Penyimpanan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Suhu Rendah dan Tingkat Kadar Air Awal yang berbeda

(1)

PENYIMPANAN BAWANG MERAH

(Allium ascalonicum

L.)

PADA SUHU RENDAH DAN

TINGKAT KADAR AIR AWAL YANG BERBEDA

A. KHAIRUN MUTIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penyimpanan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Suhu Rendah dan Tingkat Kadar Air Awal yang berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

A.Khairun Mutia


(3)

RINGKASAN

A KHAIRUN MUTIA. Penyimpanan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Suhu Rendah dan Tingkat Kadar Air Awal yang Berbeda. Dibimbing oleh Y ARIS PURWANTO dan LILIK PUJANTORO

Bawang merah merupakan salah satu jenis komoditas penting bagi masyarakat yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga perlu diimbangi dengan ketersediaan di pasaran untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun bawang merah sangat mudah mengalami perubahan mutu seperti susut bobot, perubahan volatile dan mengalami kerusakan karena memiliki kandungan air yang tinggi. Hal ini menyebabkan bawang merah memiliki umur simpan yang pendek. Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu bawang merah selama penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan mutu bawang merah selama penyimpanan pada suhu rendah dengan kadar air awal tertentu.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah kadar air awal yang terdiri atas 3 taraf yaitu 76%, 80% dan 85%, sedangkan faktor kedua adalah suhu penyimpanan yang terdiri atas 3 taraf yaitu 5°C, 10°C dan suhu ruang. Parameter yang diamati adalah susut bobot, kadar air, kekerasan, kerusakan dan volatile reducing substance (VRS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu penyimpanan, tingkat kadar air awal dan interaksinya memberikan pengaruh nyata pada susut bobot, kadar air, kekerasan, kerusakan dan volatile reducing substance (VRS). Kondisi penyimpanan yang terbaik untuk mempertahankan mutu bawang merah adalah suhu 5°C dengan tingkat kadar awal 80%. Perubahan mutu bawang merah dari perlakuan tersebut hingga penyimpanan 12 minggu adalah susut bobot sebesar 12.49% dengan tingkat kerusakan sebesar 1.71%, kadar air yang mengalami perubahan dari 80.73% menjadi 78.32% dan kadar VRS yang mengalami perubahan dari 26.26 µEq/g menjadi 23.35 µEq/g serta perubahan kekerasan dari 4.02 N menjadi 3.49 N.

Kata Kunci : bawang merah, penyimpanan suhu rendah, VRS, pengeringan, kadar air.


(4)

SUMMARY

A KHAIRUN MUTIA. Longterm Storage Of Shallot (Allium ascalonicum L.) At Low Temperature. Supervised by Y ARIS PURWANTO and LILIK PUJANTORO Shallots is an important commodity that availibity of it needed in market continuously. However, shallots are very susceptible to changes in quality such as weight loss, changes in the volatile and damage because it has a high water content, so it needed a good storage method for maintaining freshness during storage. It caused shallots has short time storage. Therefore, the need of a methode to extend shelf life and to maintain the quality of shallot during storage. Objective of this research was to analize changing quality of shallot during storage at low temperature with certain initial water content.

Methode used in this research was complete factorial analysis with two factors; water content (76%, 80% and 85%) and storage temperature (5°C, 10°C and room temperature). The parameters analized was the weight loss, water content, hardness, disorder and volatile reducing substance.

The result showed that, storage temperature, initial water content and their interaction had give significant effect on weight loss, water content, hardness, disorder and VRS. The best storage temperature to maintain the shallot quality was at the 5°C with 80% of initial water content. The changes of shallot quality with those treatment until 12 weeks storage was 12.49% of weight loss within 1.71% of disorder, water content change from 80.73% to 78.32%, and the VRS reduce from 26.26 µEq/g to 23.35 µEq/g and also the hardness change from 4.02 N to 3.49 N. Key Words : shallots, low temperature storage, volatile reducing substance, drying,


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

PENYIMPANAN BAWANG MERAH

(Allium ascalonicum

L.)

PADA SUHU RENDAH DAN

TINGKAT KADAR AIR AWAL YANG BERBEDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(7)


(8)

Judul Tesis : Penyimpanan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Suhu Rendah dan Tingkat Kadar Air Awal yang berbeda

Nama : A.Khairun Mutia NIM : F152120071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Y Aris Purwanto M.Sc Ketua

Dr Ir Lilik Pujantoro M.Agr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen

Prof Dr Ir Sutrisno, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Mei 2014 ini dengan judul Penyimpanan Jangka Panjang Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Pada Suhu Rendah. Penulis mengucapan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada :

1. Dr Ir Y.Aris Purwanto, MSc dan Dr Ir Lilik Pujantoro M.Agr, sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis. 2. Prof Dr Ir Sutrisno M.Agr, selaku dosen penguji dan ketua program studi Teknologi

Pascapanen yang telah memberikan saran dan perbaikan kepada penulis.

3. Sulyaden dan Baskara E,Nugraha STP, selaku teknisi di Laboratorium TPPHP dan Laboratorium Siswadhi Supardjo, terima kasih atas bantuan dan masukannya selama penelitian.

4. Ayahanda Andi Jamaluddin Syam dan Ibunda Alm. Andi Herawaty serta saudara penulis Nurul Auliyah, SPi.MSi, Khairun Nisaa, SPi.MSi, Faizal Rumagia, SPi.MSi, Andi Sompa, SP, Anshar Priwarsani, ST, A.Nurul Mutmainnah, S.Sos dan Andi Ainun Hasanah serta seluruh keluarga terima kasih atas doa dan kasih sayangnya selama dalam proses studi.

5. Teman-teman Teknologi Pascapanen angkatan 2012 yang telah memberikan kritikan, bantuan, saran, dan semangat kepada penulis.

Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan ilmu serta penerapan pembelajaran, khususnya bagi Program Studi Teknologi Pascapanen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Bawang Merah (Alliumascalonium L.) 4

Panen 5

Curing/Pelayuan dan Pengeringan 6

Pembersihan dan Sortasi 6

Penyimpanan 6

Perubahan Selama Penyimpanan 7

METODE 9

Waktu dan Tempat Penelitian 9

Bahan 9

Alat 9

Prosedur Penelitian 9

Rancangan Percobaan 10

Parameter Pengamatan 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Kualitas Bawang Merah (Allium ascalonium L.) Awal Penyimpanan 14 Perubahan Kualitas Bawang Merah (Allium ascalonium L.)

Selama Penyimpanan 14

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 32


(11)

DAFTAR TABEL

1. Produksi, konsumsi dan surplus/defisit bawang merah (2010-2013)a 2 2. Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI 01–3159-1992a 5 3. Persayaratan Mutu Bawang Merah Sesuai dengan Permintaan Segmen Pasara 6

4. Senyawa Volatil Bawang Meraha 6

5. Hasil Pengukuran kualitas awal bawang merah (Allium ascalonicum L.) 15 6. Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap

perubahan kadar air pada bawang merah 17

7. Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap

perubahan susut bobot pada bawang merah 20

8. Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap

perubahan kadar VRS pada bawang merah 23

9. Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap

perubahan kerusakan pada bawang merah 26

10. Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap

perubahan kekerasan pada bawang merah 29

DAFTAR GAMBAR

1. Perkembangan Harga Domestik Bawang Merah (2010 -2013)a 3 2. Penampang membujur dan melintang umbi bawang merah 5 3. Pengeringan umbi bawang merah secara mekanis (cabinet dryer) 11 4. Penyimpanan umbi bawang merah pada suhu dingin (A) dan suhu 11

5. Diagram alir metode penelitian 13

6. Perubahan kadar air bawang merah selama penyimpanan pada

berbagai perlakuan 16

7. Perubahan susut bobot bawang merah selama penyimpanan pada

berbagai perlakuan 18

8. Perubahan volatile reducing substance selama penyimpanan pada

berbagai perlakuan 22

9. Perubahan tingkat kerusakan bawang merah selama penyimpanan pada

berbagai perlakuan 25

10. Perubahan tingkat kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada

berbagai perlakuan 28

11. Kerusakan Tunas 43

12. Kerusakan Hampa 43


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel Suhu dan RH selama penyimpanan 32

2. Grafik Fluktuasi Suhu Selama Penyimpanan 32

3. Grafik Fluktuasi RH Selama Penyimpanan 32

4. Grafik kerusakan umbi busuk/jamur bawang merah selama

penyimpanan tiap perlakuan 33

5. Grafik kerusakan umbi tunas bawang merah selama penyimpanan tiap

perlakuan 33

6. Grafik kerusakan umbi hampa bawang merah selama penyimpanan tiap

perlakuan 33

7. Tabel pengukuran dan perhitungan susut bobot umbi bawang merah selama

penyimpanan tiap perlakuan 34

8. Hasil Analisis Sidik Ragam Susut Bobot Selama Penyimpanan 35 9. Tabel pengukuran dan perhitungan kadar air umbi bawang merah selama

penyimpanan tiap perlakuan 36

10. Hasil Analisis Sidik Ragam Kadar Air Selama Penyimpanan 37 11. Tabel pengukuran dan perhitungan kerusakan umbi bawang merah selama

penyimpanan tiap perlakuan, membagi total kerusakan dengan jumlah

bawang merah yang disimpan. 38

12. Hasil Analisis Sidik Ragam Tingkat Kerusakan Selama enyimpanan 39 13. Tabel pengukuran dan perhitungan VRS umbi bawang merah selama

penyimpanan tiap perlakuan 39

14. Hasil Analisis Sidik Ragam VRS Selama Penyimpanan 41 15. Tabel pengukuran dan perhitungan kekerasan umbi bawang merah selama

penyimpanan tiap perlakuan 41

16. Hasil Analisis Sidik Ragam Kekerasan Selama Penyimpanan 43

17. Gambar kerusakan umbi bawang merah 43

18. Kualitas bawang merah sebelum dilakukan penyimpanan 44 19. Kondisi penyimpanan bawang merah selama 12 minggu 44 20. Perubahan kualitas bawang merah selama penyimpanan 45


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu jenis komoditas yang penting bagi kebutuhan masyarakat yang digunakan untuk aneka masakan khas serta dapat digunakan sebagai obat-obatan sehingga jenis komoditas ini memegang peranan penting dalam perdagangan. Jumlah penggunaan komoditas bawang merah setiap orang umumnya sedikit namun diperlukan setiap hari, sehingga perlu diimbangi ketersediaan yang memenuhi kebutuhan tersebut.

Produksi bawang merah cenderung melimpah pada waktu-waktu tertentu (saat panen raya) menyebabkan harga bawang merah relatif murah dan sebaliknya pada waktu diluar musim panen raya harganya cukup tinggi (Darmawidah et al, 2010). Namun umbi bawang merah tidak tahan disimpan lama karena umbi tersebut dapat mengalami pembusukan ataupun pertunasan dini. Kondisi seperti ini tidak menguntungkan sebab dapat menurunkan mutu dan tidak dikehendaki untuk bahan konsumsi.

Bawang merah termasuk tanaman musiman. Musim tanam (on season) yang terjadi pada bulan April - Oktober, produksi bawang merah melimpah. Namun, saat di luar musim tanam (off season) pada bulan Januari – Maret produksi bawang merah berkurang. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan bawang merah tidak merata sepanjang tahun yang akan mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga di pasaran.

Tabel 1 Produksi, konsumsi dan surplus/defisit bawang merah (2010-2013)a Tahun Total Produksi

(1000 ton)

Total Permintaan (1000 ton)

Surplus/Defisit (1000 ton)

2010 1048.3 1006.8 41.5

2011 893.4 843.3 50.1

2012 960.1 904.0 56.1

2013 997.5 922.5 74.9

a Sumber : Direktorat Pangan dan Pertanian (2013).

Total konsumsi bawang merah yang dikaitkan dengan total produksi akan dapat diperoleh surplus/defisit bawang merah (Tabel 1). Tabel 1 memperlihatkan penyediaan bawang merah berada dalam kondisi surplus. Namun hal yang berbeda terjadi di pasaran yang dimana masih terjadi fluktuasi harga dan persediaan (Gambar 1). Kondisi tersebut disebabkan distribusi yang tidak merata sepanjang tahun karena adanya musim tanam (on season) dan mekanisme penanganan pascapanen yang belum berjalan baik sehingga produksi melimpah saat on season tidak dapat dipertahankan untuk menutupi kebutuhan saat musim tidak tanam (off season), sehingga diperlukan metode penanganan pascapanen yang dapat mengendalikan ketersediaan bawang merah konsumsi di masyarakat dengan melakukan penyimpanan yang baik untuk menampung hasil panen yang melimpah pada saat panen raya serta mutu yang masih diterima oleh pasar.


(14)

a Sumber : Kementerian Perdagang (2013).

Gambar 1 Perkembangan Harga Domestik Bawang Merah (2010 -2013)a

Petani di daerah Brebes, umumnya memanen bawang merah kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di bawah matahari, selanjutnya disimpan di dalam gudang atau digantung di atas para-para pada kondisi suhu ruang. Kondisi penyimpanan tersebut menyebabkan bawang merah mudah mengalami kerusakan dan pertunasan dini. Selain itu, kondisi suhu ruang juga dapat menyebabkan kehilangan air pada umbi bawang merah yang mengakibatkan tingginya susut selama penyimpanan.

Penyimpanan bawang merah yang baik pada prinsipnya bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan yang dapat memperpendek masa simpan, dan mengendalikan persediaan bawang merah secara kontinyu, sehingga akan mencegah fluktuasi harga. Metode penyimpanan yang dapat diterapkan pada bawang merah juga memiliki pengaruh terhadap mutu bawang merah. Saat ini penyimpanan yang umum dilakukan di Indonesia adalah penyimpanan secara tradisional pada suhu 25-300C RH 70-80%, dimana menghasilkan susut bobot atau kehilangan berat sekitar 25% setelah dilakukan penyimpanan 2 bulan (Nurkomar et al, 2001). Penyimpanan pada suhu rendah merupakan salah satu penanganan pascapanen yang efektif untuk komoditas pertanian yang mudah mengalami kerusakan. Suhu rendah mampu menghambat terjadinya susut berat, mempertahankan kadar air serta mempertahankan kualitas dan memperpanjang masa simpan (Purwanto 2012). Bendkeblia (2000) menyatakan bahwa penyimpanan bawang bombay pada suhu 4°C mampu mempertahankan kandungan flavor dibanding penyimpanan pada suhu 22°C selama 22 minggu. Rachmawati et al.(2009), mengatakan bahwa penyimpanan cabai pada suhu 10°C mampu mempertahankan susut bobot dan kandungan vitamin C selama penyimpanan.

Kadar air merupakan faktor utama yang menentukan daya simpan bawang merah, sehingga perlu diketahui kadar air yang optimum untuk memperpanjang masa simpan dari bawang merah. Kadar air bawang merah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan mudahnya terjadi kebusukan dan kerusakan seperti munculnya akar sedangkan kadar air bawang merah yang terlalu rendah dapat berakibat pada susut bobot yang tinggi yang menyebabkan penurunan kualitas dari umbi. Saat ini petani melakukan penyimpanan dengan kadar air awal 86,7% yang dapat disimpan selama 8 minggu menghasilkan susut yang tinggi hingga 25,29% dengan tingkat pertunasan 19,81% (Nugraha et al. 2012). Oleh karena itu diperlukan metode penyimpanan dengan tingkat kadar air awal dan suhu


(15)

dingin optimal yang memiliki kemampuan mempertahankan mutu bawang merah selama penyimpanan.

Perumusan Masalah

Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan komoditas pertanian yang mudah mengalami kerusakan. Kerusakan yang sering terjadi adalah timbulnya perkecambahan, susut bobot dan penurunan tingkat kekerasan dari bawang merah (Allium ascalonicum L) serta menurunnya kandungan flavour pada bawang merah. Penyimpanan bawang merah pada tingkat kadar air tertentu pada suhu rendah diharapkan dapat mengurangi penurunan mutu yang meliputi susut bobot, kadar VRS (Volatile Reducing Substance), kerusakan dan kekerasan dari bawang merah (Allium ascalonicum L) selama penyimpanan sehingga bawang merah dapat tersedia secara kontinyu dengan mutu yang yang masih diterima oleh konsumen.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan mutu bawang merah (Allium ascalonicum L.) selama penyimpanan pada suhu rendah pada tingkat kadar air awal yang berbeda.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis pengaruh tingkat kadar air dan suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu bawang merah selama penyimpanan

2. Menentukan tingkat kadar air dan suhu penyimpanan yang dapat mencegah terjadinya perubahan mutu selama penyimpanan pada bawang merah

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh perlakuan kadar air bawang merah yang berguna untuk mengurangi penurunan mutu selama penyimpanan.

2. Terdapat pengaruh perlakuan suhu rendah yang berguna mengurangi penurunan mutu selama penyimpanan.

3. Terdapat pengaruh interaksi antara kadar air bawang merah dan suhu rendah yang berpengaruh terhadap penurunan mutu selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu :

1. Menghasilkan metode penyimpanan terbaik untuk bawang merah sehingga dapat mengurangi penurunan mutu dari bawang merah baik dari susut bobot, kekerasan, VRS (Volatile Reducing Substance) serta kerusakan yang ditimbulkan selama penyimpanan.

2. Menjadi informasi bagi petani dan pihak yang terkait dalam penyimpanan produk bawang merah tentang penyimpanan pada suhu rendah dengan kadar air tertentu terhadap perubahan mutu bawang merah sehingga bawang merah dapat tersedia secara kontinyu dengan mutu yang masih diterima oleh konsumen.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Botani

Bawang merah termasuk tanaman semusim yang berdaun silindris seperti pipa memiliki batang sejati atau “diskus” yang bentuknya seperti cakram tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas (titik tumbuh). Pangkal daun bersatu membentuk batang semu. Batang semu yang berada di dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus (Sumarni dan Sumiati 1997).

Gambar 1. Penampang membujur dan melintang umbi bawang merah

Berdasarkan SNI bawang merah SNI 01–3159-1992, persyaratan mutu bawang merah digolongkan dalam 2 jenis mutu yaitu Mutu I dan Mutu II.

Tabel 1. Syarat mutu bawang merah sesuai dengan SNI 01–3159-1992a

Karakteristik Syarat

Mutu I Mutu II

Varietas Ketuaan Kekerasan Diameter Kerusakan (b/b) Busuk (b/b) Kotoran (b/b)

Seragam Tua Keras Min. 1,7 cm Maks. 5% Maks. 1% Tidak Ada (%)

Seragam Cukup tua Cukup keras Min. 1,3 cm Maks. 8% Maks. 2% Tidak ada a Sumber : Badan SNI.

Disamping syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI bawang merah, segmen pasar juga menetapkan persyaratan-persyaratan dan mengelompokan dalam beberapa kelas mutu. Persayaratan mutu yang ditetapkan segmen pasar bawang merah dapat dilihat pada Tabel 3


(17)

Tabel 2. Persayaratan Mutu Bawang Merah Sesuai dengan Permintaan Segmen Pasara

Kriteria Kelas Mutu

Mutu I Mutu II

Ukuran Diameter Umbi Warna Umbi

Kesegaran Kadar Air (%) Kotoran

Kekeringan/layu Hama/penyakit

Besar, diameter >2,5 cm Merah ungu sampai putih Segar

80-85%

Bebas, tidak berakar 3%

Bebas serangga

Kecil, diameter 1,5-2,5 cm Merah ungu sampai putih Segar

75-80%

Maks.0,1%, tidak berakar 3-5%

Bebas serangga aSumber : Departemen Pertanian (2006).

Komposisi Kimia

Nilai gizi bawang merah bervariasi berdasarkan jenis dan bagian bawang merah yang dimakan. Nilai gizi dari bawang merah juga ditentukan oleh kondisi pertumbuhan, waktu panen dan cara pengolahan. Pada setiap 100 gram, bawang merah mengandung air 88 g, protein 1.5 g, lemak 0.3 g, karbohidat 9 g, serat 0.7 g, Ca 36 mg, P 40 mg, Fe 0.8 mg, vitamin A 5 IU, vitamin B1 0.03 mg, dan vitamin C 2 mg. Nilai energi yang dikandung adalah 160 kJ/100 g (Mudatsir 2014).

Tabel 3. Senyawa Volatil Bawang Meraha

Senyawa Jumlah

Metil Alkohol Hidrogen Sulfida Asetaldehida Sulfur dioksida Dipropil disulfide Propil alcohol 4-heksan-1-alkohol 2-hidroksil propantiol

Sangat banyak Sedikit Sedikit Sangat sedikit Sangat sedikit Sangat sedikit Sangat sedikit Sangat sedikit aSumber : Mayer (1960).

Panen

Pemanenan memegang peranan penting untuk memperoleh mutu dan kuantitas bawang merah bawang merah yang baik. Nugraheni (2004), menyatakan umumnya bawang merah memiliki umur panen yang berbeda-beda tergantung varietasnya dan tujuan dari penggunaan umbi bawang merah tersebut, umumnya tanaman bawang merah akan dipanen setelah berumur 60-90 hari setelah tanam. Apabila tanaman bawang merah dipanen jauh sebelum waktunya maka akan diperoleh umbi yang berukuran kecil dan mudah keriput. Selain itu bawang merah yang dipanen terlalu muda akan mengurangi bobot, menurunkan daya tahan terhadap pembusukan, mudah bertunas serta mutu dan nilai jualnya rendah. Sedangkan bila pemanenan terlambat akan mengeluarkan akar kedua pada penyimpanan.

Pemanenan bawang merah umumnya sama, baik untuk bibit ataupun untuk konsumsi. Pemanenan bawang merah dilakukan dengan cara dicungkil dari dalam tanaha dengan hati-hati kemudian bawang merah tersebut dicabut. Diupayakan agar saat proses


(18)

pemanenan tidak mengalami luka karena hal tersebut dapat menurunkan mutu dari bawang merah tersebut.

Curing/Pelayuan dan Pengeringan

Proses penanganan selanjutnya setelah dilakukan pemanenan yaitu curing/pelayuan dan pengeringan. Proses ini merupakan proses pengurangan kadar air yang terkandung pada daun dan leher umbi bawang merah. Proses curing/pelayuan dilakukan sebelum proses pengeringan, yang dimaksudkan untuk menghasilkan warna kulit umbi yang lebih mengkilap selain itu dapat membentuk lapisan epidermis yang menutupi bagian luka dari kulit umbi akibat goresan selama terjadi pemanenan.

Proses curing/pelayuan dan pengeringan akan terkendala apabila memasuki musim penghujan. Proses tersebut tidak akan berjalan maksimal. Namun saat ini telah dikembangkan proses pengering buatan dengan menghembuskan udara panas dengan suhu 360C selama 16 jam dengan kelembaban 70-80% (Nugraheni 2004).

Proses pengeringan mekanik dapat digunakan dengan menggunakan beberapa alat pengering seperti Cabinet Dryer, kipas, ruang pengering berventilasi tanpa sumber panas buatan dan ruang berpembangkit Vorteks. Pengeringan berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan umbi bawang merah. Dengan pengeringan buatan, bahan yang dikeringkan akan lebih seragam mutunya, prosesnya cepat serta terhindar dari bahan asing yang tidak diinginkan (Histifarina et al. 1998).

Pembersihan dan Sortasi

Proses ini merupakan proses yang bertujuan unuk menghilangkan kotoran yang menempel pada umbi serta memperoleh umbi yang memiliki mutu yang baik terutama umbi yang bertujuan untuk bibit. Proses memisahkan antara umbi yang terkena penyakit dengan yang sehat sehingga memperkecil kemungkinan untuk penularan penyakit pada umbi tersebut.

Prosedur kerja dari proses ini adalah dengan mengambil daun umbi sebanyak satu genggam yang masih dalam satu umbi. Selanjutnya pada umbi tersebut dilakukan pemisahan antara umbi yang baik yang kemudian diikat dalam satu gedengan. Kemudian gedengan tersebut dihentakkan untuk merontokkan daun kering dan kotoran yang menempel pada umbi.

Penyimpanan

Tujuan dari penyimpanan umbi bawang merah yang dilakukan ini adalah untuk menunggu saat pemasaran yang tepat, sehingga karena tujuan tersebut diperlukan kondisi yang sesuai untuk penyimpanan umbi bawang merah tanpa mengalami penurunan mutu dan kuntitas dari umbi bawang merah selama penyimpanan.

Saat ini telah berkembang penyimpanan suhu rendah. Permasalahan yang sering dihadapi untuk mempertahankan mutu produk pertanian dengan cara pendinginan adalah kepekaan produk pertanian terhadap perlakuan suhu rendah sangat bervariasi.

Pengontrolan suhu untuk mengendalikan laju respirasi produk hasil pertanian sangat penting artinya dalam usaha memperpanjang umur simpan produk tersebut. Metode yang umum digunakan adalah penyimpanan dengan pendinginan karena sederhana dan efektif. Penurunan suhu dalam penyimpanan dingin akan mengurangi


(19)

kelayuan, menurunkan laju respirasi, menghambat perubahan tekstur dan kehilangan vitamin C, mengurangi laju pertumbuhan mikrobiologis, serta mencegah perkecambahan spora dari beberapa jamur pada bahan yang disimpan.

Perubahan Selama Penyimpanan Susut Bobot

Terjadinya susut bobot selama penyimpanan adalah parameter mutu yang mencerminkan tingkat kesegaran. Semakin tinggi susut bobot, maka produk tersebut semakin berkurang tingkat kesegarannya. Peningkatan susut bobot bawang merah menjadi meningkat pada suhu yang lebih tinggi karena respirasi yang terjadi lebih tinggi. Rachmawati et al. (2009), menyatakan bahwa peningkatan suhu penyimpanan menyebabkan proses transpirasi semakin meningkat sehingga penguapan yang terjadi cukup besar yang mengakinatkan laju kehilangan air meningkat.

Selama penyimpanan, bawang merah masih melakukan metabolisme termasuk respirasi. Saat respirasi terjadi reaksi kimia enzimatis yang merombak, pati, gula, lemak, protein, asam-asam organik dan senyawa kompleks lainnya menjadi energi dengan hasil samping senyawa sederhana, yaitu air dan karbondioksida. Karena air dan karbondioksida dilepas dalam bentuk uap dan gas yang lepas ke udara maka terjadi penurunan bobot bawang merah yang disimpan

Penyusutan juga akibat adanya respirasi dari umbi bawang itu sendiri. Hilangnya bobot umbi bibit tersebut juga seiring dengan peningkatan temperatur dalam penyimpanan. Dimana kenaikan susut bobot tersebut juga tidak bisa lepas dari kelembaban (RH) lingkungan tempat dan lama umbi bibit bawang disimpan (Rustini dan Prayudi 2011).

Kekerasan

Kekerasan merupakan salah satu parameter mutu untuk menentukan tingkat kesegaran dari bawang merah. Tingkat kekerasan dapat menurun karena kecilnya kemampuan umbi untuk berfotosintesis, sehingga terjadinya penimbunan fotosintat pada umbi sebagai hasil dari fotosintesis juga menjadi rendah dan kekerasan umbi menurun.

Penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kekerasan yang akan semakin menurun seiring dengan semakin lama penyimpan terhadap suatu komoditas. Menurut Winarno (2002) bahwa komoditas yang yang telah disimpan beberapa saat kemudian mengalami pelunakan dan pemsakan, maka ketegaran akan berkurang yang disebabkan karena pektin yang tidak larut (protopektin) telah dirombak menjadi pectin yang larut. Protopektin adalah bentuk dari zat pektan yang tidak larut dalam air, yang dimana perombakan propektin menjadi zat dengan berat molekul yang lebih rendah mengakibatkan lunaknya dinding sel dan turunnya daya kohesi yang mengikat satu sel dengan sel lainnya (Sanny 2008).

VRS (Volatile Reducing Substance)

Volatile Reducing Substance (VRS) merupakan zat-zat yang mudah menguap dalam suatu bahan atau produk dan mudah direduksi yaitu senyawa sulfur seperti profilsulfur dan profenilsulfur dan aldehid seperti asetaldehid dan propanoldehid. Semakin tinggi kadar VRS pada suatu bahan menunjukan mutu yang semakin baik dan biasanya dengan perlakuan, kadar VRS suatu bahan akan mengalami penurunan.

Tanam-tanaman dari genus Allium memang memiliki karakteristik rasa dan aroma yang sangat kuat, disebabkan adanya senyawa-senyawa sulfur di dalamnya (Fennema


(20)

1996). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa seperlima kandungan minyak netralnya merupakan senyawa sulfur.

Senyawa sulfur dari bawang merah (Allium ascalonicum L.) yang merupakan prekursor flavor disebut juga volatile reducing substance (VRS). VRS adalah unsur kimia yang mudah menguap dan memberikan bau khas pada bawang, semakin tinggi kadar VRS semakin tajam baunya (Nugraheni, 2004).

Kandungan sulfur yang tinggi merupakan ciri yang dimiliki oleh tanaman dari famili bawang-bawangan yang sekaligus sebagai pemberi flavor yang kas pada bawang. Menurut Nugraheni (2004) bahwa flavor bawang dapat dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya adalah keadaan selama pertumbuhan termasuk umur tanaman, kandungan sulfur tanah dan kandungan air tanah, keadaan selama penyimpanan dan pengolahan lebih lanjut setelah panen.

Kerusakan (Daya berkecambah dan Munculnya Akar)

Maemunah (2010) menyatakan bahwa perkecambahan, secara fisiologi adalah muncul dan berkembangnya struktur-struktur penting dari embrio benih sampai dengan akar menembus kulit benih. Proses metabolisme perkecambahan benih ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah sifat dormansi dan komposisi kimia benih. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah air, gas, suhu dan cahaya. Penyimpanan bawang pada suhu rendah (0 – 7.5°C) dan suhu tinggi (25 – 30°C) dengan kelembaban (RH) lingkungan 65–75 % dapat menunda pertunasan bawang merah (Soedomo 2006).

Kelembaban merupakan salah satu penyebab munculnya akar pada bawang merah. Kelembaban udara yang tinggi mendorong perkembangan mikroorganisme pembusuk dan membuat terjadinya pertunasan. Proses pertumbuhan tunas ini juga mengurangi nutrisi yang terkandungan pada bawang merah. Karena nutrisi terserap atau dibutuhkan untuk pertumbuhan tunas. Sebaliknya dengan kelembaban yang terlalu rendah akan membuat penguapan air dari umbi sehingga akan terjadi penurunan berat yang berlebihan (Denelia 1995).

Justice (2002), menyatakan bahwa pada keadaan suhu tinggi dan kadar air tinggi, benih ascalonicum sangat kehilangan viabilitas, biasanya pada suhu 32°C dan kelembaban 90% viabilitas benih hilang dalam waktu kurang dari tiga bulan.

Menurut Anshar et al. (2011) bahwa diketahui bahwa bawang merah yang baru dipanen mengandung kadar air yang cukup tinggi, oleh karena itu perlu disimpan sebelum dikecambahkan agar kadar airnya dapat menurun dan selama penyimpanan umbi-umbi terseleksi. Umbi bawang merah yang belum matang atau belum terbentuk sempurna akan kempes akibatnya makin lama disimpan bawang merah akan makin susut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa benih yang disimpan selama 60 hari kadar air menurun hingga sekitar 74% dengan nilai susut sekitar 60%, namun daya berkecambah makin baik sekitar 99% yang diikuti volume akar dan bobot kering juga makin baik.


(21)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Siswadhi Supardjo dan Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan I SEAFAST CENTER, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Januari – Mei 2014.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang merah varietas Bima Brebes dengan umur 60 hst (hari setelah tanam), kemasan rajut plastic dan kemasan plastic wrap. Bahan kimia yang digunakan adalah KI, KMnO4, H2SO4 dan Na2S2O3 serta amilum dan NaNO2 dan kapur (CaCO3).

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cabinet dryer, refrigerator untuk penyimpanan bawang pada suhu 5°C dan 10°C, thermometer, hygrometer untuk pengukuran RH, timbangan analitik, rheometer untuk pengujian kekerasan bawang dan alat analisa VRS (Volatile Reducing Substance).

Prosedur Penelitian Penyiapan Umbi Bawang Merah

Bawang merah yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Bima Brebes yang dipanen pada umur 60 hst (hari setelah tanam) dari petani Brebes. Setelah dipanen bawang merah diberikan perlakuan curing di lahan selama 3 hari. Kemudian dilakukan pengangkutan dengan angkutan darat dari Brebes menuju ke tempat penelitian (Bogor, Dramaga) dengan lama perjalanan ±18 jam. Bawang merah kemudian dibagi menjadi tiga bagian yaitu untuk kadar air awal 76%, 80% dan 85%. Setelah itu dilakukan proses pengeringan dengan menggunakan cabinet dryer pada suhu 380C±2 yang sebelumnya telah diketahui kadar airnya dengan menggunakan metode oven (Gambar 3). Kadar air bawang merah saat tiba di tempat penelitian sebesar ±87%. Waktu pengeringan bawang merah yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air awal sesuai dengan perlakuan adalah 76% selama 30 hari atau 1 bulan, 80% selama 7 hari dan 85% selama 2 hari.


(22)

Penyimpanan Umbi Bawang Merah

Umbi bawang merah yang telah mencapai kadar air 76%, 80% dan 85%, kemudian dibersihkan dari kotoran dan lembar-lembar daun kering. Umbi bawang merah juga diberikan perlakuan penyortiran terhadap umbi yang terserang hama ataupun yang mengalami kerusakan. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 2 kg bawang merah dalam bentuk lepasan. Setiap perlakuan kemudian dikemas dengan menggunakan kemasan rajut plastic selama penyimpanan (Gambar 4). Suhu penyimpanan dingin yang digunakan yaitu suhu 5°C, 10°C dengan RH 65-70% serta suhu ruang (25°C-32°C) dan RH ruang (50-88%). Selama penyimpanan pada suhu 5°C dan 10°C ditempatkan kapur (CaCO₃) pada refrigerator untuk tetap mempertahankan RH yang diinginkan dengan melakukan pergantian kapur (CaCO₃) setiap minggunya. Penyimpanan dilakukan selama 3 bulan atau 12 minggu. Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan parameter yang diamati adalah kekerasan, kadar air, susut bobot, VRS (Volatile Reducing Substance) dan persentase kerusakan (busuk/jamur, hampa dan tunas).

(A) (B)

Gambar 2 Penyimpanan umbi bawang merah pada suhu dingin (A) dan suhu ruang (B)

Rancangan Percobaan

Rancangan Percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) factorial, yang terdiri dari dua factor dengan dua kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan adalah :

KA = Kadar Air Umbi

KA76 = kadar air awal 76% KA80 = kadar air awal 80% KA85 = kadar air awal 85% S = Suhu Penyimpanan

S5 = penyimpanan pada suhu 5°C RH 65-70% S10 = penyimpanan pada suhu 10°C RH 65-70%

SRUANG = penyimpanan pada suhu ruang (25-32°C) RH ruang (52-88%) Model Rancangan dari penelitian ini adalah :

Yijk = µ + Pi + Bj + (PB)ij + Uijk (1) Dimana :

Yijk = Pengamatan perlakuan P ke-i dan K ke-j µ = Nilai rataan umum

Pi = Perlakuan ke-i Bj = Perlakuan P ke-j


(23)

(PB)ij = Interaksi P ke-i dan K ke-j

Cijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan P ke-i dan K ke-j pada ulangan ke-k

Dengan :

i = 1,2 (Kadar Air)

j = 1,2,3 (Suhu Penyimpanan) k = 1,2 (Ulangan)

Data dianalisis menggunakan analisis ragam dengan taraf nyata 5%, bila berpengaruh nyata maka dilanjutkan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test). Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 3 bulan atau 12 minggu.

Bawang merah 60 hst

Curing selama 3 hari

Pengeringan hingga kadar air 80% Pengeringan hingga

kadar air 76%

Pengeringan hingga kadar air 85%

Penyortiran dan pembersihan

Bawang merah dikemas dalam 2 kg

Penyimpanan pada suhu 5°C RH 65-70%

Penyimpanan pada suhu 10°C RH 65-70%

Penyimpanan pada suhu ruang (25-32°) RH ruang (55-88%)

Penyimpanan selama 3 bulan atau 12 minggu

Parameter Pengamatan Kadar Air Susut Bobot

Volatile reducing substance (VRS) Tingkat kerusakan Tingkat kekerasan


(24)

Parameter Pengamatan Kadar Air

Proses pengukuran dan pengamatan terhadap kadar air diawali dengan penimbangan massa awal bahan dan ditata di atas wadah yang telah diketahui beratnya. Wadah sampel yang akan ditentukan kadar airnya ditempatkan pada masing-masing rak. Posisi wadah sampel berada di tengah-tengah rak. Perubahan kadar air setiap jam didapatkan hanya dengan menimbang wadah sampel pada selang waktu tertentu. Setelah penimbangan, wadah sampel ditempatkan kembali ke dalam rak pada kedudukan semula. Untuk mengukur perubahan kadar air bahan, kadar air awal bahan telah ditentukan dengan metode oven.

Pengukuran kadar air selama proses pengeringan berlangsung dihitung berdasarkan komponen massa berikut :

% 100

x Wa

Wd Wa air

kadar   (2)

Dimana :

Wa = massa bahan (g)

Wd = massa padatan bahan (g)

Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram kemudian ditaruh dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot keringnya. Selanjutnya cawan yang telah berisikan sampel, dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C hingga berat mencapai konstan. Sebelum ditimbang, cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Perhitungan kadar air ditentukan dengan rumus :

Dimana :

Ba = berat cawan dan sampel akhir (g) Bb = berat cawan (g)

Bc = berat sampel awal (g)

Susut Bobot

Susut bobot pada penelitian ini dinyatakan dalam persen dan diperoleh dengan cara menimbang bobot awal dan bobot akhir, kemudian dimasukkan dalam persamaan berikut ini :

% 100

x W

W W

bobot susut

awal akhir awal

 (4)

VRS (Volatile Reducing Substance) (Farber dan Ferro, 1956)

Sampel sebanyak 5gr ditambah 20 ml air destilata. Kemudian dipipet 10 ml KMnO4 0.02 N dan dimasukkan dalam gelas reaksi pada alat VRS, diaerasi dengan pompa vakum selama kurang lebih 40 menit. Setelah aerasi, semua KMnO4 dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan dibilas dengan air destilata kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 6 N dan 3 ml KI 20%. Selanjutnya dititrasi sampai warna menjadi kuning, lalu ditambah indikator amilum, titrasi kembali dengan Na2S2O3 0.02 N sampai warna biru hilang. Rumus yang digunakan yaitu :

Kadar air ( %bb ) = Bc – ( Ba – Bb) x 100% (3)


(25)

Volatile reducing substance (VRS) = (bl-c) x N x1000 (5) b

Dimana :

VRS = Volatile Reducing Substance (µ Eq/g) bl = jumlah larutan Na2S2O3 titrasi blanko (ml) c = jumlah larutan Na2S2O3 titrasi contoh (ml)

b = berat contoh

N = normalitas larutan Na2S2O3

Kekerasan Bahan

Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan umbi terhadap jarum penusuk (probe) dari rheometer Umbi bawang merah ditekan oleh probe, beban maksimum 10 kg. Diameter probe sebesar 5 mm, diset pada kedalaman 10.0 mm dengan kecepatan jarum sebesar 60 mm/menit. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada masing-masing sampel dan kemudian dirata-ratakan nilainya. Nilai dari rheometer akan berupa massa (N).

Persentase Kerusakan

Kerusakan umbi bawang merah pada penelitian ini adalah umbi busuk/jamur, umbi hampa dan umbi tunas. Persentase kerusakan pada penelitian ini dinyatakan dalam persen yang diperoleh dengan menghitung banyaknya bawang yang mengalami kerusakan dan banyak bawang yang disimpan, kemudian dimasukkan dalam persamaan berikut :

% 100  

disimpan yang

merah bawang jumlah

rusak yang merah bawang jumlah


(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Awal Penyimpanan

Bawang merah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan bawang merah yang telah diukur kualitas awalnya meliputi susut bobot, volatile reducing substance, kerusakan, kadar air dan kekerasan yang tersaji dalam Tabel 6. Hasil pengukuran kualitas dari bawang merah tersebut digunakan untuk mengetahui penurunan mutu yang terjadi hingga akhir penyimpanan. Pada awal penyimpanan, bahan yang digunakan merupakan bawang merah yang memiliki kualitas yang baik tanpa adanya kerusakan serta memiliki bentuk dan kekerasan yang sesuai dengan SNI 01-3159-1992 (Tabel 2), sehingga susut bobot dan tingkat kerusakan pada Tabel 5 belum memiliki nilai. Berbeda untuk parameter

volatile reducing substance, kadar air dan tingkat kekerasan yang sudah memiliki nilai kualitas. Nilai tersebut diperoleh dari pengukuran mutu dengan menggunakan sampel bawang merah untuk masing-masing perlakuan secara random. Karakteristik kualitas fisik awal bawang merah yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Hasil Pengukuran kualitas awal bawang merah (Allium ascalonicum L.)

Parameter

Bawang Merah Kadar Air

76%

Bawang Merah Kadar Air

80%

Bawang Merah Kadar Air

85% Kadar Air (%)

Susut Bobot (%)

Volatile Reducing Substance (µ Eq/g)

Tingkat Kerusakan (%) Tingkat Kekerasan (N)

76.69 ± 1.59 - 23.95 ± 0.85

- 4.46 ± 0.14

80.73 ± 1.48 - 26.26 ± 0.15

- 4.02 ± 0.08

85.25 ± 1.34 - 29.15 ± 0.10

- 4.01 ± 0.05

Perubahan Kualitas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Selama Penyimpanan

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) termasuk dalam jenis komoditas pertanian yang mudah mengalami kerusakan. Kondisi penyimpanan yang meliputi kondisi tempat penyimpanan dan kondisi dari bawang merah yang disimpan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perubahan kualitas bawang merah selama penyimpanan. Pada penelitian ini, faktor suhu penyimpanan dan kadar air bahan memberikan pengaruh terhadap perubahan kualitas yang terdiri dari perubahan kadar air, susut bobot, volatile reducing substance (VRS), tingkat kerusakan dan tingkat kekerasan pada bawang merah.

Kadar Air

Air merupakan salah satu komponen penting pada bahan pangan yang dapat mempengaruhi mutu bahan pangan itu sendiri. Meningkatnya jumlah air dalam bahan pangan, akan mempengaruhi laju kerusakan dari bahan pangan karena adanya proses mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis.

Gambar 6 memperlihatkan perubahan dari kadar air bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan. Pada grafik dapat dilihat terjadinya fluktuasi kadar air. Penyimpanan bawang merah pada suhu ruang, baik untuk kadar air 76%, 80% dan 85% memperlihatkan perubahan kadar air yang tidak tetap. Penurunan kadar air tertinggi yaitu pada perlakuan suhu ruang dengan kadar air 85% hingga minggu ke-12.


(27)

Kadar air dari bawang merah juga meningkat pada minggu ke-6 untuk perlakuan suhu ruang dengan kadar air 80%. Berbeda dengan kadar air 76% terjadi peningkatan yang signifikan pada minggu ke-12. Perubahan ini disebabkan karena selama penyimpanan, penggunaan suhu ditempat penyimpanan mengalami perubahan dengan kisaran 25° C-32°C dan kelembaban dengan kisaran 52%-88%. Kondisi ini membuat kadar air mengalami perubahan yang tidak tetap selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Priyantono et al. (2013) bahwa perubahan kadar air selama penyimpanan dipengaruhi oleh kondisi tidak tetap, sehingga bawang merah dengan mudah menyerap maupun menguapkan air dari dalam umbi yang dipengaruhi oleh kondisi dan suhu lingkungan penyimpanan. Hal ini menunjukkan penyimpanan bawang merah pada suhu ruang tidak mampu menekan penurunan kadar air selama penyimpanan.

Gambar 1 Perubahan kadar air bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan kadar air awal dan suhu penyimpanan

Penyimpanan pada suhu 5°C dengan kadar air awal 76% mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan dari 76.51% menjadi 74.84%, hal serupa terjadi pada suhu 10°C yang mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan menjadi 73,86%. Untuk penyimpanan pada suhu 5°C dengan kadar air awal 80% terjadi peningkatan pada minggu ke-6 sebesar 79.97% namun kemudian menurun hingga akhir penyimpanan pada minggu ke-12. Pada suhu 10°C terjadi peningkatan pada minggu ke-4 sebesar 78.57% namun kembali menurun hingga akhir penyimpanan. Untuk penyimpanan pada kadar air awal 85% dengan suhu 5°C, terjadi peningkatan yang signifikan pada minggu ke-8 sebesar 83.73% yang dimana kadar air sebelumnya sebesar 83.01%. Berbeda dengan penyimpanan pada suhu 10°C, peningkatan tertinggi pada minggu ke-6 sebesar 83.19% yang sebelumnya pada minggu ke-4 memiliki kadar air 82.83%. Hasil uji Duncan dengan taraf nyata 5% pada Tabel 6 memberikan gambaran yang lebih nyata tentang perubahan tersebut.

Penyimpanan bawang merah pada minggu ke-12, kadar air pada suhu ruang mengalami perubahan yang signifikan. Berbeda dengan penyimpanan pada suhu 5°C dan 10°C baik untuk kadar air awal 76%, 80% dan 85% yang cenderung mengalami penurunan yang tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu

K

a

da

r

Air

(%)

Lama Penyimpanan (Minggu Ke-)

KA 76,S 5 KA 76,S 10

KA 76,S RUANG KA 80,S 5


(28)

ruang dengan kisaran suhu 25°C-32°C dan RH dengan kisaran 52%-88%, tidak mampu menahan penurunan kadar air dibandingkan penyimpanan pada suhu rendah. Hal ini disebabkan karena penyimpanan pada suhu ruang tidak dapat menghambat proses respirasi sehingga kehilangan kadar air menjadi tinggi. Penurunan kadar air yang terjadi pada suhu ruang, sebanding dengan kenaikan susut bobot umbi yang terjadi pada pada suhu ruang. Penurunan kadar air pada penyimpanan dengan perlakuan suhu 10°C dan kadar air awal 76%, sebanding dengan peningkatan susut bobot pda perlakuan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa susut bobot saling berkaitan dengan kadar air bawang merah selama penyimpanan.

Tabel 2 Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap perubahan kadar air pada bawang merah selama penyimpanan

aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

DMRT

Analisis sidik ragam pada Lampiran 10, menunjukkan bahwa suhu memiliki pengaruh nyata (p<0,05) untuk menghambat penurunan kadar air pada minggu 2, 4, 6 dan 8 selama penyimpanan sedangkan kadar air berpengaruh pada minggu ke-2, ke-4, ke-6 dan ke-8 dan ke-10. Hasil uji lanjut menggunakan Duncan pada taraf 5% (Tabel 6) menunjukkan bahwa penurunan kadar air berbeda nyata setiap minggunya untuk setiap perlakuan. Hal ini menunjukkan semua perlakuan memberikan pengaruh pada perubahan kadar air bawang merah selama penyimpanan. Namun hingga akhir penyimpanan, perlakuan suhu 5°C lebih mampu menghambat penurunan kadar air pada bawang merah. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa penuruan kadar air bawang merah selama penyimpanan dapat dihambat pada suhu 5°C dengan kadar air 80%. Hal ini disebabkan karena penggunaan suhu rendah mampu mempertahankan kadar air dari bawang merah. Terlihat hingga akhir penyimpanan pada minggu ke-12, kadar air pada perlakuan ini hanya mengalami penurunan sebanyak 2% dibandingkan perlakuan lainnya.

Susut Bobot

Susut bobot selama penyimpanan merupakan salah satu parameter mutu yang menunjukkan tingkat kesegaran. Perubahan susut bobot yang terjadi seiring dengan waktu penyimpanan, yang dimana semakin lama bawang merah disimpan maka susut bobot yang terjadi akan semakin meningkat. Kenaikan susut bobot tidak lepas dari kelembaban (RH) lingkungan dan suhu serta lama umbi bawang disimpan (Rustini dan Prayudi 2011). Selama penyimpanan bawang merah mengalami susut bobot sebagai akibat dari proses penguapan, kebusukan dan kerusakan dari umbi bawang merah.


(29)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa baik kadar air (KA) maupun suhu penyimpanan (S) memberikan pengaruh yang nyata terhadap susut bobot bawang merah (Lampiran 8). Susut bobot dari bawang merah secara keseluruhan meningkat selama penyimpanan (Gambar 7). Susut bobot bawang merah pada Gambar 7 memperlihatkan peningkatan susut bobot seiring dengan semakin lama dilakukan penyimpanan, baik penyimpanan di suhu 5°C, 10°C maupun disuhu ruang baik untuk kadar air awal 75%, 80% dan 85%. Hal ini disebabkan karena selama penyimpanan, bawang merah masih melakukan proses metabolisme diantaranya proses penguapan yang menyebabkan terjadinya peningkatan susut bobot selama penyimpanan.

Gambar 2 Perubahan susut bobot bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan kadar air awal dan suhu penyimpanan

Gambar 7 dan Lampiran 7 memperlihatkan susut bobot yang tertinggi terjadi pada suhu 10°C dengan kadar air 76% sebesar 33.53%, sedangkan untuk susut bobot yang terrendah terjadi pada suhu 5°C dengan kadar air 80% sebesar 12.49%. Hasil uji lanjut Duncan 5% pada Tabel 7, terlihat hingga akhir penyimpanan pada suhu 5°C dengan kadar air awal 80% memiliki nilai susut bobot yang terrendah dan berbeda nyata dibanding nilai susut bobot dari perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 5°C dengan kadar air awal 80% mampu menekan susut bobot hingga akhir penyimpanan, sedangkan suhu 10°C dengan kadar 76% tidak mampu menekan susut bobot. Hal ini disebabkan karena tingginya tingkat kerusakan yang terjadi pada suhu 10°C dengan kadar awal 76%. Dari data kerusakan yang tertinggi terjadi pada perlakuan 10°C dengan kadar awal 76%, sehingga nilai susut bobot terjadi seiring dengan peningkatan nilai kerusakan dari perlakuan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraha et al. (2012), bahwa disamping terjadinya penguapan, penurunan berat umbi juga diakibatkan oleh adanya kerusakan karena umbi bawang merah yang mengalami kebusukan, hampa/kering dan bertunas.

Gambar 7 menunjukkan perubahan susut bobot bawang merah selama penyimpanan dari berbagai perlakuan. Persentase susut bobot pada ruang baik pada kadar air 76%, 80% atau 85% mengalami peningkatan susut bobot yang tidak jauh berbeda dengan penyimpanan pada suhu 10°C. Peningkatan susut bobot tersebut disebabkan

Su

sut

B

o

bo

t

(%)

Lama Penyimpanan (Minggu Ke-)

KA 76%,S 5°C KA 76%,S 10°C KA 76%,S RUANG KA 80%,S 5°C KA 80%,S 10°C KA 80%,S RUANG


(30)

karena penggunaan suhu yang tinggi dengan kisaran 25°C hingga 32°C menyebabkan meningkatnya proses transpirasi serta terurainya glukosa menjadi CO2 dan H2O yang terjadi selama proses respirasi (Larasati 2003). Hal ini didukung pula oleh pendapat Aziz

et al. (2013) bahwa penggunaan suhu yang tinggi pada penyimpanan bawang merah menyebabkan proses transpirasi dari umbi dan daun bawang merah karena adanya peningkatan laju respirasi sehingga terjadinya penguapan yang berlebihan yang berakibat pada susut bobot.

Perubahan susut bobot yang terlihat pada Gambar 7, memperlihatkan bahwa penyimpanan bawang merah pada kadar air awal 76% memiliki susut bobot yang tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena kerusakan umbi yang terjadi selama penyimpanan, selain itu dapat pula disebabkan karena lamanya proses pengeringan untuk mencapai kadar air awal 76%, sehingga bawang merah dengan perlakuan kadar air awal 76% memiliki waktu penyimpanan yang lebih lama dibandingkan dengan perlakuan kadar air awal lainnya. Untuk mencapai kadar air awal 76% pada penelitian ini diperlukan waktu 30 hari, berbeda dengan perlakukan kadar air awal 80% membutuhkan waktu 7 hari sedangkan untuk kadar air awal 85% membutuhkan waktu 2 hari.

Bawang merah yang disimpan pada suhu rendah yaitu 5°C, lebih mampu menekan terjadinya susut bobot. Hal ini disebabkan karena pada suhu tersebut mampu meperlambat proses metabolisme pada umbi bawang merah serta mampu menghambat terjadinya kerusakan selama penyimpanan. Sesuai dengan pendapat Ahmad (2013), bahwa suhu rendah dapat memperlambat proses metabolisme yang merupakan akibat dari beberapa reaksi enzimatis. Berbeda dengan suhu 10°C hingga akhir penyimpanan untuk kadar air awal 76% mencapai susut bobot tertinggi diantara perlakuan lainnya, yaitu mencapai 33.53%. Hal ini memperlihatkan bahwa suhu 5°C lebih mampu menekan susut bobot dibandingkan pada suhu 10°C, meskipun dengan menggunakan kisaran RH yang sama yaitu 65%-70%. Hal ini disebabkan karena pada suhu 10°C, reaksi enzimatis tidak dapat dihambat sehingga proses metabolisme yang menyebabkan terjadinya susut bobot tidak dapat dihambat.

Tabel 3 Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap perubahan susut bobot pada bawang merah selama penyimpanan

aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji


(31)

Data susut bobot (Lampiran 7) setiap minggunya memperlihatkan bahwa suhu 5°C lebih mampu menekan terjadinya peningkatan susut bobot hingga akhir penyimpanan. Hal ini disebabkan karena pada suhu tersebut, mampu menghambat terjadinya aktifitas fisiologis, aktifitas mikroba dan transpirasi yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan susut bobot. Hal ini sesuai dengan pendapat Rachmawati et al.

(2009) bahwa penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia serta menghambat atau menghentikan pertumbuhan mikroba. Dari Tabel 7 memperlihatkan hasil uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%, menunjukkan bahwa susut bobot setiap perlakuan berbeda nyata selama penyimpanan untuk setiap minggunya. Bawang merah dengan perlakuan kadar air awal 80% suhu 5°C memiliki susut bobot yang terendah dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sehingga efektif menekan terjadinya susut bobot bawang merah selama penyimpanan.

Volatile Reducing Substance (VRS)

Komponen flavor bawang merah (Allium ascalonicum.L) dalam penelitian ini dihitungan sebagai VRS (Volatile Reducing Substance) karena sebagian besar komponen flavor pada bawang merah bersifat volatile. Nutrisi sulfur merupakan precursor utama dalam menciptakan flavor pada bawang merah. Nugraheni (2004) menyatakan bahwa flavor pada bawang dapat dipengaruhi oleh keadaan selama penyimpanan meliputi suhu dan kelembaban penyimpanan.

Gambar 9 memperlihatkan penyimpanan dengan kadar air awal 76% pada suhu 5°C, memiliki kadar VRS yang mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan yaitu pada awal penyimpanan sebesar 23.94 µEq/g menjadi 19.43 µEq/g. Hal serupa terjadi pada suhu 10°C yang mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan menjadi 18.32 µEq/g. Berbeda dengan penyimpanan pada suhu ruang yang mengalami peningkatan pada minggu ke-2 dan minggu ke-8 kemudian mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan menjadi 18.84 µEq/g.

Penyimpanan bawang merah pada kadar air awal 80% suhu 5°C, mengalami peningkatan pada minggu ke-2 dari awal penyimpanan sebesar 27.68 µEq/g kemudian mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan sebesar 23.36 µEq/g. Hal tersebut terjadi pula pada suhu 10°C, mengalami peningkatan pada minggu ke-2 menjadi 27 µEq/g kemudian mengalami penurunan hingga minggu ke-6 menjadi 25.45 µEq/g. Namun kadar VRS pada bawang merah mengalami peningkatan pada minggu ke-8 dengan nilai 25.68 µEq/g dan kembali mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan menjadi 20.26 µEq/g. Pada suhu ruang, kadar VRS mengalami peningkatan pada minggu ke-2 sebesar 29.27 µEq/g dan meningkat kembali pada minggu ke-8 kemudian menurun hingga akhir penyimpanan menjadi 21.37 µEq/g.

Penyimpanan dengan kadar air awal 85% pada suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang mengalami penurunan pada minggu ke-2 masing-masing sebesar 27.13 µEq/g, 27.38 µEq/g dan 26.95 µEq/g. Pada suhu 5°C dan 10°C, kadar VRS mengalami penurunan hingga akhir penyimpanan dengan nilai masing-masing sebesar 21.84 µEq/g dan 18.84 µEq/g. Berbeda pada suhu ruang mengalami peningkatan pada minggu ke-4 sebesar 28.34 µEq/g, dan menurunan kembali hingga akhir penyimpanan.

Perubahan flavor dari bawang merah yang telah disebutkan sebelumnya selama penyimpanan dipengaruhi oleh aktifitas enzim. Enzim yang berperan dalam perubahan flavor ini adalah enzim peptidase. Perubahan flavor dari bawang merah dihasilkan dari aktifitas enzim peptidase dan prekursor flavor dari bawang merah yaitu L-glutamil peptidase (Catur 1991). Hal ini didukung pula oleh Endrasari dan Prayudi (2011),


(32)

semakin tinggi aktifitas enzim pembentuk VRS maka kadar VRS pada umbi akan meningkat, sebaliknya jika aktifitas enzim menurun maka kadar VRS juga akan menurun. Tabel 8 untuk uji lanjut Duncan 5% memperlihatkan suhu 10°C dan suhu ruang memiliki kadar VRS yang tidak berbeda nyata setiap minggunya untuk kadar air 76%, 80% maupun 85%, berbeda dengan penyimpanan pada suhu 5°C yang memiliki kadar VRS beda nyata dengan suhu 10°C dan suhu ruang. Perbedaan kadar VRS ini disebabkan karena banyaknya kandungan sulfur dari bawang merah yang merupakan prekursor flavor dari bawang merah digunakan oleh sel untuk berkembang membentuk tunas. Dilihat dari nilai kerusakan tertinggi untuk umbi tunas terjadi pada suhu 10°C dan suhu ruang, sehingga penurunan kadar VRS seiring dengan tingginya tingkat munculnya tunas pada umbi. Hal ini sesuai dengan pendapat Catur (1991), bahwa prekursor flavor yaitu sulfur dapat digunakan untuk aktifitas metabolisme dan pertumbuhan tunas sehingga jumlahnya menurun dan menyebabkan penurunan produksi flavor. Sehingga penyimpanan pada suhu 10°C dan suhu ruang tidak dapat menghambat penurunan kadar VRS selama penyimpanan.

Gambar 3 Perubahan volatile reducing substance selama penyimpanan pada berbagai perlakuan kadar air awal dan suhu penyimpanan

Penurunan kadar VRS dari bawang merah dipengaruhi pula oleh rusaknya jaringan dari bawang merah selama penyimpanan. Terlihat dari data kerusakan untuk umbi busuk, umbi bawang merah yang disimpan pada suhu 10°C dan suhu ruang memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan pada suhu 5°C. Umbi yang busuk ini menyebabkan rusaknya jaringan sel pada bawang merah sehingga senyawa-senyawa yang yang berpotensi sebagai penghasil flavor pada bawang merah menguap dan dilepaskan ke udara sehingga jumlahnya semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno dan Koswara (2002) bahwa kerusakan jaringan pada bawang merah dapat menyebabkan enzim allinase bereaksi dengan senyawa S-(1-propenil)-L-sistein sulfoksida yang merupakan turunan dari sulfur menghasilkan zat yang bersifat tidak stabil sehingga mudah utuk menguap dan dilepaskan ke udara.

Penurunan kadar VRS dari umbi dapat dihubungkan dengan timbulnya kerusakan dan busuk yang terjadi pada umbi bawang merah sesuai dengan SNI 01-3159-1992 (Tabel 1). Pada syarat SNI disebutkan untuk mutu I syarat kerusakan maks.5% dan mutu II

VRS

Eq

/g

)

Lama Penyimpanan (minggu ke-)

KA 76,S 5 KA 76,S 10

KA 76,S RUANG KA 80,S 5

KA 80,S 10 KA 80,SR

KA 85,S 5 KA 85,S 10


(33)

maks.8%. Terlihat dari beberapa perlakuan pada penelitian, perlakuan kadar air awal 80% suhu 5°C dan suhu ruang, serta kadar air awal 85% untuk suhu 5 dan suhu ruang memiliki nilai kerusakan (tunas dan hampa) yang memenuhi syarat mutu I yaitu maks.5%, sedangkan kadar air 76% suhu 5°C masuk mutu II yaitu maks.8%.

Penurunan kadar VRS dari umbi juga disebabkan karena umbi busuk yang terjadi selama penyimpanan. Pada syarat SNI (Tabel 1) disebutkan untuk mutu I syarat busuk maks.1% dan mutu II maks.2%. Dari uraian tersebut, perlakuan kadar air 76%, 80% dan 85% suhu 10°C tidak masuk dalam syarat SNI mutu I dan mutu II untuk karakteristik umbi yang mengalami kerusakan dan busuk karena memiliki nilai umbi busuk yang tinggi. Namun nilai yang tertinggi dari kedua karakteristik tersebut terjadi pada perlakuan kadar air 76% suhu 10°C dengan nilai kerusakan sebesar 34,81% dan busuk sebesar 2,74%. Dibandingkan dengan kadar VRS terlihat pada perlakuan tersebut juga memiliki kadar VRS yang terrendah yaitu sebesar 18,32µEq/g. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat kerusakan yang terjadi dari umbi selama penyimpanan maka kadar VRS semakin rendah pula.

Tabel 4 Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap perubahan kadar VRS pada bawang merah selama penyimpanan

aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

DMRT

Analisis ragam pada Lampiran 14 memperlihatkan bahwa perlakuan kadar air dan perlakuan suhu memberikan pengaruh nyata (p<0,05) pada minggu ke-6 hingga minggu ke-12 terhadap perubahan kadar VRS. Selama penyimpanan, penurunan kadar VRS yang tertinggi terjadi pada penyimpanan dengan suhu 10°C kadar air awal 85% dan terrendah pada penyimpanan dengan suhu 5°C kadar air awal 80%. Hal ini disebabkan karena dengan tingginya kadar air untuk penyimpanan umbi bawang merah menyebabkan komponen dari aroma bawang merah akan berkurang. Sesuai dengan pendapat White et al. (2006), bahwa ketersediaan air dalam umbi bawang merah merupakan faktor dalam meentukan banyaknya kadar flavour selama penyimpanan. Semakin banyak kandungan air maka semakin berkurang kepekatan komponen rasa dan aroma dari bawang merah. Berbeda dengan penyimpanan pada suhu 76%, kadar VRS hingga akhir penyimpanan mengalami penurunan yang tidak berbeda dengan kadar air 85%. Hal ini diduga karena semakin tingginya tingkat pertunasan yang terjadi hingga akhir penyimpanan, sehingga komponen sulfur yang merupakan indikator pembentuk aroma dari bawang merah mengalami penurunan yang tinggi selama penyimpanan.


(34)

Tingkat Kerusakan

Gambar 9 memperlihatkan perlakuan kadar air awal 76% baik pada suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang mengalami peningkatan kerusakan hingga akhir penyimpanan. Namun pada suhu 10°C, tingkat kerusakan yang terjadi lebih tinggi hingga akhir penyimpanan dibandingkan penyimpanan pada suhu lainnya. Hingga akhir penyimpanan, tingkat kerusakan yang terjadi pada suhu 10°C pada minggu ke-12 sebesar 33.92%, sedangkan pada suhu 5°C dan suhu ruang masing-masing sebesar 11.3% dan 21.75%.

Perlakuan kadar air awal 80% baik pada suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang mengalami peningkatan kerusakan hingga akhir penyimpanan. Tingkat kerusakan yang terjadi pada suhu 10°C lebih tinggi hingga akhir penyimpanan dibandingkan penyimpanan pada suhu lainnya. Hingga akhir penyimpanan, tingkat kerusakan yang terjadi pada suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang masing-masing sebesar 1.71%, 18.45% dan 6.15%.

Tingkat kerusakan yang terjadi pada perlakuan kadar air awal 76%, mengalami perubahan yang sama dengan penyimpanan pada kadar air awal 85%, baik pada suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang yang mengalami peningkatan kerusakan hingga akhir penyimpanan. Namun pada suhu 10°C, tingkat kerusakan yang terjadi lebih tinggi hingga akhir penyimpanan dibandingkan penyimpanan pada suhu lainnya. Hingga akhir penyimpanan, tingkat kerusakan yang terjadi pada suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang masing-masing sebesar 3.02%, 20.82% dan 7.48%.

Penyimpanan bawang merah pada kadar air awal 76% suhu 10°C, memperlihatkan tingkat kerusakan yang jauh lebih tinggi sebesar 35.55%, dibandingkan pada kadar air 80% dan 85% masing-masing memiliki nilai 18.45% dan 20.82%. Tingginya kerusakan ini diduga disebabkan karena lebih lamanya waktu penyimpanan pada kadar air 76% dibandingkan kadar air lainnya. Hal ini disebabkan lebih lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 76% yaitu 1 bulan atau 30 hari, kemudian dilanjutkan dengan penyimpanan selama 3 bulan atau 12 minggu. Berbeda halnya dengan kadar air 80% yang dapat dicapai hanya selama 7 hari sedangkan kadar 85% dicapai selama 2 hari.

Kerusakan pada bawang merah selama penyimpanan meliputi umbi busuk jamur, umbi hampa dan umbi yang mengalami pertunasan. Pada suhu 10°C, memiliki tingkat kerusakan yang tertinggi dibandingkan suhu 5°C dan suhu ruang. Kerusakan yang timbul pada suhu ini adalah tumbuhnya tunas selama penyimpanan yang terus meningkat hingga akhir penyimpanan, baik untuk kadarair awal 76%, 80% dan 85% yang masing-masing mencapai 31.69%, 17.49% dan 16.42%. Tingginya tingkat pertumbuhan tunas pada suhu ini disebabkan karena adanya aktifitas enzim dan hormon giberelin didalam sel yang menimbulkan terjadinya pertumbuhan tunas selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Jasmi et al. (2013), bahwa aktifitas enzim-enzim dan hormon giberelin yang menyebabkan terjadinya perubahan penampilan dan kenampakan serta mematahkan dormansi yang menyebabkan pertunasan selama penyimpanan.


(35)

Gambar 4 Perubahan tingkat kerusakan bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan kadar air awal dan suhu penyimpanan

Kerusakan umbi busuk dan hampa banyak terjadi pada suhu ruang. Untuk umbi busuk jamur, penyimpanan bawang merah pada kadar air awal 76% memiliki tingkat kerusakan pada suhu ruang lebih tinggi yaitu sebesar 4.24%, dibandingkan suhu 5°C dan 10°C masing-masing 1.64% dan 2.74%. Sedangkan pada penyimpanan untuk kadar air awal 85% memiliki tingkat kerusakan umbi busuk jamur untuk suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang yang masing-masing memiliki nilai masing-masing 2.91%, 4.27% dan 4.97%. Berbeda dengan penyimpanan pada kadar air awal 80%, untuk suhu 5°C memiliki nilai 0.19% sedangkan untuk suhu 10°C dan suhu ruang masing-masing 0.87% dan 2.24%. Terlihat bahwa suhu ruang lebih memicu terjadinya kerusakan umbi busuk/jamur pada bawang merah selama penyimpanan dibandingkan suhu dingin. Hal ini disebabkan karena tingginya tingkat pertumbuhan mikroba pada suhu ruang yang menimbulkan busuk jamur pada bawang merah. Penyakit busuk jamur pada bawang merah disebabkan oleh A.niger dan cendawan fusarium berupa miselia hitam pada permukaan umbi. A.niger

dan cendawan fusarium berkembang cepat pada kondisi hangat. Sesuai dengan pendapat Nugraha et al. (2012) bahwa kerusakan busuk dan jamur pada bawang merah disebabkan oleh Penicillium spp., Aspergillus spp., Botrytis spp., Fusarium spp., Pseudomonas spp., dan Erwinia spp yang berkembang dengan cepat karena terlalu tingginya suhu dan kelembaban selama penyimpanan.

Umbi hampa juga merupakan salah satu jenis kerusakan yang timbul selama penyimpanan bawang merah. Hingga akhir penyimpanan, umbi hampa banyak terjadi pada suhu ruang baik untuk kadar air awal 76%, 80% dan 85% dengan nilai masing-masing 1.83%, 1.29% dan 1.18%. Sedangkan pada suhu 5°C untuk kadar air awal 76%, 80% dan 85% masing-masing mencapai 0%, 0.17% dan 0%. Berbeda untuk suhu 10°C masing-masing untuk kadar air awal 76%, 80% dan 85% yaitu 1.12%, 0.09% dan 0.14%. Hal ini membuktikan bahwa suhu ruang tidak mampu menahan timbulnya kerusakan berupa umbi hampa. Pada suhu ruang, penguapan yang berlebih terus terjadi hingga akhir penyimpanan karena tingginya suhu yang pada ruang penyimpanan menyebabkan tingkat umbi hampa banyak terjadi di suhu ruang. Sesuai dengan pendapat Nugraha et al. (2012) bahwa peningkatan jumlah umbi bawang merah yang hampa dan kering karena tingginya

T

in

g

k

a

t

K

erus

a

k

a

n

(

%)

Lama Penyimpanan (Minggu Ke-)

KA 76,S 5 KA 76,S 10 KA 76,S RUANG KA 80,S 5 KA 80,S 10 KA 80,S RUANG KA 85,S 5 KA 85,S 10 KA 85,S RUANG


(36)

penggunaan suhu yang menyebabkan terjadinya penguapan yang berlebih pada umbi bawang merah.

Penyimpanan umbi bawang merah yang disimpan pada suhu 10°C baik untuk kadar air awal 76%, 80% dan 85% memiliki bentuk yang semakin lama umbi bawang merah semakin mengecil dan pengekeriputan disertai dengan tumbuhnya tunas yang semakin besar dan panjang, yang dimana pada awal penyimpanan umbi bawang merah masih bulat mengkilat dan keras. Perubahan ini diduga karena penyimpanan pada suhu 10°C tidak mampu menekan terjadinya proses repirasi dan transpirasi serta pertumbuhan bagian baru dari umbi, sehingga energi yang terdapat dalam umbi semakin berkurang yang menyebabkan ukuran dari umbi semakin lama semakin mengecil. Selain itu perubahan ukuran umbi juga dipicu karena kehilangan air dari dalam umbi. Hal ini didukung oleh pendapat Kader (2001) bahwa terjadinya susut bobot disebabkan hilangnya air dalam buah dan adanya respirasi yang mengubah gula menjadi CO2 dan H2O. Terjadinya penurunan berat pada buah dikarenakan kehilangan air dalam buah (Prohens et al. 1996). Proses pertumbuhan tunas akan mengurangi nutrisi yang terkandung pada umbi bawang putih, karena sebagian nutrisi terserap atau dibutuhkan untuk pertumbuhan tunas (Denelia 1995).

Tabel 5 Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap perubahan kerusakan pada bawang merah selama penyimpanan

aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

DMRT

Hasil pengamatan umbi bawang merah yang mengalami kerusakan selama penyimpanan selengkapnya ditampilkan pada Gambar 9 dan Tabel 9. Dari hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) dapat diketahui bahwa baik kadar air maupun suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kerusakan umbi. Penyimpanan bawang merah pada kadar air awal 80% memperlihatkan lebih mampu menghambat tingkat kerusakan dibandingkan kadar perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena kadar air awal 80% merupakan kadar air optimum untuk penyimpanan bawang merah, sehingga pada kadar air tersebut tingkat kerusakan yang terjadi sangat rendah. Tingkat kerusakan pada bawang merah sangat dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan meliputi suhu, RH dan kadar air yang merupakan faktor meningkatnya reaksi yang menyebabkan terjadinya kemunduran mutu mutu dari umbi bawang merah selama penyimpanan. Namun berbeda dengan penyimpanan pada kadar air awal 76% memperlihatkan tingkat kerusakan yang tertinggi. Hal ini diduga karena kadar air tersebut melewati kadar air optimum yang menyebabkan terjadinya kemunduran mutu selama


(37)

penyimpanan meliputi tingginya tingkat kerusakan. Selain itu, untuk mencapai kadar air awal 76% memerlukan proses pengeringan lama yang menyebabkan bawang merah terpapar panas dalam waktu yang lama sehingga kemunduran mutu dapat terjadi selama penyimpanan.

Hasil uji lanjut dengan menggunakan Duncan pada taraf nyata 5% (Tabel 9) memperlihatkan bahwa perubahan tingkat kerusakan pada bawang merah berbeda nyata setiap minggu untuk setiap perlakuan. Selama penyimpanan, perlakuan suhu 5°C dengan kadar air 80% memiliki nilai kerusakan yang terendah dan berbeda nyata, sehingga perlakuan ini mampu dalam menghambat timbulnya kerusakan hingga akhir penyimpanan yang hanya mencapai 1.71% dibandingkan perlakuan lainnya.

Kekerasan

Gambar 10 merupakan perubahan kekerasan bawang merah selama penyimpanan dengan berbagai perlakuan. Dari grafik terlihat terjadinya fluktuasi kekerasan pada umbi bawang merah setiap minggu selama penyimpanan. Penurunan kekerasan akan terlihat apabila membandingkan kekerasan pada umbi bawang merah saat awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan. Sehingga semakin lama waktu penyimpanan maka tingkat kekerasan bawang merah akan mengalami penurunan.

Penyimpanan pada kadar air awal 76% suhu 5°C, memiliki nilai kekerasan sebesar 4.36 N menurun hingga akhir penyimpanan menjadi 3.35 N. Berbeda dengan suhu 10°C, memiliki nilai kekerasan yaitu 4.29 N menjadi 2.96 N sedangkan pada suhu ruang memiliki nilai kekerasan sebesar 4,25 N menjadi 2.92 N. Pada suhu 5°C, nilai kekerasan dengan kadar air awal 80% sebesar 4.508 N menjadi 3.493 N, untuk suhu 10°C sebesar 3.778 N menjadi 3.083 N sedangkan pada suhu ruang 3.97 N menurun menjadi 2.913 N. Berbeda untuk penyimpanan dengan kadar air awal 85%, untuk penyimpanan pada suhu 5°C memiliki nilai kekerasan sebesar 4.227 N menjadi 3.253 N. Penyimpanan pada suhu 10°C dengan kadar air awal 85% memiliki nilai kekerasan sebesar 4.04 N menurunan hingga kahir penyimpanan menjadi 3.16 N, sedangkan untuk suhu ruang memiliki nilai kekerasan 3.987 N menjadi 2.843 N pada akhir penyimpanan.

Penurunan kekerasan cenderung terjadi karena berkaitan dengan penurunan kadar air. Dapat dilihat dari penurunan kadar air seiring dengan penurunan kekerasan yang terjadi selama penyimpanan. Gambar 10 memperlihatkan bawang merah yang disimpan pada suhu 5°C dengan kadar air awal 76%, 80% dan 85% cenderung lebih mampu mempertahankan kekerasannya hingga akhir penyimpanan, penurunan kekerasan ini berkaitan dengan penurunan kadar air pada penyimpanan tersebut cenderung lebih lambat. Hal yang sama terjadi pada penyimpanan suhu 10°C, juga mengalami penurunan kekerasan yang sangat kecil. Hal ini membuktikan bahwa penyimpanan pada suhu rendah mampu mempertahankan kekerasan bawang merah selama penyimpanan.


(38)

Gambar 5 Perubahan tingkat kekerasan bawang merah selama penyimpanan pada berbagai perlakuan kadar air awal dan suhu penyimpanan

Hingga akhir penyimpanan, kekerasan mengalami penurunan untuk seluruh perlakuan baik untuk kadar air awal 76%, 80% dan 85% serta suhu 5°C, 10°C dan suhu ruang. Hal ini disebabkan karena propektin yang tidak larut berubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal ini sesuai dengan pendapat Surhaini dan Indriyani (2009), bahwa perubahan tekstur pada bahan pangan disebabkan oleh aktifitas enzim pektin metilesterasi

dan poligalakturasi yang merombak senyawa pektin yang tidak larut dalam air (protopektin) menjadi senyawa pektin yang larut dalam air sehingga tekstur menjadi menurun. Selama penyimpanan, kekerasan juga dipengaruhi oleh melemahnya dinding sel hingga akhir penyimpanan. Hal ini ditandai dengan menurunnya tingkat kekerasan untuk semua perlakuan hingga akhir penyimpanan.

Hasil uji lanjut dengan Duncan taraf 5% pada Tabel 10, menunjukkan berbagai perlakuan yang tidak berbeda nyata untuk nilai kekerasan selama penyimpanan. Hasil analisis ragam (Lampiran 12) memperlihatkan bahwa suhu memberikan pengaruh yang nyata pada kekerasan minggu ke-6 hingga minggu ke-12. Hal ini memperihatkan selama penyimpanan, suhu lebih memberikan pengaruh terhadap perubahan kekerasan selama penyimapanan. Selama penyimpanan, bawang merah yang disimpan pada suhu 5°C dengan kadar air awal 80% mampu mempertahankan kekerasan hingga akhir penyimpanan.

T

ing

k

a

t

K

ek

er

a

sa

n

(New

to

n)

Lama Penyimpanan (Minggu Ke-)

KA 76,S 5 KA 76,S 10 KA 76,S RUANG

KA 80,S 5 KA 80,S 10 KA 80,SR


(39)

Tabel 6 Pengaruh interaksi kadar air awal dan suhu penyimpanan terhadap perubahan kekerasan pada bawang merah selama penyimpanan

aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji


(1)

12

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.SR KA 80.S 5 KA 80.S 10 KA 80.SR KA 85.S 5 KA 85.S 10 KA 85.SR 16.9 0 31.1 0 0.71 0 0 0 3.52 43.29 132.9 109.4 3.02 89.31 34.62 0 92.87 25.73 0 52.43 0 0 0 0 0 0 2.21 29.6 19.2 28.2 0 4.5 0 0 8.24 0 51.19 160.0 94.67 12.11 82.67 66.48 0 109.0 21.17 0 0 14.9 0 0.72 0 0 0 0 0.11 0.34 0.21 0.01 0.18 0.06 0.03 0.21 0.07 11.30 33.92 21.75 1.71 18.45 6.15 3.02 20.82 7.48

Lampiran 12 Hasil Analisis Sidik Ragam Tingkat Kerusakan Selama enyimpanan Minggu Ke- Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat

Tengah F-hitung Peluang 2 Kadar air Suhu Interaksi 2 2 4 3.1724 8.0599 2.0347 3.1724 4.0299 1.0173 19.88 25.25 6.37 0.004 0.001 0.003 4 Kadar air Suhu Interaksi 2 2 4 9.3810 2.0763 1.3717 9.3810 1.0381 0.6858 44.51 4.93 3.25 0.001 0.050 0.110 6 Kadar air Suhu Interaksi 2 2 4 1.6725 27.082 7.0506 1.6725 13.541 3.5253 10.59 85.71 22.31 0.004 0.000 0.002 8 Kadar air Suhu Interaksi 2 2 4 0.0073 99.801 0.0655 0.0065 49.900 0.0323 0.05 409.75 0.26 0.005 0.000 0.776 10 Kadar air Suhu Interaksi 2 2 4 1.4773 113.58 5.3222 1.4770 56.790 2.6612 11.92 458.27 21.47 0.004 0.000 0.002 12 Kadar air Suhu Interaksi 2 2 4 0.1874 119.61 4.5343 0.1875 59.809 2.2670 0.26 82.27 3.12 0.000 0.000 0.001 Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05), dan berpengaruh nyata (p<0,05) Lampiran 13 Tabel pengukuran dan perhitungan VRS umbi bawang merah selama

penyimpanan tiap perlakuan

Minggu ke- Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Nilai VRS (µEq/g)

0

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

24.372 24.372 24.372 25.877 25.877 25.877 29.152 29.152 29.152 23.528 23.528 23.528 26.921 26.921 26.921 29.075 29.075 29.075 23.949 23.949 23.949 26.399 26.399 26.399 29.114 29.114 29.114 2

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

23.876 23.480 25.336 27.897 23.909 23.813 25.334 27.460 23.893 23.647 25.335 27.679


(2)

2

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

26.315 28.226 25.628 27.297 26.703

27.693 30.310 28.631 27.466 27.125

27.004 29.268 27.129 27.376 26.914

4

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

22.358 21.369 24.492 27.393 25.698 26.592 27.884 28.872 27.307

23.656 23.137 23.308 26.777 26.547 26.167 26.893 26.813 29.153

23.007 22.253 23.900 27.081 26.122 26.379 26.951 26.670 28.342

6

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

22.215 21.637 22.334 26.572 25.666 25.738 26.164 24.038 24.873

22.348 21.100 23.394 26.558 25.229 25.682 26.179 24.494 24.913

22.282 21.369 22.864 26.565 25.448 25.709 26.172 24.266 24.893

8

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

21.753 19.542 22.445 26.283 26.132 26.449 25.661 23.569 24.909

21.085 19.543 23.479 26.491 25.223 26.609 25.353 22.751 24.849

21.419 19.542 22.962 26.387 25.678 26.529 25.507 23.159 24.879

10

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

20.370 19.003 20.359 25.605 22.779 24.737 23.682 20.273 20.809

20.101 19.085 19.652 25.241 23.525 25.091 24.122 20.969 21.074

20.236 19.045 20.006 25.423 23.152 24.914 23.902 20.621 20.941

12

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10

KA 80.S RUANG

19.449 17.961 18.793 23.656 21.115 21.598

19.419 18.682 18.882 23.060 19.401 21.140

19.434 18.321 18.838 23.358 20.258 21.369


(3)

12

KA 85.S 5 KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

21.871 19.104 18.747

21.812 18.592 18.289

21.841 18.84 18.518 Lampiran 14 Hasil Analisis Sidik Ragam VRS Selama Penyimpanan

Minggu Ke-

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F-hitung Peluang 2

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

2.1252 3.0953 2.5516

2.1252 1.5476 1.2758

1.63 1.19 0.98

0.249 0.368 0.428 4

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

10.249 0.0496 0.2775

10.249 0.0248 0.1388

17.29 0.04 0.23

0.006 0.052 0.798 6

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

2.0750 5.0838 0.3965

2.0750 2.5419 0.1982

94.79 116.11 9.06

0.000 0.000 0.000 8

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

11.407 7.7272 0.4794

11.407 3.8636 0.2397

74.50 25.23 1.57

0.000 0.001 0.284 10

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

26.492 21.595 1.5172

26.492 10.797 0.7586

211.98 86.40 6.07

0.000 0.000 0.036 12

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

28.366 52.237 1.8654

28.366 26.118 0.9327

86.40 79.55 2.84

0.000 0.000 0.136 Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05), dan berpengaruh nyata (p<0,05) Lampiran 15 Tabel pengukuran dan perhitungan kekerasan umbi bawang merah

selama penyimpanan tiap perlakuan Minggu ke- Perlakuan Ulangan 1

(N)

Ulangan 2 (N)

Nilai Kekerasan (N)

0

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

4.52 4.47 4.53 4.05 3.99 4.01 4.02 4.11 3.97

4.31 4.51 4.39 3.98 4.04 4.03 4 3.81 4.01

4.42 4.49 4.46 4.02 4.02 4.02 4.01 3.96 3.99

2

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

4.43 4.36 4.44 3.73 3.69 3.76 4.07

4.29 4.22 4.07 4.27 3.65 3.69 3.87

4.36 4.29 4.25 4.00 3.67 3.73 3.97


(4)

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

4.07 3.76

4.01 3.67

4.04 3.71

4

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

4.22 4.29 4.06 3.97 3.79 3.63 3.75 3.94 4.10

4.38 4.06 3.99 3.69 3.54 5.72 3.92 3.74 3.87

4.3 4.18 4.03 3.83 3.67 3.68 3.84 3.84 3.99

6

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

4.23 4.10 3.93 4.16 3.8 3.67 3.94 4 3.63

4.20 3.99 3.83 4.28 3.27 3.87 4.20 3.8 3.69

4.22 4.05 3.88 4.22 3.53 3.77 4.07 3.9 3.66

8

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

4.11 3.71 3.90 4.12 3.73 4.58 4.10 3.67 3.49

4.03 3.99 3.93 4.24 3.82 3.37 4.02 3.68 3.63

4.07 3.85 3.91 4.18 3.78 3.98 4.06 3.67 3.56

10

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

3.93 3.21 3.33 3.76 3.09 3.29 3.98 3.14 3.23

3.75 3.58 3.36 4.21 3.69 3.77 3.79 3.60 3.36

3.84 3.39 3.35 3.99 3.39 3.53 3.89 3.37 3.29

12

KA 76.S 5 KA 76.S 10 KA 76.S RUANG KA 80.S 5

KA 80.S 10 KA 80.S RUANG KA 85.S 5

KA 85.S 10 KA 85.S RUANG

3.32 3.05 2.92 3.53 2.94 2.89 3.27 3.19 3.12

3.37 2.86 2.91 3.45 3.23 2.94 3.23 3.13 2.86

3.35 2.96 2.92 3.49 3.08 2.91 3.25 3.16 2.84


(5)

Minggu Ke-

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F-hitung Peluang 2

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

0.601 0.409 0.204

0.301 0.205 0.051

4.90 3.34 0.83

0.086 0.082 0.538 4

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

0.591 0.142 0.045

0.295 0.071 0.011

14.2 3.44 0.55

0.028 0.205 0.803 6

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

0.053 1.070 0.387

0.027 0.535 0.097

0.87 17.4 3.14

0.933 0.004 0.154 8

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

0.155 0.763 0.177

0.077 0.382 0.044

0.84 4.12 0.48

0.321 0.005 0.819 10

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

0.052 1.078 0.034

0.026 0.539 0.009

0.38 7.85 0.12

0.519 0.005 0.872 12

Kadar air Suhu Interaksi

2 2 4

0.019 0.705 0.050

0.009 0.353 0.012

1.09 40.3 1.44

0.429 0.001 0.378 Keterangan : Tidak berpengaruh nyata (p>0,05), dan berpengaruh nyata (p<0,05) Lampiran 17 Gambar kerusakan umbi bawang merah

Gambar 1 Kerusakan Tunas

Gambar 2 Kerusakan Hampa


(6)

RIWAYAT HIDUP

A.Khairun Mutia dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 4 Agustus 1988. Anak keempat dari enam bersaudara, buah hati dari Andi Jamaluddin Syam dan Alm.Andi Herawaty. Tahun 2006, penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Makassar. Kemudian pada tahun yang sama, penulis menempuh pendidikan tinggi di Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Sarjana Teknologi Pertanian (S.TP) diperoleh pada tahun 2010 dengan judul skripsi “Studi Pembuatan Otak-otak dengan Bahan Baku berbagai jenis ikan terhadap pengaruh Mutu Organoleptik”.

Pada September 2012, penulis diterima di sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Teknologi Pascapanen, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada penyelesaian tugas akhir, penulis menyelesaikan karya ilmiah tesis dengan judul “Penyimpanan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) pada Suhu Rendah dan Tingkat Kadar Air Awal yang berbeda”.