Belawan Putih (Tristaniopsis whiteana): Antibacterial Compounds and Their Distribution in Peat and Heath Forests Central Kalimantan.

(1)

BELAWAN PUTIH (Tristaniopsis whiteana): KANDUNGAN

ANTIBAKTERI DAN SEBARAN POPULASINYA DI HUTAN

GAMBUT DAN KERANGAS KALIMANTAN TENGAH

DEWI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Belawan Putih (Tristaniopsis whiteana): Kandungan Antibakteri dan Sebaran Populasinya di Hutan Gambut dan Kerangas Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Dewi Handayani


(3)

RINGKASAN

DEWI HANDAYANI. Belawan Putih (Tristaniopsis whiteana): Kandungan Antibakteri dan Sebaran Populasinya di Hutan Gambut dan Kerangas Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh SUMINAR SETIATI ACHMADI, ANDRIA AGUSTA, dan ISTOMO.

Ekosistem hutan gambut memiliki potensi keragaman hayati yang tinggi. Salah satu potensi yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar kawasan tersebut adalah pemanfaatan tumbuhan hutan untuk obat. Salah satu tumbuhan yang terdapat di dalam ekosistem hutan ialah tumbuhan dari genus Tristaniopsis, contohnya ialah belawan putih (T. whiteana). Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi senyawa aktif antibakteri dari daun belawan putih dan memetakan sebaran populasi tumbuhan tersebut di hutan gambut dan kerangas Kalimantan Tengah.

Sampel daun diekstraksi dengan 4 pelarut yang berbeda kepolarannya (n -heksana, kloroform, etil asetat, dan metanol). Ekstrak kloroform paling aktif dalam menghambat bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus epidermidis.

Isolasi dan pemurnian ekstrak kloroform menghasilkan 2 senyawa murni, yaitu senyawa 1 dan 2, mempunyai nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) yang sama terhadap E. coli, yaitu 128 μg/mL. Nilai KHM terhadap S. epidermidis pada senyawa 1 dan 2 berturut-turut adalah 128 dan > 128 μg/mL. Elusidasi struktur dengan menggunakan spektrometer resonansi magnetik inti proton (1H-RMI) pada senyawa 1 mengindikasikan keberadaan gugus aromatik, alkoksi, metoksi, metina, metilena, dan metil. Dari hasil elusidasi struktur dengan spektrofotometer ultraviolet, inframerah, 1H-RMI, 13C-RMI, DEPT, HMBC, dan HMQC, senyawa 2 merupakan asam betulinat. Hal ini adalah temuan pertama tentang adanya asam betulinat yang terkandung dalam tanaman belawan putih maupun pada genus

Tristaniopsis.

Tumbuhan belawan putih berpotensi sebagai obat tradisional dan sudah biasa dipakai oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan. Oleh karena itu, maka perlu untuk melindunginya dari ancaman kepunahan. Salah satu kriteria penentuan prioritas survei suatu spesies untuk dilindungi ialah dengan menentukan pola sebaran populasi spesies tersebut. Parameter ekologi belawan putih di hutan gambut dan kerangas Bawan Kalimantan Tengah diamati dan diukur dengan membuat masing-masing 6 plot menggunakan metode penarikan sampel purposif. Setiap plot berbentuk lingkaran dengan jari-jari 10 m, sehingga 6 plot tersebar seluas 0.5 hektar. Berdasarkan pemetaan dan perhitungan mengunakan metode Morissita, tumbuhan belawan putih memiliki pola penyebaran mengelompok pada petak pengamatan di hutan gambut dan kerangas. Kata kunci: antibakteri, hutan gambut, hutan kerangas, Kalimantan Tengah,


(4)

SUMMARY

DEWI HANDAYANI. Belawan Putih (Tristaniopsis whiteana): Antibacterial Compounds and Their Distribution in Peat and Heath Forests Central Kalimantan. Supervised by SUMINAR SETIATI ACHMADI, ANDRIA AGUSTA, and ISTOMO.

Biodiversity of peat forest ecosystem is highly potential. Among these potentials is the use of forest plants as medicines. One of medicinal plants found in the peat swamp forest ecosystem is from genus Tristaniopsis, for example belawan putih (Tristaniopsis whiteana). Several studies have reported the potential of this plant as an antibacterial drug. In this report, bioactive antibacterial compounds of belawan putih leaves extract and mapping the distribution of the plant in peat and heath forests, Central Kalimantan, were studied.

The sample was extracted gradually using four different solvents based on polarity (n-hexane, chloroform, ethyl acetate, and methanol). The chloroform extract showed the most active in inhibiting Escherichia coli and Staphylococcus epidermidis. Isolation and purification of the chloroform extract gave 2 pure compounds, compound 1 and 2, having the same minimum inhibitor concentration (MIC) value against E. coli were 128 μg/mL. MIC values of compound 1 and 2 against S. epidermidis were 128 and > 128 μg/mL, respectively. Based on structure elucidation using nuclear magnetic resonance proton (1H-NMR), compound 1 was estimated to have aromatic, alkoxy, methine, methylene, and methyl groups. Structure elucidation using ultraviolet and infrared spectrophotometers, 1H-NMR, 13C-NMR, DEPT, HMBC, and HMQC, compound 2 was found be betulinic acid. This is the first report of the occurrence of this compound in belawan putih and genus Tristaniopsis.

One potential of belawan putih commonly used by people around forest areas is the use as medicines. Therefore, it is necessary to protect this species from the threat of extinction. One of the survey criteria in determining priority to protect the species is to find the distribution pattern of the species population. Ecological parameters of belawan putih in heath and peat forest Bawan, Central Kalimantan, was observed and measured on 6 plot in each forest by purposive sampling method. The plot was circle with radius of 10 m, so the 6 plot have area of 0.5 hectares. Based on Morissita method, the distribution pattern of belawan putih in heath and peat forest was clumped type.

Key words: antibacterial, Central Kalimantan, heath forest, peat forest,


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Kimia

BELAWAN PUTIH (Tristaniopsis whiteana): KANDUNGAN

ANTIBAKTERI DAN SEBARAN POPULASINYA DI HUTAN

GAMBUT DAN KERANGAS KALIMANTAN TENGAH

DEWI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(7)

(8)

Judul : Belawan Putih (Tristaniopsis whiteana): Kandungan Antibakteri dan Sebaran Populasinya di Hutan Gambut dan Kerangas Kalimantan Tengah

Nama : Dewi Handayani NIM : G451110111

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Ir Suminar Setiati Achmadi, PhD Ketua

Dr Andria Agusta Dr Ir Istomo, MSi

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pascasarjana Kimia Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MAgr Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Belawan Putih (Tristaniopsis whiteana): Kandungan Antibakteri dan Sebaran Populasinya di Hutan Gambut dan Kerangas Kalimantan Tengah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 sampai Agustus 2013 bertempat di Laboratorium Fitokimia Pusat Penelitian Biologi LIPI, hutan gambut, dan hutan kerangas Bawan Kalimantan Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Ir Suminar Setiati Achmadi, PhD, Dr Andria Agusta, dan Dr Ir Istomo, MSi selaku komisi pembimbing; Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr selaku dosen penguji luar komisi, serta seluruh dosen Pascasarjana Kimia atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Pusat Penelitian Biologi-LIPI, selaku instansi tempat bekerja penulis yang memberi kesempatan untuk tugas belajar dan bantuan dana penelitian yang telah diberikan; Kemenristek, selaku pemberi beasiswa pascasarjana kepada penulis; orang tua, kakak, adik, keluargaku termasuk suamiku Muhamad Ruslan, dan anakku, Haifa Izzatunnisa yang telah memberikan dukungan material dan moral; staf laboratorium Fitokimia Pusat Penelitian Biologi-LIPI (Mbak Dewi, Mas Toni, Mas Asep, Ibu Tiwi); staf laboratorium Ekologi (Ibu Yuni, Bapak Laode, Bayu, Kang Hendra, Kang Ozi, Kang Heru); dan staf Herbarium Bogoriense (Mas Ismail) atas dukungan dan kerjasamanya selama penelitian. Tak lupa pula, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Pascasarjana Kimia angkatan 2011 atas saran dan motivasi yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

2 IDENTIFIKASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DAUN BELAWAN PUTIH (Tristaniopsis whiteana)

Pendahuluan 2

Metode 3

Hasil dan Pembahasan 5 3 KAJIAN EKOLOGI BELAWAN PUTIH DI KALIMANTAN TENGAH

Pendahuluan 18

Metode 18

Hasil dan Pembahasan 20

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 29

RIWAYAT HIDUP 46

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan 2 jenis bakteri uji 3

2 Rendemen ekstrak daun belawan putih 5

3 Diameter zona hambat ekstrak daun belawan putih terhadap bakteri

E. coli dan S. epidermidis 7

4 Bobot fraksi ekstrak kloroform daun belawan putih menggunakan

kromatografi kolom silika gel 8

5 Bobot fraksi ekstrak kloroform daun belawan putih menggunakan

kromatografi kolom silika gel 9

6 Spektrum 1H-RMI senyawa 1 dalam CDCl3 11

7 Spektrum 1H-RMI, 13C-RMI, dan DEPT senyawa 2 13

8 Spektrum HMBC senyawa 2 14

9 Perbandingan spektrum 1H-RMI dan 13C-RMI senyawa 2 dengan

asam betulinat dalam DMSO 15 10 Berbagai aktivitas biologis dari asam betulinat 16 11 Nilai KHM senyawa 1 dan 2 terhadap S. epidermidis dan E. coli 17


(11)

DAFTAR TABEL (lanjutan)

13 Jumlah individu belawan putih per hektar pada tiap tingkat pertumbuhan di hutan gambut dan kerangas Bawan Kalimantan Tengah 21

DAFTAR GAMBAR

1 Uji aktivitas antimikrob dengan metode bioautografi ekstrak heksana (1), kloroform (2), etil asetat (3), dan metanol (4) daun belawan putih

terhadap E. coli (a) dan S. epidermidis (b) 6 2 Aktivitas antibakteri dari senyawa-senyawa dalam ekstrak

kloroform (a), sampel disemprot penampak noda serium (b) 7 3 Profil KLT kromatografi kolom silika gel ekstrak kloroform daun

belawan putih. Eluen kloroform-metanol 10:1. Penampak noda serium 8 4 Profil KLT senyawa 1 berupa satu spot. Eluen kloroform-aseton 1:1.

Penampak noda serium 9

5 Profil KLT kromatografi kolom silika gel ekstrak kloroform daun

belawan putih. Eluen kloroform-metanol 10:1. Penampak noda serium 10 6 Profil KLT kromatografi kolom silika gel fraksi 2.1-2.8. Eluen kloroform- etil asetat 5:1. Penampak noda serium 10 7 Profil KLT senyawa 2 berupa satu spot, eluen kloroform-metanol 10:1.

Penampak noda serium 11

8 Struktur senyawa 2 14

9 Petak ukur analisis vegetasi: plot 1 (a), plot 2 (b), plot 3 (c), plot 4 (d), plot 5 (e), dan plot 6 (f) dengan sub-plot untuk tingkat pohon dan tiang

(1), pancang (2), dan semai (3) 19

10 Sebaran populasi semai belawan putih (jari-jari 1 m) di hutan gambut

Bawan 21

11 Sebaran populasi tiang belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan gambut

Bawan 21

12 Sebaran populasi pohon belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan

gambut Bawan 22

13 Sebaran populasi semai belawan putih (jari-jari 1 m) di hutan kerangas

Bawan 22

14 Sebaran populasi pancang belawan putih (jari-jari 5 m) di hutan

kerangas Bawan 22

15 Sebaran populasi tiang belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan

kerangas Bawan 22

16 Sebaran populasi pohon belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan

kerangas Bawan 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil identifikasi tumbuhan belawan putih 29 2 Diagram alir ekstraksi daun belawan putih 30


(12)

DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)

3 Diagram alir kromatografi kolom senyawa 1 dari ekstrak kloroform

daun belawan putih 31

4 Diagram alir kromatografi kolom senyawa 2 dari ekstrak kloroform daun belawan putih 32

5 Spektrum 1H-RMI senyawa 1 33

6 Spektrum UV senyawa 2 34

7 Spektrum IR senyawa 2 35

8 Spektrum 1H-RMI senyawa 2 36

9 Spektrum 13C-RMI senyawa 2 37

10 Spektrum DEPT 45 senyawa 2 38

11 Spektrum DEPT 135 senyawa 2 39

12 Spektrum HMQC senyawa 2 40

13 Spektrum HMBC senyawa 2 41

14 Nilai KHM senyawa 1, senyawa 2, dan kontrol antibiotik komersial (kloramfenikol) terhadap S. epidermidis 42

15 Nilai KHM senyawa 1, senyawa 2, dan kontrol antibiotik komersial (kloramfenikol) terhadap E. coli 43

16 Perhitungan pola sebaran belawan putih di hutan gambut Bawan 44


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan gambut di Indonesia memiliki biodiversitas yang khas dengan kekayaan ragam flora dan fauna sehingga menjadi sumber daya hayati yang sangat berharga. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 17-27 juta ha (Rieley et al. 1996). Sekitar 5.77 juta ha dari luasan tersebut terdapat di Kalimantan, dan Kalimantan Tengah merupakan daerah yang memiliki lahan gambut terluas, yaitu sekitar 3.01 juta hektar (Wahyunto et al. 2004). Telah diketahui bahwa ekosistem hutan gambut memiliki potensi keragaman hayati yang cukup tinggi. Potensi yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar kawasan tersebut adalah pemanfaatan tumbuhan hutan untuk obat.

Di antara tumbuhan yang terdapat di dalam ekosistem hutan gambut ialah tumbuhan dari genus Tristaniopsis. Beberapa contoh tumbuhan dari genus ini yang berkhasiat sebagai obat di antaranya ialah Tristaniopsis sumatrana yang berpotensi sebagai kontrasepsi (Syamsurizal 1997). Penelitian terhadap T. calobuxus menunjukkan bahwa ekstrak dari kulit kayunya dapat menghambat aktivitas enzim xantin oksidase, elastase, dan metalloproteinase-9 (Gariboldi et al.

1998; Bellosta et al. 2003). Verotta et al. (2001) melaporkan bahwa daun dan kulit kayu T. calobuxus, T. yateensis, dan T. glauca berpotensi sebagai obat antimalaria. Palajit et al. (2008) melaporkan bahwa T. burmanica memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan nilai diameter daya hambat terhadap

Staphylococcus aureus, Listeria innocua, dan Bacillus subtilis berturut-turut ialah 8.63, 8.53, dan 8.47 mm. Panagan dan Syarif (2009) melaporkan bahwa asap cair hasil pirolisis kayu T. abavata dapat menghambat pertumbuhan bakteri

Escherichia coli dengan nilai diameter daya hambat yaitu 2.66 dan 0.833 cm pada konsentrasi 1.092 dan 0.109 g/mL.

Salah satu penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi-LIPI, yaitu penapisan tumbuhan gambut di Kalimantan Tengah dalam potensinya sebagai bahan obat antibiotik. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa daun belawan putih (T. whiteana) memiliki aktivitas hambat yang paling tinggi dibandingkan 13 sampel tumbuhan yang diambil di hutan gambut Kalimantan Tengah, dengan nilai diameter daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus epidermidis yaitu 10 dan 12 mm pada konsentrasi 200 dan 400 μg/disc.

Kajian pustaka yang menunjukkan bahwa belawan putih dapat digunakan sebagai bahan obat di antaranya ekstrak etil asetat, ekstrak n-heksana, dan ekstrak metanol dari kulit batang tumbuhan ini mampu menghambat aktivitas pertumbuhan bakteri E. coli dengan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) berturut-turut ialah 2.5 ppm, 3.1954, dan 2.7857 mg/mL. Adapun nilai KHM ekstrak etil asetat terhadap bakteri S. aureus yaitu 2.9 ppm. Ekstrak etil asetat kulit batang belawan putih, yang aktif menghambat bakteri S. aureus dan E. coli, mengandung golongan senyawa flavonoid, tanin, dan terpenoid (Utama 2002; Wahyuningsih 2005; Farid 2005). Sementara itu, Setyowati et al. (2005) melaporkan bahwa kulit batang tumbuhan ini biasa digunakan oleh masyarakat Dayak sebagai obat diare.


(14)

Akan tetapi karena sedikitnya informasi tentang potensi daun belawan putih sebagai bahan obat dan struktur kimia senyawa aktif dari tumbuhan tersebut yang bertanggung jawab sebagai antibakteri, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengidentifikasi senyawa aktif yang berperan sebagai bahan obat antibakteri. Dengan demikian pada penelitian ini akan dilakukan isolasi senyawa antibakteri dari sampel daun belawan putih, serta kajian ekologi untuk memetakan sebaran populasi tumbuhan tersebut di hutan gambut dan kerangas Kalimantan Tengah.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi senyawa aktif antibakteri dari daun belawan putih dan memetakan sebaran populasi tumbuhan tersebut di hutan gambut dan kerangas Kalimantan Tengah.

1.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan adalah penggunaan bagian tumbuhan belawan putih sebagai obat diare oleh masyarakat di Kalimantan disebabkan oleh kandungan senyawa kimia yang bersifat sebagai antibakteri.

2 IDENTIFIKASI SENYAWA AKTIF ANTIBAKTERI DAUN BELAWAN PUTIH (Tristaniopsis whiteana)

2.1 Pendahuluan

Kulit batang belawan putih mengandung senyawa asam elagat (Lowry 1968). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat, ekstrak heksana, dan ekstrak metanol dari kulit batangnya mampu menghambat aktivitas bakteri S. aureus dan E. coli. Ekstrak etil asetatnya yang aktif menghambat bakteri

S. aureus dan E. coli, mengandung golongan senyawa flavonoid, tanin, dan terpenoid (Utama 2002; Wahyuningsih 2005; Farid 2005). Sementara itu, Setyowati et al. (2005) melaporkan bahwa kulit batang tumbuhan ini biasa digunakan oleh masyarakat Dayak sebagai obat diare.

Antibakteri ialah suatu senyawa kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme bakteri. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri antara lain konsentrasi atau intensitas zat antibakteri, jumlah mikroorganisme, suhu, spesies mikroorganisme, adanya bahan organik, dan pH. Penghambatan atau pembasmian mikroorganisme oleh senyawa antimikrob dapat dilakukan dengan cara (1) merusak dinding sel, (2) mengubah permeabilitas sel, (3) mengubah molekul protein dan asam nukleat, (4) menghambat kerja enzim, dan (5) menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Pelczar dan Chan 1998).


(15)

Bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini ialah E. coli (Gram negatif) dan S. epidermidis (Gram positif). Perbandingan kedua bakteri tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 (Pelczar dan Chan 1998).

Tabel 1 Perbandingan 2 jenis bakteri uji

E. coli S. epidermidis

Golongan Gram negatif Gram positif

Bentuk Beragam Kokus

Ukuran 0.5-3 μm 0.5-1.5 μm

Penyakit yang ditimbulkan

Radang usus, meningitis, pneumonia, peritonitis, dan infeksi luka

Infeksi saluran kemih, infeksi luka, infeksi sistem saraf pusat Tempat hidup Dalam usus manusia dan

hewan, vertebrata lain

Kulit manusia

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi senyawa aktif antibakteri dari daun belawan putih yang tumbuh di hutan gambut dan kerangas Kalimantan Tengah.

2.2 Metode

Alat dan Bahan

Alat analitis yang digunakan adalah spektrofotometer ultraviolet Shimadzu 1240, spektrofotometer inframerah Shimadzu IRPrestige-21, dan spektrometer resonansi magnetik inti (RMI) JEOL ECA 500.

Bahan yang digunakan ialah sampel daun belawan putih yang diperoleh dari hutan gambut Hampangen, Kalimantan Tengah. Bakteri yang digunakan adalah biakan bakteri S. epidermidis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan E. coli dari Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi -LIPI.

Prosedur Penelitian

Penyiapan Sampel dan Ekstraksi. Sampel berupa daun diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Sampel yang dikoleksi dari lapangan dikeringanginkan dan digiling dengan grinder sehingga menjadi serbuk.

Sampel (350 g) dimaserasi menggunakan pelarut metanol (3 L). Ekstrak metanol kemudian dipartisi dengan 4 pelarut secara bertingkat (Lampiran 2). Pelarut tersebut dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu n-heksana (nonpolar), kloroform (semipolar), etil asetat (semipolar), dan metanol (polar). Setiap jenis


(16)

ekstrak selanjutnya dipekatkan dengan penguap putar pada suhu 35 oC. Ekstrak pekat yang diperoleh dikeringkan dengan gas N2. Ekstrak ditimbang untuk

menentukan rendemen ekstrak, yakni bobot ekstrak dibagi dengan bobot contoh dikalikan 100 %. Ekstrak yang diperoleh digunakan untuk uji aktivitas antibakteri.

Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Bioautografi (Hamburger dan Cordell 1987). Aktivitas antibakteri dari setiap ekstrak yang telah diperoleh diuji dengan metode bioautografi. Uji ini dilakukan dengan menyiapkan pelat KLT yang sudah ditotol sebanyak 100 �g masing-masing ekstrak, selanjutnya dicelupkan pada media brain heart infusion (BHI) yang mengandung inokulan bakteri sebanyak 106 cfu/mL. Pelat KLT tersebut dipindahkan ke cawan petri steril, yang di dalamnya telah diberi kapas steril yang dibasahi akuades steril, dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Pelat KLT selanjutnya disemprot dengan iodo-nitro tetrazolium (INT). Aktivitas antibakteri dari ekstrak uji diamati dengan mengukur diameter zona bening yang terbentuk di sekeliling spot pada pelat KLT. Besar kecilnya diameter zona hambat menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan ekstrak tumbuhan dalam menghambat pertumbuhan mikrob uji. Ekstrak dengan diameter hambat tertinggi selanjutnya dimurnikan dan ditentukan strukur senyawa aktifnya.

Ekstrak tanaman ditotolkan pada pelat KLT aluminum jenis silika sel G60F254 dari Merck. Setelah kering, pelat langsung dielusi dalam bejana

kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap eluen pengembang. Eluen yang digunakan: heksana, etil asetat, aseton, kloroform, etanol, dan metanol. Spot yang dihasilkan dari setiap eluen diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Eluen yang menghasilkan pemisahan ekstrak paling baik dipilih sebagai eluen untuk analisis KLT.

Setelah didapatkan spot yang terpisah dengan baik, analisis dilanjutkan dengan bioautografi, yang bertujuan mendeteksi bercak atau komponen zat aktif dari ekstrak yang diduga memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan mengamati zona bening yang terbentuk. Caranya ialah pelat KLT yang berisi spot ekstrak kasar antibakteri di-overlay dengan suspensi bakteri dan diinkubasi selama 18 jam pada suhu 37 oC. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya aktivitas antibakteri, pelat KLT yang telah diinkubasi dengan bakteri disemprot dengan larutan INT dan diinkubasi kembali selama 1 jam. Aktivitas antibakteri dari spot pada KLT ditandai dengan terbentuknya zona jernih.

Isolasi dan Pemurnian Senyawa Aktif. Isolasi dan pemurnian senyawa aktif dilakukan dengan tujuan mencari kemungkinan adanya senyawa tunggal yang memiliki daya hambat yang lebih baik dibandingkan ekstrak kasarnya. Isolasi dan pemurnian senyawa aktif dilakukan pada kolom silika gel (eluen pelarut organik:

n-heksana, kloroform, etil asetat, dan metanol dengan berbagai perbandingan) dan Sephadex LH-20 (eluen kloroform-metanol 1:1).

Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) (Andrews 2001). KHM

ditentukan dengan metode dilusi menggunakan mikrotiter 96-well. Ekstrak dibuat dengan membuat larutan induk 512 μg/mL dalam DMSO 30 % kemudian diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi 128, 64, 32, 16, 8, 4, 2, dan 1 μg/mL. Kontrol negatif yang digunakan ialah media Mueller-Hinton broth (MHB) dan


(17)

pelarut (DMSO 30 %), media MHB dan inokulan bakteri, sedangkan kontrol positifnya ialah kloramfenikol. Sebanyak 100 μL media MHB dimasukkan dalam mikrotiter 96-well. Selanjutnya, setiap ekstrak sebanyak 100 μL ditambahkan ke dalam sumur yang sudah terisi media MHB. Ke dalam setiap sumur ditambahkan 100 μL bakteri uji dan diinkubasi pada 37 oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi, diamati timbulnya kekeruhan. Konsentrasi terkecil dari antibakteri yang tidak menimbulkan kekeruhan pada sumur merupakan nilai KHM.

Identifikasi Struktur Kimia Senyawa Aktif. Identifikasi struktur kimia dari senyawa aktif yang diperoleh ditentukan menggunakan spektrofotometer ultraviolet, spektrofotometer inframerah, dan spektrometer resonansi magnetik inti. Spektrofotometer UV digunakan untuk menentukan serapan maksimum senyawa aktif, spektrofotometer inframerah untuk penentuan gugus fungsi dari senyawa aktif, sedangkan strukturnya ditentukan dengan spektrometer resonansi magnetik inti.

2.3 Hasil dan Pembahasan

Rendemen Ekstrak Daun Belawan Putih

Ekstrak metanol memiliki rendemen yang paling besar dibandingkan ekstrak dengan pelarut lain, yaitu 44 %, disusul oleh ekstrak etil asetat (42 %) (Tabel 2). Hal ini menandakan bahwa banyak komponen fitokimia bersifat polar dan semipolar yang terkandung dalam ekstrak daun belawan putih.

Tabel 2 Rendemen ekstrak daun belawan putih

Ekstrak Rendemen (%)

n-Heksana 7.400

Kloroform 6.466

Etil asetat 41.874

Metanol 44.260

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar

Aktivitas antibakteri pada ekstrak kasar diuji dengan metode bioautografi. Pengujian ini dilakukan pada 2 jenis bakteri uji, terdiri atas bakteri yang mewakili Gram negatif, yaitu E. coli dan bakteri yang mewakili Gram positif, yaitu S. epidermidis. Aktivitas antibakteri ekstrak n-heksana, kloroform, etil asetat, dan metanol terhadap kedua bakteri uji dengan metode bioautografi ditunjukkan pada Gambar 1.


(18)

Gambar 1 Uji aktivitas antibakteri dengan metode bioautografi ekstrak heksana (1), kloroform (2), etil asetat (3), dan metanol (4) daun belawan putih terhadap E. coli (a) dan S. epidermidis (b)

Dapat dilihat bahwa ekstrak etil asetat menghasilkan daerah penghambatan paling luas daripada ekstrak lainnya terhadap kedua bakteri uji. Namun, ekstrak etil asetat dan metanol menghambat secara parsial, ditunjukkan dengan terbentuknya zona yang kurang bening terhadap kedua bakteri uji, sehingga dipilih ekstrak kloroform untuk dimurnikan dan ditentukan strukur senyawa aktifnya. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang berperan sebagai antibakteri adalah senyawa semipolar. Senyawa semipolar mempunyai afinitas lebih tinggi untuk berinteraksi dengan dinding sel, sehingga ekstrak semipolar lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa dapat larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup mikrob, tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel yang hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik, sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimum (Branen dan Davidson 1993).

Bakteri Gram positif (S. epidermidis) dan Gram negatif (E. coli) memiliki ketahanan yang berbeda terhadap senyawa antibakteri (Tabel 3). Bakteri Gram negatif umumnya sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat polar karena dinding sel bakteri Gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. Sebaliknya, bakteri Gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar. Sensitivitas bakteri Gram positif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar disebabkan komponen dasar penyusun dinding sel bakteri Gram positif, yaitu peptidoglikan, yang salah satu penyusunnya adalah asam amino alanina yang bersifat hidrofobik (nonpolar). Senyawa antibakteri dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran sel sehingga mengakibatkan lisis sel (Branen dan Davidson 1993). Sensitivitas bakteri uji berdasarkan hasil penelitian ini berkaitan dengan senyawa aktif antibakteri dari daun belawan putih yang diduga bersifat semipolar. Hal ini ditunjukkan dari zona bening terbesar hasil uji bioautografi terjadi pada ekstrak dengan pelarut yang bersifat semipolar (kloroform).


(19)

Tabel 3 Diameter zona hambat ekstrak daun belawan putih terhadap bakteri E. coli dan S. epidermidis

Ekstrak Diameter (mm)

E. coli S. epidermidis

n-Heksana 4 -

Kloroform 10 6

Etil Asetat 11* 9*

Metanol 9.5* 6.5*

*: bersifat parsial

Selanjutnya ekstrak kloroform sebanyak 100 �g dielusi dengan eluen diklorometana-metanol (10:1) lalu dibioautografi untuk menentukan pada posisi Rf berapa komponen zat aktif dalam ekstrak tersebut. Sebagai pembanding ekstrak kloroform juga dielusi dengan eluen yang sama tetapi tidak dilakukan uji bioautografi; hasilnya lalu disemprot dengan penampak noda, yaitu serium, untuk mengidentifikasi Rf dari senyawa yang aktif sebagai antibakteri. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa senyawa aktif pada ekstrak kloroform terdapat pada Rf 0.4– 0.8.

Gambar 2 Aktivitas antibakteri dari senyawa-senyawa dalam ekstrak kloroform (a), sampel disemprot penampak noda serium (b)

Isolat dan Hasil Pemurnian Senyawa Aktif

Isolasi dan pemurnian senyawa aktif pada ekstrak kloroform dilakukan menggunakan kolom silika gel sebagai fase diam dan fase gerak yaitu kloroform-metanol (30:1-10:1) guna memisahkan senyawa-senyawa berdasarkan perbedaan kepolaran. Hasilnya adalah 4 fraksi yang didominasi oleh fraksi 1 (F1) (110.3 mg)


(20)

dan fraksi 4 (F4) (147.7 mg) (Tabel 4). F1 dimurnikan lebih lanjut karena dari profil bioautografi banyak senyawa F1 yang aktif sebagai antibakteri daripada senyawa pada F4 (Gambar 3).

Tabel 4 Bobot fraksi ekstrak kloroform daun belawan putih menggunakan kromatografi kolom silika gel

Fraksi Bobot (mg)

F1 110.3

F2 26.1

F3 24.3

F4 147.7

Gambar 3 Profil KLT kromatografi kolom silika gel ekstrak kloroform daun belawan putih. Eluen kloroform-metanol 10:1. Penampak noda: serium

Isolasi F1 dengan kolom silika gel dan fase gerak yaitu heksana-etil asetat (2:1-1:50) dan etil asetat-metanol (50:1-5:1) menghasilkan F1.1-F1.3 yang didominasi oleh F1.3 (60.1 mg). Pemurnian F1.3 dengan kolom silika gel dan fase gerak yaitu heksana-kloroform (1:1), kloroform, dan kloroform-metanol (95:5) menghasilkan F1.3.1-F1.3.3 yang didominasi oleh F1.3.3 (45.7 mg). Pemurnian F1.3.3 dengan kolom silika gel dan fase gerak yaitu kloroform-metanol (100:1-98:2) menghasilkan F1.3.3.1-F1.3.3.4 yang didominasi oleh F1.3.3.4 (24.5 mg). Pemurnian F1.3.3.4 dengan kolom silika gel (400 mesh) dan fase gerak yaitu kloroform-etil asetat (2:1-1:3) menghasilkan F1.3.3.4.1-F1.3.3.4.3. Kemudian F1.3.3.4.2 dimurnikan dengan kolom Sephadex LH-20 (fase gerak yaitu kloroform-metanol 1:1), untuk memisahkan senyawa-senyawa berdasarkan ukuran molekulnya. Hasilnya adalah F1.3.3.4.2.1 dan F1.3.3.4.2.2. F1.3.3.4.2.1 (senyawa 1) merupakan senyawa murni dengan bobot 1.6 mg. Diagram alir kromatografi kolom senyawa 1 dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan profil KLT dapat dilihat pada Gambar 4.


(21)

Gambar 4 Profil KLT senyawa 1 berupa satu spot. Eluen kloroform-aseton 1:1. Penampak noda serium.

Berhubung keterbatasan senyawa murni, maka dilakukan perbanyakan isolasi ekstrak kloroform guna memperoleh senyawa aktif lain. Isolasi ekstrak kloroform dilakukan menggunakan kromatografi kolom silika gel dan fase gerak yaitu kloroform-metanol (50:1-1:1). Hasilnya adalah 6 fraksi yang didominasi oleh F2 (424 mg) dan F6 (427.7 mg) (Tabel 5). F2 dimurnikan lebih lanjut karena dari profil bioautografi banyak senyawa pada F2 yang aktif sebagai antibakteri daripada senyawa pada F6 (Gambar 5).

Tabel 5 Bobot fraksi ekstrak kloroform daun belawan putih menggunakan kromatografi kolom silika gel

Fraksi Bobot (mg)

F1 19.2

F2 424

F3 168.6

F4 258.2

F5 161.1

F6 427.7


(22)

Gambar 5 Profil KLT kromatografi kolom silika gel ekstrak kloroform daun belawan putih. Eluen kloroform-metanol 10:1. Penampak noda serium

Isolasi F2 dengan kolom silika gel dan fase gerak yaitu kloroform-etil asetat (10:1-1:1) menghasilkan F2.1-F2.8 yang didominasi oleh F2.5 (144.2 mg) dan F2.7 (103.9 mg). Profil KLT F2.1-F2.8 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Profil KLT kromatografi kolom silika gel fraksi 2.1-2.8. Eluen kloroform-etil asetat 5:1. Penampak noda serium

Pemurnian F2.6 dengan kolom silika gel (400 mesh) dan fase gerak yaitu kloroform-etil asetat (10:1) menghasilkan F2.6.1-F2.6.4 yang didominasi oleh F2.6.2 (29.4 mg). F2.6.2 dimurnikan lagi menggunakan kolom Sephadex LH-20 (fase gerak yaitu kloroform-metanol 1:1) dan diperoleh F2.6.2.1-F2.6.2.3. F2.6.2.2 (senyawa 2) yang diperoleh merupakan senyawa murni dengan bobot 12.2 mg. Senyawa 2 juga diperoleh dari hasil pemurnian terhadap F2.7 dengan kolom silika gel (fase gerak heksana-etil asetat (4:1)) dan menghasilkan F2.7.1-F2.7.4. F2.7.2 (senyawa 2) yang diperoleh merupakan senyawa murni dengan bobot 13.4 mg. Diagram alir kromatografi kolom senyawa 2 dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan pofil KLT nya dapat dilihat pada Gambar 7.


(23)

Gambar 7 Profil KLT senyawa 2 berupa satu spot, eluen kloroform-metanol 10:1, penampak noda serium.

Struktur Kimia Senyawa Aktif

Penafsiran SpektrumSenyawa 1

Pencirian dengan 1H-RMI senyawa 1 (Tabel 6, Lampiran 5) memperlihatkan

sinyal pada δ 7.70 dan 7.53 ppm yang mengindikasikan adanya proton pada gugus

aromatik. Puncak pada δ 5.36, 4.50, dan 4.22 ppm mengindikasikan adanya proton yang terletak pada gugus alkoksi (R2CH-O-, RCH2-O-) sedangkan pada δ

3.60 dan 3.37 ppm mengindikasikan adanya proton yang terletak pada gugus metoksi (CH3O-). Keberadaan proton pada gugus metina ditunjukkan dengan

munculnya sinyal pada δ 1.68 ppm. Proton pada gugus metilena ditunjukkan oleh

δ 1.40-1.20 ppm sedangkan proton pada gugus metil ditunjukkan oleh δ 0.89 dan

0.67 ppm. Berhubung keterbatasan isolat murni, tidak dilakukan pengukuran dengan 13C-RMI.

Tabel 6 Spektrum 1H-RMI senyawa 1 dalam CDCl3

δ H (ppm) Jumlah H, pembelahan, J

7.70 1H, dd, J: 3.25 Hz 7.53 1H, dd, J: 3.25 Hz

5.36 2H, s

4.50 2H, dd, J: 7.8 Hz

4.22 3H, m

3.60 3H, m

3.37 2 x 2H, q, J: 9.1 Hz; 8.45 Hz

1.68 1H, m

1.40-1.20 4 x 2H, m

0.89 3H, m

0.67 3H, s


(24)

Penafsiran SpektrumSenyawa 2

Spektrum UV senyawa 2 dalam pelarut metanol menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang 223 nm (Lampiran 6). Hal ini mengindikasikan adanya ikatan rangkap yang tidak berkonjugasi pada senyawa tersebut.

Berdasarkan spektrum IR (Lampiran 7), senyawa 2 menunjukkan regangan gugus -OH pada bilangan gelombang 3431 cm-1 yang diperkuat dengan regangan C-O pada bilangan gelombang 1043 cm-1. Kedua serapan tersebut mengindikasikan adanya gugus OH yang terikat pada atom karbon. Keberadaan gugus metil dan metilena ditunjukkan dengan munculnya regangan C-H alifatik pada 2941 dan 2870 cm-1. Vibrasi tekuk C-H pada bilangan gelombang 1452 dan 1377 cm-1 mengindikasikan adanya gugus gem dimetil sebagai ciri khas senyawa triterpenoid. Ikatan rangkap (C=C) ditunjukkan dengan munculnya regangan C=C pada bilangan gelombang 1639 cm-1. Gugus karbonil (C=O) ditunjukkan dengan munculnya regangan C=O pada bilangan gelombang 1689 cm-1.

Hasil analisis senyawa 2 menggunakan 1H-RMI, 13C-RMI, DEPT, HMBC, dan HMQC dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8 (Lampiran 8-13). Berdasarkan spektrum 1H-RMI, 13C-RMI, DEPT, dan HMQC didapatkan informasi bahwa senyawa 2 mempunyai 30 karbon dan 48 proton yang terdiri dari 6 gugus metil (CH3), 11 gugus metilena (CH2), 6 gugus metina (CH), dan 7 gugus C kuarterner.

Gugus metilena pada senyawa ini terdiri dari 1 gugus CH2 olefinik (δ H = 4.56

dan 4.69 ppm, δ C = 109.68 ppm) dan 10 gugus CH2 alifatik. Gugus metina terdiri

dari 1 gugus CH yang berikatan dengan gugus OH (δ H = 2.95 ppm, δ C = 76.78

ppm) dan 5 gugus CH alifatik, sedangkan gugus C kuarterner terdiri dari 1 gugus

karbonil dari asam karboksilat (δ C = 177.29 ppm), 1 gugus C olefinik (δ C =

150.35 ppm), dan 5 gugus C kuarterner alifatik.

Berdasarkan spektrum 1H-RMI, 13C-RMI, DEPT, HMBC, dan HMQC senyawa 2 mempunyai 1 gugus OH yang terikat pada C-3, 1 ikatan rangkap pada C-20 dan C-29, 1 gugus asam karboksilat pada C-28. Struktur senyawa 2 diusulkan merupakan senyawa triterpenoid dengan kerangka dasar lupan, yaitu asam betulinat (Gambar 8). Perbandingan spektrum 13C-RMI yang menunjukkan kemiripan antara senyawa 2 dan asam betulinat (Boonruad dan Chansuwanich 2012) dapat dilihat pada Tabel 9.


(25)

Tabel 7 Spektrum 1H-RMI, 13C-RMI, dan DEPT senyawa 2 No

atom

δ C (ppm) DEPT δ H (ppm) (jumlah H, multiplisitas, J)

1 38.26 CH2 1.51 (1H, s), 1.53 (1H, m )

2 27.17 CH2 1.42 (2H, m)

3 76.78 CH 2.95 (1H, m)

4 38.52 C

5 54.89 CH 0.62 (1H, s)

6 17.97 CH2 1.4 (1H, m), 1.32 (1H, m)

7 33.91 CH2 1.34 (2H, m)

8 40.26 C

9 49.92 CH 1.23 (1H, m)

10 36.73 C

11 20.46 CH2 1.40 (2H, m)

12 25.08 CH2 1.60 (2H, m)

13 37.59 CH 1.82 (1H, m), 2.22 (s)

14 42.01 C

15 30.10 CH2 1.80 (2H, m)

16 31.73 CH2 2.12 (1H, s), 1.40 (1H, m)

17 55.43 C

18 46.63 CH 2.95 (1H, m)

19 48.53 CH 3.16 (1H, d, J: 3.9 Hz), 1.51 (s)

20 150.35 C

21 29.21 CH2 1.10 (1H, m), 1.34 (1H, m)

22 36.36 CH2 1.42 (2H, m)

23 28.12 CH3 0.86 (3H, s)

24 15.84 CH3 0.64 (3H, s)

25 15.97 CH3 0.76 (3H, s)

26 15.74 CH3 0.86 (3H, s)

27 14.39 CH3 0.93 (3H, s)

28 177.29 C

29 109.68 CH2 4.69 (1H, s) dan 4.56 (1H, s)


(26)

Tabel 8 Spektrum HMBC senyawa 2

δ H (ppm) HMBC (ppm)

4.69 C18 (46.63), C30 (18.95) 4.56 C18 (46.63), C30 (18.95)

1.64 C18 (46.63), C20 (150.35), C29 (109.68)

1.51 C13 (37.59), C17 (55.43), C18 (46.63), C20 (150.35), C28 (177.29), C30 (18.95)

1.40 C28 (177.29)

1.82 C15 (30.10), C18 (46.63), C19 (48.53), C28 (177.29) 1.34 C28 (177.29)

0.86 C3 (76.78), C4 (38.52), C7 (33.91), C8 (40.26), C9 (49.92), C14 (42.01), C25 (15.97)

0.64 C3 (76.78), C4 (38.52), C5 (54.89), C23 (28.12), C25 (15.97) 1.42 C1 (38.26), C3 (76.78), C5 (55.43), C10 (36.73)

1.53 C3 (76.78)

2.12 C17 (55.43), C19 (48.53)

0.76 C1 (38.26), C5 (54.89), C10 (36.73), C14 (42.01), C24 (15.84) 1.10 C13 (37.59), C14 (42.01)

1.42 C15 (30.10), C16 (31.73)

0.93 C8 (40.26), C13 (37.59), C14 (42.01) 1.23 C8 (40.26), C10 (36.73), C25 (15.97) 1.32 C26 (15.74)


(27)

Tabel 9 Perbandingan spektrum 1H-RMI dan 13C-RMI senyawa 2 dengan asam betulinat dalam DMSO

No atom

Senyawa 2 Asam betulinat

δ C (ppm) δ H (ppm) δ C (ppm) δ H (ppm) 1 38.26 1.51 (1H, s), 1.53

(1H, m )

38.28

2 27.17 1.42 (2H, m) 27.16

3 76.78 2.95 (1H, m) 76.81 3.17 (1H, m)

4 38.52 38.51

5 54.89 0.62 (1H, s) 54.90

6 17.97 1.4 (1H, m), 1.32 (1H, m)

18.95

7 33.91 1.34 (2H, m) 33.94

8 40.26 40.27

9 49.92 1.23 (1H, m) 49.96

10 36.73 36.73

11 20.46 1.40 (2H, m) 20.48

12 25.08 1.60 (2H, m) 25.10

13 37.59 1.81 (1H, m), 2.22 (s)

37.60

14 42.01 42.02

15 30.10 1.80 (2H, m) 30.12

16 31.73 2.12 (1H, s), 1.40 (1H, m)

31.75

17 55.43 55.44

18 46.63 2.95 (1H, m) 46.62

19 48.53 3.16 (1H, d, J: 3.9 Hz), 1.51 (s)

48.57

20 150.35 150.35

21 29.21 1.10 (1H, m), 1.34 (1H, m)

29.22

22 36.36 1.42 (2H, m) 36.37

23 28.12 0.86 (3H, s) 28.09 0.86 (3H, s) 24 15.84 0.64 (3H, s) 15.81 0.64 (3H, s) 25 15.97 0.76 (3H, s) 15.96 0.76 (3H, s) 26 15.74 0.86 (3H, s) 15.75 0.92 (3H, s) 27 14.39 0.93 (3H, s) 14.40 0.97 (3H, s)

28 177.29 177.61

29 109.68 4.56 (1H, s) dan 4.69 (1H, s)

109.61 4.56 (1H, d, J: 0.52 Hz), 4.69 (1H, d, J: 1.62 Hz) 30 18.95 1.64 (3H, s) 17.98 1.64 (3H, s)

Berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa asam betulinat mempunyai aktivitas biologis dan berpotensi sebagai obat dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan pustaka, asam betulinat dilaporkan terkandung dalam beberapa tumbuhan pada genus Syzygium (Myrtaceae) (Kashiwada et al. 1998, Chang et al. 1999, Boonruad dan Chansuwanich 2012). Namun isolasi senyawa ini belum


(28)

pernah dilaporkan terkandung dalam tumbuhan belawan putih (T. whiteana) maupun tumbuhan dalam genus Tristaniopsis.

Tabel 10 Berbagai aktivitas biologis dari asam betulinat

Khasiat Pustaka

Menghambat human immunodeficiency virus

(HIV)

Fujioka et al. (1994), Mayaux et al. (1994), Xu et al. (1996), Kashiwada et al. (1998), Reutrakul et al. (2006), Theo et al. (2009)

Antitumor Chowdhury et al. (2002), Tan et al. (2003)

Antibakteri Fujioka et al. (1994), Bringmann et al. (1997), Setzer

et al. (2000), Chandramu et al. (2003), Woldemichael

et al. (2003), Shin et al. (2009), Innocent et al. (2011), Boonruad dan Chansuwanich (2012)

Antimalaria Bringmann et al. (1997), Steele et al. (1999), Alakurtti

et al. (2006)

Antiinflamasi Recio et al. (1995), Mukherjee et al. (1997), Huguet et al. (2000), Bernard et al. (2001), Alakurtti et al. (2006)

Antelmintik Kinoshita et al. (1998), Enwerem et al. (2001) Antinosiseptif Kinoshita et al. (1998), Krogh et al. (1999) Antitumor Chowdhury et al. (2002), Tan et al. (2003)

Antikanker Pisha et al. (1995), Fulda et al. (1999), Fulda dan Debatin (2000), Tezuka et al. (2000), Zuco et al. (2002), Liu et al. (2004), Fulda dan Debatin (2005), Wada dan Tanaka (2005), Fu et al. (2005), Drag et al. (2009), Kumar et al. (2010), Ayatollahia et al. (2011) Menghambat aktivitas

enzim protein tirosina fosfatase 1B (PTP1B)

Choi et al. (2009)

Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Nilai KHM senyawa 1 dan 2 terhadap S. epidermidis berturut-turut ialah 128 �g/mL dan > 128 �g/mL, ditunjukkan dengan tidak tumbuhnya bakteri pada konsentrasi tersebut pada ulangan 1 sampai 3 (Tabel 11, Lampiran 14). Kontrol positif berupa antibiotik komersial kloramfenikol menunjukkan nilai KHM sebesar 4 �g/mL artinya kekuatan antibakteri dari senyawa 1 dan 2 jauh lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.

Senyawa 1 dan 2 mempunyai nilai KHM yang sama terhadap E. coli, yaitu 128 �g/mL, ditunjukkan dengan tidak tumbuhnya bakteri pada konsentrasi tersebut pada ulangan 1 sampai 3 (Lampiran 15). Kontrol positif berupa antibiotik komersial kloramfenikol mempunyai nilai KHM sebesar 4 �g/mL artinya


(29)

kekuatan antibakteri dari senyawa 1 dan 2 juga lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.

Suatu senyawa aktif memiliki potensi sebagai antibakteri jika mempunyai nilai KHM yang sama atau lebih kecil daripada antibiotik komersial. Adapun nilai KHM untuk berbagai antibiotik komersial berada pada kisaran < 32 μg/mL (Andrews 2001). Sehingga senyawa 1 dan 2 mempunyai aktivitas sebagai antibakteri namun tidak berpotensi sebagai antibakteri karena memiliki nilai KHM yang lebih kecil daripada antibiotik komersial.

Tabel 11 Nilai KHM senyawa 1 dan 2 terhadap S. epidermidis dan E. coli

Sampel Nilai KHM (�g/mL)

S. epidermidis E. coli

Senyawa 1 128 128

Senyawa 2 >128 128

Kloramfenikol 4 4

Berdasarkan pustaka, asam betulinat (senyawa 2) mempunyai aktivitas sebagai antibakteri. Woldemichael et al. (2003) melaporkan bahwa asam betulinat, yang diisolasi dari ekstrak diklorometana-metanol kulit batang

Caesalpinia paraguariensis, mempunyai nilai KHM > 128 �g/mL terhadap bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan Candida albicans.

Setzer et al. (2000) melaporkan bahwa asam betulinat, yang diisolasi dari ekstrak kloroform kulit batang Syncarpia glomulifera (Myrtaceae), menunjukkan aktivitas antibakteri dan sitotoksik. Asam betulinat berperan sebagai bioaktivitas ekstrak kasar kulit batang tumbuhan ini karena kelimpahannya yang relatif besar (10% dari ekstrak kasar) dan tingginya aktivitas senyawa ini.

Aktivitas antibakteri asam betulinat, yang diisolasi dari daun Vitex negundo, terhadap B. subtilis dan E. coli dengan metode kertas cakram dilaporkan oleh Chandramu et al. (2003). Asam betulinat tidak menunjukkan zona hambat terhadap E. coli pada konsentrasi 1000, 500, 250, dan 125 �g/disc. Namun, asam ini menunjukkan zona hambat terhadap B. subtilis sebesar 18.8 mm2 pada konsentrasi 1000 �g/disc sedangkan pada konsentrasi 500 �g/disc dan di bawahnya, asam betulinat tidak menunjukkan zona hambat.

Shin et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak Forsythia suspensa menunjukkan penghambatan yang kuat terhadap aktivitas urease Helicobacter pylori. Dua senyawa aktif yang diisolasi dari ekstrak tanaman ini ialah asam betulinat dan asam oleanolat. Pada konsentrasi yang sama, asam betulinat mampu menghambat aktivitas urease H. pylori lebih kuat daripada asam oleanolat.

Mekanisme kerja asam betulinat sebagai antibakteri belum pernah dilaporkan tetapi diduga melibatkan gangguan membran oleh senyawa lipofilik (Cowan 1999). Mendoza et al. (1997) melaporkan bahwa diterpenoid karena mempunyai aktivitas antimikrob yang tinggi, tetapi dengan tambahan ikatan rangkap dan gugus 3β-OH mengurangi aktivitas antimikrob secara drastis pada senyawa ini. Dengan demikian, rendahnya aktivitas antibakteri pada penelitian ini diduga karena adanya ikatan rangkap dan gugus hidroksi pada asam betulinat.


(30)

3 KAJIAN EKOLOGI BELAWAN PUTIH DI KALIMANTAN TENGAH

3.1 Pendahuluan

Tristaniopsis whiteana merupakan salah satu tumbuhan famili Myrtaceae. Nama lain dari spesies ini ialah Tristania motley, Tristania sumatrana, Tristania whiteana. Tumbuhan ini banyak ditemukan mulai dari Sumatera sampai Papua Niugini. Di kawasan hutan gambut Kalimantan Tengah, tumbuhan ini dikenal dengan nama daerah belawan putih. Belawan putih tumbuh berkoloni terutama di hutan sekunder, dataran rendah, hutan pegunungan dengan ketinggian 1300 m dpl, sepanjang sungai atau dekat pantai dan juga di lokasi yang berbatu. Tumbuhan tersebut sering tumbuh bersama dengan spesies Cratoxylum (Sosef et al. 1998).

Belawan putih merupakan salah satu spesies yang paling banyak mati akibat kebakaran di hutan gambut Kelampangan Kalimantan Tengah pada Desember 1997 dan September 2002. Laju pertumbuhan belawan putih yang terdapat di petak hutan alami gambut Kelampangan Kalimantan Tengah selama Mei 2002 sampai Mei 2003 ialah jumlah individu sebanyak 63, rata-rata diameter batang sebesar 11.29 cm dan pertambahan diameter sebesar 1.82 mm/tahun (Simbolon 2003).

Kawasan bergambut di Kalimantan Tengah mencakup hamparan areal yang cukup luas, diperkirakan mencapai 3.472 juta ha atau sekitar 22 % dari luas total wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Gambut terbentuk apabila terdapat limpahan biomassa atau serasah pada suatu kawasan yang mengalami hambatan dalam proses dekomposisinya. Faktor penghambat utamanya ialah genangan air sepanjang tahun atau kondisi rawa. Oleh karena itu, hutan sebagai penghasil limpahan biomassa, yang mendominasi wilayah Kalimantan Tengah (sekitar 65 % dari total luas wilayah), khususnya pada areal-areal yang selalu tergenang air merupakan kawasan potensial terbentuknya gambut (Pemda Palangkaraya 2008).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memetakan sebaran populasi tumbuhan belawan putih di hutan gambut dan kerangas Kalimantan Tengah.

3.2 Metode Cara Penetapan Lokasi

Parameter ekologi belawan putih di hutan gambut dan hutan kerangas Bawan Kalimantan Tengah diamati dan diukur dengan membuat masing-masing 6 plot menggunakan metode penarikan sampel purposif. Setiap plot berbentuk lingkaran dengan jari-jari 10 m, sehingga 6 plot tersebar seluas 0.5 hektar. Petak ukur analisis vegetasi dibuat di lokasi terdapatnya belawan putih berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemandu lapangan, yang berasal dari anggota masyarakat sekitar lokasi penelitian.


(31)

Data yang Dikumpulkan

Analisis Vegetasi (Soerianegara dan Indrawan 1998). Analisis vegetasi bertujuan mengevaluasi komposisi dan struktur vegetasi yang ada, antara lain tingkat semai, perdu, dan pohon meliputi spesies, jumlah individu, dan diameter batang. Vegetasi dianalisis dengan cara membuat petak ukur sebanyak 6 plot dan jaraknya 50 cm dari pusat lingkaran setiap plot. Setiap plot dibuat sub-sub plot dengan jari-jari 1 m untuk semai, 5 m untuk pancang, dan 10 m untuk pohon dan tiang (Gambar 8).

Gambar 9 Petak ukur analisis vegetasi: plot 1 (a), plot 2 (b), plot 3 (c), plot 4 (d), plot 5 (e), dan plot 6 (f) dengan sub-plot untuk tingkat pohon dan tiang (1), pancang (2), dan semai (3)

Data vegetasi yang diambil dalam analisis vegetasi yang dilakukan meliputi nama jenis, jumlah individu, diameter, dan tinggi. Secara lebih jelas data untuk habitus maupun tingkat pertumbuhan tersaji dalam Tabel 12.

Tabel 12 Kriteria dalam analisis vegetasi (Soerianegara dan Indrawan 1998)

Habitus Tingkat Pertumbuhan Kriteria

Pohon Pohon Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih Tiang Pohon muda berdiameter > 10 cm sampai

kurang dari 20 cm

Pancang Permudaan dengan tinggi ≥ 1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm

Semai Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1.5 m

Kondisi Populasi Belawan Putih

Data yang diukur meliputi tinggi, tinggi bebas cabang, dan diameter tumbuhan. Tumbuhan tersebut kemudian dibuat spesimen dan dibawa ke Herbarium Bogoriense, Bidang Botani-LIPI, untuk memastikan nama ilmiahnya (Lampiran 1).


(32)

Analisis Data

Pola Sebaran Belawan Putih (Krebs 1989). Pola penyebaran suatu jenis tumbuhan sangat diperlukan untuk mengetahui apakah tumbuhan tersebut perlu dilindungi atau tidak. Untuk mengetahui pola penyebaran belawan putih pada petak pengamatan dapat menggunakan metode Morissita yang meliputi perhitungan indeks penyebaran Morissita, indeks keseragaman, indeks pengelompokan, dan standar Morissita.

 Indeks Penyebaran Morissita

Iδ = n(∑xi2-∑xi ) / [(∑xi)2- ∑xi]

dengan Iδ = indeks penyebaran Morissita

n = jumlah petak

xi = jumlah individu pada setiap petak ke-i

 Indeks Keseragaman

Mu = (x20.975-n+∑xi )/(∑xi- 1)

dengan Mu = indeks keseragaman

X20.975 = nilai chi-square dari tabel dengan derajat bebas n-1 dan

selang kepercayaan 97.5%

 Indeks Pengelompokan

Mc = (x20.025-n+∑xi )/(∑xi- 1)

dengan Mc = indeks pengelompokan

X20.025 = nilai chi-square dari tabel dengan derajat bebas n-1 dan

selang kepercayaan 25%

 Standar Morissita

Setelah diketahui nilai-nilai indeks penyebaran, indeks keseragaman, dan indeks pengelompokan, kemudian dicari nilai standar Morissita untuk menunjukkan pola penyebaran tumbuhan belawan putih. Standar Morissita mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

1. Bila Iδ ≥ Mc ≥ 1.0, maka Ip = 0.5 + 0.5 (Iδ – Mc) / (n-Mc) 2. Bila Mc > Iδ≥ 1.0, maka Ip = 0.5 (Iδ -1) / (Mc -1)

3. Bila 1.0 > Iδ> Mu, maka Ip = -0.5 + 0.5 (Iδ– Mu) / Mu

Nilai Ip > 0 menunjukkan pola penyebaran mengelompok Ip < 0 menunjukkan pola penyebaran merata

Ip = 0 menunjukkan pola penyebaran acak

3.3 Hasil dan Pembahasan

Pemetaan sebaran populasi belawan putih dilakukan menggunakan metode petak tunggal dengan penarikan sampel secara purposif di hutan gambut dan kerangas Bawan, Kalimantan Tengah. Dalam metode ini hanya dibuat satu petak contoh yang akan mewakili sebaran populasi belawan putih di suatu tegakan hutan. Penggunaan suatu metode ditentukan oleh objek dan tujuan penelitian, sehingga dengan pemilihan metode ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sebaran populasi belawan putih di hutan gambut dan kerangas Bawan, Kalimantan Tengah. Jumlah individu belawan putih per hektar pada tiap tingkat pertumbuhan di hutan gambut dan kerangas Bawan Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa


(33)

populasi belawan putih di hutan gambut banyak terdapat pohon sedangkan di hutan kerangas terdapat banyak semai. Hal ini mungkin disebabkan karena hutan

kerangas mempunyai tanah yang miskin unsur hara sehingga tanaman tersebut kurang mampu untuk tumbuh.

Tabel 13 Jumlah individu belawan putih per hektar pada tiap tingkat pertumbuhan di hutan gambut dan kerangas Bawan Kalimantan Tengah Tingkat pertumbuhan Jumlah individu/ha

Hutan gambut Hutan kerangas

Pohon 32 8

Tiang 8 2

Pancang - 28

Semai 180 1180

Gambar 10 Sebaran populasi semai belawan putih (jari-jari 1 m) di hutan gambut Bawan

Gambar 11 Sebaran populasi tiang belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan gambut Bawan


(34)

Gambar 12 Sebaran populasi pohon belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan gambut Bawan

Gambar 13 Sebaran populasi semai belawan putih (jari-jari 1 m) di hutan kerangas Bawan

Gambar 14 Sebaran populasi pancang belawan putih (jari-jari 5 m) di hutan kerangas Bawan

Gambar 15 Sebaran populasi tiang belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan kerangas Bawan


(35)

Gambar 16 Sebaran populasi pohon belawan putih (jari-jari 10 m) di hutan kerangas Bawan

Pola sebaran belawan putih pada petak pengamatan di hutan gambut dan kerangas dapat diketahui dengan menggunakan metode Morissita yang meliputi perhitungan indeks penyebaran Morissita, indeks keseragaman, indeks pengelompokan, dan standar Morissita. Berdasarkan hasil pemetaan (Gambar 10-16) dan perhitungan (Lampiran 16 dan 17) menunjukkan bahwa tumbuhan belawan putih di hutan gambut dan kerangas Bawan, Kalimantan Tengah memiliki pola penyebaran mengelompok. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sosef

et al. (1998), yaitu belawan putih tumbuh berkoloni terutama di hutan sekunder, dataran rendah, hutan pegunungan dengan ketinggian 1300 m dpl, sepanjang sungai atau dekat pantai dan juga di lokasi yang berbatu.

4 SIMPULAN & SARAN

4.1 Simpulan

Dari hasil isolasi dan pemurnian pada ekstrak kloroform diperoleh 2 senyawa murni, yaitu senyawa 1 dan 2, yang mempunyai nilai KHM sama terhadap E. coli, yaitu 128 μg/mL. Nilai KHM terhadap S. epidermidis pada senyawa 1 dan 2 berturut-turut ialah 128 μg/mL dan > 128 μg/mL. Senyawa 1 diperkirakan mempunyai gugus aromatik, alkoksi, metoksi, metina, metilena, dan metil, sedangkan senyawa 2 merupakan suatu asam betulinat.

Berdasarkan hasil pemetaan dan perhitungan menggunakan metode Morissita, belawan putih menunjukkan pola penyebaran mengelompok pada petak pengamatan di hutan gambut dan kerangas.

4.2 Saran

Perlu dilakukan pencirian lebih lanjut terhadap senyawa 1 agar didapatkan struktur senyawanya, serta perlu dilakukan pemurnian dan pemisahan senyawa aktif dari fraksi lain dalam ekstrak kloroform yang menunjukkan aktivitas antibakteri lebih tinggi daripada senyawa yang telah diperoleh.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Andrews JM. 2001. Determination of minimum inhibitory concentrations. J Antimicrob Chemother [Internet]. [diunduh 2012 Mei 23]; 48:5-16. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11420333.

Alakurtti S, Mäkelä T, Koskimies S, Kauhaluoma JY. 2006. Pharmacological properties of the ubiquitous natural product betulin. Eur J Pharm Sci

29(1):1-13.doi:10.1016/j.ejps.2006.04.006.

Ayatollahia AM, Ghanadianb M, Afsharypourb S, Abdellac OM, Mirzaid M, Askari G. 2011. Pentacyclic triterpenes in Euphorbia microsciadia with their t-cell proliferation activity. Iran J Pharm Res [Internet]. [diunduh 2013 Des 10]; 10(2):287-294. Tersedia pada: http://ijpr.sbmu.ac.ir/?_ action=articleInfo&article=963.

Bellosta S, Dell’ Agli M, Canavesi M, Mitro N, Monetti M, Crestani M, Verotta

L, Fuzzati N, Bernini F, Bosisio E et al. 2003. Inhibition of metalloproteinase-9 activity and gene expression by polyphenolic compounds isolated from the bark of Tristaniopsis calobuxus (Myrtaceae).

Cell Mol Life Sci [Internet]. [diunduh 2012 Mei 23]; 60:1440-8. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12943230.

Bernard P, Scior T, Didier B, Hibert M, Berthon J. 2001. Ethnopharmacology and bioinformatic combination for leads discovery: application to phospholipase A2 inhibitors. Phytochemistry 58(6):865-874.doi:10. 1016/S0031-9422(01)00312-0.

Boonruad T, Chansuwanich N. 2012. Chemical constituents of antibacterial active fraction from Syzygium cumini (L.) Skeels leaves extract. Bull of the Dep Med Sci [Internet]. [diunduh 2013 Des 3]; 42(2):109-118. Tersedia pada: thailand.digitaljournals.org/index.php/BDMS/article/download/11282 Branen AL, Davidson PM. 1993. Antimicrobials in Foods. New York (US):

Marcel Dekker Inc.

Bringmann G, Saeb W, Assi LA, François G, Narayanan ASS, Peters K, Peters EM. 1997. Betulinic acid: isolation from Triphyophyllum peltatum and

Ancistrocladus heyneanus, antimalarial activity, and crystal structure of the benzyl ester. Plant Med 63(3):255-257.doi:10.1055/s-2006-957666.

Chandramu C, Manohar RD, Krupadanam DGL, Dashavantha RV. 2003. Isolation, characterization and biological activity of betulinic acid and ursolic acid from Vitex negundo L. Phyt Res 17(2):129-134.doi:10. 1002/ptr.1088.

Chang CW, Wu TS, Hsieh YS, Kuo SC, Chao PDL. 1999. Terpenoids of

Syzygium formosanum. J Nat Prod 62(2):327-328. doi:10.1021/np980313w Choi JY, Na M, Hwang IH, Lee SH, Bae EY, Kim BY, Ahn JS. 2009. Isolation of betulinic acid, its methyl ester and guaiane sesquiterpenoids with protein tyrosine phosphatase 1B inhibitory activity from the roots of Saussurea lappa C. B. Clarke. Molecules 14(1):266-272.doi:10.3390/molecules 14010266.

Chowdhury AR, Mandal S, Mittra B, Sharma S, Mukhopadhyay S, Majumder HK. 2002. Betulinic acid, a potent inhibitor of eukaryotic topoisomerase I: identification of the inhibitory step, the major functional group responsible


(37)

and development of more potent derivatives. Med Sci Monit [Internet]. [diunduh 2012 Des 10]; 8(7):254-265. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed/ 12118187.

Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin Microbiol Rev

[Internet]. [diunduh 2013 Des 31]; 12(4):564-582. Tersedia pada: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC88925/.

Drag M, Surowiak P, Drag-Zalesinska M, Dietel M, Lage H, Oleksyszyn J. 2009. Comparision of the cytotoxic effects of birch bark extract, betulin and betulinic acid towards human gastric carcinoma and pancreatic carcinoma drug-sensitive and drug-resistant cell lines. Molecules 14:1639-1651.doi:10. 3390/molecules14041639.

Enwerem NM, Okogun JI, Wambebe CO, Okorie DA, Akah PA. 2001. Anthelmintic activity of the stem bark extracts of Berlina grandiflora and one of its active principles, betulinic acid. Phytomedicine 8(2):112-114.doi:10.1078/0944-7113-00023.

Farid M. 2005. Senyawa antibakteri dari ekstrak heksana kulit kayu batang pelawan (Tristania whitiana Griff) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fu L, Zhang S, Li N, Wang J, Zhao M, Sakai J, Hasegawa T, Mitsui T, Kataoka T, Oka S, Kiuchi M, Hirose K, Ando M et al. 2005. Three new triterpenes from Nerium oleander and biological activity of the isolated compounds. J Nat Prod 68(2):198-206.doi:10.1021/np040072u.

Fulda S, Jeremias I, Steiner HH, Pietsch T, Debatin KM. 1999. Betulinic acid: a new cytotoxic agent against malignant brain-tumor cells. Int J Canc

82(3):435-441.doi:10.1002/(SICI)1097-0215(19990730)82:3<435::AIDIJC 18>3.0.CO;2-1.

Fulda S, Debatin KM. 2000. Betulinic acid induces apoptosis through a direct effect on mitochondria in neuroectodermal tumors. Med and Ped Onc

35(6):616-618.doi:10.1002/1096-911X(20001201)35:6<616::AID-MPO27 >3.0.CO;2-N.

Fulda S, Debatin KM. 2005. Sensitization for anticancer drug-induced apoptosis by betulinic acid. Neoplasia [Internet]. [diunduh 2012 Des 10]; 7(2): 162– 170. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC150 1129/.

Fujioka T, Kashiwada Y, Kilkuskie RE, Cosentino LM, Ballas LM,Jiang JB, Janz en WP, Chen IH, Lee KH. 1994. Anti-AIDS agents, 11. betulinic acid and platanic acid as anti-HIV principles from Syzigium claviflorum, and the anti-HIV activity of structurally related triterpenoids. J Nat Prod

57(2):243–247.doi:10.1021/np50104a008.

Gariboldi E, Mascetti D, Galli G, Caballion P, Bosisio E. 1998. LC-UV-Electrospray-MS-MS mass spectrometry analysis of plant constituents inhibiting xanthine oxidase. Pharm Res [Internet]. [diunduh 2012 Mei 23]; 15(6):936-43. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 9647362.

Hamburger MO, Cordell GA. 1987. A direct bioautographic TLC assay for compounds possessing antibacterial activity. J Nat Prod 50(1):19-22.doi: 10.1021/np50049a003.


(38)

Huguet AI, Recio MDC, Manez S, Giner RM, Rios JL. 2000. Effect of triterpenoids on the inflammation induced by protein kinase C activators, neuronally acting irritants and other agents. Eur J Pharm 410(1):69-81.doi: 10.1016/S0014-2999(00)00860-8.

Innocent E, Shah T, Ramadhani SON, Moshi MJ. 2011. Antibacterial and cytotoxic triterpenoids from Lantana viburnoides ssp. Viburnoides var. kisi.

Spatulla DD 1(4):213-218.doi:10.5455/spatula.20111207111650.

Kashiwada Y, Wang HK, Nagao T, Kitanaka S, Yasuda I, Fujioka T, Yamagishi T, Cosentino LM, Kozuka M, Okabe H , Ikeshiro Y, Hu CQ, Yeh E, Lee KH et al. 1998. Anti-AIDS agents. 30. anti-HIV activity of oleanolic acid, pomolic acid, and structurally related triterpenoids. J Nat Prod 61(9):1090–1095.doi: 10.1021/np9800710.

Kinoshita K, Akiba M, Saitoh M, Ye Y, Koyama K, Takahashi K, Kondo H, Yuasa H. 1998. Antinociceptive effect of triterpenes from cacti. Pharm Bio

36(1):50-57.doi:10.1076/phbi.36.1.50.4614.

Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper and Row. Krogh R, Kroth R, Berti C, Madeira AO, Sourza MM, Cechinel-Felho V,

Delle-Monache F, Yunes RA. 1999. Isolation and identification of compounds with antinociceptive action from Ipomoea pescaprae (L.) R. Br. Pharmazie

[Internet]. [diunduh 2013 Des 10]; 54(6):464-466. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10399194.

Kumar D, Mallick S, Vedasiromoni JR, Pal BC. 2010. Anti-leukemicactivity of

Dillenia indica L. fruit extract and quantification of betulinic acid by HPLC. Phytomedicine 17(6):431-435.doi:10.1016/j.phymed.2009.07.010. Liu H, Wang S, Cai B, Yao X. 2004. Anticancer activity of compounds isolated

from Engelhardtia serrata stem bark. Arch of Phys and Biochem 42(7):475-477.doi:10.1080/13880200490889028.

Lowry JB. 1968. The distribution and potential taxonomic value of alkylated ellagic acids. Phytochemistry [Internet]. [diunduh 2012 Mei 29]; 7:1803-1813. Tersedia pada: http://maoriplantuse.landcareresearch.co.nz/ WebForms/PeoplePlantsDetails.aspx?PKey=9066c015-18fb-470d-98c2119 1e2b9613c.

Mayaux JF, Bousseau A, Pauwels R, Huet T, Hénin Y, Dereu N, Evers M, Soler F, Poujade C, De Clercq E, et al. 1994. Triterpene derivatives that block entry of human immunodeficiency virus type 1 into cells. Proc Nat Ac Sci

[Internet]. [diunduh 2012 Des 10]; 91(9):3564-8. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8170948.

Mendoza L, Wilkens M, Urzua A. 1997. Antimicrobial study of the resinous exudates and of diterpenoids and flavonoids isolated from some Chilean Pseudognaphalium (Asteraceae). J Ethnopharmacol [Internet]. [diunduh 2013 Des 31]; 58(2):85-8. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/9406895.

Mukherjee PK, Saha K, Das J, Pal M, Saha BP. 1997. Studies on the anti-inflammatory activity of Rhizomes of Nelumbo Nucifera. Plant Med

63(4):367-369.doi:10.1055/s-2006-957705.

Palajit S, Varipat A, Asanee V. 2008. Evaluation of antimicrobial from some Thai wild plants. [Internet]. [diunduh 2012 Mei 22]. Proceedings of the 46th Kasetsart University Annual Conference [Internet]; [2008 Januari 29 -


(39)

Februari1]. Bangkok (TH): Kasetsart University. hlm 638-645; [diunduh 2012 Mei 22]. Tersedia pada: http://kucon.lib.ku.ac.th/Fulltext/ KC4606078.pdf.

Panagan AT, Syarif N. 2009. Uji daya hambat asap cair hasil pirolisis kayu pelawan (Tristania abavata) terhadap bakteri Escherichia coli. J Penelit Sains [Internet]. [diunduh 2012 Mei 22]; 9:12-06. Tersedia pada: http://jpsmipaunsri.files.wordpress.com/2010/08/0630-32-c-almunadi ganjil .pdf.

Pelczar MJ, Chan ECS. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta (ID): UI Pr. Pemerintah Daerah Palangkaraya. 2008. Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Kota Palangkaraya 2008-2013. Palangkaraya (ID): Pemda Palangkaraya.

Pisha E, Chai H, Lee IS, Chagwedera TE, Farnsworth NR, Cordell AC, Beecher CWW, Fong HHH, Kinghorn AD, Brown DM, Wani MC, Wall ME, Hieken TJ, Gupta TKD, Pezzuto JM et al. 1995. Discovery of betulinic acid as a selective inhibitor of human melanoma that functions by induction of apoptosis. Nat Med 1(10):1046-1051.doi:10.1038/nm1095-1046.

Recio MC, Giner RM, Manez S, Gueho J, Julien HR, Hostettmann K, Rios JL. 1995. Investigations on the steroidal anti-inflammatory activity of triterpenoids from Diospyros leucomelas. Plant Med 61(1):9-12.doi:10. 1055/s-2006-957988.

Reutrakul V, Chanakul W, Pohmakotr M, Jaipetch T, Yoosook C, Kasisit J, Napaswat C, Santisuk T, Prabpai S, Kongsaeree P, Tuchinda P et al. 2006. Anti-HIV-1 constituents from leaves and twigs of Cratoxylum arborescens.

Plant Med 72(15):1433-1435.doi:10.1055/s-2006-951725.

Rieley JO, Ahmad SAA, Brady MA. 1996. The extent and nature of tropical peat swamps in tropical lowland peatlands of South East Asia. Switzerland (SW): IUCN Gland.

Setyowati FM, Riswan S, Susiarti S. 2005. Etnobotani masyarakat Dayak Ngaju di daerah Timpah Kalimantan Tengah. J Tek Lingk [Internet]. [diunduh 2012 Mei 14]; 6(3):502-510. Tersedia pada: portalgaruda.org/download_ article.php?article=62280.

Setzer WN, Setzer MC, Bates RB, Jackes BR. 2000. Biologically active triterpenoids of Syncarpia glomulifera bark extract from Paluma, North Queensland, Australia. Plant Med 66(2):176-177.doi:10.1055/s-2000-11129.

Shin S, Park CE, Baek NI, Chung IC, Park CH. 2009. Betulinic and oleanolic acids isolated from Forsythia suspensa VAHL inhibit urease activity of

Helicobacter pylori. Biotech and Biop Eng 14(2):140-145.doi:10.1007/s122 57-008-0272-4.

Simbolon H. 2003. Proses awal pemulihan hutan gambut Kelampangan-Kalimantan Tengah pasca kebakaran hutan Desember 1997 dan September 2002. Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia:281-290.

Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sosef MSM, Hong LT, Prawirohatmodjo S. 1998. Plant Resources of South-East


(40)

Steele JC, Warhurst DC, Kirby GC, Simmonds MS. 1999. In vitro and in vivo evaluation of betulinic acid as an antimalarial. Phyt Res 13(2):115-119. doi:10.1002/(SICI)1099-1573(199903)13:2<115::AID-PTR404>3.0.CO;21. Syamsurizal. 1997. Pengaruh pencekokan ekstrak Tristania sumatrana Hiq. (kayu

kasai) terhadap fertilitas mencit betina mus Musculus L galur Swiss Webster [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Tan Y, Yu R, Pezzuto JM. 2003. Betulinic acid-induced programmed cell death in human melanoma cells involves mitogen-activated protein kinase activation. Clin Canc Res [Internet]. [diunduh 2012 Des 10]; 9(7):2866-75. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12855667.

Tezuka Y, Stampoulis P, Banskota AH, Awale S, Tran KQ, Saiki I, Kadota S. 2000. Constituents of the vietnamese medicinal plant Orthosiphon stamineus. Chem & Pharm Bull 48(11):1711-1714.doi:10.1248/cpb. 48.1711.

Theo A, Masebe T, Suzuki Y, Kikuchi H, Wada S, Obi CL, Bessong PO, Usuzawa M, Oshima Y, Hattori T. 2009. Peltophorum Africanum, a traditional South African medicinal plant, contains an anti HIV-1 constitu-ent, betulinic acid. Toh J Exp Med 217(2):93-99.doi:10.1620/tjem.217.93. Utama EP. 2002. Senyawa antibakteri dari ekstrak etil asetat kulit batang pelawan

(Tristania whitiana Griff) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Verotta L, Dell’ Agli M, Giolito A, Guerrini M, Cabalion P, Bosisio E. In vitro

antiplasmodial activity of extracts of Tristaniopsis species and identification of the active constituents: ellagic acid and 3, 4, 5 trimethoxyphenyl-(6’-O-galloyl)-O-beta-D-glucopyranoside. J Nat Prod

64(5):603-7.doi:10.1021/np000306j.

Wada SI, Tanaka R. 2005. Betulinic acid and its derivatives, potent DNA topoisomerase II inhibitors, from the bark of Bischofia javanica. Chem & Biodiv 2(5):689-694.doi:10.1002/cbdv.200590045.

Wahyuningsih SH. 2005. Senyawa antibakteri dari ekstrak metilena diklorida dalam metanol kulit kayu pelawan (Tristania whitiana Griff.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wahyunto, Ritung S, Subagjo H. 2004. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon Di Pulau Kalimantan 2000-2002. Bogor (ID): Wetlands International-Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC).

Woldemichael GM, Singh MP, Maiese WM, Timmermann BNZ. 2003. Constituents of antibacterial extract of Caesalpinia paraguariensis bark.

Zeitsch für Nat for Schung C [Internet]. [diunduh 2012 Des 10]; 58(1-2):70-75. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12622230.

Xu HX, Zeng FQ, Wan M, Sim KY.1996. Anti-HIV triterpene acids from Geum japonicum. J Nat Prod [Internet]. [diunduh 2012 Des 10]; 59(7):643-5. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8759159.

Zuco V, Supino R, Righetti SC, Cleris L, Marchesi E, Passerini CG, Formelli F. 2002. Selective cytotoxicity of betulinic acid on tumor cell lines, but not on normal cells. Canc Lett 175(1):17-25.doi:10.1016/S0304-3835(01)00718-2.


(41)

(42)

Ekstraksi dengan metanol Lampiran 2 Diagram alir ekstraksi daun belawan putih

Preparasi sampel (pengeringan dan penggilingan)

Daun belawan putih(Tristaniopsis whiteana)

Serbuk kering

Ekstraksi dengan metanol

Ekstrak metanol Residu

Ekstraksi dengan kloroform Ekstraksi dengan n-heksana

Ekstrak kloroform Ekstrak n-heksana Residu

Residu

Ekstraksi dengan etil asetat

Ekstrak etil asetat Residu

Ekstrak metanol Residu


(43)

Sephadex, eluen k-m 1-1. Eluen KLT k-aseton 1-1 Sephadex, eluen k-m 1-1. Eluen KLT k-aseton1-1

Lampiran 3 Diagram alir kromatografi kolom senyawa 1 dari ekstrak kloroform daun belawan putih

Ekstrak Kloroform (322.1 mg)

F1 (110.3 mg) F2 (26.1 mg) F3 (24.3 mg) F4 (147.7 mg)

F1.1 (17.1 mg) F1.2 (29.5 mg) F1.3 (60.1 mg)

F1.3.1 (1.4 mg) F1.3.2 (9.5 mg) F1.3.3 (45.7 mg)

F1.3.3.1 (4 mg) F1.3.3.2 (7.5 mg) F1.3.3.3 (6.7 mg) F1.3.3.4 (24.5 mg)

F1.3.3.4.1 (6.8 mg) F1.3.3.4.2 (7.5 mg) F1.3.3.4.3 (9.6 mg)

F1.3.3.4.1.1 (4 mg)

F1.3.3.4.1.2 (1.6 mg)

F1.3.3.4.1.3 (1 mg)

F1.3.3.4.2.1 (1.6 mg) F1.3.3.4.2.2 (5.7 mg) Silika gel, eluen k-m 30-1,20-1,15-1,10-1. Eluen KLT k-m 10-1

Silika gel, eluen k-m 100-1,99-1,98-2. Eluen KLT k-m 20-1

Silika gel (400 mesh), eluen k-e 2-1,1-1,1-2,1-3. Eluen KLT k-aseton 1-1

Silika gel, eluen h-k 1-1; k;k-m 95-5. Eluen KLT k-m 20-1 Silika gel, eluen h-e 2-1,1-1,1-3,1-5,1-10,1-30,1-50: e-m 50-1,30-1,10-1,5-1. Eluen KLT h-e 1-3


(44)

Silika gel, eluen k-m 50-1,40-1,30-1,20-1, 15-1, 13-1, 10-1, 9-1, 7-1, 5-1, 1-1. Eluen KLT k-m (10-1)

Silika gel, eluen h-e 4-1. Eluen KLT k-m 10-1 Lampiran 4 Diagram alir kromatografi kolom senyawa 2 dari ekstrak kloroform

daun belawan putih

Ekstrak Kloroform (1.5 g)

F1 (19.2 mg) F2 (424 mg) F3 (168.6 mg) F4 (258.2 mg)

F2.1 (6.7 mg)

F2.2 (0.3 mg)

F2.3 (11 mg)

Silika gel, eluen k-e 10-1, 5-1, 3-1, 2-1, 1-1. Eluen KLT k-e 15-1

F5 (161.1 mg) F6 (427.7 mg)

F2.4 (17.9 mg)

F2.5 (144.2 mg) F2.6 (37.3 mg)

F2.7 (103.9 mg)

F2.8 (90.5 mg)

F2.6.1 (1.3 mg)

F2.6.2 (29.4 mg)

F2.6.3 (3.2 mg)

F2.6.2.1 (1.6 mg) F2.6.2.2 (12.2 mg) F2.6.2.3 (15.4 mg)

Senyawa 2: Murni Sephadex, eluen k-m 1-1. Eluen KLT k-m 10-1 Silika gel (400 mesh), eluen k-e 10-1. Eluen KLT k-e 5-1

F2.6.4 (2.6 mg)

F2.7.1 (0.9 mg)

F2.7.2 (13.4 mg)

F2.7.3 (36.7 mg)


(45)

(46)

(47)

Lampiran 7 Spektrum IR senyawa 2 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2500 3000 3500 4000 1/cm 66 67.5 69 70.5 72 73.5 75 76.5 78 79.5 81 82.5 84 %T 3 4 3 1 .3 6 2 9 4 1 .4 4 2 8 7 0 .0 8 2 5 3 4 .4 6 2 3 1 0 .7 2 1 9 4 6 .1 8 1 6 8 9 .6 4 1 6 3 9 .4 9 1 4 5 2 .4 0 1 3 7 7 .1 7 1 2 3 4 .4 4 1 1 9 3 .9 4 1 0 3 5 .7 7 8 8 3 .4 0 7 9 8 .5 3 6 7 5 .0 9 4 9 3 .7 8 4 3 5 .9 1


(48)

(49)

(50)

(51)

(52)

(53)

(54)

Lampiran 14 Nilai KHM senyawa 1, senyawa 2, dan kontrol antibiotik komersial (kloramfenikol) terhadap S. epidermidis

Senyawa 1


(55)

Lampiran 15 Nilai KHM senyawa 1, senyawa 2, dan kontrol antibiotik komersial (kloramfenikol) terhadap E. coli

Senyawa 1

Senyawa 2


(56)

Lampiran 16 Perhitungan pola sebaran belawan putih di hutan gambut Bawan

 Indeks Penyebaran Morissita

Iδ = n (∑xi2 - ∑xi ) : ([∑xi]2 - ∑xi)

= 6 ((7 (7 - 1) + 11 (11 - 1) + 5 (5 - 1) + 3 (3 - 1) + 3 (3 - 1) + 0 (0 - 1)) : (29 (29-1))

= 6 x (184 : 812) = 1.3596

 Indeks Keseragaman

Mu = (x20.975 - n + ∑xi ) : (∑xi- 1)

= (0.831 - 6 + 29) : (29 – 1) = 23.831 : 28 = 0.8511

 Indeks Pengelompokan

Mc = (x20.025-n + ∑xi ) : (∑xi - 1)

= (12.831 - 6 + 29) : (29 – 1) = 35.833 : 28 = 1.2798

Oleh karena nilai Iδ ≥ Mc ≥ 1.0, maka untuk menghitung pola sebaran belawan putih digunakan rumus:

Ip = 0.5 + 0.5 (Iδ – Mc) : (n - Mc)

= 0.5 + (0.5 (1.3596 - 1.2798) : (6 - 1.2798)) = 0.5 + 0.5 x (0.0798 : 4.7202)

= 0.5 + 0.5 x 0.02 = 0.5 + 0.01 = 0.51

Oleh karena nilai Ip > 0, maka pola penyebaran belawan putih di hutan gambut Bawan mengelompok.


(57)

Lampiran 17 Perhitungan pola sebaran belawan putih di hutan kerangas Bawan

 Indeks Penyebaran Morissita

Iδ = n (∑xi2 - ∑xi ) : (∑xi2- ∑xi)

= 6 (5 (5 -1 ) + 20 (20 - 1) + 15 (15 - 1) + 15 (15 - 1) + 13 (13 - 1) + 3 (3 - 1)) : 71 (71 - 1))

= 6 x (982 : 4970) = 1.1856

 Indeks Keseragaman

Mu = (x20.975 – n + ∑xi ) : (∑xi - 1)

= (0.831 – 6 + 71) : (71 - 1) = 65.831 : 70 = 0.9404

 Indeks Pengelompokan

Mc = (x20.025 – n + ∑xi ) : (∑xi - 1)

= (12.831 – 6 + 71) : (71 - 1) = 77.833 : 70 = 1.1119

Oleh karena nilai Iδ ≥ Mc ≥ 1.0, maka untuk menghitung pola sebaran belawan putih digunakan rumus:

Ip = 0.5 + 0.5 (Iδ – Mc) : (n-Mc)

= 0.5 + (0.5 (1.1856 - 1.1119) : (6 - 1.1119)) = 0.5 + 0.5 x (0.0737 : 4.8881)

= 0.5 + 0.5 x 0.0151 = 0.5 + 0.0076 = 0.5076

Oleh karena nilai Ip > 0, maka pola penyebaran belawan putih di hutan kerangas Bawan mengelompok.


(58)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 26 Oktober 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Ngatno dan Sunarni. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman, lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Kimia pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2013. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Riset dan Teknologi.

Penulis bekerja sebagai kandidat perekayasa di Pusat Penelitian Biologi -LIPI sejak tahun 2009 dan ditempatkan di Bogor.


(1)

(2)

Lampiran 14 Nilai KHM senyawa 1, senyawa 2, dan kontrol antibiotik komersial (kloramfenikol) terhadap S. epidermidis

Senyawa 1


(3)

Lampiran 15 Nilai KHM senyawa 1, senyawa 2, dan kontrol antibiotik komersial (kloramfenikol) terhadap E. coli

Senyawa 1

Senyawa 2


(4)

Lampiran 16 Perhitungan pola sebaran belawan putih di hutan gambut Bawan

 Indeks Penyebaran Morissita

Iδ = n (∑xi2 - ∑xi ) : ([∑xi]2 - ∑xi)

= 6 ((7 (7 - 1) + 11 (11 - 1) + 5 (5 - 1) + 3 (3 - 1) + 3 (3 - 1) + 0 (0 - 1)) : (29 (29-1))

= 6 x (184 : 812) = 1.3596

 Indeks Keseragaman

Mu = (x20.975 - n + ∑xi ) : (∑xi- 1)

= (0.831 - 6 + 29) : (29 – 1) = 23.831 : 28 = 0.8511

 Indeks Pengelompokan

Mc = (x20.025-n + ∑xi ) : (∑xi - 1)

= (12.831 - 6 + 29) : (29 – 1) = 35.833 : 28 = 1.2798

Oleh karena nilai Iδ ≥ Mc ≥ 1.0, maka untuk menghitung pola sebaran belawan putih digunakan rumus:

Ip = 0.5 + 0.5 (Iδ – Mc) : (n - Mc)

= 0.5 + (0.5 (1.3596 - 1.2798) : (6 - 1.2798)) = 0.5 + 0.5 x (0.0798 : 4.7202)

= 0.5 + 0.5 x 0.02 = 0.5 + 0.01 = 0.51

Oleh karena nilai Ip > 0, maka pola penyebaran belawan putih di hutan gambut Bawan mengelompok.


(5)

Lampiran 17 Perhitungan pola sebaran belawan putih di hutan kerangas Bawan

 Indeks Penyebaran Morissita

Iδ = n (∑xi2 - ∑xi ) : (∑xi2- ∑xi)

= 6 (5 (5 -1 ) + 20 (20 - 1) + 15 (15 - 1) + 15 (15 - 1) + 13 (13 - 1) + 3 (3 - 1)) : 71 (71 - 1))

= 6 x (982 : 4970) = 1.1856

 Indeks Keseragaman

Mu = (x20.975 – n + ∑xi ) : (∑xi - 1)

= (0.831 – 6 + 71) : (71 - 1) = 65.831 : 70 = 0.9404

 Indeks Pengelompokan

Mc = (x20.025 – n + ∑xi ) : (∑xi - 1)

= (12.831 – 6 + 71) : (71 - 1) = 77.833 : 70 = 1.1119

Oleh karena nilai Iδ ≥ Mc ≥ 1.0, maka untuk menghitung pola sebaran belawan putih digunakan rumus:

Ip = 0.5 + 0.5 (Iδ – Mc) : (n-Mc)

= 0.5 + (0.5 (1.1856 - 1.1119) : (6 - 1.1119)) = 0.5 + 0.5 x (0.0737 : 4.8881)

= 0.5 + 0.5 x 0.0151 = 0.5 + 0.0076 = 0.5076

Oleh karena nilai Ip > 0, maka pola penyebaran belawan putih di hutan kerangas Bawan mengelompok.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada tanggal 26 Oktober 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Ngatno dan Sunarni. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman, lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Kimia pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2013. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Riset dan Teknologi.

Penulis bekerja sebagai kandidat perekayasa di Pusat Penelitian Biologi -LIPI sejak tahun 2009 dan ditempatkan di Bogor.