Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

(1)

ANALISIS HUKUM ATAS PERBUATAN OKNUM NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

TESIS

OLEH :

AGUSTINA LUSIANA ELISABET LUMBANBATU 097011061/MKn

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011


(2)

ANALISIS HUKUM ATAS PERBUATAN OKNUM NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

TESIS

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

AGUSTINA LUSIANA ELISABET LUMBANBATU 097011061/MKn

MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011


(3)

Telah diuji

Pada Tanggal 15 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Budimn Ginting, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum

2. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(4)

ABSTRAK

Proses peralihan atau balik nama sertifikat syaratnya adalah pembayaran pajak BPHTB dan PPh. Pembayaran pajak BPHTB dan PPh ini merupakan kewajiban dari wajib pajak, namun pembayaran tersebut bisa dilakukan oleh notaris jika para pihak menitipkan pembayaran pajak BPHTB dan PPh tersebut dengan meminta bantuan kepada notaris untuk membayarnya. Jabatan Notaris dalam mengurus kliennya digolongkan sebagai jabatan kepercayaan. Akan tetapi kepercayaan yang diberikan klien kepada notaris justru disalahgunakan dengan cara membuat bukti setoran BPHTB dan PPh secara fiktif. Berdasarkan uraian diatas akan dikaji bagaimana tanggung jawab notaris yang menerima penitipan pembayaran BPHTB dan notaris tersebut tidak menyetorkan pajak BPHTB yang dititipkan kepadanya dan bagaimana akibat hukum apabila seorang notaris tidak membayarkan BPHTB yang dititipkan kepadanya serta bagaimana kewenangan hukum MPD Notaris dalam pengawasan Notaris.

Metode Penelitian bersifat preskriptif, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembayaran BPHTB, dengan cara meneliti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dilengkapi dengan analisis dan disamping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan wawancara dengan narasumber yakni Notaris dan MPD Kota Medan untuk melengkapi data sekunder yang telah diperoleh sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewajiban pembayaran pajak BPHTB merupakan kewajiban dari wajib pajak dan bukan merupakan kewajiban dari notaris, akan tetapi karena notaris telah menerima penitipan pembayaran dari kliennya maka notaris bertanggungjawab untuk menyetorkannya. Apabila notaris tersebut diduga telah melakukan pelanggaran dengan tidak menyetorkan pajak BPHTB yang dititipkan kepadanya maka notaris tersebut dapat dikenakan sanksi sebagaimana disebut dalam Pasal 85 UUJN dan Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dan kode etik. Perbuatan Notaris yang diduga menggelapkan pajak BPHTB secara fiktif tidak menyebabkan akta yang dibuatnya menjadi batal karena perbuatan notaris tersebut merupakan tindak pidana dan pihak pembeli dan penjual juga akhirnya menyetorkan kembali pajak BPHTB dan PPh tersebut. Untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh notaris agar dilakukan pengawasan dan pemeriksaan oleh MPD secara lebih tegas dan ketat. Sebaiknya pengaturan mengenai sanksi pidana diatur secara tegas di dalam UUJN agar dapat mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan baik bersifat pribadi terhadap diri notaris tersebut maupun yang menyangkut jabatannya serta untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris maka pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris lebih ditingkatkan lagi.


(5)

ABSTRACT

The requirement for obtaining transferring process or transferring certificate is by paying BPHTB and PPh (income tax). Paying BPHTB and PPh is the obligation of taxpayers even though it can be paid through the Notary if the taxpayers ask the Notary to pay the tax for them. The notary’s task in paying the tax on behalf of his clients is the position of trust. However, the trust which has given by the clients is abused by the Notary by making fictitious receipts. Based on the explanation above, the researcher is going to study how about the Notary’s responsibility for the money entrusted to him to pay BPHTB but he keeps it for himself, how about the legal consequence if the Notary does not pay BPHTB with the money given to him by his clients, and how about the legal authority of The Regional Notarial Supervisory Board in monitoring notaries.

The method of the research was perspective, using legal provision approach which was related to the payment of BPHTB by looking into primary, secondary, and tertiary legal materials, equipped by analysis. Besides that, in order to support the analysis, the researcher conducted interviews with the source persons, the Notary and the Regional Supervisory Board officials in Medan in order to complete the secondary data.

The result of the research showed that liability to pay BPHTB was the obligation of the taxpayers; it was not the obligation of the Notary. However, since the Notary had received the money for paying the tax from his clients, he had to be responsible for paying the tax. If the Notary was suspected of doing the violation, he could have sanction imposed on him as it was stipulated in Article 85 of Notarial Profession Law, the Notary was considered violating criminal law and ethical code. The criminal act done by the Notary in embezzling BPHTB did not immediately abrogate the notarial instrument since the Notary personally who had done the crime. The buyer and the seller eventually pay the BPHTB and the PPh. In order to prevent the Notary from violating the law, it is recommended that the Regional Supervisory Board should exercise control and monitoring firmly and strictly. Law on criminal sanction should be stipulated in the Notarial Profession Law in order to prevent the Notary, personally or professionally, from violating the law and the lessen the violation itself.


(6)

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Agustina Lusiana Elisabet Lumbanbatu

Nim : 097011061

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM ATAS PERBUATAN OKNUM NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BEA

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya perbuat adalah hasil karya saya sendiri bukan plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut ternyata plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya perbuat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, Agustus 2011 Yang Membuat Pernyataan

AGUSTINA L.E. LUMBANBATU NIM : 097011061


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesi ini yang berjudul “ANALISIS HUKUM ATAS PERBUATAN OKNUM NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)”. Penulisan Tesis ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang ilmu Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril, masukan dan saran, sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis hanturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Dr. Syahril Pasaribu, DTM & h, MSc (CTM), SPA (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Sumatera Utara yang telah memberikan motivasi, kesempatan, dan kelancaran proses administrasi pendidikan dan sekaligus selaku anggota Komisi


(8)

Pembimbing yang dengan penuh perhatian memberikan bimbingan dan masukan dan saran demi memperkaya penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen Penguji yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.

6. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.

7. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Dosen Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran, dan masukan kepada penulis demi untuk selesainya penulisan tesis ini.


(9)

8. Seluruh Guru Besar beserta Dosen dan Staf Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara telah memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penullis yang sangat bermanfaat dikemudian hari.

9. Para Staff Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

10. Bapak Syuhada, SH, M.Hum, selaku Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Medan dan Bapak Notaris Afrizal A.Hakim, SH yang telah memberikan data-data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.

11. Bapak Agus Susanto, SH, CN, MM, MBA, MKn selaku Direktur IT&B Campus dan YAI, serta Ibu Lindawati selaku kordinator YAI yang telah memberikan dorongan, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis demi selesainya penulisan tesis ini.

12. Rekan-rekan dan sahabat-sahabatku seperjuangan yang sangat kusayangi Group A angkatan 2009 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sahabat yang selalu member dorongan Henny Suryani, Zuwina Putri, Mersita Sinaga, Magdalena Simarmata, Nina Simanjuntak, Vetra Sinaga dan teristimewa buat Fransiskus Sinaga yang selalu member motifasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Suatu rasa kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada


(10)

Ayahanda Drs. Hubertus Lumbanbatu dan Ibunda Martianna Sitanggang serta kakak dan adik-adik penulis yakni Tiarma Monika Lumbanbatu, S.Ag/ Armen Perangin-Angin, SE, Viktor Lumbanbatu, ANT II, Ristauli Lumbanbatu, S.Ag, Thomas Lumbanbatu, SE, dan Kurnia Lumbanbatu yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik dari sudut isi maupun dari cara pengajuannya. Oleh karena itu saran dan masukkan yang membangun sangat dibutuhkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Agustus 2011

Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Agustina Lusiana Elisabet Lumbanbatu Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 27 Agustus 1983

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Tangguk Bongkar VI No. 15 Medan

II. KELUARGA

Nama Ayah : Drs. Hubertus Lumbanbatu Nama Ibu : Martianna Sitanggang

Nama Saudara Kandung : 1. Tiarma Monika Lumbanbatu, S.Ag 2. Viktor Lumbanbatu, ANT II 3. Ristauli Lumbanbatu, S.Ag 4. Thomas Lumbanbatu, SE 5. Kurnia Lumbanbatu

III. PENDIDIKAN

SD : RK. Budi Luhur, Medan (1989-1995)

SMP : RK. Tri Sakti 2, Medan (1995-1998)

SMU : RK. Tri Sakti, Medan (1998-2001)


(12)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 18

G. Metodologi Penelitian ... 21

1. Jenis Penelitian ... 21

2. Sifat Penelitian... 22

3. Metode Pengumpulan Data ... 22

4. Alat Pengumpulan Data ... 23


(13)

BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK

ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ... 25

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris ... 25

B. Notaris sebagai Pejabat Umum... 35

C. Kode Etik Jabatan Notaris ... 38

D. Tanggung Jawab Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran BPHTB ... 49

BAB III AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DAN TIDAK MENYETORKANNYA ... 63

A. Sanksi dalam Undang-Undang Jabatan Notaris ... 63

B. Akibat Hukum bagi Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran BPHTB dan Tidak Menyetorkannya ... 68

BAB IV KEWENANGAN MAJELIS PENGAWAS DAERAH NOTARIS DALAM PENGAWASAN NOTARIS... 71

A. Pengertian Majelis Pengawas Notaris... 71

B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris ... 73

C. Wewenang Majelis Pengawas Daerah dalam Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Kode Etik Notaris... 89

D. Kewenangan Majelis Pengawas Daerah Notaris menurut Pandangan Majelis Pengawas Daerah Notaris ... 92


(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98 A. Kesimpulan ... 98 B. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA


(15)

ABSTRAK

Proses peralihan atau balik nama sertifikat syaratnya adalah pembayaran pajak BPHTB dan PPh. Pembayaran pajak BPHTB dan PPh ini merupakan kewajiban dari wajib pajak, namun pembayaran tersebut bisa dilakukan oleh notaris jika para pihak menitipkan pembayaran pajak BPHTB dan PPh tersebut dengan meminta bantuan kepada notaris untuk membayarnya. Jabatan Notaris dalam mengurus kliennya digolongkan sebagai jabatan kepercayaan. Akan tetapi kepercayaan yang diberikan klien kepada notaris justru disalahgunakan dengan cara membuat bukti setoran BPHTB dan PPh secara fiktif. Berdasarkan uraian diatas akan dikaji bagaimana tanggung jawab notaris yang menerima penitipan pembayaran BPHTB dan notaris tersebut tidak menyetorkan pajak BPHTB yang dititipkan kepadanya dan bagaimana akibat hukum apabila seorang notaris tidak membayarkan BPHTB yang dititipkan kepadanya serta bagaimana kewenangan hukum MPD Notaris dalam pengawasan Notaris.

Metode Penelitian bersifat preskriptif, metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembayaran BPHTB, dengan cara meneliti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dilengkapi dengan analisis dan disamping itu untuk mendukung hasil penelitian ini maka dilakukan wawancara dengan narasumber yakni Notaris dan MPD Kota Medan untuk melengkapi data sekunder yang telah diperoleh sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewajiban pembayaran pajak BPHTB merupakan kewajiban dari wajib pajak dan bukan merupakan kewajiban dari notaris, akan tetapi karena notaris telah menerima penitipan pembayaran dari kliennya maka notaris bertanggungjawab untuk menyetorkannya. Apabila notaris tersebut diduga telah melakukan pelanggaran dengan tidak menyetorkan pajak BPHTB yang dititipkan kepadanya maka notaris tersebut dapat dikenakan sanksi sebagaimana disebut dalam Pasal 85 UUJN dan Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi pidana dan kode etik. Perbuatan Notaris yang diduga menggelapkan pajak BPHTB secara fiktif tidak menyebabkan akta yang dibuatnya menjadi batal karena perbuatan notaris tersebut merupakan tindak pidana dan pihak pembeli dan penjual juga akhirnya menyetorkan kembali pajak BPHTB dan PPh tersebut. Untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh notaris agar dilakukan pengawasan dan pemeriksaan oleh MPD secara lebih tegas dan ketat. Sebaiknya pengaturan mengenai sanksi pidana diatur secara tegas di dalam UUJN agar dapat mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan baik bersifat pribadi terhadap diri notaris tersebut maupun yang menyangkut jabatannya serta untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris maka pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris lebih ditingkatkan lagi.


(16)

ABSTRACT

The requirement for obtaining transferring process or transferring certificate is by paying BPHTB and PPh (income tax). Paying BPHTB and PPh is the obligation of taxpayers even though it can be paid through the Notary if the taxpayers ask the Notary to pay the tax for them. The notary’s task in paying the tax on behalf of his clients is the position of trust. However, the trust which has given by the clients is abused by the Notary by making fictitious receipts. Based on the explanation above, the researcher is going to study how about the Notary’s responsibility for the money entrusted to him to pay BPHTB but he keeps it for himself, how about the legal consequence if the Notary does not pay BPHTB with the money given to him by his clients, and how about the legal authority of The Regional Notarial Supervisory Board in monitoring notaries.

The method of the research was perspective, using legal provision approach which was related to the payment of BPHTB by looking into primary, secondary, and tertiary legal materials, equipped by analysis. Besides that, in order to support the analysis, the researcher conducted interviews with the source persons, the Notary and the Regional Supervisory Board officials in Medan in order to complete the secondary data.

The result of the research showed that liability to pay BPHTB was the obligation of the taxpayers; it was not the obligation of the Notary. However, since the Notary had received the money for paying the tax from his clients, he had to be responsible for paying the tax. If the Notary was suspected of doing the violation, he could have sanction imposed on him as it was stipulated in Article 85 of Notarial Profession Law, the Notary was considered violating criminal law and ethical code. The criminal act done by the Notary in embezzling BPHTB did not immediately abrogate the notarial instrument since the Notary personally who had done the crime. The buyer and the seller eventually pay the BPHTB and the PPh. In order to prevent the Notary from violating the law, it is recommended that the Regional Supervisory Board should exercise control and monitoring firmly and strictly. Law on criminal sanction should be stipulated in the Notarial Profession Law in order to prevent the Notary, personally or professionally, from violating the law and the lessen the violation itself.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meningkatnya kegiatan pembangunan di segala bidang menyebabkan meningkatnya keperluan akan tersedianya tanah dan atau bangunan. Mengingat pentingnya tanah dan atau bangunan tersebut dalam kehidupan, maka sudah sewajarnya jika orang pribadi atau badan hukum yang mendapatkan nilai ekonomis serta manfaat dari tanah dan atau bangunan karena adanya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dikenakan pajak oleh Negara.

Dalam Negara Republik Indonesia Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ini merupakan dasar hukum secara konstitusional dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Semua pajak yang diberlakukan di Indonesia harus berdasarkan undang-undang, sehingga pemungutan pajak di Indonesia mempunyai dasar hukum yang menjamin keadilan dan kepastian hukumnya, karena semua pajak ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disahkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan yang berlaku dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang dapat digunakan


(18)

untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1

Seiring dengan perkembangan zaman, pajak telah menjadi primadona sebagai sektor yang memberikan penerimaan terbesar bagi Negara serta merupakan salah satu sumber dana utama dalam melakukan pembangunan termasuk di Negara Indonesia tercinta ini. Hal ini dapat dilihat dari anggaran penerimaan dan belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.

Besarnya penerimaan yang diberikan oleh pajak sebagai sumber dana dalam pembangunan nasional, maka tentunya perlu lebih digali lagi potensi pajak yang ada dalam masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan bangsa ini.

Salah satu sumber potensi pajak yang patut digali sesuai situasi dan kondisi perekonomian serta perkembangan pembangunan bangsa sekarang ini adalah jenis Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).2

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disebut BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

1 Marihot Pahala Siahaan, Hukum Pajak Elementer Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Edisi I, Cet. I (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hal. 32.

2 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktek, Edisi I, Cet. I, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2003), hal. 6.


(19)

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subjek pajak. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disebut BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan ha katas tanah atau bangunan yaitu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya ha katas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton3 mengatakan bahwa Obyek dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah (termasuk tanaman di atasnya), tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena adanya peralihan hak yang meliputi peristiwa hukum dan perbuatan hukum yang terjadi antara orang atau badan hukum sebagai subyek hukum oleh Undang-Undang dan perturan hukum yang berlaku diberikan kewenangan untuk memiliki hak atas tanah dan bangunan.

Agar menjamin kepastian hukum terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan, maka transaksi tersebut dilakukan dihadapan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum yang

3

Wirawan B.Ilyas, Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2004, hal.90


(20)

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.4

Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memberikan penjelasan mengenai akta peralihan hak serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi para pihak, diantaranya yaitu menunjukkan asli surat pembayaran pajak yang terutang karenanya yakni Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

Penyetoran Pajak BPHTB itu merupakan kewenangan dari wajib pajak bukan Notaris, akan tetapi Notaris dapat menyetorkan pajak BPHTB sebagai orang yang dipercaya oleh nasabahnya. Notaris sebagai pejabat secara tidak langsung mengurangi beban tugas fiskus untuk mebantu menghitung besarnya pajak BPHTB yang terutang, serta dapat pula membantu wajib pajak untuk menghitung dan menyetorkan pajak yang terutang.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris sebagai pejabat umum tidak mempunyai wewenang untuk menyetorkan pajak BPHTB. Yang menjadi kewenangan Notaris dalam menjalankan profesinya adalah : 1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian

dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, smeuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Notaris berwenang pula :

4


(21)

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan dengan mendaftar dalam buku khusus.

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

d. Melakukan pengesahan kecocokan dan fotokopi dengan surat aslinya e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan

g. Membuat akta risalah lelang5

Pada kasus Putusan Nomor 2601/Pid.B/2003/pn.Mdn, bahwa pihak pembeli dan penjual meminta Notaris tersebut untuk membayar pajak penghasilan dan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Pihak Pembeli dan Penjual telah menitipkan pembayaran pajak penghasilan dan pajak BPHTB tersebut kepada Notaris dengan menyerahkan 1 lembar cek No. C.114577 dari Bank M dengan nominal Rp. 660.000.000,-. Bahwa pembeli dan penjual sepakat untuk menitipkan pembayaran BPHTB dan PPh kepada Notaris karena Notaris tersebut menyatakan kesanggupannya untuk mengurus sertifikat tersebut. Maka seluruh biaya-biaya untuk setoran BPHTB yang merupakan tanggungan pembeli dan setoran PPh yang merupakan tanggungan penjual dan pengurusan di BPN diserahkan kepada Notaris tersebut. Setelah cek diterima oleh Notaris, keesokan harinya Notaris tersebut mencairkan cek tersebut ke Bank MDS Medan, akan tetapi setelah cek dicairkan terdakwa tidak membayarkan pajak-pajak yang berhubungan dengan proses peralihan / balik nama sertifikat, akan tetapi terdakwa meminta anak buahnya menurunkan

5


(22)

/mengecilkan nilai BPHTB dan PPH, selanjutnya anak buahnya membuat Surat Setoran BPHTB, SSP Final dan SPPT PBB Fiktif.

Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan kewenangan dari wajib pajak bukan Notaris, akan tetapi pada kasus ini wajib pajak menitipkan pembayaran pajak PPH dan BPHTB kepada notaris tersebut untuk disetorkan, namun dalam hal ini Notaris tersebut tidak menyetorkan pajak PPH dan BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak tersebut.

Tindakan notaris disini selaku pejabat umum telah melanggar kode etik notaris karena tidak membayarkan pajak yang dititipkan oleh nasabahny, yang kemudian pada akhirnya notaris tersebut melakukan tindakan penggelapan pajak dengan menerbitkan Surat Setoran BPHTB Fiktif, SSP Final Fiktif dan SPPT PBB Fiktif. Perbuatan Notaris tersebut diduga telah melakukan pelanggaran berat dan telah melakukan tindakan yang menyimpang dari kode etik notaris dan telah melanggar sumpah jabatan notaris dimana notaris berjanji akan menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama dan tidak berpihak serta akan mentaati dengan seteliti-telitinya semua peraturan –peraturan jabatan notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan.6

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN) dan Kode Etik Profesi dalam menjalankan jabatannya Notaris diminta selalu berpedoman pada Kode Etik Profesi. Kode Etik dipahami sebagai norma dan peraturan mengenai etika baik yang tertulis maupun tidak tertulis dari

6


(23)

suatu profesi yang dinyatakan oleh organisasi profesi yang fungsinya sebagai pengingat berperilaku bagi para anggota organisasi profesi.

Organisasi Profesi Notaris yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI) telah membentuk Kode Etik Profesi yaitu Kode Etik INI. Kode Etik INI bagi para Notaris hanya sampai pada tatanan sanksi moral dan administratif.7 Notaris dalam melakukan tugas jabatannya harus penuh tanggung jawab dengan menghayati keseluruhan martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik.

Notaris selaku pejabat umum dituntut untuk selalu bekerja secara professional dengan menguasai seluk beluk profesinya menjalankan tugasnya, Notaris harus menyadari kewajibannya bekerja mandiri, jujur, tidak memihak dan penuh rasa tanggung jawab serta secara professional.8

Notaris sebagai pejabat umum yang tugasnya melayani masyarakat diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan hukum nasional dituntut untuk memiliki moral yang tinggi. Nilai moral merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur, oleh karena itu Notaris dituntut untuk memiliki nilai moral yang kuat.

7

Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang,

Jakarta, PT. Gramedia, 2008, hal 93-94

8

C.S.T. Kansil, S.H & Chistine S.T Kansil, S.H., M.H, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum,


(24)

Dengan adanya moral yang tinggi tersebut Notaris tidak akan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya, Notaris akan dapat menjaga martabatnya sebagai seorang pejabat umum yang ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.

Moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan kita atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.9 Frans Magnis Suseno mengemukakan 5 (lima) criteria moral yang mendasari kepribadian profesional hukum, yaitu sebagai berikut :

1. Kejujuran, kejujuran merupakan dasar utama. Tanpa kejujuran maka professional hukum mengingkari misi profesinya. Seorang Notaris harus jujur tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Notaris harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak member janji-janji agar klien tetap memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang Notaris.

2. Autentik, autentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya dan tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat.

3. Bertanggung jawab, Seorang Notaris harus bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, bertindak secara professional tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara Cuma-Cuma.

4. Kemandirian moral, artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian sendiri dan menyesesuaikan diri dengan nilai kesusilaan agama

5. Keberanian moral, artinya kesediaan terhadap suatu hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik, menolak segala bentuk korupsi, menolak segala bentuk jalan belakang yang tidak sah.

Dengan keberadaan tersebut sudah seharusnya kinerja profesi Notaris tersebut diawasi dan dipantau agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Menurut Pasal

9


(25)

1 ayat (1) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor KMA/006/SKB/1987 dan Nomor M.04.PR.08.05 tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, menyebutkan bahwa :

“Pengawasan adalah kegiatan administrasi yang bersifat preventif dan represif oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan profesinya tidak mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya, tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tidak melanggar sumpah jabatan dan tidak melanggar norma kode etik profesinya.10

Pengawasan terhadap Notaris adalah sangat penting, mengingat bahwa Notaris dalam menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting, karena tugas Notaris mengatur secara tertulis dan otentik hubungan - hubungan hukum antara para pihak secara mufakat meminta jasa-jasa Notaris.

Tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatannya, demi untuk pengamanan dari kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri tapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya.11

10

Liliana Tedjosaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hal. 86

11


(26)

Pada dasarnya yang mempunyai wewenang12 melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas berjumlah 9 (Sembilan) orang, terdiri atas unsur :

a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang

b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang c. Ahli/Akademis sebanyak 3 (tiga) orang

Oleh karena itu apabila dalam suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka keanggotaan dalam Majelis Pengawas dapat diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri.

Pengawasan terhadap Notaris tidak hanya dalam pelaksanaan jabatan Notaris akan tetapi perilaku Notaris juga harus diawasi Majelis Pengawas, misalnya melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat Notaris. Apabila Notaris terbukti melakukan hal-hal tersebut maka dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan Notaris dari jabatannya oleh Menteri berdasarkan laporan dari Majelis Pengawas.

12

Wewenang dalam hal ini disejajarkan dengan istilah boveegdheid dalam konsep hukum public, yang terdiri dari tiga komponen yaitu : (1). Pengaruh bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum ; (2). Dasar Hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya; dan (3) konformitas hukum, bahwa mengandung makna adanya standard wewenang yaitu standard umum (seua jenis wewenang) dan standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Philipus M.Hadjon dalam Ibid. hal 174.


(27)

Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini, peneliti ingin menyumbangkan pemikiran-pemikiran dalam bidang hukum khususnya mengenai perbuatan notaris dalam jabatannya.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam proposal ini adalah :

1. Bagaimana tanggung jawab notaris yang menerima penitipan pembayaran BPHTB, dan Notaris tersebut tidak menyetorkan pajak BPHTB yang dititipkan kepadanya?

2. Bagaimana akibat hukum apabila seorang Notaris tidak membayarkan BPHTB yang dititipkan kepadanya?

3. Bagaimana kewenangan hukum Majelis Pengawas Daerah Notaris dalam pengawasan Notaris?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tanggung jawab notaris yang menerima penitipan pembayaran BPHTB dan tidak menyetorkan pajak BPHTB yang dititipkan terhadapnya 2. Untuk mengetahui akibat hukum apabila seorang Notaris tidak membayarkan

BPHTB yang dititipkan kepadanya

3. Untuk mengetahui kewenangan hukum Majelis Pengawas Daerah Notaris dalam pengawasan Notaris.


(28)

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya mengenai perbuatan notaris dalam jabatannya

2. Secara Praktis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik Perpustakaan Pusat maupun yang ada di sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, ternyata belum ditemukan judul mengenai Analisis Hukum atas Pebuatan Oknum Notaris yang menerima penitipan pembayaran BPHTB (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn), memang pernah ada penelitian yang pernah dilakukan oleh :

1. Serli Dwi Warmi (077011063), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Analisis yuridis atas perbuatan notaris yang menimbulkan delik-delik pidana”. Adapun permasalahan yang diteliti adalah :

a. Bagaimana keabsahan sebuah akta yang dibuat oleh notaris yang menimbulkan delik-delik pidana?


(29)

b. Bagaimana faktor penyebab timbulnya perbuatan notaris yang menimbulkan delik-delik pidana?

c. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam upaya mengatasi perbutan notaris yang menimbulkan delik-delik pidana dalam jabatannya?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini diperlukan suatu teori yang melandasi dari pada suatu penelitian. Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti “perenungan”yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas.13

Jadi teori adalah seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh sutau variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.14

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistimatiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan

13

Soetandyo Wignjosoebroto dalam Salman Otje dan Susanto Anton, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali (Bandung :PT. Refika Aditama,2004), halaman 21,menyebutkan bahwa teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman.

14

Maria S.W. Sumardjono, Pedoman, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hal 12-13, bandingkan dengan Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, hal.19


(30)

dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori ini merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.15

Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori dari Hans Kelsen tentang tanggung jawab hukum.

Hans Kelsen mengemukakan :

“ Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.”16

Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab Notaris yang berkaitan dengan kewenangan Notaris berdasarkan UUJN. Penyetoran pajak BPHTB itu merupakan kewenangan dari wajib pajak bukan Notaris, namun dalam hal ini Notaris dapat menyetorkan pajak BPHTB apabila nasabahnya menitipkan pembayaran BPHTB tersebut kepada Notaris. Jadi Notaris disini sebagai orang yang dipercaya oleh nasabahnya untuk menyetorkan pajak BPHTB. Jadi dalam hal ini penyetoran pajak BPHTB bukan merupakan kewenangan daripada Notaris melainkan kewenangan dari wajib pajak itu sendiri.

15

M.Solly Lubis (I) Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80

16

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan judul buku asli General Theori of Law and State, Alih Bahasa Somardi, Rimdi Press, Jakarta, hal.65


(31)

Keberadaan Notaris senantiasa diperlukan masyarakat yang memerlukan jasanya di bidang hukum. Notaris sebagai pejabat umum harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat, Notaris dapat membantu memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya.

Pembayaran BPHTB yang dititipkan oleh wajib pajak kepada Notaris untuk disetor tidak disetorkan oleh Notaris maka perbuatan yang dilakukan oleh Notaris tersebut dapat dikatakan telah melanggar kode etik profesi dan tindak pidana penggelapan pajak BPHTB. Notaris tersebut dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum tidak berpegang pada kode etik Notaris dalam undang-undang Jabatan Notaris.

Lembaga notariat merupakan salah satu lembaga yang diperlukan masyarakat untuk menjaga tegaknya hukum, sehingga dapat menciptakan ketertiban, keamanan dan kepastian hukum di tengah masyarakat. Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak bisa berbuat sesuka hatinya, tetapi harus memperhatikan peraturan yang berlaku baginya. Notaris harus berpegang pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris yang merupakan peraturan yang berlaku bagi profesinya.

Profesi notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris.


(32)

Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagi berikut :

1. Memiliki integritas moral yang mantap

2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri 3. Sadar akan batas-batas kewenangannya.

4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.17

Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya harus memperhatikan dan tunduk pada UUJN dan Kode Etik Notaris yang merupakan peraturan yang berlaku bagi pedoman moral dan profesi notaris.

Untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya dapat dikaji dari teori kekuasaan Negara. Dalam teori kekuasaan Negara dapat terlihat kedudukan notaris sebagai pejabat umum dalam struktur kekuasaan Negara. Sebagai bentuk menjalankan kekuasaan Negara maka yang diterima oleh Notaris dalam kedudukan sebagai jabatan karena menjalankan jabatannya maka Notaris memakai lambang Negara Burung Garuda. Dengan kedudukan diatas, maka dapat dikatakan bahwa Notaris menjalankan sebagian kekuasaan Negara dalam bidang hukum perdata yaitu untuk melayani kepentingan masyarakat.

Tugas profesi notaris tidak hanya berhubungan dengan standar profesi dan etika profesi yang keduanya merupakan petunjuk umum saja, melainkan hubungan

17

Liliana Tedjosaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003, hal.93.


(33)

positif akan berkesempatan besar untuk tampil mengambil alih perannya guna mencegah terjadinya penyimpangan dari tugas profesinya.18 Profesi dengan etika merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan, seseorang melaksanakan profesi dengan mengabaikan etika profesinya akan menumbuhkan dampak yang tidak baik bagi profesi tersebut.

Hal ini lebih tegas diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN yaitu tentang Sumpah Jabatan Notaris bagian yang ke-3 (tiga) “ Notaris akan menjaga sikap, tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab sebagai notaris19. Artinya Notaris dalam menjalankan tugasnya wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya karena martabat yang dijunjungnya itu menyangkut kewibawaan pemerintah, disamping juga martabat secara pribadi yaitu moral notaris itu sendiri dalam kehidupan pribadinya.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.20 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.

18

E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, Storia Grafika, 2001, Jakarta, hal 19.

19

Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris dilengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi & AD, ART, dan Kode Etik Notaris, Harvarindo, Jakarta, 2006, hal.36

20

Herlin Budiono (II), Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2007, hal.364.


(34)

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Konsep merupakan “alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 21 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.22

Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian.23

Selanjutnya konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi dari apa yang perlu diamati, konsep

21

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

22

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Pustaka Singkat, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995, hal.7.

23


(35)

menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.24

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefenisikan bebrapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk dapat menjawab permasalahan penelitian yaitu sebagai berikut :

Kerangka konsepsi sehubungan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta oetentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.25

b. Jabatan adalah kedudukan seseorang didalam menjalankan suatu profesi yang sesuai dengan keahliannya. Dalam tesis ini jabatan dimaksudkan dalam kedudukan seorang Notaris yang memiliki wewenang dan keahliannya dalam membuat akta otentik

c. Hukum Pajak adalah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antar pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain Hukum Pajak menerangkan tentang siapa-siapa yang menjadi

24

Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal.21

25


(36)

wajib pajak (subjek pajak) dan apa yang menjadi kewajiban mereka kepada pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa yang dikenakan pajak, timbulnya dan hapusnya utang pajak, cara penagihan, cara mengajukan keberatan, dan sebagainya.26

d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

e. Penitipan terjadi apabila sesorang menerima suatu barang dari orang lain dengan syarat bahwa dia kana menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud semula27. Dalam tesis ini penitipan dimaksudkan adalah bahwa notaris menerima pajak BPHTB yang diberikan oleh wajib pajak (pembeli) untuk disetorkan. f. Perbuatan adalah sesuatu yang diperbuat (dilakukan) atau tingkah laku.28 Kata

“Perbuatan” dalam tesis ini, diartikan sebagai sesuatuyang diperbuat atau dilakukan Notaris dalam pembayaran BPHTB yang dititipkan terhadapnya. Perbuatan dalam hal ini merupakan suatu tindakan atas sesuatu yang diperbuat Notaris baik secara sengaja maupun khilaf dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan dirinya dan merugikan pihak lain.

g. Pembayaran adalah proses, pembuatan dan cara membayar

h. Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Dalam tesis ini tanggung jawab dimaksudkan adalah tindakan Notaris sebagai pejabat

26

Rochmat Soemitro dalam Marihot Pahala Siahaan,Hukum Pajak Elementer, Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Edisi I, Cet. I (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hal. 72.

27

Lihat Pasal 1694 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 28

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Jakarta, Balai Pustaka, 2001, hal.430.


(37)

yang menerima penitipan pembayaran BPHTB dari wajib pajak (pembeli), wajib bertanggung jawab untuk membayarkan pajak BPHTB tersebut.

i. Pengawasan preventif adalah pengawasan yang bertujuan mencegah terjadinya kesalahan dan penyimpangan.

j. Pengawasan kuratif adalah pengawasan yang bertujuan menyembuhkan atau memperbaiki fungsi social atau dapat mencegah agar yang bersangkutan mampu mengatasi masalah-masalah social yang dihadapi dan mampu mengembangkan dirinya.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode pendekatan penelitian yuridis normatif. Penelitian dilakukan berdasarkan pendekatan yuridis normatif, disebabkan penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, yaitu penelitian terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas, serta ditambah data-data lainnyayang diperoleh melalui wawancara.


(38)

2. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah preskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fakta-fakta yang ada dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yuridis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan “Analisis Hukum atas Perbuatan Notaris yang menerima Penitipan Pembayaran BPHTB (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

3. Metode Pengumpulan data

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan preskriptif dengan pendekatan terhadap peraturan perundang-perundangan yang terkait dengan pembayaran BPHTB dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. Dalam penelitian hukum normatif data yang diperlukan adalah data skunder. Adapun data skunder dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Undang-undang Dasar 1945, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,


(39)

Undang-undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan Hukum Primer seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum serta penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini

c. Bahan Hukum Tersier

Berupa kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum serta laporan ilmiah.

4. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara yaitu:

a. Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data skunder dengan membaca, mempelajari meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.29

b. Pedoman Wawancara, untuk melakukan wawancara dengan nara sumber yang berkaitan masalah dalam penelitian ini, digunakan pedoman wawancara yang

29

Soerjono Soekanto, pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986,hal.21


(40)

telah dipersiapkan terlebih dahulu dan selanjutnya wawancara dilakukan terhadap narasumber yang dianggap layak mengetahui dan memahami tentang masalah yang diteliti yakni:

1) Majelis Pengawas Daerah Kota Medan 2) Notaris Kota Medan

5. Analisis Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif 30 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena penelitian ini normatif, dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab permasalahan dalam penelitian ini

30

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal.10.


(41)

BAB II

TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BPHTB

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Sejarah Notaris di Indonesia

Lembaga Notaris di Indonesia yang dikenal sekarang ini, bukan lembaga yang lahir dari bumi Indonesia. Lembaga Notaris ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Vereenidge Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia.Jan Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur Jenderal di Jacatra (Jakarta sekarang) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu diangkat Notaris yang disebut Notarium Publicum.

Notaris di Indonesia dimulai dengan pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notaris pertama di Indonesia pada 27 Agustus 1920. Kelchem merupakan seorang sekretaris College van Schenpenen, Jakarta yang bertugas menjadi seorang Notarius

Publicus. Keberadaan Kelchem memudahkan warga Hindia Belanda, terutama warga

eropa dan timur asing dalam membuat dokumen legal di Ibukota.31

Sejak tanggal 27 Agustus 1620, mengangkat Melchior Kerchem, sebagai sekretaris College Van Schepenen (urusan perkapalan kota) di Jakarta. Tugas

31


(42)

Melchior Kerchem sebagai Notaris untuk menjalankan pekerjaannya itu sesuai dengan sumpah setia dan dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya.32

Pada tahun 1625 Jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan sekretaris (College

Van Schepenen), yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal

16 Juni 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) Pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan semua informasi yang diberikan kliennya serta dilarang menyerahkan salinan akta-akta milik kliennya.33 Tanggal 7 Maret 1822 (stb. No.11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in

Nederlands Indie. Pasal 1 Instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas dan

wewenang dari seorang Notaris, dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau memintanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar. Pengangkatan Melchior Kerchem disusul dengan pengangkatan notaris-notaris lainnya untuk mengakomodasi kebutuhan pembuatan dokumen legal yang dirasa makin penting, ditambah lagi dengan kesibukan kota Batavia saat itu.34

Tahun 1860 Pemerintahan Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai Jabatan Notaris yang berlaku di Belanda.

32

G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit.,hal.15

33

Ira Koesoemawati, Op.Cit.,hal.27

34


(43)

Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op Het Notaris Ambt in

Nederlands Indie (Stbl.1860:3).

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakannya yang baru menurut undang-undang dasar ini. Sampai dibentuknya Peraturan Jabatan Notaris, akan tetapi Peraturan Jabatan Notaris tersebut juga telah diganti dengan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang merupakan unifikasi pengaturan Notaris di Indonesia.

Perkataan Notaris berasal dari kata Notarius35 pada zaman romawi, yaitu yang diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis, ada juga pendapat mengatakan Notaris berasal dari perkataan nota literaria, yaitu tanda yang menyatakan suatu perkataan, abad kelima sebutan Notarius itu diberikan kepada penulis pribadi raja, dan akhir abad kelima sebutan tersebut diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang akan melaksanakan pekerjaan administratif. Pejabat-pejabat yang dinamakan Notaris ini merupakan Pejabat-pejabat yang menjalankan tugas tidak melayani umum, yang melayani umum disebut Tabelliones. Fungsi mereka sudah agak mirip dengan Notaris zaman sekarang tetapi tidak mempunyai sifat jabatan negeri.

35

Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal.13


(44)

Ketentuan dalam Pasal 1 Instructie Voor De Notarissen in

Indonesia,menyebutkan bahwa36

Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.

Pengertian Notaris menurut pendapat Tan Thong Kie yaitu :

“Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat, hingga sekarang jabatan seorang notaris masih disegani. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang kuat dalam proses hukum.37 Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Di dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris pada Pasal 3 dinyatakan syarat untuk diangkat menjadi Notaris yaitu :

1. Warga Negara Indonesia

2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

3. Berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun 4. Sehat jasmani dan rohani

36

G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit.,hal.15

37

Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal.15


(45)

5. Berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang Strata Dua Kenotariatan

6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulua strata dua kenotariatan; dan

7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan Jabatan Notaris.

2. Wewenang dan Larangan terhadap Notaris

Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris yaitu membuat akta secara umum38, hal ini disebut kewenangan umum Notaris dengan batasan sepanjang:

1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau wewenang membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.

38

Menurut Lubbers yang dikutip dalam buku, Hukum Notaris Indonesia bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (ke dalam bentuk akta), tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus dipikirkan juga bahwa akta itu harus berguna dikemudian hari jika terjadi keadaan yang khas.


(46)

3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) kesimpulan yaitu :

1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan.

Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokkan fotokopi dengan surat aslinya;

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau


(47)

7. Membuat akta risalah lelang.

Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor berita acara pembetulan. Salinan akta berita acara tersebut wajib disampaikan kepada para pihak.

Notaris dalam melakukan tugas melaksanakan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang. Pasal 16 UUJN menegaskan kewajiban Notaris yaitu :

1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban :

a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta.

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;


(48)

e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50(lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan;


(49)

l. Membacakan Akta dihadapan peghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.

m. Menerima magang calon Notaris.

2. Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali

3. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah akta : a. Pembayaran uang sewa, bunga dan pensiun;

b. Penawaran pembayaran tunai;

c. Proses terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. Akta kuasa;

e. Keterangan kepemilikan atau;

f. Akta lainnnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.

5. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.

6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri.


(50)

7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta dalam setiap halaman Minuta Akta di paraf oleh penghadap, saksi dan Notaris.

8. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.

Pasal 17 ayat (1) UUJN mengatur tentang larangan Notaris yang bertujuan untuk menjamin kepentingan dan member kepastian hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasa notaris. Pasal 17 UUJN tersebut menegaskan bahwa Notaris yang memangku jabatan dan menjalankan jabatannya dilarang :

a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah

c. Merangkap sebagai pegawai negeri

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara e. Merangkap jabatan sebagai advokat

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta


(51)

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris

h. Menjadi Notaris pengganti

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan atau yang dapat mempengaruhi dan martabat jabatan Notaris.

B. Notaris sebagai Pejabat Umum

Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 UUJN. Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum dalam arti kewenangan yang ada pada notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, selama sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan notaris.

Pejabat umum tidak hanya pada notaris saja, tetapi juga diberikan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang, tapi tidak setiap pejabat umum pasti notaris karena pejabat umum bisa juga PPAT atau Pejabat Lelang.

Menurut Heryanto, seorang notaris dalam menjalankan profesinya sebagai notaris dan sebagai pejabat publik, setidak-tidaknya Notaris harus memerankan 4 (empat) fungsi, yakni :

1. Notaris sebagai pejabat yang membuatkan akta-akta bagi pihak yang dating kepadanya baik itu berupa akta partij maupun akta relaas.


(52)

2. Notaris sebagai hakim dalam hal menentukan pembagian warisan.

3. Notaris sebagai penyuluh hukum dengan memberikan keterangan – keterangan bagi pihak dalam hal pembuatan suatu akta.

4. Notaris sebagai pengusaha yang dengan segala pelayanannya berusaha mempertahankan klien atau relasinya agar oprasionalisasi kantornya tetap berjalan.39

Pada hakekatnya notaris hanyalah “mengkontatir” atau “merekam” yang diinginkan atau dikehendaki oleh penghadap yang bersangkutan, dengan cara mencatat kemudian menyusunnya agar sesuai aturan hukum yang berlaku, dan kalau sudah selesai dengan kehendak penghadap maka penghadap diminta untuk membubuhkan tanda tangannya serta menulis nama terangnya secara tertulis dan otentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan, notaris tidak berada di dalamnya. Notaris adalah orang luar, yang melakukan perbuatan hukum adalah pihak-pihak yaitu mereka yang membuat serta terikat dalam dan oleh isi perjanjian.

Menurut Wawan Setawan yang dimaksud dengan kewenangan Notaris membuat akta otentik ialah :

1. Bahwa kewenangan Notaris membuat akta otentik itu hanya apabila hal itu diminta atau dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik dengan kata lain akta tersebut adalah bukti

39

A.R Putri Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator Tugas-Tugas Jabatan yang Berimplikasi Perbuatan Pidana), Notaris PT.Sofmedia, Jakarta, 2011


(53)

adanya perbuatan hukum para pihak bukan notaris yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan.

2. Bahwa kewenangan notaris membuat akta otentik ditentukan dan sangat tergantung dari adanya kemauan atau kehendak pihak-pihak yang akan melakukan perbuatan hukum tersebut, tanpa adanya pihak-pihak yang berkepentingan melakukan perbuatan hukum tidak mungkin notaris dapat mewujudkannya dalam suatu akta otentik.

3. Notaris tidak mungkin membuat akta otentik atas kemauannya sendiri tanpa adanya pihak-pihak yang bersangkutan, juga tidak berwenang mengambil keputusan sendiri untuk menyatakan membuat atau membatalkan sendiri akta yang bersangkutan.

4. Notaris tidak berwenang untuk membuat akta di bidang hukum publik, wewenangnya terbatas pada pembuatan akta-akta di bidang hukum perdata.

Notaris dalam menjalankan jabatannya serta melaksanakan tugasnya harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku dan senantiasa menghayati dan mengingat sumpah jabatannya. Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum harus memiliki kemampuan professional dalam menjalankan tugasnya.

G.H.S Lumban Tobing mengatakan bahwa Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris tidak memberikan uraian lengkap mengenai tugas dan pekerjaan Notaris, oleh karena itu selain untuk membuat akta-akta otentik, Notaris juga ditugaskan untuk melakukan dan mensyahkan surat-surat/akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga


(54)

memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

C. Kode Etik Jabatan Notaris

Jabatan yang diemban oleh Notaris adalah suatu jabatan kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang dan masyarakat, untuk itulah Notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan selalu menjunjung tinggi etika dan martabat serta keluhuran jabatannya, sebab apabila hal tersebut diabaikan seorang Notaris maka akan berbahaya bagi masyarakat umum yang dilayaninya. Dalam hal menjalankan jabatannya seorang Notaris tidak cukup hanya memiliki keahlian hukum tetapi juga harus dilandasi tanggung jawab dan penghayatan terhadap keluhuran martabat dan etika.

Menurut etimologi, kata etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti memiliki watak kesusilaan atau beradab. Etika adalah refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut baik dan buruk.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1998, Etika diberikan tiga arti yang cukup lengkap yaitu :

a) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)

b) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak

c) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu golongan atau masyarakat umum


(55)

Berdasarkan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat dirumuskan pengertian etika yaitu :

1. Nilai- nilai dan norma-norma moral yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat untuk mengatur tingkah lakunya.

2. Etika juga berarti kumpulan asas atau nilai moral

3. Etika bias pula dipahami sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk

Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi seluruh kaedah moral yang telah hidup dan berkembang di masyarakat. Notaris harus memiliki tanggung jawab dan etika profesi dalam menjalankan jabatannya. Etika profesi adalah norma-norma, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh sekelompok orang yang disebut sebagai kalangan professional.

Agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pelayan masyarakat, seorang professional harus menjalankan jabatannya dengan menyelaraskan antara keahlian yang dimilikinya dengan menjunjung tinggi kode etik profesi. Adanya kode etik bertujuan agar suatu profesi dapat dijalankan dengan professional dengan motivasi dan orientasi pada keterampilan intelektual serta beragumentasi secara rasional dan kritis serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral

Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sesorang sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi40. Adapun yang menjadi fungsi kode etik profesi adalah :

40

http://youn13.blogspot.com/2006/03/etika-profesi-dan-tanggung-jawab.html diakses tanggal 3 juli 2011


(56)

Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi mampu mengetahui sautu hal yang boleh dia lakukan dan yang tidak boleh dilakukan.41

Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial).42

Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di lain instansi atau perusahaan.43

Dalam kode etik notaris Indonesia telah ditetapkan beberapa kaidah yang harus dipegang oleh notaris,44 diantaranya adalah :

1. Kepribadian notaris, hal ini dijabarkan kepada :

a. Dalam melaksanakan tugasnya dijiwai Pancasila, sadar dan taat kepada hukum peraturan jabatan notaris, sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa Indonesia yang baik.

41 Ibid 42

Ibid 43

Ibid 44


(57)

b. Memiliki perilaku professional dan ikut serta dalam pembangunan nasional terutama sekali dalam bidang hukum

c. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan notaris baik didalam maupun di luar tugas jabatannya,

2. Dalam menjalankan tugas, notaris harus :

a. Menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur tidak berpihak dengan penuh rasa tanggung jawab,

b. Menggunakan satu kantor sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang dan tidak membuka kantor cabang dan perwakilan dan tidak menggunakan perantara

c. Tidak menggunakan media massa yang bersifat promosi. 3. Hubungan Notaris dengan klien harus berlandaskan :

a. Notaris memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya

b. Notaris memberikan penyuluhan hukum untuk mencapai kesadaran hukum yang tinggi, agar anggota masyarakat menyadari hak dan kewajibannya, c. Notaris harus memberikan pelayanan kepada naggota masyarakat yang kurang

mampu.

4. Notaris dan sesame rekan notaris haruslah:

a. Hormat menghormati dalam suasana kekeluargaan


(58)

c. Saling menjaga dan membela kehormatan dan korps notaris atas dasar solidaritas dan sifat tolong menolong secara konstruktif.

Mengenai perilaku sebagai Notaris, Ismail Shaleh menyatakan ada empat hal pokok yang harus diperhatikan yakni :45

1. Mempunyai integritas moral yang mantap

Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya, walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.

2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri.

Notaris harus jujur, tidak saja pada kliennya, juga pada dirinya sendir. Notaris harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak member janji-janji sekedar untuk menyenangkan kliennya atau agar klien tetap mau menggunakan jasanya.

3. Sadar akan batas-batas kewenangannya

Notaris harus sadar akan batas-batas kewenangannya. Notaris harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan.

4. Tidak semata-mata berdasarkan uang

Notaris harus tetap berpegang teguh pada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum tetapi mengabaikan rasa keadilan.

Kode etik notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia, berdasar keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku serta wajib ditaati oleh setiap jabatan sebagai notaris, termasuk didalamnya oleh Pejabat Sementara Notaris, Notaris

45

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal.51


(59)

Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus. Kode etik notaris dengan tegas dan jelas menjabarkan sikap mental yang harus dimiliki seorang notaris.46

Kode etik notaris telah diatur dan ditetapkan secara hukum melalui UUJN. Sebagai profesi hukum, notaris harus professional dalam melayani masyarakat yang membutuhkan jasanya.47 Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan baik oleh Negara melalui peraturan perundang-undangan maupun oleh masyarakat yang membutuhkan jasanya, harus berpegang teguh tidak hanya pada undang-undang tetapi juga pada kode etik profesinya.

Dalam Pasal 1 Kode Etik Notaris yang disyahkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2005 tentang kepribadian dan martabat notaris,48 disebutkan bahwa :

1. Dalam melaksanakan tugasnya Notaris diwajibkan :

a. Senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas Negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan.

b. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara

2. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, notaris dengan kepribadian yang baik diwajibkan untuk menjunjung tinggi martabat jabatan notaris dan sehubungan dengan itu tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan atau tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan Jabatan Notaris.

Adanya hubungan antara kode etik dan undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat

46

Ira Koessoemawati dan Yunirman Rijan, Op.Cit.,hal.51

47

Ibid, hal.52

48


(1)

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

9 111 123

Analisa Pembayaran Bea Atas Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) pada PT.WIKA REALTY Wilayah Debang Taman Sari Medan

0 78 56

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/Pn.Mdn)

4 50 123

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BPHTB A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Sejarah Notaris di Indonesia - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangu

0 1 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 0 24

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 0 14

BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BPHTB A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Sejarah Notaris di Indonesia - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangu

1 2 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/Pn.Mdn)

0 0 24

Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris Yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Bphtb) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2601/Pid.B/2003/Pn.Mdn)

0 0 14