa bahan masukan
bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait khususnya bidang perencanaan
pembangunan wilayah dan perdesaan yang didasarkan pada pembangunan
ekonomi masyarakat tingkat lokal di Kabupaten Bandung. Temuan penelitian ini
akan berguna dalam membantu lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunan pedesaan menjadi lebih fokus dalam merekrut rumah tangga
sasaran dan dapat mencapai partisipasi yang lebih tinggi. Mengembangkan konsep
pembangunan ekonomi masyarakat melibatkan partisipasi masyarakat dan
kegiatan ekonomi produktif di perdesaan melalui pemberdayaan masyarakat
sehingga mendiri dan berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Kabupaten Bandung Provinsi Jawa
Barat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat secara umum pola pembangunan
perdesaan di Kabupaten Bandung. Secara khusus, ingin melihat peran
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat lokal dalam penguatan kapasitas
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Desa dan perluasan kesempatan
kerja bagi masyarakat perdesaan. Dalam penelitian ini juga ingin melihat konsep
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat dari aspek partisipasi dan
pengembangan ekonomi produktif di perdesaan melalui pemberdayaan
masyarakat. Lembaga pemberdayaan yang ditelaah adalah PNPM Mandiri
Perdesaan di Kabupaten Bandung.
8
Kebaruan Penelitian (Novelty)
Evaluasi dan analisis program-program pembangunan perdesaan melalui
program pemberdayaan selama ini hanya dilakukan secara kualitatif tanpa
memberikan umpan balik terhadap efisiensi penggunaan input yang dibutuhkan
untuk menjalankan program pemberdayaan tersebut. Penelitian ini merupakan
yang pertama dilakukan di Indonesia yang menggunakan pendekatan
kuantitatif melalui teknik Data Envelopment Analysis, yang mencakup efisiensi
dan total faktor produktivitas dari Kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Bandung mulai tahun 2009-2013. Dalam penelitian ini diketahui
seberapa besar efisiensi penggunaan input dan produktivitas kinerja program
dalam menjalankan program pemberdayaan. Sudah ada penelitian mengenai
pemberdayaan dan partisipasi, namun penelitian ini yang pertama menganalisis
hubungan pemberdayaan dan kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi
merupakan tandem yang tepat dalam program PNPM Mandiri Perdesaan secara
kuantitatif. Analisis ini penting karena akan memberikan masukan kepada
pengambil kebijakan dalam menentukan kriteria masyarakat dalam programprogram pemberdayaan.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pergeseran Paradigma Pembangunan
Teori pembangunan selalu berkembang dan mengalami koreksi, sehingga
terjadi perubahan tentang sesuatu yang dianggap benar dan baik di dalam proses
pembangunan. Dari pelajaran dan pengalaman, terjadi perubahan pemahaman
nilai-nilai kehidupan dan teknologi atau cara analisis baru, sampai kemudian hal
tersebut dianggap salah atau tidak baik. Inilah yang disebut pergeseran paradigma
atau lahirnya paradigma baru.
Kuhn (1970) dalam Rustiadi (2001) menyatakan pengertian paradigma
yaitu perkembangan waktu, pengalaman manusia, perkembangan ilmu dan
teknologi menyebabkan semakin luasnya ruang pengetahuan yang pertama.
Perkembangan ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan paradigma,
termasuk paradigma pembangunan. Secara historik sebagai suatu permasalahan
pembangunan, kajian mengenai pengembangan wilayah dimulai dari timbulnya
kesadaran akan masalah-masalah ketidakseimbangan pembangunan secara spasial,
khususya disparitas pembangunan antar wilayah, masalah aglomerasi berlebihan
di beberapa wilayah tertentu dan menurunnya jumlah penduduk serta daya tarik
perdesaan.
Pada masa sesudah Perang Dunia II tingkat Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) merupakan indikator yang sangat praktis dipakai untuk mengukur tingkat
perkembangan pembangunan. Pada waktu itu orang berpendapat bahwa dalam
pembangunan, istilah „kue‟ nya perlu diperbesar dahulu, baru kemudian di bagi
rata. Maksudnya adalah bahwa pembangunan identik dengan pertumbuhan
ekonomi sebagai prioritas. Diharapkan dalam pembangunan otomatis akan terjadi
trickle down effect (efek menetes ke bawah) setelah mencapai tingkat PDB
tertentu. Pembangunan akan tercapai dengan sendirinya apabila suatu negara
telah terbebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi, kemudian
berkembang melalui industrialisasi. Konsep temuan Simon Kuznets (1966) yang
merupakan The First Fundamental Theorm of Welfare Economics, menyatakan
bahwa kurva U-terbalik bagi Negara yang berpendapatan rendah bertumbuhnya
perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade of antara pertumbuhan dan
pemerataan). Secara teoritik, polemik pemilihan antara pertumbuhan dan
pemerataan relatif terselesaikan dengan lahirnya The Second Fundamental
Theorm of Welfare Economics (Rustiadi, 2001).
Todaro dan Smith (2011) dengan tegas menyatakan bahwa industrialisasi
menyebabkan ketergantungan negara berkembang semakin besar terhadap negara
asing, disintegrasi dan pengasingan sosial serta penekanan terhadap penduduk.
Keadaan ini dikarenakan ada unsur elit negara yang menjadi agen dari
kepentingan investasi-investasi asing. Pendekatan pembangunan dari atas
(development from above) kemudian bergeser dalam konteks pembangunan di
negara-negara berkembang dan dunia ketiga menjadi pendekatan pembangunan
dari bawah (development from below). Menurut Supriyadi (2007) pembangunan
dari bawah secara konsep lebih kuat karena wilayah kecil mengelola sumber
dayanya (resources) secara mandiri dan disintegrasi dengan wilayah lainnya
sehingga memungkinkan pembangunan lokal bisa membangun wilayahnya
sendiri.
10
Pergeseran paradigma pembangunan ini menuntut kerangka perencanaan
pembangunan secara spasial. Kebijaksaan pembangunan berwawasan spasial itu
harus dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan
peningkatan partisipasi dan produktivitas masyarakat: (1) bagaimana mendorong
partisipasi masyarakat, terutama keluarga berpendapatan rendah dalam proses
pembangunan, (2) bagaimana dapat menciptakan kegiatan perekonomian antar
sektor ditingkat perdesaan, dan (3) bagaimana dapat menyusun perencanaan dan
program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat perdesaan.
Partisipasi anggota masyarakat dalam pembangunan perdesaan merupakan
aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban
dan berkontribusi dalam implementasi program yang dilaksanakan. Anggaran
pemerintah yang tersedia adalah relatif terbatas sedangkan program yang
dibutuhkan jumlahnya relatif banyak, maka peningkatan partisipasi masyarakat
perlu dilakukan untuk menunjang implementasi pelaksanaan program.
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan
masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian
hasil pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat perdesaan. pemberdayaan
masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat
perdesaan secara lebih efektif dan efisien, baik dari (1) aspek masukan atau input
meliputi sumber daya manusia, dana, sarana dan prasarana, data, rencana serta
teknologi; (2) dari aspek proses meliputi pelaksanaan, monitoring dan
pengawasan; (3) dari aspek keluaran atau output meliputi pencapaian sasaran,
efektivitas dan efisiensi.
Efektivitas dapat diartikan sebagai rasio antara realisasi dengan target yang
telah direncanakan. Apabila rasio tersebut lebih besar dari satu berarti efektif, dan
sebaliknya apabila rasio tersebut lebih kecil dari sati maka tidak efektif. Efisiensi
d
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN
(Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung)
IDA ZULFIDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keragaan Program
Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan
di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat), adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Ida Zulfida
NRP H-162100131
RINGKASAN
IDA ZULFIDA. Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan
Perdesaan (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi
Jawa Barat). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ERNAN RUSTIADI, dan
YUSMAN SYAUKAT.
Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang strategis dan potensial.
Posisi Kabupaten Bandung bersebelahan langsung dengan Kota Bandung yang
menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan di Jawa Barat. Namun kedekatan
wilayah tersebut belum efektif menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten
Bandung yang relatif masih tinggi. Berbagai program baik dari pemerintah
maupun yang bersifat lokal sudah digalakkan untuk menurunkan tingkat
kemiskinan. Salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan. Masalah yang menjadi isu dalam penelitian ini
adalah adanya kelemahan target dan fokus yang ditandai dengan semakin
meningkatnya alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan mulai dari tahun 2008
hingga 2014, namun ada kecenderungan terjadinya perlambatan penurunan tingkat
kemiskinan di Kabupaten Bandung. Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah
evaluasi terhadap kinerja program sebagai salah satu cara pengurangan tingkat
kemiskinan dengan peningkatan pendapatan dan partisipasi masyarakat di
perdesaan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment
Analysis (DEA). Penelitian ini mengeksplorasi efektivitas program yang diukur
dari input dan output yang terkait dengan program pemberdayaan dengan
menggunakan data di kecamatan dan desa. Evaluasi ini meliputi efisiensi dan total
faktor produktivitas Indeks Malmquist yang diukur selama periode 2009 hingga
2013. Metode analisis regresi linier digunakan untuk melihat variabel-variabel
yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah
berpartisipasi dengan kelembagaan pemberdayaan dalam kegiatan ekonomi.
Selanjutnya untuk melihat kaitan pemberdayaan dengan partisipasi maka model
analisis logit digunakan untuk melihat kecenderungan anggota rumah tangga
untuk berpartisipasi dalam lembaga pemberdayaan.
Hasil analisis DEA dengan asumsi constan return to scale (CSR)
menunjukkan bahwa kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
sebagian besar (64 persen) menunjukkan inefisiensi pada kecamatan Cikancung,
Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari, Nagreg dan Pacet. Cara mengatasi inefisiensi
penyelenggaraan program yaitu dengan melakukan solusi optimal dengan upaya
peningkatan efisiensi mulai dari 10 persen untuk Kecamatan Ibun sampai 61
persen untuk Kecamatan Nagreg. Hasil analisis dengan menggunakan asumsi
variable retutn to scale (VRS) menunjukkan ada sedikit peningkatan dalam skor
efisiensi dengan rata-rata 0,850-0,925. Ini berarti bahwa dengan asumsi VRS
kecamatan cenderung semakin efisien dalam menjalankan program PNPM.
Kecamatan seperti Nagreg yang sebelumnya memiliki skor efisiensi yang rendah
dengan asumsi CRS (0,619) telah mencapai efisien dengan asumsi VRS.
Kecamatan Ibun dengan asumsi CRS memiliki skor 0,91, menjadi efisien dengan
asumsi VRS. Secara keseluruhan, jika dengan asumsi CRS hanya empat
kecamatan yang memiliki nilai efisien penuh, dengan VRS terdapat enam dari
sebelas kecamatan memiliki skor efisiensi penuh (lebih dari 50 persen). Namun
hasil tersebut masih menunjukkan bahwa pada umumnya semua kecamatan masih
kurang efisien dalam menjalankan program PNPM (TE 0.850 dan 0.925 TE
kurang dari 1 pada asumsi CRS dan VRS). Namun secara spasial letak antar
kecamatan yang efisien juga tidak menunjukkan adanya hubungan kedekatan
wilayah.
Kecamatan-kecamatan yang inefisiensi dalam kinerja program PNPM
Mandiri Perdesaan, dapat disimpulkan menggunakan komponen input tidak
optimal, yaitu sumber dana. Dengan asumsi CRS terjadi inefisiensi anggaran
mulai dari Rp 133 juta di Kecamatan Ciwidey hingga Rp 2,17 miliar di
Kecamatan Pacet. Sementara dengan menggunakan asumsi VRS inefisiensi dapat
ditekan mulai dari 132,5 juta sampai 1.91 miliar di kecamatan yang sama.
Temuan ini berbeda dengan Vennesland (2005) dimana dijumpai kelebihan dan
kekurangan alokasi anggaran di daerah-daerah yang tidak efisien sehingga
kelebihan dana pada satu wilayah dapat direalokasikan pada wilayah yang
kekurangan dana. Partisipasi masyarakat ditujukkan dengan penggunaan alokasi
dana bergulir dalam kegiatan ekonomi. Dengan asumsi CRS terdapat enam
kecamatan (66,67 persen) yang telah mencapai target dalam menghasilkan output,
dan hanya empat kecamatan saja yang belum mencapai target. Solusi optimal
untuk kecamatan yang belum mencapai target adalah meningkatkan pencapaian
mulai dari 33 persen (kecamatan Cikancung) sampai dengan 45 persen
(kecamatan Pacet). Dengan menggunakan asumsi VRS jumlah kecamatan yang
mencapai target dan yang belum mencapai target juga dalam posisi yang sama,
namun peningkatan pencapaian pada asumsi VRS ini lebih kecil dibandingkan
dengan menggunakan CRS yaitu mulai dari 29 persen (kecamatan Nagreg) sampai
dengan 39 persen (kecamatan Pacet). Secara umum total faktor produktivitas
Indeks Malmquist kinerja PNPM Mandiri Perdesaan selama periode 2009 hingga
2013 menunjukkan tren peningkatan sebesar 1.139.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga
partisipan menunjukkan variabel-variabel umur, pendidikan dan berpartisipasi
dalam kelembagaan pemberdayaan signifikan. Sementara kecenderungan anggota
rumah tangga untuk berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan dipengaruhi
oleh variabel-variabel jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha, dan tipe
kelembagaan yang diminati masyarakat.
Efek multiplier alokasi kegiatan ekonomi dapat menciptakan perluasan
tenaga kerja dan peningkatan ekonomi rumah tangga di perdesaan. Implikasi
spillover program pemberdayaan berupa pengetahuan, peningkatan kapasitas dan
keterampilan merupakan pintu masuk kebijakan dan strategi pembangunan
wilayah.
Kata Kunci: Data Envelopment Analysis (DEA), Efisiensi, Partisipasi,
Pemberdayaan masyarakat, Peningkatan pendapatan rumah
tangga perdesaan.
SUMMARY
IDA ZULFIDA. The Performance of Empowerment Program for Rural
Development (Case of National Program for Community Empowerment in Rural
Area in Bandung District, West Java). AKHMAD FAUZI as Chairman, ERNAN
RUSTIADI, and YUSMAN SYAUKAT Members of the Advisory Committee.
Bandung District is a strategic and potential region that closes to Bandung
City, the center of economic and governmental activities of West Java Province.
However, the neighborhood did not drive poverty alleviation in Bandung District
where poverty level was still relatively high. Amisdt ongoing programs conducted
by central and local government to reduce poverty level. One of those was as
known as National Program for Community Empowerment in Rural Area
(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan/ Rural PNPM
Mandiri). The background of this research came from weakness of the program,
i.e. target and focus. Budget allocation of Rural PNPM Mandiri tended to increase
from 2008 to 2014. However, poverty reduction in Bandung District was moving
slowly. Therefore, this research aimed to evaluate one of poverty reduction
program by optimizing Rural PNPM Mandiri.
The analysis method of this research was Data Envelopment Analysis
(DEA). This research explored program effectiveness by measuring related input
and output of the program on village and subdistrict data level. The evaluation
used Malmquist Index and covered efficiency and total factor productivity (TFP)
from 2009 to 2013. Linear regression analysis was conducted to explain affecting
variables on income of participating households in economic activities through
empowerment institution. Logit model analysis was conducted to describe the
correlation between empowerment and participation and then illustrated the
participatory pattern of household member in empowerment institution.
Based on constant returns to scale (CSR) assumption, DEA result showed
that performance of Rural PNPM Mandiri in Bandung District was mostly (64 per
cent) inefficient, i.e. in Cikancung, Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari, Nagreg
and Pacet Subdistricts. The improvement of efficiency should work on optimum
solution starting from 10 per cent of efficiency in Ibun Subdistrict to 61 per cent
of efficiency in Nagreg Subdistrict. Based on variable returns to scale (VRS)
assumption, the efficiency increased from 0.850 to 0.925 on the average. It
showed that subdistricts tended to be more efficient under VRS assumption
conducting Rural PNPM Mandiri program. Nagreg Subdistrict progressed from
low efficiency under CRS assumption (0.619) to efficient by assuming VRS. So
did Ibun Subdistrict, it progressed from 0.91 of efficiency score under CRS
assumption then to be efficient by assuming VRS. Overall, when CRS assumption
was applied, four subdistricts were fully efficient, while by applying VRS
assumption six of eleven sub districts reached full efficiency score (more than 50
per cent). This result indicated that in general all subdistricts conducting Rural
PNPM Mandiri inefficiently (TE was 0.850 by CRS; and TE was 0.925 by VRS).
Location among efficient subdistricts did not show spatial correlation of
neighborhood.
The inefficient Rural PNPM Mandiri on subdistrict level might come from
inefficiency of input usage, i.e. fund source. The inefficiency of budget allocation
under CSR assumption ranged from IDR 133 million in Ciwidey Subdistrict to
IDR 2.17 billion in Pacet Subdistrict. While under VRS assumption inefficiency
of fund allocation in the same subdistrict turned down starting from IDR 132.5
million to IDR 1.91 billion. This finding was different from Vennesland (2005)
who revealed that deficit and surplus of budget allocation in inefficient regions,
could be reallocated to the deficit one. The participation of community was shown
by usage and allocation of spillover fund in economic activities. By applying CRS
assumption, there were 6 sub districts (66.67 per cent) had achieved target
resulting output, and only four subdistricts had not reached target and resulted
output yet. The optimum solution was by increasing efficiency from 33 per cent in
Cikancung Subdistrict to 45 per cent in Pacet Subdistrict. By applying VRS
assumption, the was no change of subdistrict numbers that had not achieved target
yet. However, the increase of target achievement under VRS assumption was less
than CRS assumption, it started from 29 per cent in Nagreg Sub District to 39 per
cent in Pacet Subdistrict. In general, Malmquist Index of TFP for the performance
of Rural PNPM Mandiri from 2009 to 2013 showed increasing trend by 1.139.
The affecting factors such as age, education and participation in
empowerment institution variables of participating household showed significant
effect on the increased income. Participatory pattern was affected by number of
household member, employment, type of interesting institution.
The multiplier effect of economical activity allocation could create job
expansion and increase household economy in rural area. The spillover
empowerment program were knowledge, capacity and skill building, thus being
the entry pont for policy and strategy of regional development.
Keywords: Community Empowerment, Data Envelopment Analysis (DEA),
Efficiency, Increase of rural household income, Participation.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN
(Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung)
IDA ZULFIDA
NRP H162100131
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
2
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS
2. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS
2. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono
!1$-:1/$1*:!*!1 8-: )*:!*-$4--:
!1 !2-: 242:: - &1&:!1 !2-:
&:403!-:- 4-$:1/6&-2&:
7:13:
:4)# :
&2!35'4&: /)!%:
/*&2&:!+&,&-$:
!34:
1: 42*-:
:
$$/3:
&(!3%4&:/)!%:
!35:1/$1*:35 &:
)*4: !1!---: !*-$4--:
&)8%: -:!1 !2-:
1/": 1:1:*:-$:4. : :
-$$):'&-: !134340:
$42342:
-$$): & -$: 1/*/2&:
$42342:
-$$):4)42:
4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah pembangunan perdesaan dengan judul
Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus PNPM
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat), yang
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi MSc,
Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Dr Ir Yusman Syaukat MEc, selaku
pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan sejak awal penelitian
sampai dengan penulisan disertasi. Komisi pembimbing telah banyak memberikan
saran dan masukan, serta dukungan dan dorongan selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Prof Dr Ir Bambang Juanda MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Bapak Dr Ir Setia Hadi MS dan
Bapak Dr Ir Sugeng Budiharsono sebagai penguji pada ujian tertutup dan
sidang promosi.
2. Koordinator Kopertis Wilayah I Medan, atas kesempatan tugas belajar yang
diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan doktor.
3. Rektor Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Medan, yang telah
memberikan kesempatan tugas belajar pendidikan doktor.
4. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD)
Kabupaten Bandung Ibu Dra. Hj. Eros Roswita MSi, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bandung Bapak Diko, fasilitator kabupaten Bapak Ir Dedi Kusnadi,
Bapak Dadan Sundara dan kawan-kawan, serta Kasubdit PNPM Ditjen
Pemerintahan Daerah (PMD) Kemendagri Bapak Benni Irawan, yang telah
memberikan data dan informasi dalam penelitian ini.
5. Rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2010 atas kerjasama,
kebersamaan dan persahabatan yang terjalin.
6. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai
selesainya disertasi ini.
7. Orang tuaku terkasih, ayahanda (Alm) Drs. H OK Usman dan Ibunda Dra. Hj
Djadidah atas segala doa, kasih sayang, dan dorongan semangat yang selalu
menjadi inspirasiku.
8. Suami tercinta Ir H Emil Thahir MBA atas segala doa, cinta kasih, pengertian,
dan motivasi yang telah di berikan selama menjalani studi ini.
9. Anak-anakku tersayang Aliya Chairani Thahir, Amira Suhaila Thahir dan
Abdul Aziz Razaqa Thahir atas segala doa, pengertian dan kasih yang selalu
menjadi penyemangat dan pendorong penulis dalam menjalani studi ini.
Semoga karya ini menjadi motivasi bagi ananda untuk menjadi yang terbaik.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan para ahli yang
tercantum di dalam daftar pustaka, karna tanpa mereka ide dan tulisan ini tidak
akan ada. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi amal yang baik.
Bogor, Agustus 2015
Ida Zulfida
6
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
Ruang Lingkup Penelitian
7
Kebaruan Penelitian (Novelty)
8
TINJAUAN PUSTAKA
Pergeseran Paradigma Pembangunan
3.
1
9
9
Perekonomian Kewilayahan versus Perekonomian Nasional
10
Faktor Pengembangan Ekonomi Wilayah
11
Pembangunan Ekonomi Masyarakat
12
Konsep Pembangunan Ekonomi Masyarakat, Pemberdayaan,
dan Partisipasi
14
Pendekatan Partisipatif
15
Bentuk dan Tipe Partisipasi
17
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
18
Pembangunan Kawasan Perdesaan Partisipatif
19
Kelembagaan
22
Kelembagaan Desa
23
Tipe-tipe Organisasi
24
Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya
24
Kerangka Pemikiran
26
METODOLOGI PENELITIAN
29
Lokasi dan Waktu Penelitian
29
Tahapan Penelitian
29
Metode Penarikan Sampel
30
Sumber dan Jenis Data
31
Pendekatan dan Model Analisis Data
32
Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan
32
Mengukur Produktivitas Kinerja Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
4.
37
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan
Pendapatan Rumah Tangga yang Telah Berpartisipasi dan
Belum Berpartisipasi dalam Kelembagaan Pemberdayaan
40
Analisis Kecenderungan Masyarakat Berpartisipasi dalam
Program Pemberdayaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
41
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
43
Gambaran Umum Kabupaten Bandung
43
Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Bandung
43
Gambaran Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
45
Visi, Misi dan Tujuan PNPM Mandiri Perdesaan
45
Gambaran Umum Desa dan Responden
47
Karakteristik Responden Rumah Tangga Anggota Kelembagaan
Pemberdayaan (Participant)
49
Karakteristik Responden Rumah Tangga Belum Menjadi Anggota
Kelembagaan Pemberdayaan (Non Participant)
49
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan
Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan dalam Kegiatan Ekonomi
Produktivitas Kinerja Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perdesaan
51
51
57
61
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan
Rumah Tangga yang Telah Berpartisipasi dalam Kelembagaan
Pemberdayaan
66
Kecenderungan Rumah Tangga Berpartisipasi dan Faktor-faktor
yang Berpengaruh terhadap Kesediaan Partisipasi dalam
Kelembagaan pemberdayaan
70
Strategi Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan
6.
7.
74
IMPLIKASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM
PEMBANGUNAN PERDESAAN
77
Implikasi Kebijakan
79
KESIMPULAN DAN SARAN
82
Kesimpulan
82
Saran
82
DAFTAR PUSTAKA
84
LAMPIRAN
90
RIWAYAT HIDUP
119
DAFTAR TABEL
Hal
1.
Tipologi partisipasi
16
2.
Tujuan, model analisis, variabel, data dan output penelitian
31
3.
Data variabel input dan output dalam model efektifitas kinerja
PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
37
Kecamatan penerima alokasi dana bantuan langsung masyarakat
(BLM) di Kabupaten Bandung
47
Gambaran umum statistik variabel kecamatan-kecamatan yang
mendapat alokasi PNPM Mandiri Perdesaan
47
6.
Statistik deskriptif responden participant
49
7.
Statistik deskriptif responden non participant
50
8.
Total dana bantuan langsung masyarakat tahun 2008-2013
51
9.
Hasil perhitungan DEA skor efisiensi teknik (TE) dengan asumsi
CRS, VRS dan efisiensi skala (SE)
52
Alokasi optimal pendanaan PNPM Mandiri Perdesaan berdasarkan
hasil DEA
55
Hasil pengukuran dari DEA dengan skor efisisensi CRS, VRS dan
TE dalam kegiatan ekonomi alokasi dana PNPM Mandiri
Perdesaan, Kabupaten Bandung.
58
12.
Target output pendapatan optimal dengan Model DEA
60
13.
Target output tenaga kerja optimal dengan Model DEA
60
14.
Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun
63
15.
Indeks produktivitas malmquist per kecamatan
64
16.
Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpangaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan
67
Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpangaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan dan non partisipan
69
Hasil kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
program pemberdayaan
71
4.
5.
10.
11.
17.
18.
DAFTAR GAMBAR
Hal
1.
Modifikasi Shaffer Star of Community Economic Development
14
2.
Kerangka pemikiran
28
3.
Tahapan penelitian
29
4.
Metode penarikan sampel
30
5.
DEA frontier
33
6.
Ilustrasi model penelitian
36
7.
Peta lokasi penelitian Kabupaten Bandung
43
8.
Kontribusi sektoral terhadap total PBRB Kab Bandung, 2012
44
9.
Peta kecamatan efisien dan tidak Efisien dalam mengelola alokasi
PNPM di Kabupaten Bandung
54
10.
11.
Referensi kedekatan wilayah
Peta kecamatan efisien dan inefisien dalam kegiatan ekonomi
55
59
12.
Evolusi dari MI, EFFCH dan TECHCH dari tahun 2009-2013
61
13.
Peta pertumbuhan tahunan produktivitas kinerja PNPM Mandiri
Perdesaan di Kabupaten Bandung
63
14.
Perkembangan kinerja PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2009-2013
66
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1.
2.
3.
Hasil efisiensi kinerja PNPM MPd Kecamatan di Kabupaten Bandung
Hasil efisiensi kinerja PNPM MPd dalam kegiatan ekonomi
Hasil produktivitas kinerja PNPM-MPd Kecamatan di Kabupaten
Bandung Tahun 2009-2013
4. Hasil efisisensi kinerja PNPM-MPd Desa di Kabupaten Bandung 2013
5. Hasil skor efisiensi desa-desa yang mendapat alokasi dana PNPM MPd
di Kabupaten Bandung
6. Hasil perhitungan alokasi optimal alokasi dana PNPM MPd
7. Deskripsi responden rumah tangga sebagai anggota kelembagaan
pemberdayaan (participant)
8. Hasil olah data primer terhadap perubahan peningkatan pendapatan
rumah tangga partisipan
9. Deskripsi responden rumah tangga non participant
10. Hasil olah data primer terhadap kecenderungan berpartisipasi pada
rumah tangga non partisipan
11. Capaian hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Bandung
tahun 2013
90
92
95
96
99
101
104
106
108
112
114
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak awal era reformasi, Indonesia telah memulai pendekatan baru dalam
kebijakan pembangunan perdesaan. Sebelumnya, pendekatan sentralistik yang
diterapkan lebih menekankan pada kepentingan-kepentingan makro seperti
peningkatan product domestic bruto (PDB) dan pertumbuhan yang ternyata tak
diiringi dengan pengurangan kemiskinan. Meski pendekatan tersebut memiliki
keunggulan dalam hal manajemen dan kontrol, namun tidak dapat menyelesaikan
masalah pada level mikro dan memiliki kelemahan karena telah mengunci
partisipasi lokal (Besley dan Coate, 2003). Pendekatan sentralistik dengan top
down strategy juga memperlebar kesenjangan daerah antar wilayah, terutama
wilayah perkotaan dan perdesaan (Demaziere et al. 1995; Baylis dan Smith,
2005; Baudrilliard, 2011).
Menyadari akan adanya kelemahan dari konsep pembangunan
sebelumnya, muncul pemikiran beberapa ahli ekonomi untuk melengkapi
kekurangan teori ini dengan mengembangkan teori alternatif baru. Saat ini
desentralisasi hadir melengkapi pendekatan sentralistik. Dengan bottom up
strategy sebagai suatu model yang berperan dalam pembangunan pada tingkat
lokal dan perdesaan. Kondisi tersebut telah menunjukkan pergeseran paradigma
pembangunan perdesaan dari holistik ke lokalitas dan lebih menekankan pada
proses induktif (Mohan dan Stokke, 2000). Pendekatan bottom up merupakan
pembangunan yang bertumpu pada manusia (people centered), partisipasi,
pemberdayaan dan keberkelanjutan (Chambers, 1983; Schenck dan Louw, 1995).
Salah satu alternatif yang kini dikembangkan adalah yang dipelopori oleh Shaffer
dan kawan kawan (2004) mengenai Community economics yang menjadi dasar
pembangunan perdesaan diberbagai negara seperti di China dan negara
berkembang lainnya. Community economics dan juga pembangunan perdesaan
merupakan pendekatan yang multifaset dan komprehensif terhadap perubahan
masyarakat yang menyangkut aspek sosial, norma, sumber daya (sumber daya
alam, manusia, man made capital) dan juga aspek pasar dan pengambilan
keputusan ditingkat lokal (Fauzi, 2010).
Di Indonesia, desentralisasi diharapkan dapat menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi penegakan kebijakan pembangunan ekonomi pada tingkat
lokal dan perdesaan. Perubahan sistem pemerintahan ini diatur dalam Undang
Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini memberikan kesempatan
bagi daerah untuk dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan
di daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Masyarakat diberdayakan untuk berpartisipasi dan memegang peranan penting
sebagai pelaku utama pembangunan untuk turut serta merencanakan,
melaksanakan, dan mengawasi jalannya pembangunan di daerah mereka.
Mengapa pemberdayaan? Konsep pemberdayan ini muncul karena adanya
kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya modelmodel pembangunan ekonomi dalam menaggulangi masalah kemiskinan dimasa
lalu. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang
2
memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, pertumbuhan ekonomi
yang memadai (Friedmann, 1992). Pembangunan ekonomi dalam konsep
pemberdayaan masyarakat merangkum nilai-nilai sosial yang selalu disertai
dengan partisipasi (Abbot, 1995; Prato et al. 2012) Kedua konsep ini dapat
digunakan sebagai strategi ganda untuk pembangunan yang berpusat kepada
peningkatan kapasitas masyarakat (Samah dan Aref, 2009). Dari perspektif ini,
dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk pembangunan ditingkat lokal dan
perdesaan melalui pendekatan bottom up.
Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah mengesampingkan
peran dan posisi masyarakat. Orientasi yang bersifat supply driven inilah yang
berusaha dirubah dengan meletakkan masyarakat pada sentral pusaran dalam
pembangunan, sedangkan dimensi-dimensi pembangunan lainnya antara lain
ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan dan lainnya, berperan
sebagai pendukung realisasi eksistensi masyarakat. Dalam konsep ini, masyarakat
tidak hanya ditempatkan sebagai tujuan atau objek utama pembangunan tetapi
juga menjadi pemeran utama dan kontribusinya akan menentukan keberhasilan
pembangunan itu sendiri. Kapasitas masyarakat menjadi prioritas utama,
maknanya kinerja pembangunan dinilai berjalan baik apabila telah dapat
meningkatkan kapasitas masyarakat. Korten (1990) Solomon (1976); Staples
(1990), mengemukakan bahwasanya pembangunan melalui pemberdayaan
merupakan proses pengembangan kapasitas personal dan institusional
(kelembagaan) untuk dapat memobilisasi dan mengelola sumber daya yang
dimiliki guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Dalam peningkatan kapasitas ini pemerintah membuat kebijakan
makro dengan meluncurkan program program yang bertujuan dalam pengurangan
kemiskinan di Indonesia yang umumnya bermukim di perdesaan.
Kondisi riil dilapangan menggambarkan masyarakat perdesaan sebagai
suatu kelompok masyarakat yang sebagian besar bertumpu pada aktivitas berbasis
sumber daya alam baik pertanian dalam arti luas maupun perikanan. Akan tetapi,
keunggulan komparatif (comparative advantage) masyarakat perdesaan itu tidak
menjadikan perdesaan tumbuh sejajar dengan perkotaan. Ada hal-hal yang
menyebabkan sulitnya perdesaan mensejajarkan posisinya dengan perkotaan
antara lain terletak pada kualitas sumber daya manusia dan ketersediaan
infrastruktur. Kualitas sumber daya manusia di perdesaan mengalami
perkembangan yang lambat. Terjadi kecenderungan adanya urbanisasi masyarakat
perdesaan menuju perkotaan yang tidak hanya dilakukan oleh sumber daya
manusia berkualitas rendah, namun juga dilakukan oleh manusia dengan sumber
daya yang berkualitas cukup tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan masalah
infrastruktur perdesaan yang terbatas dan tidak memberikan ruang gerak lebih
luas bagi sumber daya manusia perdesaan berkualitas untuk mengekspresikan
kemampuannya (Rustiadi dan Pranoto, 2007).
Pemerintah telah melakukan upaya-upaya dalam rangka pengurangan
masyarakat miskin dengan meluncurkan program-program mulai dari masa orde
baru. Pada tahun 1994, pemerintah telah meluncurkan Program Inpres Desa
Tertinggal. Kemudian dilanjutkan dengan program-program sejenis lainnya yaitu,
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan Departemen Dalam
Negeri, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) yang
dilaksanakan Departemen Pertanian, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
3
(PEMP) yang dilaksanakan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kelompok
Usaha Bersama (KUBE) yang dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain.
Ironisnya, misi pemberdayaan yang dijalankan justru membuat kelompok
masyarakat semakin tidak berdaya. Hadi (2008) serta Priadana et al. (2010),
menyatakan bahwa program-program tersebut berjalan sendiri-sendiri menurut
kebijakan departemen yang bersangkutan, tidak terintegrasi, parsial dan sektoral.
Hal lain yang menyebabkan kegagalan program-program pemberdayaan yaitu
tidak adanya pendekatan yang tepat dan integral sehingga mampu menjamin
sustainabilitas. Peran institusi atau kelembagaan merupakan suatu kebutuhan
(Rubin dan Rubin, 1986).
Program ini kemudian diubah menjadi program yang lebih spesifik dengan
orientasi kepada peningkatan dan perluasan program pro-rakyat (Bappenas,
2012). Program-program ini sepenuhnya bertujuan untuk penanggulangan
kemiskinan melalui peningkatan kapasitas masyarakat dan perluasan penyerapan
tenaga kerja.
Saat ini pemerintah Indonesia telah meluncurkan program pemberdayaan
perdesaan sejak tahun 2007 melalui berbagai kegiatan. Di antara programprogram pemberdayaan lainnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) yang berbasis komunitas/masyarakat merupakan program unggulan
yang dilaksanakan (World Bank, 2012). Program ini merupakan pengembangan
dari Program Pengembangan Kecamatan atau PPK yang telah berdiri sejak tahun
1998. PNPM ditujukan untuk memberikan peluang pekerjaan, pembangunan
ekonomi lokal, membuka isolasi perdesaan dan untuk peningkatan kapasitas lokal
atau pemberdayaan. Salah satu program unggulan dan paling populer dari
perspektif pedesaan adalah PNPM Mandiri Perdesaan.
Pemerintah telah
mengalokasikan sebesar Rp64,87 triliun untuk pelaksanaan program ini. Program
ini telah manjangkau 5.300 kecamatan, 401 kabupaten di 33 provinsi di Indonesia.
Kegiatan dalam program pemberdayaan ini meliputi pembangunan infrastruktur
dan penyaluran dana bergulir kepada kaum perempuan untuk peningkatan
perekonomian rumah tangga melalui program Simpan Pinjam Perempuan (SPP)
dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) untuk masyarakat umum.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mendapat alokasi
anggaran PNPM Mandiri Perdesaan. Jumlah penduduknya yang paling besar di
pulau jawa serta wilayah perdesaan yang luas dan banyak dapat mewakili
permasalahan-permasalahan di perdesaan pada umumnya. Provinsi ini paling
unggul dalam pemanfaatan PNPM Mandiri Perdesaan. Kabupaten Bandung
adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mendapat alokasi
PNPM
Mandiri Perdesaan sejak tahun 2008.
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan secara umum telah mendorong
terciptanya perangkat sistem sosial yang bersifat dinamis. Sistem sosial yang
dibangun oleh PNPM Mandiri Perdesaan memungkinkan warga desa memperoleh
peningkatan kapasitas tidak hanya dalam bentuk kursus dan pelatihan, tetapi juga
membiasakan cara berfikir dan cara betindak bagi warga desa ketika mereka
manjalankan peranannya masing-masing di dalam pelaksanaan program.
Masyarakat dibiasakan memperoleh pengalaman nyata menjalankan sebuah
proses pembangunan desa yang bersifat partisipatif.
Dalam pelaksanaan membuktikan keunggulan perencanaan partisipatif
belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Khususnya di Kabupaten Bandung,
4
pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat belum mampu sepenuhnya
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola kegiatan pembangunan
desa. Tingkat partisipasi dan swadaya masyarakat cukup tinggi dibeberapa
wilayah kecamatan, namun di sebagian lainnya masih rendah. Kelemahan PNPM
Mandiri Perdesaan lainnya adalah menyangkut aspirasi masyarakat dan keputusan
pemerintah yang cenderung belum sejalan. Hal ini dibuktikan dengan belum
adanya keputusan pembangunan yang harmonis dan saling mendukung
dikarenakan perencanaan pembangunan yang belum terpadu. Pelaksanaan
program masih berorientasi pada penguatan kapasitas masyarakat, belum
sepenuhnya mengarah pada peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Kelemahan
target dan fokus program ini menjadi salah satu kendala pada tujuan program
dalam pengurangan angka kemiskinan penduduk.
Pada tahun 2010 tingkat kemiskinan di Kabupaten Bandung mencapai
296.300 orang dan pada tahun 2012 menjadi 292.200 orang. Masih relatif
tingginya tingkat kemiskinan merupakan persoalan mendasar di Kabupaten
Bandung. Tingkat kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) di
Kabupaten Bandung selama periode 2007-2011 mengalami sedikit penurunan
dimana pada tahun 2011 tingkat kedalaman kemiskinan (P1) adalah sebesar 1.72
persen dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) sebesar 0.50 persen. Keadaan ini
menunjukkan bahwasanya tingkat kesenjangan dan penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin di Kabupaten Bandung jika dibandingkan dengan
Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 1.72 persen untuk indeks kedalaman
kemiskinan (P1), dan 0.43 persen untuk indeks keparahan kemiskinan (P2).
Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) menggambarkan semakin
tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin, dari data di atas dapat
disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin di
Kabupaten Bandung sebesar 0.50 lebih tinggi dari rata-rata Propinsi Jawa Barat
sebesar 0.43.
Masalah perekonomian mendasar yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat juga terlihat dari jumlah pengangguran. Tahun 2010 tingkat
pengangguran di Kabupaten Bandung mencapai 123.453 orang dengan angkatan
kerja sebesar 1.332.373 orang. Data terakhir dari BPS yang diterima Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bandung pada akhir tahun 2013
menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran sebesar 150.000 orang dengan
jumlah angkatan kerja sebesar 2 juta orang. Peningkatan jumlah pengangguran
akan berdampak terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. Sementara
peningkatan angkatan kerja dalam jangka menengah sebaiknya diikuti dengan
peningkatan penyerapan tenaga kerja. Namun yang terjadi adalah perlambatan
penyerapan tenaga kerja sedangkan dari supply tenaga kerja meningkat. Oleh
karena itu, solusi pengembangan ekonomi masyarakat harus dimulai dari
penciptaan lapangan kerja pada tingkat lokal atau perdesaan melalui programprogram pemberdayaan baik dari pemerintah maupun lokal.
Perumusan Masalah
Pemberdayaan ekonomi masyarakat bertujuan meningkatkan kapasitas
masyarakat melalui perluasan penyerapan tenaga kerja. Bagaimana meningkatkan
5
kapasitas tersebut sehingga masyarakat mampu mengelola potensi-potensi yang
dimiliki secara optimal? Salah satu kendala adalah kemampuan masyarakat
mengakses segala hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan
kemampuan ekonomi mereka dan iklim yang kondusif dalam aktivitas produksi
atau pekerjaan mereka. Akses tersebut berhubungan dengan akses terhadap
sumber daya ekonomi seperti modal, lokasi usaha atau lahan, informasi pasar,
teknologi, serta sarana dan prasarana produksi lainnya. Keterbatasan terhadap
aspek-aspek sosial ekonomi diatas menjadi penghambat peluang masyarakat
untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya.
Menurut Wiranto dan Tarigan (2009) hal ini dapat ditelusuri dari
rendahnya tingkat penghasilan masyarakat yang belum menunjukkan dinamika
yang cukup berarti. Kondisi Kabupaten Bandung yang menjadi fokus daerah
dalam penelitian ini adalah kenaikan tingkat pendapatan per kapita masih belum
mampu bersaing dengan tingkat pendapatan per kapita kabupaten/kota lainnya
yang ada di Jawa Barat. Hal ini dapat kita lihat dari data pendapatan per kapita
Kabupaten Bandung pada tahun 2005 sebesar Rp. 9.010.200,00 dan terus
meningkat pada tahun 2008 sebesar Rp. 12.457.600.00 dan pada tahun 2011
sebesar Rp. 15.554.800,00. Meskipun trend pendapatan perkapita di Kabupaten
Bandung terus meningkat dari tahun ke tahunnya namun posisinya masih di
bawah rata-rata pendapatan perkapita Provinsi Jawa Barat. Pendapatan perkapita
propinsi Jawa Barat tahun 2005 sebesar Rp. 9.824.500,00, tahun 2008 sebesar
Rp. 14.359.900,00 dan pada tahun 2011 sebesar Rp. 18.803.300,00. Rendahnya
tingkat pendapatan perkapita masyarakat melengkapi masih relatif tingginya
tingkat kemiskinan.
Sebagai kabupaten yang mendapat alokasi dana PNPM Mandiri
Perdesaan, kecamatan-kecamatan yang mendapat alokasi anggaran juga sebagai
pusat kekuasaan. Mereka memiliki kewenangan penuh untuk menyelaraskan
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program. Keputusan untuk
mengembangkan kebijakan khusus untuk menyampaikan program ini di tangan
masyarakat. Dengan kata lain PNPM Mandiri Perdesaan adalah program yang
berpusat pada pembangunan komunitas/masyarakat (Schenck dan Louw, 1995).
PNPM Mandiri Pedesaan memegang nilai universal hak asasi manusia, kearifan
lokal dan budaya, proses berpartisipasi dan mengakomodasi pengetahuan lokal
dan karakteristik lokal. Selain itu, PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan berfungsi
sebagai pelatihan bagi masyarakat.
Kabupaten Bandung telah aktif menjalankan PNPM Mandiri Perdesaan
dan telah melibatkan 13 kecamatan. Program ini melanjutkan PPK yang telah
berjalan sejak tahun 1998. Di antara 13 kecamatan, dua dari kecamatan tersebut
phaseout, dan telah beralih ke PNPM Mandiri Perkotaan. Total dana bantuan
langsung masyarakat (BLM) yang telah diluncurkan di Kabupaten Bandung tahun
2008 sampai dengan tahun 2013 sebesar Rp108.75 Milyar yang bersumber dari
APBN Rp90.9 Milyar dan APBD Rp17.85 Milyar dengan kontribusi swadaya
masyarakat sebesar Rp4.46 Milyar. Jumlah pemanfaat hasil kegiatan mencapai
1.184.318 orang diantaranya 53.4 persen anggota rumah tangga miskin.
Alokasi dana anggaran PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
memiliki kecenderungan meningkat pada setiap tahunnya, namun jika kita lihat
dari sudut perlambatan pengurangan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten
Bandung, menunjukkan adanya masalah yang harus di atasi dalam pelaksanaan
6
program ini. Data audit tahun anggaran 2013 PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Bandung telah mengidentifikasi beberapa temuan antara lain: (1)
kegiatan peningkatan kapasitas kelompok belum memberi manfaat secara optimal
kepada masyarakat; (2) tunggakan kategori macet dalam pengelolaan kegiatan
SPP; (3) kurang opimalnya Tim Pemelihara; (4) terdapat pengeluaran yang tidak
didukung bukti pengeluaran yang cukup; (5) beberapa pekerjaan ada yang belum
selesai/sempurna; (6) BLM untuk kegiatan SPP tidak sampai seluruhnya kepada
yang berhak; (7) adanya kegiatan pengalihan dana SPP yang tidak sesuai dengan
ketentuan; dan (8) kegiatan pemeliharaan prasarana yang kurang memadai.
Uraian diatas menunjukkan, ada permasalahan mendasar yakni terkait
efektivitas program yang diluncurkan pemerintah tersebut, antara lain dalam
pembangunan ekonomi lokal menggunakan dana publik yang harus didasarkan
pada “money well spent”. Kelemahan target dan fokus program menjadi salah
satu gejala yang dapat terlihat. Dengan demikian evaluasi terhadap kinerja
program-program pemberdayaan sangat penting.
Selain itu sebagaimana diuraikan terdahulu pemberdayaan melibatkan
peran serta masyarakat sehingga perlu pula diketahui seberapa besar peran atau
partisipasi masyarakat dalam konteks pemberdayaan maupun pembangunan
ekonomi masyarakat pada tingkat lokal dan perdesaan. Partisipasi merupakan
salah satu variabel penting dalam peningkatan pendapatan masyarakat. Oleh
karena kegiatan ekonomi yang meningkatkan pendapatan membutuhkan
partisipasi aktif dari pelaku ekonomi, maka keterkaitan antara pemberdayaan,
partisipasi dan pendapatan menjadi sangat kuat. Dana BLM yang tidak sampai
kepada yang berhak serta pengalihan dana SPP yang tidak sesuai ketentuan
menyebabkan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan
ekonomi. Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Program pemberdayaan yang diluncurkan pemerintah belum efektif,
khususnya di Kabupaten Bandung.
2. Program pemberdayaan berdampak terhadap pendapatan rumah tangga
yang telah bergabung (partisipan) dan rumah tangga yang belum
bergabung (non partisipan).
3. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan masyarakat
berpartisipasi dalam program pemberdayaan.
4. Belum ada strategi pemberdayaan yang tepat untuk perbaikan program
dalam pembangunan perdesaan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pertanyaan penelitian yang dicoba
dijawab dalam disertasi ini adalah:
1. Seberapa efektifkah program pemberdayaan yang diluncurkan
pemerintah, khususnya di daerah penelitian ini?
2. Bagaimana dampak program pemberdayaan terhadap pendapatan
masyarakat partisipan, khusunya program pemberdayaan PNPM
Mandiri Perdesaan, program pemberdayaan lainnya dan non
partisipan?
3. Bagaimana kecenderungan partisipasi masyarakat dalam program
pemberdayaan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?
7
4. Bagaimana strategi pemberdayaan yang tepat sehingga dapat
mendorong pembangunan perdesaan?
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat pembangunan
ekonomi lokal di Kabupaten Bandung. Namun secara khusus tujuan penelitian ini
dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Mengevaluasi kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan
rumah tangga yang telah berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan.
3. Menganalisis kecenderungan rumah tangga dalam mengambil keputusan
untuk berpartisipasi pada kelembagaan pemberdayaan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
4. Menyusun strategi pemberdayaan dalam mendorong pembangunan perdesaan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa bahan masukan
bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait khususnya bidang perencanaan
pembangunan wilayah dan perdesaan yang didasarkan pada pembangunan
ekonomi masyarakat tingkat lokal di Kabupaten Bandung. Temuan penelitian ini
akan berguna dalam membantu lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunan pedesaan menjadi lebih fokus dalam merekrut rumah tangga
sasaran dan dapat mencapai partisipasi yang lebih tinggi. Mengembangkan konsep
pembangunan ekonomi masyarakat melibatkan partisipasi masyarakat dan
kegiatan ekonomi produktif di perdesaan melalui pemberdayaan masyarakat
sehingga mendiri dan berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah Kabupaten Bandung Provinsi Jawa
Barat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat secara umum pola pembangunan
perdesaan di Kabupaten Bandung. Secara khusus, ingin melihat peran
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat lokal dalam penguatan kapasitas
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Desa dan perluasan kesempatan
kerja bagi masyarakat perdesaan. Dalam penelitian ini juga ingin melihat konsep
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat dari aspek partisipasi dan
pengembangan ekonomi produktif di perdesaan melalui pemberdayaan
masyarakat. Lembaga pemberdayaan yang ditelaah adalah PNPM Mandiri
Perdesaan di Kabupaten Bandung.
8
Kebaruan Penelitian (Novelty)
Evaluasi dan analisis program-program pembangunan perdesaan melalui
program pemberdayaan selama ini hanya dilakukan secara kualitatif tanpa
memberikan umpan balik terhadap efisiensi penggunaan input yang dibutuhkan
untuk menjalankan program pemberdayaan tersebut. Penelitian ini merupakan
yang pertama dilakukan di Indonesia yang menggunakan pendekatan
kuantitatif melalui teknik Data Envelopment Analysis, yang mencakup efisiensi
dan total faktor produktivitas dari Kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Bandung mulai tahun 2009-2013. Dalam penelitian ini diketahui
seberapa besar efisiensi penggunaan input dan produktivitas kinerja program
dalam menjalankan program pemberdayaan. Sudah ada penelitian mengenai
pemberdayaan dan partisipasi, namun penelitian ini yang pertama menganalisis
hubungan pemberdayaan dan kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi
merupakan tandem yang tepat dalam program PNPM Mandiri Perdesaan secara
kuantitatif. Analisis ini penting karena akan memberikan masukan kepada
pengambil kebijakan dalam menentukan kriteria masyarakat dalam programprogram pemberdayaan.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pergeseran Paradigma Pembangunan
Teori pembangunan selalu berkembang dan mengalami koreksi, sehingga
terjadi perubahan tentang sesuatu yang dianggap benar dan baik di dalam proses
pembangunan. Dari pelajaran dan pengalaman, terjadi perubahan pemahaman
nilai-nilai kehidupan dan teknologi atau cara analisis baru, sampai kemudian hal
tersebut dianggap salah atau tidak baik. Inilah yang disebut pergeseran paradigma
atau lahirnya paradigma baru.
Kuhn (1970) dalam Rustiadi (2001) menyatakan pengertian paradigma
yaitu perkembangan waktu, pengalaman manusia, perkembangan ilmu dan
teknologi menyebabkan semakin luasnya ruang pengetahuan yang pertama.
Perkembangan ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan paradigma,
termasuk paradigma pembangunan. Secara historik sebagai suatu permasalahan
pembangunan, kajian mengenai pengembangan wilayah dimulai dari timbulnya
kesadaran akan masalah-masalah ketidakseimbangan pembangunan secara spasial,
khususya disparitas pembangunan antar wilayah, masalah aglomerasi berlebihan
di beberapa wilayah tertentu dan menurunnya jumlah penduduk serta daya tarik
perdesaan.
Pada masa sesudah Perang Dunia II tingkat Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) merupakan indikator yang sangat praktis dipakai untuk mengukur tingkat
perkembangan pembangunan. Pada waktu itu orang berpendapat bahwa dalam
pembangunan, istilah „kue‟ nya perlu diperbesar dahulu, baru kemudian di bagi
rata. Maksudnya adalah bahwa pembangunan identik dengan pertumbuhan
ekonomi sebagai prioritas. Diharapkan dalam pembangunan otomatis akan terjadi
trickle down effect (efek menetes ke bawah) setelah mencapai tingkat PDB
tertentu. Pembangunan akan tercapai dengan sendirinya apabila suatu negara
telah terbebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi, kemudian
berkembang melalui industrialisasi. Konsep temuan Simon Kuznets (1966) yang
merupakan The First Fundamental Theorm of Welfare Economics, menyatakan
bahwa kurva U-terbalik bagi Negara yang berpendapatan rendah bertumbuhnya
perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade of antara pertumbuhan dan
pemerataan). Secara teoritik, polemik pemilihan antara pertumbuhan dan
pemerataan relatif terselesaikan dengan lahirnya The Second Fundamental
Theorm of Welfare Economics (Rustiadi, 2001).
Todaro dan Smith (2011) dengan tegas menyatakan bahwa industrialisasi
menyebabkan ketergantungan negara berkembang semakin besar terhadap negara
asing, disintegrasi dan pengasingan sosial serta penekanan terhadap penduduk.
Keadaan ini dikarenakan ada unsur elit negara yang menjadi agen dari
kepentingan investasi-investasi asing. Pendekatan pembangunan dari atas
(development from above) kemudian bergeser dalam konteks pembangunan di
negara-negara berkembang dan dunia ketiga menjadi pendekatan pembangunan
dari bawah (development from below). Menurut Supriyadi (2007) pembangunan
dari bawah secara konsep lebih kuat karena wilayah kecil mengelola sumber
dayanya (resources) secara mandiri dan disintegrasi dengan wilayah lainnya
sehingga memungkinkan pembangunan lokal bisa membangun wilayahnya
sendiri.
10
Pergeseran paradigma pembangunan ini menuntut kerangka perencanaan
pembangunan secara spasial. Kebijaksaan pembangunan berwawasan spasial itu
harus dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan
peningkatan partisipasi dan produktivitas masyarakat: (1) bagaimana mendorong
partisipasi masyarakat, terutama keluarga berpendapatan rendah dalam proses
pembangunan, (2) bagaimana dapat menciptakan kegiatan perekonomian antar
sektor ditingkat perdesaan, dan (3) bagaimana dapat menyusun perencanaan dan
program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat perdesaan.
Partisipasi anggota masyarakat dalam pembangunan perdesaan merupakan
aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban
dan berkontribusi dalam implementasi program yang dilaksanakan. Anggaran
pemerintah yang tersedia adalah relatif terbatas sedangkan program yang
dibutuhkan jumlahnya relatif banyak, maka peningkatan partisipasi masyarakat
perlu dilakukan untuk menunjang implementasi pelaksanaan program.
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan
masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian
hasil pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat perdesaan. pemberdayaan
masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat
perdesaan secara lebih efektif dan efisien, baik dari (1) aspek masukan atau input
meliputi sumber daya manusia, dana, sarana dan prasarana, data, rencana serta
teknologi; (2) dari aspek proses meliputi pelaksanaan, monitoring dan
pengawasan; (3) dari aspek keluaran atau output meliputi pencapaian sasaran,
efektivitas dan efisiensi.
Efektivitas dapat diartikan sebagai rasio antara realisasi dengan target yang
telah direncanakan. Apabila rasio tersebut lebih besar dari satu berarti efektif, dan
sebaliknya apabila rasio tersebut lebih kecil dari sati maka tidak efektif. Efisiensi
d