Korelasi Off-Flavor Dengan Morfologi Buah Dari Beberapa Varietas Pepaya (Carica Papaya L.)

KORELASI OFF-FLAVOR DENGAN MORFOLOGI BUAH
DARI BEBERAPA VARIETAS PEPAYA (Carica papaya L.)

ANNISA KAMIL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Korelasi Off-flavor dengan
Morfologi Buah dari Beberapa Varietas Pepaya (Carica papaya L.) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Oktober 2015
Annisa Kamil
NIM F251114051

RINGKASAN
ANNISA KAMIL. Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa
Varietas Pepaya (Carica papaya L.). Dibimbing oleh CHRISTOFORA HANNY
WIJAYA, SOBIR, dan DEDE ROBIATUL ADAWIYAH.
Off-flavor yang secara alami terdapat pada buah pepaya dapat menurunkan
preferensi dan tingkat penerimaan konsumen. Hasil pengembangan varietasvarietas pepaya koleksi Pusat Kajian Hortikultura Tropis Institut Pertanian Bogor
(PKHT-IPB) menunjukkan bahwa buah dengan bentuk kecil dan bulat memiliki
intensitas off-flavor yang lebih kuat. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh
korelasi antara karakteristik off-flavor; baik sensori maupun senyawa volatil; yang
secara alami dimiliki buah pepaya Carisya, Callina, Sukma, Burung, Merah Delima,
dan Bangkok dengan morfologi buah pepaya. Penelitian meliputi deskripsi
morfologi, deskripsi off-flavor menggunakan analisis deskriptif kuantitatif (QDA),
semikuantifikasi senyawa volatil yang diduga menyebabkan off-flavor
menggunakan metode ekstraksi headspace HS-SPME dan instrumen GC-MS,
selanjutnya dilakukan analisis korelasi antara karakteristik off-flavor dengan

morfologi buah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi off-flavor pada buah pepaya
paling dipengaruhi oleh adanya stinky-sour odor. Stinky-sour odor memiliki
korelasi positif dengan senyawa asam butanoat (r = 0,879) dan asam oktanoat (r =
0,876). Adanya asam oktanoat diduga mampu berinteraksi dengan asam butanoat
untuk memberikan persepsi stinky-sour odor pada buah pepaya. Asam oktanoat
memiliki korelasi negatif terhadap karakteristik morfologi buah, yaitu berat (r = 0,871), panjang (r = -0,830), dan warna kulit buah saat matang (r = -0,911). Hasil
korelasi stinky-sour odor berkorelasi negatif dengan berat (r = -0,836), panjang (r
= -0,873), tebal daging (r = -0,887), dan warna kulit buah saat matang (r = -0,838).
Konsentrasi asam oktanoat yang tinggi dan karakter stinky-sour odor yang kuat
berkaitan erat dengan karakteristik morfologi varietas buah pepaya yang memiliki
berat buah tipe kecil (600 gram atau kurang), ukuran buah yang pendek (panjang
16,5 cm atau kurang), daging buah yang tipis (ketebalan kurang dari 3 cm) serta
warna kulit varietas buah yang cenderung jingga pada saat matang. Konsentrasi
asam butanoat dan asam oktanoat yang paling tinggi, serta karakter stinky-sour odor
yang paling kuat dimiliki oleh pepaya Burung dan Carisya. Fenomena korelasi ini
dapat digunakan sebagai indikator dalam pemilihan buah pepaya di pasar maupun
kriteria seleksi dalam dalam pengembangan varietas unggul, yaitu varietas buah
pepaya dengan berat tipe sedang (601-1.600 gram), memiliki daging yang tebal
(lebih dari 3 cm) serta kulit matang berwarna kuning.

Kata kunci: buah pepaya, korelasi, morfologi, off-flavor

SUMMARY
ANNISA KAMIL. Correlation between Off-flavor and Fruit Morphology of Some
Papaya (Carica papaya L.) Varieties. Supervised by CHRISTOFORA HANNY
WIJAYA, SOBIR, and DEDE ROBIATUL ADAWIYAH.
Off-flavor which is naturally present in papaya fruit might decrease the
consumer preferences and acceptance. Based on the monitoring result upon papaya
varieties developed by the Centre for Tropical Horticulture Study collections at
Bogor Agricultural University (CENTROHS-IPB), fruit with small and round
shape showed stronger off-flavor intensity. This study aimed to obtain the
correlation between off-flavor characteristics; both sensory and volatile
compounds; that naturally present in Carisya, Callina, Sukma, Burung, Merah
Delima, Bangkok papayas and fruit morphology. The study was consisting of
morphology description, off-flavor description using quantitative descriptive
analysis (QDA), semiquantification of volatile compounds that suspected led offflavor perception using HS-SPME extraction method and GC-MS instrument, then
correlating off-flavor characterizations with fruit morphology.
The off-flavor perception of papaya fruit was dominated by stinky-sour odor.
Stinky-sour odor had positive correlationship to butanoic acid (r = 0,879) and
octanoic acid (r = 0,876). The presence of octanoic acid suspected of being able to

interact with butanoic acid to give the perception of stinky-sour odor in the papaya
fruit. Octanoic acid had negative correlationship to fruit morphological characters
such as weight (r = -0,871), length (r = -0,830), and ripe skin color (r = -0,911).
Stinky-sour odor had negative correlationship to weight (r = -0,836), length (r = 0,873), flesh thickness (r = -0,887), and ripe skin color (r = -0,838). High
concentration of octanoic acid and strong stinky-sour odor intensity was closely
related to the small type of fruit weight (600 g or less), short size fruit (16,5 cm of
length or less), thin flesh (thickness less than 3 cm), and papaya fruit variety with
orangish ripe skin color. Butanoic acid and octanoic acid concentration as well as
stinky-sour odor was most dominant present in Burung and Carisya papayas. This
correlation phenomena can be utilized as a recommendation indicators in the
selection process of papaya fruits in the marketplace or field selection criteria to
develop new superior papaya varieties, i.e. papaya fruit variety with medium
weight-type (601-1.600 g), flesh thickness more than 3 cm and yellowish ripe skin
color.
Keywords: correlation, morphology, off-flavor, papaya fruit

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KORELASI OFF-FLAVOR DENGAN MORFOLOGI BUAH
DARI BEBERAPA VARIETAS PEPAYA (Carica papaya L.)

ANNISA KAMIL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi

Judul Tesis : Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa Varietas
Pepaya (Carica papaya L.)
Nama
: Annisa Kamil
NIM
: F251114051

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 hingga September 2015 ini
ialah flavor, dengan judul Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa
Jenis Pepaya (Carica papaya L.). Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW. Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari doa dan bantuan
banyak pihak. Oleh karena itu, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Ibu Prof Dr Ir Christofora Hanny Wijaya, MAgr selaku dosen ketua komisi

pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
bantuan, serta nasihat kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan
penyelesaian tugas akhir.
2. Bapak Prof Dr Ir Sobir, MSi selaku dosen anggota komisi pembimbing yang
senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan
bantuan serta nasehat selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan
tugas akhir.
3. Ibu Dr Ir Dede Robiatul Adawiyah, MSi selaku dosen anggota komisi pembimbing
yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan
bantuan serta nasehat selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan
tugas akhir.
4. Ibu Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi atas kesediaannya untuk menjadi dosen
penguji.
5. Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Ibu Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku ketua Program Studi Ilmu
Pangan IPB.
7. Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT-IPB) atas bantuan moril dan materiil
yang diberikan kepada penulis selama penelitian di pascasarjana IPB.
8. Bapak Kusuma Darma, SP, MSi beserta Bapak Awang dan Bapak Baesuni dari
PKHT-IPB, Bapak Ukat, Bapak Ook, dan Bapak Jani yang telah membantu selama

penyediaan sampel dan memberikan saran selama di lapangan.
9. Bapak Ir Bram Kusbiantoro, MSc dan Mbak Desi Arofah, STP dari Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) atas saran dan nasihatnya selama penulis
melakukan penelitian.
10. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah
membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan senantiasa
bermanfaat.
11. Seluruh teknisi dan laboran di Laboratorium Departemen ITP atas bantuan, saran,
dan nasihatnya selama penulis melakukan penelitian.
12. Keluarga tercinta, bapak, (Almarhumah) ibu, mas, adik, beserta seluruh keluarga
atas segala perhatian, dukungan, doa, dan kasih sayangnya.
13. Teman-teman IPN dan teman-teman panelis QDA pepaya atas segala
partisipasinya sebagai panelis terlatih, kerjasama, doa, dan persahabatannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2015
Annisa Kamil

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Pepaya
Karakteristik Morfologi Buah Pepaya
Tingkat Kematangan dan Cara Pemanenan Buah Pepaya
Buah Pepaya sebagai Buah Klimakterik
Penanganan Pascapanen Buah Pepaya
Off-flavor Buah Pepaya
Analisis Off-flavor
Analisis Sensori Deskriptif Kuantitatif (QDA)
Analisis Senyawa Volatil

3
3
3
4
6
7
8

10
11
12

3 METODE
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Prosedur Analisis Data

13
13
14
14
19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
20
Deskripsi Morfologi Beberapa Varietas Buah Pepaya
20
Deskripsi Off-flavor Beberapa Varietas Buah Pepaya
21
Semikuantifikasi Senyawa Volatil Penyebab Off-flavor dan Korelasinya
terhadap Aroma Off-flavor
23
Korelasi antara Karakteristik Off-flavor terhadap Morfologi Buah Beberapa
Varietas Pepaya
26
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1 Deskripsi tingkat kematangan berdasarkan warna kulit buah pepaya
dari varietas Maradol Roja
2 Tingkat kematangn buah pepaya berbagai varietas saat puncak laju
produksi etilen
3 Senyawa yang diduga penyebab off-flavor pada buah pepaya segar
4 Konsentrasi rasa dasar dalam uji rasa dasar
5 Deskriptor aroma dalam uji identifikasi aroma
6 Konsentrasi rasa dan aroma dalam uji segitiga
7 Konsentrasi larutan R rasa dan aroma dalam pelatihan panelis
8 Konsentrasi larutan R rasa dan aroma dalam pengujian QDA
9 Morfologi buah dari beberapa jenis pepaya
10 Korelasi antara sensori off-flavor dengan konsentrasi relatif senyawa
off-flavor
11 Korelasi antara sensori dan konsentrasi relatif senyawa penyebab offflavor dengan morfologi buah pepaya

5
7
9
15
16
16
17
18
20
26
27

DAFTAR GAMBAR
1 Kenampakan visual buah pepaya utuh dan warna daging buah
2 Spider web karakter off-flavor buah pepaya varietas koleksi PKHT-IPB
3 Spider web karakter off-flavor buah pepaya pembanding varietas
koleksi PKHT-IPB
4 Grafik perbandingan konsentrasi relatif senyawa off-flavor
5 Biplot karakter sensori off-flavor dan senyawa off-flavor dari enam
sampel buah pepaya

21
22
22
24
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Kuesioner untuk seleksi awal panelis
Sesi pelatihan panelis QDA
Terminologi dan deskripsi standar referensi (R) aroma
Kuesioner pengujian QDA
ANOVA hasil analisis morfologi
Identifikasi senyawa volatil
PCA hasil analisis sensori off-flavor dan konsentrasi relatif senyawa
off-flavor

36
39
39
40
42
45
47

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Flavor merupakan keseluruhan rangsangan yang diterima oleh indera
manusia yang selanjutnya ditangkap oleh otak dan diterjemahkan sebagai persepsi
flavor; terutama rasa, aroma dan somatosensasi (sensasi iritasi, taktil dan panas)
(Reineccius 2006; Jeleń et al. 2012). Buah-buahan tropis memiliki flavor yang khas.
Flavor khas buah-buahan tropis merupakan faktor penting preferensi dan
penerimaan konsumen (Hadi et al. 2013; Wijaya dan Chen 2013).
Pada buah tropis seperti pepaya, persepsi flavor khas yang terbentuk
merupakan interaksi kompleks antara gula, asam organik, mineral dan senyawa
volatil (aroma) (Wijaya dan Chen 2013). Adanya rasa pahit (Carmen et al. 2011)
dan aroma stinky (Ulrich dan Wijaya 2010) menyebabkan tingkat penerimaan
konsumen terhadap buah pepaya menurun. Rasa dan aroma yang dapat memberikan
persepsi tidak enak disebut dengan off-flavor (Jeleń 2006, Ridgway et al. 2010).
Persepsi aroma off-flavor pada buah pepaya diduga karena kontribusi metil
butanoat (sweaty), asam butanoat (stinky-sour), asam heksanoat (stuffy-sour sweet),
asam oktanoat (cheesy-fatty), asam dekanoat (fatty-waxy) dan 2-metil butanal
(stale-green fecal) (MacLeod dan Pieris 1983; Pino et al. 2003; Ulrich dan Wijaya
2010; Pino 2014). Hingga kini masih belum diketahui secara pasti senyawa maupun
interaksi antar senyawa yang berkontribusi pada off-flavor buah pepaya (Miyazawa
et al. 2009; Chambers dan Koppel 2013).
Selain aroma yang khas, preferensi konsumen dalam membeli dan memilih
buah pepaya juga dipengaruhi oleh morfologi buah (Serry 2011; Muzdalifah 2012),
seperti ukuran, warna kulit dan warna daging buah. Preferensi terhadap ukuran buah
berbeda-beda di setiap negara. Di Eropa, preferensi konsumen mengarah pada buah
pepaya ukuran kecil atau porsi single dengan berat 300-500 g (CBI 2009; de
Oliveira dan Vitória 2011). Pada beberapa negara di Asia; seperti Indonesia
(Nasution et al. 2011), Filipina (Carmen et al. 2011) dan Malaysia (Yanty et al.
2014); preferensi konsumen mengarah pada ukuran buah pepaya sedang (600 –
1.000 g).
Untuk mengikuti tren pasar pepaya tersebut, dilakukan berbagai kegiatan
pemuliaan tanaman dalam pengembangan kualitas buah pepaya. Kualitas buah
papaya yang bersifat unggul, yaitu memiliki produktivitas tinggi, cepat berbuah,
tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta memiliki kualitas sensori yang
baik (Suketi et al. 2010a). Salah satu lembaga penelitian dan pengembangan
masyarakat yang mengkaji kualitas pepaya di Indonesia adalah Pusat Kajian
Hortikultura Tropika (PKHT)-IPB. Beberapa varietas pepaya unggul yang telah
dikembangkan oleh PKHT-IPB, diantaranya Carisya (tipe kecil), Callina (tipe
sedang), dan Sukma (tipe besar) (Suketi et al. 2010a).
Hasil pengembangan varietas buah pepaya koleksi PKHT-IPB menunjukkan
bahwa buah dengan bentuk cenderung kecil dan bulat memiliki intensitas off-flavor
yang lebih kuat (Kusuma, komunikasi pribadi). Pada hasil penelitian oleh Ulrich
dan Wijaya (2010) dikemukakan bahwa pepaya IPB-3 memiliki tingkat penerimaan
yang lebih rendah dibandingkan pepaya IPB-6C. Berdasarkan SK Pelepasan No.
2107/Kpts/SR.120/5/2010 IPB-3 telah dilepas di pasaran dengan nama dagang

2
Carisya, sedangkan IPB-6C dilepas di pasaran dengan nama dagang Sukma
menurut SK Pelepasan No. 3509/Kpts/SR.120/10/2010 (Siregar et al. 2013).
Tingkat penerimaan paling rendah terdapat pada pepaya Burung yang umumnya
memiliki bentuk bulat dan berukuran kecil. Hingga saat ini studi mengenai
karakteristik off-flavor pada buah pepaya beserta korelasinya terhadap morfologi
belum banyak dikaji. Studi tersebut diperlukan di dalam upaya peningkatan kualitas
buah pepaya untuk memperoleh varietas unggul yang dilakukan oleh pemulia
tanaman.

Perumusan Masalah
Preferensi konsumen dalam memilih buah pepaya dipengaruhi oleh
karakteristik morfologi buah dan flavor. Adanya off-flavor dapat menurunkan
tingkat penerimaan dan preferensi konsumen terhadap buah pepaya. Di lapangan,
buah pepaya yang berukuran kecil biasanya cenderung memiliki tingkat
penerimaan yang rendah. Informasi keterkaitan antara morfologi dan off-flavor
dibutuhkan dalam proses pengembangan varietas unggul buah pepaya. Penelitian
yang mengkaji korelasi antara morfologi dan off-flavor pada beberapa varietas buah
pepaya dengan tipe buah yang berbeda menjadi penting untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh korelasi antara
karakteristik off-flavor beberapa varietas pepaya koleksi PKHT-IPB (Carisya,
Callina dan Sukma) beserta pepaya lain yang memiliki bentuk dan ukuran yang
mirip dnegan varietas koleksi PKHT-IPB (varietas Merah Delima; serta pepaya
Burung dan Bangkok) terhadap morfologi buahnya. Untuk mendapatkan korelasi
tersebut dibutuhkan informasi mengenai karakteristik sensori dan senyawa volatil
yang diduga memiliki persepsi off-flavor pada buah pepaya. Penelitian ini juga
bertujuan untuk memperoleh korelasi antara senyawa off-flavor dengan
karakteristik aroma off-flavor.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai korelasi
antara off-flavor dengan morfologi buahnya, sebagai salah satu pertimbangan dalam
proses pemilihan varietas tetua yang akan dikembangkan melalui pemuliaan
tanaman agar diperoleh varietas unggul baru dengan kualitas sensori yang
diinginkan konsumen, dan dapat digunakan sebagai acuan untuk konsumen saat
memilih dan membeli buah pepaya.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Pepaya
Pepaya merupakan tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropis dan
subtropis. Tanaman pepaya mulai berbunga pada umur tanam 3-4 bulan dan
buahnya dapat dipanen 3-6 bulan setelah bunga mekar sempurna, tergantung
varietasnya (Chay-Prove et al. 2000). Buah pepaya dapat dipanen setiap 5-10 hari
sekali (Sujiprihati dan Suketi 2012). Setiap 2-3 tahun sekali dilakukan regenerasi
tanaman pepaya untuk menjaga produktivitas dan kualitas buah pepaya tetap tinggi
(Storey 1969; Workneh et al. 2012).
Tanaman (pohon) pepaya yang umumnya dibudidayakan adalah pohon
dengan bunga hermaprodit (Silva et al. 2007; Workneh et al. 2012). Pada umumnya
saat menanam benih pepaya, dalam satu lubang tanam dimasukkan 3 biji sekaligus.
Pada masa pembungaan, pohon pepaya betina diseleksi atau dibuang. Tujuan
seleksi adalah untuk memilih pohon yang sehat dengan produktivitas yang tinggi
(Sujiprihati dan Suketi 2012). Biasanya proses seleksi dilakukan saat pohon
berumur kira-kira 6 bulan setelah perkecambahan (Silva et al. 2007; Workneh et al.
2012). Beberapa keuntungan yang diperoleh dari budidaya pohon pepaya
hermaprodit, yaitu dalam satu bunga pada satu pohon terdapat alat kelamin jantan
maupun betina (bunga hermaprodit) sehingga jenis bunga ini dapat melakukan
penyerbukan sendiri, setiap bunga dapat menghasilkan buah sehingga produktivitas
lebih tinggi (Ming et al. 2007), serta memiliki kualitas komersil dunia (Workneh et
al. 2012). Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa petani pepaya di Indonesia
juga lebih memilih membudidayakan pohon pepaya hermaprodit karena mampu
menghasilkan buah yang berdaging buah lebih tebal dan rongga buah kecil,
sehingga harga jualnya lebih tinggi. Ketebalan daging buah pepaya ditentukan oleh
besarnya rongga di dalam buah, buah pepaya betina memiliki rongga yang lebih
besar dibandingkan buah hermaprodit (Paull et al. 2008). Oleh karena itu, dengan
mempertimbangkan ketersediaan buah di lapangan maka dalam penelitian ini akan
digunakan buah dari pohon pepaya hermaprodit.

Karakteristik Morfologi Buah Pepaya
Karakteristik morfologi merupakan ciri-ciri berdasarkan bentuk organ-organ
tanaman, baik secara vegetatif maupun generatif, yang sederhana, mudah diamati,
murah dan secara cepat dapat digunakan untuk mengidentifikasi varietas tanaman
di lapangan (Hadiati et al. 2009). Setiap varietas pepaya memiliki karakteristik
morfologi yang berbeda. Deskripsi karakteristik morfologi tanaman pepaya di
lapangan dapat menggunakan panduan dari International Union for The Protection
of New Varieties of Plants (UPOV 2010). Karakterisasi morfologi ini nantinya
dapat digunakan untuk perbaikan kualitas buah pepaya secara genetik melalui
kegiatan pemuliaan tanaman (Asudi et al. 2010). Secara umum, buah pepaya
dideskripsikan memiliki daging buah tebal, berwarna kekuning-kuningan hingga
jingga merah, memiliki rasa manis serta berongga di bagian tengahnya. Rongga
buah pepaya berbentuk bintang lima hingga tujuh atau lingkaran (Paull et al. 2008).

4
Bentuk buah pepaya berhubungan erat dengan jenis kelamin bunganya (Paull
et al. 2008). Bunga betina hanya dapat menjadi buah jika mengalami penyerbukan
eksternal oleh bunga jantan dari tanaman lain. Hal ini karena bunga betina tidak
memiliki benang sari. Bunga betina yang telah dibuahi dapat menghasilkan buah
dengan bentuk bulat hingga oval/seperti telur dengan tepi yang tidak rata dan
bijinya sedikit. Bunga sempurna dapat mengalami penyerbuk sendiri dan
menghasilkan buah dengan bentuk silindris hingga seperti buah pear. Peristiwa ini
tidak terjadi pada bunga jantan (masculus) yang tidak memiliki bakal buah sehingga
tidak dapat menghasilkan buah (AOGTR 2003; Paull et al. 2008).

Tingkat Kematangan dan Cara Pemanenan Buah Pepaya
Pemanenan merupakan upaya memisahkan bagian tanaman yang memiliki
nilai ekonomi dari tanaman induknya (Zulkarnain 2009). Buah-buah klimakterik
(seperti pisang dan pepaya) dapat dipanen menjelang masuk umur matang
fisiologisnya, dan diperam selama beberapa hari sebelum dijual atau dikonsumsi
dalam kondisi yang matang (Zulkarnain 2009). Menurut hasil penelitian Suketi et
al. (2010a), pemanenan buah pepaya berdasarkan persentase perubahan warna kulit
merupakan kriteria yang paling mudah diamati di lapangan dibandingkan
menggunakan kriteria umur panen setelah antesis (bunga mekar sempurna).
Warna kulit buah pepaya dipengaruhi oleh varietas dan suhu, namun tidak
secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi tanah (Basulto et al. 2009). Selain itu,
perubahan warna kulit buah pepaya dipengaruhi oleh keberadaan etilen sebagai
stimulan (Saltveit 1999; Moya-León et al. 2004). Perubahan warna kulit buah
pepaya sejalan dengan proses respirasi dan produksi etilennya (Zhang dan Paull
1990). Tingkat kematangan buah dapat berbeda-beda walaupun dalam hitungan
hari setelah antesis yang sama, sehingga kualitas buah pepaya dapat berbeda pada
umur yang sama (Suketi et al. 2010b). Maka dari itu, tingkat kematangan buah
pepaya saat panen paling baik ditentukan melalui perubahan warna kulit yang
terjadi, yaitu munculnya warna kuning dari bagian ujung buah atau di antara
geligirnya hingga pangkal buah (Basulto et al. 2009). Hal ini dilakukan agar buah
pepaya yang dipanen memiliki tingkat kematangan yang sama.
Abeywickrama et al. (2012) menyatakan bahwa tingkat kematangan untuk
pepaya ada enam, yaitu munculnya sedikit semburat kuning pada kulit buah (tingkat
I), warna kuning 25-49% (tingkat II), warna kuning 50-74% (tingkat III), warna
kuning lebih dari 75% (tingkat IV), warna kuning penuh 100% (tingkat V) dan
lewat masak (over ripe). Sobir (2009) menjelaskan lebih lanjut mengenai ciri-ciri
empat tingkat (stadia) kematangan pepaya yang utama. Buah tua (mature green)
memiliki warna kulit buah yang masih hijau, getah buah sudah banyak berkurang
dan lebih encer, daging buah sudah berubah warna tetapi masih terlalu keras untuk
dapat dikonsumsi. Buah mengkal (firm ripe) memiliki kulit buah yang mulai
menguning (terutama bagian ujung buah), warna daging buah sudah berubah tetapi
masih keras. Buah masak (ripe) memiliki kulit buah yang berwarna kuning/kuning
kemerahan, daging buah berwarna kuning/jingga/merah dan lunak, buah sudah
dapat dikonsumsi dan memiliki rasa manis, segar beraroma, segar dan berair
banyak. Buah lewat masak (over ripe) merupakan buah yang sudah terlalu masak,
beberapa bagian kulit buah menunjukkan bercak penyakit buah dan ditumbuhi

5
cendawan, daging buah sudah terlalu lunak dan tidak jarang yang memiliki rasa
pahit. Ilustrasi perubahan warna kulit dan daging buah pepaya selama periode
pematangan ditunjukkan pada Tabel 1.
Abu-Goukh et al. (2010) mengemukakan bahwa buah pepaya lebih baik
dipanen pada 5-10 hari setelah mencapai matang fisiologis, yaitu saat berat dan
ukuran buah mencapai maksimum, tekstur masih keras, berada pada awal fase
klimakterik, kandungan total padatan terlarut dan gula mulai melonjak serta
senyawa fenolik dan keasaman masih cukup rendah. Menurut Manenoi et al.
(2007), pemanenan buah biasanya dilakukan saat proporsi warna kuning pada kulit
buah minimal mencapai 25%. Jika pemetikan buah dilakukan sebelum tingkat
kematangan 25%, maka proses pemasakan buah pepaya tidak akan sempurna
karena adanya penurunan laju respirasi dan penghambatan produksi etilen pada saat
pemeraman.
Tabel 1 Deskripsi tingkat kematangan berdasarkan warna kulit buah pepaya dari
varietas Maradol Roja
Tingkat
Gambar
Deskripsi
Kematangan
- Warna kulit hijau pada seluruh
permukaan buah.
- Daging buah berwana putih dan
teksturnya sangat keras.
G
- Biji sudah terbentuk namun masih
berwarna putih atau sedikit gelap.

1

2

- Warna kulit hijau dengan sedikit
semburat kuning.
- Terdapat warna jingga pada
beberapa area daging buah.
- Daging buah masih sangat keras
dan mengandung banyak getah.
- Semburat kuning pada kulit buah
semakin jelas terlihat.
- Daging di sekitar rongga buah
berwarna jingga, sedangkan area
dekat kulit berwarna putih sedikit
kehijaun.
- Tekstur daging buah masih keras
dan mengandung banyak getah.

6

3

- Terdapat lebih dari satu semburat
kuning pada kulit buah.
- Daging buah hampir berwarna
jingga seluruhnya, kecuali area
yang paling dekat dengan kulit.
- Tekstur daging masih keras, namun
jumlah getah mulai berkurang.

4

- Warna kulit oranye dengan sedikit
area berwarna hijau yang samar.
- Daging buah berwarna jingga,
kecuali daerah pangkal buah.
- Tekstur lebih empuk dari stadia 3,
namun masih terlalu keras untuk
dikonsumsi.
- Jumlah getah sedikit.

5

6

- Kulit buah berwarna jingga (warna
khas varietas Maradol).
- Tekstur buah empuk dan sesuai
untuk konsumsi.
- Sudah tidak mengandung getah.

- Warna oranye pada kulit buah lebih
jelas daripada stadia 5.
- Tekstur buah lebih empuk dari
stadia 5, namun masih sesuai untuk
konsumsi.

Sumber: Basulto et al. (2009)

Buah Pepaya sebagai Buah Klimakterik
Buah-buahan dapat dikelompokkan berdasarkan perubahan relatif pada
aktivitas respirasi di dalam jaringan buahnya, yaitu buah klimakterik dan nonklimakterik (Zulkarnain 2009). Buah pepaya merupakan buah klimakterik.
Klimakterik merupakan kondisi saat buah mengalami laju respirasi yang meningkat
secara tiba-tiba dan tajam selama periode pematangan hingga pada awal senesen
(Paull 1993; Bron dan Jacomino 2006; Workneh et al. 2012). Selama fase
klimakterik laju respirasi dan produksi etilen menujukkan pola yang khas (MoyaLeón et al. 2004). Buah non-klimakterik tidak mengalami peristiwa tersebut.
Umumnya pada periode klimakterik (pematangan), buah mengalami
perubahan warna kulit dan daging, rasa, tekstur dan aroma yang optimum (MoyaLeón et al. 2004; Bron dan Jacomino 2006). Selama periode pematangan buah
terjadi konversi dari pati menjadi gula dan proses respirasi klimakterik di dalam

7
buah meningkat sehingga buah menjadi lebih manis dan lunak saat matang
(Zulkarnain 2009). Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh
Reineccius (2006), yaitu peristiwa pemecahan senyawa makromolekul menjadi
senyawa yang lebih sederhana terjadi pada saat peningkatan klimakterik respirasi.
Pembentukan flavor buah-buahan paling optimum terjadi saat fase pematangan
pasca klimakterik (Reineccius 2006), yaitu saat terjadi puncak laju produksi etilen
(Balbontín et al. 2007; Fuggate et al. 2010). Saltveit (1999) menjelaskan bahwa
keberadaan etilen dalam konsentrasi yang sangat rendah mampu menstimulasi
kembali sintesis etilen selama pematangan buah (autostimulan), sintesis pigmen,
perubahan warna pada kulit, germinasi biji, pembentukan akar adventif, respirasi,
metabolisme fenilpropanoid, absisi dan pembusukan. Lama pencapaian puncak
respirasi dan produksi etilen berbeda-beda, tergantung jenis buah dan varietasnya.
Tabel 2 menunjukkan kondisi kematangan beberapa varietas buah pepaya
saat mencapai puncak laju produksi etilen pada berbagai kondisi penyimpanan.
Hingga saat ini belum terdapat data mengenai pola respirasi maupun produksi etilen
dari pepaya varietas IPB, maupun varietas Merah Delima, pepaya Bangkok dan
Burung. Berdasarkan Tabel 2, maka dapat diduga bahwa pembentukan flavor buah
pepaya optimum terjadi pada saat tingkat kematangan sekitar 85-90%.
Tabel 2 Tingkat kematangan buah pepaya berbagai varietas saat terjadi
puncak laju produksi etilen
Varietas
Kapoho
Sunrise
Rainbow
Maradol Roja

Kondisi
penyimpanan
T: 22±1°C
T: 22°C
T: 23°C, RH: 70%

Tingkat kematangan saat
puncak produksi etilen
85%
85%
>90%
Stadia 5*

Referensi
1

1
2
3

* Ilustrasi terdapat pada Tabel 1
(1) Zhang dan Paul (1990), (2) Manenoi et al. (2007), (3) Basulto et al. (2009)

Penanganan Pascapanen Buah Pepaya
Buah pepaya merupakan buah yang memiliki kadar air yang tinggi (86-88%,
basis basah) dan kandungan nutrisi yang beragam (protein, mineral, vitamin A,
vitamin C, vitamin B1 dan B2) (Suketi et al. 2010a). Hal tersebut menyebabkan
buah pepaya sangat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh fungi (Sankat
dan Maharaj 1997). Fungi yang paling sering menyerang buah pepaya, baik selama
pertumbuhan buah di lapangan maupun pascapanen, adalah Colletotrichum
gloeosporioides dan menyebabkan penyakit antraknosa (Sivakumar et al. 2002;
Hafsah et al. 2007). Menurut hasil penelitian Hamim et al. (2014), sejak bulan
November 2012 hingga bulan Mei 2013 kehilangan pascapanen buah pepaya di
pasar-pasar Kota Mymensingh (India) akibat penyakit antraknosa mencapai
46,11%. Pada buah pepaya varietas Sekaki, serangan oleh penyakit antraknosa
dapat terjadi hingga lebih dari 90% (Rahman et al. 2008).
Infeksi fungi C. gloeosporioides pada pepaya mulai terjadi saat awal tahap
perkembangan buah, namun patogen tersebut dalam bentuk dorman hingga buah
pepaya mencapai fase klimakterik (Dickman dan Alvarez 1983). Gejala penyakit

8
antraknosa biasanya mulai tampak buah pepaya saat buah pepaya mencapai tingkat
kematangan 25% atau lebih (Alvarez dan Nishijima 1987). Gejala yang ditimbulkan
oleh penyakit antraknosa yaitu pada buah muda berbentuk luka kecil yang ditandai
dengan adanya getah keluar dan mengental, sedangkan pada buah menjelang masak
ditandai dengan bulatan kecil berwarna cokelat gelap serta bulatan akan semakin
membesar dan busuk cekung ke arah dalam buah sejalan dengan tingkat
kematangan buah yang semakin tinggi (Sujiprihati dan Suketi 2012).
Sodium bikarbonat selain digunakan sebagai bahan tambahan pangan (soda
kue), juga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti fungisida pada penanganan
pascapanen buah pepaya (Hasan et al. 2012). Sodium bikarbonat sebesar 2% (b/v)
diketahui memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan miselium dan
germinasi spora dari C. gloeosporioides (Sivakumar et al. 2002; Gamagae et al.
2004), sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya kerusakan buah dan tingkat
keparahan dari kerusakan akibat penyakit antraknosa hingga 60% (Hasan et al.
2012). Penghambatan gejala yang disebabkan oleh C. gloeosporioides
menggunakan sodium bikarbonat 2% yang diinkorporasikan ke dalam larutan lilin
untuk pelilinan buah dapat lebih efektif jika dikombinasikan dengan perlakuan suhu
rendah (13,5°C) selama penyimpanan (Sivakumar et al. 2002). Penanganan
pascapanen buah pepaya dalam penelitian ini dilakukan dengan cara direndam
menggunakan larutan sodium bikarbonat 2% tanpa proses pelilinan, karena
pelilinan buah memiliki tahapan proses yang cukup rumit.
Padmanaban et al. (2014) menjelaskan bahwa selama penyimpanan suhu
rendah, buah pepaya tetap melakukan respirasi dan dapat mengalami kehilangan air
karena kelembaban relatif lingkungan penyimpanan cenderung lebih rendah
dibandingkan kondisi normal. Laju respirasi yang tinggi dapat menstimulasi
peningkatan laju perubahan fisikokimia di dalam buah pepaya, sehingga dapat
menyebabkan perubahan kualitas sensorinya. Untuk meminimalisir perubahan
kualitas sensori dapat digunakan perlakuan menggunakan kemasan vakum. Buah
pepaya pada tingkat kematangan 25% yang disimpan menggunakan kemasan
vakum pada suhu 20°C memiliki umur simpan hingga 4 minggu dan memiliki
kualitas sensori yang tidak berbeda dengan buah segarnya. Pada penelitian ini buah
utuh dikemas vakum dan disimpan pada suhu rendah (kondisi suhu pendingin saat
penelitian berkisar antara 13-15°C) hingga maksimal 4 hari untuk menghindari
kerusakan buah dan perubahan kualitas sensori.

Off-flavor Buah Pepaya
Pada buah-buahan, flavor, terutama rasa dan aroma, merupakan faktor
penting persepsi dan peneriman konsumen (Hadi et al. 2013). Faktor-faktor yang
mempengaruhi komposisi dan persepsi flavor buah-buahan, antara lain genetik atau
varietas (Fuggate et al. 2010; Wijaya dan Chen 2013), kondisi lingkungan dan
teknik budidaya (kandungan nutrisi tanah, kecukupan air dan suhu), tingkat
kematangan, kondisi penyimpanan setelah panen (suhu dan kelembaban)
(Reineccius 2006), bentuk sampel buah (buah utuh, potongan atau campuran jus)
(Rivera-López et al. 2005), dan metode analisis yang digunakan (Hui 2010).
Studi mengenai komposisi senyawa volatil yang bertanggung jawab atas
terbentuknya karakter aroma buah pepaya berbagai varietas telah banyak dilakukan,

9
seperti varietas Maradol (Pino et al. 2003), Maradol Roja (Almora et al. 2004); Pluk
Mai Lie (Fuggate et al. 2010); Carisya, Sukma, Bangkok, Burung dan Brazil
(Ulrich dan Wijaya 2010); serta Red Maradol (Pino 2014). Terdapat sebanyak 166
senyawa volatil yang bertanggung jawab terhadap karakteristik aroma pada buah
pepaya varietas Maradol, namun hanya 35 senyawa yang merupakan senyawa
aroma aktif (Pino et al. 2003). Senyawa volatil yang dominan pada pepaya terdiri
dari kelompok ester, alkohol, hidrokarbon, aldehid, lakton dan monoterpen (Pino et
al. 2003; Almora et al. 2004).
Keberadaan off-flavor sangat mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap
buah pepaya (Chan et al. 1973; Beaulieu 2006; Jeleń 2006; Ulrich dan Wijaya
2010). Off-flavor merupakan aroma atau rasa tidak enak akibat perubahan internal
pangan yang tidak diinginkan (Baigrie 2003). Beberapa penyebab terbentuknya offflavor dalam bahan pangan antara lain adanya senyawa-senyawa flavor yang secara
natural ada di dalam bahan pangan, oksidasi lipid, dekomposisi enzimatis, terdapat
senyawa-senyawa hasil radiasi saat sterilisasi dengan dosis yang berlebih, dan
proses pengolahan yang kurang tepat (Wilkes et al. 2000).
Tabel 3 Senyawa yang diduga penyebab off-flavor pada buah pepaya segar
Ambang
Deskripsi
Berat
Senyawa
deteksi
Struktur molekulb
aroma
molekulb
(mg/L)a
Stale green,
2-Metil butanal
0,001
86,1323
fecal1
Rancid butter, 0,001-0,043
102,1317
1
sweaty ;
Metil butanoat
intense fruity2;
fruity, cheese3

Ttitik
didih
(°C)b
93
102,8

Asam butanoat Stinky4; sour3

0,24-4,8

88,1051

164

Asam
heksanoat

0,093-10

116,1583

205

0,91-19

144,2114

239

2,2-102

172,2646

268

Stuffy, sour
sweet3
Waxy, dirty,
Asam oktanoat sweaty, cheesy
fatty 6
Asam dekanoat Fatty-waxy5
a

Ambang deteksi senyawa murni dalam air diperoleh dari Burdock (2010) dan
http://www.leffingwell.com/odorthre.htm
b
Profil senyawa diperoleh dari http://www.chemspider.com/
Deskripsi aroma diperoleh dari: 1MacLeod dan Pieris (1983), 2Pino (2014), 3Larsen dan Poll (1992),
4
Ulrich dan Wijaya (2010), 5Pino et al. (2003), 6Burdock (2010)

Hingga saat ini studi yang mempelajari secara khusus senyawa penyebab offflavor pada pepaya masih terbatas, yaitu pada puree pepaya varietas Solo (Chan et
al. 1973). Puree pepaya yang diolah menggunakan metode komersial memiliki offflavor dengan deskripsi sulfury, butyric, acrid, pungent, sour, amine-like dan bitter.
Off-flavor tersebut diduga karena keberadaan beberapa senyawa asam lemak (asam
butirat, pentanoat, heksanoat, heptanoat, oktanoat, nonanoat dan dekanoat) beserta
metil esternya. Senyawa off-flavor ini muncul akibat perubahan enzimatis dan
mikrobiologis saat terjadi kerusakan jaringan daging buah selama proses

10
pengolahan menjadi puree. Waghmare dan Annapure (2013) menyebutkan bahwa
kerusakan jaringan buah pepaya pada saat persiapan buah potong menyebabkan
peningkatan laju repirasi dan produksi etilen, serta sintesis metabolit sekunder yang
berkontribusi pada terbentuknya off-flavor.
Beberapa studi profil flavor buah pepaya segar juga telah menduga adanya
senyawa penyebab off-flavor. Senyawa tersebut berada secara natural di dalam buah
pepaya segar. Hingga kini masih belum diketahui dengan pasti senyawa maupun
interaksi antar senyawa yang menyebabkan off-flavor pada buah pepaya. MacLeod
dan Pieris (1983) menyebutkan bahwa metil butanoat (deskripsi aroma rancid
butter, sweaty) bersama-sama dengan 2-metil butanal (stale green, fecal)
berkontribusi terhadap aroma sweaty pada pepaya Sri Lanka yang diduga sebagai
off-flavor. Ulrich dan Wijaya (2010) menduga bahwa aroma tidak enak pada
varietas buah pepaya segar yang diamati (varietas Carisya dan Sukma, serta pepaya
Bangkok, Burung, dan Brazil) disebabkan oleh kontribusi asam butanoat. Asam
butanoat diketahui dominan terdapat pada buah pepaya Burung. Pepaya Burung
merupakan pepaya yang tumbuh dan berbuah dengan sendirinya tanpa dilakukan
teknik budidaya (Ukat dan Odi, komunikasi pribadi).
Berdasarkan telaah dari beberapa studi tersebut, maka dipilih beberapa
senyawa yang secara natural berada di dalam buah pepaya segar dan diduga
berkontribusi terhadap pembentukan off-flavor. Tabel 3 merupakan karakteristik
beberapa senyawa yang diduga off-flavor pada buah pepaya segar.

Analisis Off-flavor
Umumnya, senyawa yang bertanggung jawab terhadap persepsi off-flavor
pada bahan pangan terdapat dalam jumlah yang sangat rendah (Wilkes et al. 2000;
Baigrie 2003; Ridgway et al. 2010), hingga mencapai ng/g (Ridgway et al. 2010),
dan bersifat mudah menguap (volatil) (Ridgway et al. 2010). Off-flavor biasanya
merupakan interaksi kompleks antara dua senyawa atau lebih (Ridgway et al.
2010). Baigrie (2003) dan Ridgway et al. (2010) menjelaskan bahwa untuk
mengidentifikasi off-flavor perlu dilakukan dua tahap analisis, yaitu analisis sensori
dan analisis senyawa volatil menggunakan instrumen kromatografi.
Analisis sensori yang dapat digunakan (Baigrie 2003; Ridgway et al. 2010)
antara lain uji pembedaan (perbandingan berpasangan, duo-trio dan segitiga),
deskriptif kuantitatif (termasuk deskriptif sederhana, profiling, time-intensity) dan
hedonik (preferensi dan penerimaan). Data yang diperoleh dari analisis sensori
bermanfaat sebagai indikasi awal off-flavor pada sampel untuk selanjutnya
dilakukan analisis kromatografi (Ridgway et al. 2010). Dalam penelitian ini akan
digunakan analisis sensori deskriptif kuantitatif (QDA).
Dalam analisis senyawa volatil diperlukan empat tahap, yaitu ekstraksi/isolasi
dengan atau tanpa pemekatan, identifikasi senyawa volatil menggunakan
kromatografi gas (GC) dan kuantifikasi menggunakan senyawa standar (Hui 2010;
Ridgway et al. 2010). Sebelum melakukan analisis senyawa volatil suatu bahan
pangan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan (Hui 2010). Senyawa volatil
bahan pangan biasanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah dalam jumlah
sampel yang besar. Suatu fraksi aroma umumnya terdiri dari sejumlah besar
senyawa yang memiliki sifat kimia dan berat molekul yang berbeda dalam

11
konsentrasi yang berbeda-beda. Tidak terdapat hubungan langsung antara interaksi
antar senyawa dalam suatu fraksi aroma dengan variabilitas ambang deteksi sensori
dari setiap senyawa tersebut. Analisis senyawa volatil penyebab off-flavor pada
penelitian ini dilakukan menggunakan kromatografi gas-spektrofotometri massa
(GC-MS).

Analisis Sensori Deskriptif Kuantitatif (QDA)
QDA merupakan metode analisis sensori yang didasarkan pada kemampuan
panelis terlatih dalam mengidentifikasi dan menentukan intensitas atribut suatu
produk yang diuji untuk menghasilkan deskripsi produk secara kuantitatif yang
dapat digunakan untuk memperoleh profil sensori suatu produk atau
membandingkan profil sensori antar produk menggunakan analisis statistik
(Chapman et al. 2001). Atribut sensori yang diuji adalah seluruh atribut sensori
produk, seperti kenampakan, aroma, rasa, tekstur, after taste atau flavor. Informasi
yang diperoleh dari QDA dapat digunakan untuk pengembangan produk baru,
memperbaiki produk atau proses yang sudah ada atau pengendalian mutu rutin
(Carpenter et al. 2000).
Untuk melakukan QDA diperlukan panelis terlatih sebanyak 10-12 orang.
Untuk mendapatkan panelis terlatih, terdapat serangkaian tahap yang harus dilalui,
yaitu tahap seleksi panelis, pelatihan panelis, evaluasi sensori, analisis data dan
interpretasi hasil (ASTM MNL-13 1992). Seleksi panelis dimulai dengan
menyeleksi calon panelis sebanyak 25 atau lebih untuk mendapatkan 60% kandidat
(ASTM MNL-13 1992). Tahap seleksi terdiri dari uji rasa dasar, identifikasi aroma
dan uji segitiga. Panelis yang terpilih adalah yang mampu membedakan atau
mendiskriminasikan atribut sensori produk yang diuji dengan baik dan memiliki
sensitivitas terhadap intensitas suatu atribut sensori dengan cukup baik, yaitu
dengan cara melihat ketepatan panelis saat pelatihan menggunakan seri konsentrasi
yang telah diketahui skornya. Rincian tahapan seleksi panelis QDA dijelaskan pada
ASTM STP 758 (1981).
Pelatihan panelis dilakukan dengan cara pemberian instruksi mengenai
konsep pengujian, tujuan dan pendekatan untuk QDA kemudian diberikan latihan
untuk mengukur intensitas atribut sensorinya. Pelatihan panelis idealnya dilakukan
sebanyak total waktu minimal 10-15 jam (Murray et al. 2001) dengan intensitas
waktu 1-2 jam setiap pelatihan (ASTM STP 758 1981). Pengujian QDA dilakukan
pada skala garis tak terstruktur sepanjang 15 cm untuk menurunkan bias dari setiap
panelis. Untuk memudahkan proses komputasi dan perhitungan statistik, maka
skala 0-15 cm dikonversi ke skala 0-60 (ASTM MNL-13).
Data QDA yang diperoleh dapat dilakukan analisis statistik multivariat dan
umumnya data akan ditampilkan dalam bentuk spider web atau plot komponen
utama (PCA) (Murray et al. 2001). Analisis PCA dilakukan untuk mereduksi
dimensi suatu data tanpa mengurangi karakteristik data tersebut secara signifikan
yang diwakili dalam bentuk komponen utama (PC) (Kohler dan Luniak 2005).

12
Analisis Senyawa Volatil
Metode Ekstraksi
Senyawa-senyawa volatil suatu bahan pangan terdistribusi di dalam
matriksnya, sehingga untuk mendapatkan senyawa volatil tersebut diperlukan tahap
isolasi atau ekstraksi (Hui 2010). Metode ekstraksi yang biasa digunakan untuk
studi off-flavor atau senyawa yang keberadaannya dalam bahan pangan terdapat
dalam konsentrasi yang sangat rendah adalah ekstrasi cair-cair (LLE), headspace
(statis/kesetimbangan dan dinamis) (Wilkes et al. 2000; Baigrie 2003), solid-phase
microextraction (SPME) (Jeleń 2006), distilasi uap dan SDE, desorpsi termal, stirbar sorptive extraction (SBSE) (Baigrie 2003); purge and trap (Wilkes et al. 2000).
HS-SPME merupakan metode ekstraksi yang cepat dan sangat potensial dalam
analisis senyawa volatil dengan ambang deteksi sangat rendah sekalipun, termasuk
untuk esktraksi off-flavor (Hook et al. 2002; Boutou dan Chatonnet 2007; Ridgway
et al. 2010).
SPME diketahui memiliki limit deteksi hingga part per trilion (ppt) terhadap
senyawa volatil hingga semi-volatil yang memiliki titik didih antara 0-150 °C
(Wilkes et al. 2000). Selain itu, metode ini mudah dilakukan, sederhana,
membutuhkan waktu preparasi yang singkat (15-30 menit), tidak memerlukan tahap
pemekatan sehingga tidak memerlukan pelarut organik dan murah (Hui 2010).
Ridgway et al. (2010) mengatakan bahwa metode ekstraksi SPME dapat
meningkatkan sensitivitas dan selektivitas untuk analisis beberapa senyawa volatil,
jika dibandingkan dengan metode ekstraksi pelarut dan headspace. Pada HSSPME, fiber dipaparkan pada sampel dalam sebuah botol vial khusus berisi sampel,
kemudian dipanaskan pada suhu rendah (umumnya 30-40°C) hingga tercapai
kesetimbangan senyawa volatil antara headspace dan fiber SPME (Vas dan Vékey
2004; Pino 2014). Untuk mempercepat pencapaian kondisi kesetimbangan pada
headspace sampel, maka dapat dilakukan modifikasi pada sampel dengan cara
menambahkan garam NaCl (Lambropoulou dan Albanis 2001; Vas dan Vékey
2004). Penambahan garam NaCl ke dalam sampel dapat memberikan efek saltingout, sehingga senyawa yang dapat memberikan persepsi aroma pada sampel lebih
mudah menguap dan berkumpul di bagian headspace pada saat dilakukan proses
ekstraksi (Lambropoulou dan Albanis 2001). Hal yang perlu diperhatikan dalam
analisis menggunakan HS-SPME adalah kondisi ekstraksi dan komposisi matriks.
Jika terkandung lemak dalam jumlah tinggi pada sampel akan dapat menurunkan
sensitivitas SPME. Penggunaan standar internal yang dilabel atau metode
penambahan standar pada sampel diperlukan untuk kepentingan kuantifikasi yang
akurat (Ridgway et al. 2010).
Dalam metode ekstraksi SPME juga diperlukan fiber untuk memperoleh
senyawa volatil sampel. Beberapa fiber yang dapat digunakan telah dijelaskan oleh
Vas dan Vékey (2004). Jenis fiber yang memberikan respon yang paling baik untuk
sampel buah pepaya segar maupun buah segar lainnya adalah DVB/CAR/PDMS
(Jeleń et al. 2012; Pino 2014). Vas dan Vékey (2004) menjelaskan bahwa jenis fiber
DVB/CAR/PDMS memiliki ketebalan 50/30 μm dan sangat ideal untuk senyawa
dengan kisaran polaritas yang sangat luas, yaitu senyawa C2-C20.

13
Identifikasi Senyawa Volatil
Instrumen yang umum digunakan untuk analisis senyawa volatil adalah GCMS atau kromatografi gas-spektrofotometri massa-olfaktometri (GC-MS-O) (Hui
2010). GC merupakan teknik yang ideal untuk analisis aroma karena memiliki
tingkat separasi yang sangat baik dan sensitivitas deteksi yang baik (limit deteksi
hingga picogram) (Hui 2010). Pada penelitian ini dilakukan analisis senyawa volatil
menggunakan GC-MS. Prinsip kerja GC-MS adalah sampel dipanaskan
menggunakan oven hingga berbentuk gas dan senyawa-senyawa yang ada pada
sampel dipisahkan berdasarkan partisi diantara fase gerak (gas pembawa) dan fase
diam (kolom), selanjutnya molekul senyawa akan ditembak dengan elektron
berenergi tinggi sehingga molekul mengalami atomisasi dan ionisasi lalu terpecah
menjadi fragmen-fragmen ion. Pecahan fragmen ini akan dideteksi oleh detektor
yang ada pada MS dan direkam dalam rekorder. Hasil dari deteksi MS disebut
kromatogram spektra massa. Melalui analisis GC-MS dapat diketahui berat
molekul, struktur kimia, dan rumus molekul suatu senyawa. Identifikasi senyawa
volatil dilakukan dengan membandingkan spektra massa senyawa yang terdeteksi
dengan library database yang diperkuat dengan perbandingan data Linier Retention
Index (LRI) senyawa target pada literatur-literatur yang telah diterbitkan
sebelumnya (Rouseff dan Goodner 2011, Reineccius 2006).

3 METODE
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pepaya
varietas Carisya, Callina, Sukma, Merah Delima, serta pepaya Burung dan Bangkok
yang berasal dari pohon hermaprodit dengan tingkat kematangan saat panen sebesar
25-30%. Buah pepaya varietas Carisya dipanen dari kebun percobaan IPB, Tajur
(Kota Bogor); varietas Sukma dari kebun percobaan IPB, Pasir Kuda (Kota Bogor);
varietas Callina dari kebun petani binaan PKHT-IPB di Desa Rancabungur,
Kecamatan Semplak (Kabupaten Bogor); varietas Merah Delima dari kebun petani
di Desa Nagrak, Kecamatan Cisaat (Kabupaten Sukabumi); sedangkan pepaya
Bangkok dan Burung dari kebun petani di Desa Dramaga Tanjakan, Kecamatan
Dramaga (Kabupaten Bogor). Lokasi pemanenan berada pada kisaran ketinggian
250-450 m dpl. Pemanenan dilakukan pada bulan Desember 2014 dengan bantuan
tenaga ahli lapangan.
Bahan kimia yang digunakan antara lain natrium bikarbonat; sukrosa dan
asam sitrat dari RZBC Group (Jepang); kafein dari Shiratori Pharmaceutical Co,
Ltd (Jepang); NaCl dari Tomita Pharmaceutical Co, Ltd (Jepang); deskriptor aroma
green, fruity, rancid, nutty, roasted, milky, peppermint dan orange dari PT. Mane
(Indonesia), cinnamon dan sweet dari PT. Sensient Technologies (Indonesia);
standar flavor 2-metil butanal, metil butanoat, asam dekanoat dari PT. Firmenich
(Indonesia) dan asam butanoat dari PT. Ogawa (Indonesia); propilen glikol dari PT.
Brataco Chemika (Indonesia); NaCl dari OXOID; standar internal GC-MS 1,4diklorobenzen dari Merck (Jerman); pelarut methanol dari Merck (Jerman); serta
standar n-alkana (C8-C23) dari Sigma-Aldrich.

14
Alat
Peralatan utama yang digunakan adalah Kromameter Minolta CR-310, botol
vial kapasitas 20 ml dengan tutup ulir berlapis PTFE, instrumen SPME Supelco
dengan fiber DVB/CAR/PDMS dengan ketebalan 50/30 μm, kertas saring
Whatman No.1, micro-stirrer dan instrumen GC-MS Agilent Technologies, Inc
(GC 7890A dan 5975C Inert XL EI/CI MSD) dengan kolom polar (HP-INNOWAX
dengan diameter dalam 0,25 mm; panjang 60 m; ketebalan 0,25 µm).

Prosedur Penelitian
Pemanenan dan Penanganan Sampel Buah
Masing-masing buah pepaya dipanen pada tingkat kematangan 25-30%
(warna kulit semburat kuning) menggunakan pisau. Sortasi buah dilakukan di
lapangan dengan memilih buah berbentuk dan berukuran seragam, serta bebas
cacat. Proses pemanenan buah pepaya didampingi oleh teknisi lapangan. Buah
pepaya yang telah dipanen sesegera mungkin diangkut menuju laboratorium. Untuk
menghindari kerusakan buah selama transportasi dari lapangan ke laboratorium,
maka buah pepaya dikemas menggunakan koran dan dimasukkan ke dalam kerdus.
Buah pepaya dicuci menggunakan air sabun dan