Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP)Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM-MP)

DI KECAMATAN TARUTUNG

KABUPATEN TAPANULI UTARA

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

KARTINI EVA CHRISTINA NAHAMPUN

087024021

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) merupakan program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Maka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam PNPM-MP di Kecamatan Tarutung. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat, karena adanya partisipasi masyarakat, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat Kecamatan Tarutung, maka masih dibutuhkan peranan dari para pelaku pemberdayaan yang diharapkan mampu sebagai agen perubahan. Para pelaku pemberdayaan yang diharapkan sebagai agen perubahan di Kecamatan Tarutung adalah Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah di Kecamatan Tarutung masih perlu ditingkatkan. Para pelaku pemberdayaan tersebut masih sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Selain itu ditemukan juga tingkat partisipasi masyarakat yang berada pada kategori sedang, dengan perolehan skor 2,94, serta beberapa faktor penghambat partisipasi masyarakat di Kecamatan Tarutung.

Penelitian ini merekomendasikan beberapa saran yaitu: perlunya untuk giat melakukan sosialisasi dengan lebih intensif, melakukan pelatihan secara rutin dan berkelanjutan setiap jangka waktu tertentu untuk lebih meng-up date pengetahuan, keterampilan dari para pelaku-pelaku pemberdayaan dan masyarakat desa, melakukan perekrutan relawan baru sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat melalui mekanisme yang dapat mengakomodir potensi sumber daya manusia di setiap desa, bagi Fasilitator dan KPM diharapkan perlu pembekalan dan pelatihan yang lebih berkualitas, menggunakan tenaga pemuda desa yang cakap atau potensial (kaum muda yang berkarya) di dalam pelaksanaan PNPM-MP.


(3)

ABSTRACT

PNPM-MP is an integrated and sustainable program to reduce poverty, based on empowerment and community participation. Therefore, this research aims to identify community participation in PNPM-MP in the District Tarutung. The implementation of community empowerment programs are requiring the direct involvement of the community beneficiaries, because only with the participation of beneficiaries, the results of such development will be in accordance with the aspirations and needs of society itself. To increase the participation of Tarutung people, still required the role of the empowerment agent, who are expected to be an agent of change. The agent of change are Facilitator, Cadres of Community Empowerment, Local Government.

The research method used was qualitative and quantitative approaches. The experiment was conducted in District Tarutung, North Tapanuli. The results showed that the role of Facilitator, Cadres of Community Empowerment and Local Governments in the District Tarutung still needs to be improved. The agent of empowerment is still highly expected to become agents of change in community empowerment through increased community participation. In addition it was also found that the level of community participation in middle category, with the acquisition of 2.94 score, and several factors inhibiting the participation of communities in the District of Tarutung.

This research recommends some suggestions that information need to socialize with intensive, conduct regular training to update knowledge and skills of community agents, recruit new volunteers as a KPM and Facilitator, both of them can accommodate potential human resources in each village. Debriefing and training more qualified for the facilitator and KPM, using skilled labor or village youth potential in the implementation of PNPM-MP.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara” ini. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih secara khusus kepada mama dan bapak, serta seluruh keluarga penulis yang telah memberikan dukungan dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini, serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dosen pembimbing tesis Bapak Drs. Henry Sitorus, MA dan Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP;

2. Aparat kecamatan, kepala desa, lurah, pelaku-pelaku PNPM-MP Kecamatan Tarutung;

3. Samuel AH Lumbanraja yang selalu setia memberikan dukungan dan semangat bagi penulis;

4. Sahabat dan teman-temanku angkatan 13 Magister Studi Pembangunan (kak erisda, josua, filina, bang pirhot, kak siswati, rara si rahmat, nisa, sari, bang


(5)

robert, bang dedy, jeniusman dan lain-lain) atas kebersamaan, dukungan dan berbagai saran sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik;

5. Semua pihak yang telah membantu dalam proses pendidikan penulis

Penulis menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2010


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………..………. i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI………..………. v

DAFTAR TABEL………..………... viii

DAFTAR GAMBAR…….………. ix

DAFTAR LAMPIRAN………... xi

BAB I PENDAHULUAN…... 1

1.1. Latar Belakang…... 1

1.2. Perumusan Masalah……….. 12

1.3. Tujuan Penelitian….………. 14

1.4. Manfaat Penelitian….………... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…... 16

2.1. Kemiskinan 16 2.2. Pemberdayaan Masyarakat………..………. 18

2.3. Konsep Partisipasi Masyarakat………. 25

2.4. Intervensi Pemberdayaan Masyarakat……….………. 31

2.4.1. Konsep Peranan……….………. 33

2.4.2. Peranan Agent of Change atau Pelaku Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat……….………. 35

2.4.2.1. Peranan Fasilitator Pemberdayaan….………. 36

2.4.2.2. Peranan Kader Pemberdayaan Masyarakat………...………. 40

2.4.2.3. Peranan Pemerintah Daerah………...………. 45

2.5. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM).…...……. 49


(7)

2.5.2. PNPM Mandiri Perdesaan……….………. 53

2.6. Kerangka Pemikiran………. 58

BAB III METODE PENELITIAN ... 60

3.1. Jenis/Desain Penelitian………. 60

3.2. Defenisi Konsep………..………. 60

3.3. Defenisi Operasional………...………. 62

3.4. Populasi, Sampel dan Informan Penelitian………. 65

3.5. Teknik Pengumpulan Data………..………. 67

3.6. Lokasi Penelitian……….………. 69

3.7. Metode Analisis Data………..………. 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…..………... 73

4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian………..………. 73

4.1.1. Kondisi Geografis Kecamatan Tarutung………. 73

4.1.2. Kondisi Demografi Kecamatan Tarutung…...………. 74

4.1.3. Kondisi Sosial Kecamatan Tarutung………..………. 78

4.2. Karakteristik Responden………..………. 82

4.3. Hasil Penelitian………. 93

4.3.1. Peranan Agent of change...………. 94

4.3.1.1. Peranan Fasilitator...………. 95

4.3.1.2. Peranan KPM...………. 119

4.3.1.3. Peranan Pemerintah Daerah...………. 136

4.3.2. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam PNPM-MP di Kecamatan Tarutung………...………... 148

4.3.2.1. Aliran Informasi di dalam masyarakat...………. 149

4.3.2.2. Konsultasi Masyarakat...………. 157


(8)

4.3.2.4. Pengambilan Keputusan...………. 171

4.3.2.5. Keterlibatan dalam Pelaksanaan...………. 176

4.3.2.6. Swadaya Masyarakat...………. 179

4.3.2.7. Pengawasan oleh Masyarakat...………. 184

4.3.2.8. Evaluasi dari Masyarakat...………. 185

4.3.2.9. Keterlibatan dalam Pemanfaatan Hasil.………. 190

4.3.2.10.Keterlibatan dalam Pemeliharaan Hasil………. 191

4.3.3. Rekapitulasi Nilai Rata-Rata Indikator Partisipasi Masyarakat dalam PNPM-MP... 193

4.3.4. Faktor-Faktor Penghambat Partisipasi Masyarakat....………. 203

BAB V PENUTUP... 223

5.1. Kesimpulan……..……….. 223

5.2. Saran... 226

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Alokasi Berdasarkan Ratio Penduduk Miskin dan Jumlah Penduduk

di Kecamatan………..………. 8

Tabel 3.1. Batasan Operasionalisasi Variabel Peranan Fasilitator, Peranan Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Peranan Pemerintah

Daerah……….………. 64

Tabel 3.2. Batasan Operasionalisasi Variabel Tingkat Partisipasi

Masyarakat………...……… 65

Tabel 3.3. Interval Kategori Tingkat Partisipasi………..……. 72

Tabel 4.1. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin………... 74

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut

Desa/Kelurahan Tahun 2008... 76

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga dan rata-rata Per rumah

tangga Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Tarutung Tahun

2008... 77

Tabel 4.4. Jumlah Usaha Industri/Kerajinan Menurut Desa/Kelurahan dan

Jenisnya Tahun 2008... 79

Tabel 4.5. Jumlah Rumah Tangga Miskin Menurut Desa/Kelurahan Tahun

2008... 81

Tabel 4.6. Kehadiran Masyarakat Kecamatan Tarutung pada MD I dan MD II

PNPM-MP Berdasarkan Desa yang berpartisipasi di Kecamatan

tarutung Tahun 2009... 84

Tabel 4.7. Sektor/Bidang Usaha Sumber Penghasilan Utama Sebagian Besar

Penduduk Tahun 2008... 92 Tabel 4.8. Rekapitulasi Nilai Rata-Rata Indikator Tingkat Partisipasi

Masyarakat dalam PNPM Mandiri Perdesaan... 194

Tabel 4.9. Daftar Penerima Dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP)

Kecamatan Tarutung Tahun 2007 s/d 2010... 210


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1. Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga

Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2008……….

10

Gambar 1.2. Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2006……….

11

Gambar 2.1. Sinergi Masyarakat dan Pemerintah Daerah……… 48

Gambar 2.2. Alur Tahapan PNPM mandiri Perdesaan... 57

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran………. 58

Gambar 4.1. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 83

Gambar 4.2. Komposisi Responden Berdasarkan Kelompok Umur……. 85

Gambar 4.3. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan…….. 87

Gambar 4.4. Jumlah Responden Berdasarkan Suku Bangsa... 88

Gambar 4.5. Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga……… 89

Gambar 4.6. Responden Berdasarkan Penghasilan Perbulan……… 90

Gambar 4.7. Tahapan Masyarakat Menuju Keberdayaan………. 96

Gambar 4.8. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepedulian Masyarakat... 150

Gambar 4.9. Distribusi Frekuensi Tingkat Pemahaman Masyarakat Terhadap Arti Pemberdayaan... 153

Gambar 4.10. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Informasi PNPM Mandiri Perdesaan... 155

Gambar 4.11. Distribusi Frekuensi Keinginan Masyarakat Berkonsultasi dengan Pelaku Pemberdayaan... 158

Gambar 4.12. Distribusi Frekuensi Intensitas Konsultasi Masyarakat dengan Pelaku Pemberdayaan... 161


(11)

Gambar 4.13. Distribusi Frekuensi Keterlibatan Masyarakat dalam

Perencanaan Pembangunan... 163 Gambar 4.14. Distribusi Frekuensi Motivasi Masyarakat Menghadiri

Musyawarah Perencanaan Pembangunan... 166 Gambar 4.15. Distribusi Frekuensi Masyarakat Memberi Gagasan dalam

Musyawarah Perencanaan Pembangunan... 169 Gambar 4.16. Distribusi Frekuensi Tingkat Kehadiran Masyarakat dalam

Musyawarah Pengambilan Keputusan... 172 Gambar 4.17. Distribusi Frekuensi Kesesuaian Usulan dengan

Keputusan Pembangunan………. 174 Gambar 4.18. Distribusi Frekuensi Tingkat Keikutsertaan Masyarakat

dalam Pelaksanaan Pembangunan……… 177 Gambar 4.19. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat dalam

Memberi Sumbangan Dana Pembangunan Desa…………. 180 Gambar 4.20. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat dalam

Memberi Sumbangan Tenaga Pembangunan Desa……….. 182 Gambar 4.21. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat

Mengawasi Pembangunan... 184 Gambar 4.22. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat Memberi

Penilaian terhadap Kualitas Pembangunan……….. 186 Gambar 4.23. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat Memberi

Masukan dan Kritik untuk Perbaikan Pembangunan……... 188 Gambar 4.24. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat

Memanfaatkan Hasil Pembangunan………. 190 Gambar 4.25. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kuesioner Penelitian

2. Daftar Pedoman Wawancara


(13)

ABSTRAK

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) merupakan program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Maka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam PNPM-MP di Kecamatan Tarutung. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat, karena adanya partisipasi masyarakat, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat Kecamatan Tarutung, maka masih dibutuhkan peranan dari para pelaku pemberdayaan yang diharapkan mampu sebagai agen perubahan. Para pelaku pemberdayaan yang diharapkan sebagai agen perubahan di Kecamatan Tarutung adalah Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah di Kecamatan Tarutung masih perlu ditingkatkan. Para pelaku pemberdayaan tersebut masih sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Selain itu ditemukan juga tingkat partisipasi masyarakat yang berada pada kategori sedang, dengan perolehan skor 2,94, serta beberapa faktor penghambat partisipasi masyarakat di Kecamatan Tarutung.

Penelitian ini merekomendasikan beberapa saran yaitu: perlunya untuk giat melakukan sosialisasi dengan lebih intensif, melakukan pelatihan secara rutin dan berkelanjutan setiap jangka waktu tertentu untuk lebih meng-up date pengetahuan, keterampilan dari para pelaku-pelaku pemberdayaan dan masyarakat desa, melakukan perekrutan relawan baru sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat melalui mekanisme yang dapat mengakomodir potensi sumber daya manusia di setiap desa, bagi Fasilitator dan KPM diharapkan perlu pembekalan dan pelatihan yang lebih berkualitas, menggunakan tenaga pemuda desa yang cakap atau potensial (kaum muda yang berkarya) di dalam pelaksanaan PNPM-MP.


(14)

ABSTRACT

PNPM-MP is an integrated and sustainable program to reduce poverty, based on empowerment and community participation. Therefore, this research aims to identify community participation in PNPM-MP in the District Tarutung. The implementation of community empowerment programs are requiring the direct involvement of the community beneficiaries, because only with the participation of beneficiaries, the results of such development will be in accordance with the aspirations and needs of society itself. To increase the participation of Tarutung people, still required the role of the empowerment agent, who are expected to be an agent of change. The agent of change are Facilitator, Cadres of Community Empowerment, Local Government.

The research method used was qualitative and quantitative approaches. The experiment was conducted in District Tarutung, North Tapanuli. The results showed that the role of Facilitator, Cadres of Community Empowerment and Local Governments in the District Tarutung still needs to be improved. The agent of empowerment is still highly expected to become agents of change in community empowerment through increased community participation. In addition it was also found that the level of community participation in middle category, with the acquisition of 2.94 score, and several factors inhibiting the participation of communities in the District of Tarutung.

This research recommends some suggestions that information need to socialize with intensive, conduct regular training to update knowledge and skills of community agents, recruit new volunteers as a KPM and Facilitator, both of them can accommodate potential human resources in each village. Debriefing and training more qualified for the facilitator and KPM, using skilled labor or village youth potential in the implementation of PNPM-MP.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang pada umumnya memiliki konsep sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan yang ditemui bahwa pada saat itu masyarakat tidak merasa memiliki terhadap program-program tersebut sehingga seringkali ditemukan di lapangan bahwa banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program yang ada tersebut kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Bahkan sampai saat ini, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap bahwa pemberdayaan adalah hanya sebatas mereka memperoleh akses finansial seperti dana bantuan atau pun kredit.

Perubahan orientasi dan cara berbagai program pengentasan kemiskinan, tidak terlepas dari aliran perubahan arti pembangunan itu sendiri. Pada awalnya pembangunan ekonomi yang tinggilah yang menjadi prioritas bagi setiap negara di dunia. Dengan adanya pola pendekatan trickle down effect¸ ada suatu harapan akan terjadi tetesan kemakmuran yang dirasakan oleh sekelompok masyarakat tertentu.


(16)

Melalui pencapaian pendapatan nasional yang tinggi dianggap merupakan keberhasilan bagi seluruh bangsa. Namun kenyataan adalah bahwa pola pendekatan tersebut adalah tidak sempurna, yang terjadi adalah semakin luasnya kesenjangan yang terjadi antara masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Jumlah masyarakat miskin bukan berkurang melainkan bertambah dari tahun ke tahun.

Kenyataan tersebut membawa perubahan terhadap pola pengentasan kemiskinan oleh banyak negara. Di negara Indonesia, pemerintah kemudian mewujudkan program pengentasan kemiskinan melalui pola bantuan langsung dan pola pemberdayaan masyarakat. Berbagai program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Takesra, program Jaring Pengaman Sosial (JPS), program kredit lunak bagi masyarakat miskin, Program Pengembangan Kecamatan Fase I dan Fase II serta berbagai program pengentasan kemiskinan melalui pemberian subsidi dan bantuan bagi masyarakat miskin telah dilakukan oleh pemerintah.

Program-program pengentasan kemiskinan yang sebelumnya, diprioritaskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok, upaya peningkatan kemampuan para petani di pedesaan, melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kemudahan para petani menggarap sawah ladangnya, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih merata dengan program Inpres Kesehatan, dokter dan tenaga para medisnya, sekolah, guru dan perlengkapan lainnya, serta mengusahakan adanya listrik masuk desa dan perbaikan sarana pedesaan lainnya. Namun pendekatan semacam ini kemudian


(17)

menimbulkan implikasi baru dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Pola ini memang sangat efektif dalam mencapai sasaran yang ada namun di sisi lain tanpa adanya penguatan sosial (social strengthening) justru akan menimbulkan ketergantungan masyarakat serta memperlemah daya kreasi dan inovasi dari masyarakat tersebut. Dampak dari program ini pun tidak berkelanjutan bagi pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat.

Menurut Prasojo (2003) ada beberapa permasalahan terkait upaya pemberdayaan masyarakat sehingga tidak mencapai tujuan pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yaitu:

a) Diskontinuitas dan diskoordinasi merupakan permasalahan pemberdayaan masyarakat dikarenakan tidak adanya koordinasi yang baik dari keseluruhan program yang menyangkut pemberdayaan masyarakat, dimana program dijalankan bersifat sporadis. Kebijakan pemerintah mengenai suatu program pemberdayaan tidak berkoordinasi dengan LSM atau upaya pendampingan masyarakat, sehingga program yang dijalankan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada.

b) Disinformasi program yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mengetahui dan mengenal program pemberdayaan dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap cara penyampaian informasi yang dilakukan oleh konsultan atau ilmuwan dan pendamping masyarakat dengan


(18)

penggunaan bahasa ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat sasaran pemberdayaan.

c) Disorientasi Pemberdayaan dengan pendekatan proses, biasanya membutuhkan waktu yang lama sehingga ada kecenderungan dari fasilitator baik dari pemerintah maupun LSM untuk mengubah kebijakan yang lebih nyata. Pendekatan pemberdayaan yang berorientasi proses diubah menjadi lebih berorientasi ke hasil. Sehingga terjadi perubahan orientasi pemberdayaan masyarakat yang menyebabkan ketidakberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.

d) Adanya upaya Generalisasi. Kondisi keragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia, mengandung potensi variasi lokal yang sangat bear. Oleh karena itu kebijakan pemberdayaan masyarakat harus mengikuti keragaman yang ada tersebut, karena dengan penyeragaman pelaksanaan program tidak akan menyentuh akar permasalahan dalam komunitas yang berbeda tersebut. Oleh karena itu pendekatan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan nilai-nilai dasar yang ada di masyarakat, karakter budaya, serta struktur sosial masyarakat.

e) Rentang birokrasi dan tingginya biaya operasional, permasalahan birokrasi yang tidak fleksibel dengan biaya operasional yang tinggi, selalu menjadi penghambat yang sering ditemui dalam pengalaman pelaksanaan berbagai program dan kegiatan di Indonesia sampai saat ini. Orientasi petugas lapangan lebih kepada


(19)

mengikuti peraturan dari pada menjawab kebutuhan lapangan. Hal ini akan sangat menghambat upaya pemberdayaan masyarakat.

f) Indikator yang tidak tepat dimana upaya pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan seringkali diukur dalam bentuk fisik, komoditas dengan berorientasi pada input dan kualitatif dari pada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses. Hal ini mengabaikan pentingnya proses dalam upaya pemberdayaan karena yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan partisipasi, kesadaran akan nilai dan hukum dari masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang mampu dan mandiri.

Pendekatan penanggulangan yang dilaksanakan saat ini lebih diprioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin dengan sebutan pembangunan manusia, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Masyarakat yang pada masa sebelumnya dianggap sebagai objek dari pembangunan, kini diposisikan sebagai subjek pembangunan. Berdasarkan pengalaman masa lalu, dalam sistem perencanaan pembangunan yang bersifat top down planning, adalah dirasakan kurang membawa keberhasilan, sehingga perencanaan pembangunan yang sekarang dilakukan adalah lebih kepada bottom up planning. Paradigma pembangunan yang ada saat ini adalah yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development), rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai kunci dalam perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Tujuan dari


(20)

konsep pemberdayaan masyarakat disini bukan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat melainkan lebih pada usaha bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya; kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya.

Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembangunan, karena hanya dengan adanya partisipasi dari masyarakat penerima program pemberdayaan, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk berperan dalam perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dari pembangunan itu sendiri. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraan hidupnya. Tetapi, kondisi masyarakat yang telah begitu lama terbiasa disubsidi oleh pemerintah, telah mematikan kreativitas, sehingga usaha peningkatan partisipasi


(21)

masyarakat mulai dari titik awal dan benar-benar membutuhkan usaha bersama dari seluruh elemen negara.

Belajar dari berbagai kekurangan dan mengatasi kendala dan kelemahan pada program pengentasan yang sebelumnya, saat ini Indonesia memiliki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) sebagai program pembangunan berbasis masyarakat. Didalamnya ada upaya pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk mencapai tujuan meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan memiliki konsep melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan peningkatan perekonomian mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemantauan dan evaluasi. PNPM dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum, dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Pada program ini masyarakat bukan lagi sebagai objek melainkan subjek dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Masyarakat menjadi mandiri dan memiliki kesadaran kritis akan partisipasinya terhadap pembangunan itu sendiri. Bahkan masyarakat pun akan memiliki kesempatan lapangan pekerjaan dalam pelaksanaan program ini. PNPM Mandiri ini berbasis pemberdayaan masyarakat yakni basisnya adalah bagaimana upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memecahkan persoalan terkait peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Proses


(22)

pemberdayaan masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ini terdiri dari tahap pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Sumber dana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) c. Swadaya Masyarakat

d. Partisipasi dunia usaha

Alokasi dana PNPM-MP berdasarkan ratio penduduk miskin dan jumlah penduduk kecamatan sebagai berikut:

Tabel 1.1.

Alokasi PNPM-MP Berdasarkan Ratio Penduduk Miskin dan Jumlah Penduduk di Kecamatan

Lokasi Jumlah Penduduk Persen Penduduk Miskin

Alokasi BLM (Rupiah) </=40% 1.500.000.000 < 25.000

>40% 1.750.000.000 </=40% 1.750.000.000 25.000-50.000

>40% 2.000.000.000 <20% 2.250.000.000 20% s/d 40% 2.500.000.000 Jawa

>50.000

>40% 3.000.000.000 </=40% 1.500.000.000 <15.000

>40% 1.750.000.000 </=40% 1.750.000.000 15.000 - 25.000

>40% 2.000.000.000 <20% 2.250.000.000 20% s/d 40% 2.500.000.000 Luar Jawa

>25.000

>40% 3.000.000.000 Sumber: PTO PNPM-MP, Tahun 2008


(23)

PNPM-MP merupakan program yang terbilang baru, dimana program ini baru dimulai sejak tahun 2007. Konsep PNPM-MP sebagai program pemberdayaan masyarakat adalah cukup bagus, apalagi berbagai kekurangan-kekurangan dan kegagalan yang terjadi pada program pemberdayaan yang sebelumnya telah di evaluasi, dan menghasilkan PNPM-MP sebagai solusi. Namun masih saja ditemukan berbagai kendala sehubungan dengan pelaksanaan PNPM dan terkait peran serta atau partisipasi masyarakat terjadi di beberapa daerah. Kecenderungan masyarakat masih bergantung terhadap pemerintah, dikarenakan beberapa waktu lamanya, masyarakat sudah terbiasa dengan menerima saja kebijakan apapun dari pusat, dan bukan berasal dari keinginan masyarakat sendiri. Masyarakat belum mampu sepenuhnya untuk berinovasi dan memiliki inisiatif sendiri. Masyarakat masih terkesan apatis karena pengalaman mereka selama masa sebelumnya dimana meskipun mereka menyampaikan aspirasi terhadap perencanaan pembangunan, yang sering diterima adalah aspirasi dari elit-elit pemerintah atau kelompok yang dianggap lebih menguasai program pembangunan yang tepat bagi masyarakat. Padahal yang lebih mengetahui permasalahan masyarakat adalah tentunya masyarakat itu sendiri. Maka poin penting dari permasalahan pemberdayaan masyarakat adalah pentingnya partisipasi masyarakat secara sukarela dan penuh kesadaran untuk berubah lebih baik menuju keberdayaan, dari sebab itu, peran pelaku program pemberdayaan seperti fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan pemerintah daerah pun mengambil


(24)

posisi penting untuk menjadi agent of change, melakukan perubahan dengan menggugah kesadaran berpartisipasi oleh masyarakat di dalam pembangunan.

Demikian halnya dengan Kecamatan Tarutung, sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara, yang juga ikut melaksanakan berbagai program pemberdayaan yang dilaksanakan di Indonesia, seperti yang diuraikan sebelumnya. Kecamatan Tarutung telah melalui berbagai program pemberdayaan, seperti IDT dan PPK sejak tahun 1995 sampai tahun 2006. Meskipun sudah dilaksanakan berbagai program pemberdayaan tersebut, namun pada kenyataannya, jumlah penduduk miskin masih saja besar. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara menyebutkan bahwa jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kecamatan Tarutung mencapai 2.011 rumah tangga. Jumlah ini mencapai 24% dari 8.322 rumah tangga yang ada di Kecamatan Tarutung atau sepertiga dari jumlah seluruh rumah tangga. Jumlah ini cukup banyak, padahal Kecamatan Tarutung sebagai ibukota dari Kabupaten Tapanuli Utara. Perbandingan rumah tangga miskin dan rumah tangga layak di Kecamatan Tarutung disajikan pada gambar berikut:


(25)

Gambar 1.1.

Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2008

Rum ah Tangga Layak

76%

Rum ah Tangga Miskin

24%

Rumah Tangga Miskin Rumah Tangga Layak

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara, Tahun 2009

Apabila kita melihat data 2 tahun sebelumnya, yaitu tahun 2006, tahun dimana berakhirnya PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yaitu program pemberdayaan sebelum digantikan oleh PNPM-MP, jumlah rumah tangga miskin di Kecamatan Tarutung lebih banyak lagi, mencapai 32% dari 7.861 rumah tangga di Kecamatan Tarutung. Hal ini dapat terlihat pada gambar 1.2 berikut:


(26)

Gambar 1.2.

Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2006

Rum ah Tangga Miskin

32%

Rum ah Tangga Layak

68%

Rumah Tangga Miskin Rumah Tangga Layak Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara, Tahun 2006

Gambar 1.2. di atas menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga miskin di Kecamatan Tarutung memang dalam angka yang cukup besar, mengingat Kecamatan Tarutung sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Utara. Indikator kemiskinan yang menjadi acuan data pada gambar adalah sesuai dengan indikator rumah tangga miskin menurut BPS yaitu sangat miskin berarti konsumsi kurang dari 1.900 kalori per orang/ per hari ditambah pengeluaran non pangan Rp. 480.000,- per bulan/ per rumah tangga. Penduduk miskin berarti konsumsi antara 1900-2.100 kalori per orang/ per hari ditambah pengeluaran non pangan Rp. 600.000,- per bulan/ per rumah tangga. Kemudian penduduk hampir miskin 2.100-2.300 kalori per orang/ per hari ditambah pengeluaran non pangan Rp. 700.000,- per bulan/ per rumah tangga.

Melalui pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan ada harapan untuk mampu mengurangi jumlah penduduk miskin


(27)

tersebut. Basis dari program pemberdayaan ini adalah partisipasi masyarakat, yang menghargai pengalaman masyarakat di dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat Kecamatan Tarutung dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, dimana partisipasi masyarakat akan menjadi tolak ukur keberhasilan dari pelaksanaan PNPM-MP, yang pada akhirnya akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Kecamatan Tarutung melalui upaya pemberdayaan. Untuk mencapai itu semua, masih dibutuhkan peran dari para pelaku yang sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mempercepat proses pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan PNPM-MP tersebut. Maka uraian tersebut dijadikan oleh penulis sebagai latar belakang memilih judul ”Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di

Kecamatan Tarutung”.

1.2. Perumusan Masalah

Pelaksanaan PNPM-MP bertujuan untuk memberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok, untuk kemudian mampu memecahkan berbagai masalah dan persoalan terkait pemenuhan kebutuhan, meningkatkan kualitas hidup, kemandirian serta kesejahteraan masyarakat. Partisipasi seluruh masyarakat, termasuk didalamnya masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya


(28)

yang terpinggirkan juga menjadi tujuan yang sangat penting bagi pelaksanaan PNPM-MP ini.

Pembangunan partisipatif tentunya mengutamakan partisipasi masyarakat lokal untuk mengembangkan kapasitas atau kemampuan masyarakat tersebut. Apabila wewenang diberikan kepada masyarakat untuk mengelola suatu program demi peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, maka masyarakat akan mau mengerahkan segala potensi yang dimilikinya demi keberhasilan progrram tersebut. Agar sasaran penelitian ini lebih terarah, perlu adanya perumusan masalah yang jelas dan terinci yaitu:

1) Bagaimana peranan fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MP di Kecamatan Tarutung?

2) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan Tarutung?

Masalah tersebut menjadi menarik dan penting untuk diteliti karena keberhasilan dan keberlanjutan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Kecamatan Tarutung dan secara umum berpengaruh ke tingkat nasional, adalah dilihat dari terciptanya partisipasi masyarakat terhadap program tersebut. Ketika partisipasi masyarakat masih rendah, maka yang menjadi tujuan


(29)

PNPM-Mandiri Perdesaan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri, tidak akan dapat dicapai dengan maksimal. Dan apabila terjadi hal demikian maka, program ini hanya akan berakhir sama seperti program-program pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1) Untuk mengetahui bagaimana peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan Tarutung.

2) Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan Tarutung.


(30)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis memberikan kontribusi keilmuan tentang pemberdayaan masyarakat dan pengembangannya serta partisipasi masyarakat dalam kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.

2. Secara praktis, memberi masukan kebijakan kepada pemerintah kecamatan dan kelompok kepentingan lainnya tentang pemberdayaan, peran aktif masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Chambers dalam Dewanta (1995) menyebutkan inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut jebakan kekurangan atau deprivation trap yang melilit keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan itu adalah: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, ketersaingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelimanya sangat berhubungan satu sama lain. Chambers menganjurkan agar kedua jenis ketidakberuntungan dari kelima hal tersebut mendapatkan perhatian khusus, yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan, karena keduanya sering menjadi penyebab keluarga miskin menjadi bertambah miskin. Kerentanan menurut Chambers dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sarana untuk menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana, penyakit dan sebagainya yang tiba-tiba menimpa keluarga itu. Sedangkan ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus-kasus dimana mereka tidak dapat melakukan perlawanan pada saat mereka dipojokkan pada posisi tidak menguntungkan oleh pihak-pihak lain.

Persoalan kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kuantitatif, tetapi juga bersifat kualitatif dimana masyarakat yang miskin secara kuantitatif, namun karena tinggal dalam suatu budaya, maka mereka bias tidak merasa miskin. Ada dua


(32)

pandangan mengenai penyebab kemiskinan (Loekman Soetrisno dalam Dewanta, 1995) sebagai berikut:

a. Kelompok Agrarian Populism berpendapat bahwa kemiskinan disebabkan oleh campur tangan yang terlalu luas dari perintah dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan, orang miskin dianggap akan dapat membantu dirinya sendiri. Kelompok ini mengusulkan cara untuk memberantas kemiskinan dengan jalan memberikan empowerment kepada masyarakat miskin.

b. Kelompok yang berpendapat bahwa inti atau penyebab kemiskinan adalah budaya orang miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, pendidikan relatif rendah dan kualitas sumber dayanya rendah dan sebagainya.

Kemiskinan merupakan permasalahan yang selalu menjadi topik penting bagi bangsa Indonesia. Menurut Wrihatnolo dkk (2007), kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi Indonesia dapat dilihat dari pendekatan konsumsi penduduk miskin, kemiskinan multidimensi dan kesenjangan antar-wilayah. Pendekatan konsumsi penduduk untuk melihat fenomena kemiskinan dapat dilihat dari dua jenis ukuran, yaitu ukuran konsumsi penduduk penduduk miskin dan ukuran daya beli. Kemiskinan multidemensi dapat diamati pada berbagai dimensi yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin tidak mampu menikmati pelayanan dasar. Sedangkan kesenjangan antar-wilayah berarti bahwa masalah kemiskinan dipahami sebagai masalah kesenjangan antar daerah dalam hal kesejahteraan penduduk dengan melihat Indikator Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI).

Berdasarkan permasalahan tersebut beberapa strategi dan kebijakan yang perlu dilakukan (Wrihatnolo dkk. 2007) antara lain:


(33)

a. Strategi pertumbuhan berkualitas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin ditandai dengan menguatnya daya beli yang didorong oleh terciptanya penghasilan bagi keluarga miskin dan berkurangnya beban pengeluaran serta lebih jauh dapat meningkatkan kemandirian keluarga miskin.

b. Strategi peningkatan akses pelayanan dasar bagi keluarga miskin yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin yang ditandai dengan semakin meningkatnya kehadiran keluarga miskin pada fasilitas dan pelayanan kesehatan dasar, pendidikan, konsumsi pangan dan gizi.

c. Strategi perlindungan sosial bertujuan untuk meningkatkan perlindungan sosial kepada keluarga miskin ditandai dengan keluarga miskin yang dijangkau oleh sistem perlindungan sosial.

d. Strategi pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk mendorong penduduk miskin untuk secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami sendiri.

2.2. Pemberdayaan Masyarakat

Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya”, yang berarti kekuatan atau kemampuan. Sedangkan pemberdayaan dapat diartikan sebagai sebuah proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan.

Sulistiyani (2004) menyatakan sebagai berikut:

“Daya dipahami sebagai suatu kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat, supaya mereka dapat melakukan sesuatu (pembangunan) secara mandiri. Sedangkan pemberdayaan merupakan suatu proses bertahap yang harus dilakukan dalam rangka memperoleh serta meningkatkan daya sehingga masyarakat mampu mandiri.”

Pada masa sekarang, diyakini bahwa konsep pemberdayaan masyarakat sebagai suatu solusi terhadap pemecahan masalah pembangunan terutama untuk


(34)

tujuan pengentasan kemiskinan. Seperti yang diungkapkan oleh Hikmat (2001), yaitu bahwa “pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, proses ini pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang berpusat pada rakyat”. Pembangunan yang bertumpu pada manusia dengan menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, merupakan pilihan strategi pembangunan bagi banyak negara termasuk negara Indonesia. Pemberdayaan merupakan suatu upaya memberikan kekuatan kepada orang ataupun kelompok masyarakat yang lemah atau miskin dengan memberi peluang berpartisipasi baik dalam aspek ekonomi, sosial dan politik untuk kemudian mereka menyadari akan kebutuhan mereka dan pada akhirnya mampu melakukan penyelesaian terhadap masalah pemenuhan kebutuhan dan keluar dari kemiskinan.

Menurut Rappaport dalam Hikmat (2001), pemberdayaan diartikan sebagai “pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya menurut undang-undang”. Dari pengertian tersebut konsep pemberdayaan bukan hanya seputar masalah ekonomi saja melainkan juga termasuk persoalan sosial dan politik.

Selanjutnya, menurut Ife dan Tesoriero (2008), “Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan dicapai dengan mengembangkan dan mengubah struktur-struktur dan lembaga-lembaga untuk mewujudkan akses yang lebih adil kepada sumber daya atau berbagai layanan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam


(35)

kehidupan masyarakat”. Berbagai aturan dirancang untuk kemudian mengakui dan memperhitungkan berbagai kelompok yang terpinggirkan dalam proses sosial politik dan ekonomi. Namun menjadi hal yang sangat penting juga untuk mempersiapkan kelompok masyarakat tersebut melalui pendidikan sehingga menjadi mampu dan terampil dalam mempergunakan akses yang mereka dapatkan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Saat ini merupakan masa dimunculkannya peran masyarakat pada tataran akar rumput, untuk berpartisipasi di dalam pembangunan.

Saat ini adalah masa dimunculkannya peran masyarakat pada tataran akar rumput untuk berpartisipasi di dalam pembangunan. Menurut Hikmat (2001:2) “pada hakikatnya proses pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak-absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer)”. Sehingga sistem yang tercipta sepenuhnya berpihak pada kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian masyarakat miskin pun menjadi terangkat martabatnya dan di anggap memiliki potensi pengetahuan dan kemandirian terutama dalam kegiatan pembangunan. Kegiatan memberdayakan akan mengalami masalah ketika ada dominasi kekuatan dan kekuasaan suatu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Dalam pemberdayaan, kelompok masyarakat memiliki power untuk mewujudkan keinginannya dalam melanjutkan kehidupannya.

Pemberdayaan merupakan hal yang penting saat ini yaitu bagaimana upaya menggali potensi masyarakat, bukan sekedar membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi bagaimana masyarakat menyadari potensi yang ada padanya


(36)

untuk dapat dipergunakan dalam memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut senada dengan pernyataan Payne dalam Adi (2008) dikatakan bahwa inti dari suatu pemberdayaan ditujukan untuk:

“Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.”

Beberapa pendapat tentang pemberdayaan di atas, memberikan cakupan yang luas dari konsep pemberdayaan tersebut. Namun inti dari konsep pemberdayaan, harus dipahami sebagai sebuah proses atau upaya menciptakan kemandirian masyarakat, agar masyarakat mampu mandiri dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan mereka terutama dalam masalah kemiskinan, tanpa tergantung dengan pihak lain. Tujuan akhir dari pemberdayaan itu sendiri adalah penanggulangan kemiskinan, melalui suatu capaian masyarakat yang mandiri.

Oleh karena itu, dalam proses pemberdayaan, sangat penting dilaksanakannya pendidikan dan penyadaran bagi masyarakat, sesuai dengan pandangan Ife (1995), yaitu proses pemberdayaan kelompok-kelompok yang kurang beruntung dilakukan mulai dari tatanan kebijakan atau perencanaan, tindakan sosial dan politik, serta secara langsung melalui pendidikan dan penyadaran. Tujuan penyadaran itu sendiri adalah agar masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan:


(37)

1) Pilihan-pilihan pribadi dan menciptakan kesempatan-kesempatan kehidupan;

2) Mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan; 3) Mengungkapkan gagasan-gagasan;

4) Mempengaruhi lembaga-lembaga pelayanan; 5) Memanfaatkan sumber-sumber;

6) Melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi; serta 7) Melakukan reproduksi.

Ketujuh tujuan penyadaran tersebut memberikan pemahaman bahwa, pemberdayaan menjadi suatu upaya mengaktualisasikan potensi yang sebenarnya ada pada masyarakat, sehingga pada akhirnya potensi tersebut dimanfaatkan untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Variasi lokal atau karakteristik khusus seperti budaya, ciri atau latar belakang yang dimiliki oleh masyarakat dapat menjadi potensi bagi masyarakat untuk berkembang. Menurut Setiana (2005) bahwa dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, yang terpenting adalah dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi, suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang.

Menurut Kartasasmita (1997), dalam upaya memberdayakan masyarakat dilakukan melalui tiga hal penting yaitu:

1) Enabling; yaitu bagaimana menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa


(38)

setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

2) Empowering; yaitu memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Proses ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan (input) menyangkut pembangunan sarana dan prasarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. 3) Protect ; bahwa memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses

pemberdayaan, dilakukan pencegahan yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat.


(39)

Pada kerangka pembangunan nasional Indonesia, memberikan penjelasan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang. Kedua, meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah. Ketiga, melindungi/memihak yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang menguntungkan. Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan ekonomi negara Indonesia guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mengartikan konsep pemberdayaan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui tiga aspek yaitu pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat dengan tujuan utama pemberdayaan masyarakat (PPK-Fase II:2002):

1. Mengembangkan kemampuan masyarakat dengan membangun manusia, mengembangkan potensi masyarakat dan merubah sikap hidup.

2. Mengubah perilaku masyarakat yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat.


(40)

3. Mengorganisir masyarakat, masyarakat perlu diorganisir untuk bekerja sama, mengatur, mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan, mengajak untuk mengidentifikasi kebutuhan, memprioritaskan dan mencari pemecahannya.

Berdasarkan pedoman umum pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai “upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya”. Masyarakat menjadi subjek dari pembangunan itu dan seluruh masalah yang dihadapi oleh masyarakat harus mampu diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Yang berperan paling utama adalah masyarkat karena sebenarnya masyarakat sendirilah yang mengetahui apa yang dibutuhkannya. Masyarakat kemudian akan difasilitasi dengan pembimbingan, pembinaan, pengembangan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya secara berkelanjutan sehingga pada saatnya mereka akan mampu dan mandiri.

Pemberdayaan menjadi suatu proses dimana masyarakat dibantu untuk dapat menolong dirinya sendiri sehingga menjadi berdaya, mengetahui apa yang dibutuhkannya serta mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri demi kelangsungan hidupnya, dengan demikian status sosialnya pun membaik, dan mampu menyuarakan kepentingannya di hadapan publik. Maka Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat akan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Oleh karena itu, PNPM-Mandiri Perdesaan


(41)

dalam menanggulangi kemiskinan juga berangkat dari titik tersebut melalui program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan.

2.3. Konsep Partisipasi Masyarakat

Partisipasi merupakan suatu bagian paling penting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Partisipasi adalah sebuah konsep sentral, dan prinsip dasar dari pengembangan masyarakat karena diantara banyak hal, partisipasi terkait erat dengan gagasan HAM (Ife dan Tesoriero. 2008:295). Dalam hal ini dengan mendorong partisipasi dapat diartikan juga dengan mewujudkan hak azasi manusia.

Moeljarto (1987), mengartikan partisipasi sebagai pernyataan mental secara emosional seseorang dalam suatu situasi kelompok yang mendorong mereka menyumbangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi terciptanya tujuan organisasi dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap organisasi sosial tersebut. Masyarakat memberikan perhatian seutuhnya memikirkan apa yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka. Ketika mereka yang menentukan apa yang hendak mereka usahakan dan perbuat bagi pembangunan, maka secara otomatis tanggung jawab akan tumbuh di dalam diri masyarakat tersebut.

Partisipasi berarti keikutsertaan seseorang ataupun sekelompok masyarakat dalam suatu kegiatan secara sadar. Jnabrabota Bhattacharyya (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi masyarakat yang idealnya terjadi apabila masyarakat memang mau secara


(42)

sukarela mendukung kegiatan tersebut. Kegiatan mendukung suatu kegiatan memang berkembang dari masyarakat di tingkat bawah sampai pada proses pengambilan keputusan.

Bintoro (1998) memberikan esensi partisipasi masyarakat sebagai berikut: 1. Keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini terutama berlangsung dalam proses politik tetapi juga berlangsung dalam proses sosial, hubungan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

2. Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, dan pengawasan sosial atas jalannya pembangunan. 3. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara

berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan-golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif mereka melalui perluasan kesempatan-kesempatan dan pembinaan tertentu.

Program pemberdayaan yang dilaksanakan di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya pada dasarnya belum dapat mengatasi berbagai permasalahan di dalam masyarakat, hal ini salah satunya disebabkan oleh pelibatan atau partisipasi masyarakat yang kurang aspiratif, artinya bahwa partisipasi masyarakat tersebut pada kenyataanya bukan berdasarkan kehendak masyarakat. Partisipasi yang terjadi dalam bentuk yang dipaksakan atau dimobilisasi. Oleh karena itu partisipasi masyarakat yang aspiratif adalah yang paling tepat, yaitu partisipasi masyarakat yang secara sukarela dan bersumber dari keinginan dan kesadaran masyarakat sendiri. Masyarakat harus diikutkan mulai dari tahap paling awal, dimana masyarakat desa yang menentukan desa seperti apa yang mereka inginkan atau masyarakat yang


(43)

merencanakan, memutuskan, melaksanakan, mengawasi, mengevaluasi sampai memelihara pembangunan tersebut. Pembangunan yang berbasis partisipasi tersebut akan memunculkan rasa memiliki terhadap program pembangunan, pada akhirnya paradigma top down akan ditinggalkan (Muttaqin,_____).

Ife dan Tesoriero menyatakan ada beberapa kondisi yang mendorong partisipasi, kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Orang akan berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa isu atau aktivitas tersebut penting. Cara ini akan lebih efektif apabila rakyat sendiri telah mampu menentukan isu atau aksi, bukan berasal dari perintah orang luar. 2) Orang harus merasa bahwa aksi mereka akan membawa perubahan. 3) Berbagai bentuk partisipasi harus diakui dan dihargai.

4) Orang harus bisa berpartisipasi, dan tentunya didukung dalam partisipasinya.

5) Struktur dan proses tidak boleh mengucilkan, sebagai contoh pembuatan keputusan yang sering mengucilkan mereka yang tidak bisa “berpikir cepat”, tidak ingin menginterupsi, kurang percaya diri dan tidak memiliki kemahiran berbicara.

Demikian halnya dengan penelitian Goldsmith dan Blustain di Jamaica dan Mubyarto di beberapa daerah di Indonesia sebagaimana dikutip dari Ndraha (1990), disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang menggerakkan partisipasi masyarakat yaitu:


(44)

a. Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau sudah ada dalam masyarakat

b. Partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat

c. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.

Masyarakat berpartisipasi dilakukan secara sukarela berarti bahwa masyarakat tidak boleh berada dalam tekanan dari pihak luar. Partisipasi bukan hanya diukur dari sekedar memenuhi suatu aturan dari program pembanguman, namun partisipasi lebih pada kualitas yang dihasilkan oleh keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi bukan dari kuantitas, yang menekankan angka-angka dan jumlah warga yang berpartisipasi akan tetapi lebih pada kualitas wacana partisipasi yang dikembangkan (Kleden, 2004). Sehingga partisipasi menjadi lebih bermakna ketika argumen untuk partisipasi dan akuntabilitas institusional didasari oleh konsepsi hak yang dalam konteks pembangunan, akan memperkuat status warga negara. Jika sebelumnya warga negara dirumuskan sebagai pemanfaat (beneficiaries), sekarang ini harus diposisikan sebagai pihak yang berhak atas pembangunan.

Bentuk-bentuk partisipasi (Ndraha, 1990) meliputi:

a) Partisipasi dalam/melalui kontak pihak lain sebagai salah satu titik awal perubahan


(45)

b) Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, mengiyakan, menerima dengan syarat maupun dalam arti menolaknya

c) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan

d) Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan

e) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan

f) Partisipasi dalam menilai, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti masyarakat sebagai pemeran utama mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai pada pengawasan dan evaluasi, sehingga pada akhirnya masyarakat merasa memiliki terhadap berbagai program pembangunan yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, para praktisi pembangunan berposisi sebagai pihak yang memfasilitasi upaya peningkatan aksesibilitas terhadap sumber-sumber lokal (Hikmat, 2001).

Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan dan keberlanjutan program pembangunan. Kegagalan dalam mencapai hasil dari program pembangunan tidak mencapai sasaran karena kurangnya partisipasi


(46)

masyarakat. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain (Kartasasmita, 1997):

a) Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil masyarakat dan tidak menguntungkan rakyat banyak.

b) Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud itu

c) Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman mereka.

d) Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi sejak semula rakyat tidak diikutsertakan.

Keikutsertaan masyarakat adalah sangat penting di dalam keseluruhan proses pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan selayaknya mencakup keseluruhan proses mulai dari awal sampai tahap akhir. Oleh karena itu, Kaho (1995) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang yaitu:

a) Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan b) Partisipasi dalam pelaksanaan

c) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil d) Partisipasi dalam evaluasi


(47)

Konsep ini memberikan makna bahwa masyarakat akan berpartisipasi secara sukarela apabila mereka dilibatkan sejak awal dalam proses pembangunan melalui program pemberdayaan. Ketika mereka mendapatkan manfaat dan merasa memiliki terhadap program pemberdayaan, maka dapat dicapai suatu keberlanjutan dari program pemberdayaan.

2.4. Intervensi Pemberdayaan Masyarakat

Intervensi dalam bentuk pendampingan masyarakat sangat penting bagi upaya memandirikan masyarakat,utamanya di awal proses pemberdayaan, karena sering dijumpai masyarakat yang memiliki pengetahuan terbatas seperti dalam bidang manajemen, pemasaran, teknologi dan sebagainya. Namun pendampingan yang kurang tepat juga dapat mengakibatkan hal yang sebaliknya yaitu ketidakmandirian bahkan ketergantungan. Oleh karena itu menurut Ismawan (2000), bentuk pendampingan yang dapat memandirikan masyarakat adalah dengan memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Wawasan yang luas; bahwa lembaga pendampingan memperlakukan masyarakat bukan sebagai proyek atau milik pribadi, melainkan sebagai entitas yang memiliki tujuan dan agenda sendiri. Wawasan yang luas juga berarti pendamping harus peka terhadap kebutuhan masyarakat.


(48)

b. Organisasi yang sesuai; artinya organisasi pendampingan semestinya didesain sesederhana mungkin dan berorientasi pada praksis, berjalan mengikuti perkembangan kelompok.

c. Tenaga pendamping yang tepat; memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai agar mampu mengemban tugas sebagai agen pemberdayaan masyarakat. Kriteria dasar yang harus dimiliki oleh pendamping ada tiga yaitu: memiliki wawasan yang tepat tentang kegiatan yang dijalankan, memiliki kemampuan berkomunikasi sesuai “bahasa” kelompok masyarakat yang didampingi, serta memiliki kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai, norma dan tradisi masyarakat setempat.

Sesuai dengan prinsip dari pengembangan masyarakat (community development), intervensi yang diberikan seharusnya diusahakan untuk tidak sampai menimbulkan ketergantungan masyarakat tetapi sebaliknya, masyarakat menjadi dapat bergerak, mandiri dan mendorong kesinambungan. Intervensi yang mampu mendorong kesinambungan adalah ketika masyarakat yang tadinya statis menjadi tergerak untuk melakukan perubahan dan pembaharuan dimana aktivitas perubahan dan pembaharuan tersebut tetap berlangsung walaupun intervensi telah dilakukan (Soetomo, 2008). Sehingga intervensi ini sebenarnya bersifat stimulan untuk mendorong timbulnya prakarsadan teraktualisasikannya potensi dari dalam masyarakat. Di dalam proses pemberdayaan masyarakat, bentuk intervensi dilakukan melalui peningkatan kapasitas masyarakat sehingga mampu mendefenisikan serta


(49)

memenuhi kebutuhannya. Intervensi dalam penelitian ini diarahkan kepada bentuk peranan dari fasilitator, pemerintah daerah dan kader pemberdayaan masyarakat yang harus mampu sebagai agent of change yang mampu membawa nuansa perubahan ke arah yang lebih baik demi kesejahteraan masyarakat dengan niat sebagai pekerja sosial yang baik.

Menjadi seorang pelaku perubahan dituntut suatu keberanian, percaya diri, komitmen dan cekatan terhadap usahanya dalm melakukan perubahan. Di dalam Program nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, peranan yang paling penting terdapat pada fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dan pemerintah daerah. Agar lebih jelas dan terarah, perlu diberikan batasan terhadap konsep dari peranan itu sendiri.

2.4.1. Konsep Peranan

Teori peranan berkaitan dengan teori struktural fungsional dalam sosiologi. Teori ini menganggap bahwa orang menduduki posisi dalam struktur sosial dan setiap posisi memiliki peranan. Menurut Thoha (1993), bahwa peranan adalah suatu rangkaian perilaku yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan tertentu atau karena adanya suatu faktor yang mudah dikenali. Hal ini sejalan dengan defenisi yang diberikan oleh Gibson dkk (1991) yang mengartikan peranan sebagai hal-hal yang harus dilakukan seseorang untuk menyahihkan (validity) kedudukannya dalam suatu posisi tertentu.


(50)

Dalam kehidupan sehari-hari peranan mempunyai fungsi yang penting, khususnya dalam mengatur tingkah laku seseorang. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Elly Chinoi (Soekanto, 1990), pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan diri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Kemudian Soekanto (1990) mengatakan sebagai berikut:

Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai proses. Tepatnya adalah bahwa seseorang yang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat dan menjalankan suatu peran. Peranan merupakan proses dinamis dari kedudukan dan status. Dengan demikian seseorang yang menjalankan peranan adalah mereka yang melaksanakan hak dan kewajiban, tugas dan fungsinya sesuai dengan kedudukan atau status yang dimiliki.

Menurut Gibson (1991), ada beberapa jenis peranan yaitu:

a. Peranan yang dipersepsikan, yaitu perangkat perilaku seseorang dalam suatu posisi dimana ia berpendapat bahwa ia harus memainkan peranan tersebut.

b. Peranan yang diharapkan, yaitu perilaku nyata yang diharapkan masyarakat dari seseorang atas kedudukannya.

c. Peranan yang dimainkan, yaitu perilaku yang benar-benar dilaksanakan seseorang sesuai dengan kedudukannya.

Peranan berarti perilaku seseorang sesuai posisi atau jabatan yang dimilikinya, yang benar-benar dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Peranan dalam pemberdayaan berarti perilaku yang dilaksanakan sebagai pelaku dalam pemberdayaan masyarakat, untuk mencapai masyarakat berdaya dan mandiri. Pada


(51)

penelitian ini, konteks peranan diarahkan pada peranan agen-agen pemberdayaan masyarakat seperti Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam kerangka memberdayakan masyarakat melalui peningkatan partisipasi aktif dari masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan.

2.4.2. Peranan Agent Of Change atau Pelaku Perubahan dalam Pemberdayaan

Masyarakat

Peran pelaku perubahan dalam upaya pemberdayaan masyarakat terkait dengan peran sebagai community worker ataupun enabler (Ife dalam Adi, 2007). Selanjutnya menurut Ife, sebagai community worker, setidak-tidaknya ada empat peran dan keterampilan utama yang nantinya secara lebih spesifik akan mengarah pada teknik dan keterampilan tertentu yang harus dimiliki seorang community worker sebagai pemberdaya masyarakat yaitu sebagai berikut:

a. Peran dan keterampilan fasilitatif, dari peran ini terdapat tujuh peran khusus yaitu: animasi sosial, mediasi dan negosiasi, pemberi dukungan, membentuk konsensus, fasilitasi kelompok, pemanfaatan sumber daya dan keterampilan, dan mengorganisasi.

b. Peran dan keterampilan edukasional, yang meliputi empat peran yaitu membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, mengonfrontasikan, dan pelatihan.


(52)

c. Peran dan keterampilan perwakilan yang meliputi enam peran yaitu mencari sumber daya, advokasi, memanfaatkan media, hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan, serta membagi pengetahuan dan pengalaman.

d. Peran dan keterampilan teknis yang mencakup keterampilan pemberdaya masyarakat untuk melakukan riset, menggunakan komputer, melakukan presentasi tertulis maupun verbal, serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola keuangan.

Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dijalankan oleh beberapa pelaku yang mempunyai fungsi masing-masing, baik itu sebagai pelaksana, fasilitator, pembimbing dan Pembina agar tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur dan mekanisme PNPM Mandiri Perdesaan tercapai dan dilaksanakan secara benar dan konsisten. Di dalam penelitian ini dibatasi pada peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah yang diharapkan mampu sebagai agen-agen perubahan dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

2.4.2.1. Peranan Fasilitator Pemberdayaan

Fasilitator adalah orang yang memberikan bantuan dalam memperlancar proses berkomunikasi sekelompok orang, sehingga mereka dapat memahami atau memecahkan masalah secara bersama-sama. Fasilitator bukanlah seseorang yang


(53)

bertugas hanya memberikan pelatihan, bimbingan, nasihat atau pendapat. Fasilitator harus menjadi narasumber yang baik untuk berbagai permasalahan (Indosdm, 2008).

Pada sebuah program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat, dibutuhkan bantuan dari fasilitator yang memiliki kualifikasi terhadap proses pemberdayaan masyarakat yang tepat. Fasilitator adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (attitude), yang dimanfaatkan untuk memberdayakan komunitas rentan, sehingga komunitas tersebut mampu mengatasi kemiskinannya. Fasilitator sangat diperlukan untuk mendampingi masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam mengembangkan dirinya dalam memperbaiki kesejahteraannya. Sebagai fasilitator, peranan yang diberikan berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat melalui mediasi, negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber (Shodiq, 2009).

Menurut Ife dan Tesoriero (2008), peran memfasilitasi dalam hal menstimulasi dan menunjang pengembangan masyarakat yaitu:

a. Animasi (semangat) sosial; yaitu menggambarkan satu komponen penting dari praktik kerja masyarakat berupa kemampuan menginspirasi, mengantusiasi, mengaktivasi, menstimulasi, menggerakkan dan memotivasi orang lain untuk melakukan tindakan. Pekerja masyarakat tersebut memiliki antusiasme, komitmen, integritas, berkomunikasi


(54)

dengan jelas dan tepat, pemahaman dan analisis pekerja masyarakat yang tepat.

b. Mediasi dan Negosiasi; mensyaratkan keterampilan untuk mendengar dan memahami kedua belah pihak, untuk merefleksikan berbagai pandangan dari masing-masing pihak, untuk membuat penduduk menghormati legitimasi pandangan orang lain, serta untuk membantu penduduk mencari area-area yang bisa menjadi kesepakatan dan kemudian membantu mereka membuat konsensus. Apabila pekerja masyarakat tersebut berada di satu sisi konflik sehingga mediasi menjadi sesuatu hal yang tidak mungkin, maka masih bisa memerankan peran negosiasi, untuk bisa mewakili satu pihak dari suatu konflik tertentu.

c. Dukungan; yaitu menyediakan dukungan bagi orang-orang yang terlibat dalam berbagai struktur dan aktivitas masyarakat mencakup hal-hal mengafirmasi penduduk, mengenali dan mengakui nilai mereka serta nilai kontribusi mereka, memberi dorongan, menyediakan diri ketika mereka perlu membicarakan sesuatu atau menanyakan berbagai pertanyaan, dan lain sebagainya.

d. Membangun konsensus; adalah sebuah perluasan dari peran mediasi, mencakup perhatian terhadap berbagai tujuan bersama, mengidentifikasi landasan umum dan membantu orang-orang untuk bergerak menuju sebuah konsensus yang dapat diterima oleh semua. Sebuah kesepakatan


(55)

tidak berarti setiap orang harus setuju terhadap segala hal, terutama ketika terdapat perbedaan pendapat yang secara jelas tidak mungkin dipertemukan. Lebih dari itu, sebuah konsensus itu mewakili suatu persetujuan atas tujuan dari tindakan, yang setiap orang telah ditentukan akan menjadi bagian yang terbaik dengan memperhatikan dan menghormati perbedaan pandangan dalam sebuah kelompok.

e. Fasilitasi kelompok; seorang pekerja masyarakat akan memainkan sebuah peran memfasilitasi dengan sebuah kelompok, apakah secara formal sebagai seorang ketua rapat atau penyelenggara rapat, ataukah secara tidak formal sebagai seorang anggota kelompok yang mampu membantu kelompok untuk mencapai tujuannya dengan sebuah cara yang efektif. Hal tersebut dapat melibatkan pembicaraan kepada anggota kelompok terlebih dahulu mendorong mereka untuk berpartisipasi dan membantu mereka untuk berpikir melalui pendekatan pertemuan.

f. Pemanfaatan berbagai keterampilan dan sumber daya; peran pekerja masyarakat ini mengidentifikasi untuk kemudian dapat memanfaatkan berbagai keterampilan dan sumber daya yang ada bersama masyarakat atau kelompok. Pekerja masyarakat bertugas untuk lebih sering melakukan inventarisasi keterampilan dari populasi lokal: membuat daftar berbagai keterampilan dan pengalaman yang merepresentasikan sebuah sumber ekonomi yang belum dimanfaatkan dalam sebuah masyarakat. Kemudian


(56)

seorang pekerja masyarakat juga penting untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai apa yang tersedia dalam masyarakat seperti keuangan, keahlian, bahan-bahan mentah, produk-produk yang dibuat, berbagai fasilitas masyarakat atau pekerja sukarela.

g. Mengorganisasi; peran ini melibatkan kemampuan untuk berpikir melalui apa yang butuh diselesaikan tanpa harus melakukannya seorang diri untuk memastikan itu semua terjadi.

h. Komunikasi pribadi; peran ini adalah penting untuk dapat berhubungan dengan penduduk setempat. Komunikasi yang dihasilkan adalah efektif, dengan tetap memelihara atmosfir kepercayaan dan dukungan masyarakat.

2.4.2.2. Peranan Kader Pemberdayaan Masyarakat

Proses pemberdayaan masyarakat yang berbasis partisipasi, memiliki kader-kader pemberdayaan yang berasal dari anggota masyarakat. Hal ini sangat sangat penting dimana para kader tersebut sebagai mitra terdekat dari pemerintah desa dan kelurahan. Untuk mempermudah penyerapan informasi oleh masyarakat dalam proses pemberdayaan, fungsi dari kader pemberdayaan masyarakat yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, adalah menjadi hal yang pokok untuk mendapat perhatian. Peranan Kader Pemberdayaan Masyarakat sangat pokok sebagai agent of change dalam proses pemberdayaan, yang diharapkan mampu membawa perubahan dengan lebih cepat menuju masyarakat mandiri dan sejahtera.


(57)

Menurut Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2007, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) adalah “anggota masyarakat Desa dan Kelurahan yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif.” Oleh karena itu untuk menjadi kader dalam pemberdayaan masyarakat harus memiliki kapasitas yang baik serta memiliki jiwa pengabdian bagi masyarakat. Untuk itu para KPM wajib mengikuti pelatihan guna menyelaraskan tujuan bersama dalam pemberdayaan masyarakat guna mencapai kesejahteraan.

Tugas KPM dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif menurut Permendagri Nomor 7 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

a. Menggerakkan dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan di wilayahnya;

b. Membantu masyarakat dalam mengartikulasi kebutuhannya dan membantu mengidentifikasi masalahnya;

c. Membantu masyarakat mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah yang dihadapi secara efektif;

d. Mendorong dan meyakinkan para pembuat keputusan untuk benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap kebutuhan masyarakat; dan


(58)

e. Melakukan pekerjaan purna waktu untuk menghadiri pertemuan/ musyawarah, membantu kelompok masyarakat dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan.

Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dalam melaksanakan berbagai tugas dengan tujuan utamanya untuk memberdayakan masyarakat, memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Pengidentifikasian masalah, kebutuhan dan sumber daya pembangunan yang dilakukan seara partisipatif;

b. Penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat bersama Lembaga Kemasyarakatan kepada Pemerintah Desa atau Kelurahan;

c. Penyusunan rencana pembangunan dan fasilitasi musyawarah perencanaan pembangunan secara partisipatif;

d. Pemberian motivasi, penggerakkan dan pembimbingan masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;

e. Penumbuhkembangan prakarsa, swadaya dan gotong royong masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;

f. Pendampingan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat;

g. Pendampingan masyarakat dalam pemantauan dan proses kesepakatan penyempurnaan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan;


(59)

h. Pendampingan masyarakat dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan hasil pembangunan;

i. Menumbuhkembangkan dinamika Lembaga Kemasyarakatan dan kelompok-kelompok masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi, sosial budaya, dan pelestarian lingkungan hidup dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat;

j. Pengordinasian pelaksanaan kegiatan Kader Teknis dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif; dan

k. Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan peranan KPM menurut Permendagri Nomor 7 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

a. Enabler yaitu sebagai pemercepat perubahan dengan membantu masyarakat untuk mengidentifikasi masalah, mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah yang dihadapi secara lebih efektif dan mengembangkan hubungan di antara pemeran/ stakeholders pembangunan dengan baik;

b. Mediator yaitu sebagai perantara dengan melakukan mediasi individu atau kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan atau pelayanan masyarakat atau kelompok masyarakat dengan stakeholder lainnya, dan


(60)

individu atau kelompok masyarakat apabila terjadi konflik dalam masyarakat;

c. Educator yaitu sebagai pendidik dengan secara aktif memberikan berbagai masukan yang positif dan langsung sebagai bagian dari pengalaman-pengalamannya. Membangkitkan kesadaran individu atau kelompok warga masyarakat bahwa ketidakberdayaan mereka disebabkan oleh ketidaksadarannya pada berbagai masalah yang ada pada dirinya. Memberi informasi melalui kegiatan belajar-mengajar untuk mendidik dan membiasakan warga yang didampinginya berfikir lebih matang secara komprehensif. Menularkan dan membagi pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh selama menjadi pendamping kepada masyarakat; d. Planner yaitu sebagai perencana, dengan mengumpulkan data mengenai

masalah yang terdapat dalam masyarakat, kemudian menganalisa dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah dan mengembangkan program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;

e. Advocation yaitu berperan mengadvokasi dengan memberikan advokasi masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun pelayanan dan mendorong para pembuat keputusan/Kepala Desa/Lurah untuk mau mendengar, mempertimbangkan dan peka terhadap kebutuhan masyarakat.


(1)

14. Bagaimanakah Bapak/Ibu dalam hal mengawasi pelaksanaan proyek pembangunan yang ada di desa?

a. Sangat sering mengawasi keseluruhan kegiatan dari awal sampai akhir pelaksanaan

b. mengawasi pelaksanaan

c. biasa saja, mengawasi kegiatan kalau ada waktu d. jarang memperhatikan pelaksanaan proyek

e. tidak pernah dan tidak ada keinginan sama sekali karena tidak terlalu penting 15. Bagaimanakah tingkat keikutsertaan Bapak/Ibu dalam memberikan penilaian

terhadap kualitas hasil atau manfaat dari pelaksanaan suatu proyek pembangunan sebagai hasil dari suatu pembangunan desa?

a. selalu memberi penilaian, memberi kritik dan saran b. iya, perlu dinilai kualitasnya

c. biasa saja, kadang-kadang kalau sudah sangat buruk hasilnya d. jarang memberi penilaian

e. tidak pernah dan tidak perlu dinilai, karena ga penting

16. Bagaimanakah tingkat keikutsertaan Bapak/Ibu dalam memberikan masukan atau kritikan kepada para pelaku pembangunan desa, untuk perbaikan pelaksanaan pembangunan selanjutnya?

a. sangat sering memberi kritik atau masukan, sehingga setiap ada pembangunan lagi kualitasnya semakin meningkat

b. iya, pernah beberapa kali

c. biasa saja, kadang-kadang memberi masukan kalau perlu d. jarang atau pernah satu kali

e. tidak pernah memberi kritik ataupun masukan

17. Apakah Bapak/Ibu ikut memanfaatkan hasil dari suatu pembangunan yang dilaksanakan di desa?


(2)

a. ya, pasti ikut memanfaatkan hasil pembangunan dan menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari

b. ikut memanfaatkan

c. ragu-ragu dalam memanfaatkan hasil pembangunan d. kurang memanfaatkan hasil pembangunan

e. tidak ikut memelihara hasil pembangunan

18. Apakah Bapak/Ibu ikut memelihara hasil dari suatu proyek pembangunan di desa?

a. ya, pasti ikut dalam setiap kegiatan, memelihara hasil pembangunan b. ikut memelihara

c. ragu-ragu dalam memelihara hasil pembangunan d. kurang memelihara pembangunan


(3)

PEDOMAN WAWANCARA

Wawancara kepada Masyarakat Kecamatan Tarutung

1. Hal-hal apa sajakah yang menghambat bapak/ibu didalam memberikan partisipasi aktif melaksanakan PNPM-MP?

2. Bagaimanakah Bapak/Ibu mendapatkan informasi tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri dan bagaimana kelengkapan dan keutuhan informasi tersebut?

3. Apa sajakah yang Bapak/Ibu ketahui tentang program pemberdayaan masyarakat, khususnya mengenai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan?

4. Menurut Bapak/Ibu mengapa suatu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat penting dilaksanakan di daerah Bapak/Ibu?

5. Apakah ada perubahan yang Bapak/Ibu rasakan ketika program pemberdayaan yang diturunkan oleh pemerintah dilaksanakan di daerah Bapak/Ibu?

6. Bagaimanakah Bapak/Ibu pernah dihargai atas partisipasi yang Bapak/Ibu berikan dalam program pembangunan?

7. Apakah Bapak/Ibu didukung untuk berpartisipasi dalam pembangunan? 8. Apakah pemerintah mendukung partisipasi yang Bapak/Ibu berikan?

9. Apakah Bapak/Ibu merasakan dukungan untuk berpartisipasi di lingkungan sekitar?

Wawancara kepada Fasilitator Kecamatan Tarutung

10. Apakah yang anda ketahui tentang pemberdayaan masyarakat? 11. Apakah yang anda ketahui tentang PNPM Mandiri Perdesaan?

12. Apakah keterlibatan anda di dalam PNPM Mandiri Perdesaan senantiasa memberi semangat kepada masyarakat untuk mampu mengatasi permasalahan mereka? 13. Bagaimanakah anda memberikan inspirasi berharga bagi masyarakat?


(4)

14. Pernahkah anda melakukan mediasi baik antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, atau antara masyarakat dengan pemerintah desa, atau masyarakat dengan lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan masyarakat? 15. Bagaimanakah caranya anda memberikan dukungan kepada masyarakat?

16. Bersediakah anda ketika masyarakat membutuhkan anda untuk membicarakan sesuatu terkait dengan permasalahan ekonomi masyarakat?

17. Bagaimanakah cara anda membantu masyarakat untuk bergerak menuju sebuah konsensus yang dapat diterima oleh semua?

18. Adakah anda memfasilitasi berbagai kegiatan ataupun pertemuan yang diselenggarakan oleh masyarakat, dan bagaimana anda melakukannya?

19. Bagaimanakah cara anda mengidentifikasi sumber daya dalam masyarakat dan bagaimana anda dapat memanfaatkannya sebagai potensi?

20. Apakah dalam setiap tahapan kegiatan anda terlibat di dalamnya?

21. sejauh mana keterlibatan anda di dalam penyusunan rencana kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan?

22. Tindakan apa yang anda lakukan dalam mengawali proses perencanaan?

23. Sejauh mana keterlibatan anda di dalam hal pengambilan keputusan di setiap tahapan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan?

24. Bagaimana cara anda membagi tugas bagi masyarakat sehingga semuanya dapat bekerja bersama untuk mencapai tujuan?

25. Bagaimanakah kedekatan anda dengan masyarakat setempat?

26. Hal apa sajakah menurut Bapak, yang menjadi kendala atau faktor-faktor yang menghambat partisipasi masyarakat dalam PNPM-MP?

Wawancara kepada Kader Pemberdayaan Masyarakat

27. Bagaimana anda membantu masyarakat sehingga mampu mengetahui apa yang benar-benar dibutuhkannya serta berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhannya?


(5)

28. Bagaimanakah anda melakukan mediasi antara masyarakat dengan lembaga-lembaga lainnya?

29. Bagaimanakah cara anda meningkatkan pengetahuan masyarakat dan kesadaran masyarakat tentang adanya potensi dalam masyarakat?

30. Bagaimanakah cara anda mengumpulkan data mengenai berbagai masalah yang ada dalam masyarakat?

31. Bagaimanakah cara anda mengelola berbagai data dalam masyarakat sehingga menemukan tindakan yang rasional dalam menangani masalah didalam masyarakat?

32. Bagaimana advokasi yang anda berikan kepada masyarakat?

33. Bagaimana usaha anda agar para pembuat keputusan di pemerintah setempat untuk mau mendengar dan peka terhadap keputusan masyarakat?

34. Bagaimana cara anda memperjuangkan kepentingan masyarakat?

35. Bagaimana cara anda mengumpulkan berbagai data dalam masyarakat dan menganalisisnya?

36. Hal apa sajakah menurut anda, yang menjadi faktor-faktor penghambat partisipasi masyarakat dalam PNPM-MP?

Wawancara kepada Camat, para Kepala Desa dan Kasi PMD Kecamatan Tarutung

37. Apakah Bapak selalu mengakomodasi aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan?

38. Apakah Bapak menanggapi berbagai permasalahan masyarakat terkait kebutuhannya akan pembangunan, dengan lebih peka?

39. Apakah Bapak memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan?


(6)

40. Bagaimanakah cara Bapak sebagai aparat pemerintah menumbuhkan motivasi, semangat dan dorongan terhadap masyarakat agar mau terlibat dan melibatkan diri dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan?

41. Bagaimana Bapak memberikan pendidikan bagi masyarakat?

42. Pernahkah Bapak membuka dialog dengan masyarakat terkait kebutuhan akan pembangunan?

43. Apakah Bapak membuka jalur informasi dan akses yang luas yang dibutuhkan oleh masyarakat?

44. Menurut Bapak, apa sajakah yang menjadi faktor-faktor penghambat partisipasi masyarakat dalam PNPM-MP?


Dokumen yang terkait

Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Kampung Bilah Kecamatan Bilah Hilir Kabupaten Labuhan Batu

0 57 124

Respon Masyarakat Terhadap Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir

4 59 100

Pengaruh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Bidang Agribisnis Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sipogu Kecamatan Arse Kabupaten Tapanuli Selatan.

0 50 136

Sosialisasi Pemanfaatan Fasilitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan (Study Deskriptif di Desa Purbadolok, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbanghasundutan)

4 63 111

Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan ( Studi Kasus Irigasi Pertanian Di Desa Aritonang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara)

3 57 116

Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) Terhadap Pengembangan Sosio-Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat Di Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir

0 50 160

Efektivitas Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Desa Pulo Dogom Kecamatan Kualuh Hulu Kabupaten Labuhan Batu Utara

1 39 106

Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Nasional (PNPM) Mandiri Perdesaan (Studi Deskriftif di Kelurahan Aek Simotung, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara)

0 62 148

Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) (Studi Kasus di Desa Sitio II Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan)

0 46 125

Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Desa Dolok Hataran Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

0 55 76